BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) 2.1.1 Definisi Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah gangguan neurobehaviour pada anak, yang ditandai dengan adanya gejala berkurangnya perhatian dan atau aktivitas atau impulsivitas yang berlebihan. Kedua ciri tersebut merupakan syarat mutlak untuk diagnosis dan harusnya nyata pada lebih dari satu situasi (Sadock dkk., 2015). Organisasi Kesehatan Dunia (1992), dalam ICD-10 menggunakan kategori gangguan hiperkinetik untuk GPPH yang memiliki deskripsi gangguan perilaku yang sama pada umumnya, tetapi berat item yang berbeda. Singkatnya, tiga komponen gangguan hiperkinetik harus ada dalam setiap kasus (Saputro, 2012). GPPH sebagai suatu gangguan psikiatri yang ditandai oleh suatu perkembangan yang tidak sesuai, pervasif (berbagai situasi berbeda seperti di rumah dan sekolah) dan persisten dari pola kurangnya perhatian, hiperaktivitas, dan atau impulsivitas berat dengan onset pada masa kanak awal yang berkaitan dengan hendaya besar dalam fungsi sosial, akademik, dan atau pekerjaan (Banaschewski & Rohde, 2010). Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorder 5th edition (2013) dari American Psychiatric Association, ciri penting dari GPPH adalah pola persisten dari kurangnya perhatian dan atau hiperaktif impulsif yang mengganggu fungsi atau perkembangan, gejala harus hadir sebelum
2
usia 12 tahun GPPH dapat dibuat pada orang yang juga memiliki diagnosis Autism Spectrum Disorders, dan remaja atau orang dewasa bisa dimasukan klasifikasi GPPH dengan setidaknya lima gejala di salah satu atau kedua dari dua domain. Pada DSM-5 dibahas tentang faktor risiko dan faktor prognostik yang menekankan perlunya memperhitungkan keadaan lingkungan anak. Tekanan hidup jangka panjang seperti kemiskinan dan kekerasan fisik atau emosional dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan GPPH atau dapat meningkatkan keparahan gejala GPPH (Paris, 2013). Gejala-gejala yang diperlihatkan DSM-5 ataupun DSM IV-TR secara subtansial tidak banyak mengalami perubahan seperti gejala kurangnya perhatian dalam GPPH bermanifestasi sebagai kesulitan mempertahankan fokus dan bukan karena kurangnya pemahaman. Hiperaktivitas mengacu pada aktifitas motorik yang berlebihan seperti seorang anak yang berlarian, tidak bisa diam, gelisah, banyak bicara. Impulsivitas mengacu pada tindakan tergesa-gesa yang terjadi tanpa pemikiran dan memiliki potensi tinggi untuk merugikan individu misalnya, menyeberang ke jalan tanpa melihat. Perilaku impulsif dapat bermanifestasi sebagai masalah sosial, misalnya, mengganggu orang lain secara berlebihan, dan atau membuat keputusan penting tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang, misalnya, mengambil pekerjaan tanpa informasi yang memadai (Banaschewski & Rohde, 2010). 2.1.2 Prevalensi GPPH Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tuckman (2007) mengatakan prevalensi GPPH usia sekolah sebesar 3%-5% di AS, Jerman, Puerto Rico,
3
Taiwan dan di AS didapatkan prevalensi sebesar 7%-8% untuk anak usia dibawah 18 tahun, dan sebesar 4%-5% untuk usia 18 tahun ke atas sedangkan yang berlanjut hingga dewasa sebesar 30%-50%. Tinjauan sistematik terhadap 102 penelitian yang meliputi 171.756 subyek ditemukan prevalensi GPPH di seluruh dunia adalah 5,29%. Kelompok usia anak ditemukan prevalensi 6,5% dan 2,7% untuk kelompok usia remaja. Anak-anak usia antara 6 sampai 17 tahun di Amerika Serikat, telah menerima diagnosis GPPH (Polanczyk et al, 2007). Penelitian tentang prevalensi anak dengan GPPH pada masa tumbuh kembang anak di Indonesia, masih belum banyak yang mengkaji (Judarwanto, 2009). Penelitian pada sekolah dasar di Kabupaten Sleman Yogyakarta pada tahun 2000 menunjukkan prevalensi GPPH 9,5%, dan pada