18
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep- konsep dan defenisi 2.1.1
Kesejahteraan
2.1.1.1 Defenisi Kesejahteraan Kesejahteraan adalah keamananan dan keselamatan hidup. Kesejahteraan telah termasuk kemakmuran hidup, yaitu keadaaan yang menunjukkan keadaan orang hidup aman dan tenteram serta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya ( Etzioni, 1999). Kesejahteraan sosial dapat didefenisikan sebagai suatu kondisi kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai dengan standar kelayakan hidup yang dipersepsi masyarakat (Swasono, 2004). Tingkat kelayakan hidup dipahami secara relatif oleh berbagai kalangan dan latar belakang budaya, mengingat tingkat kelayakan ditentukan oleh persepsi normatif suatu masyarakat atas kondisi sosial, material, dan psikologis tertentu. 2.1.1.2 Faktor Penentu Kesejahteraan Pigou dan Sasana (2009), menjelaskan teori ekonomi kesejahteraan merupakan bagian dari kesejahteraan sosial yang dapat dikaitkan secara langsung maupun tidak langsung dengan pengukuran uang. Pada sisi lain kesejahteraan sosial merupakan sistem suatu bangsa tentang manfaat dan jasa untuk membantu masyarakat guna memperoleh kebutuhan social, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang penting bagi kelangsungan masyarakat (Whithaker dan Federico dalam Sasana 2009). Sejalan dengan hal tersebut Segel dan Bruzy dalam
19
Widyastuti (2012), juga menjelaskan bahwa kesejahteraan dapat diukur dari kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan dan kualitas hidup rakyat. . Kesejahteraan masyarakat menengah bawa dapat direpresentasikan dari tingkat hidup masyarakat yang ditandai dengan terentasnya dari kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta produktivitas masyarakat (Todaro, 2000). Sejalan dengan Todaro, UNDP (United Nation for Development Program ) mengembangkan sebuah indeks pengukuran pembangunan yang dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks). Nilai IPM oleh Todaro (2000) diukur berdasarkan tiga indikator sebagi acauan yaitu pendapatan riil kapita, tingkat melek huruf dan tingkat harapan hidup 2.1.1.3 Konsep dan Indikator Kesejahteraan Konsep sejahtera menurut BKKBN, dirumuskan lebih luas daripada sekedar definisi kemakmuran ataupun kebahagiaan. Konsep sejahtera tidak hanya mengacu pada pemenuhan kebutuhan fisik orang ataupun keluarga sebagai entitas, tetapi juga kebutuhan psikologisnya. Ada tiga kelompok kebutuhan yang harus terpenuhi, yaitu: kebutuhan dasar, sosial, dan kebutuhan pengembangan. Apabila hanya satu kebutuhan saja yang dapat dipenuhi oleh keluarga, misalnya kebutuhan dasar, maka keluarga tersebut belum dapat dikatakan sejahtera menurut konsep ini.
Konsep kesejahteraan tidak terlepas dari kualitas hidup masyarakat
(Widyastuti, 2012). Indikator yang paling sering digunakan dalam mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk suatu negara adalah pendapatan perkapita (Supartono dkk, 2011). Namun demikian, pengukuran tingkat
20
kesejahteraan yang hanya menggunakan peningkatan pendapatan per kapita banyak mengandung kelemahan dimana pada kenyataannya kondisi kesejahteraan tidak menggambarkan kelompok masyarakat yang paling relative miskin (Todaro,2000) Pembangunan kesejahteraan keluarga mencakup 13 variabel, seperti: pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, agama, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan, transportasi, tabungan, informasi dan peranan dalam masyarakat. Selain itu, BKKBN menetapkan 5 (lima) tahapan Keluarga Sejahtera menurut pemenuhan kebutuhan, yaitu: Pra Sejahtera, Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III Plus. Kesejahteraan
pelaku
UMKM
akan
meningkat
dengan
meningkatkan
pemberdayaan pelaku UMKM tersebut. Keberhasilan pelaku UMKM dalam mencapai tujuannya dapat diukur dari peningkatan kesejahteraan hidupnya. Kesejahteraan bermakna sangat luas dan juga bersifat relatif, karena ukuran sejahtera bagi seseorang dapat berbeda satu sama lain. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas, karena itu kesejahteraan akan terus dikejar tanpa batas. Keberhasilan pelaku UMKM dalam meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi hidupnya akan lebih mudah diukur, apabila aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh pelaku UMKM dilakukan melalui usahanya. Dalam pengertian ekonomi, tingkat kesejahteraan itu dapat ditandai dengan tinggi rendahnya pendapatan riil. Apabila pendapatan riil seseorang atau masyarakat meningkat, maka kesejahteraan ekonomi seseorang atau masyarakat tersebut meningkat pula. Sejalan dengan hal itu, maka apabila tujuan pelaku UMKM
21
adalah meningkatkan kesejahteraan hidupnya, maka berarti pula tujuan pelaku UMKM tersebut diwujudkan dalam bentuk meningkatnya pendapatan riil .
