BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Tentang Manajemen Sumber Daya Manusia Beberapa pendapat ahli manajemen memberikan pengertian manajemen sumber daya manusia sebagai berikut:
2.1.1 Pengertian Manajemen Personalia Menurut Hasibuan (2005:23) manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Hal ini juga didukung oleh Nitisemito (2005:33) yang menyatakan bahwa: “Manajemen personalia adalah suatu ilmu seni untuk melaksanakan planning, organizing, controlling dan actuating sehingga efektivitas dan efisiensi personalia dapat ditingkatkan semaksimal mungkin dalam pencapaian tujuan”. Maksud dari semua kegiatan di atas, adalah manajerial (perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian) dan operasional (pengadaan tenaga kerja, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan dan pemutusan tenaga kerja) adalah untuk membantu pelaksanaan sasaran-sasaran dasar. Sedangkan pengertian manajemen personalia menurut manullang (2006:25) adalah “Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan dari
7
8
pengadaan,
pengembangan,
pemberian
kompensasi,
pengintegrasian
dan
pemeliharaan tenaga kerja dengan maksud untuk membantu tujuan perusahaan individu dan masyarakat”.
2.1.2 Peranan Manajemen Sumber Daya Manusia Setelah mengetahui pengertian tentang manajemen personalia, maka sebaiknya kita perlu mengetahui peranan manajemen sumber daya manusia yang dikemukakan oleh Hasibuan (2005:34) antara lain: 1. Menetapkan jumlah, kualitas dan penempatan tenaga kerja yang efektif sesuai dengan kebutuhan perusahaan berdasarkan job description, job specification dan job evaluation. 2. Menetapkan penarikan, seleksi dan penempatan karyawan berdasarkan asas the right man in the right job 3. Menetapkan
program
kesejahteraan,
pengembangan,
promosi
dan
pemberhentian 4. Meramalkan penawaran dan permintaan sumber daya manusia pada masa yang akan datang 5. Memperkirakan keadaan perekonomian pada umumnya dan perkembangan perusahaan pada khususnya. 6. Memonitor dengan cermat undang-undang perburuhan dan kebijaksanaan pemberian balas jasas perusahaan-perusahaan sejenis. 7. Memonitor kemajuan teknik dan perkembangan serikat buruh 8. Melaksanakan pendidikan, latihan dan penilaian prestasi karyawan
9
9. Mengatur mutasi karyawan baik vertical maupun horizontal 10. Mengatur pensiun, pemberhentian dan pesangonnya. Dari uraian dan pendapat para ahli tersebut dapa tdisimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan: 1. Seni dan ilmu untuk memperoleh, memelihara serta mengatur sumber daya manusia sebagai karyawan dalam pelaksanaan proses produksi. 2. Sebagai Implementasi dari fungsi-fungsi dasar manajemen, dimana mengatur SDM, mengontrol, merencanakan serta memimpin SDM agar berjalan sesuai dengan tujuan serta visi dan misi organisasi.
2.1.3 Keinginan Berpindah (Turnover Intentions) Definisi intensi, menurut Anwar dkk, menunjukkan bahwa intensi merupakan probabilitas atau kemungkinan yang bersifat subjektif, yaitu perkiraan seseorang mengenai seberapa besar kemungkinannya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Artinya, mengukur intensi adalah mengukur kemungkinan seseorang dalam melakukan perilaku tertentu (Anwar, Bakar, & Harmaini, 2005, p1). Turnover Intention didefinisikan sebagai intensi seseorang untuk melakukan pemisahan actual (turnover) dari suatu organisasi (Sunjoyo,2002). Mobley et. al (1978) dalam Sunjoyo (2002) menggunakan turnover intention sebagai suatu proxy bagi turnover actual. Turnover intention merupakan dampak selanjutnya dari adanya intent to leave (keinginan untuk meninggalkan) organisasi.
