BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka yang digunakan secara keseluruhan dalam penelitian ini merupakan urutan pemikiran yang komprehensif, dimulai dari teori umum menyangkut teori manajemen sumberdaya manusia. Kemudian dilengkapi dengan teori antara yang berhubungan dengan teori person-job-fit, kompetensi dan kinerja yang ditunjang dengan teori-teori aplikasinya. Bab ini ditujukan untuk memaparkan dan mensintesa konsep serta teori yang berhubungan dengan variabel-variabel penelitian, termasuk dimensi-dimensi dan indikator-indikator dari setiap variabel, yang terangkai didalam kerangka pemikiran penelitian yang dikembangkan. Umi Narimawati (Research Methodology & Research Design 2010), menjelaskan tujuan studi pustaka atau telaah teori sebagai berikut : Tujuan : Untuk mencari teori/konsep/generalisasi yang dapat digunakan sebagai landasan teori/kerangka bagi penelitian yang akan dilakukan, Untuk mencari metodologi yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan. Untuk membandingkan antara fakta di lapangan dengan teori yang ada.
15
16
Dilaksanakan dengan membaca sumber-sumber pustaka/bacaan sebagai berikut : Sumber acuan umum : buku teks, ensiklopedi, monograph dll (sumber teori-teori dan konsep-konsep), Sumber acuan khusus : jurnal, buletin, tesis, disertasi, majalah ilmiah, laporan penelitian, makalah seminar, internet, dan lain-lain (sumber generalisasi).
2.1.1 Pengertian Jobfit Menurut teori person job fit, adanya kesesuaian antara karakteristik tugas/pekerjaan dengan kemampuan individu untuk melaksanakan tugas tersebut, akan memperkuat ikatan karyawan terhadap pekerjaannya, yaitu pegawai akan lebih komitmen terhadap pekerjaan (Allen dan Meyer, 1997 dalam Ozag dan Duguma, 2005). Job Fit mengandung pengertian yaitu kesesuaian tenaga kerja yang dibutuhkan perusahaan Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Pervin yang dikutip oleh Sims & K.Galen Kroeck (1994: 940), bahwa keuntungan bagi organisasi dapat berasal dari adanya berbagai jenis kesesuaian, adanya kesesuaian
seorang individu
dengan tugas pekerjaannya, jenis pekerjaan dan iklim kerja dalam organisasi. Dikatakan bahwa tugas atau pekerjaannya, jenis pekerjaan dan iklim kerja dalam organisasi merupakan variabel penting dalam masalah kesesuaian pegawai dengan organisasi. Jika terdapat kesesuaian antara karakteristik seorang individu dengan jenis pekerjaan, maka kinerja individu maupun organisasi akan cenderung tinggi, dan tingkat tekanan akan cenderung rendah. Selanjutnya dikatakan “adanya
17
„kekurangsesuaian‟ akan membuahkan „kinerja yang rendah, dan tekanan dalam sistem”.
2.1.1.1. Konsep Kesesuaian Individu -Pekerjaan Telah diakui bahwa persyaratan dari pekerjaanlah yang memperlunak hubungan antara karakteristik pribadi yang dimiliki seseorang dengan kinerja pekerjaan. Menurut Holland seperti dikutip oleh Robbins (1996:64) menyatakan bahwa teori kesesuaian individu dengan pekerjaan didasarkan pada gagasan kesesuaian antara karakteristik seorang individu dengan lingkungan kerjanya. Selanjutnya
Holland
menyajikan enam
tipe karakteristik individu
dan
mengemukakan bahwa kepuasan dan kecenderungan untuk meninggalkan suatu pekerjaan bergantung pada suatu lingkungan pekerjaan. Sedangkan Chatman (1989: 253) menyatakan bahwa kesesuaian individu dengan pekerjaan merupakan kesesuaian
antara norma-norma dan nilai organisasi dengan nilai-nilai yang
dianut seseorang. Studi pada masalah kesesuaian individu dengan pekerjaan, dalam sebuah organisasi telah menjadi pokok bahasan dalam penelitian beberapa waktu yang lalu. Hasil penelitian Sims & Galen Kroeck (1994:939) menyebutkan bahwa: “It is readily accepted that types of jobs, while this concept may appear obvious, the person-situation match in other aspects of the employment situation is perhaps equally important as the type of work performed”. Dan sudah dapat diterima bahwa berbagai jenis individu yang berbeda memiliki kesesuaian pada berbagai jenis pekerjaan yang berbeda pula. Dengan demikian jelaslah bahwa kesesuaian antara manusia dengan jenis pekerjaan dalam berbagai aspek lain pada situasi
18
pekerjaan mungkin sama pentingnya dengan jenis pekerjaan yang harus dilakukan. Rasch, Ronald & Andrian (1999:15) menyatakan bahwa upaya untuk menyesuaikan individu karyawan dengan pekerjaan dapat dilakukan dengan praktek penyeleksian pelamar kerja secara konvensional yang diarahkan pada penyeleksian individu yang memiliki pengetahuan, keahlian, dan ketrampilan yang dianggap paling sesuai untuk diterapkan pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Pulakos dan Schmidt, seperti dikutip Rasch, Ronald & Andrian
(1999:14)
menyatakan
kita
bahwa
pada
saat
menyeleksi
calon
karyawan
bisa
memperkirakan tingkat kepuasan kerja yang akan dialami calon karyawan tersebut dalam lingkungan kerja yang kita tawarkan, dengan jalan menyesuaikan kebutuhan individu dengan lingkungan kerja yang akan dimasukinya. Menurut Teori kebutuhan McClelland dalam Rasch, Ronald & Andrian (1999:15) bahwa orientasi kerja tiap individu dipengaruhi oleh tiga kebutuhan hakiki, yaitu (kebutuhan akan afiliasi, kebutuhan akan kekuasaan, dan kebutuhan akan prestasi). Individu yang memiliki kebutuhan prestasi kuat cenderung untuk bereaksi positif terhadap lingkungan kerjanya dimana mereka bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas dan menerima informasi umpan balik atas kinerjanya. Individu semacam ini seringkali tertarik dengan lingkungan kerja yang dapat menghargai tindakan-tindakan inovatifnya. Individu yang memiliki kebutuhan kekuasaan tinggi dan kebutuhan afiliasi rendah dapat disebut sebagai individu yang berorientasi untuk mempengaruhi atau memimpin. Hasil studi yang dilakukan oleh Harrell & Eickhoff (1990:237) di suatu kantor akuntan publik
19
menunjukkan bahwa individu yang berorientasi menjadi-pemimpin akan merasakan kepuasan kerja yang lebih tinggi dan kurang berniat untuk pindah dibandingkan dengan rekan kerjanya pada masa-masa awal mereka mulai bekerja. Oleh karena itu, dalam upaya memperoleh pegawai/tenaga kerja yang memiliki kesesuaian dengan pekerjaan, ada Aspek-aspek penting dari sebuah organisasi yang dapat ditunjukkan kepada para pencari kerja (pada saat pertama kali melamar pekerjaan), sehingga para pelamar dapat mengetahui dan menilai kesesuaian karakteristik pribadinya dengan pekerjaan di organisasi tersebut, sebelum mereka dapat bekerja pada organisasi tersebut. Menurut Gordan, dan Janz, et.al seperti dikutip Bowen et.al (1997:39) dapat dipaparkan dalam suatu bentuk catatan publik ataupun dikemukakan melalui beberapa cara, seperti ketika dilakukan proses wawancara. Dengan menggunakan informasi ini, seorang pelamar dapat menerima ataupun menolak untuk bergabung dalam organisasi itu sebelum ia dapat memulai bekerja dalam organisasi itu. Bagaimanapun juga, seringkali iklim kerja yang sebenarnya dari suatu organisasi ataupun departemen dalam organisasi tersebut tidak dapat terungkap jelas hingga seseorang terjun dan bekerja langsung di dalamnya. Selain mencari tahu pelamar yang paling berkualitas dalam kemampuan, sebelum diputuskan untuk menerima calon pegawai, Posner et.al; Synder et.al; & Dawes menyarankan mencari untuk mengetahui
tingkat kesesuaian
seorang
pelamar dengan karakteristik pekerjaan (dalam Sims & Galen, 1994:940). Rynes dan Gerhart (1990:15), menemukan bahwa dibalik semua kualifikasi minimum yang ditetapkan, ada satu kriteria yang lebih penting untuk menentukan orang
20
yang akan menerima tawaran pekerjaan dari organisasi, kriteria tersebut yaitu rasa kesesuaian seseorang terhadap pekerjaan dalam organisasi tersebut.
2.1.1.2. Model Kesesuaikan Individu-Pekerjaan (Person-Job Fit) Untuk sampai pada tahap profesional individu karyawan, maka faktor yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah kesesuaian karyawan tersebut dengan pekerjaannya. Seorang karyawan yang tidak memiliki kesesuaian akan pekerjaannya, diprediksi sulit untuk menunjukkan keprofesionalannya karena yang bersangkutan merasa tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang diperoleh, sehingga timbul rasa enggan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebaliknya bagi karyawan yang merasakan sesuai dengan jenis pekerjaan (profesinya), maka akan berusaha untuk terus belajar meningkatkan kemampuan dan keterampilan sehingga dapat bekerja dengan optimal, karena kesesuaian merupakan dasar awal seseorang untuk menentukan langkah selanjutnya. Dikemukakan oleh Mondy and Noe (2005:183) bahwa kesesuaian karyawan dengan pekerjaan dan organisasi merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya dengan persyaratan yang lainnya dalam penerimaan karyawan di suatu organisasi, “person-organizational fit refers to management’s perception of the degree to which the prospective employee will fit in with the firm’s culture or value system”. Sehingga akan diperoleh karyawan yang benar-benar memiliki kompetensi yang diinginkan
organisasi,
yaitu
yang
mampu
untuk
berubah
mengikuti
perkembangan. Tabel 2.1 menampilkan suatu model yang dapat digunakan untuk menyesuaikan individu dengan pekerjaan dan perusahaan. Meskipun perusahaan
21
mungkin tidak bisa menerapkan semua langkah-langkah dalam model tersebut, namun bila digunakan secara lengkap akan menghasilkan kesesuaian individupekerjaan dan perusahaan yang baik. Untuk mencapai kesesuaian ini diperlukan dua jenis kesesuaian yang harus dicapai, yaitu (1) kesesuaian antara pengetahuan, keahlian dan keterampilan individu dengan pekerjaan/tugas; dan (2) kesesuaian antara kepribadian individu, misalnya, kebutuhan-kebutuhannya, minatnya, dan nilai-nilai yang dianutnya dengan iklim perusahaan.