2.1.2 Kinerja 2.1.2.1 Defenisi Kinerja Kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan oleh para cendekiawan sebagai “penampilan”, “unjuk kerja”, atau “prestasi” (Keban, 2004). Menurut Jauch dan Glueck (1988) dalam Rahayu (2009) Kinerja adalah merujuk ada tingkat pencapaian atau prestasi dari perusahaan dalam periode waktu tertentu. Kinerja sebuah perusahaan adalah hal yang sangat menentukan dalam perkembangan perusahaan. Tujuan perusahaan yang terdiri dari tetap berdiri atau eksis (Survive), untuk meperoleh laba (Benefit), dan dapat berkembang (Growth), dapat tercapai apabila perusahaan tersebut mempunyai performa yang baik. Kinerja (Performance) perusahaan dapat dilihat dari tingkat penjualan, tingkat keuntungan, pengembalian modal, tingkat turn over dan pangsa pasar yang diraihnya. Kinerja perusahaan secara umum dan keunggulan kompetitif merupakan tolak ukur tingkat keberhasilan dan perkembangan perusahaan kecil. Pengukuran terhadap pengembalian investasi, pertumbuhan, volume, laba dan tenaga kerja pada perusahaan umum dilakukan untuk mengeathui kinerja perusahaan (Jeaning dan Beaver, 1997).
22
2.1.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Menurut Ruky dalam Hessel (2005), mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap tingkat pencapaian kinerja organisasi sebagai berikut : teknologi, kualitas input atau material, kualitas lingkungan fisik, budaya
organisasi,
kepemimpinan,
pengelolaan
sumber
daya
manusia.
Atmosoeprapto dalam Hessel (2005), mengemukakan bahwa kinerja suatu organisasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal berikut ini : 1) Faktor eksternal yang terdiri dari : a)
Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan
kekuasaan Negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan mempengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal. b) Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar. c)
Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di tengah masyarakat,
yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi. 2) Faktor internal yang terdiri dari : a) Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin diproduksi oleh suatu organisasi. b) Struktur organisasi, sebagai desain antara fungsi yang akan dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada.
23
c) Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota organisasi sebagai penggerak jalanya organisasi secara keseluruhan. d) Budaya organisasi, yaitu gaya identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.
2.1.2.3 Pengukuran dan Indikator Kinerja Menurut Robertson dalam Mahsun (2006), pengukuran kinerja (performance measurement) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas : efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan) hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Elemen pokok pengukuran kinerja menurut Mahsun (2006 ) adalah sebagai berikut : 1) Menetapkan tujuan, sasaran, dan strategi organisasi 2) Merumuskan indikator dan ukuran kinerja 3) Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi 4) Evaluasi kinerja Kinerja perusahaan adalah hasil dari banyak keputusan individu yang dibuat secara terus menerus oleh manajemen (Helfert, 1996). Untuk mengukur kinerja perusahaa, Kotler (1991) menyarankan agar didasarkan pada ROI bukan pada margin laba/profit. Soetjipto (1997) menyebutkan bahwa untuk mengukur
24
kinerja bisnis, dapat dilakukan dengan “balanced score card” (BSC). Sejalan dengan pandangan di atas, Baswir (1995) menambahkan bahwa ada 4 faktor penyebab utama rendahnya kinerja usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia yaitu: 1) Hampir 60% usaha kecil masih menggunakan teknologi tradisional 2) Pangsa pasar cendrung menurun karena kekurangan modal, lemahnya teknologi dan manajerial; 3) Sebagian besar usaha kecil tidak mampu memenuhi persyaratan administratif guna memperoleh bantuan dari Bank 4) Tingkat ketergantungan terhadap fasilitas pemerintah cendrung sangat besar. Indikator kinerja dan ukuran kinerja ini sangat dibutuhkan untuk menilai tingkat ketercapaian tujuan, sasaran, dan strategi. Mohammad Mahsun (2006) definisi indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Seperti untuk mengetahui pertumbuhan penjualan. modal, tenaga kerja, pasar dan laba. Menurut Lohman dalam Mahsun (2006) indikator kinerja (performance indicators) adalah suatu variabel
yang digunakan untuk
mengekspresikan secara kuantitatif efektivitas dan efisiensi proses atau operasi dengan berpedoman pada target-target dan tujuan organisasi. Menurut Lenvinne dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005) mengemukakan indikator kinerja adalah Responsiveness, Responsibilit, accountability
25
2.1.3 Pemberdayaan 2.1.3.1 Defenisi Pemberdayaan Pemberdayaan
adalah
terjemahan
dari
empowerment,
sedang
memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary dalam Hutomo (2000), kata empower mengandung dua pengertian, yaitu: 1) To give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain 2) To give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan. Menurut
Pranaka
dan
Moeljarto
(1996)
menjelaskan
bahwa
pemberdayaan atau dikenal dengan empowerment adalah sebuah konsep yang lahir dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat khususnya Eropa. Untuk memahami konsep empowerment secara tepat, memerlukan upaya pemahaman latar belakang konstekstual yang melahirkannya. Pemberdayaan (empowerment) pada dasarnya mengacu pada usaha menumbuhkan keinginan kepada seseorang dan pemberian peluang serta kesempatan bagi bawahan untuk mengaktualisasikan diri, meningkatkan potensi dan kemampuan yang dimiliki, serta memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang merasa berdaya Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil memberikan defenisi tentang pemberdayaan sebagai berikut : “ pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah,dunia usaha dan masyarakat dalam bentuk
26
penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga usaha kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Pemberdayaan masyarakat seharusnya mempunyai nilai kesetaraan, bahwa masyarakat juga harus diberi kesempatan dalam proses pengambilan keputusan mulai dari tahap identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat dapat memelihara keberlanjutan kegiatan dan dapat mempertanggungjawabkan secara terbuka apa yang telah diputuskan bersama. Shardlow (1998) mengatakan pada intinya : “pemberdayaan membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka” Pemberdayaan dapat diartikan sebagai usaha untuk memberi atau meningkatkan kemampuan seseorang, kelompok atau masyarakat. Konsep ini sering ditafsirkan berbeda oleh tiap orang, karena perbedaan sudut pandang Simanjuntak (1985) menerangkan bahwa perlunya memberdayakan sumber daya manusia dilatar belakangi oleh empat hal, yaitu: 1) Melalui upaya pembangunan, potensi sumber daya manusia diarahkan menjadi kekuatan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan pertahanan keamanan yang nyata, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki kemampuan , memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan manajemen. 2)
Sumber daya manusia dipandang sebagai unsur yang sangat menentukan dalam proses pembangunan, terutama di negara-negara yang sedang
27
berkembang. Hal ini berkaitan dengan pengalaman Negara industri baru menunjukkan bahwa pertumbuhan bersumber dari pertumbuhan masyarakat (efisiensi) yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas. 3) Adanya anggapan bahwa sumber daya manusia lebih penting daripada sumber daya alam. Menurut pendapat ini, negara yang miskin sumber daya alamnya, tetapi tinggi tingkat kualitas sumber daya manusianya sehingga lebih maju daripada negara yang kaya sumber daya alamnya akan tetapi kurang mementingkan sumber daya manusianya. 4) Pada pembangunan jangka panjang I pembangunan lebih dititik beratkan pada pemanfaatan sumber daya alam, sedangkan dalam pembangunan jangka panjang II perlu diadakan penyempurnaan. Menurut Randy dan Riant Nugroho (2007)
pemberdayaan pada
dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai sumber daya pembangunan agar mampu mengenali permasalahan yang dihadapai dalam mengembangkan dan monolong diri menuju keadaaan yang lebih baik , mampu menggali dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu mengekseistensikan diri secara jelas dengan mendapatkan manfaat darinya. Pemberdayaan adalah sebuah "proses menjadi", bukanlah sebuah "proses instan". Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu penyadaran, pengkapasitasa, dan pendayaan lebih lanjut dapat digambarkan sebagai berikut :
28
Gambar 2.1 Tahapan Pemberdayaan
Penyadaran
Pengkapasitasan
Pendayaan
Sumber: Randy Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto (2007)
1) Tahap Penyadaran: Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi "pencerahan" dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai "sesuatu".
Program-program yang dapat dilakukan pada tahap ini
misalnya memberikan pengetahuan yang bersifat kognisi, belief dan healing. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu (membangun"demand") diberdayakan, dan proses pemberdayaan itu dimulai dari diri mereka sendiri. Pada tahap ini pelaku UMKM dibuat mengerti bahwa pemberdayaan itu berasal dari diri mereka sendiri. Diupayakan pula agar pelaku UMKM ini mendapat cukup informasi. Melalui
sosialisasi (pengenalan) maka
informasi yang aktual dan akurat terjadi proses penyadaran secara ilmiah. Proses ini dapat dipercepat dan dirasionalkan hasilnya dengan hadirnya upaya pendampingan dari pemerintah atau pihak lainnya.