10
Intensi merupakan fungsi dari tiga determinan dasar, yaitu pertama sikap individu terhadap perilaku, ke dua adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang bersangkutan, dan yang ke tiga adalah aspek kontrol perilaku yang dihayati (Azwar, 2002, p 1011). Selanjutnya, menurut Ajzen dalam teorinya yang disebut theory of planned behavior (Ajzen, 2005, p2), intensi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1) Sikap terhadap tingkah laku tertentu (attitude toward behavior) 2) Norma subjektif (subjective norm) 3) Persepsi tentang kontrol perilaku (perceived behavior control) Faktor pertama, sikap terhadap perilaku, adalah penilaian yang bersifat pribadi dari orang yang bersangkutan, menyangkut pengetahuan dan keyakinannya mengenai perilaku tertentu, baik dan buruknya, keuntungan dan manfaatnya. Norma subjektif mencerminkan pengaruh sosial, yaitu persepsi seseorang terhadap tekanan sosial (masyarakat, orang-orang sekitar) untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku. Persepsi tentang kontrol perilaku merupakan persepsi mengenai sulit atau mudahnya seseorang untuk menampilkan tingkah laku tertentu dan diasumsikan merefleksikan pengalaman masa lalu beserta halangan atau rintangan yang diantisipasi. Dalam teori perilaku berencana, faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan individu adalah intensi untuk menampilkan perilaku tertentu (Ajzen, 2005,P5) Intensi diasumsikan seberapa keras seseorang berusahan atau seberapa
11
banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Sebagai aturan umum, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, semakin besar kecenderungan ia untuk benar–benar melakukan perilaku tersebut. Intensi untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya hanya jika perilaku tersebut ada di bawah kontrol individu yang bersangkutan. Individu tersebut memiliki pilihan untuk memutuskan menampilkan perilaku tertentu atau tidak sama sekali (Ajzen, 2005, P6) sampai seberapa jauh individu akan menampilkan perilaku, juga tergantung pada faktor–faktor non motivasional. Salah satu contoh dari faktor non motivasional adalah ketersediaan kesempatan dan sumber–sumber yang dimiliki tersedia dan terdapat intensi untuk menampilkan perilaku, maka kemungkinan perilaku itu muncul, sangatlah besar dengan kata lain, suatu perilaku akan muncul jika terdapat motivasi (intensi) dan kemampuan (kontrol perilaku) (Ajzen, 2005, P2). Ada dua hal yang penting yang mendasari pernyataaan tersebut. Pertama, jika intensi dianggap sebagai faktor yang konstan, maka usaha–usaha untuk menampilkan perilaku tertentu tergantung pada sejauh mana kontrol yang dimiliki individu tersebut. Misalkan jika ada 2 karyawan (karyawan A dan karyawan B) yang memiliki intense untuk keluar dari pekerjaan. Jika karyawan A keyakinan kuat bahwa kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya akan memudahkan ia mencari pekerjaan baru sementara karyawan B kurang yakin bisa diterima kerja di tempat lain karena ia kurang terampil, maka karyawan A memiliki kemungkinan terbesar untuk benar–benar mengaktualisasikan intensinya tersebut dalam bentuk perilaku keluar dari pekerjaan (turnover). Hal penting kedua yang mendasari
12
pernyataan bahwa ada hubungan langsung antara kontrol terhadap perilaku yang dihayati (perceived behavioral control) dan perilaku nyatanya, sering kali dapat digunakan sebagai pengganti / subtitusi untuk mengukur kontrol nyata (actual control). Arti Intensi adalah niat atau keinginan yang timbul pada individu untuk melakukan sesuatu. Sementara turnover adalah berhentinya seseorang karyawan dari tempatnya bekerja secara sukarela. Dapat didefinisikan bahwa intense turnover adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaanya secara sukarela menurut pilihannya sendiri (Zeffane, 2003, p 24-25). Menurut Zeffane (2003, p 27-31) ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya turnover, diantaranya adalah faktor eksternal, yakni pasar tenaga kerja, faktor institusi yakni kondisi ruang kerja, upah, keterampilan kerja, dan supervisi, karakteristik personal dari karyawan seperti intelegensi, sikap, masa lalu, jenis kelamin, minat, umur, dan lama bekerja serta reaksi individu terhadap pekerjaannya. Perusahaan yang memiliki angka turnover yang tinggi mengindikasikan bahwa karyawan tidak betah akan mengeluarkan cost yang cukup besar karena perusahaan sering melakukan rekruitmen yang biayanya sangat tinggi, pelatihan dan menguras tenaga serta biaya dan faktor–faktor lain yang mempengaruhi suasana kerja menjadi kurang menyenangkan. Selain itu, adanya turnover menurut Dalton & Todor (2000) dalam Feinstein & Harrah (2002, p 4-5) dapat
