BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Kepemimpinan
2.1.1. Pengertian Kata dan Defenisi Secara etimologis, kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang berarti bimbing, tuntun. Kemudian lahirlah kata benda pemimpin, yakni orang yang berfungsi membimbing atau menuntun. Jadi kepemimpinan artinya menunjuk kepada suatu tindakan dalam pelaksanaan tugas memimpin (band. KBBI, 1995). Kata kepemimpinan dapat ditemukan dalam semua bahasa. Dalam bahasa Yunani ada dua kata kerja yakni archien, artinya membimbing, menuntun, dan prattein, mencapai dan dalam bahasa Latin, agree, membimbing, memimpin. (Jeanings, 1960). Dalam bahasa Inggris, kata “pemimpin” sudah dipakai lebih dari 1000 tahun yang sedikit berubah dari bahasa Anglo Saxon, yakni dari akar kata laedere, yang berarti pemandu petualangan (Bolman & Deal 1991). Dalam bahasa modern, kata pemimpin tidak selamanya berarti sama. Dalam bahasa Jerman, Fuhrer, dalam bahasa Perancis le meneur ( Klenke, 1997). Di Indonesia dikenal adanya trilogi kepemimpinan yang diajarkan dan dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Kepemimpinan adalah: di depan menjadi contoh/panutan; di tengah orang yang dipimpin/masyarakat yang dipimpinya ia menjadi penggerak/pemrakarsa; dan di belakang ia menjadi pengendali yang partisipatif dan berpengaruh/berwibawa (ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani).
21
Warren Bennis dan Burt Nanus (1997) melaporkan mereka telah menemukan 850 rumusan tentang kepemimpinan. Ragam rumusan tentang kepemimpinan, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi memberi teladan sehingga melalui proses itu seseorang (atau tim pimpinan) mendorong suatu kelompok untuk mencapai tujuan yang dituju oleh pemimpin atau dipegang bersama pemimpin dan para pengikutnya. 2. Kepemimpinan atas manusia dilaksanakan jika dalam persaingan atau konflik dengan orang-orang lain, orang dengan memberi motivasi dan tujuan tertentu menggerakkan, sumberdaya kelembagaan, politik, psikologis, dan sumberdaya
yang
lain
sehingga
membangkitkan,
melibatkan
dan
memuaskan motivasi para pengikutnya. 3. Kepemimpinan
adalah
pengaruh,
kemampuan
seseorang
untuk
mempengaruhi orang lain. 4. Soerjono Soekanto mengutip pendapat Selo Soemarjan yang mengatakan, “sejak mula terbentuknya suatu kelompok sosial, seseorang atau beberapa orang diantara warga-warganya melakukan peranan yang lebih aktif daripada rekan-rekannya, sehingga orang tadi atau beberapa orang tampak lebih menonjol dari lainnya. Itulah asal mulanya timbulnya kepemimpinan. Mengenai pengertian kepemimpinan, banyak yang mendefinisikannya dengan berbagai batasan. Stogdill (1974). mencatat sebelas kelompok pendapat tentang
kepemimpinan
yang
berbeda
antara
satu
dengan
yang
lain
Pengelompokan tersebut dapat diringkas sebagai berikut: 1.
Kepemimpinan sebagai titik pusat dari proses-proses kelompok;
22
2.
Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dengan kekuatan pengaruh;
3.
Kepemimpinan sebagai seni dalam menciptakan kesepahaman dan kesepakatan;
4.
Kepemimpinan sebagai perwujudan pengaruh;
5.
Kepemimpinan sebagai tindakan atau perilaku;
6.
Kepemimpinan sebagai suatu persuasif;
7.
Kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuatan/kekuasan;
8.
Kepemimpinan sebagai sarana untuk pencapaian tujuan;
9.
Kepemimpinan sebagai hasil dari suatu interaksi;
10.
Kepemimpinan sebagai awal dari struktur,
11.
Kepemimpinan sebagai suatu pemilahan peran. Berdasarkan proses lahirnya kepemimpinan, terlihat bahwa kepemimpinan
dibentuk dan dipengaruhi oleh kelompok dan lingkungannya. Pada sisi lain, kepemimpinan juga kemudian mempengaruhi para pengikutnya melalui perannya yang strategis. Jadi, ada hubungan saling mempengaruhi antara pemimpin sebagai individu dengan kelompoknya. Bogardus (1934) melihat kaitan antara individu (pemimpin sebagai pelaksana kepemimpinan) dengan kelompoknya, sebagai relasi dari suatu hubungan vital resiprokal, artinya individuality dan sociality bersifat saling mempengaruhi. Secara individuality dalam kepemimpinan menunjuk kepada unsur kepribadian atau sifat-sifat menonjol di dalam diri seorang pemimpin. Dengan itu, kepemimpinan mempengaruhi kelompok melalui fungsinya yang menguasai, mengatur dan mengarahkan kepada pencapaian tujuan.
Secara sosiality,
23
menyangkut fungsi organisasi dengan pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang didasarkan atas pola-pola kekuasan dan otoritas. Hubungan saling mempengaruhi tadi menyebabkan terjadinya proses perubahan dan penyesuaian, baik secara individu maupun kelompok. Menurut Mar’at (1985) kepemimpinan dapat dikatakan selalu ada dalam masyarakat dan milik masyarakat. Hanya karena lokasi , zaman dan kebudayaan yang berbeda maka terjadi corak-corak kepemimpinan yang bervariasi baik dari segi struktur maupun proses terbentuknya. Seorang motivator terkenal di abad ini, John Maxwell ( 1993) mengatakan kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi dan
mengarahkan orang lain, bawahan, atau kelompok untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok. Ia kemudian mempopulerkan istilah “kepemimpinan itu adalah pengaruh”. Dari arti kepemimpinan yang disebutkan diatas bahwa terlihat kepemimpinan itu adalah kuasa. Pengembangan kemampuan itu adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dengan maksud agar yang bersangkutan semakin memiliki ciri-ciri kepemimpinan (Yukl (2005). Walaupun belum ada kesatuan pendapat para ahli mengenai syarat-syarat ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, akan tetapi beberapa di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut : 1. Kekuatan atau energi Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan lahiriah dan rohaniah sehingga mampu bekerja keras dan banyak berfikir untuk memecahkan masalahmasalah yang dihadapi.
24
2. Penguasaan emosional Seorang pemimpin harus dapat menguasai perasaannya dan tidak mudah marah dan putus asa. 3. Pengetahuan mengenai hubungan kemanusiaan Seorang pemimpin harus dapat mengadakan hubungan yang manusiawi dengan bawahannya dan orang-orang lain, sehingga mudah mendapatkan bantuan dalam setiap kesulitan yang dihadapinya. 4. Kecakapan berkomunikasi Kemampuan menyampaikan ide, pendapat serta keinginan dengan baik kepada orang lain, sertadapat dengan mudah mengambil intisari pembicaraan. 5. Kemampuan teknis kepemimpinan Mengetahui
azas
dan
tujuan
organisasi.
Mampu
merencanakan,
mengorganisasi, mendelegasikan wewenang, mengambil keputusan, mengawasi, dan lain-lain untuk tercapainya tujuan.Seorang pemimpin harus menguasai baik kemampuan managerial maupun kemampuan teknis dalam bidang usaha yang dipimpinnya. 6. Percaya terhadap kemampuan orang lain Setiap orang akan senang jika mereka merasa dipercaya dan banyak orang akan mengerjakan apa saja untuk memenuhi kepercayaan tersebut. Berilah kepercayaan kepada orang yang kita pimpin sesuai dengan kemampuan dan wilayah kerjanya, namun sampaikan terlebih dahulu dengan jelas apa yang harus dia lakukan. 7. Mendengar apa yang disampaikan orang lain Dengarkan dan perhatikan apa yang di sampaikan orang lain disekitar kita,
25
ketika hal tersebut dilakukan sesungguhnya kita membangun hubungan terhadap orang lain dan mereka akan merasa dihargai. Karena pada dasarnya setiap orang pasti ingin dirinya dihargai, maka berikanlah hal itu. Orang yang tidak pernah menghargai orang lain, jangan pernah berharap dia akan dihargai apalagi dicintai. 8. Kemampuan memahami orang lain Setiap orang sebenarnya ingin didengar, dihormati dan dipahami, ketika orang melihat bahwa mereka dipahami, mereka akan merasa dimotivasi dan dipengaruhi secara positif. Sesungguhnya cara paling halus dan jitu untuk mempengaruhi dan mengambil hati orang lain adalah dengan memahami dan mendengarkan apa yang dia sampaikan. Berikan sepenuhnya apa yang sudah menjadi hak mereka tanpa harus melalaikan pendidikan untuk mereka sadar akan kewajiban mereka juga. 9. Menjadi arah (navigator) bagi orang lain Berarti mengidentifikasi tempat tujuan. Ketika seseorang memiliki potensi pribadinya maka ia memerlukan arah untuk mengembangkan potensi tersebut. Dengan mengarahkan orang lain kepada kesuksesan, tanpa kita sadari kita pun telah melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang lebih sukses. Ilmu kita meningkat, pengalaman kita bertambah, kemampuan kita semakin diasah, relasi atau jaringan kita bertambah dan kebaikan kita pun berlipat ganda. 10. Memperlengkapi orang lain Artinya ketika ada kepercayaaan orang lain dengan sebuah keputusan penting maka pemimpin harus dengan senang mendukungnya. Ketika diberi wewenang kepada orang lain maka pemimpin telah meningkatkan kemampuan orang lain tanpa menurunkan kemampuan pemimpin itu sendiri . Maksudnya jika
26
seorang pemimpin telah mampu mendelegasikan tugas dengan baik kepada bawahannya, berarti ia telah membuat langkah cerdas dalam kerjanya, tugas yang tercapai lebih banyak dan lebih cepat. Bawahannya semakin pintar dan pada akhirnya tujuan bersama pun tercapai dengan hasil terbaik. Namun syarat sebelum pendelegasian adalah berikan penjelasan dan ilmu sampai orang yang kita delegasikan tersebut paham benar tentang apa yang harus ia lakukan. 2.1.2. Peran Kepemimpinan Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Oleh sebab itu diantara para anggota kelompok tentulah membutuhkan seseorang yang bisa memimpin kelompok itu, sebab jika tidak ada pemimpin maka akan terpecah belahlah kelompok tersebut. Untuk mengelolanya, diperlukan pemimpin yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik serta dapat menjadi panutan untuk anggota kelompoknya. Pemimpin adalah figur seseorang yang bijaksana, berani mengambil keputusan dan yang paling penting berwibawa dan bisa memimpin untuk mencapai tujuan bersama. Sekarang sudah sangat sedikit orang yang mempunyai ciri-ciri seorang pemimpin yang baik didalam organisasi maupun badan-badan usaha, bisnis, dan pemerintahan. Dalam praktek sehari-hari, sering diartikan sama antara pemimpin dan kepemimpinan, padahal kedua hal tersebut berbeda. Pemimpin adalah orang yang tugasnya memimpin, sedang kepemimpinan adalah bakat dan atau sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin. Setiap orang mempunyai pengaruh atas pihak lain,
27
dengan latihan dan peningkatan pengetahuan oleh pihak maka pengaruh tersebut akan bertambah dan berkembang. Organisasi adalah sebagai alat dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh beberapa orang atau lebih yang bekerjasama untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu. Sorang sosiolog, Ralft Dahrendorft
(Ritzer, 2011)
memusatkan
perhatiannya pada fakta sosial yakni posisi dan peran. Dahrendorft mengatakan dalam tesisnya bahwa otoritas (kekuasaan) tidak terdapat pada individu namun pada posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah elemen kunci. Otoritas selalu berarti subordinasi dan superordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas tersebut diharapkan akan mengendalikan subordinat; jadi mereka mendominasi karena harapan dari mereka yang mengelilinginya, bukan karena karakter psikologisnya. 2.1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Dalam melaksanakan tugas kepemimpinan mempengaruhi orang atau kelompok menuju tujuan tertentu, kita pemimpin, dipengaruhi oleh beberapa faktor.Faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan adalah sebagai berikut : A. Faktor Kemampuan Personal Pengertian kemampuan adalah kombinasi antara potensi sejak pemimpin dilahirkan ke dunia sebagai manusia dan faktor pendidikan yang ia dapatkan. Jika seseorang lahir dengan kemampuan dasar kepemimpinan, ia akan lebih hebat jika mendapatkan perlakuan edukatif dari lingkungan, jika tidak, ia hanya akan menjadi pemimpin yang biasa dan standar. Sebaliknya jika manusia lahir tidak
28
dengan potensi kepemimpinan namun mendapatkan perlakuan edukatif dari lingkunganya akan menjadi pemimpin dengan kemampuan yang standar pula. Dengan demikian antara potensi bawaan dan perlakuan edukatif lingkungan adalah dua hal tidak terpisahkan yang sangat menentukan hebatnya seorang pemimpin. B. Faktor Jabatan Pengertian jabatan adalah struktur kekuasaan yang pemimpin duduki. Jabatan tidak dapat dihindari terlebih dalam kehidupan modern saat ini, semuanya seakan terstrukturifikasi. Dua orang mempunyai kemampuan kepemimpinan yang sama tetapi satu mempunyai jabatan dan yang lain tidak maka akan kalah pengaruh. sama-sama mempunyai jabatan tetapi tingkatannya tidak sama maka akan mempunya pengaruh yang berbeda. C. Faktor Situasi dan Kondisi Pengertian
situasi
adalah
kondisi
yang
melingkupi
perilaku
kepemimpinan. Disaat situasi tidak menentu dan kacau akan lebih efektif jika hadir seorang pemimpin yang karismatik. Jika kebutuhan organisasi adalah sulit untuk maju karena anggota organisasi yang tidak berkepribadian progresif maka perlu pemimpin transformasional. Jika identitas yang akan dicitrakan oragnisasi adalah religiutas maka kehadiran pemimpin yang mempunyai kemampuan kepemimpinan spritual adalah hal yang sangat signifikan. Begitulah situasi berbicara, ia juga memilah dan memilih kemampuan para pemimpin, apakah ia hadir disaat yang tepat atau tidak. Karena dalam suatu organisasi memiliki tujuan yang sama, pemimpin dan anggota harus saling mendorong dan menasehati dalam hal kebaikan, dalam
29
halnya kasus yang lain jika seorang pemimpinnya saja sudah tidak baik bagaimana dengan anggotanya. Dalam suatu partai/organisasi pemimpin yang tegas dan jujur sangatlah dibutuhkan, agar tidak menyesatkan anggota yang lainnya. Seorang pemimpin harus mempunyai keahlian dan pengetahuan yang sangat luas yang diperoleh melalui pengembangandiri. Pengembangan diri ini menghasilkan
keterampilan-keterampilan
seperti
keterampilan
teknis,
keterampilan manajemen sumber daya manusia, dan keterampilan konseptual. Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu. Jika semakin tinggi kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin dituntut daripadanya kemampuan berfikir secara konsepsional, strategis dan makro. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia akan semakin generalis, dan semakin besar tanggung jawab terhadap suatu kelompok atau organisasi yang ia pimpin, sedangkan semakin rendah kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia menjadi spesialis. Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan
dari
kekuasaannya,
bukan
kecerdasannya,
tapi
dari
kekuatan
kepribadiannya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras untuk memperbaiki dirinya sendiri sebelum dia sibuk memperbaiki diri orang lain. Pemimpin bukan hanya sekedar mendapatkan gelar atau jabatan yang diberikan dari luar namun melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal.
