11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Pembelajaran Matematika Mengetahui matematika adalah melakukan matematika. Dalam belajar matematika, perlu diciptakan situasi-situasi di mana siswa dapat aktif, kreatif dan responsif secara fisik pada sekitar. Untuk belajar matematika, siswa harus membangun
pengetahuan
menggambarkan, memecahkan
mereka
mendiskusikan,
masalah.
Selanjutnya
sendiri
dengan
menguraikan, Goldin
(dalam
cara
eksplorasi,
menyelidiki, Andriani:
dan 2011)
berpendapat bahwa matematika dibangun oleh manusia. Sehingga dalam pembelajaran matematika, pengetahuan matematika harus dibangun oleh siswa. Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif jika guru memfasilitasi siswa dengan menemukan dan memecahkan masalah dengan menerapkan pembelajaran bermakna. Menurut Suherman (2004: 7), untuk mewujudkan pembelajaran agar bermakna secara maksimal, belajar harus berprinsip pada: 1. siswa sebagai subjek karena memiliki potensi kecerdasan, minat dan bakat; 2. belajar
harus
dengan
melakukan
dan
mengomunikasikan
agar
keterampilan hidup dapat terlatih dan terbiasa; 3. mengemukakan kemampuan bersosialisasi agar kemampuan interaksi dan empati berkembang.
11
12
Menurut Freudental (dalam Andriani, 2011) matematika merupakan aktivitas insan (human activities) dan pembelajaran matematika merupakan proses penemuan kembali. Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika, konsep yang akan dikonstruksi siswa sebaiknya dikaitkan dengan konteks nyata yang dikenal siswa. Kemudian Zulkardi (dalam Andriani, 2011) menyatakan bahwa pembelajaran seharusnya tidak diawali dengan sistem formal, melainkan diawali dengan fenomena di mana konsep tersebut muncul dalam kenyataan sebagai sumber formasi konsep. Selanjutnya menurut de Lange (dalam Andriani, 2011), proses pengembangan konsep-konsep dan ideide matematika berawal dari dunia nyata dan pada akhirnya merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika kembali ke dunia nyata. Treffers (dalam Suherman, 2004: 8) mengemukakan bahwa belajar akan efektif jika mengandung unsur mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic (terstruktur, sistematik, aksiomatik), empiristic (mengalami secara induktif-deduktif, abstraksi) dan realistic – human activity (aktivitas kehidupan nyata sehari-hari). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa prinsip yang harus diterapkan dalam melaksanakan pembelajaran harus memperhatikan
keterlibatan
kontekstual
(realistik),
konstruktivis
(menemukan), melakukan – mengomunikasikan, siswa sebagai subjek – guru sebagai sutradara, serta terdapat komunikasi, empati, argumentasi, kritis, rasional, kreatif, etos kerja, antusias.
13
B. Model Pembelajaran “SAVI” (Somatic, Auditory, Visual, Intellectual) Model “SAVI” adalah model pembelajaran yang menekankan bahwa belajar harus memanfaatkan semua alat indera yang dimiliki siswa, dengan cara menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua alat indera dalam satu peristiwa pembelajaran. Model ini dimaksudkan
untuk
meningkatkan
aktivitas
siswa
dalam
kegiatan
pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya. Oleh karena itu, model “SAVI” dapat digunakan dalam pembelajaran matematika. Istilah “SAVI” merupakan kependekan dari Somatic, Auditory, Visual, Intellectual
yang
mengandung
arti
bahwa
pembelajaran
haruslah
memanfaatkan semua alat indera yang dimiliki siswa. Belajar dapat berlangsung secara optimal apabila keempat unsur “SAVI” ada dalam satu peristiwa pembelajaran.
