BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting yang menjadi salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas nasus eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan (Irawati dkk., 2007). Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yakni pangkal hidung, dorsum nasi, puncak hidung (apeks), alas nasi, kolumela dan lubang hidung. Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang hidung terdiri dari sepasang os nasalis (tulang hidung), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontalis. sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior dan sepasang kartilago nasalis lateral inferior (kartilago alar mayor).
6
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior atau koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Vestibulum terletak tepat di belakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrissae. Septum nasi Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan di mana bagian tulang terdiri dari lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan terdiri dari, kartilago septum atau lamina kuadrangularis, kolumela. Kavum nasi terdiri dari dasar hidung, atap hidung, dinding lateral dan dinding medial. Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksilaris dan prosesus horizontal os palatum, atap hidung yang terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen nervus olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial. Konka, pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka superior, 7
sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Meatus nasi, di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding medial, dinding medial hidung adalah septum nasi. (Gambar 2.1) (Probst dkk., 2006).
Gambar 2.1. Rongga hidung (Probst dkk., 2006). 8
2.2. Definisi Rinitis Akibat Kerja Rinitis akibat kerja atau RAK didefinisikan sebagai rinitis yang muncul sebagai respon dari agen udara yang terdapat pada tempat kerja dan mungkin terjadi karena reaksi alergi atau bagian dari respon iritasi. Biasanya RAK disebabkan oleh zat di tempat kerja dengan berat molekul tinggi, berat molekul rendah dan zat-zat iritan yang melalui mekanisme imunologi atau nonimunologi (Arandelovic dkk., 2004; Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Gautrin dkk., 2006). EAACI mengajukan definisi RAK yang disesuaikan dengan definisi asma akibat kerja yaitu inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja (Moscato dkk., 2009). 2.3. Klasifikasi Rinitis Akibat Kerja Klasifikasi rinitis dibagi menjadi tiga kelompok yaitu rinitis alergi, rinitis infeksi yang bersifat akut atau kronik dan kelompok ‘lain-lain’. Rinitis kelompok ‘lain-lain’ terdiri dari rinitis idiopatik, sindrom rinitis non alergi eosinofilik, rinitis akibat kerja, rinitis hormonal, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi dan rinitis yang disebabkan faktor rangsangan makanan atau emosional (Airaksinen, 2010; Bachert, 2006). EAACI mengajukan pembagian rinitis di lingkungan kerja yang hampir menyerupai konsep klasifikasi asma akibat kerja atau occupational asthma yang telah dianut sebelumnya. Pembagian ini bertujuan untuk kepentingan klinis dan penelitian 9
epidemiologi. Rinitis di lingkungan kerja dibagi menjadi (i) rinitis akibat kerja: disebabkan oleh zat alergen atau iritan di lingkungan kerja pada pekerja yang sebelumnya tidak memiliki gejala rinitis, (ii) eksaserbasi rinitis oleh pajanan lingkungan kerja: didefinisikan sebagai rinitis baik alergi maupun nonalergi yang terjadi pada pekerja yang sebelumnya sudah memiliki gejala rinitis dan bertambah berat setelah terpajan zat alergen atau iritan di lingkungan pekerjaan (Gambar 2.2) (Moscato dkk., 2009).
Rinitis yang tereksaserbasi oleh kerja=
Rinitis yang berhubungan dengan kerja
Rinitis Eksaserbasi Kerja Rinitis yang disebabkan oleh kerja = Rinitis Akibat Kerja (RAK)
o
RAK alergi (dengan periode laten) * diperantarai oleh IgE * tidak diperantarai IgE
o
RAK non alergi (tanpa periode laten) * terpapar tunggal: RUDS * terpapar multipel:RAK yang diinduksi bahan iritan * rinitis korosif
RUDS: Reactive Upper Airways Dysfunction Syndrome
Gambar 2.2. Klasifikasi rinitis akibat kerja (Moscato dkk., 2009).