30
Dalam memilih seorang pemimpin diharuskan mempunyai keahlian dan pengetahuan yang sangat luas. Tidak hanya pengetahuan umum tetapi harus memiliki keterampilan khusus, diantaranya keterampilan dalam mengelola sumber daya manusia, keterampilan teknis. Seorang pemimpin harus memiliki adab dan perilaku yang baik, karena seorang pemimpin menjadi panutan atau contoh untuk bawahannya. Seorang. pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan, jujur dan rasa tanggung jawab yang besar terhadap tugas yang diamanahkan kepadanya.
2.2.
Kepemimpinan dan Masyarakat ( Sosiologi Agama) Agama merupakan institusi universal, tidak ada satu masyarakat yang
tanpa gejala keagamaan. Durkheim menganggap ajaran dan praktek keagamaan sebagai suatu mekanisme yang digunakan oleh masyarakat untuk memelihara komitmen terhadap norma moral dasar yang terdapat dalam kesadaran sosial. Dengan mendalamnya orang melekatkan dirinya pada komitmen keagamaan, mereka akan kuat loyalitasnya terhadap masyarakat. Malah menurut Durkheim agama merupakan sumber kebudayaan yang sangat tinggi, Karl Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat (Djamari, 1993) Ekspresi sosial dari ajaran serta kepercayaan agama dihidupkan dan dipelihara oleh adanya organisasi keagamaan. Tidak ada satu agama pun yang dapat terus tanpa organisasi. Dalam hal inilah sangat jelas sekali pengaruh kepemimpinan . Fenomena keagamaan terjalin dalam berbagai kegiatan, mulai dari
kehidupan
keluarga
sampai
bidang-bidang
masyarakat-masyarakat yang kompleks,
sosial-ekonomi.
Dalam
organisasi agama diperlukan demi
terselenggaranya pertemuan, pengajaran, ritual dan untuk menjalin hubungan
31
antar anggota secara internal, maupun antar kelompok dalam masyarakat (Djamari, 1993). Menurut Durkheim, tipe masyarakat di mana kedudukan perempuan sangat kuat, maka kehidupan agamanya pun sangat berorientasi pada perempuan begitu juga sebaliknya (Djamari, 1993) . Misalnya dalam masyarakat kecil dengan mata pencaharian berburu dan meramu, di Australia, stratifikasi sosial pada masyarakat ini hanya berdasarkan usia dan jenis kelamin. Orangtua panutan yang lebih muda dan perempuan. Gambaran seperti itu tampak pada struktur agama, perempuan tidak diikutsertakan dalam upacara keagamaan bahkan dilarang. Jika dilihat masyarakat suku bangsa yang mata pencahariaan utamanya adalah bertani, tampak agama dan struktur masyarakat telah berubah. Beberapa masyarakat yang lebih besar, mempunyai pemukiman dan telah mempunyai akumulasi kekayaan. Mereka biasanya terstruktur sekitar sistem keluarga. Ada aturan-aturan insect tentang kepada siapa orang boleh atau tidak boleh kawin. Di beberapa masyarakat peran perempuan penting. Sehingga ada istilah matrilineal (anak mewarisi nama dan kekayaan dari garis ibu), matrilokal (suami diam dan menggunakan sebagian waktu hidupnya di lingkungan keluarga istri). Karena itu tidak mengherankan jika dalam masyarakat seperti ini aspek keagamaan cenderung diperankan oleh perempuan. Lain halnya dengan masyarakat patrilineal (anak mewarisi nama dan kekayaan dari garis ayah). Struktur masyarakat yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segalagalanya. Dan perempuan berada pada posisi yang lemah dan tidak berdaya.
32
2.2.1
Pengertian Pendeta Sebutan Pendeta adalah jabatan pemimpin umat dalam keagamaan. Ini
dipakai secara umum kepada pemuka atau pemimpin agama Hindu dan Protestan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2014). Ada sejumlah pengertian sehubungan dengan istilah pendeta. Defenisi umum, seperti dikemukan oleh Havilland (1988), menyebut pendeta dalam artian seorang spesialis keagamaan laki-laki atau perempuan
yang bekerja secara penuh, dengan tugas memimpin dan
menyempurnakaan tindak keagamaan orang lain. Spesialis ini mahir dalam berkomunikasi, mempengaruhi dan memanipulasi kekuatan-kekuatan supranatural dan keahlian tersebut diperoleh melalui pendidikan khusus. Dalam kitab Injil sebutan pendeta adalah gembala atau gembala sidang yang memiliki makna pemimpin jemaat, namun sekaligus juga menjadi penatalayanan yang harus melayani jemaat. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa pendeta adalah seorang atasan (pimpinan) jemaat, namun ia sekaligus adalah bawahan dari Yesus Kristus. Impilkasinya adalah di satu pihak jemaat wajib taat kepada pendeta, di lain pihak pendeta atau pemimpin gereja harus tunduk kepada Yesus Kristus yang merupakan pemimpin dari segala pemimpin gereja. •
Pekerjaan Pendeta Tugas utama adalah bersama dengan pelayan khusus atau majelis jemaat,
(pertua dan diaken) adalah melayani, memelihara dan memimpin jemaat berdasarkan firman Tuhan. Tugas utama itu lebih jauh dapat dirinci sebagai berikut: melayani pemberitaan firman Tuhan , melayani sakramen, melayani katekisasi, melayani pemberkatan nikah. Kemudian menyebarluaskan ajaran
33
Alkitab, memngunjungi warga jemaat secara rutin maupun non rutin dalam penyelengaraan ibadah rumah tangga, ibadah kelompok-kelompok kaum ibu, kaum bapa pemuda, dan anak-anak serta orang tua lanjut usia yang dilakukan secara bergilir, melakukan bimbingan dan konsultasi, mengunjungi dan memimpin upacara penguburan warga jemaat yang meninggal. •
Syarat- syarat Menjadi Pendeta Persyaratan-persyaratan yang diperlukan untuk menjadi pendeta :
Tamatan pendidikan Sekolah Tinggi Teologia yang direkomendasi oleh Gereja bersangkutan Telah menyelesaikan proses sebagai calon pendeta atau vikaris dengan melakukan pelayanan kepada jemaat di suatu lingkungan dengan baik sekurang-kurangnya 2 tahun Sudah dilantik/ditahbiskan menjadi pendeta melalui upacara khusus yang dilakukan di tengah-tengah warga jemaat oleh Sinode (Pimpinan Pusat) (disarikan berdasarkan Tata Gereja GBKP, Toraja, GMIM, GMIT). 2.3.1. Kepemimpinan Perempuan Kepemimpinan artinya adalah kekuasaan yang selalu identik dengan lakilaki. Sebab perempuan hanyalah the second sex- seperti juga sering disebut sebagai “warga kelas dua”
yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan
Konstruksi sosial yang telah menggambarkan dua wilayah kekuasaan yakni publik dan domestik. Wilayah kekuasaan ini membentuk gambaran dominasi dan subordinat. Dominasi adalah laki-laki dan subordinat adalah perempuan. Pandangan inilah yang menyulitkan perempuan untuk tampil sebagai pemimpin.
34
Di Indonesia, hasil sensus tahun 2014 menunjukkan jumlah perempuan masih tetap lebih banyak daripada laki-laki. Dari segi kuantitas, perempuan adalah sumber daya manusia yang sama besarnya dengan laki-laki. Jika dilihat dari partisipasi perempuan dalam berbagai sektor serta kesempatan dan kemampuan pengambilan keputusan. Perempuan Indonesia tertinggal di dalam kehidupan publik. Kesenjangan gender yang senantiasa muncul dalam indikator sektor sosial menjadi sebuah tantangan berskala nasional. Indonesia memiliki angka melek huruf yang tinggi pada orang dewasa yaitu sebesar 92 persen, namun perempuan jumlahnya mencapai 63% dari 7,7 juta orang yang masih buta huruf. Tingkat kematian ibu juga tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup, yang masih menjadi salah satu yang tertinggi di kalangan negara-negara ASEAN. Angka harapan hidup pada tahun 2008 adalah 71 tahun untuk perempuan dan 67 tahun untuk laki-laki. Partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja masih 49 persen jika dibandingkan dengan 80,2 persen laki-laki (BPS, 2014). Di antara perempuan yang bekerja di sektor pemerintahan, kurang dari 1 persennya menduduki posisi eselon atas dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif hanya 18 persen. Meskipun jumlah perempuan tenaga kerja di sektor pelayanan publik adalah sebesar 45,4 persen, keberadaan mereka sebagian besar ada di eselon-eselon yang rendah (2, 3 dan 4). Hanya 9 persen dari mereka yang ada di eselon satu adalah perempuan (UNDP, 2010). Fenomena yang ada menunjukkan banyak perempuan yang telah menduduki jabatan sebagai pemimpin kepala desa, kepala kantor, kepala sekolah, manager perusahaan, direktur rumah sakit, direktur bank, presiden, perdana menteri, dan lain-lain. Namun persentase perempuan sebagai pemimpin
35
dibandingkan dengan populasi perempuan secara keseluruhan jauh lebih rendah dibandingkan dengan persentase laki-laki sebagai pemimpin (Bass, 1990). Padahal, sejarah telah mencatat dalam dunia modern ini bahwa sudah ada beberapa bangsa yang dipimpin oleh perempuan seperti India, Pakistan, Israel, Filipina, Inggris, Indonesia, dan lain-lain. Sejalan dengan gerakan emansipasi dan gerakan kesetaraan gender yang intinya berusaha menuntut adanya persamaan hak perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, maka setahap demi setahap telah terjadi pergeseran dalam mempersepsi tentang sosok perempuan. Mereka tidak dipandang lagi sebagai sosok lemah yang selalu berada pada garis belakang, namun mereka bisa tampil di garis depan sebagai pemimpin yang sukses dalam berbagai sektor kehidupan, yang selama ini justru dikuasai oleh kaum laki-laki. Secara esensial dalam manajemen dan kepemimpinan pun pada dasarnya tidak akan jauh berbeda dengan kaum laki-laki. Kita mencatat beberapa tokoh perempuan yang berhasil menjadi pemimpin, Margareth Teacher di Inggris yang dijuluki sebagai “Si Wanita Besi”, Indira Gandhi di India, Cory Aquino di Philipina, Megawati di Indonesia dan tokoh-tokoh perempuan lainnya. Dari catatan sejarah ataupun dari angka statistik, perempuan
ternyata
mampu mengisi kedudukan kepemimpinan di wilayah publik, seperti menjadi jendral,
menteri, duta besar, direktur ekssekutif, pendiri dan pimpinan surat
kabar, direktur bank, manajer dan sebagainya. Malah sejarah juga mencatat perempuan
yang
berkedudukan sebagai ratu dan presiden yang memimpin
negara seperti tersebut di atas.
