BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Musik Klasik 1. Definisi Musik Menurut Djohan (2006: 36) kata musik berasal dari kata Yunani muse. Dalam mitologi Yunani dikenal bahwa Sembilan muse, dewi-dewi bersaudara yang menguasai nyanyian, puisi, kesenian, dan ilmu pengetahuan, merupakan anak Zeus (Raja Para Dewa) dengan Mnemosyne (Dewi Ingatan). Dengan demikian, musik merupakan anak cinta ilahiah yang keanggunan, keindahan, dan kekuatan penyembuhannya yang misterius itu sangat erat hubungannya dengan tatanan maupun ingatan surgawi tentang asal-usul dan takdir kita. Sedangkan menurut Bernstein & Picker (dalam Djohan, 2006) musik adalah suara yang diorganisir ke dalam waktu. Musik juga bentuk seni tingkat tinggi yang dapat mengakomodir interpretasi dan kreativitas individu. Sekelompok orang dalam kegiatan musik tidak pernah menunjukkan adanya 2 orang yang mengekspresikan musik dengan cara yang mutlak sama. Lebih jelas lagi Campbell (2002) mendefinisikan musik sebagai bahasa yang mengandung unsur universal, bahasa yang melintasi batas usia, jenis kelamin, ras, agama, dan kebangsaan. Musik muncul disemua
tingkat pendapatan, kelas sosial, dan pendidikan. Musik berbicara kepada setiap orang dan kepada setiap spesies. Musik pertama-tama akan diproses oleh auditory cortex dalam bentuk suara agar dapat dinikmati oleh otak kanan. Otak kiri akan memproses lirik dalam musik tersebut. Efek selanjutnya adalah pada sistem limbic (otak mamalia) yang menangani memori jangka panjang. Sistem limbic ini menangani respon terhadap musik dan emosi (Simatupang & Anggi, 2007: 79). Dari penulis-penulis Indonesia di antaranya dapat dijumpai sejumlah definisi tentang musik: Jamalus berpendapat bahwa musik adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur lagu dan ekspresi sebagai satu kesatuan. Sama halnya dengan Rina berpendapat bahwa musik merupakan salah satu cabang kesenian yang pengungkapannya dilakukan melalui suara atau bunyi-bunyian (dalam Muttaqin & Kustap, 2008: 3). Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa musik adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur lagu dan ekspresi sebagai satu kesatuan.
2. Sejarah dan Perkembangan Terapi Musik Kehadiran musik sebagai bagian dari kehidupan manusia bukanlah hal yang baru. Setiap daerah dan budaya di dunia memiliki musik yang khusus diperdengarkan atau dimainkan pada saat peristiwa-peristiwa bersejarah dalam perjalanan hidup anggota masyarakatnya. Ada musik yang dimainkan untuk mengungkapkan rasa syukur atas kelahiran seorang anak, ada juga musik yang khusus mengiringi upacara-upacara tertentu seperti pernikahan dan kematian. Musik juga menjadi pendukung utama untuk melengkapi dan menyempurnakan beragam bentuk kesenian dalam berbagai budaya (Djohan, 2006: 23). Musik yang merupakan kombinasi dari ritme, harmonik dan melodi sejak dahulu diyakini mempunyai pengaruh terhadap pengobatan. Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik dan elemen musik oleh seorang
terapis
untuk
meningkatkan,
mempertahankan
dan
