BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 1.1. Kajian Pustaka Peneliti menyadari, bahwa sebelumnya sudah ada peneliti yang serupa namun berbeda dalam segi metode, atau bahkan berbeda dalam hal sistematika penelitian. Berikut kajian penelitian sebelumnya. Penelitian Helen Diana Vida (Vida, Vol. 1 No. 1 Februari - Juli 2011). Penelitian yang berjudul Konstruksi Perempuan Dalam Rubrik “CC Single” di Majalah Cita Cinta Edisi Januari – Desember 2009, menganalisis konstruksi media terhadap realitas perempuan dengan menggunakan metode kualitatif berdasarkan analisis framing Entman dan teori feminis liberal. Hasilnya adalah bahwa media (Cita Cinta) mengkonstruksi wanita singel sebagai wanita mandiri, mampu menentukan jalan hidupnya dan memiliki jenjang pendidikan dan karir yang lebih baik. Sedangkan dalam tesis Misroji, (2010) “Kebijakan media massa dalam menerbitkan Iklan (studi kasus pada majalah Tempo dan Sabili), berupaya mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi kebijakan media massa dalam menerbitkan iklan dengan studi kasus pada majalah tempo dan sabili. Tesis tersebut diarsipkan pada perpustakaan Universitas Mercubuana, Jakarta. Menggunakan
paradigma
postpositivis,
peneliti
memfokuskan
perhatiannya pada kebijakan majalah Tempo dan Sabili dalam menerbitkan iklan dengan mengadopsi teori shoemaker dan rees tentang factor-faktor yang
14
mempengaruhi isi pesan media. Hasilnya dienemukan jawaban bahwa kebijakan media massa dalam menerbitkan iklan khsususnya pada majalah tempo dan sabili dipengaruhi oleh faktor rutinitas media, organisasi, ekstra media dan ideologi. Penelitian Wan Ulfa Nur Zuhro (2012), yang berjudul Citra Homoseksual Dalam Media Massa Online Nasional (Analisis Framing Tentang Citra Homoseksual Dalam Tempo.co dan Republika Online). Penelitian ini menganalisa teks berita untuk mengetahui citra homoseksual yang dibentuk oleh kedua portal berita tersebut dengan menggunakan metode kualitatif berdasarkan analisis framing dari Gamson dan Modigliani. Sedangkan teori yang digunakan adalah media massa dan konstruksi sosial, berita, bahasa dan konstruksi realitas, analisis framing, dan homoseksual. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa Republika Online menggambarkan citra homoseksual dengan cara yang sadis, cenderung melakukan kekerasan dan harus dijauhi karena bertentangan dengan agama. Sedangkan tempo.co menekankan bahwa menjadi homoseksual adalah sebuah pilihan, bukan takdir dari Tuhan. (Tabel 1) Penelitian Terdahulu Judul Helen Diana Vidaa, Konstruksi Perempuan Dalam Rubrik “CC Single” Di Majalah Cita Cinta Edisi Januari – Desember
Metodologi/Teori Kualitatif, Konstruktivis, Analisis Framing Entman, Feminisme Liberal
Hasil Kritik Perempuan lajang Teori feminis di Indonesia liberal dikonstruksi artikel menggambarka “CC Single” n seolah bahwa sebagai perempuan wanita yang mandiri, memiliki mampu menentukan kekebasan yang jalan hidupnya, setara dengan mengejar karier dan pria. juga pendidikan Rutininas 15
2009
Misroji( 2010) Kebijakan media massa dalam menerbitkan Iklan (studi kasus pada majalah Tempo dan Sabili)
Kualitatif, PostPositivisme Pengaruh isi media, manajemen media, iklan
Wan Ulfa Nur Zuhro, Citra Homoseksual Dalam Meddia Online Nasional (Analisis Framing Tentang Citra Homoseksual Dalam Tempo.co dan Republika Online)
Kualitatif, Konstruktivis, Analisis Framing Gamson dan Modigliani, Berita, Bahasa dan Konstruksi Realitas.
yang tinggi. Dalam penyajian “CC Single” majalah Cita Cinta menganut paham feminism liberal, yang menjunjung hak kesetaraan kaum perempuan dan laki-laki, serta kebebasan dalam menentukan hidup. Kebijakan media massa dalam menerbitkan iklan khsususnya pada majalah tempo dan sabili dipengaruhi oleh faktor rutinitas media, organisasi, ekstra media dan ideologi
media Cita Cinta tidak dibahas dalam penelitian ini, sehingga pembaca tidak diberikan informasi halhal yang mempengaruhi pemberitaan/me dia. Tidak membedah secara ekonomi/motif dari pemegang kebijakan dalam menjalankan perusahaan PT Bina Media Sabili. Tentunya, media Islam, dalam beberapa kasus, memiliki motivasi advokasi kepentingan umat Islam ketimbang motivasi bisnis Republika Online Ada baiknya juga menggambarkan membahasa citra kaum rutinintas media homoseksual yang untuk sadis, cenderung mendapatkan melakukan maksud media kekerasan dan harus melakukan citra dijauhkan karena terhadap kaum bertentangan homoseksual dengan agama. Selain menggambarkan homoseksual yang cenderung melakukan kekerasan, Tempo.co juga menekankan bahwa
16
menjadi homoseksual adalah sebuah pilihan, bukan takdir dari Tuhan
Dari ketiga penelitian diatas, dua diantaranya menggunakan paradigm konstruktivis dan satu menggunakan paradigma pos-positivis. Untuk penelitian Helen (2011) menggunakan paradigma konstruktivis. pemakaian teori feminis liberal menggambarkan seolah bahwa wanita memiliki kekebasan yang setara dengan pria. Perlu diingat bahwa wanita memiliki peran “khusus” yang melekat dalam dirinya, ia juga mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga. Selain itu, rutininas media Cita Cinta tidak dibahas dalam penelitian ini, sehingga pembaca tidak diberikan informasi hal-hal yang mempengaruhi pemberitaan/media. Walaupun sama-sama menggunakan analisis framing, dan paradigm yang sama objek penelitian yang digunakan berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua objek yang berbeda dari sisi segmen pembaca, yaitu tempo.co dan suara-islam.com Misroji (2010) tidak membedah secara ekonomi/motif dari pemegang kebijakan dalam menjalankan perusahaan PT Bina Media Sabili. Tentunya, media Islam, dalam beberapa kasus, memiliki motivasi advokasi kepentingan umat Islam ketimbang motivasi bisnis. Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivis. Pada penelitian ini, peneliti membedah pemberitaan terkait RUU KKG dan menganalisa faktor – faktor yang mempengaruhi isi media/berita.
