PELATIHAN PENGENDALIAN GERAK PADA ANAK YANG MENGALAMI GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DISERTAI HIPERAKTIVITAS
Nurul Afifah Fakultas Psikologi Universitas Padjdjaran Abstrak. Meningkatnya angka prevalensi terjadinya GPPH dan efek yang ditimbulkan dari tampilan perilaku anak GPPH, khususnya ketika berada pada setting belajar di kelas, membuat perlunya bentuk penanganan yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya adalah bentuk penanganan yang menyasar pada pengendalian gerak. Valett (1974) seorang ahli intervensi anak hiperaktif, membuat suatu bentuk latihan menggunakan rocking chair. Bentuk latihan tersebut kemudian dimodifikasi oleh peneliti sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan regulasi gerak pada anak GPPH berusia 8-9 tahun. Dalam latihannya tersebut, anak GPPH ditugaskan untuk menggerakkan rocking chair, namun menjaga tubuhnya untuk tetap diam. Pada pelaksanaannya, treatment ini ini diberikan menggunakan pendekatan psikoedukasional sehingga dibutuhkan keterlibatan aktif anak untuk meningkatkan self awareness terhadap perilakunya yang kurang efektif serta kesediaannya untuk mengubah perilakunya menjadi lebih efektif sesuai dengan tujuan. Pada penelitian ini digunakan rancangan single-subject dengan tipe ABAB. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada satu orang partisipan berusia 9 tahun didapatkan kesimpulan bahwa pemberian pelatihan menggunakan rocking chair dapat meningkatkan pengendalian gerak pada partisipan penelitian yang berusia 9 tahun dan didiagnosa mengalami GPPH. Hal ini dilihat dari penurunan gerak anggota tubuh saat duduk di setting latihan dan setting kelas. Data tersebut ditunjang pula dengan data hasil monitoring guru di sekolah dan orangtua di rumah selama pelatihan diberikan.
Kata kunci: GPPH, pengendalian gerak, self awareness, psikoedukasional, rocking chair
Abstract. The high number of ADHD prevalence and the effect that child with ADHD displayed was the background problem of this research. Child with ADHD is often show hyperkinetic behavior, such as restless, fidget, and unnecessary gross body movement. That problem need to be solve by make an appropriate form of treatment that targeting the main problem. The main problem of that behavior is their inability to control their motor, so we need to develop a treatment that targeting the motor control. Valett (1974) created a treatment using rocking chair. This form of exercise is then modified by the researchers so the treatment can be used to improve motor control of 8-9 years old ADHD children. In this treatment, child with ADHD assigned to rock the rocking chair but keep his body to remain silent. This treatment is given using psikoedukasional approach that takes the active involvement of children to increase his self-awareness. This study used Single-Subject Design with ABAB type. Based on research conducted on 9-year-old participant concluded that participant show of reduction of motor activity number in school and treatment setting. Its mean that the participant has shaped his motor control skill. The data is supported also by the teacher’s monitoring records at school and parents at home during the training given. Keywords: ADHD, motor control, self awareness, psikoedukasional, rocking chair
I.
Pendahuluan
Anak dengan GPPH memiliki ciri tidak bisa memfokuskan perhatiannya, tidak bisa diam, dan tidak dapat mengendalikan gerak tubuhnya untuk diarahkan sesuai dengan tujuan (Barkley, 1998). Hasil studi awal pada anak GPPH usia 8 tahun didapatkan bahwa anak memperlihatkan gerakan fisik yang berlebihan saat duduk, yaitu menggerak-gerakkan tangan, kaki, dan badannya, baik di sekolah maupun di rumah. Padahal seharusnya pada usia tersebut anak sudah memiliki kemampuan pengendalian gerak yang baik, seperti bertahan duduk tenang lebih lama dan tidak menggerak-gerakkan anggota tubuhnya, dan berminat menyelesaikan tugasnya.
