BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Produktivitas Sekolah 1. Konsep Produktivitas Filosofi tentang produktivitas sudah ada sejak awal peradaban manusia karena makna produktivitas adalah keinginan dan upaya manusia untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan
yang lebih baik
di segala aspek. Konsep
produktivitas pada awalnya dikemukakan oleh Quesney, seorang ekonom Prancis pada tahun 1776. Pengertian produktivitas senantiasa dikaitkan dengan nilai ekonomis suatu kegiatan, yakni bagaimana mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya dan dana sekecil mungkin. Secara umum produktivitas mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input). Menurut Encyclopedia Britanica, (Sedarmayanti, 2009: 56) menyebutkan bahwa: “produktivitas dalam ekonomi berarti rasio dari hasil yang dicapai dalam pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan sesuatu”. dijelaskan
bahwa
produktivitas
adalah
bagaimana
Lebih lanjut
menghasilkan
atau
meningkatkan hasil barang dan jasa setinggi mungkin dengan memanfaatkan sumber daya secara efisien. Sejalan dengan pemikiran tersebut Dale Timpe (2002:107) mengemukakan bahwa produktivitas adalah rasio antara keluaran output dan masukan
input yang bernilai untuk meningkatkan
20
efisiensi dan
21
efektifitas sumber-sumber daya yang tersedia, agar mencapai keluaran yang sangat bernilai. Sedangkan menurut formulasi National Productivity Board (NPB) Singapore, produktivitas adalah sikap mental attitude of mind yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa konsep produktivitas berkaitan dengan hasil, proses dan perilaku. Dari segi hasil produktivitas merupakan rasio antara input dan output dari segi teknis mengacu kepada derajat keefektifan, efisiensi dalam penggunaan sumber daya, sedangkan dalam pengertian perilaku, produktivitas merupakan sikap mental yang selalu berkembang. Menurut Stoner dan Freemen,
(1992) bahwa terdapat dua jenis rasio
produktivitas, (1) produktivitas total yaitu membandingkan nilai dari semua keluaran dengan nilai semua masukan, (2) produktivitas parsial yaitu membandingkan nilai dari semua keluaran dengan nilai dari kategori utama masukan, menggunakan total keluaran dibagi masukan parsial. Produktivitas parsial sering disebut indeks produktivitas tenaga kerja (labor productivity indek) atau nisbah keluaran per jam-kerja atau jam orang (man-labor) yaitu, pekerjaan yang dilakukan oleh satu orang dalam satu jam. Robbins dan Judge (2007: 36). Mengemuakakan bahwa organisasi dikatakan produktif bila mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dan
melakukannya dengan cara mengubah masukan menjadi hasil dengan biaya serendah mungkin. Mali (Wahyudi, 2012:80) menyatakan bahwa, ukuran produktivitas merupakan kombinasi antara efektivitas dan efisiensi, efektifitas
22
berkaitan dengan performa kerja, dan efisiensi dikaitkan dengan penggunaan sumber daya organisasi. Gibson, Ivancevich, dan Donnely (1996), mengemukakan bahwa efisiensi diartikan rasio keluaran dibanding masukan. Ukuran efisiensi harus dalam bentuk rasio yaitu, perbandingan manfaat dengan biaya. Rumusan indeks produktivitas diukur berdasarkan perbandingan atau rasio antara pencapaian performa kerja dengan sumber-sumber yang digunakan. Output Indeks Produktivitas=
Performan =
Input
Efektivitas =
Penggunaan sumber
Efisiensi
Efektivitas dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain pimpinan yang efektif dapat memilih pekerjaan yang harus dilakukan atau cara yang tepat untuk mencapai tujuan. Vroom, V. (Wahyudi, 2012: 81) mengkaji produktivitas berdasarkan psikologi, dimana produktivitas diartikan sebagai prestasi kerja. Formula yang digunakan sebagai berikut: P = f (M x K) P = Prestasi Kerja M= Motivasi K= Kemampuan Berdasarkan rumusan tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa produktivitas merupakan fungsi dari motivasi dikali kemampuan, yang berarti bahwa tingginya produktivitas dipengaruhi oleh motivasi dan kemampuan. Whitmore, (Sedarmayanti, 2009:58) menyatakan bahwa : “ Productivity is a measure of the use of the reseources of an organization and is usually expressed
23
as a ratio of the output obtained by the uses reseources to the amount of reseources employed”. Whitmore memandang bahwa produktivitas sebagai suatu ukuran atas penggunan sumber daya dalam suatu organisasi yang biasanya dinyatakan sebagai rasio dari keluaran yang dicapai dengan sumber daya yang digunakan. Dengan kata lain bahwa produktivitas memiliki dimensi efektivitas dan efisiensi. Sedarmayanti, (2009: 59) lebih lanjut menjelaskan bahwa efisiensi merupakan suatu ukuran dalam membandingkan penggunaan masukan (input) yang direncanakan dengan penggunaaan masukan yang sebenarnya terlaksana sedangkan
efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran
seberapa jauh target dapat dicapai. Sedangkan menurut Mulyasa, (2011: 82) Efektifitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional, yaitu membandingkan rencana dengan tujuan yang dicapai, sedangkan efisien lebih ditekankan pada perbandingan antara input dengan output, dalam arti bahwa suatu kegiatan dikatan efisien jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa produktivitas memiliki dua dimensi, yakni efektifitas dan efisiensi, dimensi pertama berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal, dalam arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Sedangkan dimensi kedua berkaitan
dengan
upaya
membandingkan
masukan
dengan
realisasi
pengguanaannya atau bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan. Sebagaimana
24
dikemukakan Engkoswara dan Komariah, (2010:39) produktivitas bukan saja hasil, tetapi juga sumbangan proses yang efektif dan efisien. Produktivitas merupakan nilai tambah suatu pelayanan yang diperoleh dari usaha organisasi melakukan proses perbaikan yang terus menerus atau menyediakan jasa berkualitas melalui efisiensi dan efektivitas. Secara khusus dalam bidang pendidikan formal, Allan Thomas (1971: 1223) mempersepsikan produktivitas sekolah dari tiga aspek berikut: (1) The administrator‟s production function, (2) The psychologist‟s production function, dan (3) The economist‟s production funsction. Ketiga fungsi dimaksud menentukan tinggi rendahnya tingkat produktivitas sekolah Produktivias sekolah dapat dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini berarti bahwa meskipun dilihat dari segi kuantitas tidak terjadi peningkatan, namun jika dilihat dari segi mutu menunjukkan peningkatan, maka berarti terjadi juga peningkatan produktivitas. Dengan demikian produktivitas sekolah sebagai indikasi keberhasilan atau kegagalan dalam menghasilkan suatu produk berupa jasa layanan pendidikan dapat dilihat secara kuantitas dan kualitas dengan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki sekolah secara tepat.
2. Pengukuran Produktivitas Sekolah Produktivitas merupakan aspek penting dalam pengkajian pengelolaan sistem pendidikan, sebab rendahnya kualitas output pendidikan merupakan salah satu masalah kependidikan. Produktivitas pendidikan berbeda dengan hasil produksi benda dan jasa lain yang mudah di hitung atau di ukur. Salah satu
25
perbedaan yang mendasar adalah bahwa dalam organisasi pendidikan yang menjadi masukan adalah manusia, yang melakukan proses pendidikan adalah manusia dan hasil keluaran yang diharapkan juga manusia. Organisasi pendidikan tidak memproduksi berupa barang melainkan memberikan pelayanan jasa pendidikan. Lebih spesifik Satori, (Wahyudi, 2011: 84) menegaskan bahwa hasil yang dicapai lembaga pendidikan secara umum adalah para lulusannya, yang mencakup didalamnya segi nilai-nilai, berkaitan dengan kecerdasan dan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan, sikap atau pola kecenderungan perilaku. Dengan demikian produktivitas pendidikan berkaitan dengan bagaimana menghasilkan keluaran atau lulusan pendidikan yang mempunyai kecerdasan, pengetahuan, nilai-nilai, sikap termasuk kepribadian yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta perkembangan jaman. Produktivitas dalam sebuah lembaga pendidikan merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan keseluruhan proses perencanaan, penataan dan pendayagunaan sumber daya yang ada dalam mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. (Mulyasa, 2011:92). Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa sebuah lembaga pendidikan dapat dikatakan produktif jika secara keseluruhan aktivitas manajemen dilaksanakan secara efektif dan efisien, mulai dari perencanaan, penataan dan pendayagunaan sumber daya mulai dari input, proses, dan output juga produktif. Efektivitas dalam pendidikan dapat dilihat dari kualitas program, ketepatan penyusunan program, semangat kerja, motivasi, ketercapaian tujuan, serta
26
ketepatan
pendayagunaan
sarana
dan
prasarana
sumber
belajar
untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Sedangkan efisiensi pendidikan berkaitan dengan optimalisasi pendayagunaan sumber pendidikan yang terbatas untuk mencapai output yang optimal. Suatu proses pendidikan yang efisien ialah yang mampu menciptakan keseimbangan antara sumber-sumber yang dibutuhkan dengan yang tersedia guna mengurangi hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan pendidikan. Efektivitas dan efisiensi merupakan ciri produktivitas pendidikan, sebagai suatu kriteria atau ukuran bagi keberhasilan administrasi pendidikan, sebagaimana di gambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Produktivitas Pendidikan (Engkoswara dan Komariah, 2010: 38)
27
Produktivitas pendidikan dapat dilihat dari output pendidikan yang berupa prestasi, serta proses pendidikan yang berupa suasana pendidikan. Prestasi dapat dilihat dari masukan yang merata, jumlah tamatan yang banyak, mutu tamatan yang tinggi, relevansi yang tinggi dan dari sisi ekonomi yang berupa peningkatan penghasilan. Sedangkan proses atau suasana tampak dalam kegairahan belajar, dan semangat kerja yang tinggi serta kepercayaaan dari berbagai pihak (Engkoswara dan Komariah, 2010:40) Menurut Usman. H, (2010: 3) sekolah dinyatakan produktif jika memenuhi tiga syarat, yaitu ; (1) pelayanan administrasi memuaskan, (2) pelayanan edukatif mampu mengubah sikap (attitude), Pengetahuan (Kognitif), dan Keterampilan (skill) secara bermakna bagi peserta didik; dan (3) biaya sekolah relatif memadai sebanding dengan mutu pelayanan,
lulusan cepat diterima di tempat kerja,
gajinya cepat mengembalikan modal selama sekolah, dan menduduki posisi penting di tempat kerja atau di masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keberhasilan lulusan bukan hanya ditentukan oleh penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki lulusan, tetapi juga ditentukan oleh sikap yang dimilikinya. Tinggi rendahnya produktivitas sekolah ditentukan oleh hasil pengukuran dengan menggunakan beberapa indikator. Mali
(Engkoswara dan Komariah,
2010:43) mengajukan lima bentuk pengukuran produktivitas, yaitu: 1) Ukuran yang menggunakan rasio produktivitas: Ratio produktivitas dikembangkan menjadi lima kategori, yaitu (1) indeks secara keseluruhan, (2) ratio obyektif, (3) ratio biaya, (4) ratio standar kerja, (5) ratio standar waktu.
28
2) Ukuran yang menggunakan faktor produktivitas total: Ratio produktivitas diperluas untuk meliputi semua input yang dibutuhkan untuk menghasilkan output. 3) Ukuran yang menggunakan managing by objective: Ratio produktivitas dinyatakan sebagai ukuran efektivitas dan efisiensi. Yang demikan ini digunakan dalam proses kerja MBO sejak dari permulaan sampai dengan penghabisan. 4) Ukuran yang menggunakan indicator checklist yang tidak langsung yaitu dengan checklist items yang diisi dihubungkan dengan total item yang diisi dihubungkan dengan total item yang diharapkan 5) Ukuran yang menggunakan audit produktivitas: Ratio produktivitas diterapkan pada organisasi sebagai pendekatan total dalam memenuhi standar yang telah ditentukan oleh mereka yang diharapkan harus memenuhinya. Thomas, J. Alan (1971: 12), mengukur fungsi produktivitas sekolah dari tiga dimensi berikut: (1) The administrator‟s production function, (2) The psychologist‟s production function, dan (3) The economist‟s production funsctio. 1) The administrator‟s production function, Fungsi administrator berkaitan dengan tatanan lembaga dalam mekanisme kepemimpinan dan manajemen yang memberikan perhatian kepada kepuasan pelanggan, terutama pada peran pemimpin satuan pendidikan dan dewan guru dalam memberikan layanan. Semakin baik kualitas program yang dilaksanakan, ketepatan pendayagunan sarana serta prasarana sumber belajar dan
semakin
tinggi semangat kerja dalam melaksanakan tugas sehingga semakin memuaskan
29
pelayanan yang diberikan lembaga terhadap pelanggan maka semakin produktif lembaga tersebut. 2) The psychologist‟s production function, Fungsi psikologis pengukuran produktiviatas yang menitik beratkan pada perubahan perilaku siswa, termasuk peningkatan pengetahuan, pemahaman nilai, serta pengembangan kemampuan sebagai hasil belajar. Produktivitasnya dapat diukur dari perubahan perilaku siswa sebagai hasil dari proses belajar mengajar yang memenuhi kebutuhan belajar siswa yang dapat mengembangkan potensi siswa secara menyeluruh. 3) The economist‟s production function. Fungsi ekonomis, yaitu mengukur produktivitas dengan melihat pendidikan sebagai konstribusi individu yang memperoleh kompetensi terhadap kegiatan ekonomi. Fungsi ini mengukur produktivitas dai benefit atau keuntungan yang diperoleh siswa setelah mengeluarkan pengorbanan berupa waktu , tenaga, uang dan sebagainya selama pendidikan. Semakin besar investasi seseorang dalam pendidikan diharapkan keuntungannya pada saat bekerja nantipun akan memperoleh upah yang lebih besar. Dalam penelitian ini penulis pada akhirnya mengukur produktivitas sekolah dari segi
proses berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
layanan pendidikan yang meliputi kualitas program, ketepatan penyusunan program, kegairahan belajar, semangat kerja yang tinggi, motivasi serta ketepatan penggunaan sarana dan prasarana sumber belajar.