29
2) Tahap Pengkapasitasan. Disebut "capacity building" atau memampukan. Untuk diberikan daya atau kuasa yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu. Misalnya, sebelum memberikan otonomi daerah, seharusnya daerah-daerah yang hendak otonomkan diberi program kemampuan atau capacity building untuk membuat mereka cakap dalam mengelola otonomi yang diberikan. Proses capacity building terdiri dari tiga jenis, yaitu manusia, organisasi, dan sistim nilai. Tujuan dari tahap ini adalah memampukan pelaku UMKM sehingga mereka memiliki ketrampilan untuk mengelola peluang yang diberikan. Pada tahap ini dilakukan dengan memberikan pelatihan, lokakarya dan kegiatan yang sejenis yang bertujuan untuk meningkatkan life skill peserta UMKM. Dalam tahap ini sekalikus diperkenalkan dan dibukakan akses kepada sumber kunci yang berada diluar komunitasnya sebagai jembatan mewujudkan harapan dan eksistensi dirinya. Selain memampukan peserta UMKM baik secara individual maupun kelompok proses memampukan juga menyangkut organisasi dan sisitem nilai. Pengkapasitasan melalui restrukturisasi organisasi pelaksana sedangakan pengkapasitasan sistem nilai terkait dengan” aturan main” yang akan digunakan dalam mengelola peluang 3)Tahap Pendayaan atau "empowerment" dalam makna sempit. Pada tahap ini, kepada pelaku UMKM diberikan pelatihan, daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki melalui partisipasi aktif
dan berkelanjutan yang ditempuh dengan
memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk melakukan self
30
evolution terhadap pilihan dan hail pelaksanaan atas pilihan. Pemberian pelatihan ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki.
2.1.3.2 Konsep Pemberdayaan Konsep pemberdayaan masyarakat menurut Pranaka dan Priyono (1996) dapat dilakukan dalam 3 (tiga) fase, yaitu fase inisial, fase partisipatoris, dan fase emansipatoris. 1)
Fase inisial, semua proses pembedayaan berasal dari pemerintah, oleh pemerintah dan diperuntukan bagi masyarakat. Pada fase ini masyarakat bersifat pasif, melaksanakan apa yang direncanakan pemerintah dan tetap tergantung kepada pemerintah.
2)
Fase partisipatoris, proses pemberdayaan berasal dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, dan diperuntukan bagi masyarakat. Pada fase ini masyarakat sudah dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembangunan untuk menuju kemandirian.
3)
Fase emansipatoris, proses pemberdayaan berasal dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat dengan dukungan oleh pemerintah. Pada fase ini masyarakat sudah menemukan kekuatan dirinya, sehingga dapat melakukan kekuatan dirinya, sehingga dapat melakukan pembaharuan dalam mengaktualisasikan diri. Menurut Kartasasmita (1996), konesp pemberdayaan ekonomi rakyat
adalah “Upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat untuk meningkatkan produktivitas rakyat sehingga, baik
31
sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat, dapat ditingkatkan produktivitasnya”. Dari berbagai pandangan mengenai konsep pemberdayaan, maka dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek kebijakannya. Pemberdayaan memuat dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan politik namun mempunyai arti luas yang merupakan penguasaan masyarakat atas: a) Power over personal choices and life chances, b) Power over the definition of need, c) Power over ideas, d) Power over institutions, e) Power over resources, f) Power over economic activity, g) Power over reproduction
2.1.3.3 Indikator Pemberdayaan Pemberdayaan dapat diartikan sebagai tujuan dan proses. Sebagai tujuan,pemberdayaan adalah suatu keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat yang memiliki kekuatan atau kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada kemandirian sesuai dengan tipe-tipe kekuasaan yang disebutkan sebelumnya. Menurut Suharto (2005), pemberdayaan sebagai proses memiliki lima indikator yaitu:
32
1) Enabling adalah menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat struktural dan kultural yang menghambat 2) Empowering adalah penguatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat
dalam
memecahkan
masalah
dan
memenuhi
kebutuhan
kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian 3) Protecting yaitu melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok-kelompok kuat dan dominan, menghindari persaingan yang tidak seimbang, mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap yang lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan masyarakat kecil. Pemberdayaan harus melindungi kelompok lemah, minoritas dan masyarakat terasing 4) Supporting yaitu pemberian bimbingan dan dukungan kepada masyarakat lemah
agar
mampu
menjalankan
peran
dan
fungsi
kehidupannya.
Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan 5) Fostering yaitu memelihara kondisi kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keseimbangan dan keselarasan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan usaha.
33
2.1.3.4 Pendekatan Pemberdayaan Proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan. Parsons, et al., (1994) menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literature yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu lawan satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan. Walaupun pemberdayaan ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan.
Meskipun
demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Untuk beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual, walaupun pada akhirnya strategi ini tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya. Karenanya, dalam konteks pekerjaan sosial,
pemberdayaan dapat
dilakukan melalui tiga pendekatan : mikro, mezzo dan makro. 1) Pendekatan Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis invention. Tujuan utamanya adalah memberi bimbingan atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach). 2) Pendekatan Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan ini dilaksanakan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi.
34
Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, ketrampilan dan sikapsikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. 3) Pendekatan Makro Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada system lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk melakukan tindakan
2.1.3.5 Defenisi dan Kriteria Usaha Mikro Kecil dan Mengah Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah pada dasarnya mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan Usaha Mikro, adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Sedangkan Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dari
35
Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Pengertian Usaha
Menengah adalah usaha ekonomi yang produktif yang berdiri sendiri , yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung mauapun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Tabel 2.1 Kriteria Usaha Mikro, Keci dan Menengah No 1
Berdasarkan UU No.20 Thn 2008
Usaha Mikro Aset > 50 juta Omset > 300 juta
Usaha Kecil Usaha Menegah Aset 50-100 juta Aset 500-10 M Omset 300-2,5M Omset 2.5M-50M
2
BPS
3
BI
Pekerja maksiml 5 Pekerja 5-10 orang termasuk orang keluarga Aset > 50 juta Aset > 200juta Omset > 500 juta Omset > 1 Millar
Aset > 3 Milliar Omset > 5milliar
4
Bank Dunia
Pekerja minimal 10 orang Aset > $100 ribu Omset > $100 ribu
Pekerja minimal 50 orang Aset > $3 juta Omset >$3 juta
Pekerja minimal 300 orang Aset > $15 juta Omset >$ 15 juta
5
Menurut Staley & Morse
Pekerja 1-9 orang
Pekerja 10- 49 orang
Pekerja 50-99 orang
Pekerja 5-99 orang
Sumber: Olahan Peneliti 2015
Usaha mikro memiliki karakteristik yang khas, berdasarkan survey Kuncoro (2009) adalah sebagai berikut: 1) Jenis barang usahannya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti 2) Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat
36
3) Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha. 4) SDM nya belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai. 5) Tingkat pendidikannya rata-rata relative rendah. 6) Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank. 7) Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP Kokotiasa (2002) mengungkapkan beberapa hal yang perlu digaris bawahi agar UMKM sebagai basis perekonomian rakyat tetap eksis, maka harus diperhatikan melalui usaha-usaha yang dapat membangkitkan gairah kerja melalui antara yaitu: kemitraan, restrukturisasi utang UKM, pemberian Manajemen sederhan bagi UKM, pengenalan teknologi, dan kemampuan asosiasi UKM.
2.1.3.6 Pemberdayaan UMKM Peran strategis UMKM memerlukan adanya pemberdayaan UMKM agar mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya. Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,
37
Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro,
Kecil,
dan
Menengah
melalui
pemberian
fasilitas
bimbingan
pendampingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pemberdayaan
UMKM
diselenggarakan
sebagai
kesatuan
dan
pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Dengan dilandasi dengan asas kekeluargaan, upaya pemberdayaan UMKM merupakan bagian dari perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Prinsip Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU No. 20/2008) adalah: 1) Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri. 2) Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan. 3) Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 4) Peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 5) Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu. Sedangkan Tujuan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU No. 20/2008) adalah: 1) Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan.
38
2) Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri 3) Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Sijabat (2000), penelitian mengatakan upaya pemberdayaan UMKM bukanlah suatu komitmen kebijakan jangka pendek, tetapi merupakan proses politik jangka panjang. Dalam upaya mendorong percepatan proses pemberdayaan UMKM selama era reformasi juga terlihat sudah cukup banyak isu politik yang seharusnya dapat mempercepat proses pemberdayaan koperasi dan UKM.