10
RAK alergi merupakan reaksi hipersensitif dengan karakteristik klinis berupa hipersensitifitas hidung oleh agen spesifik di lingkungan kerja yang muncul setelah periode laten. Reaksi alergi tidak terjadi pada pajanan pertama terhadap suatu zat. Interval terjadinya sensitisasi berlangsung dari beberapa minggu sampai beberapa tahun (Arandelovic dkk., 2004; Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Drake-Lee dkk., 2002; Gautrin dkk., 2006). RAK dengan perantara IgE disebabkan oleh bahan-bahan dengan berat molekul tinggi atau high molecular weight/HMW yang berasal dari hewan atau tanaman seperti urin tikus percobaan laboratorium, wol, serangga dan tungau, debu, tepung gandum, lateks, alergen tumbuh-tumbuhan, misalnya daun tembakau, kopi, merica, enzim biologis yang digunakan pada industri pembuatan detergen, obat- obatan, protein ikan dan makanan laut (Arandelovic dkk., 2004; Gautrin dkk., 2006; La Dou, 2004). RAK tanpa perantara IgE diinduksi oleh bahan-bahan dengan berat molekul rendah atau low molecular weight/LMW seperti diisosianat pada cat, anhidrides pada plastik dan cat, bahan dari debu kapur, metal, colophony yang terdapat pada pabrik elektronik, obat-obat, bahan kimia seperti tinta, katun, serat sintetik, garam persulfat yang dapat menginduksi pengeluaran IgE spesifik dengan cara berikatan dengan protein untuk membentuk ikatan hapten-protein (Arandelovic dkk., 2004; Drake-Lee dkk., 2002; Gautrin dkk., 2006; Moscato dkk., 2009).
11
RAK nonalergi dengan Reactive Upper Airways Dysfunction Syndrome merupakan reaksi rinitis nonimunologi yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar iritan yang tinggi (Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Moscato dkk., 2009). RAK terinduksi iritan juga dapat menimbulkan gejala rinitis yang disebabkan berbagai pajanan iritan berulang tanpa harus disertai adanya pajanan yang jelas terhadap iritan dalam konsentrasi tinggi seperti gas, kabut, uap, uap air dan debu termasuk asap rokok, nitrogen oksida, sulfur oksida, ozon, PAN atau peroxyacetyl nitrite, hypochlorite, ammonia, chloramines, gas chlorine, formaldehyde, glycol ethers (Drake-Lee dkk., 2002; Gautrin dkk., 2006; Moscato dkk., 2009). Rinitis korosif merupakan RAK terinduksi iritan yang terparah ditandai dengan inflamasi persisten mukosa hidung berupa atropi, ulserasi atau perforasi mukosa hidung dan epistaksis (Moscato dkk., 2009). Gejala rinitis yang memburuk karena pekerjaan dicetuskan oleh berbagai kondisi kerja seperti agen iritan yang berasal dari kimia, debu, asap, faktor fisik karena perubahan temperatur, emosi, mantan perokok, dan bau parfum. Gambaran klinisnya serupa dengan RAK, tapi mekanisme yang mempengaruhi timbulnya rinitis sulit untuk diselidiki (Moscato dkk., 2009). 2.4. Epidemiologi Rinitis Akibat Kerja Di Indonesia angka kejadian rinitis akibat kerja belum diketahui secara pasti karena saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Menurut penelitian, diperkirakan 15% pekerja di seluruh dunia menderita rinitis akibat kerja. Pekerja 12
industri adalah pekerja terbanyak yang menderita rinitis akibat kerja (48%), disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan pekerja pengolahan bahan jadi (13%). Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah petani, pekerja laboratorium farmasi, tukang kayu, pekerja pertambangan, pekerja industri makanan dan pekerja kesehatan. Para pekerja yang memiliki riwayat alergi individu atau keluarga lebih rentan terhadap rinitis akibat kerja. Peningkatan konsentrasi alergen dalam lingkungan dan lamanya waktu pajanan semakin meningkatkan resiko menderita rinitis akibat kerja (Arandelovic dkk., 2004). 2.5. Patofisiologi Rinitis Akibat Kerja Rinitis sendiri merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
(fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility 13
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain 14
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati dkk., 2007). Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan 15
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: a.
Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
b.
Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau ke duanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
c.
Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Untuk rhinitis akibat kerja mekanisme terjadinya adalah mekanisme imunologi IgE mediated yang mendasari terjadinya rhinitis akibat kerja dapat dijelaskan dengan baik, sedangkan tentang mekanisme non IgE mediated dan iritasi non imunologi 16
kurang dapat dijelaskan. Rhinitis akibat kerja ditandai dengan adanya aktivasi sel T yang disebabkan oleh Specific Inhalation Challenge (SIC) di dalam darah dan sputum dari pasien dengan rhinitis akibat kerja yang dibandingkan sukarelawan yang sehat. SIC ini diinduksi oleh sebuah peningkatan dari proporsi IL-13 yang memproduksi sel T, baik di dalam darah dan sputum dari pasien rhinitis akibat kerja. Pada temuan terbaru juga menunjukkan bahwa hidung yang tiba-tiba bereaksi disebabkan zat perisulfat pada penata rambut karena akibat aktivasi dari sel Th1. Pada penelitian yang lain ditemukan bahwa paparan debu di lingkungan kerja berhubungan dengan peradangan eosinofilik di hidung yang eksudatif dan menginduksi peningkatan yang signifikan dari a2 macroglobulin setelah peningkatan histamin pada hidung (Moscato dkk., 2009). 2.6. Jenis dan Sifat Debu Debu adalah partikel-partikel yang disebabkan oleh kekuatan alami atau faktor mekanis, seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat peledakan dan sebagainya, yang berasal dari bahan-bahan organik dan anorganik. a. Macam-macam debu 1) Debu organik, adalah debu dari bahan organik seperti debu kapas dan debu daun-daunan. 2) Debu mineral, merupakan debu yang berasal dari senyawa komplek seperti debu arang, debu silica dan debu kapur.
17
3) Debu metal, merupakan debu dengan berat jenis besar seperti debu timah hitam, debu arsen dan debu cadmium. b. Sifat-sifat debu Sifat-sifat debu dapat dikelompokan menjadi beberapa golongan: 1) Setting rate, yaitu sifat debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi, namun karena relatif kecilnya debu ini maka cenderung selalu berada di lingkungan. 2) Wetting, yaitu debu yang mempunyai sifat permukaan yang cenderung selalu basah yang selalu dilapisi lapisan air yang sangat tipis. 3) Floculation, yaitu debu yang cenderung sering basah sehingga dapat saling menempel dan menggumpal. 4) Electrical, yaitu yang mempunyai sifat listrik yang tetap, yang dapat saling tarik-menarik antar partikel yang bermuatan listrik yang
berlawanan.