sebuah penelitian terbatas yang dilakukan tahun 2009 mengatakan 2,9% sampel dewasa mempunyai gejala sisa GPPH dengan rasio laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan perempuan (Saputro D., 2012). Penelitian di Purwokerto mendapatkan prevalensi GPPH sebesar 44,2%, dengan rentang usia 6 sampai 12 tahun (Hidayani dkk., 2015). GPPH sering memiliki komorbiditas dengan gangguan sikap menentang (54-84%), gangguan belajar (33-60%), gangguan tidur (25-50%), penyalahgunaan zat (40%), gangguan cemas (30-40%), gangguan tic (34%), gangguan mood (2030%), serta gangguan tingkah laku (10-20%) (Taylor & Barke, 2008). Penelitian mengenai predisposisi anak yang memiliki kedudukan khusus dalam keluarga seperti anak sulung, anak tunggal, atau anak bungsu dalam sebuah keluarga secara sosio-budaya biasanya sering diperlakukan istimewa didalam pola
4
asuh keluarga. Pola asuh yang diterapkan dalam keluarga tersebut dapat berupa melindungi berlebihan (overprotective) atau dimanjakan (overindulgence) (Herwini, 2014). Perbedaan pola asuh orangtua memiliki peran penting dalam mempengaruhi perkembangan GPPH dan perilaku agresif yang sangat berkaitan dengan GPPH (Lui dkk., 2013). 2.1.3 Etiologi GPPH Etiologi sesungguhnya dari GPPH memang belum jelas diketahui. Faktor neurobiologi diduga salah satu faktor yang cukup kuat untuk timbulnya gangguan ini. Pemaparan zat toksik prenatal, prematuritas, dan mekanisme kelahiran yang mengganggu sistem saraf diperkirakan berhubungan dengan gangguan ini. Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor psikososial dapat menyebabkan dan memperburuk gejala GPPH. Beberapa faktor yang diduga berhubungan atau sebagai penyebab GPPH antara lain (Paris,2013) : A.
Faktor Genetik GPPH lebih sering didapatkan pada keluarga yang memiliki riwayat menderita GPPH. Keluarga keturunan pertama dari anak dengan GPPH didapatkan lima kali lebih banyak menderita GPPH daripada keluarga anak normal. Angka kejadian orangtua kandung dari anak dengan GPPH lebih banyak menderita GPPH daripada orangtua angkat. Saudara kandung dari anak dengan GPPH didapatkan 2-3 kali lebih banyak menderita GPPH daripada saudara anak normal (Taylor & Barke, 2008). Beberapa penelitian ini menemukan bahwa orangtua dengan GPPH memiliki peningkatan dua hingga delapan kali lipat untuk risiko untuk memiliki anak GPPH. Pada saat
5
ini penelitian yang paling banyak dilakukan adalah yang terkait dengan neurotransmiter dopamin, serotonin, noradrenergik, dan neurotransmiter nikotinergik. Genetik berpengaruh 76% terhadap kejadian GPPH pada anak dan gen spesifik yang berhubungan dengan GPPH yaitu gen transporter dopamin (DAT1) pada khromosom 5 dan gen D4 reseptor dopamin (DRD4) pada khromosom 11 (Taylor & Barke, 2008; Paris, 2013). B.
Faktor Lingkungan Beberapa penelitian dengan anak kembar menemukan interaksi yang terjadi antara lingkungan dan konstitusi genetik yang berkonstribusi terhadap
penurunan
suatu
gangguan
perilaku.
Lingkungan
dapat
berhubungan dengan efek genetik melalui beberapa cara dan menunjukkan korelasi yang pasif antara gen dan lingkungan dimana orangtualah yang menciptakan lingkungan pada anak seperti halnya mewarisi gen mereka. Faktor non-genetik yang dapat mempengaruhi risiko GPPH seperti adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat-obatan atau anemia selama kehamilan, dan kelahiran anak yang prematur (Nass & Leventhal, 2012). Orangtua yang antisosial akan menciptakan suatu lingkungan yang kasar dan reaksi yang inkonsisten pada anak mereka. Reaksi tersebut berhubungan dengan adanya dan menetapnya perilaku antisosial pada anak (Banaschewski & Rohde, 2010). Beberapa aspek dari lingkungan anak terbentuk dari hiperaktivitas yang berasal dari orangtua, seperti yang ditampilkan dalam gambar 2.1.