Ketidakmampuan anak GPPH dalam mengendalikan gerak tubuhnya berdampak pada kegagalannya dalam mengikuti tuntutan akademik. Anak seringkali tidak dapat menyelesaikan tugas, nilai yang diperoleh rendah, dan mengganggu proses belajar mengajar di kelas. Bila perilaku tersebut tidak ditangani sejak dini, kedepannya hal tersebut dapat mengganggu kehidupannya secara umum. Permasalahan pada anak GPPH adalah keterbatasannya dalam mengendalikan tubuhnya atau keterbatasan dalam kemampuan motor control. Keterbatasan tersebut ditunjukkan dengan seringnya anak menggerakan anggota tubuhnya, seperti tangan dan kaki, duduk tidak tenang, dan mengubah posisi saat berada dalam posisi duduk. Oleh karena itu, untuk menanggulangi permasalahan tersebut diperlukan penanganan yang bentujuan untuk meningkatkan pengendalian geraknya. Bentuk latihan menggunakan rocking chair yang dikembangkan oleh Valett (1974) tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan suatu kemampuan, yaitu pengendalian gerak melalui pemberian tugas diam dan bergerak secara bersamaan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan tampilan perilaku aktual yang ia tunjukkan melalui pendekatan psikoedukasional. Kedua hal ini membuat bentuk latihan tersebut cocok diberikan pada anak yang mengalami GPPH. Rocking chair sebagai peralatan utama dalam penelitan memiliki prinsip gerak teratur dan beritme. Gerak teratur yang dimaksud adalah rocking chair secara konsisten dan berulang bergerak dengan pola tertentu, yaitu ke depan dan ke belakang. Gerakan beritme pada rocking chair yang dimaksud adalah ketika ada orang yang menggerakkannya ke depan, ia akan bergerak juga ke belakang secara otomatis dengan kecepatan yang sama. Gerakan ritmik dan berulang dari rocking chair tersebut dapat meningkatkan kenyamanan dan mengurangi gerak pada individu yang menggunakannya.
II.
Kajian Pustaka
2.1. Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH) Pengertian Anak yang dikatakan GPPH adalah mereka yang mengalami masalah dalam gangguan perilaku yang ditandai dengan inatensi (gangguan pemusatan perhatian dan gangguan konsentrasi), impulsif (berbuat dan berbicara tanpa memikirkan akibatnya), dan hiperaktif yang tidak sesuai dengan umurnya. Gangguan ini merupakan salah satu gangguan yang paling sering dijumpai pada masa anak-anak dan dapat terus berlanjut hingga remaja dan dewasa (Barkley, 2006). Hiperaktivitas paling sering dijumpai sebagai kegelisahan, tidak bisa diam (restless), tangan dan kaki selalu bergerak dan tubuh secara menyeluruh bergerak tidak sesuai situasi. Gerakan-gerakan tersebut tanpa tujuan, tidak sesuai dengan tugas yang sedang dikerjakan atau situasi yang ada. Perilaku anak dengan gangguan ini sangat dikendalikan oleh imbalan dari luar yang segera dapat diperoleh. Gejala hiperaktivitas bukan merupakan gejala yang terpisah dari impulsivitas. Orangtua dan guru sering mengungkapkan gejala impulsivitas sebagai anak yang usil, mengganggu temannya, sering tidak sabar, cepat bosan, ataupun sering tidak sabar menunggu giliran (Dwijo, 2009; dalam Eva Nila Krisnawati, 2011). Gejala Utama GPPH GPPH adalah suatu gangguan perilaku yang memiliki gejala utama berupa ketidakmampuan anak untuk memusatkan perhatian (inatensi), impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan ciri-ciri tahapan perkembangan anak (Flick, 1998; Barkley, 1988; dan Silver, 1999). Tampilan penting dari gangguan ini berupa pola menetap akan inatensi dan atau hiperaktif-impulsif yang lebih sering dan lebih berat dari yang biasa terobservasi pada individu dengan level perkembangan yang sama. Adapun penjelasan dari dua gejala utama tersebut adalah sebagai berikut: a. Inatensi Inatensi atau pemusatan perhatian yang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain (Flick, 1998; Barkley, 1988; dab Silver, 1999). b. Hiperaktivitas dan Impulsivitas Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana ke mari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik. Anak yang hiperaktif berkaitan dengan gerakan motorik yang berlebihan. Biasanya gerakan tersebut tidak terarah dan tidak tepat dengan