Sifat
ini
dapat
mempercepat
proses
penggumpalan debu. 5) Optical properties, yaitu sifat debu yang dapat memancarkan sinar dalam kamar gelap (Probst dkk., 2006). 2.7. Debu Batu Kapur Komponen utama pembentuk batu kapur adalah mineral kalsit (CaCO3), mineral dolomite (CaMg(CO3)2) dan aragonite (CaCO3). Walaupun dalam jumlah yang kecil 18
debu kapur juga mengandung kasein yaitu suatu protein yang dapat menimbulkan alergi (Bonita dkk,. 2009). Proses penambangan batu kapur dimulai dengan proses stripping, yaitu pengupasan lahan tambang, yang meliputi proses pembukaan lahan serta pemindahan tanah penutup. Kegiatan ini dikerjakan dengan cara manual dengan menggunakan cangkul, linggis dan sekop. Setelah terlihat batuan kapur proses selanjutnya adalah pengambilan batu kapur, pengumpulan batu kapur di sekitar lokasi penambangan, kegiatan pengangkutan batu kapur dengan cara dipikul atau dengan alat pengangkut truk. Proses produksi tradisional penambangan batu kapur memaksa pekerja berada dalam jarak radius yang sangat dekat dengan sumber pencemaran berupa debu kapur. Debu kapur menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas manusia, mulai saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung maupun peradangan pada sinus paranasalis (Fahrudin, 2006). 2.8. Nilai Ambang Batas (NAB) Debu di Udara Nilai Ambang Batas adalah parameter yang banyak digunakan untuk mengukur keadaan udara di dalam lingkungan kerja. Nilai Ambang batas adalah konsentrasi dari zat, uap dan gas dalam udara yang dapat dihirup dalam 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yang hampir semua tenaga kerja dapat terpajan berulang kali sehari-hari dalam melakukan pekerjaan tanpa gangguan kesehatan yang berarti. Nilai Ambang Batas hanya merupakan alat atau pedoman yang mengikat untuk diperhatikan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun bila NAB sudah diterapkan, bukan 19
berarti para pekerja tersebut terbebas dari semua resiko yang mungkin timbul di lingkungan kerja. Nilai ambang batas kualitas udara di lingkungan kerja berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01/MENNAKER/1997 adalah 350 mg/m3 udara (Menteri Tenaga Kerja, 1997). 2.9. Faktor-Faktor Predisposisi Rinitis Akibat Kerja 2.9.1. Genetik Faktor genetik pada penderita atopi akan mengakibatkan peningkatan ekspresi, sintesis dan pengeluaran promediator inflamasi spesifik dari sel mukosa berupa IL-8, GM-CSF dan TNF-α dalam jumlah yang lebih banyak daripada nonatopi. Seseorang yang mempunyai riwayat atopi dan bekerja di tempat dengan kadar debu kapur tinggi, mempunyai risiko lebih besar untuk menderita rinitis akibat kerja (Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; WHO, 1999). 2.9.2. Usia Menurut penelitian prevalensi rinitis alergi pada usia 18-34 tahun sebesar 18,4% dan 35-49 tahun sebesar 17,6% (Nathan dkk., 1997). Sedangkan penelitian lain didapatkan prevalensi tertinggi antara usia 10-30 tahun sebesar 45% (Harianto dan Sumarman, 1999). Kadar Ig E tergantung pada usia, kadar puncak terjadi pada dekade pertama atau ke dua dalam kehidupan, akan menurun pada usia sekitar 40 tahun (WHO, 1999). Selsel inflamasi diproduksi pada sumsum tulang, kemudian memasuki peredaran darah dan memasuki jaringan mukosa atau kulit. Pada orang tua terjadi penurunan fungsi 20
sumsum tulang sehingga produksi sel-sel inflamasi juga turun. Akumulasi sel-sel inflamasi dipengaruhi oleh molekul adhesi. Proses akumulasi meliputi gerakan berputar atau rolling, gerakan menepi atau margination, diapedesis dan kemotaksis. Pada orang tua kemungkinan telah terjadi aterosklerosis sehingga proses diapedesis sel-sel inflamasi terganggu yang menyebabkan sel-sel inflamasi ke jaringan rendah. Selain itu pada orang tua kemungkinan telah terjadi neuropati saraf vidianus sehingga terjadi penurunan respon mukosa hidung terhadap histamine (WHO, 1999; Harianto dan Sumarman, 1999). 2.9.3. Masa Kerja Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat pajanan debu. Masa kerja berhubungan dengan seringnya pekerja terpajan debu kapur yang merupakan alergen, di mana pajanan yang terus menerus menyebabkan akumulasi sel-sel inflamasi seperti sel-sel APC, limfosit yaitu Th0, Th1, Th2, limfosit B, sel mastosit, basofil dan eosinofil yang menginfiltrasi mukosa hidung. Pengaruh debu terhadap timbulnya rinitis akibat kerja tergantung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah dosis pajanan. Masa kerja akan berpengaruh terhadap dosis pajanan yang diterima oleh pekerja. Seorang yang mempunyai masa kerja lama, tentu dosis pajanan yang telah diterima tinggi, yang akhirnya akan menimbulkan penyakit rinitis akibat kerja (D’Amato dkk., 2002; WHO, 1999).