Tabel 2.1. A Hiring Process for Person-Organization Fit
1. ASSESS THE OVERALL WORK ENVIRONMENT - Job Analysis - Organizational Analysis 2. INFER THE TYPE OF PERSON REQUIRED - Tecnical Knowledge, Skills and Ability - Social Skills - Personal Needs, Values, and Interests - Personality Traits 3. DESIGN “RITES OF PASSAGE” FOR ORGANIZATION ENTRY THAT ALLOW BOTH THE ORGANIZATION AND THE APPLICANT TO ASSESS THEIR FIT - Tests of Cognitive, Motor, and Interpersonal Abilities - Interviews by Potential Co-Workers and Others - Personality Tests - Realistic Job Previews, Including Work Samples 4. REINFORCE PERSON-ORGANIZATION FIT AT WORK - Reinforce Skills and Knowledge Through Task Design and Training - Reinforce Personal Orientation Through Organization Design Sumber: Bowen, et al., (1997: 37).
22
Tabel 2.1 di atas, memperlihatkan langkah-langkah yang dilakukan untuk menyesuaikan individu dengan pekerjaan dalam organisasi adalah sebagai berikut: Langkah Pertama: Perhitungkan Lingkungan Kerjanya Analisis pekerjaan dari model seleksi tradisional masih tetap dilakukan seperti biasa dalam model ini, karena kesesuaian antar pengetahuan, keterampilan dan keahlian (PKK) individu dengan karakteristik-karakteristik pekerjaan tetap perlu diperhitungkan. Sedangkan alternatif lain teknik analisis pekerjaan ini misalnya kuesioner analisis posisi/jabatan, inventori tugas, dan teknik-teknik insiden kritis. Tujuan analisis organisasional ini adalah untuk menentukan dan menilai lingkungan kerja yang berkaitan dengan karakteristik-karakteristik organisasi, bukan hanya yang berkaitan dengan karakteristik-karakteristik jenis pekerjaannya. Teknik-teknik analisis organisasional ini masih belum ada yang mantap/baku karena tidak banyak penelitian yang secara sistematis menghubungkan karakteristik-karakteristik organisasional dengan pola-pola perilaku individu. Manajer harus mengidentifikasi dimensi-dimensi penting perusahaan mereka serta implikasinya bagi para pegawai yang paling sesuai dengan situasi tersebut. Namun begitu ada beberapa metode analisis organisasional yang tersedia. Penilaian karakteristik organisasi meliputi target jangka pendek dan jangka panjang, kebutuhan-kebutuhan penyusunan pegawai/staff, persepsi pegawai terhadap iklim perusahaan, serta properti lingkungan (misalnya stabilitas). Audit kultur organisasi juga menawarkan metode yang kualitatif dan kuantitatif untuk menguraikan norma-norma, dan nilai-nilai perusahaan. Salah satu metode yang
23
sangat menjanjikan adalah metodologi Q-sort yang berfungsi untuk menilai muatan, integritas, dan perwujudan nilai-nilai organisasi dan mensesuaikannya dengan nilai-nilai individu yang diseleksi. Analisis organisasional ini bukan dimaksudkan untuk menggantikan analisis pekerjaan, akan tetapi berfungsi untuk memastikan agar komponenkomponen
penting
konteks
kerja
serta
segala
muatan-muatannya
teridentifikasikan dan dievaluasi tingkat kepentingannya guna mencapai keberhasilan pekerjaan. Langkah Kedua: Tentukan Jenis Individu yang Dibutuhkan Dalam langkah dua ini, manajer mesti menilai para pelamar secara keseluruhan bukan hanya berdasarkan keahliannya saja. Memang PKK calon pegawai tetap perlu diperhitungkan dan tetap kompeten, namun berdasarkan sudut pandang analisis organisasional manajer juga harus mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai dan minat/kepentingan (kepribadian) yang dimiliki pegawai agar dapat menjadi anggota perusahaan yang efektif. Selain itu ketrampilan sosial dan interpersonal juga perlu dipertimbangkan disamping daya kognitif/nalar dan motorik yang menjadi fokus dominan dalam model seleksi tradisional. Dikemukakan oleh Bowen, et al (1997:39) bahwa Berdasarkan penelitianpenelitian terbaru ditemukan hal yang menarik dimana atribut-atribut kepribadian individu dapat memprediksi kepuasan kerja di kemudian hari-lebih dari lima puluh tahun dan bahkan untuk jenis pekerjaan yang berbeda. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa kepuasan kerja dapat dihubungkan dengan atribut
24
kepribadian yang stabil dan bertahan lama, bukan sebagai fungsi dari situasi.Ini berarti bahwa tipe individu yang akan dipekerjakan juga sangat penting. Perusahaan juga harus mempertimbangkan keahlian-keahlian teknis yang dibutuhkan perusahaan. Seringkali terjadi banyak pelamar yang memiliki ketrampilan sosial dan kepribadian yang sesuai tetapi sayangnya keahlian teknisnya tidak memenuhi syarat. Dalam situasi seperti ini perusahaan seringkali lebih menitikberatkan pada ketrampilan sosial dan kepribadian dengan dasar bahwa lebih mudah untuk melatih keahlian teknis daripada harus mengubah kepribadian individu atau mengembangkan ketrampilan sosial. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan biaya pelatihan jangka pendek dan kelebihan staff sementara. Kemauan untuk mempelajari bidang pekerjaan baru adalah atribut yang tidak dapat ditanamkan pada pegawai dengan mudah, tidak seperti halnya dengan keahlian teknis yang relatif lebih mudah diajarkan. Jadi pilihlah individu yang memiliki atribut ini. Langkah Ketiga: Buatlah “Jalur
Penerimaan” Yang Memungkinkan
Perusahaan dan Individu Saling Menilai Kesesuaian Masing-Masing Banyaknya penyaringan yang digunakan dalam metode seleksi baru dapat menyurutkan individu untuk menerima pekerjaan tersebut. Akan tetapi penyaringan ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, penggunaan metode penyaringan berganda dan kriteria-kriteria seringkali dinyatakan sebagai metode penyeleksian terbaik. Kedua, sistem penyaringan berganda ini juga befungsi memberikan informasi nyata kepada para pelamar tentang lingkungan kerja sehingga mereka dapat menentukan pilihan untuk menerima pekerjaan tersebut
25
atau tidak. Ketiga, individu yang ikut bergabung dalam perusahaan akan merasa dirinya spesial karena telah lolos jalur penerimaan yang rumit. Sebuah artikel dalam majalah Fortune menyebut metode baru ini sebagai “Seni Baru Penyeleksian yang Bijak”. Salah satu bagian dari metode baru ini adalah penggunaan latihan simulasi kerja untuk pegawai-pegawai perakitan. Simulasi kerja ini membantu individu dan perusahaan untuk saling menilai kesesuaian masing-masing. Si pelamar menerima gambaran kerja yang sebenarnya dan perusahaan berkesempatan untuk menilai keahlian teknis dan ketrampilan interpersonal para pelamar. Tes kecerdasan juga tampaknya mulai banyak digunakan. Tes kepribadian adalah cara lain untuk menilai saling kesesuaian. Tes-tes ini banyak digunakan dalam program-program pengembangan manajemen. Akan tetapi, tes kepribadian ini juga mulai banyak digunakan sebagai tes penyeleksian, terutama untuk posisi pekerja perakitan dan keprofesionalan. Ketertarikan pada tes kepribadian ini mulai muncul kembali meskipun upaya-upaya untuk memvalidasikannya banyak menemui kegagalan. Meskipun begitu banyak yang berkeyakinan bahwa tes kepribadian dapat divalidasikan dalam kondisi-kondisi yang tepat, antara lain: 1. Dengan menggunakan tolok ukur – tolok ukur kepribadian yang disesuaikan dengan seting kerja. Tes-tes kepribadian yang ada tidak dirancang khusus untuk seting kerja, sehingga tidaklah mengherankan jika banyak yang gagal divalidasikan dalam penelitian-penelitian.
26
2. Dengan mengunakan tolok ukur kepribadian yang memprediksi kriteria global, yaitu tolok ukur perilaku dan sikap kerja yang beragam segi, bukan pada satu kriteria tertentu seperti angka penjualan per kwartal. 3. Dengan menggunakan tolok ukur dimensi-dimensi kepribadian yang secara logika atau teori dikaitkan dengan lingkungan kerja dalam perusahaan. Hal ini berlawanan dengan penyaringan atribut kepribadian yang tidak berhubungan dengan pekerjaan tetapi membawa kepentingan tertentu manajer. Apabila tes kepribadian berfungsi menyediakan perusahaan dengan informasi tentang para pelamar, maka gambaran pekerjaan sesungguhnya (GPS) berfungsi untuk menyediakan informasi tentang perusahaan bagi para pelamar. Dengan GPS pelamar dapat menentukan pilihan apakah mereka akan merasa sesuai dengan lingkungan kerja barunya atau tidak. Pelamar yang merasa tidak sesuai akan mengundurkan diri dari proses penyeleksian, sedangkan pelamar yang diterima akan bergabung dalam perusahaan dengan rasa berkomitmen dan pengharapan yang realistik. Langkah Keempat: Kembangkanlah Kesesuaikan Individu-PekerjaanPerusahaan Penyeleksian adalah langkah yang penting dalam upaya memperoleh perbaikan sistem manajemen yang tepat. Akan tetapi proses penyeleksian ini harus dipadukan dan ditunjang dengan praktek-praktek manajemen SDM lain dalam perusahaan. Penggolongan kerja yang luas menumbuhkan fleksibilitas pegawai daripada hanya menggolongkan pada jenis pekerjaan tertentu saja. Pelatihan kerja yang ekstensif dan rotasi pekerjaan juga semakin menumbuhkan fleksibilitas.