6
Gambar 2.1 Patofisiologi GPPH (Taylor & Barke, 2008)
C. Faktor Neurobiologis Anak-anak dengan GPPH tidak terbukti mengalami kerusakan berat di otak. Hal ini dijelaskan dengan banyaknya anak dengan kelainan neurologis yang disebabkan oleh trauma kapitis berat justru tidak menunjukkan adanya gejala-gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Hasil penelitian 10-15 tahun terakhir ini mendukung adanya pengaruh gangguan perkembangan neurologis yang mempengaruhi timbulnya gejala GPPH. Penelitian dengan Computerized Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah membuktikan bahwa ada beberapa tempat
7
di otak yang berfungsi abnormal pada individu dengan GPPH yaitu hubungan
antara
circuit
cortical-striatal-thalamic-cortical
(CSTC)
(Feldman & Reiff, 2014). Hasil pemeriksaan Positron Emission Tomography Scan (PET Scan) pada anak dengan GPPH didapatkan penurunan metabolisme gluose di korteks prefrontal dan frontal terutama sebelah kanan. Penelitian dari National Institute of Mental Health di USA juga menunjukkan bahwa area globus pallidus dan nucleus caudatus secara bermakna lebih kecil pada anak ADHD daripada anak normal (Stahl & Mignon, 2009). 2.1.4 Diagnosis GPPH Diagnosis GPPH didasarkan pada riwayat klinis yang didapat dari wawancara dengan pasien dan orangtua serta informasi dari guru. Kriteria Diagnostik GPPH menurut DSM-5, dari panduan diagnosis American Psychiatric Association (2013), sesuai dengan kriteria di bawah ini: A. Gejala Utama GPPH Gambaran Utama GPPH adalah adanya pola menetap dari gejala kurangnya perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas yang bersifat maladaptif dan tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak. GPPH diawali pada masa anak-anak, beberapa gejala nampak sebelum usia 12 tahun dan terlihat pada minimal dua tempat yang berbeda (misalnya di rumah, sekolah, atau tempat kerja). GPPH dapat ditegakkan apabila terdapat minimal enam gejala dari kurangnya perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas minimal dalam enam bulan.
8
Penilaian adanya gejala GPPH memerlukan informasi dari orang yang melihat individu ini sehari-hari, karena pada suasana hati dimana individu dengan GPPH itu mendapatkan pujian, atau dalam pengawasan, atau melakukan kegiatan yang menarik dan menyenangkan, semua menunjukkan gejala. Terdapat salah satu atau dua di antara gejala di bawah ini yang menonjol, yaitu: 1.
Tidak mampu memusatkan perhatian (inattention) Penyandang GPPH menunjukkan kesulitan memusatkan perhatian dibandingkan anak dengan umur dan jenis kelamin yang sama. Gejala yang dapat diamati berupa: sering gagal memberikan perhatian penuh sampai terperinci atau selalu membuat kesalahan saat melakukan aktifitas pekerjaan di sekolah, tempat pekerjaan atau aktifitas lain, sering mengalami kesukaran dalam mempertahankan perhatian dalam tugas tertentu atau aktifitas bermain (mudah bosan), sering nampak tidak mendengarkan apabila diajak bicara, tidak mengikuti perintah dengan sungguh-sungguh dan selalu gagal dalam menyelesaikan tugas, kesulitan mengatur tugas-tugas dan aktifitasnya, sering menghindar terhadap tugas-tugas yang memerlukan perhatian mental cukup lama, sering kehilangan barang-barang (alat tulis pensil, buku, mainan), perhatian mudah teralih oleh rangsangan dari luar, sering melupakan aktifitas sehari-hari. Pemusatan perhatian adalah suatu kondisi mental yang berupa kewaspadaan penuh (alertness), sangat berminat (aurosal), selektivitas, mempertahankan perhatian (sustained attention), dan rentang perhatian (attention
span).