mengembalikan kesehatan fisik, mental, emosional dan spiritual. Terapi musik merupakan suatu proses multidisipliner yang harus dikuasai oleh seorang terapis, namun elemen dasarnya adalah musik itu sendiri. Seorang terapis harus menguasai teori, melakukan observasi, mengetahui teknik evaluasi dan pengukuran, mengetahui metode riset dan materi musik. Disamping itu seorang terapis diwajibkan menguasai setidaknya satu alat musik pokok dan satu pilihan lainnya (Djohan, 2006: 25). Gagasan untuk menggunakan musik sebagai alat penyembuhan dan perubahan perilaku sudah dimulai sejak zaman Phytagoras dan Plato
(Djohan, 2006: 28). Phytagoras sudah memahami apa yang diketahui para ilmuwan saat ini bahwa musik bisa mengubah perilaku. Phytagoras menganggap jagat raya sebagai sebuah alat musik. Dia percaya adanya getaran kosmis yang bisa memasuki manusia melalui pikiran. Orang yang selaras dengan getaran kosmis tersebut adalah orang yang sehat (Merritt, 2003: 68). Sejak dahulu kala penggunaan musik untuk menyembuhkan penyakit telah banyak dilakukan. Banyak contoh dari berbagai macam kebudayaan yang berbeda telah didokumentasikan dengan baik yang menyatakan bahwa musik merupakan kekuatan kuratif dan preventif. Musik tradisi Shamanistik yang menggunakan alat pukul dan bunyibunyian perkusi, lagu dan himne untuk menghantar diri seseorang pada kondisi diluar kesadaran (trance), sehingga dimungkinkan untuk mengakses kekuatan dan spirit atau roh penyembuhan menjadi inspirasi bagi terapis musik dalam menciptakan dan mengembangkan teknik terapi dan interaksi (Djohan, 2006: 33). Seiring dengan berubahnya zaman, ketertarikan akan penggunaan musik dan pengaruhnya terhadap kesehatan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Terapi musik telah digunakan untuk menolong para veteran dan korban Perang Dunia I dan II. Dengan penggunaan terapi musik ini, para veteran dan korban dilaporkan lebih cepat dipulihkan dan sembuh.
3. Pengaruh Musik Sebagian besar di antara kita menikmati mendengarkan musik tanpa sepenuhnya menyadari pengaruhnya. Berikut ini pengaruh musik menurut Campbell (2002: 79-84) sebagai media penyembuhan yang dapat menghasilkan efek mental dan fisik, yakni: musik menutupi bunyi dan perasaan yang tidak menyenangkan, musik dapat memperlambat dan menyeimbangkan gelombang otak, musik mempengaruhi perasaan, musik mempengaruhi denyut jantung, denyut nadi dan tekanan darah, musik mengurangi ketegangan otot dan memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh, musik mempengaruhi suhu badan, musik dapat meningkatkan tingkat endorphin, musik dapat mengatur hormon-hormon yang berkaitan dengan stres, musik mengubah persepsi kita tentang ruang, musik mengubah persepsi kita tentang waktu, musik dapat memperkuat ingatan dan pelajaran, musik dapat meningkatkan produktivitas, musik meningkatkan asmara
dan
seksualitas,
musik
merangsang
pencernaan,
musik
meningkatkan daya tahan, musik meningkatkan penerimaan tak sadar terhadap simbolisme, musik dapat menimbulkan rasa aman dan sejahtera. Secara umum musik menimbulkan gelombang vibrasi, dan vibrasi itu menimbulkan stimulasi pada gendang pendengaran. Stimulasi itu ditransmisikan pada susunan saraf pusat (limbic system) di sentral otak yang merupakan ingatan lalu hypothalamus atau kelenjar sentral pada susunan saraf pusat akan mengatur segala sesuatunya untuk mengaitkan musik dengan respon tertentu.