17
Penelitian Wan Ulfa Nur Zuhra (2012), menggunakan analisis framing dari Gamson dan Modigliani dan seharusnya juga membahasakan rutinitas media dengan menggunakan teori Shoemaker and Reese untuk mendapatkan hasil citra itu bukan dari pandangan pribadi wartawan, tapi juga kebijakan keredaksian dari dua media tersebut, Tempo.co daan Republika Online. Yang membedakan dengan penelitian ini adalah penggunaan analisis framing dari Entman untuk mendapatkan aspek seleksi isu dan penonjolan, ditambah faktor – faktor yang mempengaruhi isi media/berita. 2.2. Kerangka Pemikiran 2.2.1. Berita dan Konstruksi Realitas Media
Realitas sosial adalah hasil dari konstruksi dalam proses komunikasi tertentu. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya The social construction of Reality : A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).
Subtansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203).
18
Pada kenyataannya, realitas sosial itu sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan mengkonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.
Kejadian atau peristiwa yang dihasilkan fakta sangat banyak. Tetapi, tidak semua peristiwa tersebut dapat ditulis dan dikategorikan sebagai sebuah berita jurnalistik. Karena itu, berita pada dasarnya adalah peristiwa yang sudah ditentukan sebagai berita. Ia bukan peristiwa itu sendiri.
Menurut Fishman (Eriyanto, 2007:100), berita adalah apa yang pembuat berita tulis. Menurutnya ada dua kecenderungan studi dalam melihat produksi berita. Pandangan pertama ialah selectivity of news (seleksi berita). Intinya, proses produksi berita ialah proses seleksi.
Pandangan kedua ialah creation of news (pembentukan berita). Menurut perspektif ini peristiwa itu dibentuk, bukannya diseleksi. Wartawanlah yang membentuk peristiwa, dan dianggap aktif dalam proses pencatatan suatu peristiwa. Berita dihasilkan dari pengetahuan dan pikiran, bukan karena ada realitas subjektif yang berada di luar.
Bill Kovach dan Tom Rosensteil (dalam Zuhro, 2012:5) memaparkan elemen – elemen yang menjadi standar nilai berita dan layak berita. Elemen –
19
elemn tersebut adalah, (1) kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; (2) loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat; (3) intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi; (4) praktisi jurnalisme (wartawan) harus menjaga independensi terhadap narasumber berita; (5) jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan; (6) jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat; (7) jurnalisme memberitakan hal yang penting menjadi menarik dan relevan; (8) jurnalisme menyiarkan berita komprehensif dan proporsional; (9) mengikuti hati nurani. Untuk bisa memenuhi nilai berita dan layak berita, sebuah peristiwa tidak harus memenuhi semua unsur diatas. Ia bisa memenuhi semua unsur, tapi juga bisa hanya memenuhi beberapa unsur saja. Hal ini biasanya sesuai dengan hak prerogatif pihak media dalam menentukan kebijakan redaksionalnya untuk menentukan unsur – unsur tersebut.
Konstruksi realitas terjadi ketika wartawan atau media melakukan proses pembingkaian berita setelah nilai berita dan layak berita dipenuhi. Wartawan tidak melakukan pembingkaian dalam seluruh teks berita, hanya di beberapa bagian saja dalam struktur berita yang dibingkai dan selanjutnya menentukan wacana yang dikonstruksi oleh wartawan.
2.2.2. RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender Istilah gender, menurut Mansour Fakih (1996:7-9), masih terjadi ketidakjelasan, kesalahpahaman mengenai apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Ada beberapa penyebab terjadinya ketidak jelasan tersebut, diantaranya, tidak ada kata gender
20
dalam bahasa Indonesia. Kata gender dalam bahasa Indonesia meminjam dari bahasa Inggris, namun tidak secara jelas membedakan antara kata sex (jenis kelamin) dan gender. Namun Mansour Fakih memberikan pemahaman konsep gender dengan jenis kelamin (sex). Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, lelaki adalah manusia yang memiliki atau sifat seperti, memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan kaum perempuan memiliki reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki alat vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada perempuan dan lelaki selamanya. Secara biologis pula alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis perempuan dan laki-laki. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan. Sementara itu konsep lain yang berbeda dari jenis kelamin (sex) Mansour Fakih menjabarkan sedikitnya 3 pemahaman, yaitu : pertama konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonsntruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, keibuan. Sementara lelaki dianggap : kuat, rasional, jantan, perkasa. Ada beberapa karakter dari sifat tersebut, yakni sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya adalah ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa.