30
B. Kepemimpinan Berbasis Nilai (Value-Based Leadership) Kepala Sekolah 1. Konsep Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan aspek penting yang
menentukan berhasil
tidaknya suatu organisasi. Kepemimpinan menjadikan suatu organisasi dapat bergerak secara terarah dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan menyangkut keberadaan figure/sosok orang yang dipercaya menjadi pemimpin. Banyak pengertian atau definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar yang mengkaji masalah kepemimpinan. Gary Yukl (2010:4) merangkum beberapa definisi kepemimpinan menurut para ahli sebagai berikut: (1) Kepemimpinan adalah “perilaku individu ketika dia mengarahkan aktivitas kelompok untuk mencapai sasaran bersama”. Hemphill & Coons, (1957). (2) Kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir untuk mencapai sasaran”. Rauch & Behling, (1984). (3) Kepemimpinan adalah proses memberikan tujuan (arah yang berarti) ke usaha kolektif, yang menyebabkan adanya usaha yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan. (Jacobs & Jaques:1990) (4) Richards & Eagel, (1986) Kepemimpinan adalah cara mengartikulasikan visi, mewujudkan nilai, dan menciptakan lingkungan guna mencapai sesuatu. ...” (5) House et al. (1999) Kepemimpinan adalah “kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan konstribusinya demi efektivitas dan keberhasilan organisasi. Selanjutnya Yukl. Gary (2010: 8) mendefinisikan bahwa, kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi orang lain untuk memahami tujuan dengan apa
31
yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilaksanakan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Dari beberapa definisi kepemimpinan di atas, dipahami bahwa kepemimpinan erat sekali hubungannya dengan organisasi. Kepemimpinan adalah perilaku seorang pemimpin untuk mengarahkan, mempengaruhi, dan menjelaskan kepada bawahan, berinisiasi dan memelihara kekompakan kelompok, sikap konsisten agar setiap anggota dapat memberikan sumbangan secara efektif kepada organisasi demi tercapaian tujuan. Dalam usaha untuk mencapai tujuan organisasi, pemimpin menggunakan kemampuan dan kecerdasannya dengan memanfaatkan lingkungan dan potensi yang ada
pada organisasi dengan melibatkan seluruh anggota
organisasi. Dalam mempengaruhi orang, pemimpin dapat melakukan melalui pemotivasian yang dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai yang diinginkan pemimpin. Kemampuan mempengaruhi orang lain mengindikasikan adanya suatu komunikasi dan interaksi antara pemimpin dengan yang dipimpin, pengaruh yang diterima anggota organisasi akan berdampak pada kinerja anggota yang pada akhirnya berdampak pula pada kinerja organisasi. Kepemimpinan dalam pendidikan diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama bawahannya, untuk berfikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan sumbangan nyata dalam pencapaian tujuan sekolah (Rivai dan Murni 2009:745) pengertian ini mengandung makna bahwa seorang pemimpin harus
32
dapat memberikan pengaruh kepada staf agar bekerja secara sukacita dan penuh kreatif dalam mencapai tujuan organisasi. Istilah pemimpin, kepemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama “pimpin”. Namun demikian, ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda. Pemimpin adalah suatu peran dalam sistem tertentu; kepemimpinan berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang. Sedangkan memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara. Dahulu ada anggapan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dilahirkan dengan bakat sebagai pemimpin (leaders are born). Namun dalam perkembangan zaman sebagian besar pemimpin diciptakan melalui suatu proses, tumbuh dan berkembang dari bawah, ditempa oleh berbagai pengalaman, ketekunan, kerja keras, disiplin yang tinggi serta tidak pernah berhenti belajar sepanjang hidupnya (leaders are made). Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam menjalankan kepemimpinannya, seseorang memiliki gaya-gaya sendiri. Gaya (style) kepemimpinan merupakan cara yang dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi para pengikut. Menurut
Masaong dan Tilome (2011:8) gaya
(style) kepemimpinan dimaknai sebagai proses hubungan antara pimpinan dengan staf yang menampilkan sifat-sifat khas, watak, keterampilan, kecenderungan dan perhatian terhadap individu melalui interaksi.
33
Dalam lingkup sekolah gaya kepemimpinan kepala sekolah merupakan tanggapan atau reaksi kepala sekolah di dalam beraktivitas berdasarkan nilai-nilai dan kepercayaan yang diyakininya sehingga terampil memotivasi setiap personil sekolah untuk terlibat secara aktif dalam mewujudkan tujuan sekolah. Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 20 tahun 2003 pasal 40:2) bahwa kepala sekolah berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis. Dalam pendekatan perilaku (trait/behavioral approach) mengidentifikasi perilaku yang khas dari pemimpin dalam aktivitasnya mempengaruhi pengikut atau anggota kelompoknya. Perilaku pemimpin ini dapat berorientasi pada tugas keorganisasian ataupun pada hubungan dengan anggota kelompoknya. Penelitian yang dilakukan oleh Ohio State University, memperoleh gambaran mengenai dua dimensi utama dari perilaku kepemimpinan, yaitu; initiating structure and consideration, dalam bentuk kuadran sebagai berikut;
Gambar 2.2 The OHIO State Leadership Quadrants (Swanson Dan Razik, 1995:42 ) Dari gambar tersebut dapat di pahami bahwa pembuatan inisiatif menggambarkan bagaimana seorang kepala sekolah memberi batasan dan struktur
34
terhadap peranannya dan peran bawahannya untuk mencapai tujuan, seperti; mengkritik pekerjaan yang buruk, menekankan pentingnya memenuhi tenggang waktu, menugaskan bawahan, mempertahankan standar kerja tertentu, meminta bawahan untuk mengikuti prosedur, standar dan menawarkan pendekatan baru terhadap masalah, dan mengkoordinasikan aktivitas para bawahan yang berberbeda. Adapun konsiderasi menggambarkan derajat dan corak hubungan seorang kepala sekolah dengan bawahannya yang di tandai saling percaya, menghargai, dan menghormati dengan bawahannya, seperti; melakukan kebaikan kepada bawahan, meluangkan waktu untuk mendengarkan permasalahan bawahan, mendukung atau berjuang bagi bawahan, berkonsultasi dengan bawahan mengenai hal penting sebelum dilaksanakan, bersedia menerima saran dari bawahan, dan memperlakukan bawahan sebagai sesamanya. Dengan mengkombinasikan dua dimensi tersebut yaitu, pembuatan inisiatif dan perhatian dapat dibedakan empat gaya kepemimpinan kepala sekolah sebagai berikut; 1) perhatian rendah, pembuatan inisiatif rendah, 2) perhatian tinggi, pembuatan inisiatif rendah; 3) perhatian tinggi, pembuatan inisiatif tinggi; dan 4) perhatian rendah, pembuatan inisiatif tinggi. Teori kepemimpinan lainnya yang mengidentifikasi perilaku kepemimpinan adalah teori Jalur-tujuan/Path-Goal model of leadership. Teori ini menekankan bahwa tugas seorang pemimpin adalah untuk membantu pengikutnya dalam mencapai tujuan dan memberikan pengarahan serta dukungan guna memastikan tujuan mereka sesuai sasaran secara keseluruhan dari kelompok atau organisasi.
35
House (Yukl: 2010:256), mengidentifikasi empat perilaku kepemimpinan, yaitu: directive leadership, Supportive leadership, participative leadership dan achievement-oriented leadership, yang dijelaskan sebagai berikut; 1) Supportive leadership, kepemimpinan suportif yaitu, memberikan perhatian terhadap
kebutuhan
bawahan,
yang
memperlihatkan
perhatian
dan
kesejahteraan mereka dan menciptakan iklim yang bersahabat dalam unit kerja. 2) Directive leadership, kepemimpinan mengarahkan, membiarkan bawahan mengetahui apa yang diharapkan untuk mereka lakukan, memberikan bimbingan khusus, mengikuti bawahan untuk mengikuti peraturan dan prosedur, pembuatan jadwal dan mengkoordinasikan pekerjaan. 3) Participative
leadership,
Kepemimpinan
partisipatif
yaitu,
selalu
berkonsultasi dengan bawahan dan mempertimbangkan saran mereka dalam pengambilan suatu keputusan. 4) Achievement-oriented leadership, kepemimpinan berorientasi keberhasilan yaitu,
menetapkan tujuan yang menantang, mencari perbaikan kinerja,
menekankan kinerja yang luar biasa dan mengarapkan bawahan untuk berprestasi pada standar yang tinggi. Hersey dan Blanchard (Wahyudi, 2011:136) mengembangkan suatu model kepemimpinan situasional dengan menggunakan dua dimensi kepemimpinan yang sama seperti yang dikembangkan oleh Fiedler, yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan. Namun Hersey kemudian mengembangkan perilaku pemimpin menjadi
36
empat gaya yang spesifik yaitu: Instruktif, Telling, konsultatif selling, partisipatif participating, dan mendelegasikan delegating. 1) Instruktif (telling), yaitu, kepemimpinan yang berorientasi tugas tinggi dan hubungan rendah. Kepala sekolah lebih dominan dalam memberikan pengarahan tentang tugas terhadap guru dan sedikit dalam perilaku hubungan. 2) Konsultatif (selling) merupakan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas tinggi dan hubungan tinggi. Kepala sekolah masih harus mengusahakan dukungan secara psikologis agar para guru secara sukarela mau melaksanakan tugas sesuai harapan kepala sekolah. 3) Partisipatif (participating) yaitu, gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas rendah dan hubungan tinggi. Peranan kepala sekolah adalah memberikan kemudahan dan mengkomunikasikan berbagai hal yang perlu mendapat perhatian guru. 4) Mendelegasikan (delegating), yaitu, gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
tugas
rendah
dan
hubungan
rendah.
Kepala
sekolah
dapat
mendelegasikan tugas kepada para guru yang dipimpinnya. Pada sejumlah riset tentang model kepemimpinan menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin berbeda-beda tergantung pada situasi lingkungan. Gaya kepemimpinan kepala sekolah yang diterapkan juga tergantung pada tingkat kematangan atau kedewasaan guru dan tujuan yang ingin di capai. Dalam kenyataan di lapangan menunjukkan tidak ada satu gaya kepemimpinan yang efektif untuk berbagai situasi. Oleh karena itu kepala sekolah harus memiliki berbagai keterampilan dan penguasaan terhadap berbagai gaya
37
kepemimpinan untuk dapat mendukung perannya sebagai pemimpin dalam menjalankan kepempimpinanya agar dapat berhasil mencapai tujuan organisasi yang diinginkan.
2. Konsep Nilai Nilai atau value, berasal dari bahasa Latin valare atau bahasa Prancis Kuno valoir yang artinya nilai. Inggris Oxford Reference Dictionary mendefinisikan nilai sebagai “one‟s principles or standards; one‟s judgment of what is valuable or important in life”, “prinsip seseorang atau standar; penilaian tentang apa yang berharga atau penting dalam hidup. McCuddy (2008:1) mengemuakakan bahwa: “Values and values-based seems to have the assumed quality of something that is desirable — that is good, right, fair, and just. But that is not necessarily true! Values are not just positive in nature and uplifting of humanity. Values can reflect a negative orientation and be destructive of humanity, or some segment thereof” Nilai di asumsikan sesuatu yang diinginkan (yang baik, benar dan adil). Nilai tidak hanya positif di alam dan semangat kemanusiaan namun nilai juga dapat mencerminkan orientasi negatif dan bersifat merusak umat manusia. Mulyana (2011:8-11) mengemukakan beberapa pengertian nilai menurut para ahli, sebagai berikut; 1) “Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya”. (Gordon, Allport (1964) . nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Keyakinan ditempatkan sebagai wilayah psikologis yang lebih tinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan,
38
dan kebutuhan yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan pilihannya. 2) Kupperman (1983). Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihan di antara cara-cara tindakan alternatif. Penekanan utama definisi ini pada faktor eksternal yang mempengaruhi prilaku manusia. Pendekatan yang melandasi definisi ini adalah pendekatan sosiologis. Penegakan norma sebagai tekanan utama dan terpenting dalam kehidupan sosial akan membuat seseorang menjadi tenang dan membebaskan dirinya dari tuduhan yang tidak baik. Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa nilai merupakan rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan tindakan yang menjadi pegangan setiap orang dalam menjalani kehidupan. Nilai adalah sesuatu yang dipegang orang secara pribadi, dan juga merupakan tuntutan yang terdapat dalam diri seseorang sebagai acuan dalam perilaku. Nilai juga merupakan unit kognitif yang digunakan dalam menimbang tingkah laku dengan timbangan baik buruk ,tepat tidak tepat dan benar salah. Nilai merupakan hal yang penting untuk menjadi dasar pemahaman sikap dan motivasi individu, karena berpengaruh terhadap persepsi kita. Nilai terbentuk oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Menurut Kuczmarski & Kuczmarski (1995:43) Nilai berasal dari empat faktor, yaitu: (1) Family and childhood experiences, pengalaman keluarga dan masa kanak-kanak; (2) conflict events that evoke self-diccovery, peristiwa-peristiwa konflik yang menumbuhkan pencarian diri; (3) major life changes and experiential learning, perubahan
39
kehidupan utama dan pembelajaran eksperiental; dan (4) personal relationships with “important” individuals, hubungan personal dengan para individu yang penting. Pemahaman tentang nilai sangat ditentukan oleh bagaimana pemahaman nilai itu terbentuk. Ada nilai yang diinginkan dan dalam konteks interaksi dalam kelompok ada nilai yang tidak diinginkan karena tidak berkesesuaian. Menurut Zavalloni (1975: 197-217) isu penting yang perlu diperhatikan dalam pemahaman tentang nilai adalah, nilai seseorang dapat sama seperti nilai semua orang lainnya, sama dengan sebagaian orang, atau tidak sama dengan semua orang lain. Nilai selain mewakili keunikan individu juga dapat mewakili kelompok tertentu. Nilainilai ada yang bersifat personal dan sosial, nilai yang bersifat personal personal values terjadi dan terkait secara pribadi atas dasar dorongan-dorongan yang lahir secara psikologis dalam diri seseorang, sedangkan nilai-nilai yang bersifat sosial lahir karena adanya kontak secara psikologis maupun sosial dengan dunia luar yang dipersepsi atau disikapi. ( Mulyana, 2011:21) Selanjutnya Rokeach (Razik & Swanson: 1995:118) menegaskan bahwa asumsi dasar dari konsep nilai adalah bahwa setiap orang, dimana saja, memiliki nilai-nilai yang sama dengan derajat yang berbeda. “all people possess the same values to different degrees. Berdasarkan tipenya, menurut Rokeach Value Survey, nilai dapat dibedakan antara nilai terminal dan nilai instrumental. Nilai terminal merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental adalah sebagai alat untuk mencapai nilai-nilai terminal. Nilai terminal adalah nilai yang
40
memiliki harga dalam dirinya, dan merupakan tujuan sendiri. Nilai intstumental dan Nilai terminal seperti yang terdapat dalam tabel berikut: Tabel 2.1 Nilai Instrumental dan Nilai Terminal Rokeach Value Sistem (Mulyana, 2011:27) Nilai Instrumental Bercita-cita keras Berwawasan luas Berkemampuan Ceria Bersih Bersemangat Pemaaf Penolong Jujur Imajinatif Mandiri Cerdas Logis Cinta Taat Sopan Tanggung jawab Pengawasan diri
Nilai Terminal Hidup nyaman Hidup bergairah Rasa berprestasi Rasa kedamaian Rasa keindahan Rasa persamaan Keamanan keluarga Kebebasan Kebahagiaan Keharmonisan diri Kasih sayang yang matang Rasa aman secara luas Kesenangan Keselamatan Rasa hormat Pengakuan sosial Persahabatan abadi Kearifan
Robbin dan Judge (2007: 146) mengemukakan bahwa nilai (value) menunjukkan alasan dasar bahwa “cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan” . Selanjutnya menurut Schwartz, (1994:20) A value is a (1) belief (2) pertaining to desirable end states or modes of conduct, that (3) transcends specific situations, (4) guides selection or evaluation of behavior, people, and events, and (5) is ordered by importance relative to other values to form a system of value priorities.