Campbell (dalam Raharja, 2009: 134) berpendapat bahwa musik dapat menghilangkan stres sebelum ujian, membantu pembentukan pola pikir, mempengaruhi perkembangan emosi, spiritual, dan kebudayaan. Sedangkan Ortiz (dalam Raharja, 2009: 134) menambahkan bahwa musik juga
dapat
meningkatkan
konsentrasi,
menenangkan
pikiran,
meningkatkan kewaspadaan, dan mengurangi suara-suara eksternal yang bisa mengalihkan perhatian. 4. Mekanisme Kerja Musik Dalam Kesehatan Bagaimana sebenarnya mekanisme kerja musik dapat mengurangi rasa sakit, stres, kecemasan maupun menurunkan tekanan darah masih dalam kajian dan kontroversi. Dalam mengurangi rasa sakit, muncul beberapa teori yang menyatakan bahwa musik mempengaruhi sistem autonomik, merangsang kelenjar hipofisis yang menyebabkan keluarnya endorfin (opiat alami), sehingga terjadi penurunan rasa sakit dan akan menyebabkan berkurangnya penggunaan analgetik (Hatem et al., dalam Saing, 2007: 28). Dalam hal penurunan tekanan darah dan stres diduga bahwa konsentrasi
katekolamin
plasma
mempengaruhi
aktivasi
simpatoadrenergik, dan juga menyebabkan terjadinya pelepasan stressreleased
hormones. Pemberian musik dengan irama lambat akan
mengurangi pelepasan katekolamin kedalam pembuluh darah, sehingga konsentrasi katekolamin dalam plasma menjadi rendah (Yamamoto et al.,
dalam Saing, 2007: 28). Hal ini mengakibatkan tubuh mengalami relaksasi, denyut jantung berkurang dan tekanan darah menjadi turun. 5. Definisi Musik Klasik Istilah musik klasik terdiri dari dua kata, yaitu musik dan klasik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, musik adalah seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan
komposisi
(suara)
yang mempunyai
kesatuan
dan
kesinambungan. Sementara kata klasik, menurut KBBI yaitu karya sastra yang bernilai tinggi serta langgeng dan sering dijadikan tolak ukur atau karta sastra zaman kuno yang bernilai kekal. Jadi musik klasik adalah nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan yang merupakan suatu karya sastra zaman kuno yang bernilai tinggi. Musik klasik dapat diartikan sebagai berikut: musik yang berasal dari masa lalu, namun tetap disukai hingga kini; musik yang berasal dari masa sekitar akhir abad ke 18, semasa hidup kompanis Hayden dan Mozart, yang jadi dikenal sebagai periode klasik; musik yang perbuatan dan penyajiannya memakai bentuk, sifat, dan gaya dari musik yang berasal dari masa lalu (Dagun dalam Yuhana, 2010: 51) Menurut Utomo (dalam Yuhana, 2010: 56) musik klasik adalah jenis musik yang menggunakan tangga nada diatonis, yakni sebuah tangga nada yang menggunakan aturan dasar teori perbandingan serta musik klasik telah mengenal harmoni yaitu hubungan nada-nada dibunyikan
serempak dalam akord-akord serta menciptakan struktur musik yang tidak hanya berdasar pada pola-pola ritme dan melodi. Musik klasik mempunyai fungsi menenangkan pikiran dan katarsis emosi, serta dapat mengoptimalkan tempo, ritme, melodi dan harmoni yang teratur dan dapat menghasilkan gelombang alfa serta gelombang beta dalam gendang telinga sehingga memberikan ketenangan yang membuat otak siap menerima masukan baru, efek rileks dan menidurkan (Nurseha & Djaafar, 2002). Selain itu musik klasik berfungsi mengatur hormonhormon yang berhubungan dengan stres antara lain ACHT, prolaktin, dan hormon pertumbuhan serta dapat mengurangi nyeri (Campbell, 2002). Musik klasik memiliki perangkat musik yang beraneka ragam, sehingga didalamnya terangkum warna-warni suara yang rentang variasinya sangat luas. Dengan kata lain variasi bunyi pada musik klasik jauh lebih kaya daripada variasi bunyi musik lainnya. Karenanya musik klasik menyediakan variasi stimulasi yang sedemikian luasnya bagi pendengar. Menurut Campbell (2002) musik-musik Mozart memiliki keunggulan akan kemurnian dan kesederhanaan bunyi-bunyi yang dimunculkannya, irama, melodi, dan frekuensi-frekuensi tinggi pada musik Mozart merangsang dan memberi daya pada daerah-daerah kreatif dan motivasi dalam otak. Musik Mozart memberi rasa nyaman tidak saja ditelinga tetapi juga bagi jiwa yang mendengarnya. Gubahan-gubahan musik klasik ini, bila rajin diperdengarkan akan memberi efek keseimbangan emosi dan ketenangan.
Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa musik klasik adalah jenis musik yang menggunakan tangga nada diatonis, yang memiliki perangkat musik yang beraneka ragam, dan berfungsi untuk menenangkan pikiran dan katarsis emosi. 6. Karakteristik Musik Klasik Untuk Relaksasi Utomo (dalam Yuhana, 2010: 55) mengatakan bahwa karakteristik musik klasik yang menimbulkan relaksasi adalah musik klasik yang tempo lambat atau musik klasik yang mempunyai bunyi lebih panjang dan lambat karena akan menyebabkan detak jantung pendengarannya menjadi lebih lambat sehingga ketegangan fisik menjadi lebih rendah dan menciptakan ketegangan fisik. Menurut Wigram, dkk (dalam Djohan, 2006) bila elemen musik stabil dan dapat diprediksi, maka subyek cenderung merasa rileks. Musikmusik sedatif atau musik relaksasi, seperti halnya musik klasik akan menurunkan detak jantung dan tekanan darah, menurunkan tingkat rangsang secara umum sehingga membuat tenang pendengarnya. Wigram menyebutkan elemen musik yang menyebabkan relaksasi yaitu sebagai berikut: tempo yang stabil; stabilitas atau perubahan secara berangsurangsur pada volume, irama, timbre, pitch, dan harmoni; tekstur yang konsisten; modulasi harmoni yang terprediksi; kadens (konfigurasi melodi atau harmoni yang menimbulkan kesan ketenangan dan resolusi) yang tepat; garis melodi yang terprediksi; pengulangan materi struktur dan bentuk yang tetap; timbre yang mantap; sedikit aksen.
B. Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional (UN) 1. Kecemasan a. Definisi Kecemasan Kecemasan didefinisikan sebagai gangguan kemurungan (melancholic disorder) yang disebabkan karena terlalu banyak perasan murung (Ramaiah, 2003: 111). Pada sisi lain, kecemasan merupakan hasil pikiran tidak nyaman yang bereaksi terhadap keadaan yang kelihatannya negatif bagi seseorang tetapi tidak mengancam secara terbuka (Ramaiah, 2003: 81). Menurut Daradjat (dalam Ayuningtyas, 2009: 11) kecemasan merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi saat individu mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin. Sedangkan menurut Freud (dalam Yuhana, 2010: 15) mengatakan bahwa kecemasan merupakan fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Nevid (dalam Puspitasari, dkk., 2009: 2 ) menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Haber & Runyon (dalam Puspitasari, dkk., 2009: 3) bahwa jika seseorang mengalami perasaan
gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang tersebut mengalami kecemasan, yaitu ketakutan yang tidak menyenangkan, atau suatu pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi. Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan kondisi psikologis yang merupakan reaksi terhadap situasi menekan dengan ditandai perasaan ketakutan, ketegangan, kekhawatiran, dan kegelisahan baik disadari maupun tidak disadari. b. Dimensi Kecemasan Pada umumnya kecemasan muncul akibat reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan. Haber & Runyon (dalam Puspitasari, dkk., 2009: 3) mengemukakan empat dimensi kecemasan yaitu: 1) Dimensi kognitif Yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam pikiran seseorang sehingga ia mengalami rasa risau dan khawatir. Kekhawatiran ini dapat terbentang mulai dari tingkat khawatir yang ringan, lalu panik, cemas, dan merasa akan terjadi malapetaka, kiamat, kematian. Saat individu mengalami kondisi ini ia tidak dapat berkonsentrasi, mengambil keputusan, dan mengalami kesulitan untuk tidur.
