BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Kepemimpinan 2.1.1.1 Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan (leadership) yang ditetapkan oleh seorang manajer dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan mendorong gairah kinerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal. Pada kenyataannya pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Untuk mencapai semua itu seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dan keterampilan kepemimpinan dalam melakukan pengarahan kepada bawahannya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Ada beberapa definisi yang di kemukakan oleh para ahli manajemen tentang kepemimpinan. Jacobs dalam Chih-Yang Chao, Yong-Shun Lin, Yu-Lin Cheng, dan Yi-Chiao Tseng menganggap bahwa kepemimpinan adalah bentuk interaksi interpersonal dimana pesan yang diberikan melalui suatu metode tertentu dan orangorang dibuat percaya bahwa hasil dari suatu tindakan dapat ditingkatkan selama mereka mengikuti saran atau harapan. Bass, Robbins, dan Decenzo juga memiliki ide yang sama tentang kepemimpinan sebagai prosedur interaksi antar personal melalui seorang pemimpin mengubah bawahan, menciptakan visi dari tujuan yang layak, dan bekerja menuju tujuan tertentu. Kepemimpinan merupakan interaksi antara manajer organisasi dan anggota organisasi selama mengejar kinerja, dan perilaku yang
8
9
terakhir dipengaruhi dengan menyediakan mereka dengan arah baru atau agar memenuhi tujuan organisasi. Menurut Hasibuan (2007, p170) kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut pendapat Robbins dalam Ida Ayu Brahmasari dan Agus Suprayetno (2008) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapinya tujuan. Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budaya. 2.1.1.2 Pengertian Gaya Kepemimpinan Berdasarkan pendapat Soekarso (2010, p11), gaya kepemimpinan adalah sebagai perilaku atau tindakan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan manajerial. Kemudian berdasarkan Thoha (2007, p.64) dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan cara yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan agar hendak melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan yang diharapkan agar tercapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah perwujudan tingkah laku seorang pemimpin yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin dan mempengaruhi karyawannya dalam menjalankan tugas.
10
2.1.1.3 Tipologi Kepemimpinan Ronald Lippit dan Ralp K. White dalam studinya berpendapat dan mengemukakan adanya tiga gaya kepemimpinan (Soekarso, 2010, 100-104): 1. Kepemimpinan gaya otoriter, otokratis, atau diktator Kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan oleh pimpinan semata-mata. Kepemimpinan gaya otoriter antara lain berciri: 1) Wewenang mutlak berpusat pada pimpinan 2) Keputusan selalu dibuat oleh pimpinan 3) Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pimpinan 4) Komunikasi langsung satu arah dari pimpinan kepada bawahan 5) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan para bawahannya dilakukan secara ketat 6) Prakarsa harus selalu datang dari pimpinan 7) Tiada
kesempatan
bagi
bawahan
untuk
memberikan
saran,
pertimbangan, atau pendapat 8) Tugas-tugas bagi bawahan diberikan secara instruktif 9) Lebih banyak kritik daripada pujian 10) Pimpinan menuntut prestasi sempurna dari bawahan tanpa syarat 11) Cenderung adanya paksaan, ancaman, dan hukuman 12) Kasar dalam bertindak 13) Kaku dalam bersikap 14) Tanggung jawab keberhasilan organisasi hanya dipikul oleh pimpinan 15) Wewenang mutlak berpusat pada pimpinan
11
2. Kepemimpinan gaya demokratis Kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan. Kepemimpinan gaya demokratis antara lain berciri: 1) Wewenang pimpinan tidak mutlak 2) Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan 3) Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan 4) Kebijaksanaan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan 5) Komunikasi berlangsung timbal balik, baik yang terjadi antara pimpinan dan bawahan maupun antar sesama bawahan 6) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para bawahan dilakukan secara wajar 7) Prakarsa dapat datang dari pimpinan maupun bawahan 8) Banyak kesempatan bagi bawahan untuk menyampaikan saran, pertimbangan, atau pendapat 9) Tugas-tugas
kepada bawahan diberikan dengan
lebih
bersifat
permintaan daripada instruktif 10) Pujian dan kritik keseimbangan 11) Pimpinan mendorong prestasi sempurna para bawahan dalam batas kemampuan masing-masing 12) Pimpinan meminta kesetiaan para bawahan secara wajar 13) Pimpinan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak
12