1. Somatic Somatik berasal dari bahasa Yunani yang berarti tubuh. Jadi, belajar somatik adalah belajar melalui aktivitas fisik terutama indera peraba dan keterlibatan langsung, kinestetik dan menggunakan serta menggerakkan tubuh selama proses pembelajaran berlangsung. De Porter et al. (2010: 124) menyatakan bahwa belajar somatik mengakses segala jenis gerak dan emosi, diciptakan maupun diingat. Gerakan, koordinasi, irama, tanggapan emosional, dan kenyamanan fisik menonjol pada pembelajar somatik. Siswa yang memiliki cara belajar
14
somatik dapat melakukan sesuatu secara fisik yang membuat seluruh tubuhnya terlibat, memperbaiki sirkulasi ke otak, dan meningkatkan pembelajaran. Menurut De Porter et al. (2010: 124), siswa yang belajar secara somatik sering: a. banyak bergerak b. belajar
dengan
melakukan,
menunjuk
tulisan
saat
membaca,
menanggapi secara fisik c. mengingat sambil berjalan.
Siswa dengan cara belajar somatik perlu dirangsang agar dapat melakukan aktivitas fisik dan melibatkan tubuhnya. Hal tersebut dapat ditempuh dengan menciptakan suasana belajar yang dapat membuat siswa secara fisik aktif dari waktu ke waktu. Penerapan belajar somatik dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan cara: a. Membuat model matematika dalam suatu proses atau prosedur. b. Melakukan suatu kegiatan untuk membuktikan atau mengonstruksi rumus. c. Memeragakan suatu proses, prosedur, atau konsep sambil memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajarinya langkah demi langkah. d. Menggunakan alat bantu saat mengajar untuk menimbulkan rasa ingin tahu pada diri siswa.
15
e. Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar, dan lain-lain). f. Melakukan tinjauan lapangan.
2. Auditory Auditori yang berarti belajar melalui mendengar sesuatu. Sarbana (dalam Yulianti, 2009: 30) mengartikan auditori sebagai salah satu modalitas belajar, yaitu bagaimana kita menyerap informasi saat berkomunikasi ataupun belajar dengan cara mendengarkan. Auditori dalam pembelajaran
dapat
diartikan
sebagai
proses
belajar
dengan
mendengarkan, berbicara pada diri sendiri, dan melakukan diskusi mengenai idea maupun pemikiran pada orang lain. Proses belajar mengajar tidak mungkin dapat berlangsung dengan baik tanpa adanya keterlibatan indera pendengaran. Mendengar merupakan salah satu aktivitas dalam belajar. Penyampaian informasi, materi pelajaran secara lisan maupun komunikasi antara guru dan siswa pada saat berinteraksi di kelas tidak mungkin dapat dilakukan apabila siswa tidak menggunakan telinganya untuk mendengar. Guru harus membimbing siswa agar dalam proses pembelajaran, mereka dapat memanfaatkan indera pendengarannya secara maksimal sehingga kinerja telinga dan otak dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan hasil belajar yang sesuai dengan harapan.
16
Belajar auditori yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melalui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi, dapat diterapkan oleh guru pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Siswa yang memiliki cara belajar auditori harus diberikan suasana belajar yang mengajak mereka membicarakan apa yang sedang mereka pelajari dan mengikutsertakan keterlibatan indera pendengaran mereka secara aktif, tidak hanya sekedar duduk untuk mendengarkan penjelasan guru semata. Menurut De Porter et al. (2010: 123), siswa yang belajar secara auditori dapat dicirikan sebagai berikut: a. perhatiannya mudah terpecah b. berbicara dengan pola berirama c. belajar dengan cara mendengarkan, menggerakkan bibir/bersuara saat membaca d. berdialog secara internal maupun eksternal.
Dalam penerapannya diperlukan strategi belajar yang dapat merangsang saluran auditori. Beberapa strategi belajar secara auditori yang dikemukakan oleh Meier (2002: 96) terutama yang berhubungan dengan matematika di antaranya: a. Mintalah siswa untuk menguraikan kembali apa yang sudah mereka pelajari dengan kata-kata sendiri.