Aktivitas-aktivitas
kelompok
mendorong
pegawai
untuk
27
menyumbang ide-ide demi meningkatkan perusahaan dan menumbuhkan kerja tim. Dengan pegawai yang bertahan lama dan tidak sering gonta-ganti perusahaan dapat merealisasikan hasil pelatihannya serta investasi-investasi lain dalam SDM, dan juga untuk meningkatkan loyalitas pegawai terhadap perusahaan. Perlu dikemukakan di sini, bahwa penyeleksian di sini bukan berarti hanya untuk seleksi bagi karyawan baru, namun bagi karyawan lama juga penting untuk dilaksanakan dalam upaya kegiatan pengembangan masing-masing individu karyawan. 2.1.1.3. Faktor-Faktor Kesesuaikan Individu-Pekerjaan Telah dikatakan bahwa seseorang akan memilih tempat bekerja yang paling sesuai dengan karakteristik-karakteristik pribadi mereka masing-masing. Dikemukakan oleh
Tom
sebagaimana
dikutip
oleh Sims & Galen
(1994:939) “a person’s preference for an organization should vary with the degree of similarity between his self-concept and his image of work in the organization”. Pilihan seseorang akan suatu perusahaan akan tergantung pada tingkat kemiripan antara konsep pribadi yang ada dalam dirinya dan gambaran yang ia lihat pada pekerjaan di perusahaan tersebut. Bohlander dan Snell (2004:184) mengemukakan, bahwa kesesuaian individu dengan pekerjaan (person-job fit) merupakan proses “Job specifications, in particular, help identify the individual competencies employees need for success-the knowledge, skills, abilities, and other factors (KSAOs) that lead to superior performance”. Ini berarti, kesesuaian individu-pekerjaan (person job fit) merupakan proses spesifikasi pekerjaan sebagai upaya untuk membantu
28
mengidentifikasikan kompetensi individual karyawan yang dibutuhkan untuk memperoleh kesuksesan, seperti pengetahuan, kemampuan, keahlian dan faktor lain yang dapat mengacu pada pemerolehan kinerja yang superior, oleh karena itu variabel ini sangat penting diperhatikan oleh perusahaan. Demikian juga, Bowen, et. al. (1997:37) menyatakan bahwa kesesuaian individu-pekerjaan (person job fit) memperhitungkan jenis-jenis individu yang diperlukan dengan kualifikasi: kesesuaian knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan), abilities (kemampuan), social skills (keterampilan sosial), personal needs (kebutuhan individu), values (nilai-nilai), interest (minat) dan personality traits (sikap individu). Mello (2002:247) yang menyatakan bahwa penting bagi perusahaan untuk melakukan penyesuaian individu-pekerjaan sehingga memperoleh kinerja individu yang optimal, dengan memperhatikan faktor-faktor: 1. Pengetahuan teknis, keterampilan khusus, dan kemampuan personal Pengetahuan seorang karyawan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan, keterampilan khusus yang diperlukan untuk menjalankan suatu pekerjaan, serta kemampuan karyawan untuk bekerja merupakan faktor yang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang karyawan, sehingga akan melahirkan suatu unjuk kerja sesuai standar minimal yang ditetapkan perusahaan. Dengan demikian perusahaan akan memperoleh karyawan yang bekerja sesuai dengan keahliannya. 2. Keterampilan Sosial Keterampilan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berinteraksi dan menjalin hubungan yang baik dengan lingkungannya, agar ia
29
dapat beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan pekerjaannya. Keterampilan ini merupakan keterampilan untuk bekerjasama dalam suatu tim kerja, bersedia mempelajari dan menerima berbagai hal yang baru, dan turut berpartisipasi secara aktif dalam upaya pengambilan keputusan, dan sebagainya. 3. Kebutuhan-Kebutuhan Personal, Nilai-nilai dan minat atau keinginan Kebutuhan-kebutuhan seseorang memutuskan
personel menjadi faktor utama yang menyebabkan untuk melamar pekerjaan. Kebutuhan-kebutuhan
fisik, rasa aman, kebutuhan pengembangan diri, penghargaan dari orang lain , serta kebutuhan untuk menjalin Identifikasi atas nilai-nilai
hubungan
yang dibawa
dengan manusia lainnya. seseorang dalam lingkungan
pekerjaan juga diperlukan. Nilai-nilai tersebut, berupa nilai-nilai yang positif atau nilai yang negatif, yang akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya.
Minat seseorang juga
turut diperhitungkan
apakah ia benar-benar berminat terhadap pekerjaan yang ia miliki, serta keinginan-keinginan seseorang dalam suatu perkerjaan. Seperti pencapaian jenjang karir yang memuaskan, keamanan financial, adanya pengakuan sosial atas berbagai pencapaian yang telah ia dapatkan, serta keinginan-keinginan yang lain. 4. Sifat-sifat Personal Sifat-sifat atau karakter dari seorang karyawan
dalam lingkungan kerja,
Seperti: kejujuran, keterbukaan, kemampuan untuk bekerjasama dan beradaptasi dengan orang lain, komitmen terhadap pekerjaan, serta stabilitas
30
emosi, juga turut diperhitungkan oleh perusahaan, sehingga calon karyawan dapat menjadi seorang karyawan yang berkinerja tinggi. Kemampuan terdiri dari dua unsur, yaitu yang bisa dipelajari dan yang alamiah. Pengetahuan dan keterampilan adalah unsur kemampuan yang bisa dipelajari, sedangkan yang alamiah orang menyebutnya dengan bakat (M. Nurdin, 2004:24). Jika orang hanya mengandaikan bakat saja tanpa mempelajari dan membiasakan kemampuannya, maka dia tidak akan berkembang. Karena bakat hanya sekian persen saja menuju keberhasilan. Sedangkan orang yang berhasil dalam pengembangan profesionalisme itu ditunjang oleh ketekunan dalam mempelajari dan mengasah kemampuannya. Oleh karena itu, potensi yang ada pada kita harus terus diasah. Kemampuan paling dasar yang diperlukan adalah kemampuan dalam mengantisipasi setiap perubahan yang tcrjadi. Oleh karena itu, seorang karyawan yang profesional tentunya tidak ingin ketinggalan dalam percaturan global ini. Dengan dcmikian, karyawan harus mengantisipasi perubahan itu dengan banyak membaca supaya bertambah ilmu pengetahuannya. Keterampilan (skill) merupakan salah satu unsur kemampuan yang dapat dipelajari pada unsur penerapannya. Suatu keterampilan merupakan keahlian yang bermanfaat untuk jangka panjang. Keterampilan merupakan the requisite knowledge and ability. Keterampilan yang dibutuhkan dalam pengembangan profesionalisme, tengantung pada jenis pekerjaan masing-masing. Untuk lebih jelasnya tentang prinsip pengembangan profesi dapat dilihat pada Gambar 2.1. di bawah ini.
31
PRESTASI =
Kemauan
+
Kemampuan
Yang Dipelajari
Pengetahuan
Alamiah
Keterampilan
Gambar 2.1. Prinsip Pengembangan Profesi Sumber : Muhamaad Nurdin (2004: 143)
Dalam hal ini sangat dibutuhkan adanya komponen normatif yang dapat menimbulkan perasaan kewajiban pada pegawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi. Pegawai dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas yang memang sudah sepantasnya dilakukan atas benefit yang telah diberikan organisasi.
Gambar 2.2. Affective, continuance, and normative commitment to the organization: A meta-analysis of antecedents, correlates and consequences. Sumber : Meyer, J., Stanley, D., Herscovitch, L., & Topolnytsky, L. (in press)
32
Kemampuan mengacu pada, alat-alat keterampilan dan pengalaman yang dibutuhkan seseorang untuk berhasil melakukan pekerjaannya. Ketika salah satu faktor ini hilang, ada kemungkinan meningkat bahwa karyawan akan under perform. Hal ini tidak biasa untuk mempekerjakan profesional untuk mengabaikan faktor-faktor dasar, terutama jika seorang calon memiliki kredensial akademis yang solid dan tampil sebagai cerdas dan percaya diri dalam wawancara kerja. Selain itu, bukan rahasia lagi bahwa calon yang paling melebih-lebihkan kemampuan mereka di resume mereka dan aplikasi pekerjaan. Diagnostik yang membantu Anda mengidentifikasi jika karyawan berkinerja buruk memiliki kemampuan yang memadai: Apakah Anda tahu keterampilan apa yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dan apakah karyawan memiliki keterampilan? Jika ia tidak memiliki keterampilan yang diperlukan, bagaimana Anda akan membantunya mendapatkan mereka, dan berapa lama Anda harapkan proses yang mengambil? Pelatihan keterampilan membutuhkan waktu dan uang, dan hasil tidak pernah dijamin kecuali ada komitmen yang memadai dari kedua manajer dan karyawan. Ini kepentingan semua orang terbaik bagi manajer untuk menetapkan harapan yang sesuai bagi karyawan dari awal. Hal ini terutama benar jika pekerjaan tersebut membutuhkan kemampuan teknis khusus. Bahkan jika seorang individu memiliki keterampilan dan pengalaman untuk melakukan pekerjaan itu, apakah dia memiliki alat untuk memberikan kinerja puncak? Sebagai contoh, seorang desainer web yang sangat terampil dan berpengalaman tidak bisa membangun sebuah website tanpa hardware komputer
33
dan software yang memadai. Alat tidak harus yang paling terbaru, tapi sistem yang crash dapat sangat frustasi dan tidak produktif, bahkan untuk pemain terbaik. Hanya karena seorang karyawan memiliki keterampilan untuk melakukan pekerjaan tidak berarti bahwa ia memiliki pengalaman untuk menerapkan keterampilan dalam posisi yang khusus. Hal ini terutama berlaku untuk lulusan baru, mempekerjakan luar dari industri yang berbeda dan mempekerjakan internal dari departemen yang berbeda. Sementara keterampilan yang dibutuhkan mungkin sama dari satu pekerjaan ke pekerjaan, aplikasi selanjutnya berbeda dan terminologi mungkin memerlukan bahwa karyawan baru mengambil waktu untuk mempelajari nuansa posisi barunya. "Fit" mencerminkan perilaku dan kepentingan yang diperlukan untuk berhasil dalam pekerjaan. Banyak orang jatuh ke dalam perangkap memilih profesi atau pekerjaan yang cocok buruk. Daripada mencoba untuk memahami diri sendiri sehingga kita dapat memilih suatu panggilan yang didasarkan pada kekuatan kami dan sejalan dengan kepentingan kita, kita memilih pekerjaan karena tekanan teman sebaya dan pengaruh sosial. Tujuan yang jelas membantu memfokuskan dan memotivasi karyawan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Karyawan harus sangat jelas tentang tanggung jawab mereka dan tentang hasil yang Anda harapkan mereka untuk mencapai. Pekerjaan sehari-hari dan prioritas yang mudah terpengaruh oleh krisis, permintaan setiap hari baru atau perubahan arah. Menetapkan dan melacak tujuan SMART membantu karyawan Anda fokus pada apa yang paling penting bagi bisnis Anda, dan akuntabilitas
34
yang jelas membantu memastikan bahwa pekerjaan akan dilakukan dengan konflik yang minimal. Bagan Model multidimensional komitmen organisasi (Meyer dan Allen, 1997), dapat dilihat bagaimana hubungan antara penyebab (antecedent), proses terjadinya komitmen dan konsekuensi dari komitmen tersebut (Gambar 2.2):
Gambar 2.3. Bagan Model multidimensional komitmen organisasi Sumber : Meyer dan Allen (1997)
35
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi Person-job-fit, diantaranya : •
•
•
Faktor pendorong kreativitas individu –
Pengalaman individu dengan kreatifitas
–
Perlakuan terhadap individu
–
Kemampuan kognitif dari individu
Tahapan membangun kreativitas –
Tahap persiapan (preparation)
–
Tahap inkubasi (incubation)
–
Tahap penemuan ide atau gagasan (insight)
–
Tahap pengujian (verification).