14) Terdapat suasana saling percaya, saling menghormati dan saling menghargai 15) Tangggung jawab keberhasilan organisasi dipikul bersama pimpinan dan bawahan
3. Kepemimpinan gaya kebebasan atau gaya liberal Kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan lebih banyak diserahkan kepada bawahan. “Laissez-faire” secara harafiah berarti “allow (them) to do” (mengizinkan mereka bekerja), atau “to leave alone” (biarkan sendiri), “free-rein” berasal dari kata “free” (bebas), jadi “rein” (kendali), secara harafiah berarti bebas kendali. Kepemimpinan gaya kebebasan antara lain berciri: 1) Pimpinan melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada bawahan 2) Keputusan lebih banyak dibuat oleh para bawahan 3) Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh para bawahan 4) Pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh bawahannya 5) Hampir tiada pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan yang dilakukan para bawahan 6) Prakarsa selalu datang dari bawahan 7) Hampir tiada pengarahan dari pimpinan 8) Peranan pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok 9) Kepentingan pribadi lebih utama daripada kepentingan kelompok 10) Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul oleh orang per orang
13
2.1.2 Budaya Organisasi 2.1.2.1 Pengertian Budaya Organisasi Budaya organisasi yang kuat memberikan kepada para karyawan pemahaman yang jelas tentang “cara penyelesaian urutan di sekitarnya”. Budaya memberikan stabilitas pada organisasi. Menurut Schein (1992) dalam Gary Yukl (2005, p334) menyatakan bahwa budaya sebuah kelompok atau organisasi adalah asumsi dan keyakinan bersama tentang dunia dan tempat mereka di dalamnya, sifat dari waktu dan ruang, sifat manusia, dan hubungan manusia. Menurut Kotler (2005, p77) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah “pengalaman, cerita, keyakinan, dana norma bersama yang menjadi cirri organisasi”. Namun bila memasuki perusahaan, kita akan menjumpai budaya perusahaan seperti cara orang berpakaian dan cara mereka berbicara satu sama lain. Kotter dan Heskket dalam Mohammad Jasim Uddin, Rumana Huq Luva, dan Saad Md. Maroof Hossian (2013) mengemukakan bahwa budaya organisasi dikonseptualisasikan sebagai keyakinan dan nilai-nilai bersama dalam organisasi yang membantu untuk membentuk pola perilaku karyawan. Gordon dan Cummins mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem pendorong yang mengakui upaya dan kontribusi dari para anggota organisasi dan memberikan pemahaman menyeluruh tentang apa dan bagaimana yang harus dicapai, bagaimana tujuan tersebut saling terkait, dan bagaimana setiap karyawan bisa mencapai tujuan. Sedangkan menurut Robbins (2006, p721) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain.
14
Dengan adanya beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah nilai dan keyakinan dalam sebuah kelompok atau organisasi yang menjadi ciri organisasi sehingga membedakan organisasi itu dari organisasiorganisasi lainnya.
2.1.2.2 Proses Penciptaan Budaya Terciptanya budaya organisasi terjadi dalam tiga cara (Robbins, 2006, p729), yaitu:
1. Para pendiri hanya memperkerjakan dan mempertahankan karyawan yang berfikir dan merasakan cara yang mereka tempuh. 2. Mereka mengdoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan ini dengan cara berfikir dan cara berperasaan mereka. 3. Perilaku pendiri itu sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan mengidentifikasikan diri dengan mereka dan oleh karenanya menginternalisasikan keyakinan, nilai, dan asumsi-asumsi mereka. Bila organisasi berhasil, visi pendiri menjadi terlihat sebagai penentu utama keberhasilan. Pada titik ini, keseluruhan kepribadia pendiri menjadi tertanam ke dalam budaya organisasi.
15
2.1.2.3 Fungsi Budaya Ada beberapa pendapat mengenai fungsi budaya organisasi, yaitu sebagai berikut: 1. Lima fungsi budaya dalam organisasi (Robbins, 2006, p724) a. Budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas; budaya menciptakan suatu pemebedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain b. Budaya memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang d. Budaya meningkatkan kemantapak social e. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan. 2. Menurut Schein dalam Moh. Pabundu Tika (2006, p13), fungsi budaya organisasi berdasarkan tahap pengembangannya, yaitu: a. Fase awal merupakan tahap pertumbuhan suatu organisasi Pada tahap ini, fungsi budaya organisasi terketak pada pembeda, baik terhadap lingkungan maupun tehadap kelompok atau organisasi lain. b. Fase pertengahan hidup organisasi Pada fase ini, budaya organisasi berfungsi sebagai integrator karena munculnya sub-sub buday baru sebagai penyelamat krisi identitas dan membuka kesempatan untuk mengarahkan perubahan budaya organisasi.