21
Kedua perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari lelaki, tetapi pada zaman yang lain dan ditempat yang berbeda lelaki yag lebih kuat. Ketiga, adalah dari kelas ke kelas masyarakat yang lain juga berbeda. Pada perempuan kelas bawah di pedesaan pada suku tertentu lebih kuat dibandingkan kaum lelaki. Semua yang dapat ditukarkan antara sifat perempuan dan lelaki, beruba,h dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lain, serta berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain.
Berdasarkan RUU KKG pasal 1 ayat 1, Gender diartikan sebagai berikut, “Gender adalah perbedaan peran fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari suatu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”(Draft RUU KKG tanggal 18 Oktober 2011) Sementara itu, dalam konsep Islam, tugas, peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah dan tidak kesemuanya merupakan produk budaya. Ada peran yang berubah dan ada yang tidak berubah. Yang menentukan peran bukanlah budaya, melainkan wahyu Allah yang telah dicontohkan pelaksanaannya oleh nabi Muhammad SAW. Ini karena memang Islam adalah agama wahyu yang ajaran-ajarannya ditentukan berdasarkan wahyu Allah, bukan berdasarkan konsensus sosial atau budaya masyarakat tertentu. (Hussaini, 2012:23) 22
Sejak digulirkan ke parlemen medio 2011 dan juga ke media, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender menuai banyak kritik dari kalangan masyarakat, utamanya adalah umat Islam. Banyak pasal yang dianggap bertentangan dengan konsep Islam. Menurut Adian Hussaini (Insistnet.com, 11 Juli 2012), menyebut munculnya RUU KKG yang dinahkodai para aktivis feminisme merupakan preseden buruk bagi cara berfikir generasi bangsa Indonesia kedepan. Penelitian kaum feminis yang memfokuskan kepentingan analisanya pada jenis kelamin perempuan adalah gerakan pembodohan akademis. Misalnya penelitian tentang diskriminasi, KDRT, kemiskinan, buta huruf dsb., selalu dititikberatkan pada korban perempuan dan diabaikan jika korbannya adalah laki-laki. Seakan-akan orang menjadi bodoh, miskin, disiksa dan dizalimi gara-gara masalah jenis kelamin.
Terkait dengan RUU KKG ini, ada beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya RUU KKG. Dalam pemberitaan di media (Tribunnews.com-Minggu, 18 Nov 2012), Ketua Panja Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG), Chairun Nisa menegaskan kesetaraan dan keadilan gender sudah lama tersurat dalam konstitusi UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia tanpa adanya pembedaan baik ras, agama, jenis kelamin maupun gender. Perangkat peraturan perundang-undangan tersebut masih dirasakan tidak cukup. Karena belum ada satu payung hukum yang mampu menjadi sandaran utuh bagi pencapaian kesetaraan dan keadilan gender.
23
Menurutnya RUU KKG merupakan rancangan peraturan perundangundangan strategis yang akan dijadikan payung kebijakan dalam rangka menciptakan situasi kondusif bagi pencegahan diskriminasi gender maupun kesenjangan gender.
Ia juga menyebut beberapa peraturan-peraturan terkait, antara lain, 8 ratifikasi internasional mengenai hak asasi manusia yang berhubungan dengan perempuan dan anak (CRC, ICCPR, ICESCR, CAT, ICRDP, ICPMW), UndangUndang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Paket Pemilu (tentang Partai Politik; Pemilu; MD3) memasukkan affirmative action kuota perempuan 30%, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kemudian, Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UndangUndang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangan Orang, dan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Direktur riset dan advokasi Lembaga Katalog Indonesia Andriea Salamun (Tribunnews.com-Minggu, 18 Nov 2012), mengungkap, setidaknya ada tiga faktor penting yang melatari lahirnya RUU KKG.
24
Pertama, banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan dibandingkan laki-laki seperti kekerasan rumah tangga, korban perdagangan, kekerasan oleh majikan, korban pemerkosaan dan sebagainya.
Kedua, RUU KKG diperlukan dalam mendorong upaya sementara dalam peningkatan kepemimpinan perempuan di berbagai bidang. Sebagai contoh, ada upaya yang telah dilakukan dalam peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan pusat maupun daerah dengan kebijakan kuota 30 persen. Meskipun kuota tersebut belum terpenuhi namun jumlah keterwakilan perempuan mengalami peningkatan. Dan ketiga, pencapaian tujuan MDG’s.
Ketiga landasan tersebut, menjadi tanggung jawab Negara untuk memberikan perlindungan dan menjamin terwujudnya kesetaraan gender termasuk tindakan-tindakan khusus sementara yang mencakup akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan dan penikmatan manfaat yang sama dan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam pembangunan nasional.