nilai adalah suatu keyakinan
berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu yang melampaui
41
situasi spesifik, mengarahkan tingkah laku dan tindakan individu serta tersusun berdasarkan derajat kepentingan. Lebih lanjut Schwartz (1994:20) menjelaskan bahwa : “values as desirable, trans-situational goals, varying in importance,that serves as guiding principles in people‟s lives”. nilai merupakan kepercayaan umum tentang apa yang diinginkan atau tidak diinginkan, dengan derajat kepentingan yang berbeda,
berfungsi sebagai prinsip-prinsip panduan dalam
kehidupan manusia. Sauri, (2009:5) mengemukakan, nilai bersifat abstrak, berada di balik fakta, yang memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang ke arah yang lebih kompleks,. Selanjutnya Kattsoff (Soemargono, 2004:323) mengungkapkan bahwa hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara: Pertama, nilai sepenuhnya berhakekat subyektif, tergantung kepada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua, nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsurunsur objektif yang menyusun kenyataan. Menurut Tasmara T. (2006:283) nilai mencakup atau bahkan bagian dari falsafah hidup yang diyakininya sedemikian rupa sehingga menjadi penentu arah tindakan dan bersikap. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari segi filsafat nilai dapat dibedakan menjadi tiga, pertama nilai bersifat pragmatis, yaitu nilai-nilai yang lebih menekankan pada manfaat. Penilaian terhadap apapun senantiasa diukur oleh seberapa jauh hal tersebut bermanfaat. Kedua falsafah humanistik yang
42
menekankan hubungan dengan lingkungan sosial atau aspek kemanusiaan merupakan ukuran kebenarannya. Hak asasi manusia menjadi parameter apakah hal tersebut benar atau tidak. Ketiga, falsafah agama menawarkan nilai-nilai etika dan moral yang bersifat teologi yang lebih luas dan mendalam cakupannya. Falsafah agama merupakan wadah falsafah pragmatis, moralis, dan humanis dengan bermuara pada keilahian karena puncak kebenaran adalah Ilahi.
3. Kepemimpinan dan Nilai dalam Organisasi Nilai adalah konsep-konsep yang diinginkan yang dapat memotivasi individu atau kelompok untuk bertindak dengan cara tertentu serta mencapai tujuan tertentu yang mencerminkan motivasi dasar seseorang, sebagaimana dikemukakan Begley, (Syarifullah, 2011:2) "Values are those conceptions of the desirable which motivate individuals and collective groups to act in particular ways to achieve particular ends. Muladi dan Sujatno, (2011:66) mengemukakan bahwa, nilai merupakan unsur penentu keberhasilan organisasi. Nilai adalah prinsip sosial, tujuan dan standar yang dianut atau diterima oleh individu dalam organisasi sehingga dapat mengarahkan orang untuk berperilaku. Pemahaman tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Kuczmarski & Kuczmarski (1995) bahwa nilai sebagai tujuan, keyakinan, cita-cita, dan maksud-maksud bersama dari kelompok. Dari pengertian tersebut dipahami bahwa, dalam lingkup yang lebih luas nilai dapat merujuk pada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Jika individu atau organisasi kurang memiliki landasan nilai dan norma dalam
43
kehidupannya, maka tidak memiliki landasan berpijak dalam melakukan segala aktivitasnya dan tidak ada hal yang membuat perilaku, sikap, dan aktivitasnya memiliki arahan yang jelas. Pada gilirannya akan timbul berbagai permasalahan yang menyulitkan individu atau organisasi itu sendiri. . Menurut Sauri (2009:7) agar sebuah kelompok memelihara seperangkat nilai, kelompok tersebut harus membangun norma-norma yang membentuk dan mempengaruhi perilaku, sikap, dan aktivitas para anggotanya. Bagi seorang pemimpin nilai merupakan suatu keyakinan atau sebuah “roh” yang mendasari setiap tindakan yang dipegang teguh sebagai landasan dalam menjalankan kepemimpinannya. Nilai inti adalah keyakinan inti “suci” berkaitan dengan bagaimana seorang pemimpin harus berperilaku dalam pemenuhan misi organisasi. Sebagaimana dikemukakan Russel (Sharifullah, 2011:2), “ the values significantly impact leadership by affecting moral reasoning, behaviour, and leadership style”. Nilai secara signifikan mempengaruhi kepemimpinan dengan mempengaruhi penalaran, moral, perilaku dan gaya kepemimpinan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nilai sangat mempengaruhi individu dan pengambilan keputusan dalam organisasi dengan demikian nilai-nilai dari pemimpin akhirnya menembus organisasi yang dipimpinnya. “Values profoundly influence personal and organizational decision-making and the values of the leaders ultimately permeate the organizations they lead”. Selanjutnya Leithwood dan Steinbach ( Sharifullah, 2011:2) menekankan bahwa nilai-nilai mempengaruhi proses pemecahan masalah baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pengaruh langsung, nilai bertindak sebagai
44
preferensi dan mendikte tindakan para pemimpin, sedangkan pengaruh tidak langsung nilai bertindak sebagai filter untuk menentukan faktor eksternal dalam pemecahan masalah. “stress that values influence the problem-solving process both directly and indirectly. In direct influence, values act as preferences and dictate the school leaders„ actions. With respect to indirect influence, values act as filters for determining the saliency of external factors in problem-solving”. Nilai-nilai memainkan peran penting dalam kehidupan individu termasuk bagi seorang pemimpin, oleh karena itu pemimpin harus mampu mengenali, memahami dan mengartikulasikan sendiri nilai-nilai yang menjadi keyakinannya sehingga menjadi seperangkat nilai yang penting bagi landasan kepemimpinannya dan bagi organisasi. Nilai-nilai pribadi kepala sekolah memainkan peranan penting dalam menyeimbangkan dan menengahi semua jenis nilai lain dari nilai-nilai yang ada di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, nilai-nilai pribadi kepala sekolah sengaja atau tidak akan mempengaruhi praktek kepemimpinannya. Kepala Sekolah harus dapat memahami nilai-nilai dalam lingkup organisasi sekolah yang dipimpinnya karena setiap hari berhadapan dengan masalah ini, baik dalam kehidupannya sebagai pribadi maupun dalam kaitannya dengan posisinya sebagai pemimpin. Apalagi sebagai pemimpin, seorang kepala sekolah berhadapan dengan fakta-fakta bahwa belum tentu komunitasnya memiliki tata nilai yang sama dengan dirinya. Hal tersebut menyebabkan seorang pemimpin harus arif dan bijaksana menyikapi perbedaan tata nilai dengan komunitasnya. Kemampuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai organisasi akan membantu dalam menentukan prestasi kerja dan kesetiaan karyawan. Artinya , ketika seorang
45
individu menemukan keselarasan yang tulus dan bermakna antara nilai-nilai organisasi dengan nilai-nilai yang dimilikinya maka akan membentuk hubungan yang kuat di dalam organisasi antara pemimpin dan karyawan. Hubungan ini akan menciptakan banyak kemungkinan
yang menguntungkan,
baik untuk
pertumbuhan individu maupun produktivitas organisasi. Dalam bentuk perilaku yang muncul dari Individu atau kelompok, Schwartz (1994:21) mengidentifikasi ada 10 tipe nilai yang disebut sebagai motivational type of value adapun tipe-tipe itu adalah sebagai berikut: 1) Self-direction, motivasi dari tipe nilai ini adalah pikiran dan tindakan yang tidak terikat (independent), seperti memilih, mencipta, menyelidiki. Selfdirection bersumber dari kebutuhan organismik akan kontrol dan penguasaan (mastery), serta interaksi dari tuntutan otonomi dan ketidakterikatan. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : creativity, curious, freedom, choosing own goals, independent 2) Stimulation, nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik akan variasi dan rangsangan untuk menjaga agar aktivitas seseorang tetap pada tingkat yang optimal. Unsur biologis mempengaruhi variasi dari kebutuhan ini, dan ditambah pengaruh pengalaman sosial, akan menghasilkan perbedaan individual tentang pentingnya nilai ini. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah kegairahan, tantangan dalam hidup. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : daring, varied life, exciting life. 3) Hedonism, nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang diasosiasikan dengan pemuasan kebutuhan tersebut. Tipe nilai ini
46
mengutamakan kesenangan dan kepuasan untuk diri sendiri. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : pleasure, enjoying life. 4) Achievement, motivasi nilai ini adalah keberhasilan pribadi dengan menunjukkan kompetensi sesuai standar sosial. Unjuk kerja yang kompeten menjadi kebutuhan bila seseorang merasa perlu untuk mengembangkan dirinya, serta jika interaksi sosial dan institusi menuntutnya. Nilai khusus yang terdapat pada tipe nilai ini adalah : succesful, capable, ambitious, influential. 5) Power, nilai ini merupakan dasar pada lebih dari satu tipe kebutuhan yang universal, yaitu transformasi kebutuhan individual akan dominasi dan kontrol yang diidentifikasi melalui analisa terhadap motif sosial. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pencapaian status sosial dan prestise, serta kontrol atau dominasi terhadap orang lain atau sumberdaya tertentu. Nilai khusus (spesific values) tipe nilai ini adalah : social power, authority, wealth, preserving my public image dan social recognition. 6) Security, Tujuan motivasional tipe nilai ini adalah mengutamakan keamanan, harmoni, dan stabilitas masyarakat, hubungan antar manusia, dan diri sendiri. Ini berasal dari kebutuhan dasar individu dan kelompok. Tipe nilai ini merupakan pencapaian dari dua minat, yaitu individual dan kolektif. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : national security, social order, clean, healthy, reciprocation of favors, family security, sense of belonging. 7) Comformity, Tujuan dari tipe nilai ini adalah pembatasan terhadap tingkah laku, dorongan-dorongan individu yang dipandang tidak sejalan dengan
47
harapan atau norma sosial. Ini diambil dari kebutuhan individu untuk mengurangi perpecahan sosial saat interaksi dan fungsi kelompok tidak berjalan dengan baik. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : politeness, obedient, honoring parents and elders, self discipline 8) Tradition, Kelompok dimana-mana mengembangkan simbol-simbol dan tingkah laku yang merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama. Tradisi sebagian besar diambil dari ritus agama, keyakinan, dan norma bertingkah laku. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah penghargaan, komitmen, dan penerimaan terhadap kebiasaan, tradisi, adat istiadat, atau agama. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : humble, devout, accepting my portion in life, moderate, respect for tradition. 9) Benevolence, Tipe nilai ini lebih mendekati definisi sebelumnya tentang konsep prososial. Bila prososial lebih pada kesejahteraan semua orang pada semua kondisi, tipe nilai benevolence lebih kepada orang lain yang dekat dari interaksi sehari-hari. Tipe ini dapat berasal dari dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan interaksi yang positif untuk mengembangkan kelompok, dan kebutuhan organismik akan afiliasi. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah peningkatan kesejahteraan individu yang terlibat dalam kontak personal yang intim. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : helpful, honest, forgiving, responsible, loyal, true friendship, mature love. 10) Universalism, Tipe nilai ini termasuk nilai-nilai kematangan dan tindakan pro-sosial. Tipe nilai ini mengutamakan penghargaan, toleransi, memahami orang lain, dan perlindungan terhadap kesejahteraan umat manusia. Contoh
48
nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : broad-minded, social justice, equality, wisdom, inner harmony Nilai berdasarkan pemaparan tersebut tidak menutup memungkinkan dapat menimbulkan konflik apabila diimplementasikan dalam sebuah kelompok dan dalam proses interaksi bersentuhan antara nilai yang satu dengan yang lainnya, karena didalam kelompok masing-masing individu membawa nilai yang berbeda ke dalam organisasi. Setiap individu mempunyai nilai sendiri yang tidak bisa diganggu gugat orang lain, hal tersebut karena melibatkan pikiran, perasaan, landasan, pilihan, haluan, keyakinan, dan kualitas hidup sehingga subjektivitasnya sangat tinggi. Banyak aspek yang dapat menyebabkan timbulnya perbedaan nilai-nilai tersebut, yaitu; tata nilai, seperti budaya, asal-usul, sistem keyakinan, usia, pendidikan, keluarga, lingkungan, teman-teman, geografi, sistem pola asuh, status sosial, jenis kelamin, ideologi, dan sebagainya. Menurut Schwartz (1994:24) berdasarkan adanya tipe nilai yang sejalan dan berkonflik, tipe nilai dapat diorganisasikan ke dalam dimensi yang disebut bipolar, yaitu: 1) Dimensi Oppenes to change yang mengutamakan pikiran dan tindakan independen
yang
berlawanan
dengan
dimensi
conservation
yang
mengutamakan batasan-batasan terhadap tingkah laku, ketaatan terhadap aturan tradisional, dan perlindungan terhadap stabilitas. 2) Dimensi Self-transcendence yang menekankan penerimaan bahwa manusia pada hakekatnya sama dan memperjuangkan kesejahteraan sesama hal ini
49
berlawanan dengan dimensi self-enhacement yang mengutamakan pencapaian sukses individual dan dominasi terhadap orang lain. Seperti pada gambar berikut:
Gambar 2.3 Theoretical model of relations among ten motivational types of values Schwartz (1994:24) Dari pemaparan tentang nilai, maka dapat di ketahui fungsi-fungsi
nilai
tersebut sebagai berikut; 1. Nilai sebagai standar: yaitu nilai berfungsi untuk; a) Membimbing individu dalam
mengambil
posisi
tertentu
dalam
socialissues
tertentu,
b)
Mempengaruhi individu untuk lebih menyukai ideologi politik tertentu dibanding ideologi politik yang lain, c) Mengarahkan cara menampilkan diri pada orang lain, d) Melakukan evaluasi dan membuat keputusan, e) Mengarahkan tampilan tingkah laku membujuk dan mempengaruhi orang lain, memberitahu individu akan keyakinan, sikap, nilai dan tingkah laku
50
individu lain yang berbeda, yang bisa diprotes dan dibantah, bisa dipengaruhi dan diubah. 2. Sistim nilai sebagai rencana umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan keputusan. Umumnya nilai-nilai yang teraktivasi adalah nilainilai yang dominan pada individu yang bersangkutan. 3. Fungsi motivasional .Fungsi langsung dari nilai adalah mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar sehingga nilai dikatakan memiliki fungsi motivasional. Nilai berkaitan dengan perasaan atau lebih berkaitan dengan emosi ketimbang rasio. Untuk itu, pemimpin harus mampu berempati dan merasakan suasana hati pengikutnya yang mencakup antara lain; 1) sense of justice- perasaan keadilan merupakan nilai-nilai universal dimana setiap orang ingin diperlakukan secara adil dan seimbang, 2) sense of the truth- perasaan kebenaran yang menjadi motivasi pendorong atau alasan utama kenapa mereka bertindak, 3) sens of kindness- perasaan dimana mereka memiliki nilai-nilai kebaikan dan etika yang harus dipatuhinya, 4) sense of meaning- rasa kebermaknaan bahwa dia bekerja atau mengikuti pemimpin karena merasa keberadaannya bermakna dan dihargai. (Tasmara, T, 2006: 285) Dari pemaparan tersebut nilai harus menjadi dasar bagi pemimpin untuk menjalankan kepemimpinan yang berkualitas sehingga menjadi kunci utama keberasilan suatu organisasi menuju cita-cita bersama. Menurut Suryana, (2010: 40) Keberhasilan pemimpin dimulai dari penerapan nilai-nilai universal yang
51
dipercaya dalam konteks interaksi organisasi. Nilai-nilai yang dimiliki tersebut diperlihatkan dengan menampakkan kepemilikan etika dan estetika dalam kehidupan organisasi. Kepemimpinan dan nilai-nilai, yang diyakini bersama seluruh anggota merupakan keselarasan dan asas yang mengandung kesamaan persepsi terhadap nilai-nilai yang ada dalam sebuah organisasi dan pantas untuk dipatuhi serta dijadikan rujukan oleh seluruh anggota dan pemimpin dalam berinterkasi dan menjalankan tanggung jawabnya terhadap organisasi menuju tujuan yang diharapkan.