16
c. Fase dewasa Pada fase ini, budaya organisasi dapat sebagai penghambat dalam berinovasi karena berorientasi pada kebesaran masa lalu dan menjadi sumber nilai untuk berpuasa diri. 2.1.2.4 Faktor-faktor Budaya Organisasi Ada tujuh karakteristik primer pada budaya organisasi (Robbins, 2006, p721), antara lain sebagai berikut: 1) Inovasi dan pengambilan resiko Sejauh mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko 2) Perhatian terhadap detail Sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan) dan perhatian terhadap detail 3) Orientasi hasil Sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu. 4) Orientasi orang Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu. 5) Orientasi Tim Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu. 6) Keagresifan Sejauh mana karyawan agresif dan kompetitif bukannya santai-santai.
17
7) Stabilitas Sejauh mana organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang sudah baik. 2.1.2.5 Klasifikasi Budaya Terkait Kinerja Menurut Susanto A.B (2008,p.246), perusahaan dengan budaya yang menaruh perhatian kepada stakeholder seperti pemegang saham, karyawan, pelanggan, dan pemasoknya serta memiliki kepemimpinan yang kuat dan efektif akan berkinerja lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang kurang menaruh perhatian atau tidak memiliki kepemimpinan yang efektif. Budaya dan kinerja adalah hal yang saling berkaitan. Dalam kaitannya dengan kinerja, menurut Kotter dan Heskett dalam Susanto A.B (2008, p246) mengklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu: 1) Budaya yang kuat (strong culture) Budaya yang kuat diasosiasikan dengan kinerja yang unggul, dimana budaya yang kuat memiliki seperangkat nilai-nilai dan metode yang relative konsisten dalam menjalankan aktivitas bisnis. 2) Budaya yang adaptif (adaptive culture) Budaya yang dapat membantu dalam mengantisipasi dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang dapat menghasilkan kinerja yang superior dalam jangka waktu yang lama. 3) Budaya berkinerja rendah (low-perfomance culture) Ada tiga komponen yang mengakibatkan budaya organisasi merusak kinerja: (1) Situasi dimana pemimpin dan manager bersifat arogan. Sikap ini dapat muncul disebabkan oleh kesuksesan demi kesuksesan yang telah diraih
18
(2) Sikap para pemimpin dan manager yang kurang menghargai pelanggan, karyawan, dan pemegang saham. (3) Resisten terhadap nilai-nilai seperti kepemimpinan dan perubahan.
2.1.3 Kinerja Karyawan 2.1.3.1 Pengertian Kinerja Karyawan Mathis dan Jackson (2006, p378) berpendapat bahwa kinerja (perfomance) pada dasarnya apa yang yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen yaitu kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran atau absensi, dan kemampuan bekerja sama. Whitmore dalam Tri Widodo (2010) mengartikan kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang. Sementara Fishbien dalam Harsanto mengemukakan bahwa kinerja seseorang adalah penampilan (performance) atau perilaku seseorang dalam menjalankan pekerjaan. Performan dan perilaku adalah sesuatu yang terbentuk karena ditanamkan oleh orang lain, lingkungan, kondisi sosial budaya, atau dipelajari secara sengaja oleh orang yang bersangkutan. Brahmasari dalam Ida Ayu Brahamasari dan Agus Suprayetno (2008) mengemukakan bahwa kinerja adalah pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output kuantitatif maupun kualitatif, kreatifitas, fleksibilitas, dapat diandalkan, atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi. Dari definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah perilaku yang ditunjukkan oleh para karyawan sebagai perwujudan prestasi kerja yang dihasilkan sesuai dengan perannya di dalam perusahaan.