17
b. Mintalah siswa berpasang-pasangan mendiskusikan secara terperinci apa yang baru saja mereka pelajari dan bagaimana mereka akan menerapkannya. c. Mintalah siswa mempraktikkan suatu keterampilan atau memperagakan suatu konsep sambil mengucapkan secara terperinci apa yang sedang mereka kerjakan. d. Mintalah siswa untuk membentuk kelompok dan berbicara pada saat mereka menyusun pemecahan masalah, membuat model matematis, mengumpulkan informasi, atau menciptakan makna-makna pengalaman belajar.
3. Visual Mata atau indera penglihatan memiliki peranan yang sangat penting dalam aktivitas sehari-hari, terutama yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran. Rose & Malcolm (dalam Yulianti, 2009: 32) menyatakan bukan hal yang mengejutkan jika mengkaji fakta bahwa 70% dari reseptor inderawi (sensori) tubuh manusia berada di mata. Visual mencakup melihat, menciptakan, dan mengintegrasikan segala macam citra. Meier dan Caskey (dalam Meier, 2002: 97) pernah menelaah tentang pengaruh pencitraan mental dalam belajar. Dari hasil penelaahan tersebut ditemukan bahwa orang-orang yang menggunakan pencitraan atau simbol untuk mempelajari informasi teknis dan ilmiah rata-rata memperoleh nilai 12% lebih baik untuk ingatan jangka pendek
18
dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan pencitraan, dan 26% lebih baik untuk ingatan jangka panjangnya. Hasil ini berlaku untuk setiap orang tanpa memandang usia, etnik, gender, atau cara belajar yang dipilih. Belajar visual berarti belajar dengan mengamati, menggambar, melukis, mendemonstrasikan media belajar dan alat peraga. Pada belajar visual siswa belajar paling baik jika mereka dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram, peta gagasan, icon, gambar, dan gambaran dari segala sesuatu ketika mereka sedang belajar. Menurut De Porter et al. (2010: 123), siswa yang belajar secara visual dapat dicirikan sebagai berikut: a. teratur dan memperhatikan segala sesuatu b. mengingat dengan gambar, lebih suka membaca daripada dibacakan c. membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh dan menangkap detail, mengingat apa yang dilihat.
Siswa visual biasanya banyak diam, mereka lebih suka dengan penyajian informasi yang runtun, serta mencatat apa yang disampaikan oleh guru. Menurut Rose & Malcolm (dalam Yulianti, 2009: 33), strategi yang ditempuh oleh siswa visual yaitu dengan membuat peta konsep. Peta konsep atau peta pembelajaran adalah cara dinamik untuk menangkap butir-butir pokok informasi yang signifikan. Mereka menggunakan format global atau umum, yang memungkinkan informasi ditunjukkan dalam cara
19
mirip seperti otak kita berfungsi, dalam berbagai arah secara serempak. Strategi lain yang dapat dilakukan untuk siswa visual di antaranya dengan memeragakan atau membuat benda tiga dimensi, dan memberi kode warna pada bahan pelajaran dengan menggunakan aneka warna.
4. Intellectual Intelektual adalah penciptaan makna dalam pikiran, sarana yang digunakan manusia untuk berpikir, menyatukan pengalaman, dan belajar. Intelektual juga berarti menggunakan kemampuan berpikir untuk mengaitkan seluruh makna yang diperoleh dari belajar. Suherman (2006: 53) mengungkapkan bahwa intelektual adalah bagian dari perenungan (tafakur), mencipta, memecahkan masalah, dan membangun makna. Kata intelektual menunjukkan apa yang dilakukan siswa dalam pikiran mereka secara
internal
ketika
mereka
menggunakan
kecerdasan
untuk
merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. Jadi, belajar intelektual adalah belajar dengan memecahkan masalah dan merenung. Intelektual siswa dalam belajar akan terlatih, apabila mereka diajak untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas seperti: memecahkan masalah, menganalisis pengalaman, melahirkan gagasan kreatif, mencari dan mengolah informasi, merumuskan pertanyaan, dan menerapkan gagasan baru pada saat belajar. Dengan membiasakan siswa melakukan aktivitas-
20
aktivitas tersebut, maka intelektual dan kemampuan pemecahan masalah mereka dapat terlatih dan berkembang secara optimal.