4. Kepemimpinan Berbasis Nilai (Value-Based Leadership) Isu kepemimpinan bersifat dinamis dan selalu aktual untuk diperbincangkan sepanjang waktu. Kepemimpinan bukan semata-mata orang yang memiliki jabatan struktural atau posisi tertentu dalam suatu organisasi. “kepemimpinan lebih mengacu kepada fungsi yang dimiliki seseorang, bukan hanya sekedar seseorang yang berada di posisi atas” (Muladi dan Sujanto 2011:66). Artinya bahwa kepemimpinan tidak hanya dilihat dari segi teknis semata, akan tetapi berkaitan dengan kepemilikan terhadap nilai-nilai, moral dan keyakinan yang dimiliki pemimpin personal values, moral komitmen dan efektivitas yang diaktualisasikan dalam peran dan tindakannya sebagai seorang pemimpin. a. Nilai perseorangan (Personal values) Personal values terjadi dan terkait secara pribadi atas dasar dorongandorongan yang lahir secara psikologis dalam diri seseorang. Personal values adalah sesuatu yang dipegang orang secara pribadi, dan juga merupakan
52
tuntutan yang terinternalisasi (menyatunya nilai dalam diri seseorang, yang merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, praktik dan aturan yang berlaku pada diri seseroang) dalam perilaku. (Mulyana,2011: 21). Dari pengertian tersebut dapat di pahami bahwa Nilai individual atau personal values berperan sebagai standar yang mengarahkan tingka laku, membimbing individu untuk memasuki suatu situasi dan bagaimana individu bertingkah laku dalam situasi tersebut. Nilai menjadi kriteria yang dipegang oleh individu dalam memilih dan memutuskan sesuatu, memberi arah dan sikap, keyakinan seseorang, serta memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan. Dalam perspektif manajemen, penekanan nilai dilihat sebagai sebuah keyakinan yang membantu menentukan perilaku individu, baik personil maupun pemimpin. Pandangan ini menjelaskan sebagian besar daya tarik banyak pemimpin harus dengan konsep nilai-nilai bersama. Dengan cara seperti itu, nilai adalah suatu cara untuk mempengaruhi perilaku tanpa perlu struktur formal, sistem, strategi, atau mekanisme kontrol. Sebagaimana di kemukakan Viinamaki, (2009:2) bahwa : “From a management perspective, values are seen as the underlying attitudes and beliefs that help determine individual behavior, both personnel and leaders. This view largely explains the fascination many leaders have with the concept of shared values. In such way, values are a means of influencing behaviors without the need to resort to formal structures, systems, strategies, or control mechanisms. Values would also provide leaders with a means of directing the organization in a desired way without having to resort to authoritarianism and using tight or confusing rules”
53
b. Komitmen Komitmen mengandung pengertian sebagai pembulatan tekad pada diri seseorang untuk mencurahkan segala kemampuan dan hidupnya semata-mata bagi pencapaian organisasi. Komitmen adalah keyakinan yang mengikat (aqad) sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan perilaku menuju arah yang diyakininya (i‟tiqad). Tasmara. T (2006: 62) Komitmen tidak datang dengan sendirinya, membutuhkan proses usaha dan waktu yang akan menentukan bawa seseorang itu berkomitmen terhadap organisasinya atau tidak. Dalam hal ini, seorang pemimpin adalah pemegang peranan dalam menumbuhkan komitmen. Zainuddin Sri Kuntjoro (Suryana 2010: 105) komitmen organisasi memiliki tiga aspek utama, yaitu: (1) Identifikasi, yaitu bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi, meyatukan tujuan-tujuan individu dengan tujuan organisasi dan dibutuhkan suasana saling mendukung antara
pegawai
dan
organisasi
sehingga
pegawai
dengan
rela
menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi. (2) Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja penting, karena adanya keterlibatan pegawai memperlihatkan mereka mau dan senang bekerja sama baik dengan pimpinan maupun dengan sesama teman kerja.(3) Loyalitas pegawai terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalao perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun.
54
c. Efektivitas “Effectiveness is the extent to which operative goals can be attiained” . efektivitas adalah tingkat pencapaian tujuan, Steers., Unson dan Mowday (Wahyudi, 2012: 88). Efektivitas berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan, (Mulyasa 2011: 82) Vadim Kotelnikov (2008:1) mengemukakan bahwa: “Leadership is not limited just to singular measure of effectiveness- it is a multidimensional phenomenon. Values-based leadership is different from other mode in that it includes all the three factor: 1) Effectiveness,measuring the achievement of the objectives, 2) Morality, - measuring how change affect concerned parties, and 3) Time, - measuring the desirability of any goal over the long term”. Kepemimpinan berbasis nilai tidak hanya berkaitan dengan efektivitas semata akan tetapi mencakup secara keseluruhan tiga faktor, yaitu 1) Efektivitas, yang dapat dilihat dari ukuran pencapaian tujuan, 2) Moralitas, mengukur bagaimana proses mempengaruhi dan, 3) Waktu, mengukur keinginan untuk tujuan apapun dalam jangka panjang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa: “Values-based leadership is not simply about style, how-to, following some recipe, or even mastering "the vision thing". Instead, it is about ideas and values. It is about understanding the different and conflicting needs of followers, energizing followers to pursue a goal than they had never thought possible. "In practical business terms, it is about creating conditions under which all followers can perform independently and effectively toward a single objective." Kepemimpinan berbasis nilai bukan hanya tentang gaya kepemimpinan, cara memimpin maupun beberapa resep kepemimpinan atau bahkan
55
menguasai “tentang visi”. Akan tetapi kepemimpinan berbasis nilai adalah tentang ide-ide nilai. Bagaimana pemimpin memahami kebutuhan pengikut yang berbeda dan saling bertentangan serta mengejar tujuan yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Dalam hal praktis, adalah tentang menciptakan kondisi dimana semua pengikut dapat melakukan secara independen dan efektif menuju satu tujuan. Kepemimpinan berbasis nilai merupakan konsep yang banyak di bahas tetapi sulit di pahami. McCuddy (2008:2) menawarkan pendekatan pemahaman tentang kepemimpinan berbasis nilai, yaitu kepemimpinan yang mencerminkan dasar
moral
yang
mendasari
keputusan
pengelolaan
dan
tindakannya.
Kepemimpinan berbasis nilai merupakan kepemimpinan dengan contoh; melaksanakan yang benar dengan alasan yang benar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai inti. Selanjutnya Vinamaki, (2009:2) mengemukakan bahwa: Value-Based Leadership refers broadly to leadership based on foundational moral principles or values such as integrity, empowerment, and social responsibility. Value-Based Leadership operates in several directions in intra-organizational relations. “values-driven leadership sets the function of the relationship as putting values into practice” and “the function of the leader may be to bring values to the relationship.” suggests that value-based leaders “task, role, and responsibility is to help followers realize the most important ends that they hold dear but cannot obtain by themselves”. Kepemimpinan
berbasis
nilai
mengacu
luas
pada
kepemimpinan
berdasarkan prinsip-prinsip moral dasar atau nilai-nilai seperti integritas, pemberdayaan, dan tanggung jawab sosial. kepemimpinan berbasis nilai menetapkan fungsi hubungan dengan meletakkan nilai-nilai dalam praktek dan fungsi pemimpin untuk membawa nilai-nilai ke dalam hubungan tersebut. Dengan
56
demikian, tugas, peran dan tanggungjawab pemimpin adalah untuk membantu pengikut mewujudkan tujuan yang paling penting yang mereka inginkan tetapi tidak dapat diperolehnya sendiri. Filosofi Kepemimpinan berbasis nilai berfokus pada sosok pempimpin dan bagaimana pemimpin berperilaku daripada
posisi apa yang dimiliki. Karena
kepemimpinan sejati sesungguhnya adalah bagaimana pemimpin mendapatkan otoritas/kekuasaan melalui contoh dan tindakannya sehingga orang memilih untuk mengikutinya. Sebab kepemimpinan bukanlah tentang sebuah posisi kekuasaan atau kemampuan untuk membuat orang melakukan kehendak pemimpin. Kepemimpinan berbasis nilai merupakan kepemimpinan yang memotivasi para pengikut untuk meninggikan perilaku melalui etika. kemukakan
seperti yang di
Burns (Gary Yukl, 2010;481) bahwa peran atau fungsi
kepemimpinan yang utama adalah meningkatkan kesadaran mengenai masalah etis dan membantu anggota organisasi menyelesaiakan nilai-nilai yang bertentangan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa; kepemimpinan sebagai sebuah proses dimana “para pemimpin dan para pengikut saling meninggikan yang lainnya ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”. Dari pengertian tersebut dapat di pahami bahwa Kepala sekolah memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kesadaran para guru dan staf keselarasan
dengan menarik idealisme dan
nilai moral seperti kebebasan, keadilan, kesetaraan, kedamaian,
humanisme, bukan emosi dasar seperti ketakutan, kerakusan, kecemburuan atau kebencian sebagai landasan
berinteraksi dalam organisasi. Pemahaman dan
57
kesadaran terhadap nilai moral tersebut diharapkan akan menjadikan landasan dan motivasi dalam bekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan pendidikan memiliki makna yang luas yang dapat memberi teladan dan membangun nilai bersama anggotanya serta dapat
mengarahkan
seluruh sumber daya yang dimiliki sekolah untuk mencapai tujuan organisasi. Kepala sekolah harus mampu menyelaraskan misi, organisasi, nilai-nilai, visi, strategi, manajemen kinerja, penghargaan dan pengakuan, serta sistem dan proses untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien serta produktif (Suryana, 2010:55). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepemimpinan berbasis nilai adalah kepemimpinan yang memiliki Integritas. Menurut Muladi dan Sujanto, (2011:95) integritas adalah perpaduan dari keteguhan watak dan prinsip-prinsip moral, bertabiat suka akan kebenaran, tulus hati dan perasaan halus mengenai etika, keadilan dan kebenaran. Sedangkan Rivai dan Murni (2009: 297) menjelaskan integritas sebagai ketaatan pada nilai-nilai moral dan etika yang diyakini seseorang dan membentuk perilakunya sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat, ada sejumlah ciri yang menggambarkan integritas kepala sekolah, yaiu; dapat dipercaya, konsisten, komitmen, bertanggung jawab, dan secara emosional terkendali. Integritas juga didefinisikan sebagai kondisi atau keadaan yang mememiliki prinsip moral, spiritual, dan profesional yang memadai seperti jujur, tulus/iklas. 1) Dapat dipercaya (amanah). Seorang kepala sekolah haruslah orang yang dapat dipercaya. Kepercayaan itu diperolehnya secara sukarela, tidak dengan
58
meminta apalagi memaksa orang lain untuk mempercayainya. Kepala sekolah yang dapat dipercaya memiliki kejujuran yang tidak diragukan 2) Konsisten, kepala sekolah yang konsisten dapat diandalkan. Kepala sekolah seperti ini perbuatannya taat asas dengan perkataannya. Kepala sekolah seperti ini tidak bermuka banyak. Ia mengoperasionalkan kebijakan pendidikan secara tegas dan bijaksana, dan tidak perlu menjadi anggota bunglon sosial untuk mengamankan kebijakan itu. 3) Komitmen. Kepala sekolah yang memiliki komitmen, terkait secara emosional dan intelektual untuk mengabdikan diri sepenuhnya bagi kepentingan anak didiknya. Kepala sekolah seperti ini tahu persis bahwa tanggung jawabnya tidak mungkin dapat dipikulnya setengah-setengah. Pekerjaan sebagai kepala sekolah baginya bukan pekerjaan paruh waktu. Ia tidak boleh merangkap-rangkap pekerjaannya dengan pekerjaan lain, atau menjadi kepala sekolah di lebih dari satu tempat. 4) Bertanggung jawab. kepala sekolah memiliki kewajiban sosial hukum, dan moral dalam menjalankan perannya. Kepala sekolah yang berintegritas tidak akan menghindar apalagi lari dari tanggung jawabnya. Kepala sekolah yang mengutamakan kepentingan anak didiknya sadar betul bahwa secara sosial, hukum, dan moral ia harus berperilaku yang dapat dipertanggunajawabkan. 5) Secara emosional terkendali. Kepala sekolah yang berkecerdasan emosi tinggi sangat menyadari pengaruh emosinya dan emosi orang lain terhadap proses pemikirannya dan interaksinya terhadap orang lain. Kepala sekolah seperti ini mampu mengaitkan emosi dengan penalaran, menggunakan emosi untuk
59
memfasilitasi penalaran dan secara cerdas menalarkan emosi. Dengan kata lain, ia menyadari bahwa kemampuan kognitif seseorang diperkaya dengan emosi dan perlunya emosi di kelola secara kognitif. Nilai-nilai inti kehidupan yang teruji berlangsung sepanjang zaman adalah spiritualitas. Makna inti dari kata spiritualitas (spirituality) adalah bermuara kepada kehakikian, keabadian dan ruh, bukan yang sifatnya semantara dan tiruan. Dimensi spiritualitas senantiasa berkaitan secara langsung dengan realitas Tuhan, Illah, Tuhan Yang Maha Esa. Kepemimpinan yang berdasarkan etika religius merupakan kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (ke – Illahi – an), karena itu kepemiminan berbasis etika religius disebut juga kepemimpinan berbasis spiritual. Hendrisck dan Ludeman (Masaong dan Tilome, 2011: 114)
mengemukakan bahwa, kepemimpinan berbasis spiritual
adalah kepemimpinan yang mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi dan
menggerakkan
melalui
keteladanan,
pelayanan,
kasih
sayang dan
implementasi nilai dan sifat-sifat ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses, budaya dan perilaku kepemimpinan. Suryana, (2010: 56) mengemukakan bahwa: “Kepemimpinan yang berbasis spiritualitas, bukan tentang kecerdasan dan keterampilan dalam memimpin belaka, namun juga menjunjung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, integritas, kredibilitas, kebijaksanaan, belas kasih, yang membentuk akhlak dan moral diri sendiri dan orang lain. Spiritual Leadership adalah kepemimpinan yang mengedepankan moralitas, kepekaan (sensitivitas), keseimbangan jiwa, kekayaan batin dan etika dalam berinteraksi dengan orang lain” Mengacu pada perspektif islam, kepemimpinan berbasis nilai
spiritual
dapat merujuk pada pola kepemimpinan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW. sifat-sifatnya yang utama, yaitu sidiq, fathonah, amanah, dan tabligh,
60
dengan sifat-sifat tersebut mampu mempengaruhi orang lain dengan cara mengilhami
tanpa
mengindoktrinasi,
menyadarkan
tanpa
menyakiti,
membangkitkan tanpa memaksa dan mengajak tanpa memerintah. Muladi dan Sujanto, (2011:149) menjelaskan sifat-sifat tersebut sebagai berikut; 1) Siddiq artinya jujur, benar, berintegritas tinggi, (transparan) dan terjaga dari kesalahan; dimana seorang kepala sekolah harus senantiasa menjunjung tinggi kebenaran dan memiliki integritas yang tidak diragukan lagi. Ia harus tegas dalam menyatakan pendapatnya secara benar, tulus dan jelas sesuai dengan kenyataan. 2) Fathonah artinya cerdas, memiliki intelektualitas yang tinggi dan profesional (capabel).