Dalam paparan draft RUU Kesetaraan Gender dan Keadilan Gender (Rapat Panja Komisi 8 DPR RI, 5 Desember 2012), RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) merupakan usul inisiatif Komisi VIII DPR-RI. Tahun 2010, Komisi VIII DPR-RI menugaskan kepada Tim Kerja RUU KKG Setjen DPR-RI untuk menyusun draf RUU dan Naskah Akademik. Pada awalnya RUU ini berjudul RUU tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Setelah paparan tanggal 24 Mei 2011, Timja ditugaskan mengubah NA & RUU PUG menjadi NA & RUU KKG. Pada Agustus 2011, Draf RUU KKG dan NA dipresentasikan
25
kembali di hadapan Pimpinan dan Anggota Komisi VIII DPR-RI. Panja RUU KKG Komisi VIII DPR-RI telah melakukan Kunjungan Kerja ke Provinsi Jawa Barat, Bali, dan Kalimantan Timur. Pada Masa Persidangan tahun 2011 Komisi VIII DPR-RI melakukan RDPU dengan Deputi PUG KNPP&PA, Komnas Perempuan, Ormas perempuan, CWGI, dan beberapa Pusat Studi Wanita/Gender.
Sesuai surat pimpinan Komisi VIII No. LG/488/KOM.VIII/IX/2012, tanggal 25 September 2012 tentang permintaan Perbaikan NA dan Draft RUU KKG 2011, Timja ditugaskan melakukan penyempurnaan NA & RUU KKG. Timja melakukan penyempurnaan berdasarkan arahan pimpinan komisi VIII, hasil Kunjungan kerja Panja KKG Komisi VIII ke Provinsi Jawa Barat, Bali, Kalimantan Timur, RDPU Panja KKG antara lain dengan Deputi PUG KPPA, Komnas Perempuan, beberapa Pusat Studi Wanita, CWGI.
Berdasarkan hal-hal tersebut hasil penyempurnaan NA dan Draf RUU sebagai berikut:
RUU ini memuat 9 (sembilan) bab dan 74 (tujuh puluh empat) pasal dengan materi muatan terdiri dari ketentuan umum, kewajiban dan tanggung jawab, penyelenggaraan PUG, pelaporan penyelenggaraan PUG, anggaran responsif gender, komisi nasional gender dan komisi gender daerah, peran serta masyarakat, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Judul berubah menjadi RUU tentang Kesetaraan Gender dan Keadilan Gender, karena Kesetaraan Gender dan Keadilan Gender memiliki makna yang
26
berbeda. Menghilangkan pengaturan mengenai Hak karena hak dalam berbagai bidang sudah diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan lain. Menambahkan pengaturan mengenai Tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Kesetaraan Gender dan Keadilan Gender. Meringkas pengatura mengenai Penyelenggaraan PUG karena hal yang lebih teknis akan didelegasikan ke peraturan pelaksana.
Pengaturan secara lebih detil tentang Komisi Nasional Gender dan Komisi Gender Daerah sebagai penguatan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang dibentuk berdasarkan Perpres 65/2005. Hal ini perlu diatur mengingat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak secara hukum merupakan Kementerian Non Teknis yang hanya menyusun kebijakan dan program. Meniadakan ketentuan Pidana karena pelanggaran pidana termasuk dalam kategori pidana umum, yang diatur dalam KUH Pidana.
2.2.3. Gender dalam Perspektif Media
Menurut Mansour Faqih, gender merupakan atribut yang dilekatkan secara sosial maupun kultural, baik pada laki-laki maupun perempuan (Fakih, 1996:28). Gender sebagai konstruksi sosial, yang melahirkan suatu perbedaan, lahir melalui proses yang panjang, proses-proses penguatan perbedaan gender tersebut, termasuk di dalamnya proses sosialisasi, kebudayaan, keagamaan dan kekuasaan negara. Proses ini terjadi akibat bias gender sehingga gender di suatu yang esensial, bersifat nature. Selanjutnya gender mewariskan konsep pemikiran
27
tentang wacana seharusnya laki-laki dan perempuan berfikir dan bertindak yang diwariskan dari generasi ke generasi untuk pembenaran terhadap perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan hanya karena perbedaan kelaminnya.
Oleh karena itu, gender adalah suatu konsep nurture, sedangkan seks adalah konsep nature. Gender dibentuk oleh soal budaya. Karenanya bisa berbeda pada sistem budaya yang berlainan, sedangkan seks atau jenis kelamin merupakan konsep nature yang berasal dari Tuhan, yang merupakan suatu yang esensial (Hariyanto, 2009:167-170)
Sementara itu, media massa, yang dikatakan sebagai agen budaya sangat berpengaruh terhadap masyarakat sebab masyarakat modern mengkonsumsi media dalam jumlah dan intensitas yang tidak dapat dibandingkan dengan masamasa sebelumnya. Media massa memang bukan merupakan satu-satunya untuk berkomunikasi, tetapi posisinya telah menjadi semakin sentral dalam masyarakat yang anggotanya semakin kurang berinteraksi secara langsung satu sama lain. Media massa hadir praktis sepanjang hari dalam kehidupan masyarakat.
Media
telah
berkembang
menjadi
agensosialisasi
yang
semakin
menentukan karena intensitas masyarakat mengkonsumsinya. Efek dari media juga akan semakin kuat ketikan perempuan ditampilkan dengan cara yang memperkokoh stereotip yang sudah terbangun di tengah masyarakat. Oleh karena itu, media massa memang bukan yang melahirkan keitdaksetaraan gender. Namun media jelas memperkokoh, melestarikan bahkan memperburuk segenap ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat.