Kemudian, setelah dipaparkan mengenai model “SAVI” yang ditinjau dari unsur-unsurnya yaitu somatic, auditory, visual dan intellectual, selanjutnya adalah melakukan perencanaan langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Meier (2002: 106) menyatakan bahwa model “SAVI” dapat direncanakan dalam siklus pembelajaran empat tahap, yaitu: 1. Persiapan (kegiatan pendahuluan) Pada tahap ini guru membangkitkan minat siswa, memberikan perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang, dan menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar. Secara spesifik meliputi hal: a. memberikan sugesi positif b. memberikan pernyataan yang memberi manfaat kepada siswa c. memberikan tujuan yang jelas dan bermakna d. membangkitkan rasa ingin tahu e. menciptakan lingkungan fisik yang positif. f. menciptakan lingkungan emosional yang positif g. menciptakan lingkungan sosial yang positif h. menenangkan rasa takut i. menyingkirkan hambatan-hambatan belajar
21
j. banyak bertanya dan mengemukakan berbagai masalah k. merangsang rasa ingin tahu siswa l. mengajak pembelajar terlibat penuh sejak awal.
2. Penyampaian (kegiatan inti) Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa menemukan materi belajar yang baru dengan cara menarik, menyenangkan, relevan, melibatkan pancaindera, dan cocok untuk semua gaya belajar. Hal- hal yang dapat dilakukan guru: a. uji coba kolaboratif dan berbagi pengetahuan b. pengamatan fenomena dunia nyata c. pelibatan seluruh otak, seluruh tubuh d. presentasi interaktif e. grafik dan sarana yang presentasi brwarna-warni f. aneka macam cara untuk disesuaikan dengan seluruh gaya belajar g. proyek belajar berdasar kemitraan dan berdasar tim h. latihan menemukan (sendiri, berpasangan, berkelompok) i. pengalaman belajar di dunia nyata yang kontekstual j. pelatihan memecahkan masalah.
3. Pelatihan (kegiatan inti) Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara.
22
Secara spesifik, yang dilakukan guru yaitu: a. aktivitas pemrosesan siswa b. usaha aktif atau umpan balik atau renungan atau usaha kembali c. simulasi dunia-nyata d. permainan dalam belajar e. pelatihan aksi pembelajaran f. aktivitas pemecahan masalah g. refleksi dan artikulasi individu h. dialog berpasangan atau berkelompok i. pengajaran dan tinjauan kolaboratif j. aktivitas praktis membangun keterampilan k. mengajar balik.
4. Penampilan hasil (kegiatan penutup) Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa menerapkan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga hasil belajar akan melekat dan penampilan hasil akan terus meningkat. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah: a. penerapan dunia nyata dalam waktu yang segera b. penciptaan dan pelaksanaan rencana aksi c. aktivitas penguatan penerapan d. materi penguatan pascasesi
23
e. pelatihan terus menerus f. umpan balik dan evaluasi kinerja g. aktivitas dukungan kawan h. perubahan organisasi dan lingkungan yang mendukung.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis mengambil keputusan bahwa langkah-langkah pembelajaran yang direncanakan dalam penelitian ini adalah: 1. Persiapan (kegiatan pendahuluan) a. memberikan sugesi positif, b. memberikan tujuan yang jelas dan bermakna, c. menciptakan lingkungan sosial yang positif, d. merangsang rasa ingin tahu siswa. 2. Penyampaian (kegiatan inti) a. pengamatan fenomena dunia nyata, b. pelibatan seluruh otak, seluruh tubuh, c. presentasi interaktif, d. aneka macam cara untuk disesuaikan dengan seluruh gaya belajar, e. proyek belajar berdasar kemitraan dan berdasar tim, f. latihan menemukan (sendiri, berpasangan, berkelompok), g. pengalaman belajar di dunia nyata yang kontekstual, h. pelatihan memecahkan masalah.