2) Dimensi motorik Yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam bentuk tingkah laku, seperti meremas jari, menggeliat, menggigit bibir, menjentikkan kuku, dan gugup. 3) Dimensi somatik Yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam reaksi fisik biologis, seperti mulut terasa kering, kesulitan nafas, berdebar, tangan dan kaki dingin, pusing seperti hendak pingsan, banyak keringat, tekanan darah naik, otot tegang terutama kepala, leher, bahu, dan dada, serta sulit mencerna makanan. 4) Dimensi afektif Yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam bentuk emosi, perasaan tegang karena luapan emosi yang berlebihan, seperti dihadapkan pada suatu teror. Luapan emosi ini biasanya berupa kegelisahan atau kekhawatiran bahwa ia dekat dengan bahaya padahal sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi kecemasan yaitu: dimensi kognitif, dimensi motorik, dimensi somatik, dan dimensi afektif. Dalam penelitian ini, peneliti untuk selanjutnya menggunakan dimensi ini untuk dijadikan sebagai indikator pada pembuatan skala kecemasan.
c. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Kecemasan Menurut Nevid, dkk (dalam Puspitasari, dkk., 2009: 4), kecemasan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: 1) Faktor sosial lingkungan Meliputi pemaparan terhadap peristiwa yang mengancam atau traumatis, mengamati respon takut pada orang lain, dan kurangnya dukungan sosial. 2) Faktor biologis Meliputi
predisposisi
genetis,
ireguaritas
dalam
fungsi
neurotransmiter, dan abnormalitas dalam jalur otak yang memberi sinyal bahaya atau yang menghambat tingkah laku repetitif. 3) Faktor behavioral Meliputi pemasangan stimuli aversif dan stimuli yang sebelumnya netral, kelegaan dari kecemasan karena melakukan ritual kompulsif atau menghindari stimuli fobik, dan kurangnya kesempatan untuk pemunahan karena penghindaran terhadap objek atau situasi yang ditakuti. 4) Faktor kognitif dan emosional Meliputi konflik psikologis yang tidak terselesaikan (Freudian atau teori psikodinamika), faktor-faktor kognitif seperti prediksi berlebihan tentang ketakutan, keyakinan-keyakinan yang self defeating atau irasional, sensivitas berlebih terhadap ancaman,
sensivitas kecemasan, salah atribusi dari sinyal-sinyal tubuh, dan self efficacy yang rendah. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa faktorfaktor
penyebab
timbulnya
kecemasan
adalah
faktor
sosial
lingkungan, faktor biologis, faktor behavioral, dan faktor kognitif dan emosional. d. Bentuk-Bentuk Kecemasan Sigmund Freud (dalam Kurniawan, 2008: 26) membagi kecemasan dalam tiga macam, yaitu: 1) Kecemasan obyektif (objective anxiety) adalah reaksi terhadap pengenalan akan adanya bahaya dari luar atau adanya kemungkinan bahaya dari luar atau adanya kemungkinan bahaya yang disangkanya akan terjadi. 2) Kecemasan penyakit (neurotic anxiety) adalah suatu ketakutan yang mungkin terjadi. Kecemasan neurotik ini sudah merupakan penyakit. Terdapat tiga bentuk dalam kecemasan neurotik, antara lain: a) Kecemasan secara umum. Kecemasan ini merupakan yang paling sederhana, karena tidak berhubungan dengan sesuatu hal tertentu. b) Kecemasan neurotik yang obyeknya benda-benda atau hal-hal tertentu.
c) Kecemasan dalam bentuk ancaman, kecemasan ini adalah dalam bentuk cemas yang menyertai gejala gangguan kejiwaan seperti histeria. 3) Kecemasan moral (moral anxiety) adalah kecemasan yang timbul akibat dari dorongan perasaan, rasa dosa, dan kecemasan yang berhubungan dengan gejala gangguan kekecewaan itu sendiri. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bentuk kecemasan ada tiga, yaitu kecemasan obyektif (objective anxiety), kecemasan penyakit (neurotic anxiety), kecemasan moral (moral anxiety). e. Tingkat Kecemasan Menurut Peplau (dalam Kurniawan, 2008: 28), kecemasan memiliki tiga tingkatan. Berikut ini akan diuraikan sebagai berikut: 1) Kecemasan ringan. Pada tingkat ini kecemasan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan meyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. 2) Kecemasan berat. Hal ini sangat mengurangi lahan persepsi seseorang dan cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan berpikir tentang hal lain. 3) Kecemasan
Tingkat
panik.