tuntutan tugas. Kualitas dari gerakan terlihat energik secara berlebihan, ceroboh, tidak teratur dan kurang bertujuan. Masalah hiperaktivitas ini tidak akan terlihat atau dikenali sebelum anak ditempatkan pada situasi yang menuntutnya untuk diam lama dan mengendalikan perilaku atau gerakannya dalam rentang waktu yang lama. Pada situasi kelas yang terstruktur tentu saja perilaku hiperaktivitas ini akan menjadi masalah yang sangat jelas tidak dapat disangkal. Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Mereka mengalami keadaan dimana mereka tidak dapat mengendalikan tingkah laku dirinya dan tidak membuat perencanaan terlebih dahulu sebelum berperilaku. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah tidak sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan, menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan, dan tidak bisa menunggu giliran. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Penyebab Munculnya Keluhan GPPH GPPH merupakan suatu gangguan yang bersifat multifaktorial. Banyak faktor yang dianggap sebagai penyebab gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik, perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, tingkat kecerdasan (IQ), terjadinya disfungsi metabolism, ketidakteraturan hormonal, lingkungan fisik, sosial dan pola pengasuhan anak oleh orangtua, guru dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya. Berdasarkan pemikiran dari Sears & Thompson (1998), dan Barkley (1998) maka penyebab munculnya GPPH dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu: 1. Faktor fisik/neurologis Banyak bukti yang menunjukkan berkurangnya kegiatan pada daerah‐daerah tertentu di otak sebagai penyebab yang paling mungkin dari sebagian besar bentuk gangguan pemusatan perhatian (Martin, 2007:77). Menurut Barkley (2006:220), secara umum fungsi kerja otak yang kurang optimal terjadi pada bagian frontal lobe khususnya pada kortek prefrontal sehingga menyebabkan masalah dalam melakukan atensi (fungsi kognitif) dan pengendalian, serta koordinasi gerak tubuh (fungsi motorik). Dalam penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan EEGs dan MRI didapatkan gambaran disfungsi otak di daerah prefontral kanan yang mengimplikasikan terjadinya hambatan terhadap respon‐respon yang tidak relevan dan fungsi‐fungsi tertentu (Barkley, 2006:221). Bagian otak tersebut memiliki kemampuan fungsi eksekutif yang bertugas untuk mengatur rangsang dan mengarahkan tindakan agar mencapai tujuan yang terarah. Pada anak GPPH tidak dapat menggunakan fungsi eksekutif tersebut secara penuh untuk mengelola dirinya (Rief, 2005). Menurut Lewis (2002), anak yang mengalami GPPH memiliki area cortical yang belum sepenuhnya aktif. Fungsi cortical area ini berkaitan dengan atensi, kontrol impuls, dan mengintegrasikan stimulus. Area tersebut dapat distimulasi sehingga fungsinya sebagai pemusat perhatian, pengontrol impuls, dan perencanaan mengalami peningkatan. Anak yang mengalami GPPH memiliki permasalahan dalam perkembangan area korteks tersebut. Permasalahan tersebut dapat disebabkan oleh area korteks yang belum sepenuhnya aktif akibat adanya ketidakseimbangan neurotransmitter yaitu dopamine, norephinephrine, dan serotonine. Keadaan ini membuat anak GPPH sulit memusatkan perhatiannya pada stimulus penting yang spesifik