19
2.1.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan yang lainnya. Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama namun produktifitas mereka tidaklah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh 2 faktor, yaitu : faktor individu dan situasi kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, menurut Mathis dan Jackson (2006, p113-114)), kinerja para karyawan adalah suatu awal keberhasilan organisasi untuk mencapai tujuannya. Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu : 1) Kemampuan individual Kemampuan individual karyawan ini mencakup bakat, minat, dan faktor kepribadian. Tingkat keterampilan, bahan mentah yang dimiliki seseorang berupa pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan tekhnis. Dengan demikian, kemungkinan seorang karyawan akan mempunyai kinerja yang baik, jika karyawan tersebut memmiliki keterampilan yang baik maka karyawan tersebut akan menghasilkan kinerja yang baik pula. 2) Usaha yang dicurahkan Usaha yang dicurahkan oleh karyawan bagi perusahaan adalah motivasi, etika kerja, kehadiran, dan motivasinya. Tingkat usahanya merupakan gambaran motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Dari itu, kalaupun karyawan memiliki tingkat keterampilan untuk mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik jika hanya sedikit upaya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan anatara tingkat keterampilan
20
dengan tingkat upaya. Tingkat keterampilan merupakan cermin dari apa yang dilakukan, sedangkan tingkat upaya merupakan cermin dari apa yang dilakukan. 3) Dukungan organisasional Dalam dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi karyawan meliputi pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, standar kinerja, dan manajemen dan rekan kerja. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah apa yang mempengaruhi sebanyak mereka memberikan kontribusi pada organisasi.
2.1.3.3 Unsur – unsur Evaluasi Kinerja Menurut Mathis dan Jackson (2006, p378), kinerja (performance) pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut : 1) Kuantitas dari hasil Pencapaian sasaran atau target dalam kuantitas dapat diukur secara absolut, dalam presentase atau indeks. 2) Kualitas dari hasil Kualitas bersifat relatif, sehingga tidak mudah diukur, dan sangat tergantung pada selera individu. Kualitas dapat dirasakan, dilihat, atau diraba. 3) Ketepatan waktu dari hasil Setiap pelaksanaan tugas selalu membutuhkan waktu sebagai masukan. Waktu merupakan sumber daya yang mahal, karena dia terbatas, tidak dapat disimpan
21
atau ditunda. Oleh karena itu setiap waktu harus digunakan secepat mungkin dan secara optimal. Penundaan penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan kerugian. 4) Kehadiran atau absensi 5) Kemampuan bekerja sama
2.1.4 Kajian Penelitian Terdahulu Untuk melakukan penelitian ini, maka dilakukan penelurusuran lebih lanjut dari penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Berikut ini adalah penelitian terdahulu : 1. Penelitian oleh Ida Ayu Brahmasari dan Agus Suprayetno (2008) yang berjudul “Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan, dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja Perusahaan”. Berdasarkan penelitian ini bahwa pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja perusahaan berpengaruh positif dan signifikan artinya kepemimpinan merupakan suatu upaya untuk mempengaruhi banyak orang melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan organisasi dan pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja perusahaan adalah positif dan signifikan artinya budaya organisasi merupakan hasil interaksi ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok-kelompok orang dalam lingkungan organisasinya. 2. Penelitian oleh Tri Widodo (2010) yang berjudul “Pengaruh Lingkungan Kerja, Budaya Organisasi, Kepemimpinan terhadap Kinerja Karyawan (Studi pada Pegawai Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga”. Dalam penelitian ini terdapat pengaruh yang positif dan signifikan secara parsial dan simultan
22
antara variabel lingkungan kerja, budaya organisasi, kepemimpinan terhadap kinerja pegawai Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. 2.2 Kerangka Pemikiran Untuk lebih memperjelas dari penelitian yang menunjukkan bahwa adanya suatu hubungan antara Gaya Kepemimpinan Demokratis dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan dapat digambarkan dengan bagan, sebagai berikut:
Gaya Kepemimpinan Demokratis (X1) H1 Kinerja Karyawan H3
(Y)
H2 Budaya Organisasi (X2) Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Sumber : Penulis, 2012
2.3 Hipotesis Menurut sugiyono (2007, p51) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dengan menguji hipotesis dan
23
menegaskan perkiraan hubungan, diharapkan bahwa solusi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 95%, sehingga tingkat presisi atau batas ketidakakuratan sebesar = 5% = 0,05. Sedangkan hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Untuk T-1 : H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Gaya Kepemimpinan Demokratis (X1) dengan Kinerja Karyawan (Y). Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Gaya Kepemimpinan Demokratis (X1) dengan Kinerja Karyawan (Y). Untuk T-2 : H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Budaya Organisasi (X2) dengan Kinerja Karyawan (Y). Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Budaya Organisasi (X2) dengan Kinerja Karyawan (Y). Untuk T-3 : H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Gaya Kepemimpinan Demokratis (X1) dan Budaya Organisasi (X2) dengan Kinerja Karyawan (Y). Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Gaya Kepemimpinan Demokratis (X1) dan Budaya Organisasi (X2) dengan Kinerja Karyawan (Y).