Kepala
sekolah
yang
mempunyai
keluasan
ilmu
akan
mengantarkan menjadi pemimpin yang bijaksana dalam mengambil keputusan, toleran terhadap perbedaan serta cerdas dan tangkas dalam mengantisipasi berbagai gejolak yang muncul dalam organisasi. 3) Amanah artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi (acceptabel) dan akuntabel; kepala sekolah harus melaksanakan segenap tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya serta memahami bahwa kepercayaan yang diberikan kepadanya merupakan suatu ibadah. 4) Tabligh artinya senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan. (informatif dan komunikatif). Kepala sekolah yang memiliki sifat komunikatif dan informatif akan dapat mengambil keputusan yang aspiratif sesuai dengan visi dan misi
61
kepemimpinannya yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Goleman (Tasmara: 2006:124) mencatat beberapa ciri-ciri orang yang mempunyai sifat al-amin. Antara lain ; (1) bertindak berdasarkan etika dan tidak mempermalukan orang lain, (2) membangun kepercayaan didi lewat keandalan diri dan autentisitas (kemurnian, kejujuran), (3) berani mengakui kesalahan sendiri dan berni menegur perbuatan tidak etis orang lain, (4) berpegang kepada prinsip secara teguh, walaupun resikonya tidak disukai serta memiliki komitmen dan mematuhi janji, (5) bertanggung jawab sendiri untuk memperjuangkan tujuan mereka serta terorganisasi dan cermat dalam bekerja. Selanjutnya Rachmat Ramadhan al Banjari (2008: 131) mengemukakan karakter seorang pemimpin yang mendasarkan pada spiritualitas meliputi: takwa, memiliki kesehatan jasmani, shidiq, amanah, tabligh, fathanah, istiqomah, ikhlas, selalu bersyukur, malu melakukan perbuatan dosa, cerdas emosional, sabar, optimis, berjiwa besar, dan sikap syaja’ah. Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa kepemimpinan berbasis nilai yang mendasarkan pada satu titik nilai yang Illahiyah, maka setiap gerak dan langkah dalam perilaku kerja dan hubungan antara manusia, senantiasa menggunakan pedoman etika dalam perspektif agama dan moral. Kedua hal ini yaitu agama dan moral yang akan membentuk etika kepemimpinan berbasis nilai yang kuat, seperti digambarkan oleh Nana Rukmana, (2007:128) , sebagai berikut;
62
Gambar 2. 4 Etika Kepemimpinan Perspektif Agama dan Moral ( Rukmana. N, 2007:128) Dari gambar tersebut dapat di pahami bahwa etika kepemimpinan berbasis nilai dalam perspektif agama dan moral merupakan perpaduan antara nilai-nilai kepemimpinan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, SAW. yaitu; Siddiq, Amanah, Tabligh, Fatonah. Dalam implementasi kepemimpinan nilai-nilai spiritual tersebut diwujudkan dalam bentuk nilai moral pemimpin yang menjadi nilai dasar dan patokan normatif. 1) Perbaduan dari
amanah dan tabligh
menjadikan seorang pemimpin yang selalu mengedepankan transparansi (mendahulukan kepentingan umum, menunaikan hak bawahan, reward dan punishment, peduli, menerima koreksi) , 2) perpaduan dari siddiq dan amanah menjadikan seorang pemimpin yang memiliki akuntabilitas (adil, konsisten,
63
disiplin, siap mundur dari jabatan) , 3) perpaduan dari
siddiq dan fathonah
mewujudkan seorang pemimpin yang profesional (komitmen, inisiatif, kreatif, rendah hati, tegas) dan 4) perpaduan dari pemimpin
fathonah dan tablihg menjadikan
pandai berkomunikasi/ komunikatif
(musyawarah, sabar , lemah
lembut, cinta dan kasih sayang, membimbing dan memotivasi). Susan Smith Kuczmarski & Thomass D Kuczmarski, (1995: 191-200) mengusulkan sepuluh inisiatif yang harus dikembangkan oleh setiap pemimpin berbasis nilai berdasarkan inisiatif kepemimpinan, yaitu; 1) Built personal relationships
(membangun hubungan
pribadi),
kepala
sekolah harus membangun hubungan pribadi yang harmonis dengan seluruh staf dan dewan guru. Dengan membentuk hubungan yang kuat dan saling memahami, maka staf dan dewan guru akan bekerja lebih efektif. 2) Know the personal goals of each group members (mengetahui tujuan pribadi masing-masing anggota kelompok) kepala sekolah
perlu memahami dan
mengungkap tujuan pribadi para staf dan dewan guru hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dan membantu individu bagaimana untuk mencapainya. Bagi kepala sekolah tujuan individu dapat digunakan sebagai platform/bentuk untuk membangun tujuan kelompok. 3) Have a feel for group members (memiliki rasa terhadap anggota kelompok) kepala sekolah dan seluruh warga sekolah harus mengetahui kekuatan dan kelemahan satu dengan lainnnya. Kepala sekolah harus tahu ketika dalam kondisi tertentu mungkin mengecewakan orang lain dalam kelompoknya.
64
Dan kepala sekolah juga harus tahu bagaimana agar berhasil memotivasi seluruh anggota kelompok dalam bekerja. 4) Allow for group conflicts (memungkinkan untuk konflik kelompok) Kepemimpinan diperoleh ketika individu berinteraksi dengan satu sama lain dalam kelompok dan bagian dari proses alamiah dari setiap serangkaian interaksi adalah konflik. Konflik adalah bagian normal dari interaksi dan hubungan pribadi. Kepala sekolah yang efektif tahu bagaimana menangani konflik yang terjadi dalam kelompok. 5) Managing
learning
(mengelola
pembelajaran)
Pemimpin
perlu
mengembangkan lingkungan belajar atau organisasi belajar. Kepala sekolah harus memberi kesempatan kepada staf dan dewan guru untuk belajar dan terus meningkatkan kemampuan mereka. Seperti dalam sebuah proses belajar mengajar kepala sekolah harus memberikan materi dengan menggunakan metode dan media yang tepat kepada para bawahannya, melalui bimbingan serta memberikan kesempatan kepada staf dan dewan guru untuk belajar tentang banyak hal yang berkaitan dengan organisasi. Sebab pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menjadikan bawahannya sebagai pemimpin. 6) Share responsibility (berbagi tanggung jawab) Ketika organisasi mulai mengembangkan budaya penuh nilai, kinerja staf dan dewan guru
akan
menjadi tanggung jawab bersama, bukan menjadi keberhasilan atau kegagalan individu. Artinya bahwa sistem atau mekanisme kerja apapun yang dijalankan merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan organisasi.
65
Oleh karena itu setiap tanggungjawab yang diberikan kepada setiap individu harus dilaksanakan sebaik mungkin. 7) Use teaming (membangun kerjasama kelompok), kelompok atau teamwork dapat dipandang sebagai salah satu sarana menuju kekuatan kerja mengubah dinamika organisasi. Melalui kerjasama tim diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi individu untuk mempraktekkan keterampilan dan perilaku kepemimpinan. Mereka dapat membantu membangun dan mempertahankan budaya organisasi dengan membangun nilai-nilai bersama. Karena kepuasan anggota dan komitmen terhadap organisasi tergantung pada apakah ada atau tidaknya nilai-nilai bersama dalam budaya yang dimilikinya. 8) Communicate two-ways (komunikasi dua arah), komunikasi dua arah merupakan cara untuk membangun budaya berbasis nilai dan menerapkan perubahan budaya. Pemimpin harus menyampaikan kepada seluruh anggota dan meminta masukan mereka tentang kondisi organisasi. Kepala sekolah, staf dan dewan guru beserta seluruh warga sekolah harus secara bersamasama membangun visi dan mengembangankan nilai-nilai yang akan memfasilitasi untuk mencapai visi tersebut. Hal ini berarti bahwa keterlibatan anggota , masukan, dan umpan balik sangat penting. Jika komunikasi tidak konsisten, maka norma-norma dan nilai-nilai budaya di tempat kerja sangat sulit untuk dibangun . 9) Link internal culture with external performance, menghubungkan budaya internal dengan kinerja eksternal, Kepuasan dengan budaya internal mempengaruhi kinerja eksternal organisasi. Jika organisasi telah menetapkan
66
dan memfokuskan pada norma dan nilai-nilai internal, maka staf dan dewan guru akan merasa lebih bangga dan lebih positif terhadap organisasi mereka. Kinerja individu akan meningkat, yang akan meningkatkan kinerja lebih baik bagi organisasi secara keseluruhan. 10) Display passion and support diversity (menampilkan gairah dan mendukung keragaman)
Gairah juga mencakup pengakuan terhadap individu
(siapa
mereka dan sebagaimana adanya) . Keyakinan yang kuat terhadap keragaman dan
mendukung
pluralisme
akan
membentuk
kepemimpinan
yang
melegitimasi nilai dan menghormati semua individu yang ada didalam organisasi. Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa, norma dan nilai kelompok harus diciptakan, diidentifikasi, dan dipelihara di lingkungan sekolah. Organisasi yang memiliki seperangkat nilai dan norma yang kuat sangat bermanfaat karena dapat bertindak untuk menggantikan aturan birokrasi dan peraturan dalam sebuah organisasi. Artinya bahwa, ketika guru mengetahui tujuan dan sasaran organisasi dengan jelas, maka mereka akan termotivasi untuk bekerja ke arah pencapaian tujuan tersebut, tidak perlu adanya banyak peraturan, dengan sendirinya guru akan melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan karena mereka ingin, bukan karena mereka diperintah. Hal ini kemudian dapat menjadi jembatan bagi kepala sekolah dalam penerapan gaya kepemimpinan manajemen partisipatif dan kepemimpinan bersama. Guru akan memotivasi diri mereka sendiri bekerja ke arah pencapaian tujuan organisasi, mereka juga akan merasa bisa menjadi lebih berharga sebagai sumber pengambilan keputusan bagi organisasi.
67
C. Iklim Organisasi Sekolah 1. Konsep Iklim Organisasi Sekolah Iklim organisasi sekolah dapat dikemukakan sebagai iklim organisasi yang terjadi pada suatu sekolah. Pada masa lalu iklim secara khusus dianggap sebagai sebuah konsep umum untuk menyatakan kualitas jangka panjang dari kehidupan organisasi, seperti yang di kemukakan Hoy dan Miskel (2008: 198) bahwa: “climate was initially conceived as a general concept to express the enduring quality of organizational life”, . Owens (1991) menjelaskan: “Organizational climate is the study of perceptions that individual have of various aspects of the environment in the organization.” Pengkajian iklim organisasi dapat dilakukan dengan menggali dari persepsi individu yang ada dalam organisasi. Pengertian tersebut mengisyaratkan, bahwa iklim organisasi berkaitan erat dengan persepsi yang dimiliki oleh individu guru, staf dan siswa di sekolah. Selanjutnya Gilmer (Hoy dan Miskel, 2008: 198) mendefinisikan iklim organisasi sebagai: ”those characeristics that distinguish the organization form other organizations and that influence the behavior of people in the organization”. Hal ini menunjukan bahwa iklim organisasi merupakan sifat-sifat yang membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya serta mempengaruhi perilaku orang-orang yang ada didalamnya. Sebagai rangkuman terhadap definisi-definisi tentang iklim organisasi, (Hoy dan Miskel, 2008:198) mendefinisikan iklim organisasi sebagai berikut: 1. Iklim organisasional berkaitan dengan jumalah unit yang besar, yang mencirikan kelengkapan dari keseluruhan organisasi atau sub unit.