dan terhambatnya kemampuan mempertahankan atensi. Sedangkan penelitian dengan menggunakan PET untuk mengukur metabolisme gula di dalam sel‐sel otak orang dewasa yang mengalami GPPH sejak masa kanak‐kanak menunjukkan bahwa premotor cortex dan superior prefrontal cortex yang terlibat dalam pengaturan perhatian dan kontrol motoriknya lebih rendah 8% dibandingkan dengan kelompok kontrol (Martin, 2007:72) 2. Permasalahan Psikologis Faktor psikologis ini berkaitan dengan kurangnya pemberian treatment ataupun stimulasi yang dapat membantu anak untuk dapat mengendalikan atensi dan tampilan perilaku secara mandiri. Selain itu juga dapat disebabkan karena faktor lingkungan psikososial yang kurang mendukung, seperti kesibukan orang tua sehingga memiliki kualitas interaksi yang kurang kondusif bagi anak, kejadian fisik yang menimbulkan stres, temperamen anak, ataupun kurangnya contoh perilaku yang menunjukkan pengendalian perilaku secara tepat (Barkley, 2006:231) Walaupun masih terus diperdebatkan, namun berdasarkan pendapat beberapa ahli, yaitu Vallet (1974), Flick (1998), dan Barkley (2006) terdapat suatu pernyataan yang sama mengenai faktor penyebab munculnya gejala
GPPH, yaitu lebih merupakan suatu interaksi antara kemungkinan kontribusi dari gangguan aktivitas fungsi otak dan dipengaruhi oleh keunikan pengalaman dari lingkungan individu sehingga membentuk suatu bentuk perilaku GPPH yang berbeda‐beda. Behavioral Disinhibition pada Anak GPPH Kondisi rendahnya kemampuan untuk melakukan pengendalian perilaku dan mengontrol impuls dalam dirinya untuk melakukan perilaku yang sesuai dengan situasi sosial dan memilah stimulus yang penting disebut dengan behavioral/congnitive disinhibition. Kondisi inilah yang menghambat proses atensi (selectived and sustained attention), kontrol motorik (hyperactivity dan impulsivity), dan regulasi emosi (temper dan agresivitas) (Lewis, 2002; Ellison & Clikeman, 2007). Sedangkan sumber lain mengatakan bahwa masalah pada behavioral inhibition menjadi pusat masalah setidaknya untuk dua subtipe gangguan GPPH (Barkley, 1997; Pennington & Ozonoff, 1996; Quay, 1988a, 1988b). Menurut Barkley (2006) masalah utama pada anak dengan GPPH adalah kurang terlibatnya response inhibition. Kekurangan ini mengarah pada bermasalahnya pemfungsian executive function yang bergantung pada inhibition agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif. Terjadinya masalah kedua dan kekurangan utama pada behavioral inhibition mengakibatkan berkurangnya efektivitas motor (behavioral) control dan self-directed action. Behavior Inhibition System (BIS) pada anak yang mengalami GPP/GPPH berbeda dengan anak normal dimana berkurang tingkat sensivitasnya terhadap sinyal yang menunjukkan kondisi aktualnya saat itu. Masalah ini terkait dengan kurangnya self-awareness, dimana anak seringkali memberikan respon yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas sehingga anak sering terlihat melakukan aktivitas yang dinilai tidak relevan dengan tuntutan tugas (activity level) dan kurangnya kontrol internal (internal control). Dengan menumbuhkan self-awareness pada anak yang mengalami GPPH dinilai merupakan cara yang lebih efektif dalam mengaktifkan BIS (Barkley, 1997). Valett (1974), Flick (1998), dan Silver (1999) mengemukakan bahwa self-awareness itu sendiri memiliki arti sebagai kondisi dimana individu menyadari kondisi aktual (performance) dirinya dan juga secara terbuka menerima perlu adanya perbaikan akan kondisinya tersebut Executive Function pada Anak GPPH Permasalahan pada Behavior Inhibition System (BIS) memunculkan permasalah kedua, yaitu permasalahan pada kemampuan neuropsychological yang biasa disebut dengan executive function. Executive fuction (EF) sendiri merujuk pada fungsi kognitif pusat yang memiliki peran penting bagi diri seorang individu untuk mengatur berbagai tugas di kehidupan sehari-hari. Salah satu model dari EF terdiri dari 6 kluster fungsi kognitif yang bermasalah pada individu dengan GPPH. Keenam kluster tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Executive Function (bekerja bersama dalam berbebagai kombinasi)