Hal
ini
berhubungan
dengan
terperangah, ketakutan teror. Tingkat kecemasan hal ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan bahkan mematikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat kecemasan ada yang ringan, berat bahkan kecemasan pada tingkat kepanikan. 2. Ujian Nasional Ujian
Nasional
(UN)
merupakan
agenda
rutin
yang
diselenggarakan di setiap sekolah-sekolah. Ujian Nasional merupakan salah satu cara pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Siswa harus mampu mencapai standar nilai tertentu sebagai syarat kelulusan. Bagi siswa sendiri, adanya UN sebagai penentu kelulusan siswa dalam suatu jenjang pendidikan formal, menjadikan beban yang luar biasa, bahkan perasaan ini mungkin saja dirasakan sejak siswa menempati kelas akhir dari suatu jenjang. Siswa mengalami kecemasan jika mereka tidak mampu mencapai standar kelulusan yang telah ditetapkan (Harti, 2008). Ujian Nasional ini menimbulkan kecemasan pada setiap siswa dikarenakan standar nilai kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah mengalami kenaikan setiap tahunnya, sehingga pada umumnya para pelajar mengalami kecemasan jika nilai mereka tidak memenuhi standar nilai yang telah ditetapkan. Berdasarkan kriteria kelulusan ujian nasional dalam POS UN 2011 yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan, poin VI: nilai US diperoleh dari gabungan antara nilai sekolah dengan bobot 60 persen dan nilai rapor dengan bobot 40 persen dari semester 1 sampai semester 5
untuk SMP sederajat dan semester 3 sampai semester 5 untuk SMA sederajat. Sedangkan NA menentukan kelulusan peserta didik dalam UN. Kriterianya dilihat dari gabungan antara nilai sekolah dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan nilai UN dengan pembobotan 40 persen untuk nilai sekolah untuk mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 60 persen untuk UN. Peserta didik dinyatakan lulus apabila nilai rata-rata dari semua NA mencapai paling rendah 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0 (Nurba, 2011). 3. Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional Ujian merupakan salah satu sumber kecemasan bagi seseorang (Nevid, dalam Ayuningtyas 2009: 11). Menurut Santrock (dalam Ayuningtyas 2009: 15) adalah normal, jika siswa kadang merasa cemas atau khawatir saat menghadapi kesulitan di sekolah, seperti saat akan mengerjakan ujian. Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi kecemasan menghadapi ujian nasional (UN) adalah ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan bahwa akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam UN.
C. Pengaruh Musik Klasik Terhadap Kecemasan Siswa Dalam Menghadapi Ujian Nasional Musik klasik adalah jenis musik yang menggunakan tangga nada diatonis, yakni sebuah tangga nada yang menggunakan aturan dasar teori perbandingan serta musik klasik telah mengenal harmoni yaitu hubungan nada-nada dibunyikan serempak dalam akord-akord serta menciptakan struktur musik yang tidak hanya berdasar pada pola-pola ritme dan melodi (Utomo, dalam Yuhana, 2010: 56). Musik klasik yang mempunyai tempo lambat atau bunyinya lebih panjang dan lebih lambat, mampu memperdalam dan memperkuat pernapasan, sehingga
memungkinkan pikiran menjadi tenang.