French and Raven : –
Motivasi adalah sesuatu yang mendorong seseorang untuk menunjukkan perilaku tertentu. Motivation is the set of forces that cause people to behave in certain ways.
Faktor penentu kinerja (Griffin) •
Motivasi (Motivation)
•
Kemampuan (Ability)
•
Lingkungan pekerjaan (Work Environment)
2.1.2
Seleksi dengan Metode Person-Organization Fit Seleksi merupakan bagian dari program pengadaan karyawan, dimana
seleksi dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan karyawan berdasarkan jumlah dan susunan pangkat yang ada dalam suatu perusahaan. Seleksi karyawan merupakan sarana bagi perusahaan untuk memperoleh tenaga kerja yang
36
berkompetensi tinggi, berkualitas, dan berkomitmen tinggi kepada perusahaan. Proses seleksi adalah pusat keberhasilan manajemen sumber daya manusia dan perusahaan, karena kegagalan dalam proses seleksi berarti kegagalan suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Seleksi menurut John M. Ivancevich (2001:211), adalah: “selection is the process by which an organization choosen from a list of applicants the person or person who best meet the selection criteria for the position available, considering current environtmental
condition”.
Seleksi adalah proses dimana suatu
perusahaan memilih dari suatu daftar pelamar kerja, orang yang terbaik yang sesuai dengan kriteria seleksi untuk posisi yang tersedia, berdasarkan kondisi lingkungan yang ada”. Menurut R.Wayne Mondy dan Robert M. Noe, (2005:162): “selection is the process of choosing from a group of applicants those individuals best suited for a particular position and organization”. Seleksi adalah suatu proses pemilihan dari sekelompok pelamar kerja individu-individu yang benar-benar sesuai untuk suatu jabatan tertentu dan juga sesuai untuk perusahaan”. Menurut Robert L. Mathis, dan John H. Jackson seperti yang diterjemahkan oleh Jimmy Sadeli, dan Bayu Prawira Hie (2001:305): “Seleksi adalah proses pemilihan individu-individu yang memiliki kualifikasi yang relevan untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan yang ada dalam suatu organisasi”. Menurut Drs. H. Achmad S. Ruky (2003:155): Seleksi adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk memilih calon yang dianggap paling tepat untuk mengisi sebuah jabatan dan seyogyanya memiliki potensi untuk
37
dikembangkan agar dapat mengisi jabatan-jabatan lain yang mungkin lebih berat tanggung jawabnya. Dapat diartikan bahwa seleksi adalah proses untuk memilih pegawai yang paling berkualitas dan paling sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh perusahaan, untuk mengisi jenis pekerjaan yang ada, atau yang akan diadakan oleh suatu perusahaan. Selain itu, seleksi dapat juga diartikan sebagai sarana atau alat untuk memilih individu yang memiliki kualifikasi tertentu untuk mengisi jabatan yang ada atau jabatan yang baru dibuka. Seleksi dengan metode Person-Organization Fit adalah metode seleksi yang mempertimbangkan karakteristik karyawan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kesesuaian antara individu dengan perusahaan perlu diperhitungkan, agar perusahaan mendapatkan karyawan yang loyal serta memiliki komitmen yang kuat terhadap perusahaan. Seleksi dengan metode ini mengarah pada penyeleksian individu seutuhnya, guna menyesuaikan faktor individu dengan karakteristik perusahaan. Metode seleksi ini berusaha memperhitungkan dan menganalisis
kecocokan
antara
sifat-sifat
individu
dengan
karakteristik
perusahaan, agar diperoleh karyawan yang memiliki loyalitas yang tinggi dan komitmen yang kuat terhadap perusahaan. Para ahli manajemen sumber daya manusia, memberikan berbagai pengertian mengenai seleksi dengan metode Person-Organization Fit. Adapun pengertian-pengertian tersebut antara lain: Menurut R.Wayne Mondy, dan Robert M. Noe, (2005:162), menyatakan bahwa Metode Person-Organization Fit adalah : “Organizational Fit refers to
38
management perception of the degree to which the prospective employee will fit in with the firm’s culture or value system”. Pencocokan Organisasional mengacu pada persepsi tentang derajat manajerial dimana pegawai yang prospektif akan menyesuaikan diri dengan budaya perusahaan atau sitem nilai yang ada. Menurut Bowen, David; Gerard E. Ledford; Barry R. Nathan dalam jurnal yang berjudul ”Hiring The Organization, not The Job” seperti yang dikutip oleh Jeffrey A. Mello (2002:253-262), adalah: “Person-Organization Fit places in the context of a rich interaction between the person and organization, both of which are more broadly defined and assessed than in the traditional selection model”. Artinya kecocokan individu dengan perusahaan menempatkan suatu kajian tentang suatu ketinggian interaksi antara seseorang dengan perusahaan, dimana keduanya didefinisikan secara lebih jelas, dan dinilai lebih baik dibandingkan dengan metode seleksi tradisional”. Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2004:191), definisi dari metode Person-Organization Fit adalah: “Person-Organization Fit is the congruence between individuals and organizational factors”.Artinya Kecocokan Individu dengan Perusahaan adalah penyesuaian antara individu dengan faktorfaktor perusahaan”. Jadi, seleksi dengan metode Person-Organization Fit adalah seleksi yang memperhitungkan kesesuaian antara individu dengan nilai-nilai perusahaan, dan suatu teknik yang menempatkan proses seleksi sebagai sarana untuk berinteraksi antara perusahaan dengan individu, dimana Kecocokan antara Individu dengan Pekerjaan (Person-Job Fit), dan Kecocokan Individu dengan perusahaan (Person-
39
Organization Fit), diperhitungkan dan didefinisikan dengan gamblang, daripada model seleksi tradisional. 2.1.3. Tujuan Seleksi dengan Metode Person-Organization Fit Seleksi dengan metode Person-Organization Fit memiliki tujuan untuk : 1. Menggabungkan kecocokan antara individu dengan pekerjaan (Person-Job Fit), dengan kecocokan antara individu dengan perusahaan (PersonOrganization Fit), agar perusahaan dapat mengidentifikasi dengan baik setiap sifat-sifat dari calon karyawannya, dan menyesuaikan sifat-sifat tesebut dengan nilai-nilai dan filosofi yang ada di perusahaan. 2. Metode Person-Organization Fit memperhitungkan semua faktor-faktor yang diperlukan untuk menyesuaikan antara calon karyawan dengan perusahaan. Metode ini digunakan karena banyak perusahaan yang menggunakan wawancara tunggal sebagai landasan untuk menerima atau menolak calon karyawan, dimana dalam wawancara banyak sifat-sifat dari calon karyawan yang tidak dapat diidentifikasi dengan baik. Akibatnya, banyak karyawan yang memiliki loyalitas yang rendah terhadap perusahaan. 3. Sistem seleksi ini memberikan informasi nyata bagi calon karyawan mengenai lingkungan kerja yang akan mereka hadapi, sehingga mereka dapat menentukan dan memutuskan apakah mereka menerima pekerjaan yang ditawarkan, atau menolaknya. 4. Adanya rasa bangga dalam diri setiap individu yang berhasil melalui seleksi yang rumit ini dengan baik, karena mereka memiliki faktor-faktor yang sangat diperlukan oleh perusahaan di dalam dirinya. Hal ini mengakibatkan karyawan
40
tersebut
akan
senantiasa
meningkatkan
profesionalismenya
dalam
menjalankan pekerjaan. 2.1.4. Indikator-indikator seleksi dengan Metode Person-Organization Fit Menurut Bowen, David (2002:48) indikator-indikator seleksi dengan metode Person-Organization Fit adalah sebagai berikut : 1. Kesesuaian pengetahuan calon karyawan dengan pekerjaan 2. Kesesuaian keterampilan calon karyawan dengan pekerjaan 3. Kesesuaian kemampuan calon karyawan dengan pekerjaan 4. Kesesuaian kebutuhan calon karyawan dengan lingkungan perusahaan 5. Kesesuaian antara nilai-nilai personal calon karyawan dengan perusahaan.
2.1.5. Pengaruh seleksi dengan metode Person-Organization Fit terhadap prestasi
kerja karyawan
Diungkapkan Bowen, David (2002:48) bahwa model seleksi pegawai dengan metode Person-Organization Fit yang bukan untuk jenis pekerjaannya saja akan menjadi satu-satunya model seleksi yang efektif dalam lingkungan usaha. Kepribadian pegawai tumbuh sejalan dengan nilai-nilai dan filosofi manajemen yang menjadi penentu keunikan perusahaan dan keselarasannya di masa depan sehingga prestasi kerja yang optimal dari pribadi karyawan akan diperolehnya Didukung pula oleh hasil penelitian Umi Narimawati (2005:118) bahwa seleksi dengan metode Person-Organization Fit yang dilaksanakan dengan tepat, maka akan menghasilkan karyawan yang memiliki prestasi yang unggul.