Individu
dengan
gangguan
pemusatan
perhatian
9
menunjukkan kesulitan dalam kemampuan-kemampuan tersebut. Keunikan mereka adalah mampu mempertahankan perhatian (sangat fokus) apabila mengerjakan hal-hal yang diminatinya. Ini merupakan potensi baik yang ada pada penyandang GPPH, sering dikatakan sebagai selective inattention. 2. Hiperaktivitas – impusivitas Hiperaktivitas paling sering dijumpai sebagai kegelisahan dengan tangan atau kaki sering bergerak-gerak saat duduk, meninggalkan tempat duduk saat ada di dalam kelas atau situasi lain dimana memerlukan duduk diam, sering lari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak sesuai, kesukaran dalam mengikuti permainan atau aktifitas yang membutuhkan ketenangan, berbicara berlebihan, selalu bergerak atau aktifitas seolah-olah mengendarai sepeda motor, menjawab sebelum pertanyaan selesai diutarakan, sukar menunggu giliran bermain, sering interupsi saat diskusi (Association, 2013). Gejala hiperaktivitas bukan merupakan gejala yang terpisah dari impulsivitas. Anak dengan GPPH pada umumnya tidak mampu menghambat tingkah lakunya saat merespon rangsangan dari luar dirinya, itulah yang disebut impulsivitas. Perilaku anak dengan GPPH sehari-hari seperti tidak sabar, sulit menunggu giliran, jengkel bila keinginannya tidak terpenuhi, usil, mengganggu anak lain, melakukan sesuatu tanpa berpikir dahulu, terlalu cepat memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai ditanyakan. Perilaku impulsif tersebut yang membuat individu dengan GPPH sering melakukan kesalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi,
10
dan cepat bosan. Gaya bicara yang spontan, kurang memperdulikan perasaan orang lain dan konsekuensi sosial yang terjadi. Anak dengan GPPH
sering
dianggap
kurang
bertanggung-jawab,
tidak
dapat
mengendalikan diri, kekanak-kanakkan, mementingkan diri sendiri, malas, tidak sopan atau nakal, sehingga sering mendapatkan hukuman, kritikan, teguran atau tidak disukai oleh teman-temannya (Juniar & Setiawati, 2014). Berdasarkan gejala yang menonjol, GPPH dibagi menjadi tiga sub tipe yaitu tipe kurangnya perhatian, tipe hiperaktivitas-impulsivitas, dan tipe kombinasi (Saputro, 2012; Association, 2013). B. Deteksi Dini GPPH Mendeteksi
GPPH
diperlukan
informasi
tentang
riwayat
perkembangan serta observasi perilakunya sehari-hari dirumah, disekolah, maupun di berbagai tempat, karena saat di klinik anak dengan GPPH sering menunjukkan perilaku yang baik, sehingga tidak ditemukan gejala GPPH. Dampak negatif pada fungsi sehari-hari anak, baik dirumah, maupun di lingkungan yang lain serta kesulitan yang dialami anak perlu dipastikan dari informasi orangtua, guru maupun pengasuh anak (Juniar & Setiawati, 2014). Kuisioner yang berupa skala penilaian perilaku (rating scale) untuk penapisan GPPH yang disusun sesuai dengan kriteria diagnosis, dapat dijadikan bahan untuk diisi atau dijawab oleh orangtua atau guru. Skala ini menggambarkan keadaan anak sehari-hari, apabila laporan dari orangtua atau guru menunjukkan adanya gejala GPPH dan menimbulkan kegagalan
11
fungsi atau apabila nilai total skor dari skala penilaian perilaku tersebut melampaui batas cut-off score, maka anak tersebut dapat dideteksi sebagai anak beresiko tinggi untuk terjadinya GPPH (Juniar & Setiawati, 2014). Dua kuisioner skala penilaian yang dapat digunakan untuk keperluan skrining GPPH, yaitu Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia (SPPAHI), dan Abbreviated Conner’s Teacher Rating Scale (ACTRS) yang telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia (Saputro D., 2009). 2.1.5 Penanganan pada anak dengan GPPH GPPH merupakan kondisi berbasis biologis, sehingga memerlukan pharmacologis
agent
untuk
memperbaiki
gejalanya
selain
terapi
non
farmakologis. Anak dengan GPPH memerlukan penanganan yang efektif dengan kombinasi penanganan terapi obat-obatan dan terapi perilaku. Orangtua anak dengan GPPH diberikan edukasi tentang kondisi anak dengan GPPH dan penyebabnya, sehingga mereka dapat berperan aktif dalam menangani anak di rumah. Pengasuhan anak dengan GPPH dengan tehnik reinforcement positif pada anak contohnya: memberikan pelukan atau hadiah atau sistem poin apabila anak berperilaku baik. Anak yang menunjukkan perilaku tidak baik akan diberikan konsekuensi ringan seperti tidak boleh bersepeda atau menonton televisi. Orangtua wajib memonitor atau melakukan observasi pada anak baik diluar maupun didalam rumah, sehingga diharapkan orangtua memiliki strategi cara mengatasi masalah anak dan cara bermusyawarah dengan anak (Warsiki, 2010). Program yang melibatkan guru-guru di sekolah juga diharapkan mampu berperan dalam mengembangkan keterampilan anak dalam area penyelesaian masalah