68
2. Iklim organisasional menggambarkan satu unit organisasi dan bukan sekedar mengevaluasinya atau menunjukan reaksi emosional padanya. 3. Iklim organisasional muncul dari praktik rutin organisasional yang penting bagi organisasi dan anggotanya. 4. Iklim organisasional mempengaruhi sikap dan perilaku anggotanya Litwin dan Stringer (Gunbayi, 2007:1) menjelaskan bahwa iklim sekolah didefinisikan secara bervariasi oleh para ahli sebagai hasil dari persepsi subjektif terhadap sistem formal, gaya informal kepala sekolah, dan faktor lingkungan penting lainnya yang mempengaruhi sikap, kepercayaan, nilai dan motivasi individu yang berada pada sekolah tersebut. Apabila ditelaah lebih dalam, variasi definisi iklim sekolah tersebut mengerucut kepada tiga pengertian. Pertama, iklim sekolah didefinisikan sebagai kepribadian suatu sekolah yang membedakan dengan sekolah lainnya. Kedua, iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana di tempat kerja (kondisi lingkungan pekerjaan), mencakup berbagai norma yang kompleks, nilai, harapan, kebijakan, dan prosedur yang mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok.
Ketiga, iklim sekolah didefinisikan sebagai
persepsi individu terhadap kegiatan (kondisi fisik lingkungan pekerjaan) berkaitan dengan praktik, dan prosedur serta persepsi tentang perilaku yang dihargai, didukung dan diharapkan dalam suatu organisasi. Pemahaman iklim sekolah sebagai kepribadian suatu sekolah merujuk pada , pendapat, Hoy dan Miskel (2008:198) bahwa, iklim sekolah merujuk kepada hati dan jiwa dari sebuah sekolah, psikologis dan atribut institusi yang menjadikan sekolah memiliki kepribadian, yang relatif bertahan dan dialami oleh seluruh
69
anggota, yang menjelaskan persepsi kolektif dari perilaku rutin, dan akan mempengaruhi sikap dan perilaku di sekolah. “Organizational climate influences members‟ behaviors and attitudes,..., School climate is a broad term that refers to teachers perceptions of the general work environment of the school; the formal organization, informal organization personalities of participants, and organizational leadership influenc it,” Iklim sekolah merupakan atmosfir sosial dari suatu lingkungan belajar sebagai ciri utama dari suatu sekolah. Kualitas sekolah yang relatif bertahan merupakan kondisi dimana proses pendidikan terjadi di sekolah, dan peran guru merupakan hal yang utama dalam proses tersebut, sehingga bagaimana guru mempresepsikan lingkungan sekolah akan menentukan bagaimana proses pendidikan/pembelajaran terjadi. Oleh karena itu persepsi guru akan kondisi lingkungan kerja di sekolah jelas akan menggambarkan bagaimana iklim sekolah, yang tentunya akan berdampak pada perilaku/kinerja guru yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya. Taguiri dan Litwin, (1968) menjelaskan bahwa iklim sekolah sekolah sebagai suatu kualitas lingkungan internal sekolah yang dialami oleh guru, staf, dan siswa yang mempengaruhi perilakunya, dan dideskripsikan dengan nilai-nilai yang menjadi karakteristik sekolah. Dari pengertian tersebut dapat di pahami bahwa, iklim organisasi merupakan seperangkat karakteristik suatu sekolah yang membedakan dengan skolah lain dan karakteristik itu yang akan mempengaruhi perilaku guru, staf dan stakeholder lainnya yang ada pada sekolah tersebut. Iklim organisasi sekolah jika dikaitkan dengan iklim kerja dapat bersifat tampak mata fisik dan dapat pula bersifat non fisik atau emosional . Iklim
70
organisasi merupakan suasana kerja yang dialami oleh anggota organisasi misalnya lewat ruang kerja yang menyenangkan, rasa aman dalam bekerja, penerangan yang memadai, sarana dan prasaran yang memadai, jaminan sosial yang memadai, promosi, jabatan kedudukan, pengawasan yang memadi, dan lainlain. Iklim organisasi merupakan suasana yanga langsung atau tidak langsung dapat berpengaruh dan menjadi kekuatan utama dalam suatu organisasi sekolah yang tercipta melalui pola hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) yang berlaku. Pola hubungan tersebut bersumber dari hubungan antar guru dengan guru lainnya guru dengan siswa, guru dengan pimpinan sekolah. Cohen et.al. (Pinkus, 2009:14) menjelaskan iklim sekolah sebagai kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah, berdasarkan pola perilaku siswa, orang tua dan pengalaman personil sekolah tentang kehidupan sekolah yang mencerminkan norma-norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, praktek belajar dan mengajar, serta struktur organisasi. Sagala (2012:91) mengemukakan tentang iklim sekolah yang demokratis bahwa: Iklim dapat dipandang pada suatu pihak sebagai karakteristik abadi yang mencirikan sekolah tertentu, yang membedakannya dari sekolah yang lain, dan mempengaruhi perilaku guru dan siswa. Dipihak lain, sebagai perasaan yang dipunyai oleh guru dan siswa terhadap suasana belajar. Iklim belajar yang nyaman dan menyenangkan sangat penting, sehingga siswa dapat menumbuhkan motif berprestasi dalam kegiatan melajar mengajar. Pemahaman iklim sekolah sebagai suasana di tempat merujuk pada beberapa pendapat berikut. Moos (1979:1) mendefinisikan iklim sekolah sebagai
71
pengaturan suasana sosial atau lingkungan belajar. Moos membagi lingkungan sosial menjadi tiga kategori, yaitu 1) Hubungan, termasuk keterlibatan, berafiliasi dengan orang lain di dalam kelas, dan dukungan guru; 2) Pertumbuhan pribadi atau orientasi tujuan, meliputi pengembangan pribadi dan peningkatan diri semua anggota lingkungan; dan 3) Pemeliharaan sistem dan perubahan sistem, meliputi ketertiban dari lingkungan, kejelasan dari aturan-aturan, dan kesungguhan dari guru dalam menegakkan aturan. mendefinisikan
Haynes, et.al. (Hoffman et.al., 2009:2)
iklim sekolah sebagai kualitas dan konsistensi interaksi
interpersonal dalam masyarakat sekolah yang mempengaruhi kognitif, sosial, dan perkembangan psikologi anak. Iklim sekolah berkaitan dengan lingkungan yang produktif dan kondusif untuk belajar siswa dengan suasana yang mengutamakan kerjasama, kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan, bangga, dan komitmen. Iklim sekolah juga berkaitan dengan prestasi akademik, moral fakultas, dan perilaku siswa. Iklim sekolah yang optimal adalah iklim sekolah yang responsif terhadap perkembangan kebutuhan setiap siswa, merangsang pertumbuhan pribadi dan akademik. Pemahaman iklim sekolah sebagai persepsi individu merujuk pada pendapat Reichers dan Schneider (Milner dan Khoza, 2008:158) “Climate is widely define as the shared perception of the ways things are around here‟. More specifically, climate is shared perceptions of organisational polices, practices and procedures, both formal and informal”. iklim secara luas menggambarkan persepsi bersama menyangkut berbagai hal yang ada di sekeliling kita. Secara sempit iklim diartikan sebagai persepsi
72
bersama mengenai kebijakan organisasi dan prosedur pelaksanaan, baik secara formal maupun informal. (Milner dan Khoza, 2008:158) menjelaskan bahwa : These shared perceptions of organisational polices, practices and procedures enable individuals to make sense of ambigous and conflicting organisational sitimuli and cues, predict outcomes and gauge the appropriateness of their organisational activities Organisational climate therefore has a functional role in shaping and directing the bahaviour of individuals within organisations. Persepsi bersama memungkinkan individu untuk memahami ambiguitas, konflik organisasi dan ketidakpastian, memperkirakan hasil, serta menilai kesesuaian kegiatan organisasi. Oleh karena itu iklim organisasi mempunyai peran fungsional untuk membentuk dan mengarahkan perilaku individu dalam organisasi. Iklim sekolah merupakan hasil dari media interaksi dalam organisasi sekolah. Iklim sekolah akan memberi pengaruh pada perilaku guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah. Perhatian kepala sekolah terhadap iklim yang ada dalam organisasi sekolah merupakan suatu gambaran bahwa pencapaian tujuan organisasi sekolah juga akan banyak ditentukan oleh bagaimana pengelolaan lingkungan sekolah sebagai pembentuk iklim sekolah, mendorong pada situasi kondusif bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Iklim organisasi sekolah berkaitan dengan bagaimana interaksi antara kepala sekolah dengan guru-guru. Interaksi tersebut akan membentuk suatu iklim sekolah tertentu dari iklim terbuka sampai dengan iklim yang tertutup. Paul F. Silver (Suharsaputra, 2010:78) menggambarkan interaksi antara perilaku pimpinan
73
(kepala sekolah) dengan perilaku guru yang membentuk suatu iklim sekolah, sebagai berikut:
Gambar 2.5 Interaksi antara perilaku Kepala Sekolah dengan Perilaku Guru Sumber: Paula F. Silver (Suharsaputra, 2010:78) Penjelasan tersebut menekankan aspek interaksi sosial guru dan kepala sekolah dari suatu organisasi sekolah sebagai pembentuk iklim sekolah. Interaksi sosial dalam sekolah pada kenyataanya tidak terbatas pada guru dan kepala sekolah, tapi juga terjadi antara guru dengan staf, guru dengan siswa, kepala sekolah dengan siswa serta interaksi sekolah dengan masyarakat. Oleh karena itu, iklim sekolah mempunyai cakupan yang luas berkaitan dengan seluruh perilaku organisasi yang terjadi di sekolah. Iklim organisasi bersifat dinamis, dapat berubah sesuai dengan kondisi yang terjadi didalamnya. Upaya untuk memperbaiki kinerja organisasi dapat dilakukan dengan melakukan perubahan dalam iklim organisasi, sebagaimana dikemukakan Shery Keith dan Girling ( Uharsaputra, 2010:79) “Change ini an organizations‟s climate depend n how people di their job and relate to each other in on both individual and organizational wide
74
bases. Chanes in instructional approach, classrooom management technique, the way school goals are set, how problems are identified and resolved, along with the methods of decision making have all been demonstrated to affect the efficiency and quality of educations as well as school climate” Perubahan yang terjadi dalam iklim organisasi sekolah tergantung pada pola hubungan kerja individu dalam organisasi serta pelaksanaan pekerjaan oleh para pegawai, perubahan dalam pendekatan pembelajaran, manajemen kelas serta bagaimana mekanisme pengambilan keputusan akan mempengaruhi iklim sekolah yang pada akhiarnya akan berdampak pada kualitas dan produktivitas pendidikan Seorang guru dapat saja mengemukakan pendapat dan bekerja dengan suasana batin yang tenang jika didukung oleh iklim sekolah yang baik, dan sebaliknya seorang guru akan bersikap pesimistik, kurang kreatif, dan sering mengemukakan pendapat yang kurang simpatik. Iklim sekolah yang baik akan membentuk kondisi psikologis dan lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif sehingga menimbulkan gairah kerja guru yang tinggi. Iklim sekolah merupakan suatu karakteristik yang menggambarkan ciri-ciri psikologis yang dirasakan dari sistem formal, gaya informal kepala sekolah, dan faktor penting lain dari lingkungan sekolah yang berimplikasi terhadap pengembangan pribadi staf, perubahan dan perbaikan sistem, perbaikan lingkungan fisik dan perbaikan hubungan warga sekolah dan stakeholder lainnya. Perubahan dan perbaikan sistem mencakup kebebasan guru/staf, partisipasi dalam pembuatan keputusan, kemampuan inovasi, tekanan kerja, kejelasan dan pengawasan. Perbaikan lingkungan fisik sekolah diukur melalui kelengkapan sumber daya dan
75
kenyamanan lingkungan perbaikan lingkungan mencakup dukungan staf dan warga sekolah, keeratan, keintiman, kedekatan dan keterlibatan staf.
2. Dimensi Iklim Organisasi Sekolah Iklim sekolah pada dasarnya menggambarkan aspek lingkungan sekolah yang menjadi tempat bagi mereka yang terlibat di dalamnya untuk bekerja sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing. Lingkungan tersebut dapat berbentuk fisik ataupun lingkungan psikologis dan atau sosial. Brief (2004:1) menyatakan bahwa terdapat empat aspek lingkungan sekolah yang membentuk iklim sekolah yaitu: 1) A. Physical environment that is welcoming and condusive to learning (sebuah lingkungan fisik yang terbuka dan kondusif untuk belajar) 2) A social environment that promotes communication and interaction (sebuah lingkungan sosial yang mendorong tumbuhnya komunikasi dan interaksi) 3) An effective environment that promotes a sense of belonging and self-esteem (sebuah lingkungan afektif yang mendorong adanya sebuah perasaan memiliki dan keyakinan diri) 4) An academic environment thatpromotes learning and self-fulfillment (sebuah lingkungan akademis yang mendorong pembelajaran dan upaya pemenuhan diri terhadap kebutuhan belajar setiap anggotanya). Dimensi iklim sekolah menurut Moos (1979:1) antara lain: Relationship, Personal growth or goal orientation, System maintenance and system change; yang dijabarkan sebagai berikut;
76
1) Dimensi hubungan (relationship), yaitu mengukur sejauh mana keterlibatan personalia yang ada di sekolah seperti kepala sekolah, guru, dan peserta didik, saling mendukung dan membantu, serta sejauh mana mereka dapat mengekspresikan kemampuan mereka secara bebas dan terbuka. Dimensi ini mencakup aspek afektif dari interaksi antara guru dengan guru, guru dengan staf sekolah lainnya dengan kepala sekolah. 2) Dimensi pertumbuhan/perkembangan pribadi (Personal growth or goal orientation) , yang berorientasi pada tujuan membicarakan tujuan utama sekolah dalam mendukung pertumbuhan/perkembangan pribadi dan motivasi diri guru dan staf untuk tumbuh dan berkembang. Dimensi ini diantaranya minat profesional, halangan dan orientasi pada tugas 3) Dimensi perubahan dan perbaikan sistem ((System maintenance and change) yaitu dimensi yang membicarakan sejauh mana iklim sekolah mendukung, harapan, memperbaiki, kontrol, dan merespon perubahan. Yang termasuk dalam dimensi ini diantaranya adalah kebebasan staf, partisipasi dalam pembuatan keputusan, inovasi, tekanan kerja, kejelasan dan pengawasan. Menurut Sergiovani, (Masaong dan Tilome, 2011: 196) karakteristik iklim sekolah dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut: (1) kesesuaian: berkaitan erat dengan perasaan yang ada terhadap tuntutan dari luar sekolah, persepsi tentang banyaknya peraturan, prosedur, kebijakan dan pelaksanaan tugas; (2) tanggung jawab; mencakup pemberian tanggung jawab untuk mencapai tujuan sekolah, pembuatan keputuasn dalam menunyelesaikan masalah; (3) standard; meliputi penekanan pada kualitas/prestasi dan hasil yang lebih baik; (4)
77
penghargaan; yaitu merasa diakui dan dihargai karena emangat kerja dan kinerjanya yang tinggi, dikiritik atau dihukum pada saat melakukan kesalahan; (5) kejelasan struktur sekolah; yaitu diorganisir dengan baik, tujuan dirumuskan secara jelas dan tidak membingungkan; (6) kehangatan dan dukungan; meliputi saling percaya dan saling dukung; (7) kepemimpinan; yakni keinginan guru dan staf untuk menerima pengaruh dan pengarahan dari sosok yang berkualitas. Heynes (Gorton et. al 2007:163) mengemukakan bahwa: “school climate is the sum total of, and dynamic interactions among, the psychosocial, academic, and physical dimensions of the school‟s environment. “ iklim sekolah merupakan akumulasi total dan interaksi yang dinamis antara dimensi psikososial, akademik dan fisik lingkungan sekolah. Hoy dan Miskel (2008:198) mengemukakan tiga dimensi yang umumnya digunakan untuk mengetahui iklim organisasi sekolah, tiga perspektif tersebut yaitu “openness, health, and citizenship” (keterbukaan, kesehatan organisasi, dan perilaku warga sekolah) Iklim sekolah memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap semangat kerja guru, proses kegiatan pembelajaran, dan produktivitas sekolah. Sebuah lingkungan yang menyenangkan, aman dan mendukung (kondusif) tentu akan dapat membantu siswa untuk memberi motivasi dan lebih yakin pada potensi yang dimilikinya, mereka merasa dihargai dalam segala keanekaragamannya termasuk perbedaan dari kemampuan dan gaya belajar.