13
mengganggu proses komunikasi, produktivitas serta menurunkan kepuasan kerja bagi karyawan yang masih bertahan. Lee & Mitchel (dalam Kalnbach & Griffin, 2002) mengatakan ada empat komponen
utama
dalam
perilaku
turnover
seorang
karyawan,
(http://datarental.blogspot.com/2008/04/Prilaku Turn over.html) yaitu: 1) Shocks Merupakan kejadian khusus/ yang mengejutkan yang menimbulkan analisa secara psikologis untuk keluar (berhenti) dari perusahaan. Contoh: pernikahan, transfer pekerjaan, konflik serius dengan atasan/ rekan kerja. 2) Images Violations (Gambaran terhadap Pelanggaran) Adalah gambaran/ bayangan terhadap pelanggaran. Pelanggaran ini merupakan hasil dari beberapa kejadian yang mengarahkan individu untuk menentukan atau memutuskan bahwa dia tidak dapat mengintegrasikan nilai-nilainya ke dalam shocks. Sehingga, ada dua pilihan: memperbaiki image diri atau meninggalkan perusahaan. 3) Scripts Merupakan rangkaian peta kognitif untuk perilaku yang otomatis (mendadak) dalam situasi yang telah dikenal. 4) Search For and/ or Evalution of Alternatif To The Job Dua alternatif bagi karyawan yang keluar dari perusahaan. Pertama; nonwork, dimana individu melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi atau
14
menjatuhkan pada pilihan bekerja di luar rumah. Kedua; mencari dan mengevaluasi pekerjaan lain.
2.1.4 Job Insecurity Penelitian yang dilakukan oleh Roskies dan Guerin (2000) dalam Greenglass, Burke dan Fiksenbaum (2002:hal 2-3) menyimpulkan bahwa penurunan kondisi kerja seperti rasa tidak aman dalam bekerja akan mempengaruhi karyawan lebih dari sekedar kehilangan pekerjaan semata. Kondisi ini juga mengarahkan pada munculnya emosi, menurunnya kondisi psikologis dan akan mempengaruhi kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Greenhalgh (2000) dalam Greenglass , Burke dan Fiksenbaum, (2002:hal 3) berusaha menguji efek dari job insecurity terhadap komitmen kerja dan perilaku kerja. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil yang menyatakan bahwa karyawan yang bisa melalui atau melewati tahapan rasa tidak aman ini, menunjukkan komitmen kerja yang makin rendah dari waktu ke waktu. Penelitian yang dilakukan oleh Barling dan Fiksenbaum menyatakan bahwa terdapat hubungan antara job insecurity dengan turnover intention, karena job insecurity yang terjadi secara terus menerus akan mempengaruhi kondisi psikologis karyawan (Greenglass, Burke dan Fiksenbaum, 2002: hal 3). Greenhalgh dan Rosenblatt (2002) mendefinisikan Job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam (dalam Suwandi dan Indriartoro,2003, p 3-4 ).
15
Paserawak dan Strawser (2001) menerangkan mengenai empat variable pendahulu (anteseden), yang oleh Suwandi dan Indriartoro disebut prediktor, dari job insecurity berdasarkan hasil studi sebelumnya, yaitu: konflik peran (role conflict), ketidakjelasan peran (locus of control). 1) Konflik peran (role conflict) Ketika seorang individu dihadapkan dengan ekspetasi peran yang berlainan, hasilnya adalah konflik peran (role conflict). Konflik ini muncul ketika seorang individu menemukan bahwa untuk memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk memenuhi peran lain. Pada tingkat ekstren, hal ini dapat meliputi situasi–situasi di mana dua atau lebih ekspetasi peran saling bertentangan (Robbins & Timothy A. Judge, 2008 p 364). 2) Ketidakjelasan peran (role ambiguity) Ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab terhadap pekerjaan (Greenberg & Robert A. Baron, 2007, p 124). 3) Perubahan Organisasi (organizational change) Merupakan berbagai kejadian yang yang secara potensial dapat mempengaruhi sikap dan persepsi karyawan sehingga dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam organisasi. Kejadian-kejadian tersebut antara lain meliputi merger, perampingan (downsizing), reorganisasi, teknologi baru, dan pergantian manajemen (Greenhalg dan Rosenblatt 2002). 4) Pusat pengendalian (locus of control) Lokus kendali merupakan tingkat di mana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Internal (internals) adalah individu yang yakin
16
bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa pun yang terjadi pada diri mereka. Eksternal (exsternals) adalah individu yang yakin bahwa apa pun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan atau kesempatan. Lokus kendali merupakan suatu indikator evaluasi inti diri karena individu yang berfikir bahwa mereka kurang memiliki kendali atas hidup mereka cenderung kurang memilki kepercayaan diri (Stephen P. Robbins, Timothy A. Judge, 2008 p 138).