Organizing , prioritizing, and activating to works
Focusing, sustaining, and shifting attention to task
Regulating alertness, sustaining effort, and processing speed
Managing frustration and modulating emotion
Utilizing working memori and accessing recall
Monitoring and self regulating action
1. Activation
2. Focus
3. Effort
4. Emotion
5. Memory
6. Action
Gambar 1 Executive function impaired in ADD/ADHD (Brown, 2001) Pada kluster 1 (Activation), permasalahan yang muncul pada individu dengan GPPH adalah mereka sulit untuk memulai dan tidak dapat membuat prioritas. Mereka lebih sering menunda pekerjaan yang harus mereka lakukan pada detik-detik akhir waktu pengerjaan atau disebut juga dengan prokrastinasi. Prokrastinasi lebih banyak muncul ketika tugas tersebut tidak menarik bagi individu tersebut. Pada kluster 2 (Focus), individu dengan GPPH mengalami kesulitan untuk mengarahkan perhatiannya pada suatu tugas terutama ketika tugas tersebut merupakan tugas yang diminta oleh orang lain bukan tugas yang
sesuai dengan minatnya. Mereka juga mudah terdistraksi dan sulit untuk memindahkan fokusnya pada hal lain ketika ia sudah dapat fokus pada suatu hal (hyperfokus). Pada kluster 3 (Effort), individu terlihat mengalami kesulitan ketika harus mempertahankan perhatiannya dalam waktu lama. Mereka akan lebih mudah mempertahankan perhatiannya ketika kegiatan yang dilakukan bersifat motorik. Mereka harus merasakan sendiri dirinya bergerak, mendengarkan suara mereka sendiri, dan berpartisipasi secara aktif pada kegiatan tersebut. Selain itu, mereka juga membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan tugas dan tidak dapat menyesuaikan kecepatan dirinya dengan tuntutan tugas. Pada kluster 4 (Emotion), individu mengalami kesulitan dalam mengatasi frustrasi dan meregulasi emosinya. Walaupun DSM-V tidak menyebutkan symptom yang berkaitan dengan emosi pada GPPH, banyak individu dengan GPPH memperlihatkan kesulitan dalam mengatur emosinya. Pada kluster 5 (Memory), individu dengan GPPH memperlihatkan kemampuan yang baik dalam mengakses memori jangka panjangnya, namun memori jangka pendekdan working memory-nya buruk sehingga ia seringkali melupakan hal yang mau ia kerjakan atau bicarakan. Pada kluster 6 (Action), individu dengan GPPH mengalami kesulitan dalam mengendalikan dirinya sehingga tingkah laku yang ia perlihatkan mengesankan bahwa tingkah laku tersebut tidak dipikirkan terlebih dahulu. Mereka seringkali memperlihatkan tingkah laku yang tidak terarah, tidak bertujuan, restless, wild, dan impulsive. Keenam kluster di atas bekerja secara bersama-sama dalam berbagai kombinasi. Individu yang didiagnosa GPPH memperlihatkan kesulitan kronis yang cukup signifikan pada beberapa kluster di atas. Impairmen pada kluster fungsi kognisi di atas biasanya akan muncul secara bersamaan atau berkaitan satu sama lain. Di sisi lain, kluster fungsi kognitif tersebut juga akan mengalami kemajuan secara bersamaan. Ketika individu dengan GPPH mendapatkan penanganan dan memperlihatkan kemajuan yang positif pada salah satu kluster di atas, maka kelima kluster lainnya juga akan memperlihatkan kemajuan ke arah positif. Pengendalian gerak pada Anak GPPH Nigg (2006) mengindikasikan bahwa anak yang mengalami GPPH memiliki kesulitan dalam pengendalian gerak