24
3. Pelatihan (kegiatan inti) a. aktivitas pemecahan masalah, b. dialog berpasangan atau berkelompok. 4. Penampilan hasil (kegiatan penutup) a. penerapan dunia nyata dalam waktu yang segera, b. materi penguatan pascasesi, c. umpan balik dan evaluasi kinerja.
Kemudian dapat dikemukakan juga beberapa alasan yang melandasi perlunya diterapkan model pembelajaran “SAVI” dalam kegiatan belajar sehari-hari khususnya pembelajaran matematika, yaitu: 1. dapat terciptanya lingkungan yang positif (lingkungan yang tenang dan menggugah semangat), 2. melibatkan siswa sepenuhnya (aktif dan kreatif), 3. adanya kerja sama di antara siswa, 4. menggunakan metode mengajar yang bervariasi, 5. dapat menggunakan belajar kontekstual, dan 6. dapat menggunakan alat peraga.
C. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis 1. Masalah matematis Menurut Ruseffendi (dalam Rahmah, 2011: 26), masalah dalam matematika adalah sesuatu persoalan yang dapat diselesaikan tanpa
25
menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Suatu persoalan merupakan masalah apabila persoalan itu belum dikenal oleh siswa. Siswa harus mampu menyelesaikannya dan merupakan pemecahan masalah bagi siswa. Polya (dalam Rufaidah, 2009: 20) mengemukakan terdapat dua jenis masalah dalam matematika, yaitu: a. Masalah untuk menemukan, teoretis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk juga teka-teki di mana bagian utama untuk menyelesaikan masalah tipe ini adalah sebagai berikut: 1) Apakah yang dicari? 2) Bagaimana data yang diketahui? 3) Bagaimana syaratnya?
b. Masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu pertanyaan itu benar atau salah atau tidak kedua-duanya.
Berkenaan dengan jenis-jenis masalah, Hudojo (dalam Suhendra, 2005: 25) membagi masalah dalam matematika ke dalam enam jenis, yaitu: rutin, nonrutin, rutin terapan, rutin-nonterapan, nonrutin-terapan, dan nonrutin-nonterapan. Masing-masing jenis masalah tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Masalah rutin adalah masalah yang prosedur penyelesaiannya hanya sekedar mengulang, misalnya secara algoritmik.
26
b. Masalah nonrutin adalah masalah yang prosedur penyelesaiannya memerlukan perencanaan penyelesaian, tidak sekedar menggunakan rumus, teorema, atau dalil. c. Masalah rutin-terapan adalah masalah rutin yang dikaitkan dengan dunia nyata atau kehidupan sehari-hari, yang prosedur penyelesaiannya standar sebagaimana yang sudah diajarkan. d. Masalah rutin-nonterapan adalah masalah rutin yang lebih ke matematikanya daripada dikaitkan dengan dunia nyata atau kehidupan sehari-hari. e. Masalah nonrutin-terapan adalah masalah yang penyelesaiannya menurut perencanaan dengan mengaitkan dunia nyata atau kehidupan sehari-hari. f. Masalah nonrutin-nonterapan adalah masalah yang berkaitan murni tentang hubungan matematis.
Sedangkan menurut Matlin (dalam Suhendra, 2005: 28), berdasarkan strukturnya masalah dapat dibedakan menjadi masalah yang terdefinisi dengan baik (well-defined problem) dan masalah yang tidak terdefinisi dengan baik (ill-defined problem). Dengan rincian bahwa masalah yang terdefinisi dengan baik adalah situasi masalah yang pernyataan asli atau asal, tujuan, dan aturan-aturannya terspesifikasi. Sebaliknya masalah yang tidak terdefinisi dengan baik adalah masalah yang pernyataan asal, tujuan,
27
dan aturan-aturannya tidak jelas sehingga tidak memiliki cara sistematik untuk menemukan solusi. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa masalah bagi seorang siswa itu bersifat relative, artinya yaitu suatu masalah bagi siswa yang satu belum tentu merupakan masalah bagi siswa lainnya. Sehingga boleh jadi suatu masalah bagi siswa yang satu merupakan suatu masalah rutin biasa bagi siswa lainnya yang tidak mengetahui permasalahan tersebut, maka permasalahan itu merupakan permasalahan non-rutin.