41
2.1.6
Kompetensi Menurut
“Kompetensi
Purwadarminta
adalah
dalam
kewenangan
kamus
umum
(kekuasaan)
untuk
Bahasa
Indonesia
menentukan
atau
memutuskan sesuatu hal. Kompetensi yang ada dalam Bahasa Inggris adalah competency atau competence merupakan kata benda, menurut William D. Powell dalam aplikasi Linguist Version 1.0 (1997) diartikan: 1) kecakapan, kemampuan, kompetensi 2) wewenang. Kata sifat dari competence adalah competent yang berarti cakap, mampu, dan tangkas. Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan “Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu”. UU
No.20/2003
tentang
Sisdiknas
penjelasan
pasal
35
(1):
“Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standard nasional yang telah disepakati” UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan: pasal 1(10) “Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan” Peraturan Pemerintah (PP) No.23 Tahun 2004, tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) menjelaskan tentang sertifikasi kompetensi kerja
42
sebagai suatu proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistimatis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan atau Internasional Pengertian Competency Based Training (CBT)” Sebuah pendekatan pada pelatihan
yang
menekankan
pada
apa
yang
seorang
individu
dapat
mendemontrasikan: pengetahuannya, ketrampilan serta sikap profesional, di tempat kerja, sesuai dengan standard Industri sebagai hasil dari training” Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) “Kompetensi adalah pernyataan tentang bagaimana sesorang dapat mendemontrasikan: keterampilan, pengetahuan dan sikapnya di tempat kerja sesuai dengan standar Industri atau sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh tempat kerja (industri). Definisi kompetensi yang dipahami selama ini adalah mencakup penguasaan terhadap 3 jenis kemampuan, yaitu: pengetahuan (knowledge, science), keterampilan teknis (skill, teknologi) dan sikap perilaku (attitude). Kompetensi haruslah dimaknai kembali sebagai pengembangan integritas pribadi yang dilandasi iman yang kuat sebagai fondasinya (SQ), baru kemudian dapat membangun hubungan yang tulus/ikhlas dengan sesama (EQ), dan akhirnya barulah penguasaan IPTEK melalui IQ bisa bermanfaat untuk membangun bisnis yang etis dalam rangka mencapai tujuan kemakmuran bersama bagi para stakeholders, tidak hanya untuk kepentingan ego pribadi.
43
Association K.U. Leuven mendefinisikan bahwa pengertian Kompetensi adalah peingintegrasian dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memungkinkan untuk melaksanakan satu cara efektif. Robert A. Roe (2001) mengemukakan definisi dari Kompetensi yaitu: Competence is defined as the ability to adequately perform a task, duty or role. Competence integrates knowledge, skills, personal values and attitudes. Competence builds on knowledge and skills and is acquired through work experience and learning by doing “Kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap dan nilainilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan. Definisi kompetensi diuraikan oleh Steven Moulton, SPHR, dalam tulisannya di SHRM berjudul “Competency Development, Integration and Application”. Bagi organisasi, katanya, kompetensi bisa didefinisikan sebagai kemampuan teknikal yang membedakan perusahaan dengan pesaing. Sementara bagi individu, kompetensi bisa didefinisikan sebagai kombinasi pengetahuan, keahlian, dan kebisaan yang mempengaruhi kinerja kerjanya. Ia mengaku, definisi kompetensi bisa sangat beragam dan berbeda dari satu orang ke orang lainnya. Drs. Budiman Sanusi Mpsi, Direktur Psikologi dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (PPSDM), mengatakan Kompetensi adalah keseluruhan pengetahuan, keterampilan, perilaku, dan sikap yang ditampilkan oleh orang-
44
orang yang sukses/berhasil dalam mengerjakan suatu tugas dengan prestasi kerja yang optimal. Core Competency atau yang kerap dikenal sebagai kompetensi dasar merupakan kompetensi yang dibutuhkan oleh seluruh job roles yang ada di sebuah organisasi. Atau dengan lebih mudah dapat dikatakan, core competency ini wajib dimiliki oleh semua anggota organisasi. Sehingga karena core competency ini merupakan kompetensi dasar, maka untuk menentukannya harus melihat kembali kepada business driver dan corporate values yang dimiliki organisasi. Specific Competency atau yang juga dikenal sebagai kompetensi khusus, merupakan kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing job role atau pekerjaan dalam organisasi. Tentunya dalam competency profiling, salah satu tahapan yang harus dilalui adalah melakukan interview dengan incumbent (pemegang jabatan) dan interview dengan atasan. Dengan mengutip R. Pahlan (Competency Management: A Practicioner’s Guide, terjemahan, 2007), dapat menggali lima istilah dalam definisi kompetensi sebagai berikut. (1). Karakter Dasar diartikan sebagai kepribadian seseorang yang cukup dalam dan berlangsung lama. Dalam definisi ini, karakter dasar mengarah pada motif, karakteristik pribadi, konsep diri dan nilai-nilai seseorang. (2). Kriteria Referensi berarti bahwa komptensi dapat diukur berdasarkan standar atau kriteria tertentu. Dapat diukur faktor-faktor pembentuk terjadinya kinerja karyawan yang beragam (unggul, biasa, dan rendah). Dari faktor-faktor
45
tersebut kemudian dapat diprediksi kinerja seseorang. Misalnya angka penjualan yang dilakukan seorang wiraniaga per satuan waktu. (3). Hubungan Kausal mengindikasikan bahwa keberadaan suatu kompetensi dan pendemonstrasiannya memprediksi atau menyebabkan suatu kinerja unggul. Kompetensi-kompetensi seperti motif, sifat dan konsep diri dapat memprediksikan ketrampilan dan tindakan. Kemudian ketrampilan dan tindakan memprediksi hasil kinerja pekerjaan. Jadi disitu ada maksud atau motif yang mengakibatkan sebuah tindakan atau perilaku yang membuahkan hasil. Contohnya, kompetensi pengetahuan selalu digerakkan oleh kompetensi motif, karakteristik pribadi, atau konsep diri. Model kausal ini dapat diperjelas lagi melalui contoh berikut; kalau organisasi tidak mengakuisisi atau mengembangkan kompetensi inisiatif bagi para karyawannya, maka dapat diduga pekerjaan yang harus disupervisinya akan dikerjakan ulang dan biaya untuk memastikan kualitas pelayanan akan meningkat. (4). Kinerja Unggul mengindikasikan tingkat pencapaian,misalnya dari sepuluh persen tertinggi dalam suatu situasi kerja. (5). Kinerja Efektif adalah batas minimum tingkat hasil kerja yang dapat diterima. Ini biasanya merupakan garis batas dimana karyawan yang hasil kerjanya di bawah garis ini dianggap tidak kompeten untuk melakukan pekerjaan tersebut. Ruky (2003:104) mengutip pendapat Spencer & Spencer dari kelompok konsultan Hay & Mac Ber bahwa Kompetensi adalah “an underlying characteristic of an individual that is casually related to criterion – referenced
46
effective and/or superior performance in a job or situation” (Karakteristik dasar seseorang yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia). The Jakarta Consulting Group (Susanto, 2002) memberikan batasan bahwa kompetensi adalah segala bentuk perwujudan, ekspresi, dan representasi dari motif, pengetahuan, sikap, perilaku utama agar mampu melaksanakan pekerjaan dengan sangat baik atau yang membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Pendekatan ini dilihat dari sudut pandang individual. Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46A Tahun 2003 Tanggal 21 Nopember 2003 ditentukan bahwa ”Kompetensi adalah kemampuan dan karak-teristik yang dimiliki seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara professional, efektif, dan efisien”. Menurut Watson Wyatt dalam Ruky (2003:106) competency merupakan kombinasi dari keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude) yang dapat diamati dan di-terapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta kontribusi pribadi karyawan terhadap organisasinya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah sebuah pernyataan terhadap apa yang seseorang harus lakukan ditempat kerja untuk menunjukan
47
pengetahuannya, keterampilannya dan sikap sesuai dengan standar yang dipersyaratkan.
2.1.6.1 Konsep Kompetensi Konsep kompetensi menurut maier dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal atau faktor dari dalam individu dan faktor eksternal dari luar atau sering disebut faktor lingkungan (Moh. As‟ad). Pendapat ini menegaskan bahwa faktor lingkungan yang berada di luar diri individu mempunyai peran dalam menentukan keberhasilan seseorang didalam pelaksanaan tugasnya. Lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan organisasi meliputi sarana kerja, teknologi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta suprasarana yang meliputi kebijakan pemerintah, hubungan kerja dan manajemen (Ndraha, 1999;46). Berkenaan dengan batasan kemampuan dalam konsep kompetensi, VHV Room mengemukakan bahwa kemampuan adalah atribut non motivasional yang dimiliki oleh individu untuk melaksanakan tugas, atau merupakan suatu potensi untuk melakukan sesuatu. Kemampuan ditentukan olehh tiga hal yaitu : (1). kondisi sensoris dan kognitif, (2). pengetahuan tentang cara merespon yang benar, (3). kemampuan tuntukmelaksanakan respon tersebut (Moh As‟ad). Pendapat ini menyimpulkan bahwa kemampuan merupakan proses respon, dari saat menerima respon, memilih dan menilaiserta melakukan tindakan yang sudah dipilih sebagai alternatif untuk merespon sesuatu.
48
Keith Davis mengemukakan bahwa kemampuan merupakan manifestasi dari pengetahuan dan kemahiran. Secara sederhana kemampuan dibedakan menjadi dua yaitu : a. Kemampuan
Teknis
(technical
skill)
yaitu
kemampuan
untuk
menggunakan peralatan, melakukan kegiatan sesuai prosedur dan penguasaan secara teknis. b. Kemampuan manajerial (managerial skill) yaitu kemampuan dalam mengelola suatu kegiatan/usaha. Sedarmayanti (dalam Umar Husein, 1999;11-12) menyatakan bahwa ada beberapa ciri individu yang produktif atau mampu bekerja dengan baik, antara lain: tindakannya konstruktif, percaya diri, rasa tanggung jawab yang tinggi, cinta terhadap pekerjaan, memiliki pandangan kedepan, sanggup menyelesaikan persoalan, dapat menyesuaikan dengan perubahan lingkungan, memiliki kontribusi positif terhadap lingkungan, memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensi. Dale Timpe (Umar Husein, 1999;12) membeikan ciri-ciri lain yang menandakan karyawan yang produktif yaitu: cerdas dan dapat belajar dengan cepat, kompeten secara professional, memahami pekerjaan, belajar dengan cerdik, menggunakan logika, effisien, selalu melakukan perbaikan, dan dianggap bernilai oleh atasannya dengan catatan prestasi yang baik. Beberapa ciri tersebut merupakan tolak ukur yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan atau kompetensi seseorang dalam bekerja.