28
Sebagai industri bisnis, media terlibat terlalu jauh dengan alam pikiran dengan
memperalat
perempuan
dengan
seluruh
karakter
yang
dapat
diperjualbelikan seperti, kecantikan, kemolekan tubuh dan seks – dada, pinggul, dan paha – sebagai wujud dari pola patriarkhi laki-laki dan kapitalisme insudtri pers. Akan tetapi, dalam perannya sebagai produk intelektual, media justru berfungsi sebaliknya, yaitu membela dan mempertahankan apa yang menjadi hak dasar publik, terutama kepada mereka yang dalam posisi tertindas.
Berkaitan dengan dilema diatas, ada dua alur pemikiran yang dibedah oleh Dhakidae. Pertama, menyangkut kebijakan keredaksian (editorial policy), alur ini merupakan rambu-rambu perspektif gender yang merupakan alur kebijakan intelektual-profesi media bersangkutan. Visi, misi dan target empatinya, yaitu nyata-nyata menetapkan pembelaan atas hak azasi manusia serta pembelaan kepada mereka yang tertindas. Kedua. Adalah kebijakan sesaat (discretion). Alur kedua ini lebih disebabkan oleh wacana yang ada dalam diri pengelola dan pelaku media itu. Tindakan itu terbawa oleh kebiasaan yang menjadi pertimbangan untuk pengambilan keputusan adalah common sense (Siregar, 2000:460)
Selain itu, Soemandoyo menambahkan dengan peran newsroom media sebagai unsur utama kebijakan lain yang patut diperhitungkan (Soemandoyo, 1999:223-244) pada alur ketiga ini, keinginan untuk menjadikan newsroom yang bebas nilai. Fungsi newsroom sebagai sebuah forum demokrasi institusi jurnalistik teruji disini. Dalam hal ini, sebuah proses keputusan pemberitaan berspektif gender mengalur dan disiarkan tanpa adanya bias.
29
Walaupun kebijakan keredaksian “melarang” membuat produk yang memunculkan kekerasaan terhadap perempuan, tetapi ketika kebijakan berdasar “kebiasaan” memperbolehkannya. Oleh karena itu, akan muncul kebiasaankebiasaan yang berulang. Bahkan, pada suatu titik tertentu menjadi “kebiasaan alamiah” yang mendorong pada pencapaian realitas budaya yang terabsahkan.
Dalam media massa, gender dikonstruksi sesuai dengan keinginan masing– masing media. Menurut Armando (2000 : 29) menengok isi media massa, kita akan menemukan gambaran perempuan dalam budaya populer kita adalah objek yang nilai utamanya adalah daya tarik seksual. Perempuan memang tidak lagi digambarkan sebagai “hanya” dirumah tangga dan istri yang kewajiban utamanya adalah menyenangkan hati suami, anak – anak dan orang tua. Namun posisi terbarunya tak bisa dipandang hormat. Perempuan sebagaimana tampil di media, adalah pemanis, pelengkap, atau bahkan pemuas fantasi seksual kaum pria.
2.2.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Isi Media Menurut Pamela J Shoemaker dan Stephen D Reese, (1996: 59-221), dalam Mediating The Message: “Theories of Influencesc on Mass Media Content“, menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifkasikan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media, sebagai berikut: Pertama, faktor ideologi. Faktor ideologi diartikan sebagai kerangka berpikir tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan
30
bagaimana mereka menghadapinya. Faktor ideologi terlkihat sangak abstrak, karena berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Menurut Peter d Moss, (Dalam
Karomani, 2004:39), menyatakan
bahwa wacana media massa merupakan konstruk kultural yang dihasilkan oleh ideologi. Karena itu, berita dalam media massa menggunakan frame atau kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, media massa menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia. Bagi Moss ideologi merupakan seperangkat asumsi budaya yang menjadi“ normalitas alami dan tidak pernah dipersoalkan lagi”. Implikasi bahasa dapat juga digunakan untuk memberikan aksestuasi tertentu terhadap sebuah peristiwa atau tindakan, seperti mempertajam atau mengaburkan sebuah peritiwa. Joseph Straubhaar dan Robert LaRose mengutip Gitlin (dalam (Karomani, 2004:42), menjelaskan bahwa bagaimana seorang wartawan melakukan frame terhadap suatu peritiswa diibaratkan “.....as a painter chooses what to put in the frame of painting“, bagaimana seorang wartawan menuliskan peristiwa sesuai dengan konseptual dari sudut pandang dalam menyajikan fakta tersebut dalam teks berita, dan bagaimana mengintepretasikan fakta dimaksud. Sehingga realitas yang ditangkap oleh khalayak adalah realitas yang terlebih dahulu
dibangun
oleh
media
dengan
terlebih
dahulu
menonjolkan,
menghilangkan atau menyamarkan. Dengan demikian, berita yang disampaikan kepada khalayak adalah penggambaran atau perwakilan dari ideologi yang dianut oleh institusi media itu sendiri. Dalam padangan konstruktivisme, berita adalah gambaran arah ideologi media. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial
31
yang selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dimaknai dan dipahami. Kedua, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personel dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan atau kencendrungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam media. Ketiga, faktor rutinitas media. Faktor rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran itu, adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada didalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelumnya sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya dan seterusnya. Keempat, faktor organisasi. pada level organisasi berhubungan dengan struktur
organisasi
yang
secara
hipotek 32
mempengaruhi
pemberitaan.