2.2
Teori- teori yang relevan
2.2.1
Teori Kesejahteraan Dalam teori ekonomi konsep kesejahteraan masyarakat dikenal sebagai
ekonomi kesejahteraan (walfare economics) . Sen (2002), yang pada hakekatnya menjelaskan faktor-faktor produksi serta barang dan jasa dalam suatu perekonomian kepada semua masyarakat atau menjelaskan interaksi ekonomi yang ingin mencari kondisi bagi pemanfaatan sumber daya secara efisien. Mekanisme pasar diyakini mampu menjadi alat distribusi kesejahteraan melalui mekanisme pertukaran. Lewat pertukaran tersebut terjadi distribusi kekayaan dan atau pendapatan dengan pembayaran atau penggunaan faktor produksi atau pembelian barang dan jasa dengan asumsi proses tercapainya keseimbangan tersebut berlangsung dalam suatu pasar yang terisolasi dari pasar lainnya atau
39
perekonomiannya hanya terdiri dari pelaku ekonomi (Raharja,1999). Jadi perekonomian telah berjalan secara efisien bila terjadi mekanisme pertukaran yang efisien (efficiency in exchange) dan produksi berjalan efisien (efficiency in production). Menurut Sukirno (2006), kesejahteraan mempunyai makna yang luas, tidak hanya dikaitkan dengan pendapatan dan konsumsi terapi juga asset. Artinya kesejahteraan tidak hanya berfokus kepada konsumsi barang dan jasa tetapi juga akses kepada asset kekayaan dan sosial. Kesejahteraan masyarakat merupakan suatu hal yang besifat subjektif. Artinya tiap orang mempunyai pandangan hidup. Tujuan hidup dan cara-cara hidup yang berbeda dan dengan demikian member nilai-nilai yang berbeda terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan mansyarakat.
2.2.2
Teori Human Capital Investasi sumber daya manusia diperoleh dengan mengeluarkan sejumlah
dana serta kesempatan untuk menciptakan penghasilan selama proses investasi (Atmanti, 2005). Tingkat penghasilan sebagai imbalan selama proses investasi yang diharapkan adalah tingkat penghasilan yang lebih tinggi. Investasi yang tergambar tersebut dikatakan Human Capital (Simanjuntak dalam Atmanti,2005) Human Capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, ketrampilan, inovasi dan kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya sehingga dapat menciptakan suatu nilai untuk mencapai tujuan (Ongkoraharjo, 2008).
40
Human Capital juga didefinisikan oleh Hudson dan Juwita (2007) sebagai bakat, pendidikan, pengalaman, sikap dalam hidup dan bisnis. Asumsi dasar teori Human Capital bahwa melalui peningkatan pendidikan, seseorang dapat meningkatkan penghasilannya (Atmanti, 2005). Pendidikan dapat mengubah pola pikir seseorang, dimana dengan pendidikan seseorang mendapatkan banyak pengetahuan, ilmu dan informasi yang terus berkembang. Sulistiawati (2012) menyebutkan bahwa pendidikan merupakan salah satu factor yang menentukan produktivitas. Bila sumber daya manusia diberdayagunakan secara efisien sebagai salah satu faktor, akan mampu meningkatkan produktivitas. Produktivitas akan menciptakan pendapatan yang meningkatkan daya beli seseorang. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa kesejahteraan seseorang akan tercapai jika orang tersebut mampu meningkatkan pendapatannya.
2.2.3
Teori Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi dapat dipahami sebagai upaya melakukan
perubahan dalam pengembangan yang lebih baik dari sebelumnya yang ditandai dengan membaiknya faktor – faktor produksi. Faktor – faktor produksi tersebut adalah kesempatan kerja, investasi dan teknologi yang digunakan. Membaiknya ekonomi suatu wilayah diperlihatkan dengan membaiknya tingkat konsumsi masyarakat, investasi swasta, investasi publik, ekspor dan impor yang dihasilkan oleh suatu Negara (Menteri permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003). Pembangunan dapat dipandang sebagai suatu proses transisi multi dimensi yang mencerminkan hubungan antar berbagai proses perubahan di dalam
41
suatu negara, dimana proses perubahan multidimensional tersebut ditandai oleh proses tranformasi struktural. Menurut Stimson dan Stough (2006), proses transformasi struktural tersebut ditandai dengan perubahan struktur ekonomi yang dicerminkan oleh perubahan kontribusi sektoral (shift – share) di dalam pendapatan
nasional.