12
tingkah lakunya, bagaimana caranya mengatasi kemarahannya, keterampilan interaksi sosial dengan teman atau lingkungannya, kemampuan komunikasi dengan sekelilingnya. Program sekolah ini memberikan kesempatan pada guru dan orangtua untuk memusatkan perhatian pada masalah spesifik yang dialami anak atau remaja (Tresco dkk., 2010). 2.2. Depresi 2.2.1. Definisi Depresi Depresi adalah suatu kondisi terganggunya aktifitas kehidupan selama dua minggu atau lebih yang berhubungan dengan alam perasaan yang sedih, diikuti dengan gejala penyerta, termasuk gangguan pola tidur, gangguan nafsu makan, gangguan psikomotor, gangguan konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta keinginan bunuh diri (O'Connor, 2013). Gangguan depresi ditandai oleh perasaan kesedihan, berkurangnya kesenangan, kehilangan energi, perasaan tidak berguna, menurunnya kemampuan berfikir dan konsentrasi, pikiran berulang mengenai kematian sampai pada munculnya waham dan halusinasi serta kemungkinan adanya tindakan bunuh diri (Sadock dkk., 2015). Gangguan depresi mayor menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition (DSM-5) (2013) memenuhi kriteria: A.
Lima (atau lebih) dari beberapa gejala dibawah ini yang berlangsung setidaknya dalam dua minggu dan menunjukkan adanya gangguan dalam fungsi, minimal salah satu dari gejala (1) mood depresi atau (2) kehilangan minat dan kesenangan.
13
1. Mood depresi yang muncul hampir setiap hari, perasaan sedih, kosong, putus asa. 2. Kehilangan minat atau kehilangan rasa nikmat terhadap semua, atau hampir semua kegiatan sebagian besar waktu dalam satu hari, atau bahkan hampir setiap hari (ditandai oleh laporan secara subyektif atau berdasarkan pengamatan orang lain). 3. Kehilangan berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau bertambahnya berat badan secara signifikan (misalnya: perubahan berat badan lebih dari 5% berat badan sebelumnya dalam satu bulan). 4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari. 5. Kegelisahan atau keterlambatan psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subyektif akan kegelisahan atau merasa lambat). 6. Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap hari. 7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak wajar (bisa merupakan delusi) yang dialami hampir setiap hari. 8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi atau sulit dalam membuat keputusan hampir setiap hari (ditandai oleh laporan subyektif atau pengamatan orang lain). 9. Berulangkali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya takut mati), berulang kali muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana yang jelas, atau usaha bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk mengakhiri nyawa sendiri.
14
B.
Semua gejala klinis ini akibat dari adanya distress yang signifikan atau gangguan dalam sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C.
Episode ini tidak diakibatkan oleh efek psikologis dari penggunaan zat atau kondisi medis lainnya.
D.
Tidak
memenuhi
kriteria
gangguan
skizoafektif,
dkizofrenia,
skizofreniform, gangguan waham, spektrum skizofrenia tidak spesifik atau spesifik lainnya dan gangguan psikotik lain. E.
Tidak pernah ada episode manik atau hipomanik.
Gangguan depresi selain dengan kriteria diagnostik, untuk keperluan skrining dapat dilakukan dengan memakai skala penilaian seperti Beck Depression Inventory-II (BDI-II) yang merupakan skala pengukuran interval yang mengevaluasi 21 gejala depresi. Instrumen ini cocok dan mudah dilakukan untuk melakukan skrining awal pada populasi tertentu. 2.2.2. Etiologi Depresi Depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: faktor genetik, faktor biologi dan faktor psikososial (Birrel, 2013): a.
Faktor Genetik Hasil penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa risiko untuk mengalami depresi antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Faktor yang signifikan dalam perkembangan depresi adalah genetik. Hasil penelitian pada anak kembar terhadap gangguan depresi berat menunjukkan bahwa kembar
15
monozigot memiliki insiden komorbiditas 54% lebih besar dan kembar dizigot memiliki insiden 24% lebih besar (Feldman & Reiff, 2014). b.