Pengelolaan media dan wartawan bukan organ tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Didalam organisasi media, misalnya selain redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum. Dan seterusnya. Masing-masing bagian itu, tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target itu. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofinya sendiri, berbagai elemen itu mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana seharusnya peristiwa disajikan dalam berita. (Karomani, 2004:42) Kelima, faktor media. Faktor ini berhubungan dengan faktor lingkungan yang berada di luar organisasi media itu sendiri. Kondisi itu pula akan mempengaruhi proses pemberitaan sebua media. Ada beberapa faktor yang termasuk lingkungan diluar media, yaitu: 1)
Sumber berita, sumber berita dipandang bukan sebagai pihak yang
netral yang memberikan informasi. Namun kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan, semisal memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang memiliki kepentingan, sumber berita tentunya memberlakukan politik
33
pemberitaan. Ia akan memberikan infomrasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. 2) Sumber penghasilan media, berupa iklan. Media harus survive, dan mampu bertahan hidup. Cara-cara bagaimana media harus bertahan terkadang media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupinya. Misalnya media tidak memberitakan kasus tertentu, karena terkait dengan kepentingan pengiklannya. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksa terhadap organisasi media. Tentunya organisasi pengiklan tadi, memiliki kepentingannya dipenuhi. Pelanggan dalam banyak hal, ikut mewarnai pemberitaan media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak. Pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat dominan, mewarnai corak perjalanan organisasi pemberitaan. Dalam negera otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang amat dominan dalam menentukan arah berita yang akan disajikan. Keadaan ini, tentunya berbeda dengan dinegara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan pemerintah praktis tidak ada. Justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.
Sumber : (Shoemaker, 1996)
34
2.2.5. Analisis Framing Dalam Pemberitaan Media Framing dapat dianalogikan seperti kita sedang memotret. Misalnya kita hendak memotret sebuah mobil, objek yang menjadi fokus perhatian adalah bagian interior dari mobil tersebut. Padahal kita tahu bahwa mobil meliputi bagian interior, ekterior, mesin dan bagian lainnya. Namun, yang menjadi fokus perhatian adalah bagian interior. Sisi bagian depan, tepatnya pada dashboard mobil, lebih diperlihatkan ketimbang interior pada bagian lain. Saat mengambil gambar ini, fotografer memiliki maksud dan tujuan sendiri. Ada sesuatu yang hendak ia tonjolkan sehingga orang yang melihat foto ini diarahkan tepat sesuai dengan keinginan dari si fotografer, tanpa harus melihat sisi atau bagian lain dari mobil tersebut. Pada dasarnya, analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sudibyo, 1999:23). Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penseleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. Dalam ranah studi komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis
35
fenomena atau aktivitas komunikasi. Analisis framing digunakan untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksikan fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perpektifnya (Sobur, 2001:162). Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendakl dibawa ke mana berita tersebut (Eriyanto, 2007:21). Seperti halnya seorang fotografer dalam memilih objek gambar dan memotretnya sesuai dengan angle yang ia inginkan. Jadi, kata kunci dari analisis framing adalah seleksi isu, pola penonjolan dan menulis berita. Analisis framing berpusat pada produksi berita oleh media. Penonjolan adalah merupakan sebuah produk interaksi antara teks dan penerima, maka kehadiran frame dalam teks tidak menjamin pengaruhnya terhadap pemikiran khalayak (Zuhro, 2010:7). Jadi perlu diingat analisis framing hanyalah pada level produksi teks media.
2.2.6. Model Analisis Framing Model-model framing yang umum digunakan antara lain dari Murray Edelman, Robert N. Entman, William A. Gamson & Andre Modigliani, serta
36
Zhongdan Pan & Gerald M. Kosicki. Di sini, saya hanya memaparkan 1 model saja,yaitu Robert Entman.
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas. Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan. Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukkan, tetapi ada juga berita yang dikeluarkan. Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu.
Penonjolan aspek tertentu dari isu berkaitan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu di suatu peristiwa dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis. Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.
Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berfikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. (Eriyanto, 2007:188)
37
(Tabel 2) Perangkat Framing Model Robert N. Entmant (Eriyanto, 2007:188-189)
Define Problem (Pendefinisian Masalah) Diagnose Causes (Memperkirakan masalah atau sumber masalah
Make Moral Judgement (Membuat keputusan moral)
Treatment Recommendation (Menekankan Penyelesaian)
Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa? Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (actor) yang dianggap sebagai penyebab masalah? Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi suatu tindakan? Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang diatawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?
Konsepsi mengenai framing dari Entman menggambarkan secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh wartawan. Define problem (pendefinisian masalah) adalah eleman yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame/bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa itu atau isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda. (Robert N. Entman and Andrew rojecki dalam Eriyanto, 2007: 190) Diagnose cause (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu
38
peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula. Make moral judgment (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefenisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh masyarakat. Elemen framing lain adalah Treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian ini sangat bergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. (Eriyanto, 2007: 189-191)
2.2.7. Ideologi Media
Walau penulis tidak menganalisa ideology sebuah media, namun perlu penulis paparkan sedikit konsep ideologi sebuah media sebagai dasar bahwa terdapat ideologi dalam sebuah media.
39
Secara umum, ideologi merupakan sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat
(Muttaqin, 2011 Vol.