49
2.1.6.2 Jenis Kompetensi Soft Competency : Faktor tersembunyi lebih berpengaruh Belum banyak disadari arti pentingnya Pengukuran dan pengembangan tidak mudah Hard Competency : Faktor Pendidikan, Pelatihan & Pengalaman Biasanya untuk yang superior tidak terlepas dari soft competency (meningkatkan, menyempurnakan) (lihat Model Spencer 1993) Pengukuran dengan sertifikasi Kelompok Kompetensi Generik : Kemampuan Berprestasi (Merencanakan dan Mengimplementasikan) Kemampuan Melayani Kemampuan Memimpin Kemampuan Mengelola Kemampuan Berpikir (Cognitive) Kemampuan Bersikap Dewasa
Kompetensi untuk jabatan (sumber: Spencer & Spencer, 1993) : Kemampuan Merencanakan dan Mengimplementasikan : Acievement Orientation Concern for Order, Quality and Accuracy Initiative
50
Information Seeking Kemampuan Melayani : Interpersonal Understanding Customer Service Orientation Kemampuan Memimpin : Impact and Influence Organizational Awareness Relationship Building Kemampuan Mengelola : Developing Others Directiveness Teamwork and Cooperation Team Leadership Kemampuan Berpikir (Cognitive) : Analytical Thinking Conceptual Thinking Technical/Professional/Managerial Expertise Kemampuan Bersikap Dewasa : Self-Control Self-Confidence Flexibility Organizational Commitment
51
Definisi MSDM-BK (CB-HRM) : Serangkaian keputusan untuk mengelola hubungan ketenagakerjaan secara optimal mulai dari rekrutmen, seleksi, penempatan, pemeliharaan dan pengembangan serta terminasi dengan memanfaatkan informasi kebutuhan kompetensi jabatan dan tingkat kompetensi individu secara terintegrasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Gambar 2.4 Kerangka MSDM-BK
2.1.7 Kinerja Kinerja adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia dari kata dasar "kerja" yang menterjemahkan kata dari bahasa asing prestasi. Bisa pula berarti hasil kerja. Pengertian Kinerja Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para atasan atau manajer sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu
52
jadi serba salah. Terlalu sering manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot sehingga perusahaan / instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan–kesan buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan tandatanda peringatan adanya kinerja yang merosot. Menurut Wirawan (2009), kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indicator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu Menurut anderes gui (2008), kinerja adalah hasil kerja atau prestasi kerja yang dihasilkan seseorang (karyawan) dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya dengan indicator-indikator sebagai berikut: target
pekerjaan
yang
dilakukan,
pengetahuan
kerja,
tindakan
dalam
menyelesaikan persoalan, kerja sama, integritas. Kinerja menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 67) yaitu “Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Kemudian menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2003:223) yaitu “Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat
dinilai
dari
hasil
kerjanya”.
Maluyu
S.P.
Hasibuan
(2001:34)
mengemukakan “kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”.
53
Menurut John Whitmore (1997 : 104) “Kinerja adalah pelaksanaan fungsifungsi yang dituntut dari seseorang,kinerja adalah suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum ketrampikan”. Menurut Barry Cushway (2002 : 1998) “Kinerja adalah menilai bagaimana seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah ditentukan”. Menurut Veizal Rivai ( 2004 : 309) mengemukakan kinerja adalah : “merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan”. Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson Terjemahan Jimmy Sadeli dan Bayu Prawira (2001 : 78), “menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan”. John Witmore dalam Coaching for Perfomance (1997 : 104) “kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan”. Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negative dari suatu kebijakan operasional. Mink (1993 : 76) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja yang tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya: (a) berorientasi pada prestasi, (b) memiliki percaya diri, (c) berperngendalian diri, (d) kompetensi. Menurut The Sriber Bantam English Dictionary terbitan Amerika Serikat dan Canada, tahun 1979 (dalam Prawirosentono, 1999:1-2) “to perform“
54
mempunyai beberapa “entries” berikut: (1) to do or Carry out; executive, (2) to discharge or fulfill, as a vow, (3) to party, as a character in a play, (4) to render by the voice or musical instrument, (5) to execute or complete on undertaking, (6) to act a part in a play, (7) to perform music, (8) to do what is expected of person or machine. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dikemukakan arti kinerja sebagai “(1) sesuatu yang dicapai; (2) prestasi yang diperlihatkan; (3) kemampuan kerja”. Menurut Fattah (1999:19) kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan sebagai: ”ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu”. Sementara menurut Sedarmayanti (2001:50) bahwa: “Kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, unjuk kerja atau penampilan kerja”. Samsudin (2005:159) menyebutkan bahwa: “Kinerja adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai seseorang, unit atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan”. Seperti
yang
diungkapkan
oleh
Prawirosentono
(1999:2)
yang
mengartikan kinerja sebagai, “Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang adan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mendapai tujuan organisasi bersangkutan secara ilegal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika”.
55
Gomes (2003:142) mengatakan bahwa “Kinerja adalah catatan hasil produksi pada fungsi pekerjaan yang spesifik atau aktivitas selama periode waktu tertentu”. Sementara Rivai (2005:14) mengemukakan bahwa: “Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu
di
dalam
melaksanakan
tugas
dibandingkan
dengan
berbagai
kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.” Stolovitch and Keeps (1992:34) mengemukakan bahwa: “Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta”. Griffin (1987:67), mengemukakan: “Kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja”. Casio (1992:137) mengemukakan: ”Kinerja merujuk kepada pencapaian tujuan karyawan atas tugas yang diberikan. Donnelly, et al (1994:210) mengemukakan: “Kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik.” Bernardin dan Russell (1993:379) menyebutkan bahwa: “Performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period”. Sementara Simamora (2004:339) lebih tegas menyebutkan bahwa: “Kinerja (performance) mengacu kepada kadar pencapaian tugas-tugas yang membentuk sebuah pekerjaan seseorang. Kinerja merefleksikan seberapa baik karyawan memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan. Kinerja sering
56
disalahtafsirkan sebagai upaya (effort) yang mencerminkan energi yang dikeluarkan, kinerja diukur dari segi hasil.” Gomes (2003:142), Rivai (2005:14), Griffin (1987:67), Casio (1992:137), Donnelly, et al. (1994:210), Bernardin dan Russell (1993:379) dan Simamora (2004:339) adalah bahwa kinerja merupakan tingkat keberhasilan yang diraih oleh pegawai dalam melakukan suatu aktivitas kerja dengan merujuk kepada tugas yang harus dilakukannya.
2.1.7.1 Konsep Kinerja Faktor yang mempengaruhi kinerja : Wood, at. al. (2001:91) melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja individu (job performance) sebagai suatu fungsi dari interaksi atribut individu (individual atribut), usaha kerja (work effort) dan dukungan organisasi (organizational support). Buchari Zainun (1989:51) mengemukakan “ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai, yaitu : (1) ciri seseorang, (2) lingkungan luar, dan (3) sikap terhadap profesi pegawai”. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja tersebut digambarkan sebagai berikut: O‟Leary (dalam Jacobus, 2001:57) menyatakan bahwa “aspek penting dari kinerja tim adalah tingkat keyakinan mereka terhadap kepemimpinan, sasaran, dan pekerjaan mereka sendiri”. Gordon (dalam Widodo, 1994:260) mengatakan “kelompok kerja berprestasi tinggi memiliki pemimpin yang berhasil membina serta memelihara
57
semangat dan motivasi bawahan guna mencapai tingkat produktivitas yang dipandang perlu oleh organisasi agar kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi”.
2.1.7.2. Penilaian Kinerja Bernardin & Russell (dalam Ruky, 2001:8) menyatakan bahwa: “perlu diadakan penilaian kinerja, untuk mengelola dan memperbaiki kinerja karyawan, untuk membuat keputusan staf yang tepat waktu dan akurat dan untuk mempertinggi kualitas produksi dan jasa perusahaan secara keseluruhan”. Pendapat Gomes (2003:135): penilaian kinerja mempunyai tujuan untuk me-reward kinerja sebelumnya (to reward past performance) dan untuk memotivasi demi perbaikan kinerja pada masa yang akan datang (to motivate future performance improvement), serta informasi-informasi yang diperoleh dari penilaian kinerja ini dapat digunakan untuk kepentingan pemberian gaji, kenaikan gaji, promosi, pelatihan dan penempatan tugas-tugas tertentu. Bernardin dan Russell (dalam Ruky, 2001:12) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah “A way of measuring the contribution of individuals to their organization”. Sementara Hasibuan (2001:88) memaparkan bahwa penilaian kinerja adalah “evaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja dan potensi pengembangan yang telah dilakukan”. Dengan demikian penilaian kinerja merupakan wahana untuk mengevaluasi perilaku dan kontribusi pegawai terhadap pekerjaan dan organisasi. Dharma (1998:118) mengemukakan penilaian kinerja adalah “upaya menciptakan mengumpulkan masukan perbandingan-perbandingan antara penampilan kerja dengan hasil kerja yang diharapkan”. Simamora (2004:338) menyebutkan bahwa: “Penilaian kinerja (performance appraisal)
58
adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan”. Syarif (1991:72) mengungkapkan bahwa: “Penilaian kinerja adalah suatu proses untuk mengukur hasil kerja yang dicapai oleh para pekerja dan dibandingkan terhadap standar tingkat prestasi yang diminta guna mengetahui sampai di mana keterampilan telah dicapai”. Samsudin (2005:159) menyebutkan: “Penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses oleh organisasi untuk mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan”. Berkaitan dengan penilaian kinerja ini, Samsudin (2005:166) mengistilahkan dimensi/kriteria penilaian ini sebagai objek penelitian. Menurut Samsudin (2005:166): “Objek penilaian adalah dimensi perusahaan yang dapat dikendalikan oleh karyawan yang bersangkutan dimana objek penilaian harus sinkron dengan tujuan penilaian. Apabila tidak sinkron dapat terjadi kekeliruan penilaian tentang prestasi kerja karyawan yang diinginkan.” Menurut Samsudin (2005:166) terdapat beberapa objek penilaian yang dapat dinilai dari pegawai yang bekerja diberbagai jabatan, sebagai berikut : Hal-hal umum yang dinilai dari pegawai di bidang produksi, antara lain quality, quantity of work, knowledge of job, dependability, cooperation, adaptability, attendance, versatility, house keeping, dan safety. Hal-hal umum yang dinilai dari pegawai tata usaha, antara lain quality, quantity of work, knowledge of job, dependability, cooperation, adaptability, attendance, initiative, judgement, dan health.