Keberhasilan perempuan menjadi pemimpin
seperti yang tersebut di sebelumnya ternyata prosentasi sangat kecil sekali. Ini antara lain tantangan budaya patriarki dalam masyarakat secara umum. Dalam
36
budaya patriarki, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah, halus dan emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, berani dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki. Akibatnya, jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena mereka tersisihkan oleh dominasi laki-laki. Tidak saja budaya tapi juga dalam ajaran agama. Undang-undang Hindu Brahmana menganggap perempuan tidak punya kemampuan, dan laki-laki menaunginya sepanjang masa. Sebagai contoh, butir 148 disebutkan bahwa perempuan senantiasa mengikuti laki-laki. Pada awal kehidupannya perempuan mengikuti bapaknya, dan setelah menikah mengikuti suaminya. Apabila suaminya meninggal, maka ia harus mengikuti anak-anak suaminya. Jika suaminya tidak punya anak, maka ia harus mengikuti kerabat suaminya. Dalam agama Yahudi, Talmud menyuruh berhati-hati terhadap perempuan dan menganggapnya sebagai bahaya. Sehingga masyarakat Yahudi mengatakan “Lebih baik berjalan di belakang singa daripada berjalan di belakang perempuan” (Ja,far, 1998). Di lingkungan agama Islam contohnya di Muhammadiyah sendiri peran perempuan selama ini tersubordinasi dalam organisasi otonom Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Dengan alasan sudah terwadahi dalam Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah, perempuan Muhammadiyah kurang diberi peran dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Akibatnya Muhammadiyah yang sesungguhnya bukan organisasi kaum laki-laki saja, dalam kenyataannya lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Sangat sedikit wanita yang menduduki posisi
37
pimpinan dalam Muhammadiyah. Kalaupun ada mungkin hanya di Majelis atau Lembaga Pembantu Pimpinan (Salenda Kasjim, 2012). Selain faktor agama dan budaya ternyata, kendala bukan dari luar saja tetapi juga dari diri perempuan itu sendiri. Dari
penelitian yang dilakukan
didapati bahwa masih banyak perempuan yang belum berani mengambil kesempatan yang tersedia baginya, terlebih lagi untuk dalam
kesempatan. Ini terdapat
disertasi penelitian terhadap pendeta perempuan karena tersubordinasi
dalam bias gender, maka pendeta perempuan masih banyak yang enggan berkompetisi dengan pendeta laki laki untuk menduduki jabatan tertinggi di tingkat Mupel dan Sinodal di GPIB (Mantik, 2012). Dalam konteks pendidikan, Goldring dan Chen (1994) mengatakan bahwa para perempuan di Inggris Raya dan di manapun kebanyakan perempuan hanya berperan dalam profesi mengajar, namun relatif sedikit dan jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting pemegang otoritas dalam sejumlah sekolah menengah perguruan tinggi dan adminsitrasi lokal pendidikan. Fakta lain terkait dengan proposi perempuan dalam angkatan kerja dan usaha yang sejak dulu sampai sekarang ini, usaha perdagangan cukup diminati oleh perempuan. Akan tetapi dalam kesempatan memperoleh bantuan kredit peningkatan usaha, pengusaha perempuan masuk dalam kelompok penerima modal kecil dan menengah. Persentase laki-laki pengusaha yang menggunakan modal pinjaman masih lebih tinggi dibandingkan perempuan pengusaha (BPS, 2011) . Hal yang tidak jauh berbeda di Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) dalam hasil penelitian Mathelda sendiri telah memperlihatkan adanya diskriminasi
38
terhadap pendeta perempuan dan adanya superioritas dari pendeta laki-laki dan tidak adanya kekonsistenan dari GMIT terhadap sistem gereja presbiterial sinodal dimana hal ini dapat terlihat dari struktur gereja yang hirarkis. Sehingga, orang bawah tidak dapat mengembangkan kreatifitas masing-masing karena sudah dipolakan dalam satu aturan yang keras dan kaku. Berbagai hambatan yang muncul dalam masyarakat dan gereja telah sangat menghambat peran kepemimpinan pendeta perempuan. Di mana berbagai permasalahan tersebut telah membuat mental pendeta perempuan menjadi mundur sebelum melangkah. Pendeta perempuan akan dapat berperan dalam gereja jika ada kesempatan bagi pendeta perempuan dan kemampuan pendeta perempuan tidak dipandang dari sudut pandang laki-laki (Mathelda, Tesis,1999). Adapun tantangan yang berat dihadapi oleh pendeta perempuan menjadi pemimpin di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender yang kuat dipengaruhi budaya patriarki (Ratna, 2012). Ini juga ditegaskan dalam penelitian Mantik (2012) di Gereja Prostestan Indonesia Bagian Barat (GPIB), karena tersubordinasi dalam bias gender, maka pendeta perempuan masih banyak enggan berkompetisi dengan pendeta laki-laki untuk menduduki jabatan tertinggi di tingkat Mupel dan Sinodal. Pengaruh akulturasi budaya Barat : nilai-nilai agama baru Kristen dan nilai budaya Barat yang patriarkhi disosialisasikan lewat lembaga gereja dan lembaga-lembaga pendidikan, yang kemudian membuat perempuan Toraja mengalami ketersisihan seperti dialami oleh pendeta perempuan di Gereja Toraja. Padahal dalam budaya Toraja yang memiliki sistem kekerabatan yang bilateral dan memiliki pula unsur-unsur matrifokal, yakni masyarakat di mana peranan ibu, nenek, atau mertua wanita adalah sentral, baik secara struktural, budaya maupun
39
afektif dan dalam masyarakat tersebut wanita maupun pria merupakan pelakupelaku yang sama penting dalam kehidupan ekonomi dan religi. Masyarakat tersebut relative menunjukkan hubungan kesetaraan dan saling melengkapi (Priyanti: 1998). 2.3.1. Kepemimpinan Perempuan dan Gender Kepemimpinan yang didefinisikan sebagai tugas memimpin yang sering identik dengan laki-laki. Stereotipe gender yang dilekatkan pada perempuan misalnya tidak tegas, lamban mengambil keputusan, dan lemah dipadukan dengan nilai-nilai androsentrisme yang tetap membelenggu hak-hak dana kebebasan perempuan maupun nilai-nilai keagamaan yang mengusung konsep patriarki, mempertegas bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Penolakan kepemimpinan perempuan tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang tetapi merasuk sampai ke negara modern dan maju sekalipun seperti Jepang (Sihite, 1997). Gender masih sering dipahami secara salah, yaitu sebagai ide ataupun perilaku yang menentang laki-laki. Dari penelitian yang terdahulu didapatkanlah pemahaman gender yang mengatakan bahwa gender adalah perempuan yang menentang laki-laki ( Sofian, 2002). Apakah gender? Secara historis konsep gender pertama sekali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley yaitu ia membedakan antara gender dan sex. Perbedaan sex berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut
prokreasi (mensturasi,
hamil,melahirkan dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Gender adalah pembedaan peran, perilaku dan perangai laki-laki dan
40
perempuan oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tetapi dikenal melalui proses (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh karena itu gender dapat disesuaikan dan diubah. Istilah gender pada mulanya dikembangkan sebagai alat analisis ilmu sosial untuk memahamai berbagai permasalahan ketidakadilan terhadap perempuan (Elly, 2002). Isu gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Gender sebagai keyakinan dan konstruksi sosial yang berkembang di masyarakat dinternalisasi melalui proses secara turun menrun. Dalam perkembangannya konstruksi gender ini menghasilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan (Harmona, 2007). Di
lapangan
masih
dijumpai
pemahaman
diskriminasi
terhadap
perempuan..Aktivitas domestik sudah sejak lama dilekatkan pada perempuan. Hal tersebut bahkan sudah ada jauh sebelum kebanyakan perempuan lahir. Hal itu kemudian menjadi budaya dan adat istiadat. Perempuan selalu dikonotasikan sebagai manusia pekerja domestik (homemaker) yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar rumah sehingga perannya tidak lebih dari sekadar aktivitas dalam rumah. Di kemudian hari, terutama di dunia kerja, banyak posisi strategis yang aksesnya tertutup bagi perempuan. Perempuan dianggap tidak pantas memimpin dalam pekerjaan karena dinilai sebagai makhluk yang terlalu menggunakan perasaan dan sulit mengambil keputusan dengan bijak. Pelekatan pembagian pekerjaan antara perempuan dan laki-laki sudah sejak lama diyakini kebenarannya. Perempuan selalu dikaitkan dengan beberapa kata,
41
“sumur, dapur, kasur” yang hingga kini digugat eksistensinya. Wacana tersebut dinilai sebagai wacana usang yang tidak dapat dibuktikan secara nyata karena banyak perempuan yang juga mengambil bagian penting di ranah produktif. Walaupun pada tataran kenyataan, secara mendalam perempuan masih terus dilekatkan dengan “sumur, dapur dan kasur” dan belum mampu keluar secara utuh tanpa tendensi apapun. BPS mencatat dari 100 penduduk yang bekerja sebagai: (a) tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan, 18 orang adalah perempuan dan 82 adalah laki-laki; (b) bekerja dengan status berusaha dibantu buruh dibayar/tidak dibayar, 23 orang perempuan dan 77 orang laki-laki; (c) bekerja dengan status pegawai/buruh/karyawan, 34 orang perempuan dan 66 orang laki-laki; (d) pekerja keluarga/tidak dibayar, 73 perempuan dan 27 laki-laki. Data ini memperlihatkan perempuan yang bekerja masih menempati posisi yang tidak strategis. Perempuan masih tertinggal dari laki-laki dalam menduduki posisi yang membutuhkan keahlian pengambilan kebijakan. Status pekerjaan sebagai pengusaha (berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh) dan buruh/pegawai/karyawan saat ini masih didominasi laki-laki. Sementara status pekerjaan sebagai pekerja keluarga/tidak dibayar didominasi perempuan (Abdullah, 2001). Sebagaimana dikatakannya: “Pembagian kerja secara seksual tidak hanya terjadi antara bidang domestik dan publik, tetapi dalam bidang publik pun terjadi segmentasi yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada segmen yang berbeda. Karena itu, subordinasi dalam stratifikasi gender menunjukkan bentuk yang jelas dalam kehidupan ekonomi dimana perempuan berada posisi subordinat terhadap laki-laki. Seperti halnya perbedaan domestik dan publik, stratifikasi dalam struktur ekonomi juga merupakan alat penegasan arah hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.”