Faktor Biologi Ketidakseimbangan zat-zat kimia di dalam sel otak akan memicu timbulnya depresi. Kelainan pada amin biogenic di dalam darah, urin, cairan cerebrospinal terjadi pada pasien depresi. Amin biogenic yang berubah yaitu 5- Hidroksi Indol Asetic Acid (5-HIAA), Homovanilic Acid (HVA), 5-Methoxy-0-Hydroksi Phenil Glikol (MPGH). Neurotransmitter yang berperan dalam patologi depresi adalah serotonin dan epinephrine. Penurunan serotonin dapat menimbulkan depresi (Sadock dkk., 2015). Norepinephrine berhubungan dengan menurunnya regulasi reseptor Badrenergik dan respon antidepresan yang secara klinis merupakan indikasi dari peran sistem noradrenergic dalam depresi (Birrel, 2013). Hormon esterogen dan progesteron dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku dengan mempengaruhi norepinephrine, serotonin, dopamin, asetilkolin. Perubahan hormon esterogen dan progesteron yang menurun membuat perempuan mudah mengalami gangguan mood, khususnya depresi (Stahl & Mignon, 2009).
c.
Faktor Psikososial Pendapat Freud (1917 dalam Sadock dkk., 2015) menyatakan bahwa penyebab depresi adalah suatu hubungan antara kehilangan objek yang dicintai. Kemarahan pasien depresi mengarah pada diri sendiri untuk mengidentifikasikan objek yang hilang tersebut (Arista, 2014). Faktor
16
psikososial yang diperkirakan sebagai penyebab depresi adalah hilangnya peran sosial, penurunan kesehatan, penyakit kronis, isolasi diri, kemiskinan, penurunan fungsi kognitif dan kurangnya dukungan keluarga. Faktor kepribadian apapun dapat sebagai faktor predisposisi terhadap depresi. Peningkatan risiko terjadinya depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: usia, jenis kelamin, status pernikahan, kehilangan pekerjaan dan pendapatan rumah tangga, dukungan keluarga, pendidikan, dan suku. Depresi lebih mudah terjadi pada orang dewasa muda, dengan jenis kelamin perempuan dan pada individu yang memiliki pendidikan yang rendah (Arista, 2014). 2.3 Depresi Pada Ibu Peran ibu dalam keluarga sangat banyak yaitu sebagai istri, mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak, dan sebagai salah satu kelompok dari peran sosialnya serta bagian dari masyarakat. Kenakalan dan kegagalan pendidikan anak, lebih banyak ditunding sebagai akibat dari kegagalan seorang ibu dalam menjalankan fungsinya. Saat ini banyak ibu yang realitasnya menjadi perempuan bekerja untuk menunjang ekonomi keluarga (Purba, 2011). Pergeseran nilai peran seorang ibu saat ini, dimana seorang ibu menjalankan peran ganda dalam melaksanakan peran seorang ibu dan sekaligus perempuan bekerja akan berpengaruh positif maupun negatif terhadap kondisi keluarga terutama terhadap anak. Sisi positif dimana bekerja dipandang sebagai sarana untuk melepaskan diri dari tekanan dalam rumah tangga, untuk mengembangkan
17
diri, aktualisasi diri, serta menambah pendapatan keluarga (Retnowati & Pujiastuti, 2005). Seorang ibu rumah tangga ataupun ibu yang bekerja membutuhkan manajemen waktu untuk menjaga keseimbangan kehidupan keluarga. Rumah tangga yang aman adalah rumah tangga tempat dimana kedua orangtua memiliki waktu saling memperhatikan pasangannya serta anak-anak mereka (Semiawan, 2005). Masalah yang sering ditemui dimana perlakuan ibu terhadap anak dirumah yang memanjakan anak-anaknya akibat rasa bersalah karena lebih banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan, dapat berdampak negatif terhadap prestasi belajar anak dan interaksi sosialnya di sekolah (Nurdin, 2011; Anugrah, 2015). Sebuah penelitian pendahuluan dengan menggunakan Parenting Stress Index (PSI) terhadap lima orang ibu didapatkan, tiga orang ibu mengatakan bahwa lebih repot mengurus lebih dari satu anak dibandingkan hanya satu orang anak saja dan ibu yang bekerja sebagai karyawan, mengaku seringkali tidak tenang meninggalkan anaknya saat bekerja. Kesulitan yang mereka hadapi adalah saat anak mereka sulit dinasehati, sulit diatur, dan menunjukkan perilaku yang sulit dikendalikan (Chairini, 2013). Berbagai faktor internal maupun eksternal dengan berbagai tuntutan terhadap seorang ibu dapat berdampak pada psikologis ibu. Stresor yang berlangsung terus dalam jangka panjang, maka ibu dapat mengalami kelelahan mental, dan pada akhirnya akan memasuki kondisi depresi. Gangguan depresi pada ibu mempunyai gambaran yang spesifik, yaitu waktu mengalami depresi