Laju
pernapasan yang lebih dalam atau lebih lambat sangat baik, menimbulkan ketenangan, kendali emosi, dan pemikiran yang lebih dalam, dan metabolisme yang lebih baik karena pernapasan bersifat ritmis, musik klasik yang musiknya lambat juga membuat detak jantung menjadi lambat, semakin lambat detak jantung, dalam suatu kisaran yang lebih lambat menciptakan tingkat stress dan ketegangan fisik yang lebih rendah, menenangkan pikiran, dan membantu tubuh untuk menyembuhkan dirinya. Musik klasik mempunyai fungsi menenangkan pikiran dan katarsis emosi, serta dapat mengoptimalkan tempo, ritme, melodi dan harmoni yang teratur dan dapat menghasilkan gelombang alfa serta gelombang beta dalam gendang telinga sehingga memberikan ketenangan yang membuat otak siap menerima masukan baru, efek rileks dan menidurkan (Nurseha & Djaafar,
2002). Selain itu musik klasik berfungsi mengatur hormon-hormon yang berhubungan dengan stres antara lain ACHT, prolaktin, dan hormon pertumbuhan serta dapat mengurangi nyeri (Campbell, 2002). Musik-musik Mozart memiliki keunggulan akan kemurnian dan kesederhanaan bunyi-bunyi yang dimunculkannya, irama, melodi, dan frekuensi-frekuensi tinggi pada musik Mozart merangsang dan memberi daya pada daerah-daerah kreatif dan motivasi dalam otak. Musik Mozart memberi rasa nyaman tidak saja ditelinga tetapi juga bagi jiwa yang mendengarnya. Gubahan-gubahan musik klasik ini, bila rajin diperdengarkan akan memberi efek keseimbangan emosi dan ketenangan (Campbell, 2002). Bagi siswa, adanya UN sebagai penentu kelulusan siswa dalam suatu jenjang pendidikan formal, menjadikan beban yang luar biasa besar bagi calon peserta ujian, bahkan perasaan ini mungkin saja dirasakan sejak siswa menempati kelas akhir dari suatu jenjang. Siswa mengalami kecemasan jika mereka tidak mampu mencapai standar kelulusan yang telah ditetapkan (Harti, 2008). Ketenangan dalam menghadapi Ujian Nasional mutlak diperlukan bagi peserta Ujian Nasional. Salah satu upaya agar mereka terhindar dari kecemasan yang berlebihan adalah dengan cara mendengarkan musik, yakni musik klasik karya Mozart. Dengan adanya rileksasi dengan musik klasik diharapkan mampu mengurangi kecemasan dalam menghadapi ujian nasional.
D. Kerangka Teoritik Belajar sendiri
Bimbel Kecemasan Rendah
Kecemasan Tinggi
Siap UN
Istighosah Musik klasik Gambar 2.1. Kerangka Teoritik
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu cara pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Siswa harus mampu mencapai standar nilai tertentu sebagai syarat kelulusan. Pada kenyataannya, seperti yang diberitakan di berbagai media, penggunaan standar nilai kelulusan sebagai salah satu tolok ukur kelulusan banyak menuai kontroversi di masyarakat. Ada yang beranggapan bahwa persiapan UN yang sering kali dilakukan dalam bentuk drilling dan try out, mengakibatkan makna belajar sering kali tereduksi hanya untuk lolos ujian, padahal pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang mampu membuat siswa sungguh-sungguh memahami apa yang dipelajarinya, sehingga berguna untuk masa depannya kelak (UN Ada yang Perlu Didiskusikan, 2011). Beberapa kalangan pendidikan menilai UN bukan merupakan satu-satunya dasar penentu kompetensi lulusan, karena kompetensi lulusan merupakan kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati (Muslim, 2011). Ada juga yang berpendapat bahwa UN dirasa belum mampu memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Bahkan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Muhammad Abduhzen mengatakan, tekanan psikis kepada anak yang akan menghadapi ujian nasional berasal dari pusat dengan syarat kelulusan yang diberikan. “Pemerintah menekan kepala daerah, kepala daerah ke dinas dan ke kepala sekolah mengharuskan mereka (siswa) harus lulus berapa persen,” ujarnya. Dengan syarat-syarat kelulusan tertentu itulah, kata Abduhzen, ujian nasional menjadi momok bagi daerah, dan sekolah untuk mengejar target yang dipatok pusat. Menurutnya, sekolah memiliki beban apabila presentase kelulusannya rendah. “Kalau rendah, mereka merasa gagal meningkatkan pendidikan daerahnya,” ujarnya. (Yully, 2011). Namun ada juga yang setuju terhadap pelaksanaan UN. Alasan yang melatarbelakangi persetujuan untuk dilaksanakannya UN antara lain alasan akuntabilitas publik, pengendalian mutu pendidikan, motivator, seleksi dan penempatan, serta alas an diagnostik (Furqon, dalam Ayuningtyas, 2009: 7). Penyelenggaraan UN juga dinilai mampu “memaksa” siswa dan guru untuk disiplin belajar, sehingga mampu mencapai SKL yang ditetapkan pemerintah,