42
Dalam masyarakat, pemimpin sering dilekatkan sebagai jabatan laki-laki, sedangkan perempuan selalu dilekatkan sebagai unsur pendukungnya. Andaikata mendapatkan posisi dalam pekerjaan, biasanya perempuan dilekatkan dengan pekerja keluarga yang tidak diperhitungkan jerih payahnya. Ini menunjukkan bahwa peningkatan kuantitatif partisipasi perempuan di ranah produktif belum sesuai dengan semangat kesetaraan gender. Kesetaraan gender hanya dipahami sebagian besar masyarakat dengan kesetaraan kesempatan perempuan dan lakilaki. Namun secara kontekstual, pemahaman tersebut masih sangat dangkal, tabu dan bekerja di ranah mitos. Struktur upah juga menunjukkan gejala yang sama. Perempuan mengalami diskriminasi yang sangat tidak adil. Perempuan dilabelkan sebagai sumberdaya yang lemah, kurang kompeten dan layak dibayar murah karena tidak mempunyai tanggungjawab sebesar laki-laki dalam kehidupannya, serta dilekatkan dengan pekerjaan yang tidak strategis. Pembatasan perempuan untuk mencapai puncak karier sering terhalang oleh sterotipe yang menggambarkan perempuan sebagai mahluk yang emosional sehingga mereka tidak tepat untuk menjadi pemimpin baik sebagai ketua organisasi, manager, maupun politisi. Menurut Kanters (Nasaruddin, 1999) mengatakan bahwa ketimpangan peran gender di dalam berbagai organisasi disebabkan perempuan memiliki keterbatasan bukan saja karena adaya persepsi bahwa secara alamiah laki-laki adalah kaum unggul, tetapi karena sering ditemukan perempuan kurang terampil daripada laki-laki. Berkaitan dengan pengembangan karier, perempuan yang bekerja acapkali harus mengikuti kegiatan pelatihan atau pendidikan. Pada umumnya untuk mengikuti kegiatan peningkatan karier ini, perempuan sangat sulit maju karena
43
harus meminta ijin dari suami. Bahkan persetujuan suami bersifat formal. Akibatnya perempuan selalu memiliki posisi yang marginal. Persoalan pengembangan karier bagi perempuan cukup kompleks. Bidang pekerjaan yang terbuka bagi perempuan sebenarnya tidak terbatas oleh waktu seperti malam, tengah malam ataupun subuh. Stereotipe perempuan adalah mahluk lemah sehingga malam hari tidak boleh berada di luar rumah, dan anggapan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah pada malam hari adalah perempuan yang tidak baik masih berkembang luas. Akibatnya, kesempatan mengejar karier bagi perempuan terbatas. Dengan analisis gender, diskriminasi terhadap perempuan hendak diatasi. Dengan pendekatan tersebut mengarah pada penyelesaian isu-isu struktural perempuan, yaitu isu-isu yang mempertanyakan dominasi pihak-pihak yang kuat terhadap yang lemah. 2.3.2 Pengaruh Agama terhadap Gender. Ajaran agama memiliki potensi dominan dalam penerapan ideologi gender yang bias. Dalam konteks itu pula, agama bisa memberikan inspirasi
dan
dorongan munculnya ketidakadilan gender. Tentu saja potensi ketidakadilan bukan bersumber dari prinsip agama, melainkan proses berkembangnya agama yang didominasi oleh budaya patriarki. Salah satu ekses ideologi gender adalah terbentuknya stuktur budaya patrarki. Dalam budaya ini, kedudukan perempuan ditentukan lebih rendah daripada laki-laki. Di dalam masyarakat, terjadi dominasi laki-laki atas perempuan diberbagai bidang kehidupan.
Menurut sejarah, patriarchy private (dalam
keluarga) muncul pada waktu agama di Eropa menentukan bahwa kawin satu istri,
44
satu suami merupakan perkawinan yang diakui gereja. Aturan ini meresmikan domestisitas perempuan. Dalam keluarga, kedudukan suami lebih dominan. Dan ini terus berkembang dari patriarchy private menjadi state patriarchy. Patriarki menjadi warna dalam kehidupan sosial. Alkitab sesungguhnya mengajarkan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai pihak yang diberi tanggung jawab untuk mengelola alam ciptaanNya, manusia, laki-laki dan perempuan diwaibkan untuk bekerjasama. Dan dalam kerjasama itu mereka diciptakan setara. Hal ini terlihat jelas dalam kitab Perjanjian Lama (kejadian) dan kitab Perjanjian Baru ( Galatia). Dalam kitab Kejadian pasal 1 ayat 27 berbunyi : “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka “ dan Galatia pasal 3 ayat 28 berbunyi: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu dalam Kristus Yesus”. Dari kedua ayat tersebut diatas yang tercantum dalam Alkitab terlihat bahwa agama Kristen mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan setara. Dalam Alkitab juga kita temukan tokoh-tokoh perempuan yang menjadi pemimpin baik dalam keluarga, suku, ataupun bangsa: Hakim Debora, Ratu Ester dan Ratu Wasti, Ruth dan Naomi, Abigail, Perempuan Bijak yang di tuliskan dalam Amsal 31:10-31, Priskila, Maria, Febe, Eunike, Lidya, Dorkas dan lain-lain. Pada dasarnya, setiap agama mengajarkan bahwa manusia diciptakan sama derajatnya, baik laki-laki dan perempuan.
45
Beberapa perikop dalam kitab suci, ditafsirkan oleh Bapa Gereja dengan sangat memojokkan perempuan: Teologia Antiperempuan. Teologia yang dibangun selama berabad-abad merupakan warisan pemikiran para teolog yang berasal dari dunia Barat. Bahwa ciri utama teologia barat adalah teologia yang didominasi oleh kaum laki-laki serta memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki. Ini juga tetap terlihat pada kaum reformator: Martin Luther, Johanes Calvin. Pandangan Luther dan Calvin terhadap perempuan bisa dikatakan dikotomi, di satu pihak ia melihat perempuan terutama yang menikah dengan pujian namun di pihak lain ia memandang perempuan lebih rendah daripada kaum laki-laki. Para pendukung Luther, dari abad XVI hingga sekarang melihat bahwa serangan Luther terhadap hidup selibat dan penekanan kepada sisi positif perkawinan telah melepaskan perempuan dari pelecehan dan misogyny zaman skolstik. Luther mengakui bahwa perempuan diciptakan sederajat dengan lakilaki, namun demikian perempuan berbeda dengan laki-laki karena perempuan lebih lemah tubuh dan inteleknya. Keadaan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, menurut Luther adalah inheren dalam keberadaannya dan telah berlaku sejak penciptaan. Seperti tokoh reformasi yang lain, Calvin membicarakan pokok tentang peranan dan kebebasan perempuan dalam konteks ajaran imamat am orang percaya. Perempuan dan laki-laki mengalami suatu kebebasan yang baru dari kekuasaan hierarki rohaniwan dan pemahaman yang baru tentang martabatnya sebagai warga gereja. Namun dalam banyak hal kebebasan yang baru muncul itu kurang dialami oleh kaum perempuan dibandingkan oleh kaum laki-laki. Dalam
46
komentarnya atas Kejadian 2:18 yang menuliskan bahwa perempuan diciptakan sebagai penolong, juga menegaskan bahwa laki-lakilah yang diciptakan segambar dengan Allah, sedangkan perempuan berstatus a secondary degree, oleh karena itu sepanjang zaman perempuan harus dikucilkan dari kepemimpinan publik. (J. Dempsey Douglas, 1985: 53) Pendapat Johanes Calvin ini didasarkannya atas tafsirannya terhadap ayat-ayat Alkitab yakni
Kejadian 1:27, dengan
menterjemahkan kata adam adalah manusia, man¸ laki-laki. Masih ada anggapan bahwa karena laki-laki lebih dulu diciptakan dan perempuan hanyalah bagian dari laki-laki (Kej. 1:27, 2:18, 21-22) maka laki-laki dianggap lebih penting, lebih tinggi derajatnya sebab itu laki-laki mendominasi kehidupan. Bahkan ada yang mengutip dari surat Rasul Paulus I Kor 14:34-35 yang melarang perempuan berbicara di hadapan jemaat. Bersumber dari materi yang tertulis dari kitab suci, dibuat ajaran dan peraturan untuk ibadah. Kekuasaan mulai ditentukan. Seperti di gereja Katholik yang berkuasa adalah laki-laki. Perempuan tidak boleh menjadi imam dan pemimpin upacara/ibadah. Namun sekarang gereja mulai mmberi kesempatan kepada perempuan untuk memimpin ibadah. Gereja Kristen sudah mentahbiskan pendeta perempuan. Namun kepemimpinan gereja tetap masih dikuasai oleh lakilaki.
2.4.
Gerakan Feminisme
2.4.1
Sejarah Gerakan Feminisme Gerakan feminisme ini awalnya ada di negara Eropa. Munculnya gerakan
feminisme pada masyarakat Barat tidak terlepas dari sejarah masyarakat Barat
47
yang memandang rendah terhadap kedudukan perempuan, dan kekecewaan masyarakat Barat terhadap pernyataan kitab suci mereka terhadap perempuan. Pakar sejarah Barat, Philip J.Adler dalam buku “World Civilization” menggambarkan bagaimana kekejaman masyarakat Barat dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Sampai abad ke 17, masyarakat Eropah masih memandang perempuan sebagai jelmaan setan atau alat bagi setan untuk menggoda manusia, dan meyakini bahwa sejak awal penciptaannya, perempuan merupakan ciptaan yang tidak sempurna. Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan laki-laki. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Sekarang ini kepustakaan internasional mendefinisikannya sebagai pembedaan terhadap hak hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki laki. Sifat patriarki dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender. Kesederajatan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional ideologis yang saat ini berlaku. Feminis menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum terhadap bertahannya hegemoni patriarki. Segala analisis dan teori yang kemudian dikemukakan oleh feminis diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena segala upaya feminis bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah
48
perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya manusia untuk bertahan hidup. Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa ada konstruksi sosial, bahwa pemimpin itu adalah laki-laki. Perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan agama adalah warga kelas dua. Laki-laki mendominasi dan menjadi penentu dalam kehidupan perempuan sehingga mereka tidak memiliki kebebasan menentukan pilihan bagi dirinya sendiri. Terinternalisasi suatu pemahaman bahwa laki-laki adalah pihak penguasa sementara perempuan adalah pihak yang dikuasai dan hal ini adalah kodrat yang sejak semula menjadi hakekat manusia. Hal ini menyebabkan perempuan termarginalisasi sehingga peran, kedudukan , hak dan tanggung jawab mereka terbatas dalam lingkungan domestik. Realitas subordinasi dalam seluruh bidang kehidupan yang dialami oleh perempuan menjadi salah satu pendorong munculnya pemikiran feminisme. Feminisme merupakan pemikiran dan teori kritis terhadap konstruksi patriarki yang melakukan dominasi terhadap perempuan. Feminisme juga dapat dimengerti sebagai ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannnya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya ( Humm (ed), 2002). Namun feminisme tidak hanya bersoal pada pemikiran dan konsep semata. Pemikiran ini lahir dari pengalaman perempuan. Sebagai gerakan yang berawal dari akar rumput, feminism memungkin setiap perempuan untuk berpikir dengan pemikiran
sendiri dan pada gilirannya pemikiran (teori atau ide) tersebut
49
melahirkan gerakan yang membebaskan perempuan dari belenggu patriarki sesuai dengan konteks yang melatar belakanginya. Secara umum sejarah dan perkembangan feminisme di bagi dalam tiga gelombang utama (Arivia, 2003).