18
lebih panjang, menjadi bersifat khronik berkaitan dengan kejadian reproduktif, gejala atipikal lebih banyak, lebih dominan gejala somatik, dan respon terhadap terapi lebih lambat (Maramis, 2009). Salah satu faktor yang dapat menimbulkan depresi pada perempuan adalah stress dan tekanan yang dialami di luar rumah, ketidak-seimbangan antara tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga disamping juga pekerjaan yang mampu menciptakan suatu stress tersendiri (Sianturi, 2013). Kondisi depresi yang dialami ibu tentu saja akan mempengaruhi kondisi keluarga. Ibu menjadi pemurung, gelisah, tidak bersemangat, sehingga melalaikan kewajibannya dalam merawat dan mendidik anaknya di rumah. Hal tersebut dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. 2.3.1 Prevalensi Depresi Pada Ibu Perempuan memiliki risiko lebih besar untuk terjadiya depresi. Penelitian di Amerika mendapatkan bahwa 7% dari perempuan mengalami depresi, demikian juga halnya dengan di Edmonton, Canada, Puerto Rico, Paris dan Jerman Barat (Stein dkk., 2006). Angka kejadian depresi seumur hidup pada perempuan sebesar 21%, khususnya di masa subur dengan onset usia berkisar antara 20 hingga 50 tahun (Maramis, 2009; Muhdi, 2009). 2.3.2 Dampak Depresi Ibu Terhadap Perkembangan Anak Proses tumbuh kembang seorang anak dipengaruhi oleh faktor herediter dan faktor lingkungan psikososial, dimana faktor herediter menentukan kemampuan
19
bawaan, sedangkan lingkungan psikososial akan menentukan dicapainya atau tidak potensi bawaan dari anak tersebut (Semiawan, 2005). Taraf perkembangan kemampuan kognitif yang optimal, diperlukan struktur tubuh dan fungsi dari organ-organ yang baik, adanya simulasi atau rangsangan baru yang berkelanjutan dari lingkungan dan peran aktif individu untuk mengolah informasi yang diterimanya dari lingkungan itu. Hal tersebut menjelaskan bahwa peranan orangtua sangat diperlukan dalam upaya mencapai taraf pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal (Rahmita, 2011). Kesehatan fisik dan emosional ibu ketika membesarkan anak-anaknya berpengaruh erat terhadap perubahan perilaku anak. Anak-anak yang masih dalam sekolah dasar dan dibesarkan oleh ibu yang mengalami depresi, cenderung akan terlibat dalam masalah perilaku seperti peminum alkohol dan narkotika disaat anak tersebut menginjak usia remaja (Diley, 2005 ; O'Connor, 2013). Pengasuhan ibu yang depresi dan perilaku orangtua yang negatif dapat membahayakan perkembangan anak sendiri. Penelitian di Kanada terhadap ibu yang mengalami depresi menunjukkan perilaku anak yang lebih emosional dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh ibu yang tidak depresi. Ibu yang depresi kurang konsisten dalam mengasuh anak mereka, meninggalkan anak – anak di lingkungan yang kurang stabil, disiplin dan komunikasi orangtua-anak tidak efektif (Harmon, 2010). 2.4 Depresi Pada Ibu yang Memiliki Anak GPPH Karakteristik anak dengan GPPH adalah tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas. Pola perilaku anak prasekolah dengan
20