5:189). Tujuan utama dibalik ideologi, menurut Muttaqin, adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah system pemikiran abstrak yang tidak hanya sekedar pembentukan ide yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implicit, setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideology walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berfikir yang eksplisit
Sebagaimana dikutip Eriyanto, (Eriyanto, 2009:88-89), Raymond William mengklasifikan penggunaan ideologi dalam tiga area. Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki kelompok atau kelas tertentu. Ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren.
Kedua, ideologi merupakan sebuah sistem kepercayaan yang dibuat (ide atau kesadaran palsu) yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang lemah. Perangkat ideologi yang digunakan kelompok dominan terhadap kelompok lain akan mengakibatkan hubungan yang terjalin tampak natural dan diterima sebagai kebenaran. Disini, ideologi disebarkan melalui berbagai instrumen yang salah satunya adalah media massa.
Ketiga, ideologi diartikan sebagai proses produksi makna dan ide. Ideologi bekerja merumuskan makna secara eksklusif yang merepresentasikan kepentingan
40
kelompok tertentu yang dominan. Melalui perumusan makna ini, ideologi mengkonstruksi dan memproduksi makna suatu realitas secara sewenang-wenang untuk kepentingan partisan.
Dalam konteks media, Mathew Kieran menyebut ideologi dibentuk bukan dalam ruang hampa (Muttaqin, 2011 Vol. 5:185-198). Berita diproduksi dari ideologi dominan tertentu yang berasal tidak hanya dalam arti ide-ide besar, tetapi juga bisa bermakna politik penandaan dan pemaknaan. Semencara Gramsci mengemukakan bahwa hubungan pemilik modal dan pekerja yang dalam konteks media massa antara wartawan dan pemilik industri media merupakan hubungan yang bersifat hegemonik (Muttaqin, 2011 Vol. 5:185-198). Melalui hubungan hegemonik ini, pemiliki media melakukan kontrol atas produksi berita yang dijalankan oleh media agar tetap memberikan kepastian bagi ideologi dan kepentingan kapital.
Selain ideologi sebagai perangkat internal media, kekuatan lain yang secara massif membentuk kecenderungan kepentingan dan keberpihakan media adalah sumber berita (news source), pengiklan (advertiser), konsumen berita (news consumer) dan publik (the general public). Produksi berita sesungguhnya berada dalam pertarungan antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan isi berita. Secara umum, pihak yang menguasai kapital berpeluang paling besar mendominasi proses produksi berita. Dalam konteks media massa, pengiklan (advertiser) merupakan pihak yang dominan menentukan kecenderungan dan keberpihakan media.
41
2.2.8. Media Online Perkembangan teknologi komunikasi menjadi semakin beragam, sehingga informasi dapat diakses dengan begitu cepat dan mudah, karena kemunculan media komunikasi baru yaitu internet sebagai media Online. Media online (internet) didirikan oleh pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1969. Media online didefinisikan sebagai jaringan luas computer, yang dengan perizinan, dapat saling berkoneksi antara satu dengan lainnya untuk menyebarluaskan gital file, serta memperpendek jarak antar Negara. Tidak seperti radio dna televisi yang disiarkan dari satu lokasi untuk diterima di daerah sekitarnya, internet mampu mengkoneksi antara satu computer dengan perangkat lainnya, sekaligus sebagai broadcaster dan Receiver (Cheney, 1998:67-77). Awalnya media online mulai memasuki kebudayaan komunikasi massa pada pertengahan tahun 1990-an di Amerika Serikat. Media online digunakan sebagai sarana menyebarkan foto pribadi dan media lain dengan teman dan keluarga, mem-posting, mengekspresikan opini atau observasi, dari internet (Chesney, 1998:73). Hanya dengan bermodal perangkat computer sederhana dan koneksi internet yang ke depan akan semakin murah, orang bisa mengakses beragam informasi daan perkembangan situasi terkini di berbagai belahan dunia. Media online pun sekarang dapat diakses di berbagai kafe, sekolah atau kampus, tempat kerja, bahkan rumah. Kelebihan lain dari internet terletak pada kecepatannya dan kebebasan ornag menggunakannya untuk berbagai alternative informasi yang dapat diakses darinya.
42
Selain memfasilitasi kita untuk menyebarkan informasi, media online juga mengandung bahya berkelanjutan bila disalahgunakan olehg pihak yang tidak bertanggung jawab. Kekurangan dari media online adalah jika penggunanya disalahgunakan, missal menyebarkan black campaign bernuansa SARA, informasi/berita yang cenderung fitnah dan hiperbolis serta merusak mengandung pendnagkalan aqidah dan lain-lain. Kemudian jika hal-hal tersebut dilakukan, tidak ada yang bisa disalahkan untuk mempertanggungjawabkannya, karena minim sekali kemungkinan untuk melacaknya. Hal ini juga disebabkan internet dapat diklasifikasikan sebagai sarana free communication. Lister (2003:99) memberikan definisi yang lebih luas lagi mengenai media online (internet). Berdasarkan definisi oleh ”The Federal Networking Council” di Amerika Serikat, internet mengacu pada system informasi global yang secara logis terhubung bersama oleh suatu area alamat global yang unik berdasarkan internet protocol (IP) atau bagian yang mengikuti, hal ini memungkinkan terjadinya komunikasi melalui rangkaian Transmission Control Protocol Internet Protokol (TCP/IP) atau bagian lain yang mengikuti, dan atau IP Protocol lain yang sesuai dan memungkinkan membuat internet akses baik secara public maupun privat, dipakai untuk berkomunikasi, dan saling menghubungkan infarstruktur yang ada di dalamnya. 2.2.9. Online News Online News adalah sebuah hal baru yang mulai eksis sekitar 2 dekade yang lalu. Online news mulai ada pada pertengahan tahun 1990-an (dengan terkenalnya World Wide Web), namun sebenarnya Online News sudah dapat 43
dilakukan pada awal 1980-an. Pada tahun 1983, grup Koran Knight-Ridder dan AT&T meluncurkan revolusi eksperimennya untuk membawa ornag-orang menjelajahi informasi lewat computer mereka sendiri. Sebuah layanan teks video, yaitu Viewtron, menjadi pelopor media online news ini. Sesuai perhitungan ComScore Media Matrix XPC di Chicago, pada bulan Juni 2003 telah terdaftar 217.133.857 portal website di seluruh dunia yang berfasilitas penyuguhan berita/informasi
(Salwen,
2005:89-97).