Gelombang feminisme awal dimulai sejak
tahun 1800-an dan berkaitan dengan terjadinya revolusi Prancis, 1789. Feminis gelombang ini menyibukkan diri sebagaiaktivis pergerakan perempuan. Pada tahun1700-an di Eropa, segala kemungkinan yang berkaitan dengan semangat, penemuan dan ide-ide pembaruan terbuka lebar termasuk dalam diskusi-diskusi kebebasan. Pada waktu itu muncul gerakan perempuan dan salah satu puncaknya terjadi pada tahun1960-an ketika di Prancis berlangsung Konferensi Komisi Persamaan Hak Kesempatan Kerja. Perempuan kurang puas dengan jalannya konferensi yang tidak memberi kesempatan bagi penyampaian ide-ide baru. Kemudian gelombang kedua muncul dan berkembang pada awal tahun 1960-an yang ditandai dengan beranjaknya gerakan feminis dari aktivitas yang bersifat praktis menuju aktivitas yang bersifat teoritis-sistematis. Pada gelombang ini muncul kesadaran bahwa penting untuk melihat factor
yang menyebabkan
penindasan kepada perempuan. Gelombang ini juga memfokuskan diri pada persoalan-persoalan yang mengarah kepada pemikiran bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Sedangkan gelombang terakhir sangat dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme yang memfokuskan diri kepada alternative bagi yang termarginaslisasi. Ketiga gelombang besar feminis di atas kemudian melahirkan keragaman pemikiran feminis. Teori feminis modern bertolak dari pertanyaan 1.Bagaimana dengan perempuan,
50
2. Mengapa situasi perempuan seperti sekarang ini? 3. Bagaimana perempuan dapat merubah dan memperbaiki dunia sosial? 4. Bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan ? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini menghasilkan variasi teori feminis (Ritzer dan Goodman, 2008). Ada delapan arus utama
pemikiran tersebut:
Feminisme Liberal merupakan pemikiran feminisme yang berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan. Feminisme Radikal muncul ketika seksualitas perempuan, khususnya perempuan Barat dieksploitasi. Feminisme Marxis dan Sosialis memberikan pemikiran mengenai pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Feminisme Psikoanalisis dan Gender mempertanyakan kembali suatu pemikiran yang berhubungan dengan subordinasi perempuan dan menganalisa mengapa masyarakat menerima pemikiran tersebut. Feminisme Eksistensialis merupakan feminisme yang memotori merebaknya feminisme sebagai suatu wacana atau gerakan. Feminisme Postmodern memperbincangkan akar dari pengabaian terhadap perempuan yang diassosiasikan dengan tubuh. Pemikiran feminisme yang terakhir adalah Feminisme Multikultural dan Global, serta Ekofeminisme yang lahir karena adanya kesadaran bahwa posisi subordinat perempuan tidak semata-mata karena seorang perempuan adalah perempuan, melainkan juga karena ia adalah perempuan dengan ras, kelas, agama, atau latar belakang tertentu. Kedelapan arus utama pemikiran feminisme tersebut lahir dari pengalaman yang berbeda namun menuju suatu gerakan yang sama yakni perjuangan bagi kebebasan perempuan dari dominasi patriarki (Tong, 2006).
51
2.4.2. Teologi Feminis: Teologi yang Membebaskan Perempuan Gerakan perjuangan pembebasan perempuan tidak hanya di dunia sekuler namun juga di dalam gereja. Gerakan feminisme melahirkan munculnya teologi feminis. Teologi feminis adalah teologi perempuan yang tidak rela memahami perempuan sebagai obyek melainkan sebagai subyek yang sedang mencari sejarah dari jati dirinya sendiri. Teologi feminis dalam arti modern mulai berkembang di Amerika dengan radikal. Penggagas teologia feminisn ini adalah Mary Daly (1973) dan dikembangkan dalam tradisi Kristen oleh teolog-teolog perempuan lainnya.
Teolog-teolog perempuan terus membawa ide-ide mengenai keadilan
dan kesetaraan bagi perempuan dalam gereja. Pada tahun1948 dalam salah satu pertemuan World Council of Churches (WCC) di Amsterdam, Kathleen Bliss dan Olive Wyon menulis dan menyampaikan sebuah laporan yang berkaitan denga kehidupan dan pekerjaan
perempuan dalam gereja. Sejak saat itu peran
perempuan dalam gereja menjadi salah satu agenda dalam pertemuan-pertemuan WCC (Paterson, 1999:4). Pada tahun 1987 diperkenalkan sebuah Ecumenical Decade –Churches in Solidaritas with Woman yang berlangsung dari tahun 19881998. Dekade tersebut dimaksudkan untuk membangun kesadaran dan kesempatan bagi perempuan dalam kehidupan bergereja baik secara lokal, nasional dan regional maupun internasional. Dekade ini memberi pengaruh positif bagi gerakan teolog feminis di seluruh dunia. Teologi Feminis di Asia secara terorganisir dimulai pad tahun 1970-an. Teologia feminis Asia dimulai ketika perempuan Asia berkumpul mendiskusikan Alkitab dan iman mereka dalam konteks realitas Asia dan pengalaman mereka sendiri. Konteks subordinasi perempuan Asia adalah dipandang sebagai pelengkap
52
laki-laki, kurang berhak atas warisan, kedudukannya lemah, dibeli oleh suami dengan mas kawin, dibayar murah dan patuh pada sektor industry modern, kesehatan tidak dilindungi dan diperjualbelikan sebagai pelacur. Sementara itu, konteks masyarakat yang mendominasi mereka adalah multikultural dan multireligius serta terjajah dan miskin. Dalam konteks seperti inilah lahir kesadaran akan kebebasan dari belenggu diminasi sosial, budaya, dan agama yang patriarki. Dalam konteks ini pula, Kwok Pui-I (2000), menawarkan hermeneutik feminis Asia yang dipraktekkan dalam kehidupan bergereja, rekonstruksi atas konsep Allah dalam konteks keagamaan yang pluralistik di Asia, dan pengkajian ulang atas pemahaman gereja atas Kristus dan penyelamatan dari dosa. Di Indonesia, Marianna Katoppo, seorang teolog feminis, mengingatkan bahwa wajah setiap orang yang menderita karena ketidakadilan dan penindasan adalah wajah Kristus yang disalibkan. Perempuan adalah yang dipaksa untuk bungkam karena sistem, ajaran dan tradisi dalam gereja yang mengkondisikan hal yang demikian. Walaupun mayoritas warga jemaat yang menghadiri seluruh kegiatan gerejawi adalah perempuan, namun representasi laki-laki dalam organisasi resmi (pengambil keputusan) didominasi oleh laki-laki, khususnya dalam gereja Katholik (Elizabeth, 1984). Dari buku Hasil-hasil Pertemuan Raya Wanita Gereja Pra Sidang Raya PGI XIV PGI tahun 2004 di Kinasih dicatat dan didiskusian berbagai diskriminasi dan kekerasaan yang masih terus dialami oleh perempuan dan anak-anak sebagai kaum yang kehidupan didominasi oleh budaya yang patriarki (lihat Hasil-hasil Pertemuan Raya Wanita Gereja Pra Sidang Raya PGI XIV PGI, 2004).
53
Mengamati perkembangan gerakan feminisme dan studi gender di Indonesia ada harapan yang menjanjikan akan adanya perubahan kedudukan perempuan untuk lebih sejajar dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Kesadaran yang universal dan perubahan pandangan terhadap peranan perempuan menjadi isu yang mendunia di setiap negara. Perubahan perilaku sosial secara global timbul karena adanya kesadaran kesetaraan laki-laki dan perempuan. Isu mengenai kesadaran gender bergema di seluruh dunia. Kesempatan bagi kaum perempuan terbuka lebar. Perubahan masyarakat yang dicita-citakan oleh gerakan perempuan adalah masyarakat yang bebas dari penindasan, bebas dari ketidakadilan. Seringkali kita mendengar ungkapan bahwa perempuan berbeda dari laki-laki, mengapa memperjuangkan
kesamaan.
Yang
ditolak
bukan
perbedaan,
melainkan
ketidakadilan. Yang diperjuangkan bukan kesamaan, melainkan kesetaraan. Citacita gerakan perempuan adalah komunitas yang egalitarian, komunitas yang memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, mengusahakan pembebasan untuk semua orang. Tanpa pembebasan kaum perempuan, tidak ada pembebasan bagi semua. 2.4.3
Gerakan Feminisme di GBKP Feminis sebagai suatu kerangka berpikir di dalam menganalisis
ketimpangan, ketidakadilan yang dialami kaum perempuan secara khusus. Perjuangan yang dihadapi di GBKP adalah berpangkal dari budaya patriarki. Anak perempuan dalam masyarakat Karo tidak dipandang sederajat denga anak laki-laki. Anak laki-laki dipandang sebagai ahli waris orangtuanya dan menyandang merga atau penerus silsilah dari orangtua laki-laki. Jika seorang
54
tidak mempunyai anak laki-laki maka orang tersbut dinamai masap atau terhapus, dalam arti identitasnya hilang, karena tidak ada lagi penggantinya. Seorang yang telah menikah tapi tidak dikarunia anak laki-laki-laki selalu berpoligami demi untuk mendapatkan anak laki-laki (Suenita, ed, 2008). Perjalanan sejarah pemikir GBKP dalam penerimaan perempuan pendeta tidak terlepas dari sejarah tumbuhnya dan kemajuan kaum perempuan GBKP (Moria) juga hubungan oikumenis GBKP baik dalam negeri dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) maupun dengan gereja-gereja Luar Negeri antara lain: Dewan Gereja-gereja se-Dunia (World Council if Churches), persekutuan Gereja-gereja Reformasi se-Dunia (World Alliance of Reformed Churches), Persekutuan Gereja-gereja Asia (Christian Confernce of Asia), Persekutuan Misi Injili Gereja-gereja di Tiga Benua Eropa (Jerman, Asia, Afrika /United Evanglical Mission ) dan lain-lain (Suenita, (ed), 2008). Sebelumnya pun melalui pekabaran Injil oleh NZG ke orang Karo berusaha memperbaiki dan memperbaharui kehidupan orang Karo. Usaha-usaha yang dijalankan adalah menyebarluaskan pandangan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Untuk itu dibentuklah CMCM (Christellyke Meisjes Club Maju, Perkumpulan Maju Perempuan Kristen pada tanggal 10 Agustus 1933. Dalam CMCM, anak perempuan belajar berorganisasi modern: belajar memimpin, belajar alkitab, nyanyian Gereja, Koor, menjahit dan merajut wool. Juga membaca dan menulis, kesehatan, kebersihan lingkungan dan memasak. Perkembangan CMCM banyak didukung oleh pengulu-pengulu bahkan Raja-raja Urung. Tetapi kegiatan CMCM terhenti sewaktu Jepang menguasai Indonesia pada tahun 1942. Nyonya Pendeta Neumann dan para suster Rumah Sakit yang selama ini giat
55
menjalankan program CMCM ditangkap Jepang dan dimasukkan dalam penjara (Suenita, (ed),2008). Pada akhir tahun 1949 di jemaat GBKP sudah ada beberapa jemaat yang mengadakan kegiatan pelayanan terhadap perempuan, khusus kepada ibu rumah tangga. Pada sidang sinode di Tigabinanga tahun 1956, muncullah suatu usul untuk membentuk wadah atau organisasi kaum Ibu untuk seluruh kaum Ibu jemaat GBKP. Usul itu diterima dan pada tanggal 16 Oktober 1957 diadakan musyawarah kaum Ibu GBKP dikantor Sinode GBKP di Kabanjahe. Peserta musyawarah secara bulat memutuskan membentuk suatu organisasi kaum Ibu atau pernanden GBKP
yang dinamai Moria.
Pasca pengaruh Injil, kedudukan
perempuan mejadi lebih tinggi dari sebelumnya walaupun belum terjadi kesetaraan (EP Gintings, 2015). Dewan gereja-gereja sedunia membuat dekade 1890-1990 sebagai sosialisasi kesadaran-kesadaran laki-laki dengan perempuan. Penyadaran dekade kesetaran perempuan dengan laki-laki juga dilakukan di GBKP. Program-program yang dijalankan oleh Moria antara lain adalah mengangkat isu kesetaraan baik itu melalui seminar-seminar juga buku-buku PA, yang dipakai dalam perkumpulan kaum Ibu tersebut setiap Minggunya. Moria juga aktif mengikuti seminar-seminar baik tingkat nasional dan internasional berkaiatan dengan tema feminisme.