2. Pemecahan Masalah Matematis Menurut Sumarmo (dalam Rufaidah, 2009: 21), pemecahan masalah adalah dapat berupa mencipta idea baru atau menemukan teknik/produk baru. Sedangkan menurut Hudoyo (dalam Rufaidah, 2009: 21), suatu pertanyaan merupakan suatu permasalahan bila pertanyaan itu tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin, sedangkan pemecahan masalah adalah proses penerimaan tantangan dan kerja untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jacob (2000: 3) menyatakan bahwa pentingnya pemecahan masalah merupakan rekomendasi dari The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan fokus pada matematika sekolah. Oleh karena itu, Jacob (2010: 2) pun mengungkapkan bahwa pemecahan masalah memiliki suatu kepentingan dalam studi matematika di mana tujuan utama dari mengajar
28
dan belajar matematika adalah untuk mengembangkan kemampuan menyelesaikan berbagai masalah matematika kompleks yang mendalam. Menurut Jacob (2010: 8), pengajaran matematika pun dapat didesain sedemikian sehingga pengalaman matematika siswa sebagai pemecahan masalah. Berkenaan dengan pengertian pemecahan masalah (problem solving) Branca (dalam Suhendra, 2005: 42) mengungkapkan tiga interpretasi umum tentang pemecahan masalah, yaitu: a. Pemecahan masalah sebagai tujuan Pemecahan masalah sebagai tujuan menyangkut alasan mengapa matematika itu diajarkan dan apa tujuan pengajaran matematika. Dalam interpretasi ini, pemecahan masalah bebas dari masalah khusus, prosedur atau metode dan konten matematika. Yang menjadi pertimbangan utama adalah belajar bagaimana memecahkan masalah, merupakan alasan utama untuk belajar matematika. Selanjutnya, Sumarmo (dalam Atun, 2006: 37) merumuskan indikator kemampuan pemecahan masalah sebagai tujuan dengan indikator sebagai berikut: a. Mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah. b. Membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah seharihari dan menyelesaikannya. c. Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika.
29
d. Menjelaskan
atau
menginterpretasikan
hasil
sesuai
dengan
permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban. e. Menerapkan matematika secara bermakna.
b. Pemecahan masalah sebagai proses Pemecahan masalah sebagai proses muncul dari interpretasinya sebagai proses dinamis dan terus menerus. The National Council of Supervisors of Mathematics mendefinisikan pemecahan masalah sebagai proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru dan tak dikenal. Yang menjadi pertimbangan utama dalam hal ini adalah metode,prosedur, strategi, dan heuristik yang siswa gunakan dalam memecahkan masalah.
c. Pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar Pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar, menyangkut dua pengertian yang banyak digunakan yaitu: (1) keterampilan minimal yang harus dimiliki siswa dalam matematika, dan (2) keterampilan minimal yang diperlukan seseorang agar dapat menjalankan fungsinya dalam masyarakat.
Setelah diketahui pengertian pemecahan masalah, selanjutnya adalah mengetahui langkah-langkah atau cara yang harus ditempuh dalam
30
menyelesaikan masalah. Polya (dalam Rahmah, 2011: 28) merinci langkah-langkah dalam pemecahan masalah yaitu sebagai berikut. a. Memahami masalah (understanding problem); dalam tahap ini siswa harus dapat menentukan data-data yang diketahui, data apa yang dapat diketahui dari data yang sudah ada, dan hal apa yang ditanyakan. b. Merencanakan pemecahan masalah (divising a plan); dalam tahap ini siswa
menentukan
strategi
apa
yang
akan
digunakan
dalam
penyelesaian masalah, untuk menentukan hal tersebut diperlukan adanya aturan-aturan yang dibuat sendiri oleh siswa selama proses pemecahan masalah berlangsung, sehingga dapat dipastikan tidak ada satu pun alternatif solusi yang terabaikan. c. Melaksanakan proses penyelesaian masalah tersebut sesuai dengan rencana yang telah disusun (carrying out the plan). d. Memeriksa hasil yang diperoleh (looking back).