78
3. Mengukur Iklim Organisasi Sekolah National
Association
of
Secondary
School
Principlas
(NASSP)
mengembangkan penelitian tentang iklim sekolah dengan melihat sepuluh bidang perspektif umum, yaitu: “teachers-student relationships (hubungan guru dengan siswa), security and maintenance (pemeliharaan dan keamanan), the effectiveness of the administration (efektifitas administrasi), student academic orientation ( Orientasi akademik siswa), student behavioral values (nilai-nilai perilaku siswa), academic and carerr guidance and counseling services ( bimbingan akademik dan karir), student-peer relationships (hubungan antar siswa), relationships between the school and parents/community (hubungan antara sekolah dan orang tua/masyarakat) , instructional management (manajemen pembelajaran), and student activities (kegiatan siswa)”Gorton et. al (2007:163) Halpin (Soetopo, 2010: 176-182) telah melakukan identifikasi terhadap kontinum iklim sekolah berdasarkan hasil penelitiannya menjadi enam aspek iklim sekolah, yaitu: 1) The Open climate, yang menggambarkan situasi dimana para anggota senang sekali dalam bekerja, saling bekerja sama dan adanya keterbukaan, semua anggota kelompok mempunyai hubungan yang menyenangkan satu sama lain. 2) The Outonomous climate yaitu situasi yang menunjukkan adanya kebebasan, adanya peluang kreatif, sehingga guru-guru memiliki peluang untuk memuaskan kebutuhan sosial mereka dari pada pencapaian tugas.
79
3) The Control climate, yaitu adanya penekanan atas prestasi dalam mewujudkan kepuasan kebutuhan sosial, adanya kerja keras, dan sedikit waktu untuk hubungan sesama. 4) The Familiar climate, yaitu adanya kesejawatan yang tinggi antara pimpinan dan anggota, pemuasan kebutuhan sosial sangat tinggi, sementara sebaliknya kecil sekali kontrol atau arahan kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan. 5) The Paternal Climate, yaitu adanya usaha yang tidak efektif dai kepala sekolah untuk mengontrol guru-guru, termasuk untuk memuaskan kebutuhan sosialnya. 6) The Closed Climate, ditandai suatu situasi dimana anggota keompok mencapai sedikit kepuasan dalam prestasi tugas atau kebutuhan sosial. kepala sekolah tidak efektif dalam mengarahkan aktivitas para guru, kepala sekolah juga sangat tertutup terhadap guru-guru dan staf. Cohen, et.al. (Pinkus, 2009:14), menjabarkan pengukuran iklim sekolah ke dalam 10 dimensi, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu 1) safety, 2) teaching and learning, 3) interpersonal relationships, dan 4) institutional environment. 1) Safety terdiri atas; a) rules and norms, meliputi adanya aturan yang dikomunikasikan dengan jelas dan dilaksanakan secara konsisten; b) physical safety meliputi perasaan siswa dan orang tua yang merasa aman dari kerugian fisik di sekolah; dan c) social and emotional security meliputi perasaan siswa yang merasa aman dari cemoohan, sindiran, dan pengecualian. 2) Teaching and learning, terdiri atas; a) support for learning, menunjukkan adanya dukungan terhadap praktek-praktek pengajaran, seperti tanggapan
80
yang positif dan konstruktif, dorongan untuk mengambil risiko, tantangan akademik, perhatian individual, dan kesempatan untuk menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai cara; dan b) social and civic learning, menunjukkan adanya dukungan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan sosial dan kemasyarakatan, termasuk mendengarkan secara efektif, pemecahan masalah, refleksi dan tanggung jawab, serta pembuatan keputusan yang etis. 3) Interpersonal relationships, terdiri atas; a) respect for diversity, menunjukkan adanya sikap saling menghargai terhadap perbedaan individu pada semua tingkatan, yaitu antara siswa dengan siswa, orang tua dengan siswa, dan orang tua dengan orang tua; b) social support adults, menunjukkan adanya kerjasama dan hubungan yang saling mempercayai antara orang tua dengan orang tua untuk mendukung siswa dalam kaitannya dengan harapan tinggi untuk sukses, keinginan untuk mendengar, dan kepedulian pribadi; dan c) social support students menunjukkan adanya jaringan hubungan untuk mendukung kegiatan akademik dan pribadi siswa. 4) Institutional environment, terdiri atas; a) school connectedness/engagement, meliputi ikatan positif dengan sekolah, rasa memiliki, dan norma-norma umum untuk berpartisipasi dalam kehidupan sekolah bagi siswa dan keluarga; dan b) physical surroundings, meliputi kebersihan, ketertiban, dan daya tarik fasilitas dan sumber daya dan material yang memadai. Hoy dan Miskel (2008:200) menyebutkan ada dua tipe iklim organisasi yang mempengaruhi iklim organisasi yaitu: Open Climate dan Closed Climate.
81
(Iklim organisasi terbuka dan iklim organisasi tertutup). Iklim sekolah terbuka didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan dan kejujuran, serta memberikan peluang kepada guru, manajemen sekolah dan peserta didik untuk terlibat secara konstruktif dan kooperatif dengan satu sama lain. . Kepala sekolah terbuka serta dapat menerima kritik dan saran, menghargai kompetensi profesional guru, memfasilitasi kebutuhan guru tanpa ada pembatasan. Selain itu perilaku guru mendukung interaksi terbuka dan profesional serta hubungan kolegial tinggi, saling mengenal antar pribadi, dan saling bekerja sama serta berkomitmen terhadap pekerjaannya. Sedangkan Iklim tertutup merupakan kebalikan dari iklim terbuka Menurut Hoy dan Miskel (2008:200)sub variabel keterbukaan perilaku kepala sekolah meliputi dimensi-dimensi Supportive behavior atau perilaku yang bersifat mendukung; directive behavior atau perilaku yang bersifat mengarahkan dan restrictive behavior atau perilaku yang bersifat membatasi. 1) Supprotive behavior, yaitu menunjukkan perhatian mendasar dari kepala sekolah kepada para guru. Perilaku ini ditunjukkan dengan adanya tandatanda sebagai berikut: Kepala sekolah mendengar dan terbuka terhadap saran dan masukan dari para guru, penghargaan diberikan dengan tepat dan sering, kritik ditanggapi secara konstruktif. 2) Perilaku direktif (directive behavior) adalah perilaku yang menuntut pengawasan yang ketat kepada bawahan. Yaitu; kepala sekolah melakukan pengawasan yang terus menerus dan ketat kepada para guru dalam setiap kegiatan sekolah sampai kepada hal-hal yang kecil.
82
3) Perilaku restriktif (restrictive behavior) merupakan perilaku kepala sekolah yang cenderung membatasi pekerjaan para guru dan bukan memfasilitasinya. Diantar cirinya adalah kepala sekolah membebani para guru dengan pekerjaan-pekerjaan tertulis, tuntutan-tuntutan komite, tugas-tugas rutin dan tuntutan-tuntutan lain yang berhubungan dengan tanggung-jawab mereka sebagai guru. Dari sisi perilaku guru, Hoy dan Miskel (2008:200) menjabarkannya sebagai berikut: 1.
Collegial behavior atau perilaku kolegial merupakan perilaku yang mendukung keterbukaan dan interaksi profesional antara para guru. Diantara ciri-cirinya adalah para guru antusiaa dan bangga dengan sekolahnya, senang bekerja dengan teman sejawatnya dan saling menghargai kompetensi professional diantara mereka.
2.
Intimate behavior atau perilaku yang akrab/hangat adalah perilaku para guru yang menunjukan jaringan kerja yang kuat dalam hal dukungan sosial antar keahlian. Diantara cirinya adalah guru saling mengenal dengan baik, memiliki kedekatan pertemanan antar pribadi, serta bersosialisasi bersama secara teratur.
3.
Disengaged behavior atau perilaku yang tidak terikat, yaitu perilaku para guru yang menunjukan tidak adanya kegiatan profesional yang terfokus dan berarti. Dimana ciri-cirinya adalah para guru hanya menggunakan waktunya untuk sekedar melaksanakan tugas, tidak ada kerja tim dan team building
83
yang produktif, perilakunya selalu negatif dan cenderung mengkritik temannya atau organisasinya. Menurut Hoy dan Miskel (2008: 200) sub variabel kesehatan organisasi memiliki dimensi-dimensi institutional integrity atau integritas kelembagaan, principal influence atau pengaruh kepala sekolah, consideration atau perhatian, initiating structure atau membangun struktur, resource support atau dukungan sumber-sumber, morale atau moral dan academic emphasis atau penekanan pada bidang akademis. 1) Institutional integrity, Integritas kelembagaan menggambarkan sebuah sekolah yang memiliki integritas dalam program pendidikannya. Keadaan ini ditandai denagn adanya sekolah yang tidak mudah terpengaruhi oleh keinginan-keinginan yang sempit dari sekelompok masyarakat atau orang tua siswa dan sekolah mampu mengatasi ancarman destruktif dari kekuatankekuatan yang datang dari luar. 2) Principal influence
Pengaruh kepala sekolah menunjukkan pada adanya
kemampuan kepala sekolah untuk mempengaruhi tindakan atasan yang ditandai dengan: tindakan mempengaruhi yang dilakukan kepala sekolah untuk kepentingan guru. 3) Consideration pertimbangan, menggambarkan perilaku kepala sekolah yang ramah, kepala sekolah memberikan kesejahteraan kepada guru, selalu mendukung, terbuka dan bersahabat. 4) Initiating structure atau menyusun struktur yaitu perilaku kepala sekolah yang berorientasi pada tugas dan prestasi. Kepala sekolah menunjukan
84
sikapnya serta menentukan standar yang jelas tentang kinerja yang diinginkannya. 5) Resource support,
dukungan sumber yaitu mengacu pada situasi yang
menunjukkan adanya kecukupan dalam hal pemenuhan terhadap kebutuhankebutuhan pembelajaran siswa di dalam kelas serta kemudahan-kemudahan untuk memperoleh sarana-sarana lainnya 6) Morele, Moral mengacu pada rasa kepercayaan, percaya diri, antusiasme, dan keakraban yang ditunjukan oleh para guru. Para guru saling merasa nyaman satu dengan yang lain dan pada saat yang sama merasakan keberhasilan terhadap pelaksanaan pekerjaan mereka. 7) Academic emphasis Penekanan pada bidang akademis merujuk kepada upaya sekolah berprestasi. Diantaranya ditunjukan dengan adanya penetapan standar keberhasilan belajar siswa yang tinggi, lingkunagan belajar yang tertib dan serius, guru mempercayai murid-muridnya bahwa mereka mampu mencapai keberhasilan belajar, serta para siswa bekerja keras dan mengargai orang lain yang mendapatkan prestasi akademik bagus. Hoya dan Miskel (2008: 201) membagi variabel keanggotaan organisasi menjadi Altruism alturisme, Conscientiousness kesadaran, Sportsmanship sportif, Courtesy Sopan santun, dan civic virtue kepentingan umum. 1) Altruism , alturisme yaitu membantu teman dan secara bebas memberikan waktu kepada orang lain atau guru sukarela membantu guru baru
85
2)
Conscientiousness kesadaran, yaitu menggunakan waktu secara efisien dan melampaui harapan minimum, diantaranya guru datang untuk menghadiri pertemuan dan bekerja dengan tepat waktu
3) Sportsmanship sportif, menghabiskan waktu dalam upaya konstruktif dan pantang menyerah, diantaranya adalah guru memberikan waktu banyak untuk melakukan pekerjaan 4) Courtesy Sopan santun, yaitu memberikan pemberitahuan terlebih dahul, diantaranya guru memberikan pemberitahuan lebih awal kepada rekan kerja apabila ada perubahan jadwal dari biasanya 5) civic virtue kepentingan umum. Yaitu melayani komite
secara sukarela
sesuai peran dan fungsinya, diantaranya guru sukarela melayani komite baru. Dari pendapat diatas, tampak bahwa iklim suatu organisasi dapat dilihat secara variatif tergantung sudut pandang yang dipergunakan. Dimensi-dimensi tersebut pada dasarnya dapat dipergunakan untuk melihat dan menganalisis iklim sekolah dengan memperhatikan konteks lingkungan organisasi yang berbeda dengan organisasi lainnya. Dalam penelitian ini pada akhirnya peneliti mengukur iklim melalui dua dimensi yaitu lingkungan fisik pekerjaan dan lingkungan pekerjaan.