2.5
Posisi Pendeta Perempuan di Dalam Gereja Menjadi pendeta di Agama Kristen Protestan, misalnya bukanlah sesuatu
sejak semula dianggap sebagai bidang perempuan (Doeka-Souk, 1999). Dalam
56
konteks Asia penahbisan perempuan sebagai pendeta merupakan persoalan yang masih berlarut-larut dan masih diperjuangkan (Pui-lan, 2000). Perempuan Asia secara umum tidak memiliki pendidikan yang sepadan dengan laki-laki, oleh karena itu refleksi teologis perempuan Asia sering kali diremehkan oleh laki-laki (Kyung, 1990). Gereja dapat dikatakan terlambat jika dibandingkan dengan perkembangan organisasi
kemasyarakatan
umum
yang
sangat
dinamis
sesuai
dengan
perkembangan zaman. Sebagaimana diungkapkan oleh Pdt Agustina Lumentut bahwa gereja ternyata ketinggalan dibandingkan dengan masyarakat yang telah banyak memberi peluang bagi perempuan untuk berkarier, di gereja masih saja terdengar kurangnya persamaan persepsi mengenai perempuan sebagai mitra Allah (Stephen (ed), 1995). Semestinya gereja sebagai sebuah komunitas alternatif memberikan contoh yang lebih baik atas kesetaran perempuan sebagai pengambil keputusan, dalam hal ini di lingkup organisasi gereja. Selain faktor tradisi dan ajaran, pembedaan partisipasi laki-laki dan perempuan dalam gereja juga dipengaruhi oleh faktor sosiologis. Gereja yang hidup dan melembaga di tengah masyarakat yang terikat oleh tempat dan kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, nilai-nilai serta adat istiadat dalam kebudayaan tersebut mempengaruhi gereja termasuk sikap terhadap perempuan (Hommes, 1992:81-82). Seorang feminis Indonesia, Marrianne Katoppo mengatakan bahwa gereja-gereja berbeda satu dengan yang lain, bukan terutama melalui faktor denominasi melainkan melalui faktor etnis dan kebudayaan. Ini bisa dilihat dari pengalaman Gereja-gereja Protestan di Indonesia yang menerima penahbisan perempuan baru sekitar tahun 1980-an, walaupun beberapa
57
gereja seperti GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) telah menerima perempuan menjadi pendeta sejak semula.GMIM berdiri pada tahun 1934. Pada tahun 2014 GMIM memiliki 925 gereja (majelis jemaat local) yang dibagi ke dalam 85 wilayah pelayanann dengan kurang lebih 1 juta anggota jemaat yang dilayani oleh 1050 pendeta, 65% diantaranya adalah pendeta perempuan. Namun belum pernah ada pendeta perempuan yang menduduki jabatan ketua sinode. (Statistik GMIM, 2014 diolah penulis) Demikian juga dengan GMIT, yang berdiri sejak tahun 1947, perempuan sudah diterima menjadi pendeta tahun 1958. Jumlah Pendeta Laki-laki 439 dan pendeta perempuan 663. Dalam struktur, di sinode pendeta perempuan menjabat sebagai wakil ketua dan wakil sekretaris. Menjadi Ketua klasis, pendeta perempuan 13 orang, pendeta laki-laki 31 orang (Statistik GMIT, 2013). 2.5.1. Perempuan dalam Dalam Pekabaran Injil oleh NZG ke Karo Pekabaran Injil ke daerah Karo dilakukan oleh Badan Pekabaran Injil dari negeri Belanda. Pada tanggal 18 April 1890, tibalah pekabar Injil yang pertama yakni H.C. Kruyt dan Pontoh dari Minahasa (Smith,1990). Mereka mempelajari dan memahami budaya dalam masyarakat Karo. Injil yang di bawa masuk ke Karo oleh NZG (Nederlands Zendelingegnootschap) berusaha memperbaiki relasi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat. Sejak awal pelayanannya NZG memberikan perhatian yang cukup bagi peningkatan martabat perempuan di tengah-tengah masyarakat. Usaha-usaha dilakukan untuk menyebarluaskan pandangan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Membuat upaya agar orangtua yang Kristen dan bukan Kristen memberi kesempatan kepada anak perempuan untuk
58
bersekolah. Sekolah-sekolah yang dibuka Zending pada awal pekabaran Injil telah menerima murid laki-laki dan perempuan walaupun jumlah anak laki-laki jauh melebihi anak perempuan.Menyebarluaskan bahwa perkawinan monogami adalah yang terbaik dan yang dikehendaki Tuhan. Gereja membuat ketetapan bahwa semua laki-laki Kristen yang berpoligami dan semua anak perempuan Kristen kawin dengan laki-laki yang sudah beristri dikeluarkan keanggotaannya dari Gereja. Konsep monogamy diajarkan dalam katekisasi sidi, PA, dalam pesta-pesta adat perkawinan, dalam pembinaan kaum laki-laki dan perempuan. Lambat laun pandangan gereja tentang perkawinan monogami meluas ketengah-tengah masyarakat (Suenita, (ed) 2008) Sejak kehadiran missionaris Belanda sudah muncul pikiran untuk memajukan kaum Perempuan Karo. Mulai dari Missionaris pertama di Buluh Awar, Pdt. H.C. Kruyt dan Nora Willemien de Light (1890-1892) dalam pendekatan kepada orang Karo, mereka juga memberi perhatian kepada kaum perempuan. Kesadaran untuk memajukan perempuan semakin diperkuat dengan adanya Pembinaan Perempuan Karo oleh Nora Pdt. Van den Berg, Ny. Dr. de Klijn, Suster Meyer, Nora Pdt. Neumann dan Nora Pdt. Vuurman . Pada tanggal 10 Agustus 1933 di Kabanjahe diadakan pertemuan kaum Perempuan Karo oleh Nora Pdt. Neumann yang dihadiri lebih kurang 20 orang perempuan muda Karo yang sudah berpendidikan dan yang sudah mengikuti pembinaan dari Nora-nora misionaris Belanda. Mereka umumnya anak-anak pengulu, pegawai, guru agama, guru seklah. Pada waktu itu dibentuk organisasi perempuan dengan nama Christelyke Meisjes Club Majoe (CMCM). Organisasi ini makin berkembang dalam jumlah maupun kegiatan mereka seperti belajar koor, membaca, menulis,
59
menjahit, Penelaahan Alkitab. Anggota bertambah bukan hanya pemudi saja, melainkan juga ibu-ibu rumah tangga ( Sinuraya, 1989) Dalam sejarah perjalanan Pekabaran Injil,kaum perempuan Karo sudah mulai mengikuti pendidikan sekolah umum, pendidikan rohani dan gerejawi. Dari pemahaman Alkitab, perempuan Karo mulai melihat dan menyadari bahwa keadaan terkekang oleh adat istadat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat sangat membatasi gerak hidup perempuan. Tapi tidaklah mudah untuk mencapai kemajuan bagi perbaikan status perempuan. Artinya dalam upaya memajukan keterlibatan , kehadiran dan peran aktif perempuan dalam gereja memakan waktu yang tidak singkat. Namun proses ini berjalan maju. Dari latar belakang masuknya Injil ke masyarakat Karo tidak ada penolakan terhadap keikusertaan perempuan dalam perkembangan Injil dan kehidupan gereja GBKP (Suenita (ed), 2008). Hal ini nampak ketika Pdt. J.V. Mulywijk membuka Sekolah Guru dan Evangelis pada angkatan kedua tahun 1938-1940 di Kabanjahe dibuka kesempatan kepada perempuan untuk mengikuti pendidikan Guru dan Evangelis. Di antara 16 murid yang dididik, 6 orang diantaranya adalah perempuan. Kehadiran guru-guru perempuan di desa-desa memberi pandangan yang lebih luas terhadap peran perempuan dalam masyarakat Karo. Pada tahun 1953, GBKP menahbiskan 11 Guru Agama, Guru Evangelis, diantaranya adalah perempuan yakni Guru Agama Rahel br Sinuraya dan Guru Agama Ruth br Tarigan (Gr. Ag. Rahel br Sinuraya terus bekerja sampai pensiun, sedangkan Gr.Ag. Ruth br Tarigan berhenti ketika menikah dengan Gr.Ag. B.G. Munthe). Sejak tahun 1960-an sudah ada pertua , diaken perempuan walaupun pada mulanya pelayanannya masih terbatas pada menghitung kolekte, melakukan pelayanan diakonia, mengurus keperluan konsumsi pada rapat Mejelis Gereja. 60
Baru di akhir dekade 80-an, pertua, diaken perempuan mulai berani memimpin ibadah (Kebaktian Minggu) baik sebagai peliturgis maupun pengkhotbah (Suenita (ed), 2008). 2.5.2
Perempuan dalam Budaya Karo dan Agama Pemena Seorang feminis Indonesia, Marianne Katoppo (2007) mengatakan bahwa
gereja-gereja berbeda satu dengan yang lain bukan terutama faktor denominasi (dogma gereja) melainkan melalui faktor etnis dan kebudayaannya. GBKP adalah Gereja yang lahir di tengah kehidupan suku Karo. Suku Karo merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang mendiami sebuah dataran tinggi di wilayah Sumatera bagian Utara. Masyarakat suku Karo adalah salah satu suku di Indonesia yang menganut sistem kebudayaan
partriarki dan patrilineal (keharusan
mengikuti marga bapak menjadi marga anak) di mana setiap anak yang lahir mengikuti garis keturunan bapak. Laki-laki menjadi kepala rumah tangga. Anak laki-laki sebagai ahli waris dan penerus keturunan. Seperti yang ditulis oleh Tridah Bangun (1986) “Jika seorang anak perempuan (beru Ginting) kawin dengan marga lain (misalnya Tarigan) maka anak perempuan sudah dibeli oleh Marga Tarigan dan jika mereka mempunyai anak dengan sendirinya ia masuk kepada golongan marga Tarigan. Inilah yang membuat anak perempuan tidak berhak lagi pewaris marga ayah si perempuan (Ginting). Hal itu dalam harta dan garis keturunan.”
Anak perempuan tidak mendapat bagian dalam warisan orang tuanya. Perempuan-perempuan tidak boleh mewarisi harta pusaka, yang ada adalah “hak pakai” disebutkan buat perkataan halus tentang “tidak bolah mewarisi” (Tamboen, 1952), kecuali jika saudara laki-lakinya dengan senang hati memberikan sebagaian warisan kepadanya. Dalam perkawinan jika ada perceraian si istri tidak
61
berhak mendapat apa-apa dan tidak berhak mengasuh anak, pihak suamilah yang berhak untuk itu. Dalam sistem kebudayaan inilah, kedudukan perempuan Karo rendah daripada
lebih
laki-laki. Tidak ada kesetaraan gender antara laki-laki dan
perempuan. Beban kerja ganda ditimpakan kepada perempuan Karo, sebagai istri ia harus bekerja keras, tidak hanya melayani suami , memasak dan mengurus anak tetapi juga harus ke ladang dan ke sawah (Cooley, 1976). Perempuan tersubordinatkan. Laki-lakilah yang mendominasi dalam segala hal. Laki-lakilah yang dianggap menjadi pemimpin, penguasa. Sistem kehidupan masyarakat Karo tidak dapat dilepaskan dari kebudayaannya. Pada umumnya dalam kehidupan berkeluarga, beragama dan bermasyarakat orang Karo tidak melepaskan identitasnya sebagai orang Karo. Identitas tersebut terwujud dalam kebudayaan yang diwarisi secara turun temurun, inilah yang disebut adat istiadat Karo. Tatanan kehidupan masyarakat Karo diatur dalam sebuah sistem kekeluargaan (kekerabatan). Inilah yang dikenal dengan Merga Si Lima (Lima Merga) dan Rakut si Telu (Ikatan yang tiga tapi satu). Marga (merga) merupakan pilar atau pendukung utama dalam penyusunan kekerabatan. Sementara rakut si telu merupakan ikatan yang mengatur kekerabatan yang disebabkan perkawinan dalam masyarakat Karo. Kedua sistem ini berdasar pada hubungan kekerabatan yang patriakal dan patrilineal. Peran dan posisi perempuan Karo tergantung pada seluruh sistem tersebut. Sistem marga dalam masyarakat Karo berdasar pada sistem patrilineal. Artinya, garis keturunan diambil dari marga ayah. Setiap anak yang lahir dalam keluarga Karo baik laki-laki atau perempuan secara otomatis akan mewarisi
62
marga ayahnya. Garis keturunan patrilineal ini sudah mendarah daging dan merupakan warisan budaya yang sudah berlangsung sejak lama.Walaupun seorang perempuan menikah ia akan mewariskan beru-nya (garis keturunan jika pada lelaki adalah marga, kepada perempuan disebut beru)
kepada anak-anaknya
(anak-anak akan menerima beru ibunya sebagai bere-bere) baik laki-laki dan perempuan, namun prinsip patriakhi tetap berlaku dalam sistem marga ini. Hal tersebut karena bere-bere tersebut berasal dari beru ibu yang juga didapat dari marga ayah. Seorang anak perempuan Karo mengidentifikasikan dirinya dengan menunjukkan bahwa dia adalah perempuan yang menjadi milik ayahnya (Risnawati , 1994). Identifikasi diri seperti ini secara sederhana dapat dilihat dalam pertemuan keluarga besar dimana tidak semua orang saling mengenal dengan dekat. Selanjutnya, setelah menikah maka identifkasi dirinya bergantung kepada suami yang “membelinya” sebagai istri.Masyarakat Karo mengenal istilah diberu tukur (perempuan yang dibeli). Ada mahar yang dibayarkan oleh pihak penerima istri oleh pihak pemberi istri. Istilah lain yang menggambarkan ketidakberdayaan perempuan Karo dalam mendefinisikan dirinya adalah si rukat nakan (yang menanak nasi). Masyarakat Karo baik laki-laki maupun perempuan memiliki pemahaman bahwa perempuan dinikahi oleh seorang laki-laki terutama untuk menanak nasi dan mempersiapkan segala keperluan laki-laki. Selain tidak bebas mendefinisikan dirinya, perempuan Karo juga diperlakukan sebagai obyek. Dalam pernikahan
misalnya,
perempuan
seolah-olah
adalah
barang
yang
diperjualbelikan. Perempuan dituntut untuk menjaga kehormatan keluarga.