2.1.5 Komitmen Organisasi Komitmen organisasi (Organization Commitment) Komitmen organisasi menurut Robbins & Timothy A. Judge (2008, p100) adalah tingkat sampai mana seseorang karyawan memihak sebuah organisasi serta tujuan – tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu, sementara komitmen organisasi yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Komitmen organisasi menurut (Stephen P.robins,timothy A. Judge, 2008, p 100) adalah tingkat dimana seseorang karyawan memihak sebuah organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginan untuk mempertahankan keanggotan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan seorang pekerja sangat tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu, sementara organisasi yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut.
17
Komitmen organisasi menurut Greenberg & Robert A. Baron (2003, p 124) merupakan tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana karakteristik komitmen organisasi antara lain
adalah
loyalitas
seseorang
terhadap
organisasi,
kemauan
untuk
mempergunakan usaha atas nama organisasi, kesesuaian antara tujuan seseorang dengan tujuan organisasi (goal conaruence), dan keinginan untuk menjadikan anggota organisasi. Komitmen organisasi menurut Beverly Metcalfe and Gavin Dick (2001 pp 399419) merupakan tingkat kekerapan identifikasi dan keterkaitan individu terhadap organisasi yang di masukinya, dimana karakteristik komitmen organisasi antara lain adalah : • kesesuaian
antara
tujuan
seseorang
dengan
tujuan
organisasi
(goal
congruence), • kemauan untuk melakukan usaha atas nama organisasi(loyalitas) • keinginan untuk menjadi anggota organisasi Menurut (Stephen P. Robins, timothy A Judge, 2008,p 101-103) ada tiga komponen yangmempengaruhi komitmen organisasi, sehingga karyawan memilih tetap tinggal atau meninggalkan organisasi berdasarkan norma yang dimilikinya, tiga (3) komponen tersebut adalah 1) Komitmen efektif (effective commitment) keterikatan emosional karyawan, dan keterlibatan dalam organisasi, 2) Komitmen berkelanjutan (continuence commitment) : komitmen berdasarkan
18
kerugian uang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini mungkin karena kehilanga senioritas atas promosi atau benefit, 3) Komitmen normative (normative commitment): perasaan wajib utuk tetap berada dalam organisasikarenamemang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Satu penelitian menemukan bahwa komitmen afektif adalah pemrediksi berbagai hasil (persepsi karakteristik tugas, kepuasan karir, niat untuk pergi) dalam 72 persen kasus, dibandingkan dengan hanya 36 persen untuk komitmen normtif dan 7 persen untuk komitmen berkelanjutan. Hasil-hasil yang lemah untuk komitmen berkelanjutan adalah masuk akal karena hal ini sebenarnya bukan merupakan sebuah komitmen yang kuat. Dibandingkan dengan kesetiaan (komitmen afektif) atau kewajiban (komitmen normatif) untuk seorang pemberi kerja, sebuah komitmen berkelanjutan mendeskripsikan seorang karyawan yang terikat dengan seorang pemberi kerja hanya karena tidak ada hal lain yang lebih baik.
2.1.6 Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah tingkat perasaan seseorang akan kesukaan atau ketidaksukaannya dalam memandang pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Kepuasan kerja diukur dengan menggunakan 5 (lima) alat ukur yang dikembangkan Smith, Kendall dan Hulin (Munandar, 2004 : 74) yaitu: pekerjaan, imbalan, kesempatan promosi, supervisi dan rekan sekerja.