59
Hal-hal umum yang dinilai dari orang yang memegang posisi pimpinan, antara lain quality, quantity of work, knowledge of job, dependability, cooperation, judgement, initiative, leadership, planning and organizing, dan health. Menurut Samsudin objek-objek penilaian di atas, perlu disesuaikan dengan tujuan-tujuan penilaian. Oleh karena itu Samsudin (2005:166) menyebutkan bahwa pada pokoknya: “Objek penilaian karyawan itu mencakup dua hal pokok, yaitu hasil pekerjaan (prestasi kerja) dan sifat-sifat pribadi. Ini berarti mencakup kemampuan dan watak pribadi”. Simamora (2004:339) mengungkapkan : agar organisasi berfungsi secara efektif, orang-orangnya mestilah dibujuk/dipikat agar masuk dan bertahan di dalam organisasi, mereka harus melakukan tugas-tugas peran mereka dengan cara yang handal, dan mereka harus memberikan kontribusi spontan dan perilaku inovatif yang berbeda di luar tugas formal mereka. Tiga perilaku dasar itu hendaknya disertakan dalam penilaian kinerja. Prawirosentono (1999:27) mengemukakan beberapa faktor yang dapat dijadikan ukuran kinerja, yaitu (1) Efektivitas, (2) Otoritas dan tanggung jawab. (3) Disiplin, dan (4) Inisiatif. Selanjutnya Umar (2003:102) menyebutkan ada 10 komponen data untuk mengukur kinerja, yaitu: (1) kualitas pekerjaan, (2) kejujuran karyawan, (3) inisiatif, (4) kehadiran, (5) sikap, (6) kerja sama, (7) keandalan, (8) pengetahuan tentang pekerjaan, (9) tanggung jawab, dan (10) pemanfaatan waktu. Bernardin dan Russell (1993:383) mengungkapkan ada enam kriteria pokok yang dapat dipakai untuk mengukur kinerja, yaitu:
60
Quality. The degree to which the process or result of carrying out an activity approaches perfection, in term of either conforming to same ideal way of performing the activity or fulfilling the activity’s intended purpose. Quantity. The amount produced, expressed in such terms as dollar value, number of units, or completed activity cycles. Timeliness. The degree to which an activity is completed, or a result produced, at the earliest time desirable from the standpoints of both coordinating with the outputs of others and maximizing the time available for other activities Cost effectiveness. The degree to which the use of the organization’s resources (e.g., human, monetary, technological, material) is maximized in the sense of getting the highest gain or reduction in loss from each unit or instance of use of resource. Need for supervision. The degree to which a performer can carry out a job function without either having to request supervisory assistance or requiring supervisory intervention to prevent an adverse outcome. Interpersonal impact. The degree to which a performer promotes feelings of self esteem, goodwill, and cooperation among coworkers and subordinates. Koontz et. al (dalam Hutauruk, 1986:50-52) menyebutkan beberapa kriteria untuk menilai kinerja pegawai, antara lain: (a). Intelijensia. Berhubungan dengan kemampuan untuk mengerti kesadaran mental. (b). Pertimbangan. Berhubungan dengan sikap membedakan untuk melihat hubungan antara hal satu dan lainnya.
61
(c). Inisiatif. Berhubungan dengan pemikiran konstruktif dan penuh akal; berkemampuan dan berintelijensi untuk bertindak atas tanggung jawabnya sendiri. (d). Kekuatan. Berhubungan dengan kekuatan moril yang dimiliki dan digunakan untuk mencapai hasil. (e). Kepemimpinan. Berhubungan dengan kemampuan untuk mengarahkan, dan mempengaruhi orang lain dalam tindakan yang tertentu dan dalam menjaga disiplin. (f). Keberanian moril. Berhubungan dengan sifat mental yang membuat seseorang untuk melakukan apa yang dikatakan oleh hati nuraninya tanpa takut-takut. (g). Kerjasama. Berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja secara serasi dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. (h). Kesetiaan. Berhubungan dengan kesesuaian, kesetiaan, kelanggengan, pengabdian semua terhadap otoritas yang lebih tinggi. (i). Keteguhan. Berhubungan dengan upaya mempertahankan tujuan atau saran walaupun ada hambatan. (j). Reaksi terhadap keadaan darurat. Berhubungan dengan kemampuan untuk bertindak secara masuk akal dalam situasi yang sulit dan tak terduga. (k). Daya tahan. Berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja dalam kondisi apapun. (l). Kerajinan. Berhubungan dengan prestasi kerja dari segi tenaganya. (m) penampilan dan kerapihan diri serta pakaian. Berhubungan dengan harga diri, kelengkapan seragam, dan kerapihan penampilannya.
62
Berdasarkan
deskripsi
perilaku
individu
secara
spesifik,
Gomes
(2003:142) mengungkapkan beberapa dimensi atau kriteria yang perlu mendapat perhatian dalam mengukur kinerja, antara lain : (1) Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan. (2) Quality of work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya. (3) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya. (4) Creativeness, yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul. (5) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain sesama anggota organisasi. (6) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan menyelesaikan pekerjaan. (7) Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggung jawabnya. (8) Personal
qualities,
yaitu
menyangkut
kepribadian,
kepemimpinan,
keramahtamahan dan integritas pribadi. Masih menurut Gomes (2003:142) bahwa untuk dapat melakukan penilaian terhadap kinerja secara efektif, ada dua syarat utama yang harus diperhatikan, yaitu: (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif dan
63
(2) adanya objektivitas dalam proses evaluasi. Selengkapnya berikut penjelasan dari Gomes tersebut: Kriteria pengembangan kinerja yang dapat diukur secara objektif untuk pengembangannya diperlukan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Ada tiga kualifikasi penting bagi pengembangan kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif, yaitu: (a) Relevansi, yaitu pengukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian antara kriteria dengan tujuan-tujuan kinerja. Misalnya kecepatan produksi bisa menjadi ukuran kinerja yang lebih relevan jika dibandingkan dengan penampilan seseorang. (b) Reliabilitas, yaitu pengukuran yang menunjukkan tingkat dimana kriteria menghasilkan hasil yang konsisten. Ukuran-ukuran kuantitatif seperti satuansatuan produksi dan volume penjualan bisa menghasilkan ukuran yang konsisten secara relatif. Sedangkan kriteria-kriteria yang sifatnya subjektif, seperti sikap, kreativitas dan kerja sama menghasilkan pengukuran yang tidak konsisten karena tergantung pada orang yang mengevaluasinya. (c) Diskriminasi, yaitu tingkat pengukuran dimana suatu kriteria kinerja bisa memperlihatkan perbedaan-perbedaan dalam kinerja. Jika nilai cenderung menunjukkan semua baik atau jelek, ini berarti ukuran kinerja tidak bersifat diskriminatif, tidak membedakan kinerja dari masing-masing pekerja. Dilihat dari efektivitas dalam proses evaluasi, ada tiga penilaian kinerja yang saling berbeda, yaitu: (1) Result-based performance evaluation. Penilaian kinerja berdasarkan hasil akhir, yaitu tipe penilaian kinerja yang dilakukan dengan merumuskan kinerja
64
dalam mencapai tujuan organisasi dan melakukan pengukuran hasil-hasil akhirnya. (2) Behavior-based performance evaluation. Penilaian kinerja berdasarkan perilaku, yaitu tipe penilaian kinerja yang bermaksud untuk mengukur tercapainya sasaran (goals), dan bukan hasil akhirnya (end results). Dalam praktek, kebanyakan pekerjaan yang tidak dapat diukur kinerjanya dengan ukuran yang objektif karena melibatkan aspek-aspek kualitatif. (3) Judgment-performance evaluation. Penilaian kinerja berdasarkan judgment, yaitu tipe penilaian kinerja yang menilai atau mengevaluasi kinerja pekerja berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik seperti quantity of work, quality of work,
job
knowledge,
cooperation,
initiative,
reliability,
interpersonal
competence, loyality, dependability, personal qualities. 2.1.7.3. Kinerja Pelayanan Kotler (dalam Supranto, 1997:45) menyebutkan bahwa: ”Pelayanan adalah setiap tindakan/kegiatan atau penampilan/manfaat yang ditawarkan oleh setiap pihak ke pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan terhadap sarana yang menghasilkan pelayanan tersebut.” Shepherd dan Wilcox (dalam Saefullah, 1999:5) memberikan pengertian “The public is of course. The whole community, individuals, sharing citizenship, responsibilities, and benefit”. Kotler (dalam Supranto, 1997:46) mengatakan bahwa: “A service is any act or performance that one party can offer to another that is essentially
65
intangible and does not result in the ownership of anything it’s production may or may not be tied to physical product”. Olsen dan Wyckoff (dalam Zulian Yamit, 2001:22) bahwa : “Harapan pelanggan dapat bervariasi dari pelanggan satu dengan pelanggan yang lain walaupun pelayanan yang diberikan konsisten. Jadi, kualitas pelayanan adalah perbandingan antara harapan konsumen dengan kinerja pelayanan.”