63
Pada sistem kebudayan yang patriarki dan patrilineal ini kemudian memunculkan suatu sistem pembagian kerja yang dikotomis. Laki-laki diidentikkan dengan pekerjaan diruang publik seperti mencari nafkah (bekerja di luar rumah), mengambil keputusan, mengatur rumah tangga , kepala keluarga dan lain-lain. Sementara perempuan diidentikkan dengan pekerjaan di ruang domestik seperti memasak, mencuci, membereskan rumah, merawat anak, mengurus suami dan lain-lain. Pembagian kerja dalam masyarakat didasarkan pada jenis kelamin dan hal ini dapat diterima sebagai sesuatu yang alamiah oleh masyarakat temasuk perempuan ( Budiman, 1981: vii). Perempuan Karo memang mempunyai peranan namun peranannya hanya sebagai orang kedua, subordinat. Dalam hal ini perempuan belum mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki. Perempuan tersubordinat. Oleh karena itu, perempuan harus tunduk menaati pimpinan laki-laki, bukan laki-laki tunduk menaati pimpinan perempuan. Keadaan ini dikemukan dalam perumpamaan yang bunyinya : “Bagi tudung ngarakken bulang “ (laki-laki di depan, sedangkan perempuan di belakangnya ). Masyarakat memberi pengakuan ada kalanya perempuan juga memiliki kualitas yang sama dengan laki-laki. Keadaan ini dikemukan dalam perumpamaan yang bunyinya : “Bagi leto pingki, rawan beruna asangken buganna” (Seperti burung puyuh pingki lebih kokoh, aktif dan berani betinanya ketimbang jantannya) (M. Singarimbun, 1994). Pikiran dan sikap kebanyakan orang dalam masyarakat patriarki menganggap perempuan hanyalah mahluk lemah yang tanggung jawabnya terbatas pada pekerjaan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak. Perempuan harus tunduk kepada suami, oleh karena itu perempuan tidak penting
64
mengikuti pendidikan akademis.
Perempuan dianggap tidak memiliki
kemampuan dalam kepemimpinan. Menurut E.P. Gintings (1995) persepsi masyarakat Karo terhadap perempuan bersifat dikotomis. Pada satu sisi perempuan dihormati, dimintai pendapatnya
walaupun
sebenarnya kesempatan perempuan untuk berbicara
dalam acara adat hanya sedikit. Perempuan selalu akan diminta pendapat dan memiliki hak khusus (misalnya sirembah ku lau). Namun pada prakteknya pendapat perempuan akan selalu mengikuti laki-laki, sebab akan dianggap tidak sopan jika bertentangan dengan pendapat laki-laki (band. P Sinuraya, 1989). Dalam pesta adat, pembicara selalu dari laki-laki, belum pernah ada perempun. Pada sisi lain, perempuan dilecehkan karena kesuburan rahimnya. Jika perempuan tidak dapat memberikan keturunan kepada suaminya maka perempuan dipandang sebagai barang yang tidak berharga lagi. Kondisi ini menjadikan posisi laki-laki berkuasa.
Sehingga dalam perkawinan orang Karo, laki-laki boleh beristrikan
lebih dari seorang perempuan dan perempuan hanya boleh bersuamikan seorang laki-laki saja (P. Tamboen, 1952). Peran, kedudukan dan persepsi mengenai perempuan dalam sistem kebudayaan Karo seperti telah dijelaskan di atas, dapat juga dilihat dalam struktur masyarakat Karo tradisional yang terdiri dari subdivisi yang disebut kuta (artinya kampung), urung (artinya kumpulan dari beberapa kampung, lebih kecil wilayahnya dari kerajaan) dan kerajaan. Ketiganya memiliki peran yang sangat penting dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Sejak semula dalam masyarakat Karo tradisional, posisi-posisi kepemimpinan dalam subdivisi tersebut dipimpin oleh laki-laki (Risnawati, 1994). Hal ini terus
65
diwariskan dan diwarisi sehingga posisi-posisi penting dalam masyarakat Karo didominasi oleh laki-laki. Hal tersebut dia atas membuat sangatlah sulit bagi perempuan Karo menduduki posisi pemimpin baik di lembaga keagamaan, masyarakat ataupun di pemerintahan. Ini bisa kita pelajari dari masa lampau ada beberapa cerita tentang perempuan yang berhikmat yakni, Beru Ginting Pase (Si Mberu Medanak), Putri Hijau, Beru Rengga Kuning (Buku-buku hikayat Karo). Namun pada catatan sejarah orang Karo, belum pernah ada perempuan Karo menjadi pucuk pemimpin di
Karo ataupun di tempat lain. Bahkan dari cerita Beru Rengga Kuning,
tersebutlah seorang perempuan harus menyamar menjadi laki-laki dan ternyata dalam penyamarannya tidak ada yang tahu kalau dia perempuan, dia bisa mengalahkan
para
musuh
yang
menghalanginya
untuk
melakukan
misinya,melepaskan saudara laki-lakinya Naktaki, dia bisa berkelana dari satu desa ke desa yang lain. Akhirnya dia bisa menang dalam satu pertarungan di mana pesertanya adalah semua laki-laki (N. Ginting, 1984). Juga dari hidup keagamaan masyarakat Karo, peranan laki-laki dan perempuan sama pentingnya. Kepercayaan dalam masyarakat tradisional Karo adalah kepercayaan kepada Dibata-dibata, roh-roh, dan kuasa-kuasa gaib (A.R. Surbakti, 1983). Di antara roh-roh yang disembah terdapat roh-roh yang berjenis kelamin perempuan, seperti Dewi Bru Tandang Karo dan Dewi Bru Tandang Riah, yang dianggap ada dan berkuasa di Lau Debuk-debuk Berastagi (B. Putro, 1981). Juga umumnya menyangkut aspek-aspek ilmu kedukunan, hubungan dengan dunia roh orang mati serta kekuatan gaib lainnya. Ilmu gaib sering berkait dengan dengan kegiatan pengobatan yang dilakukan oleh guru (dukun) berjenis
66
kelamin pria, sedang pada ritus keagamaan, pemimpin upacara biasanya adalah perempuan yang disebut guru si baso. Jabatan ini diperoleh berdasarkan kharisma, yang wujudnya nampak dalam bentuk pemilikan ketrampilan khusus, antara lain : memiliki sejenis penglihatan, sering memperoleh semacam ilham, dapat mengalami kesurupan maupun berbicara dalam bahasa kerongkongan (Margaret, 1993). Demikian juga dengan kehidupan kepercayaan tradisional
Karo,
sepintas terlihat ada potensi kepemimpinan bagi kaum perempuan di suku Karo terutama di bidang keagamaan. Agama pemena, sebagai agama yang dianut dalam masyarakat tradisional Karo, merupakan fenomena yang menyebar dalam berbagai aspek kehidupan kelompok-kelompok sosial ( O’Dea, 1985). Namun agama ini tidak mengenal institusi keagamaan, sehingga pengorganisasian suatu kegiatan agama dilakukan oleh kelompok sosial itu sendiri. Pemimpin agama hanya berperan pada saat pelaksanaan ritus. Jadi, hubungan pemimpin agama dengan para pengikutnya hanya terjalin selama upacara berlangsung. Sebab itu, peran kepemimpinannya hanya bersifat temporer dan pengambilan kebijakannya pun cenderung individual. Hal tersebut sangat berbeda dengan GBKP yang memiliki sistem pengorganisasian, pola ibadah dan ide-ide berdasarkan keyakinan. Peran kepemimpinannya dilakukan secara teratur dan bersifat kolegial dengan pembagian fungsi yang jelas. Perbedaan lainnya adalah tentang jenis kelamin pemimpin. Pemimpin agama pemena umumnya adalah perempuan; sedangkan kenyataannya di GBKP para majelis didominasi oleh laki-laki.
67
2.5.3. Pendeta Perempuan dan Tata Gereja GBKP Karya penyelamatan Allah di tengah-tengah masyarakat Karo
yang
diawali pada tanggal 18 April 1890 oleh NZG di Buluh Awar dinyatakan sebagi hari jadi GBKP. Sejak Sidang Sinode I pada tanggal 23 Juli 1941 di Sibolangit GBKP disahkan menjadi sebuah lembaga gereja serta menerima hak dan tanggung jawab berikut hak milik NZG untuk dijadikan perlengkapan menjalankan visi dan misi Gereja. Sebagai sebuah lembaga sosial keagamaan, GBKP pun memiliki aturan yang tertuang dalam tata gereja Fungsi tata gereja adalah menciptakan suasana sopan dan teratur dan menetapkan peraturan-peraturan yang harus diikuti untuk mewujudkannya. Gereja tidak bisa mengabaikan peraturan-peraturan sebab Gereja berada di dunia. Gereja yang adalah persekutuan orang-orang yang sudah dibenarkan tidak bisa hidup tanpa peraturan (Locher, 1995). Sejak berdirinya GBKP, sudah ada tata gereja yang mengatur dan menjadi pedoman seluruh anggota Gereja.Tata Gereja I di dalam GBKP dibuat pada tahun 1941, diterjemahkan ke dalam bahasa Karo tahun 1943. Tata Gereja II disusun pada tahun 1949, Tata Gereja III disusun pada tahun 1954, tata gereja IV disusun pada tahun 1959, tata gereja V disusun pada tahun 1964 , tata Gereja VI disusun pada tahun 1971. Dalam parketknya, Tata Gereja ditinjau kembali setiap lima tahun dan dapat diubah empat tahun setelah pengesahannya (Cooley, 1976). Jika kita memperhatikan latar belakang masuknya Injil kepada masyarakat Karo, dalam tata gereja GBKP tidak menolak keikutsertaan perempuan dalam pekabaran Injil dan pelayanan GBKP. Pdt J.V. Muylwijk membuka sekolah Guru dan evangelis angkatan kedua pada tahun 1938-1940 di Kabanjahe. Sekolah itu
68
menerima enam belas murid dan enam diantaranya adalah perempuan. Tahun 1953, GBKP mengangkat 2 orang Guru Injil Perempuan. Namun untuk menetapkan perempuan ikut dalam kepemimpinan memiliki hak untuk membuat keputuan atas perjalanan gereja masih belum terbuka. Ini terbukti dari fakta bahwa di tahun 1970-an GBKP sudah ada 2 orang pendeta wanita, istri pendeta GBKP, yang telah ditahbiskan sebagai Pendeta dalam gerejanya sebelum datang ke Tanah Karo bersama suaminya (dari GMIM), tetapi GBKP tidak menerima mereka sebagai pendeta penuh. Mereka diberi pekerjaan, khususnya dalam pelayanan kaum wanita dan pendidikan agama Kristen, tetapi kependetaannya belum diakui dan dimanfaatkan. Kemandirian GBKP kemudian memungkinkan dilakukannya perubahanperubahan di antaranya perubahan atas tata gereja. Hal yang berkaitan dengan perempuan adalah sebagai berikut: 1. Tahun 1953, GBKP mengangkat 2 orang Guru Injil perempuan, 2. Tahun 1960-an, GBKP sudah menerima perempuan menduduki jabatan dalam gereja sebagai pertua dan diaken. 3. Tahun 1979, GBKP mengirim mahasiswa perempuan ke Sekolah Tinggi Teologia di Indonesia Timur (STT Intim) Makasassar 4. Tahun 1987, pentahbisan pertama seorang pendeta perempuan alumnus STT Intim dan diterima menjadi pendeta sebagai pemimpin gereja Tata Gereja GBKP yang dihasilkan dalam
sidang Sinode GBKP ke
XXIX, 5-11 November 1984 yang dilaksanakan di Jakarta, adalah tonggak sejarah yang amat besar kalinya diputuskan
bagi perempuan. Pada sidang sinode inilah untuk pertama perempuan diterima sebagai pendeta dan melayani di
69
jemaat.Keputusan ini dalam poin 4.12 : Pendeta Perempuan, Pandita Diberu. Dalam keputusan tersebut ada beberapa butir yang isinya: 1. Pendeta Laki-laki dan perempuan itu sama; 2.Pendeta perempuan di GBKP menjalankan pelayanannya sesuai dengan kemampuannya; 3. Dalam penempatan akan dipikirkan , disesuaikan dengan tempat dan situasi; 4. Mengingat status perempuan dalam rumah tangga, jika dia sudah menikah, sesuai dengan adat maka Pendeta Perempuan bisa menjalankan tugasnya dengan penuh sebagai personalia GBKP , kalau dia bisa memenuhi ketentuan yang akan diadakan.