demi mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia (UN Ada yang Perlu Didiskusikan, 2011). Campbell (dalam Raharja 2009: 134) berpendapat bahwa musik dapat menghilangkan stres sebelum ujian, membantu pembentukan pola pikir, mempengaruhi perkembangan emosi, spiritual, dan kebudayaan. Musik klasik adalah jenis musik yang menggunakan tangga nada diatonis, yakni sebuah tangga nada yang menggunakan aturan dasar teori perbandingan serta musik klasik telah mengenal harmoni yaitu hubungan nada-nada dibunyikan serempak dalam akord-akord serta menciptakan struktur musik yang tidak hanya berdasar pada pola-pola ritme dan melodi (Utomo, dalam Yuhana, 2010: 56). Musik klasik mempunyai fungsi menenangkan pikiran dan katarsis emosi, serta dapat mengoptimalkan tempo, ritme, melodi dan harmoni yang teratur dan dapat menghasilkan gelombang alfa serta gelombang beta dalam gendang telinga sehingga memberikan ketenangan yang membuat otak siap menerima masukan baru, efek rileks dan menidurkan (Nurseha & Djaafar, 2002). Salah satu dari musik klasik adalah musik klasik karya Mozart. Menurut Campbell (2002) musik-musik Mozart memiliki keunggulan akan kemurnian dan kesederhanaan bunyi-bunyi yang dimunculkannya, irama, melodi, dan frekuensi-frekuensi tinggi pada musik Mozart merangsang dan memberi daya pada daerah-daerah kreatif dan motivasi dalam otak. Musik Mozart memberi rasa nyaman tidak saja ditelinga tetapi juga bagi jiwa yang
mendengarnya. Gubahan-gubahan musik klasik ini, bila rajin diperdengarkan akan memberi efek keseimbangan emosi dan ketenangan. Musik klasik dapat diberikan pada siswa yang akan menghadapi Ujian Nasional, karena musik klasik Mozart dapat membuat pikiran menjadi rileks sehingga dapat mengurangi kecemasan pada siswa yang akan menghadapi ujian nasional. Nevid (dalam Puspitasari, dkk., 2009: 2) menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Haber & Runyon (dalam Puspitasari, dkk., 2009: 3) mengatakan bahwa jika seseorang mengalami perasaan gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang tersebut mengalami kecemasan, yaitu ketakutan yang tidak menyenangkan, atau suatu pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi. Harber & Runyon mengemukakan empat dimensi kecemasan yaitu: dimensi kognitif, dimensi motorik, dimensi somatik, dimensi afektif. UN sebagai penentu kelulusan siswa dalam suatu jenjang pendidikan formal, menjadikan beban yang luar biasa besar bagi calon peserta ujian, sehingga diharapkan dalam menghadapi ujian nasional siswa dalam kondisi tenang. Karena keberhasilan ujian nasional salah satunya ditentukan oleh kondisi psikis para siswa. Namun pada kenyataannya kebanyakan siswa yang menghadapi ujian nasional mengalami kecemasan, yakni merasa tertekan,
khawatir, dan takut akan kegagalan dalam UN. Hal ini bisa menghambat keberhasilan UN karena para siswa tidak lagi bisa fokus dalam UN. Jadi ketenangan dalam menghadapi Ujian Nasional mutlak diperlukan bagi peserta Ujian Nasional. Salah satu upaya agar mereka terhindar dari kecemasan yang berlebihan adalah dengan cara mendengarkan musik, yakni musik klasik karya Mozart. Dengan adanya rileksasi dengan musik klasik diharapkan mampu mengurangi kecemasan dalam menghadapi ujian nasional.
E. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh pemberian musik klasik terhadap kecemasan siswa dalam menghadapi Ujian Nasional.