21
2.9.4. Riwayat Merokok Merokok merupakan salah satu faktor predisposisi untuk terjadinya rinitis akibat kerja. Asap rokok menyebabkan rinitis melalui mekanisme penurunan aktivitas mukosilia, meningkatkan kerusakan epitel, meningkatkan pelepasan sitokin proinflamasi IL-2, 4, 5, 6, 8, 10, 13 yang meningkatkan produksi IgE oleh sel B dan molekul adhesi. Dengan demikian seseorang yang merokok akan berisiko lebih besar untuk menderita rinitis (Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Gilmour dkk., 2006; WHO, 1999). 2.9.5. Alat Pelindung Diri (APD) Alat pelindung diri yang dipakai dengan baik akan dapat melindungi pekerja dan menurunkan tingkat pajanan debu kayu yang merupakan alergen dan iritan pada kadar yang tinggi yang dapat menyebabkan rinitis. Pekerja yang tidak memakai alat pelindung diri dengan baik akan berisiko lebih besar untuk menderita rinitis (Cayanto dkk., 2007). 2.9.6. Geografi Sinar matahari menyebabkan peningkatan komponen oksidan fotokimia di mana puncak pajanan terjadi pada siang hari, sehingga terjadi peningkatan keluhan saat musim panas (D’Amato dkk., 2002). Udara yang lembab baik yang bersuhu panas maupun dingin dapat menjadi pencetus kambuhnya gejala alergi (D’Amato dkk., 2002; Gilmour dkk., 2006; Harianto dan Sumarman, 1999).
22
2.10. Diagnosis Kriteria dalam menegakkan diagnosis RAK adalah riwayat penyakit yang muncul atau bertambah berat di tempat kerja. Pada pemeriksaan klinis menunjukkan gambaran yang positif. Pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap zat alergen spesifik di tempat kerja, IgE spesifik, uji provokasi hidung, pemeriksaan rinomanometri atau peak nasal inspiratory flow meter dan pemeriksaan olesan atau kerokan mukosa hidung menunjukkan hasil yang positif (Arandelovic dkk., 2004; Shusterman, 2003). 2.10.1. Anamnesis Anamnesis secara rinci riwayat hidung tersumbat, rinore jernih, bersin, hidung gatal serta ingus di belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan antara gejala yang muncul di tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur atau jika pekerja menjalani cuti lebih dari tiga hari. Jika pekerja terpajan terus-menerus, gejala akan menetap sepanjang hari yang ditandai dengan sumbatan hidung yang terus-menerus sebagai gejala yang dominan karena reaksi alergi fase lambat atau RAFL. Riwayat menderita penyakit saluran napas pada usia anak-anak dan kemungkinan adanya atopi perlu ditanyakan. Kebiasaan individu seperti merokok, alkohol, hobi serta akivitas di waktu luang lainnya juga perlu ditelusuri (Arandelovic dkk., 2004; Drake-Lee dkk., 2002; Shusterman, 2003).