Proses
transformasi
struktural
itu
sendiri
dapat
dikelompokkan dalam empat proses utama yaitu : (1) proses akumulasi, (2) proses alokasi, (3) proses distribusi dan (4) proses demografis. Pembangunan Ekonomi bersifat multidimensi yang mencakup berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat dan bukan hanya salah satu aspek ekonomi saja. Pembangunan ekonomi diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh suatu Negara dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Atau dapat dikatakan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu Negara dalam kurun waktu lama (jangka panjang) disertai perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 2010). Paham pembangunan ekonomi menekankan produk per kapita dan pendapatan per kapita. Produk per kapita dan pendapatan per kapita inilah yang dijadikan ukuran tingkat hidup dalam mayarakat. Karena itu era tahun lima puluhan pengertian pembangunan ini terbatas pada proses kenaikan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita, atau proses pembangunan itu terbatas pada bidang ekonomi atau titik beratnya pada bidang ekonomi. Oleh karena itu, dalam proses pembangunan setiap negara, pertumbuhan pendapatan dan pendapatan per kapita ini selalu dimonitor. Kemudian istilah pembangunan dewasa ini semakin berkembang laksana mukjizat. Pembangunan mengandung begitu banyak makna,
42
mempunyai fungsi ganda, menimbulkan banyak harapan, tapi juga membawa perdebatan yang tak habis-habisnya di kalangan masyarakat yang semakin meluas
2.3
Keaslian Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, maka pengacuan kepada penelitian
sebelumnya sangatlah diperlukan. Hal ini bertujuan sebagai dasar yang kuat dalam penyajian materi, pemantapan variable maupun konsep-konsep yang dipakai peneliti. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Penelitian selanjutnya dilakukan oleh dilakukan Ardiana dkk, (2010) tentang Kompetensi SDM UKM dan pengaruhnya terhadap Kinerja UKM di Surabaya memberi kesimpulan. Dari hasil analisa data diketemukan bahwa kompetensi yang terdiri dari pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja UKM di Kota Surabaya. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan Ardiana dkk, (2010) meneliti kinerja UKM di Surabaya melalui kompetensi SDM yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan memiliki pengaruh dominan terhadap kinerja UKM di Surabaya sedangkan penelitian ini meneliti mengenai kesejahteraan dan kinerja (pertumbuhan penjualan, modal, tenaga kerja, pasar, dan laba) pelaku UMKM di Kabupaten Sikka.
Persamaan dengan penelitian ini adalah dala
meneliti kinerja pelaku UMKM. Penelitian berikutnya adalah penelitiannya Aristeidis G. Samitas dan Dimitris F. Kenourgios, (2005) menggunakan metode Engle dan Granger dengan menerapkan kointegrasi untuk menyelidiki hubungan antara usaha kecil
43
menengah (UKM) pasar (Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Yunani) ke Eropa yang ekonominya terintegrasi dan lingkungan keuangan. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya integrasi di pasar UKM, hal ini menunjukkan diversifikasi peran mereka dalam keuangan UKM.Dalam hasil penelitianya Aristeidis G. Samitas dan Dimitris F. Kenourgios mengusulkan beberapa tindakan kebijakan yang menarik ke dalam penerapan kerangka hukum dan perdagangan umum dalam rangka untuk meningkatkan peran bersama mereka sebagai sumber pembiayaan alternatif kewirausahaan Eropa. Perbedaan dengan penelitian ini adalah Aristeidis G. Samitas dan Dimitris F. Kenourgios menggunakan metode Engle dan Granger menyelidiki hubungan pelaku UKM di Eropa dengan lingkungan keuangannya sedangkan penelitian ini membicarakan pengaruh pemberdayaan terhadap kesejahteraan dan pelaku UMKM di Kabupaten Sikka. Persamaan dengan penelitian ini adalah dalam meniliti pertumbuhan pasar dan pembiayaan (modal) pelaku UMKM. Penelitian yang dilakukan oleh Aylin Ates dan Umit Bititci (2007) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk menangani dinamika dan kegiatan dalam proses strategi UKM, ini dapat membantu pembaca memahami praktek dan bahasa manajer UKM tentang strategi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aylin Ates and Umit Bititci menunjukkan bahwa dinamika startegi UKM (usaha kecil menengah) memiliki dua dimensi yang muncul dan direncanakan manajer UKM mengeksekusi strategi proses terutama dari fashion informal dengan memegang fungsi ganda dan dengan aplikasi terbatas alat manajemen strategi dan teknik. UKM menempatkan lebih menekankan pada scanning lingkungan eksternal (pelanggan,
44