Angka
ini
membuktikan
bahwa
perkembangan online news begitu pesat di mata penggemar berita dan dunia online. Online News diartikan sebagai media yang berkapasitas menawarkan berita live, audio dan video, yang terbentuk berdasarkan teknologi hypermedia dan hypertext berkaitan dan juga termasuk ke dalam online journalism dan/atau online newspaper di internet. Dan yang paling jelas dua model ekonomi pada online news adalah pada biaya berlangganannya dan bergantung pada periklanannya. Para peneliti mengatakan bahwa internet akan menjadi komunikasi masa depan. Dikutip oleh Salwen, sebagai contoh Katz (1999:124) mempercayai bahwa jurnalistik masa depan ditemukan di internet dan suatu hari online news akan menjadi mainstream journalism (Jusnalistik Utama), karena World Wide Web (WWW) dibuktikan dapat mentrasnformasikan kebudayaan, bahasa dan informasi. Perkembangan pesat dari online news ini disinyalis karena online news menawarkan isi (content), teknologi dan distribusi. Menurut Salwen, berikut adalah definisi peran online news, yaitu (Salwen, 2005:258) > Online edition are little more than electronic version of the parent newspaper
44
> As a hybrid of printed newspaper and original content. > Some online news sites contain large amount of origin content created by separate staffs > Used as source of news and information are being widened to meet the needs > Online newspaper should think of themselves as full-service independent Wbsite > Online News as a site should work with 24-hour deadline and update content on a frequent and regular basis. > As a reseller original content can be an exclusive investigative report or other reporting not published in the printed edition of the newspaper or anywhere else > As a reseller original content may also be a first report of breaking news not yet printed in the tradisional newspaper > As a supplementary material that adds to stories in the printed newspaper may also be considered original content.
Online news adalah tahap penting bagi konvergensi media. Online news memang masih memiliki banyak keterkaitan dengan Koran cetak tradisional (teks dan foto), tetapi online news ini adalah beritanya yang selalu diperbaharui secara berkelanjutan (continuous updates), memiliki interaktifitas, hypertext, dan multimedia (Salwen, 2005:259). Jadi selain menawarkan kecanggihan teknologi untuk masa kini dan masa depan, online news juga membawa pengaruh yang besar di dunia jurnalistik lewat kelebihan-kelebihannya
45
2.3 Alur Kerangka Pemikiran Dari kerangka pemikiran di atas, penulis membuat alur kerangka pemikiran sebagai berikut : (Tabel 3) Bagan Alur Kerangka Pemikiran
Suatu realitas di tangkap oleh wartawan untuk dijadikan laporan pemberitaan yang akan disampaikan kepada masyarakat. Dalam hal ini, realitas adalah pemberitaan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang sedang dibahas oleh anggota dewan (DPR-RI) pada media Tempo.co dan SI Online. Realitas tersebut dikonstruksi oleh wartawan dan media untuk tujuan tertentu. 46
Penelitian ini akan membedah faktor-faktor yang mempengaruhi Isi Media menggunakan konsep Hierarcy Of Influence yang dicetuskan oleh Pamela J Shoemaker dan Stephen D Reese. Ada lima tingkatan pengaruh yang dapat mempengaruhi isi berita. Kelima tingkatan tersebut ialah individu, rutinitas media, organisasi, ekstra media, dan ideologi. Konsep ini akan membedah bagaimana suatu berita RUU KKG dipengaruhi oleh 5 hal yang disebutkan oleh Shoemaker dan Reese. Kemudian, untuk dapat mengetahui bagaimana RUU KKG dikonstruksi oleh media, dan dengan cara dan teknik apa peristiwa ditekankan dan ditonjolkan, maka digunakan perangkat analisa framing Robert N. Entman. Entman melihat dalam dua dimensi besar seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas. Perangkat analisa framing Entman terdiri dari : Define Problem (Pendefinisian masalah), Diagnose Causes (Memperkirakan Masalah), Make Moral Judgment (Membuat keputusan moral), Treatment recommendation (Menekankan penyelesaian). Hasil dari konsep Hierarcy Of Influence dan konstruksi pemberitaan menjadi sebuah kebijakan Tempo.co SI online dalam keberpihakannya terhadap suatu realitas pembahasan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender.
47