23
2.10.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pekerja yang menderita rinitis akibat kerja memiliki sekret hidung encer dan bening serta edema konka. Mukosa hidung biasanya terlihat pucat, berwarna merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan rutin seperti rinoskopi atau endoskopi serat optik perlu untuk melihat rongga hidung, faring dan struktur glotis serta ada atau tidaknya polip hidung. Sekresi pus dari muara sinus, hiperplasi limfoid, neoplasma, perubahan pita suara perlu dilihat untuk membedakannya dengan RAK. Stigmata lain seperti rinokonjungtivitis alergi, kemosis atau allergic shiner perlu diperiksa (Arandelovic dkk., 2004; Drake-Lee dkk., 2002; Shusterman, 2003). 2.10.3. Pemeriksaan Penunjang 2.10.3.1. Uji Tusuk Kulit Salah satu metode pemeriksaan alergi yang paling sering digunakan adalah uji tusuk kulit atau skin prick test. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit di kulit. Uji tusuk kulit banyak dipakai karena sederhana, mudah, cepat dan cukup aman sehingga sering dipakai sebagai pemeriksaan penyaring. Kelebihan cara ini ialah pemeriksaan dapat dilakukan dengan beberapa jenis alergen pada waktu yang bersamaan dan hasil pemeriksaan didapatkan dalam 15-20 menit (Airaksinen, 2010; Irawati, 2003). Kekurangan teknik ini untuk mendiagnosis RAK adalah kadang-kadang sulit mendapatkan ekstrak alergen spesifik yang dicurigai dari tempat kerja, sehingga perlu dilanjutkan dengan uji provokasi hidung dengan menggunakan alergen yang diambil 24
langsung dari lingkungan kerja dan tidak memerlukan ekstrak yang khusus (Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Drake-Lee dkk., 2002; Gautrin dkk., 2006). 2.10.3.2. Uji Provokasi Hidung Uji provokasi hidung adalah suatu metode pemeriksaan yang menginduksi gejala rinitis seperti bersin, hidung tersumbat, sekresi hidung dan gejala rinitis lainnya dengan cara menempatkan alergen definitif atau iritan yang dicurigai sebagai penyebab rinitis pada mukosa hidung dan reaksi yang timbul dimonitor. Beberapa penelitian terdahulu menggunakan metode uji provokasi hidung dan metode ini dianggap merupakan standar baku emas dalam menegakkan RAK. Akan tetapi kesulitan yang dihadapi adalah tidak semua zat di tempat kerja dapat digunakan pada uji provokasi, terutama zat-zat iritan. Metode uji provokasi juga berisiko untuk terjadinya reaksi yang hebat pada saluran napas atas dan bawah, karena dipajankan langsung dengan bahan yang diperkirakan sebagai penyebab penyakitnya (Airaksinen, 2010; Rajakulasingam, 2003). 2.10.3.3. Rinomanometri Rinomanometri merupakan metode yang sangat objektif dan akurat dalam menilai perubahan nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah uji provokasi dengan alergen yang dicurigai. Rinomanometri yang dianggap paling fisiologis adalah rinomanometri anterior aktif, karena mengukur secara bersamaan aliran udara pada satu hidung dengan pneumotachometer dan tekanan nasofaring pada hidung kontralateral dengan manometer yang dihubungkan dengan cuping hidung 25
kontralateral. Pemeriksaan dikatakan positif jika setelah uji provokasi dilakukan, aliran udara menurun lebih dari 40% dan jika tahanan hidung meningkat lebih dari 60%. Interpretasi dilakukan dengan membandingkan gejala yang muncul setelah pemeriksaan serta mengukur kualitas serta beratnya sekresi cairan hidung sebelum, selama dan sesudah tes. Rinomanometri akustik merupakan pemeriksaan yang sangat bermanfaat dalam mendiagnosis RAK karena sederhana, mudah dilakukan, dan tidak invasif dibandingkan dengan rinomanometri anterior dan posterior (Hytonen dkk., 1996; Nathan dkk., 2005). 