19
Kepuasan kerja adalah sikap yang paling berpengaruh terhadap turnover. Hasil studi menunjukkan bahwa kepuasan kerja berkaitan erat dengan proses kognisi menarik diri (prewithdrawl cognition), intensi untuk pergi dan tindakan nyata berupa turnover (Kinicki, McKee-Ryan, Schriesheim, & Carson, 2002) dalam Mueller (2003, p 2-5) Kepuasan kerja memiliki banyak dimensi. menurut Dr. Husein Umar (2008:38) menganjurkan untuk mengacu pada JDI ( Job Descriptive Index ) menurut indeks ini, kepuasan kerja di bagun atas lima (5) dasar dimensi yaitu : 1) Pembayaran (Gaji, Upah, insentif,dll). 2) Perkerjaan itu sendiri. 3) Promosi jabatan. 4) Kepenyeliaan (supervise) 5) Hubungan dengan rekan kerja. Menurut Robbins & Timothy A. Judge (2008, p 40), kepuasan kerja adalah perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan–perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan–perasaan yang negatif tentang pekerjaan. Keyakinan bahwa karyawan yang merasa puas jauh lebih produktif bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak puas telah menjadi prinsip dasar di antara para manajer selama bertahun–tahun.
20
Menurut Hasibuan (2007, p 202-203) kepuasan kerja (job statisfaction) karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat. Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaanya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam luar pekerjaan. Kepuasan kerja karyawan dipengaruhi faktor –faktor berikut (Hasibuan, 2007, p 202-203) : 1) Balas jasa yang adil dan layak 2) Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian 3) Berat ringannya pekerjaan 4) Suasana dan lingkungan pekerjaan 5) Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan 6) Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya 7) Sifat pekerjaan monoton atau tidak Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karyawan dengan kepuasan kerja akan merasa senang dan bahagia dalam melakukan pekerjaan dan tidak berusaha mengevaluasi alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya karyawan yang merasa tidak puas dalam pekerjaanya cenderung mempunyai pikiran untuk keluar, mengevaluasi alternatif pekerjaan lain, dan berkeinginan untuk keluar karena berharap menemukan pekerjaan yang lebih memuaskan.
21
2.1.7 Kepercayaan Organisasi Merupakan gambaran umum dari kemampuan yang diperlihatkan oleh karyawannya (Sterrs, 2000). Kepercayaan Organisasi, jika komitmen organisasi menekankan bagaimana tingkat loyalitas karyawan, maka kepercayaan organisasi menunjukan bahwa karyawan merasa percaya terhadap peusahaan dan juga manajemennya, sehingga karyawan tersebut merasa komitmennya telah dipenuhi. Jika tidak tercapai, maka karyawan akan merasa gagal dan diabaikan atas peran dan hasil yang telah dicapai oleh karyawan tersebut. Namun jika perusahaan memenuhi komitmennya terhadap karyawan, maka antara kedua belah pihak sama– sama tercapai kepuasan dalam membentuk komitmen dan kepercayaan. Pasewark dan Strawser (2001) menguji model turnover dengan menggunakan konstruk
kepercayaan
organisasional.
Variabel
ini
ditemukan
hanya
mempengaruhi keinginan berpindah secara tidak langsung melalui komitmen (dalam Suwandi dan Indriartoro, 2003, p 6-7).
2.2 Kerangka Pikir Untuk dapat meminimumkan niat atau keinginan karyawan untuk keluar, sebaiknya antara organisasi dengan karyawan ada keseimbangan antara hasil dan keinginan. Untuk mencapai hal tersebut, organisasi dapat membuat kebijakan yang hasilnya dapat memuaskan keinginan karyawan itu sendiri didasari pada kinerja dan hasil yang dicapai oleh karyawan. Hasil kinerja karyawan dapat mencapai target perusahaan tersebut, hendaknya karyawan pertahankan. Timbal
22
balik perusahaan yaitu dengan memperhatikan apa yang karyawan inginkan untuk dirinya, baik dari segi kepuasan kerja yang ingin dicapai, membangun komitmen organisasi dari karyawan, kejelasan peranan karyawan, atau memperhatikan kondisi psikologi karyawan atas beban pekerjaan yang terangkum dalam pusat pengendalian diri karyawan yang terbagi atas internal dan eksternal.
Job Insecurity
Job Insecurity
Kepuasan
Kepuasan
Kerja
Kepercayaan
Turnover Intention
Kerja Kepercayaan
Organisasi
Organisasi
Komitmen
Komitmen
Organisasi
Organisasi
Gambar 2.1 kerangka Penelitian