pemasok, pesaing, universitas dan pemberi pinjaman) dan kemudian menentukan strategi dan tujuan. Ini menyiratkan bahwa proses strategi UKM ditandai oleh lebih dari pandangan berbasis pasar. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Aylin Ates dan Umit Bititci (2007) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk menangani dinamika dan kegiatan dalam proses strategi UKM, sedangkan penelitian ini adalah meneliti tentang kesejahteraan dan kinerja pelaku UMKM melalui pemberdayaan UMKM di Kabupaten Sikka. Persamaan dengan penelitian ini adalah meneliti kinerja pelaku UMKM dengan indikator pertumbuhan pasar. Penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro dkk, (2013) mengenai profil dan strategi pengembangan koperasi dan UMKM di Kabupaten Sikka-NTT memiliki kesimpulan sebagai berikut: a) Membahas tentang permasalahan Koperasi dan UMKM diKabupaten Sikka menyimpulkan masih rendahnya kualitas SDM baik untuk pembinaan, maupun gerakan koperasi, bagi pelaku UMKM. Masalah secara khusus adalah sistem administrasi dan keuangan yang kurang baik, masalah memperoleh pinjaman dari bank, masalah penyusunan perencanaan bisnis karena persaingan, masalah bahan baku, masalah akses terhadap teknologi, masalah perbaikan kualitas barang dan masalah tenaga kerja yaitu sulitnya mendapat tenaga kerja yang terampil. c) Membahas tentang strategi pengembangan KUMKM di Kabupaten Sikka yaitu memyimpulkan strategi pengembangan KUMKM di Kabupaten Sikka sebaiknya merujuk kepada arah pembangunan jangka menegah dan jangka panjang, pengembangah KUMKM dihasilkan dengan mensinergi kepada lima hal yaitu arah kebijakan pembangunan industri, arah kebijakan
45
pembangunan KUMKM nasional, arah kebijakan pengembangan KUMKM NTT, arahan RT/RW NTT khususnya zona pembangunan wilayah dan hasil analisis subsetor unggulan serta komoditi unggulan KUMKM di Kabupaten Sikka-NTT. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro dkk, (2013) mengenai profil dan strategi pengembangan koperasi dan UMKM di Kabupaten Sikka-NTT sedangkan penelitian ini adalah meneliti tentang pengaruh pemberdayaan UMKM terhadap kinerja dan kesejahteraan pelaku UMKM di Kabupaten Sikka-NTT. Persamaan dengan penelitian ini adalah kesamaan tempat dan pelaku UMKM. Penelitian Tri Utari Putu Martini Dewi ( 2014) Pengaruh Modal, Tingkat Pendidikan dan Teknologi terhadap Pendapatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kawasan Imambonjol Denpasar menyimpulkan Pertama, hasil uji simultan (uji F) menunjukkan bahwa modal, tingkat pendidikan dan teknologi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan UMKM di kawasan Iman Bonjol Denpasar Barat. Kesimpulan kedua, semakin besar modal yang di konsumsi maka semakin besar pendapatan yang diterima oleh UMKM, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi tingkat pendapatan yang diterima oleh UMKM, dan semakin modern teknologi yang diadopsi maka semakin besar pendapatan yang di terima oleh UMKM sehingga modal,tingkat pendidikan dan teknologi secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan UMKM di kawasan Iman Bonjol Denpasar Barat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Tri Utari Putu Martini Dewi ( 2014) Pengaruh Modal, Tingkat Pendidikan dan Teknologi terhadap Pendapatan
46
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kawasan Imam Bonjol Denpasar adalah penelitian ini tentang pemberdayaan UMKM terhadap kinerja dan kesejahteraan pelaku UMKM di Kabupaten Sikka sedangkan persamaannya adalah indikator dari variabel kinerja terdapat pertumbuhan modal dan indikator dari Variabel Kesejahteraan adalah pendapatan dan pendidikan pelaku UMKM. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Suprianto (2006), dengan judul “Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai salah satu upaya Penanggulangan Kemiskinan” menyimpulkan melalui pemberdayaan UMKM memiliki kontribusi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 99.45 persen tenaga kerja. Sektor UMKM sendiri memiliki prospek yang menjanjikan dalam pemberian kuncuran kredit naik sebesar 187,1 pada tahun 2004. Pengentasan kemiskinan dengan cara memberdayakan sektor UMKM memiliki potensi yang sangat baik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Suprianto (2006), adalah dari variabelnya dimana penelitian Suprianto pemberdayaan UMKM dengan pemberian penyaluran kredit sebagi Modal pelaku UMKM sedangkan penelitian ini adalah pemberdayaan UMKM dengan variabel penyadaraan, pendayagunaan dan pengkapasitasan pelaku UMKM. Persamaannya adalah sama-sama meneliti pemberdayaan pelaku UMKM.