GPPH, dan komorbiditas yang menyertainya sama dengan anak usia dewasa. Gambaran klinis anak dengan GPPH adalah kegagalan fungsi pada berbagai bidang akibat gejala tersebut. GPPH menunjukkan keterkaitan secara konsisten dengan kegagalan berbicara, serta keterampilan akademik yang buruk, banyak mengalami masalah motorik dan mudah mengalami kecelakaan, kesulitan bersosialisasi dengan kelompok sebayanya. Mereka juga memiliki kesulitan dalam berinteraksi dengan orangtua dan anggota keluarga yang lain. Kondisi tersebut dapat menimbulkan beban dan sumber stres bagi keluarga terutama ibu (Saputro D., 2012). Kualitas waktu kehidupan anak terbanyak dalam lingkungan keluarga. Orangtua khususnya ibu merasa kecewa dengan perilaku anak yang negatif, meski berulangkali diberi nasehat. Mereka menganggap perilaku anak dengan GPPH yang ditunjukkan anak adalah perilaku-perilaku yang dipaparkan sengaja. Hal tersebut memunculkan konflik antara anak dan orangtua. Anak dengan GPPH juga bermasalah di sekolah, tidak mampu berinteraksi dengan teman-teman, dan nilai prestasi sekolah yang buruk. Anak dengan GPPH banyak menimbulkan masalah yang dapat berdampak terhadap psikologis ibu sehingga rentan untuk mengalami gangguan cemas ataupun depresi (Ellison, 2015). 2.4.1 Prevalensi Depresi pada Ibu yang Memiliki Anak GPPH Ibu yang memiliki anak dengan GPPH memiliki peningkatan angka perceraian, penyalahgunaan zat, dan menderita depresi yang jauh lebih tinggi dari ibu yang memiliki anak-anak normal. Anak dengan GPPH membutuhkan lebih banyak perhatian, obat-obatan dan pengasuhan yang konsisten sehingga
21
menambah beban pengasuhan ibu, dimana ditemukan setidaknya 50% dari ibu-ibu yang memiliki anak dengan GPPH menjadi depresi
(Serpico, 2013; Ellison,
2015). Penelitian oleh Lee dkk. (2008) yang meneliti kepribadian ibu dari anakanak dengan GPPH dengan menggunakan Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), dimana didapatkan hasil skor depresi, histeria, dan psychastenia lebih tinggi dan bermakna secara statistik pada ibu dengan anak dengan GPPH dibandingkan kelompok kontrol, dengan mengontrol usia ibu, pendidikan ibu, jenis kelamin anak, usia dan jumlah dari Intellegence Quotient (IQ). 2.4.2 Dampak Depresi Ibu terhadap perkembangan anak GPPH Anak dengan GPPH menunjukkan perilaku yang buruk, seperti tidak mau diam, tidak patuh terhadap perintah, anak terlalu senang bermain, malas belajar. Orangtua kurang memahami tentang karakteristik gangguan GPPH beserta dengan gejala penyertanya. Orangtua menganggap bahwa gangguan ini merupakan sifat buruk anak (Saputro, 2009). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2013) tentang peran pendampingan regulasi emosi dalam menurunkan perilaku maltreatment fisik terhadap anak GPPH, dengan melakukan wawancara pada ibu yang memiliki anak yang terdiagnosis GPPH. Hasil dari penelitian tersebut bahwa ibu sering tidak sabar dan jengkel menghadapi perilaku anak dengan GPPH. Sikap ibu menjadi lebih kasar dan terkadang menjadi ringan tangan, mencubit dan memukul, menyeret ketika anak tidak segera melakukan instruksi yang diberikan, ibu merasa
22
anak merepotkannya dan ibu akan mudah mengalami suasana hati yang berubahubah dapat menyebabkan suasana hati yang buruk dan depresi. Sikap keras yang dilakukan oleh ibu dalam upaya mengendalikan anak, justru menjadi sebaliknya, anak menjadi marah dan menunjukkan sikap melawan, memiliki gejala impulsivitas dan kurangnya perhatian yang lebih parah dibandingkan anak dengan GPPH yang tidak mengalami kekerasan. Penelitian oleh Lee dkk. (2013) yang melanjutkan penelitian sebelumnya terhadap ibu yang memiliki anak dengan GPPH, menggunakan metode observarsional. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh depresi ibu terhadap anak GPPH dan menilai kualitas interaksi orangtua-anak. Penelitian ini membandingkan antara anak GPPH dengan ibu yang depresi, anak GPPH dengan ibu yang tidak depresi dan anak tanpa GPPH dengan ibu yang tidak depresi. Hasil dari penelitian ini adalah anak dengan GPPH yang ibunya mengalami depresi terjadi interaksi orangtua-anak yang kurang positif dibandingkan kelompok yang lain. Depresi ibu mungkin memainkan peran penting dalam presentasi afektif terhadap anak dengan GPPH dengan ibu yang depresi.
23