D. Kepemimpinan Berbasis Nilai (Value-BasedLeadership) Kepala Sekolah, Iklim Organisasi Sekolah dan Produktivitas Sekolah Organisasi pada dasarnya merupakan kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Sebagai suatu sistem sosial, sekolah terdiri dari
86
bagian-bagian yang berinteraksi dan bersinergi dalam menjalankan peran dan fungsinya guna mencapai tujau-tujuan pendidikan. Menurut Hoy dan Miskel (2008:24) unsur-unsur kunci dari suatu sistem sosial sekolah asebagai organisasi formal adalah struktur, individu, budaya, dan
politik. Unsur-unsur tersebut
berinteraksi dalam suatu proses transformasi input menjadi output dalam suatu lingkungan tertentu. Organisasi adalah kerangka kerja yang diandalkan oleh seluruh sistem manajemen untuk mendapatkan hasil kerja yang efisien. Oleh sebab itu, hubungan antar manusia sebagai pelaksana organisasi tersebut memiliki peranan yang sangat penting. Hubungan antar manusia dalam suatu organisasi dapat mewarnai dan memberikan situasi yang memungkinkan setiap individu di dalam organisasi tersebut merasa nyaman dan betah dalam berkarya dan meniti karir demi kemajuan organisasi dan perkembangan dirinya. Tempat kerja harus memelihara kesetaraan, dalam arti bahwa masing-masing orang memiliki signifikasi yang setara dan penting dalam organisasi. Dilihat dari tataran administrasi pendidikan sebagaimana dikemukaan oleh Murphy dan Louis (Uharsaputra, 2010:30), organisasi sekolah menggabarkan tiga tataran yang terpadu. Tataran institusi terlihat dari hubungannya antara sekolah dengan lingkungan, tataran manajerial terlihat dari interaksi sistem-sistem dalam proses transformasi, sedangkan tataran teknis terlihat dari kegiatan pembelajaran (belajar dan mengajar) dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa, organisasi memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan, yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnnya, ini berarti bahwa setiap organisasi memerlukan
87
pengorganisasian yang baik sehingga
organisasi tersebut dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Unsur-unsur tersebut adalah: kerja sama, gabungan individu, aturan-aturan, dan tujuan tertentu. Tentu saja kelompok individu terdiri dari berbagai individu yang berbeda, baik latar belakang, kompetensi, perilaku, sifat, nilai-nilai yang menjadi keyakinannya, maupun bakat yang dimilikinya. Menurut
McTague
(Timpe.D,
1992:3)
Lambatnya
pertumbuhan
produktivitas pada umumnya disebabkan oleh suatu kegagalan moral organisasi dan merupakan cerminan dari bagaimana pemimpin dan anggota organisasi memandang organisasi mereka. Organisasi yang berbagi tanggung jawab secara terbuka dan jujur akan membawa organisasi pada kualitas dan produktivitas. dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa untuk meningkatkan produktivitas sekolah maka kepala sekolah harus memiliki kemampuan untuk mengajak, mempengaruhi, menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan orang yang terlibat dalam pendidikan untuk mencapai tujuan dengan basis nilai yang menjadi rujukan bersama. Kepala sekolah harus dapat memberikan pengaruh kepada staf agar mereka bekerja secara sukacita dan penuh kreatif dalam mencapai tujuan. Kepala sekolah harus dapat mengelola dan mengendalikan organisasinya sehingga akan diperoleh suatu hasil kerja dan usaha bersama individu dengan segala latar belakangnya yang berbeda di dalam suatu setting organisasi dan akan membentuk suatu iklim organisasi yang menjadi ciri dan suasana organisasi tersebut. Menurut Starratt, (1993), Iklim sekolah merupakan efek subjektif yang dirasakan dari sistem formal, gaya informal dari kepala sekolah dan faktor penting lain dari lingkungan
88
yang berimbas pada sikap kepercayaan, nilai dan motivasi orang-orang yang bekerja pada sekolah. Iklim organisasi yang harmonis, dapat menunjang dan memberikan pengaruh kepada kinerja individu dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga dengan demikian akan sangat berpengaruh pula terhadap keberhasilan dan produktivitas organisasi. Menurut Silver (1983:180) Iklim sekolah (sosial sekolah) dibentuk oleh hubungan timbal balik antara perilaku kepala sekolah dan perilaku guru sebagai suatu kelompok di mana perilaku kepala sekolah dapat mempengaruhi interaksi interpersonal para guru. Dengan demikian, dinamika kepemimpinan kepala sekolah dengan kelompok (guru dan staf) di pandang sebagai kunci untuk memahami variasi iklim sekolah, dan setiap variasi tersebut akan memberi dampak pada variasi kinerja yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi. Ketepatan kepala sekolah dalam menerapkan kepemimpinannya akan bermuara pada iklim sekolah. Iklim sekolah merupakan suatu situasi atau suasana yang timbul karena adanya hubungan antara kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan staf serta guru dengan peserta didik yang menjadi ciri khas sekolah yang ikut mempengaruhi proses pembelajaran dan meningkatkan produktivitas sekolah. Produktivitas sekolah erat pula kaitannya dengan kepemimpinan kepala sekolah dan iklim sekolah. Studi Garland dan O’Reilly (Soetopo: 2010:144) menemukan bahwa keberhasilan pemimpin bukan hanya disebabkan oleh prestasi staf, tetapi tanggung jawabnya untuk mengembangkan iklim organisasi yang memungkinkan pengembangan siswa mencapai level yang tinggi. Produktivitas
89
sekolah akan meningkat jika tercipta iklim sekolah yang kondusif. Jika suasana batin guru-guru terwujud pada saat menjalankan tugas dan tanggungjawabnya di sekolah, maka dia mampu mengembangkan proses pembelajaran secara profesional. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan menilai serta mengevaluasi peserta didik (UU no. 14 tahun 2005 pasal 1). Dengan iklim sekolah yang kondusif akan memudahkan guru mengembangkan proses pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif sehingga tercipta prakarsa, kreativitas dan kemandirian di kelas. Dengan keterpaduan semua komponen di sekolah akan terwujud kinerja sekolah yang efektif baik yang berkaitan dengan input, proses maupun output sekolah sehingga produktivitas sekolah dapat tercapai. Tujuh kunci untuk mencapai produktivitas menurut Ranftl (Timpe, 1992: 107) Keahlian, manajemen yang bertanggung jawab, 2) Kepemimpinan yang luar biasa, 3) Kesederhanaan organisasional dan operasional, 4) Kepegawaian yang efektif, 5) Tugas yang menantang, 6) Perencanaan dan pengendalian tujuan, 7) Pelatihan manajerial khusus. Lebih lanjut di jelaskan bahwa untuk mencapai produktivitas tinggi, setiap anggota organisasi harus diberi motivasi tinggi, sehingga dapat bekerja secara maksimal, kesamaan sikap relatif diperlukan. Akan tetapi, yang harus di ingat bahwa, secara psikologis lingkungan kerja merupakan satu faktor yang kritis, dan pimpinanlan yang menentukan lingkungan kerja secara psikologis.
90
Interaksi antara perilaku guru yang berkaitan dengan pelaksanan tugasnya sebagai pendidik dan perilaku kepala sekolah berkaitan dengan implementasi kepemimpinannya dalam mengelola sekolah, akan menentukan iklim sekolah seperti apa yang akan terwujud. Iklim sekolah yang baik dan kondusif bagi kegiatan pendidikan akan mengahasilkan interaksi edukatif yang efektif, demikian juga iklim sekolah yang memberikan ruang bagi kreativitas dan inovasi akan mendorong guru untuk bekerja kreatif dan inovatif, sehingga upaya pencapaian tujuan pendidikan lebih efektif dan efisien dan produktivitas pendidikan dapat tercapai.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian yang berkenaan dengan Kepemimpinan Berbasis Nilai (ValueBased Leadership) Kepala Sekolah, Iklim Organisasi Sekolah dan Produktivitas Sekolah pada SMP Negeri di Kabupaen Halmahera Timur, secara khusus belum banyak dilakukan, beberapa penelitian sejenis yang sudah ada dan dijadikan pertimbangan dalam penelitian ini antara lain: 1. Asep. Suryana (SPs UPI Bandung) dalam Disertasi yang berjudul Kepemimpinan berbasis nilai (value-based leadership) dalam mencapai tujuan organisasi melalui budaya kerja ( studi tentang kepemimpinan berbasis nilai: Nilai-nilai personal dan komitmen dalam pencapaian tujuan organisasi melalui budaya kerja; sikap kerja, disiplin kerja, kualitas kerja dan hubungan kerja di sekolah menengah kejuruan) menyatakan bahwa
91
a. Pengaruh personl values 1) terhadap pencapaian tujuan organisasi sebesar 9,09%, 2) terhadap sikap kerja sebear 22, 09%, 3) terhadap disiplin kerja sebesar 8,58%, 4) terhadap kualitas kerja sebesar 22,09%, dan 5) terhadap hubunga kerja sebesar 29, 59% b. Pengaruh komitmen terhadap, 1) pencapaian tujuan organisasi sebesar 26,21%, 2) terhadap sikap kerja sebesar 55,80%, 3) terhadap disiplin kerja sebesar 15,21%, 4) terhadap kualitas kerja sebesar,12,46%, terhadap hubungan kerja sebesar 49,79%. 2. Moh. Maqsudi ( SPS UPI Bandung 2010) dalam Tesis yang berjudul Kontribusi perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan budaya mutu terhadap produktivitas sekolah pada SMP Negeri di Kabupaten Pati, menyatakan bahwa; a) Perilaku kepemimpinan kepala sekolah berkontribusi positif dan signifikan terhadap produktivitas sekolah sebesar 84,40% b) Kepemimpinan kepala sekolah dan budaya mutu memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produktivitas sekolah sebesar 84, 70% 3. Achdi ( SPS UPI Bandung 2010) dalam Tesis yang berjudul, Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap produktivitas sekolah di kabupaten Sumedang (studi analisis deskriptif pada SMA negeri dan Swasta di Kabupaten Sumedang), menyatakan bahwa; a) Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap produktivitas sekolah sebesar 0,956 (korelasi sangat kuat)
92
b) Kepemimpinan kepala sekolah berkontribusi terhadap produktivitas sekolah sebesar 91,4% c) Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah secara simultan berkontribusi sebesar 92,5% terhadap produktivitas sekolah. 4. Muzdalifah Kasua (SPS UPI Bandung 2010) dalam tesis yang berjudul Pengaruh kepemimpinan Transformasional kepala sekolah dan iklim organisasi sekolah terhadap produktivitas sekolah (studi pada Madrasah Aliyah Kota dan Kabupaten Sorong), menyatakan bahwa; a) Kepemimpinan transformasional kepala sekolah berpengaruh terhadap produktivitas sebesar 13% b) Iklimm organisasi sekolah berpengaruh terhadap produktivitas sebesar 17% c) Kepemimpinan Transformasional kepala sekolah dan Iklim organisasi sekolah berpengaruh terhadap produktivitas sekolah sebesar 33% 5. Rostini (SPS UPI Bandung 2010) dalam tesis yang berjudul Pengaruh Tindakan kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja mengajar guru terhadap produktivitas sekolah. (pada SMK di wilayah UPTD Soreang 1 Kabupaten Bandung), menyatakan bahwa; a) Tindakan kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas sekolah sebesar 0, 472% b) Kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja mengajar guru secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas sekolah sebesar 0, 520%
93
F.
Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 2.6 Kerangka Pikir Penelitian
Kepemimpinan merupakan unsur strategis dalam suatu organisasi. Kepemimpinan dapat dilihat baik dari sudut individu, proses, maupun efeknya terhadap organisasi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu membangun dan menyelaraskan nilai-nilai individu menjadi nilai-nilai organisasi sehingga menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan seluruh elemen organisasi untuk mencapai tujuan. Upaya pemimpin untuk mencapai tujuan
94
organisasi akan di tentukan oleh nilai-nilai dasar yang menjadi pegangannya. Ketika terdapat satu titik kepercayaan yang sama terhadap nilai-nilai yang dikembangkan dalam organisasi, maka orang akan bergerak ke arah yang sama yang diwujudkan dalam visi
yang terintegrasi dengan tujuan setiap individu
ketika memasuki organisasi tersebut. Kepemimpinan berbasis nilai dapat dirasakan ketika pemimpin mampu membangun nilai bersama anggotanya dengan menyelaraskan misi organisasi, nilai-nilai, visi, strategi, manajemen kinerja, penghargaan dan pengakuan serta proses dan sistem yang akan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang diterapkan. Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang memiliki visi yang jelas, memiliki pandangan yang jauh ke depan mampu memberi inspirasi, berorientasi jangka panjang, serta menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara tujuan sekolah dengan tujuan individu warga sekolah, serta memelihara bawahannya agar betah bekerja sama dengannya. Integritas dan keyakinan terhadap nilai-nilai personal pimpinan akan menjadi nilai bersama seluruh anggota melalui penyatuan antara visi individu dan visi kepemimpinannya sehingga pencapaian tujuan organisasi menjadi kesadaran dan upaya yang dilakukan secara bersama-sama seluruh elemen organisasi. Visi adalah pernyataan tentang apa yang organisasi inginkan. Visi harus beresonansi dengan seluruh anggota organisasi dan membentu mereka merasa bangga, senang dan bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri. Sebuah visi nantinya akan meluruskan kemampuan organisasi dan citra itu sendiri yang akan memberi bentuk dan arah ke masa depan organisasi.
95
Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang dilakukan oleh setiap anggota, memunculkan persepsi terhadap lingkungan, yang merupakan
suasana yang
dirasakan bersama oleh seluruh anggota organisasi sebagai cerminan iklim organisasi
yang
ditimbulkan
dari
bagaimana
pemimpin
menjembatani
terbentuknya iklim yang kondusif dan iklim yang kondusif tersebut turut mendukung implementasi kepemimpinannya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Interaksi antara perilaku guru yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai pendidik dan perilaku kepala sekolah berkaitan dengan implementasi kepemimpinannya yang mendasarkan pada nilai moral dan visi bersama dalam mengelola sekolah, akan menentukan iklim organisasi sekolah yang bagaimana yang akan terwujud. Kepemimpinan yang mendasarkan pada nilai-nilai, moral dan spiritual yang diyakini sebagai kompas dalam menjalankan organisasinya dan Iklim organisasi sekolah yang kondusif bagi kegiatan pendidikan akan menghasilkan interaksi edukatif yang efektif, demikian juga iklim sekolah yang memberikan ruang bagi kreativitas dan inovasi akan mendorong para guru untuk bekerja kreatif dan inovatif, sehingga akan meningkatkan produktivitas sekolah.
G.
Pengajuan Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara permasalahan penelitian yang akan
dibuktikan kebenarannya melalui data yang terkumpul.
Pernyataan tersebut
sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sugiono (2009:96) bahwa:
96
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian biasanya telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan pada teori yang relevan belum berdasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi, hipotesis juga dapat dikatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik. Dalam penelitian ini penulis mengemukakan hipotesis sebagai berikut: 1.
Kepemimpinan berbasis nilai value-based-leadership Kepala Sekolah memiliki kontribusi signifikan terhadap produktivitas sekolah
2.
Iklim
Organisasi
Sekolah
memiliki
kontribusi
signifikan
terhadap
produktivitas sekolah 3.
Kepemimpinan berbasis nilai value-based-leadership Kepala Sekolah dan Iklim
Organisasi
Sekolah
memiliki
peningkatan produktivitas sekolah
X1
Y
X2
Gambar 2.7 Hubungan Antar Variabel Penelitian
kontribusi
signifikan
terhadap