dan timing. Bentuk masalah pengendalian gerak yang sering diperlihatkan adalah gerakan tubuh dan anggota tubuh yang berlebihan dan tidak perlu (restless, fidget, and unnecessary gross body movement). Berdasarkan hasil studi terbaru yang dilakukan oleh Denckla diketahui bahwa bentuk gerak tubuh yang diperlihatkan oleh anak GPPH berhubungan dengan kegagalannya dalam mekanisme inhibisi (Mostofsky et al, 2003). Mekanisme inhibisi tersebut erat kaitannya dengan executive function, sebagaimana dinyatakan oleh Fuster (1980,1989) bahwa terdapat 3 hal yang dapat menggambarkan pengaruh executive function terhadap motor control atau pengendalian gerak, yaitu 1) informasi yang tersimpan dalam ingatan mengenai pengalaman dan tindakan yang sudah pernah dilakukan, yang memberikan pengaruh terhadap tindakan yang akan dilakukan selanjutnya, 2) pengaturan antisipasi dari premotor dan fungsi motor, dan 3) inhibisi motor impulse. Kekurangan anak GPPH dalam kontrol inhibisi yang diperlukan untuk menunda respon, menghentikan respon, dan pengendalian terhadap hal yang dapat mengganggu (interference control) merupakan alasan mengapa anak dengan GPPH menunjukkan ciri-ciri distracability, hyperactivity, dan impulsivity (Barkley, 1996). Inatensi pada GPPH bukanlah gejala utama melainkan gejala kedua, yang merupakan konsekuensi dari bermasalahnya behavioral inhibition dan interference control. Kurangnya kemampuan sustained attention pada anak GPPH tampil dalam bentuk masalah di goal/task-directed persistence akibat kurangnya inhibition (interference control) dan executive function yang penting bagi pengendalian diri dan ketekunan dalam mengerjakan tugas (task-persistence) (Barkley, 2006). Treatment untuk Anak GPPH Kapplan & Saddock (2003) mengemukakan bahwa terdapat penanganan bersifat medis berupa farmakoterapi dan juga penanganan psikososial berupa pemberian intervensi untuk mengubah perilaku, baik yang dilakukan oleh ahli terapi, orangtua, guru, dan berbagai pihak terkait. Penanganan secara medis saja dikatakan belum memuaskan untuk mengubah perilaku yang bermasalah pada anak GPPH. Penelitian menunjukkan bahwa medikasi yang digunakan untuk mengendalikan perilaku impulsif dan kesulitan atensi lebih efektif jika dikombinasikan dengan terapi perilaku. Dalam perkembangannya muncul bentuk terapi perilaku yang lebih menekankan keterlibatan aktif anak dalam penumbuhan kesadaran (self-awareness) akan perilaku yang kurang efektif pada penderita GPPH. Valett (1974), Flick (1988), dan Silver (1999)
mengemukakan bahwa self-awareness itu sendiri memiliki arti sebagai kondisi dimana anak menyadari kondisi aktual (performance) dirinya dan juga secara terbuka menerima perlunya perbaikan akan kondisinya tersebut. Dengan adanya keterlibatan aktif dalam memunculkan kesadaran dan penerimaan diri ini, maka merupakan dasar untuk melakukan perubahan perilaku ke arah yang lebih adaptif dan efektif. Salah satu pendekatan yang bertitik berat pada keterlibatan aktif anak yang mengalami masalah atau gangguan adalah pendekatan psikoedukasional, yang dapat ditujukan bagi anak-anak dengan masalah neurologis, retardasi mental, masalah emosional, dan gangguan perilaku lainnya yang dikarakteristikan oleh perilaku inatensi, distractibility, hiperaktif, dan rendahnya self-control (Vallet, 1969). Dengan demikian pendekatan psikoedukasional ini dapat diterapkan bagi anak yang mengalami GPPH. 2.2. Pendekatan Psikoedukasional dan penerapannya pada treatment GPPH Pendekatan psikoedukasional termasuk ke dalam bentuk penanganan psychodynamic behavior-management, yaitu upaya pengubahan perilaku yang memperhatikan keterkaitan antara faktor dalam diri, faktor lingkungan, dan juga berbagai peristiwa