2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian yang dilakukan Emmerl & Walied (1995:46) dengan judul “Public Sector Professionals: The Effects of Public Sector Jobs on Motivation, Job Satisfaction and Work involvement” menemukan hasil penelitiannya “(1) indicate that the job characteristics for public sector professionals are not higher than those for blue-collar workers; (2) “public sector professional have lower work satisfaction and no higher work motivation or work involvement than bluecollar workers; uncovers stronger relationships between these work attitudes and satisfaction with social relations, feedback from colleagues and the extent to which work allows employees to meet intrinsic needs.” Karakteristik pekerjaan untuk pegawai negeri profesional tidak lebih tinggi dari karakteristik pekerjaan untuk pegawai negeri biasa dan Pegawai negeri profesional memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah serta motivasi dan keterlibatan kerja yang tidak lebih tinggi daripada pegawai biasa. Setelah teori Pervin pertama kali dikemukakan, diperoleh adanya suatu temuan-temuan hasil penelitian yang berkaitan dalam hal keuntungan-keuntungan dari adanya kesesuaian pegawai dengan pekerjaan dan perusahaan. Hasil
66
penelitian yang dilakukan Downey et. al., yang dikutif oleh Sims. & K. Galen Kroeck, (1994:940) mempertimbangkan hubungan antara adanya kesesuaian pekerjaan dengan variabel-variabel kepribadian yaitu percaya diri dan kemampuan sosialisasi, dengan enam variabel iklim dalam organisasi. Downey et al. menyimpulkan bahwa “Job satisfaction was a function of interaction between the personality characteristics of the individual and the perceived environment”. Kepuasan kerja adalah sebuah fungsi interaksi antara karakteristik-karakteristik kepribadian seseorang dan lingkungan bekerja (iklim organisasi). Lebih jauh, mereka menyatakan bahwa, “although not as strong, performance is also positively influenced by job fit”.Walaupun tidak sama kuatnya, kinerja juga dipengaruhi secara positif oleh adanya kesesuaian individu-pekerjaan tersebut. Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan Stewart,
(1995:421)
menguji faktor-faktor yang pembentuk kesesuaian karakteristik tugas, dimana memunculkan faktor kepuasan kerja yang berkorelasi dengan adanya kesesuaian antara kepribadian seseorang dengan jenis pekerjaan, dan kepuasan kerja akan membentuk kesesuaian individu-pekerjaan sejalan dengan perkembangan waktu. “It was concluded that job satisfaction factor that had correlated with a match between individual personality and job type, and job satisfaction will make a person-job fit in a due time”. Disimpulkan bahwa para karyawan yang memiliki kesesuaian dengan lingkungan pekerjaan mereka juga memiliki kepuasan kerja, demikian sebaliknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang yang merasakan kesesuaian dengan jenis dan lingkungan pekerjaan, akan dapat
67
mencapai kepuasan kerjanya, dan sebaliknya seseorang yang telah mencapai kepuasan kerja, akan membentuk kesesuiannya dengan pekerjaan. Adanya
keterkaitan
antara
kesesuaian
individu-pekerjaan
dengan
komitmen organisasional, dapat didukung oleh hasil penelitian O‟Reilly (1987:42) mempertanyakan hasil dari adanya kesesuaian antara kebutuhan karakteristik kepribadian seseorang untuk meraih pencapaian tertentu dan kebutuhan akan adanya keamanan dan tantangan yang ditawarkan dalam sebuah posisi pekerjaan. Hasil
yang ditemukan mengindikasikan bahwa “That
satisfaction and
organizational commitment were higher for those individuals who has achieved a personality-job fit, with high commitment to the organization, then someone can fit his personality with the job” . Kepuasan dan komitmen organisasional menjadi lebih tinggi untuk seseorang yang telah mencapai sebuah kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, dengan komitmen yang tinggi terhadap organisasi, maka seseorang akan menyesuaian pribadinya dengan pekerjaan/jabatan yang dimilikinta.. Hasil penelitian terbaru tentang kesesuaian individu-pekerjaan oleh Schmidt et.al. (1992:90) & Orlando Behing (1998:83) menunjukkan bahwa kesesuaian individu-pekerjaan dapat memprediksi komitmen dan prestasi kerja dengan baik untuk berbagai bidang pekerjaan. Seseorang yang telah mencapai puncak komitmennya pada organisasi, dipastikan memiliki loyalitas pada organisasi, dan berusahan mencapai kesesuaian pribadinya dengan pekerjaan dalam organisasi, karenanya tidak ada tekanan dalam bekerja.
68
Seperti yang dikatakan oleh Pillai dan Bagavathi (2003) bahwa kesuksesan dan kegagalan suatu organisasi tidaklah tergantung pada peralatan, mesin-mesin maupun materi lain, tetapi justru pada sumber daya manusianya. Demikian pula padaperusahaan, sumber daya manusia yang berkualitas (baik dalam hal sifat maupun pengetahuan) sangat dibutuhkan sebagai pelaksana dan penunjang operasional dan manajemen perusahaan tersebut. Selain sebagai pilar dalam organisasi, Azzohlini (1993) menyebutkan bahwa karyawan merupakan aset penting untuk membedakan satu organisasi dengan organisasi lain, dimana karyawan yang berkualitas akan menjadi keunggulan yang kompetitif bagi organisasi (Cheng, 2000). Sebagai tambahan, dalam artikelnya “A Study on the Factors of Internal Service Quality-Nurse for example”, Cheng menyatakan adanya korelasi yang positif antara kualitas layanan internal dengan kepuasan karyawan. Beberapa faktor yang terkandung dalam kualitas layanan internal seperti tipe manajemen, komunikasi antar departemen yang ada, reward, training, job description yang jelas dan tanggung jawab yang tepat, sangat berpengaruh terhadap kepuasan karyawan dalam bekerja dimana pada akhirnya akan berdampak langsung pada kinerja perusahaan. Sebagai contoh, Roth dan Jackson (1995) dalam penelitian secara empirik di industri keuangan menemukan bahwa kualitas layanan internal berhubungan secara langsung dengan kinerja perusahaan (Siehoyono,2004). Senada dengan pernyataan di atas, O‟Connor (2001) dalam artikelnya Performance Management- Electrical Wholesaling, menyatakan bahwa “people
69
behave as they are measured and drive action as they are rewarded” yang berarti orang berperilaku sebagaimana mereka diukur dan bertindak sebagaimana mereka di hargai. Seperti yang dikemukakan oleh Vroom (1964), bahwa setiap individu akan berusaha dengan harapan mendapat sesuatu, namun seberapa keras usahanya juga tergantung dengan seberapa besar sesuatu yang diberikan kepadanya. Heskett dkk. (1997) mengemukakan model Service Profit Chain sebagai rangkaian sebabakibat yang menghasilkan keuntungan dan pertumbuhan. Model
ini
menyatakan
bahwa
kualitas
layanan
internal
akan
mempengaruhi kepuasan, loyalitas dan produktivitas karyawan. Fornell, C. (1992, p.12) mengemukakan bahwa kepuasan karyawan akan pelayanan internal yang berkualitas akan mendorong tumbuhnya loyalitas karyawan dalam organisasi, dan pada akhirnya akan mendorong penciptaan nilai pelayanan eksternal yang kemudian menentukan kepuasan pelanggan eksternal (Siehoyono, 2004). Sebagai contoh penerapan model ini adalah pada Sears Roebuck Co. (Rucci, Kirn & Quinn, 1998)yang terbukti sukses dalam meningkatkan tujuan organisasi (Terry, n.d.). Berikutnya, berdasarkan Zeithaml dkk. (1991, dikutip dari Siehoyono, 2004) kualitas layanan internal dibagi lagi ke dalam tujuh bagian, meliputi (1) kerja sama (team work); (2) kesesuaian terhadap pekerjaan (employee job fit); (3) kesesuaian terhadap teknologi (technology job fit), (4) kemampuan kontrol diri (perceived control); (5) sistem pengontrolan pengawasan (supervisory control system); (6) konflik peran (role conflict); dan (7) ambiguitas peran (role ambiguity).
70
Teori penunjang hubungan antara latar belakang karyawan dengan kepuasan karyawan, studi yang dilakukan oleh Kalleberg (1977), Lee dan Wibur (1985) dan Martin dan Hanson (1985, dikutip dari Dickie et al) menyatakan bahwa karakteristik karyawan sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Dalam penelitian ini, karakteristik karyawan yang diteliti meliputi umur, level pendidikan dan lama bekerja. Blackburn dan Bruce (1989) menyatakan bahwa faktor karakteristik karyawan di atas memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kepuasan kerja karyawan (Siehoyono, 2004). Beberapa studi yang meneliti mengenai hubungan antara latar belakang karyawan menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, beberapa mengklaim adanya korelasi positif antara umur dan level pendidikan karyawan terhadap kepuasan karyawan. Namun, beberapa studi menyatakan hal yang sebaliknya, seperti studi yang dilakukan oleh Reudavey (2001) yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur atau level pendidikan dengan kepuasan karyawan. Sebagai tambahan, lama bekerja juga dinyatakan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan karyawan. Dalam penelitian kali ini, diyakini bahwa faktor latar belakang karyawan (umur, level pendidikan dan lama bekerja) memiliki korelasi positif terhadap kinerja karyawan. Sebagai contoh, karyawan yang sudah lama bekerja memiliki kecenderungan lebih puas dibandingkan dengan karyawan yang belum lama bekerja (Doering et al., 1983); setiap karyawan memiliki keinginan untuk mengimplementasikan pengetahuan, keahlian dan pendidikan yang didapatkan sebelumnya kepada perusahaan dimana mereka bekerja. Jika mereka tidak mampu
71
mengaplikasikannya, mereka akan menjadi tidak puas dan pada akhirnya akan mempengaruhi lama bekerja (length of employment), hal ini bisa dikaitkan dengan loyalitas karyawan. Jika karyawan dihargai secara adil sesuai dengan prestasi kerjanya maka mereka akan merasa nyaman dalam bekerja dan tidak memiliki tendensi untuk berpindah pekerjaan di tempat lain (Siehoyono, 2004). Secara singkat, disimpulkan bahwa memang ada korelasi positif antara faktor latar belakang karyawan (umur, level pendidikan dan lama bekerja) terhadap kepuasan karyawan. Pengaruh Antara Kualitas Layanan Internal Dengan Kepuasan Karyawan Heskett dkk. (1994) mengartikan kualitas layanan internal sebagai kualitas dari lingkungan kerja yang memberikan kontribusi terhadap kepuasan karyawan. Menurut Zeithmal dkk. (1991), kualitas layanan internal dibagi atas beberapa pengukuran yaitu kerjasama (teamwork), kesesuaian pekerjaan (employee job fit), kesesuaian fasilitas (technology job fit), kemampuan kontrol diri (perceived control), sistem pengontrolan pengawasan (supervisory control system), konflik peran (role conflict) dan kejelasan peran dalam bekerja (role ambiguity).
JOB FIT (X1)
KINERJA (Z) KOMPETENSI
(Y)
Gambar 2.5 Model Paradigma Penelitian
72
2.3 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran dan premis-premis yang telah diuraikan, maka dapat diajukan jawaban sementara atas permasalahan yang dirumuskan menjadi hipotesis sebagai berikut: 1. Job fit memiliki
hubungan
dengan
kompetensi karyawan PT. Atri
Distribusindo Bandung 2. Job fit berpengaruh terhadap kinerja karyawan PT. Atri Distribusindo Bandung 3. Kompetensi berpengaruh terhadap kinerja karyawan PT. Atri Distribusindo Bandung 4. Job fit dan kompetensi berpengaruh secara simultan terhadap kinerja PT. Atri Distribusindo Bandung