2.10.3.4. Peak Nasal Inspiratory Flow Meter Peak Nasal Inspiratory Flow atau PNIF meter merupakan alat untuk mengukur derajat sumbatan hidung dengan mengukur kecepatan aliran udara melalui hidung pada saat inspirasi maksimal. Alat ini cukup sederhana, berukuran kecil dan ringan, mudah digunakan, serta interpretasi hasilnya cukup mudah. Selain itu juga mudah untuk dibawa dan sering digunakan untuk monitoring penderita rinitis alergi di manapun penderita berada. Alat ini juga memberikan informasi yang akurat terhadap sumbatan hidung dan respon terhadap pengobatan. Keterbatasan alat ini yaitu hanya dapat mengukur kecepatan aliran udara sedangkan tekanan transnasal tergantung usaha pasien pada saat inspirasi maksimal. Nilai normal pada orang Eropa yang ditetapkan dengan alat ini adalah 100–300 liter per menit, dengan keakuratan 10% (Starling dkk., 2005). Pengukuran aliran udara hidung maksimum dengan PNIF meter dilakukan sebelum, selama dan sesudah pergantian kerja (Baratawidjaya dan 26
Rengganis, 2009). PNIF meter pada uji provokasi dikatakan positif bila didapatkan sedikitnya dua gejala yaitu bersin-bersin, rinore, hidung buntu dan penurunan PNIF lebih dari 20% (Eire dkk., 2006; Rajakulasingam, 2003). 2.10.3.5. Pemeriksaan Sitologi Mukosa Hidung Respon lain yang dapat diukur adalah penilaian jumlah eosinofil, basofil, neutrofil dan sel lainnya serta mengukur mediator-mediator lokal yang dilepaskan oleh sel mastosit yang berdegranulasi. Bahan pemeriksaan diperoleh dari usapan, kerokan, bilasan atau biopsi. Pemeriksaan sitologi ini dilakukan untuk melihat adanya eosinofil sebagai parameter rinitis alergi atau neutrofil sebagai parameter rinitis iritan. Dari penelitian sebelumnya polymononuclear neutrophils atau PMNs telah terbukti berhubungan dengan iritasi inflamasi, sedangkan eosinofil berhubungan dengan respon alergi (Howarth dkk., 2005). 2.10.3.6. Pemeriksaan IgE dan Bersihan Mukosilia Pemeriksaan IgE total jarang digunakan untuk skrining pada rinitis alergi, karena nilai prediksinya yang rendah dan sebaiknya tidak digunakan sebagai alat diagnostik. Berbeda dengan IgE total, pemeriksaan IgE spesifik sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Adanya antibodi IgE spesifik tergantung pada tersedianya ekstrak alergen yang berhubungan untuk dilakukan uji imunologi (Bachert, 2006). Pemeriksaan bersihan mukosilia dapat dilakukan karena rinitis mengurangi aktivitas mukosilia yang sangat berpengaruh terhadap pertahanan terhadap bakteri (Fahrudin, 2006). 27
2.10.4. Algoritme Diagnosis Algoritme diagnosis RAK telah ditetapkan oleh EAACI Task Force on Occupational Rhinitis pada tahun 2009 (Moscato dkk., 2009). Riwayat pekerjaan dan klinis Pemeriksaan hidung
Tes imunologi (tes cukit kulit atau antibodi Ig E spesifik)
Tidak tersedia
Tersedia
Negatif
Positif
Berdasarkan riwayat klinik
Tes provokasi hidung di
laboratorium Positif
Tidak dapat dikerjakan
Negatif
Kemungkinan Rinitis Akibat Kerja
Berdasarkan riwayat klinik
Workplace assessment dari: Gejala-gejala klinik Patensi hidung Inflamasi hidung Hiperresponsif nonspesifik
Rinitis Akibat Kerja
Positif
Negatif
Bukan Rinitis Akibat Kerja
Gambar 2.3. Algoritme diagnosis rinitis akibat kerja (Moscato dkk., 2009). 28
Langkah pertama adalah melalui anamnesis dan pemeriksaan hidung. Bila tersedia ekstrak dilanjutkan dengan tes imunologi berupa tes tusuk atau IgE spesifik untuk zat dengan berat melekul tinggi dan berat melekul rendah. Diagnosis RAK dapat ditegakkan bila terdapat gejala klinik diikuti dengan hasil tes imunologik positif. Bila hasil tes imunologik negatif, tetapi secara klinis positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan uji provokasi hidung di laboratorium. Bila hasilnya positif, maka diagnosis RAK dapat ditegakkan. Bila hasilnya negatif atau uji provokasi hidung tidak dapat dilakukan, tetapi gejala klinik menunjang, penelusuran di tempat kerja seperti gejala klinik, pemeriksaan sumbatan hidung, histamin hidung, nasal challenge test dengan histamin, metakolin, atau udara dingin dapat dilakukan (Gambar 2.3) (Moscato dkk., 2009).
29