Hal ini kemudian diatur dalam aturan Tata Gereja GBKP
yang
disahkan dalam sidang Sinode tersebut di atas. Dalam sejarah GBKP, meskipun GBKP sudah menerima pendeta perempuan dan telah ditahbiskan serta melayani bukan berarti tanpa persoalan. Contohnya adalah mengenai suami-istri pendeta di GBKP. edisi tahun 1984-1994, bahwa namun
Pada Tata Gereja
perempuan sudah diterima menjadi pendeta,
suami istri pendeta itu belum diterima.
Tata Gereja GBKP tentang
jabatan pendeta menyatakan bahwa kalau ada suami- istri pendeta , maka salah satu saja yang
dapat difungsikan sebagai pendeta secara fungsional maupun
struktural. Dengan aturan tersebut, tidak dimungkinkan lagi ada pasangan suami istri yang ditahbiskan menjadi pendeta di GBKP. Dari data yang ada beberapa pendeta di GBKP yang secara sebelumnya sudah ditahbiskan sebagai pendeta di gereja asal mereka dan menikah dengan pendeta laki-laki dari GBKP (Pdt. Nr.J. P. Sibero dan Pdt. Nr. M. Sinulingga). Karena peraturan yang ada mereka tidak melanjutkan pelayanan sebagai pendeta.
70
Dengan kata lain, suami mereka yang melanjutkan pelayanan sebagai pendeta struktural dan fungsional di GBKP. Peranan pendeta perempuan adalah
materi yang tetap hangat
diperbincangkan dalam setiap persidangan baik itu internasional dan regional. Dan ini juga mewarnai persidangan di GBKP sehingga kemudian aturan ini berubah pada tata gereja tahun 1994, suami istri secara bersama-sama dapat diangkat menjadi pelayan khusus penuh waktu , kecuali Penatua dan Diaken (pasal 14:5). Sejak tata gereja yang ditetapkan tahun 1994, perempuan sudah sangat diberi kesempatan untuk menjadi pendeta jemaat, baik itu suami ataupun istri secara bersamaan.
2.5.3.1 Rekrutman Pendeta Perempuan GBKP GBKP mulai mengirim mahasiswa perempuan ke Sekolah Teologia di Indonesia baru pada tahun 1979. (Laporan Moderamen ke Sinode GBKP 1979) Tapi rupanya belum ada kepastian status masa depannya. Sebab dalam laporan tersebut: “Dengan pengiriman mahasiswa perempuan ke STT Ujung Pandang sudah perlu dipikirkan status mereka kelak. Moderamen belum menjanjikan kedudukan bagi mereka nantinya selain melayani kaum ibu. Pada sidang Sinode GBKP di Cibubur 1984 usul untuk menerima perempuan menjadi Pendeta sudah menjadi keputusan. Pada tanggal 15 Maret 1987, GBKP menahbiskan Pendeta perempuan pertama ialah Rosmalia br Barus yang tamat dari Institut Theologia Makassar dengan gelar Sarjana Muda Tehologia . Pada tahun yang sama yaitu 6 Desember 1987, 2 pendeta perempuan lagi ditahbiskan menjadi Pendeta ialah Pdt. Setia Ulina br Tarigan, S.Th dan Pdt. Ratna br Sembiring yang tamat dari Fakultas
71
Theologia Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Demikian seterusnya GBKP merekrut calon-calon mahasiswa perempuan ke sekolah-sekolah Theologia di Indonesia.Guru-guru Evangelis ditingkatkan pendidikannya menjadi Pendeta sehingga semakin banyak pendeta perempuan di GBKP. Juga sejak Tata Gereja periode 1995-2005 GBKP sudah menerima suamiistri secara secara bersama-sama menjadi pendeta atau Guru Evangelis, hal ini juga membuat beberapa nora pendeta yang sebelumnya sudah menjadi Pendeta di gereja asal mereka. Namun Pdt Nr. J. P. Sibero dan Pdt. Nr. M. Sinulingga tidak sempat lagi diproses menjadi pendeta di GBKP. Sedangkan Pdt Merry Tatuwo S.Th. dari GKI Irja ( Nr. Pdt Ephenetus Tarigan ) sudah diterima menjadi pelayan khusus penuh waktu di GBKP tahun 2000. Ini juga berlaku untuk pendeta-pendeta yang suami istri yang GBKP, kemudian mereka ditahbiskan menjadi pendeta di GBKP, antara lain Pdt. Dewi br Sembiring (Nr. Pdt. Rudi Sembiring); Pdt. DR. Risnawati br Sinulingga ( Nr. Pdt. Darma Bangun) dan semakin bertambah banyak suami istri pendeta di GBKP. Hal ini juga membuat pertambahan pendeta perempuan semakin meningkat. 2.5.3.3. Tugas-tugas Kepemimpinan Pendeta dalam Struktur di GBKP A.
Sinodal (Ketua Umum Moderamen) yang diatur dalam penjelasan tugas : 1. Menterjemahkan dan mengimplementasikan visi dan misi GBKP 2. Menggali dan memaksimalkan potensi warga GBKP untuk membangun kesatuan dan persatuan GBKP sebagai tubuh Kristus 3. Memimpin tim pelayanan Moderamen dalam melaksanakan GBP, Tata Gereja dan seluran yang peraturan yang berlaku di GBKP
72
4. Bersama dengan Moderamen melakukan pembinaan Personalia, Persekutuan Kategorial, Biro, Yayasan, Badan Pelayanan dan Badan Usaha, Klasis dan Unit Pelayanan lainnya 5. Memimpin Sidang Kerja dan Sidang Moderamen, Sidang Kerja Sinode, Sidang Keuangan dan Program. 6. Membangun hubungan oikumene gereja dan oikumene kemasyarakatan dalam dan luar negeri 7. Bersama dengan Sekretaris Umum mewakili GBKP dalam urusan ke dalam dan ke luar 8. Bersama dengan Bendahara Umum bertanggungjawab dalam urusan keuangan dan harta benda. B. Ketua Klasis 1. Menterjemahkan dan mengimplementasikan visi dan misi GBKP 2. Menggali dan memaksimalkan potensi warga GBKP
di Klasis untuk
membangun kesatuan dan persatuan GBKP sebagai tubuh Kristus 3. Memimpin tim pelayanan BP Klasis dalam melaksanakan GBP, Tata Gereja dan seluruh yang peraturan yang berlaku di GBKP 4. Bersama dengan BP Klasis lainnya melakukan pembinaan Personalia, Persekutuan Kategorial, Biro, Yayasan, Badan Pelayanan dan Badan Usaha, Majelis Jemaat dan Unit Pelayanan lainnya 5. Memimpin Sidang BP Klasis dan Sidang Klasis 6. Membangun hubungan oikumene gereja dan oikumene kemasyarakatan dalam dan luar negeri
73
7. Bersama dengan Sekretaris mewakili Klasis dalam urusan ke dalam dan ke luar 8. Bersama dengan Bendahara bertanggungjawab dalam urusan keuangan dan harta benda. C. Ketua Runggun 1. Menterjemahkan dan mengimplemntasikan visi dan misi GBKP 2. Menggali dan memaksimalkan potensi warga GBKP di Majelis Jemaat untuk membangun kesatuan dan persatuan GBKP sebagai tubuh Kristus 3. Memimpin tim pelayanan Majelis Jemaat dalam melaksanakan GBP, Tata Gereja dan seluran yang peraturan yang berlaku di GBKP 4. Bersama dengan anggota BP Majelis Jemaat lainnya
melakukan
pembinaan PKPW, Persekutuan Kategorial, Biro, Yayasan, Badan Pelayanan dan Badan Usaha, Pertua dan Diaken
dan Unit Pelayanan
lainnya 5. Memimpin Sidang Anggota Sidi Jemaat, Sidang Majelis Jemaat , Sidang Badan Pekerja Majelis Jemaat 6. Membangun hubungan oikumene gereja dan oikumene kemasyarakatan dalam dan luar negeri 7. Bersama dengan Sekretaris mewakili Majelis Jemaat ke dalam dan ke luar 8. Bersama dengan Bendahara bertanggungjawab dalam urusan keuangan dan harta benda ( Tata Gereja, 2010).
74
2.6
Kajian Fenomenologis Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan
logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai”yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan (Moeryadi, 2009). Fenomenologi merupakan suatu pendekatan riset dan suatu filosofi Eropa yang diperkenalkan pertama kali pada awal abad ke -20 oleh Edmund Hussrel tepatnya pada tahun 1859-1938. Pendapat Husserl tentang perspektif fenomenolgi adalah memberikan deskripsi, refleksi, interpretasi dan modus riset yang meyampaikan intisari dari pengalaman kehidupan individu yang diteliti. Fenomenologi berkontribusi medalami pemahaman tentang perilaku, tindakan , dan gagasan masing-masing individu terhadap dunia kehidupannya melalui sudut pandang yang diketahui dan diterimanya secara benar ( Afiyanti, 2014: 67). Van Manen (2007) menjelaskan apa yang dimaksud pengalaman individu berdasarkan pendekatan fenomenolgiadalah berbagai persepsi individu tentang keberadaannya di dunia, kepercayaan dan nilai-nilai yang dimilikinya tentang sesuatu dari sudut pandangnya. Para fenomenologis menyatakan bahwa pengalaman yang dimaksud untuk dapat diteliti dengan pendekatan fenomenogi adalah pengalaman yang bersifat universal yang dialami oleh seorang individu terhadap suatu fenomena yang dialaminya dalam kehidupannya sehari hari. Dalam tesis ini adalah pengalaman para pendeta perempuan menjalani perannya sebagai seorang pendeta, pemimpin
75
umat dalam gereja sekaligus sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya dan istri bagi suaminya. Peneliti
mengumpulkan informasi atau data dari para pendeta
perempuan. Hasil temuan merupakan penjelasan-penjelasan tentang “apa’ dan “bagaimana” para pendeta perempuan mengalami penagalaman tersebut. Fokus pendekatan fenomenologi adalah memahami keunikan fenomena dunia kehidupan individu, bahwa realitas dunia kehidupan masing-masing individu itu berbeda, dalam hal ini adalah respon-respon yang unik dan spesifik yang dialami setiap individu termasuk interaksinya dengan orang lain, untuk selanjutnya mengeksplorasi makan atau arti dari fenomena tersebut.
2.7.
Kerangka Berpikir Penelitian diarahkan kepada analisa gender. Dengan maksud tujuan untuk
memahami permasalahan
terhadap Pendeta perempuan di GBKP. Pertambahan
jumlah pendeta perempuan di GBKP yang semakin besar namun tidak berbanding lurus dengan pertambahan pendeta perempuan menduduki posisi dalam struktur di GBKP. Dominasi laki-laki sangat besar dalam organisasi GBKP. Latar belakang GBKP sebagai gereja bagi suku Karo, yang memiliki budaya patriarki dan latar belakang penginjilan ke Karo oleh para misionaris dari Belanda (NZG) yang beraliran calvinis yang mengganggap perempuan adalah kelas kedua, namun para misionaris sangat berjuang mengangkat harkat dan martabat perempuan Karo dan pada awalnya posisi perempuan dalam agama tradisional Karo juga cukup penting. Kepemimpinan yang erat kaitannya dengan kekuasaan mendorong penulis untuk meneliti dalam kehidupan beragama yakni di gereja. GBKP sebagai
76
lembaga keagamaan yang berdiri di kehidupan masyarakat Karo. Analisis gender adalah usaha untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan 1. Persepsi Majelis jemaat terhadap pendeta perempuan yang duduk sebagai ketua di posisi struktural 2. Penyebab sedikitnya Kepemimpinan pendeta perempuan GBKP dalam struktural 3. Pandangan pendeta perempuan terhadap sedikitnya pendeta perempuan duduk dalam struktural.
77