Sehingga implikasi dari pemecahan masalah matematis adalah matematika sebagai pemecah masalah. Hal ini sesuai dengan hakikat tujuan pendidikan itu sendiri dan pemecahan masalah sebagai salah satu tujuan dari pembelajaran matematika, sehingga aspek kemampuan pemecahan masalah matematis perlu untuk diperhatikan. Oleh karena itulah siswa perlu dibiasakan dalam pemecahan masalah. Hal ini dimaksudkan agar tercapainya tujuan dari pembelajaran matematika khususnya serta tujuan dari pendidikan itu sendiri pada umumnya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka dalam penelitian ini digunakan model “SAVI” sebagai alat dalam mencapai tujuan
31
yang diharapkan, yaitu meningkatnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Hal ini dikarenakan dalam model “SAVI”, masalah dapat dijadikan penggugah rasa ingin tahu dan minat dalam belajar. Sehingga siswa dibiasakan untuk menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada akhirnya. Jadi interpretasi pemecahan masalah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pemecahan masalah sebagai tujuan.
D. Teori Belajar yang Mendukung Teori belajar yang mendukung model pembelajaran “SAVI” adalah aliran psikologi tingkah laku yang dikemukakan oleh Gagne. Menurut Gagne (dalam Yulianti, 2009: 33), dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan. Sedangkan objek tak langsung antara lain: kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika dan mengetahui bagaimana semestinya belajar. Berbeda dengan taksonomi Bloom yang mengelompokkan hasil belajar menjadi tiga ranah yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik, Gagne (dalam Yulianti, 2009: 36) mengemukakan lima macam pengelompokkan hasil belajar yang meliputi: keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, informasi verbal, dan keterampilan motorik. Belajar oleh Gagne (dalam Yulianti, 2009: 36) dikelompokkan menjadi delapan tipe belajar, yaitu: isyarat (signal), stimulus respons, rangkaian gerak (motor chaining), rangkaian verbal (verbal chaining), memperbedakan
32
(discrimination learning), pembentukan konsep (concept formation), pembentukan aturan (principle formation), dan pemecahan masalah (problem solving). Kedelapan tipe belajar tersebut terturut kesukarannya dari yang paling sederhana (belajar signal) sampai kepada yang paling kompleks (problem solving). Dari kedelapan tipe belajar yang diungkapkan oleh Gagne, yang berkaitan erat dengan model pembelajaran “SAVI” adalah stimulus respons, rangkaian gerak, rangkaian verbal dan pemecahan masalah. Stimulus respons merupakan kondisi belajar yang ada niat diniati dan responsnya jasmaniah. Contohnya siswa meniru tulisan guru di papan tulis. Rangkaian gerak adalah perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka stimulus respons. Contohnya siswa melukis lingkaran dengan menggunakan jangka. Rangkaian verbal adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka stimulus respons. Contohnya adalah menyatakan atau mengemukakan pendapat tentang konsep, simbol, definisi, aksioma, dalil, dan lain-lain. Sedangkan pemecahan masalah adalah tipe belajar paling tinggi dan biasanya ada lima langkah yang harus dilakukan, yaitu: (a) menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas; (b) menyatakan masalah dalam bentuk yang lebih operasional; (c) menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik; (d) mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya; (e) mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh.
33
E. Hasil Penelitian yang Relevan Hasil penelitian Yulianti (2009) terhadap siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Bandung menunjukkan bahwa penerapan model “SAVI” pada pembelajaran Kubus dan Balok dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Sebagian besar siswa juga menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model “SAVI” yang telah dilakukan karena sebagian besar siswa berpendapat bahwa pembelajaran matematika dengan model “SAVI” menarik dan tidak membosankan, berbeda dengan pembelajaran yang lain, mereka merasa senang karena terdapat diskusi kelompok yang menyebabkan belajar lebih efektif dan memudahkan mereka dalam memahami konsep matematis yang sedang dipelajari.