yang terjadi dalam rentang kehidupan subjek. Dengan demikian, dalam penanganannya, pendekatan ini menitikberatkan pada pentingnya penanganan secara individual pada tiap individu yang bermasalah. Pendekatan psikoedukasional memandang pendamping sebagai seorang guru, dan anak sebagai muridnya. Seperti dalam proses belajar, maka guru hanya mengenalkan dan membantu jalannya pembelajaran, sedangkan persyaratan utama tercapainya keberhasilan terletak pada keterlibatan aktif dari murid dalam proses belajar. Dengan demikian seperti yang dikatakan oleh Valett (1974) terdapat pergeseran pemaknaan “anak bermasalah”, yaitu dari anak yang mencari pertolongan untuk keluar dari masalahnya menjadi seorang anak yang dipandang mampu untuk secara aktif terlibat dalam proses belajar, bahkan mampu mengarahkan proses belajarnya sendiri, daripada hanya secara pasif menerima perlakuan dari pendamping. Pendekatan psikoedukasional memandang permasalahan anak sebagai akibat dari kurangnya penguasaan terhadap tampilan perilaku yang dibutuhkan untuk dapat menjalani kehidupan secara adaptif dan efektif (Vallet, 1974). Pendekatan ini memperhatikan pada keterkaitan antara proses kognitif dan juga afektif dalam upaya pemunculan perilaku. Faktor utama yang dituju dalam pendekatan ini adalah kesadaran anak (self-awareness) akan adanya perilaku yang tidak efektif, dan menyadarkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk belajar meningkatkan perilaku tersebut ke arah yang lebih efektif. Self-awareness merupakan hal pokok di dalam belajar. Masalah yang sering muncul pada tahap ini adalah tidak adanya perilaku yang berorientasi pada tujuan. Masalah umum yang berkaitan dengan tingkat awareness pada anak GPPH adalah tidak adanya perilaku yang mengarah pada tujuan (goal-directedness), adanya masalah dalam tingkat aktivitas dimana anak seringkali memberikan respon yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas sehingga anak sering terlihat melakukan aktivitas yang dinilai tidak relevan dengan tuntutan tugas (activity level) dan kurangnya kontrol internal (internal control). Dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari treatment yang diberikan tidak sekedar untuk melatih keterampilan atau kemampuan tertentu, namun juga ditujukan untuk menumbuhkan adanya pengendalian diri melalui kesadaran akan tampilan perilaku aktual dan kemampuan yang dimilikinya. Upaya penumbuhan self-awareness tidak hanya terbatas pada pelaksanaan suatu teknik namun selalu disertai dengan diskusi dua arah yang juga menuntut keterlibatan aktif anak dalam membahas tampilan perilakunya saat ini. Umpan balik dinilai penting terutama saat anak menampilkan perilaku yang salah. Umpan balik yang diberikan harus diingat oleh anak untuk membantu perencanaan tampilan perilaku yang lebih efektif yang selanjutnya akan menghasilkan perubahan perilaku untuk mencapai kondisi yang diinginkan (Barkley, 1998; dalam Laila Qodariah, 2010). Dalam proses kognitif, umpan balik yang diperoleh anak ditangkap sebagai sinyal adanya perilaku yang tidak efektif pada dirinya. Umpan balik menunjukkan diskrepansi antara tuntutan kondisi aktual dengan kondisi tampilan perilaku yang dipengaruhi dorongan internal serta ketepatan pencapaian hasil. Dengan menggunakan informasi yang sudah pernah terjadi, maka akan membantu anak untuk meregulasi tingkah laku saat ini (present behavior) serta membantu mengantisipasi terhadap kejadian mendatang (future events). Interaksi antara kejadian dan respon yang ditampilkan pada masa lalu yang terjadi pada diri anak akan diaktifkan kembali dan disimpan dalam ingatan jangka panjang untuk mempersiapkan anak di masa depan dengan arah terus menumbuhkan self-awareness anak.
Tujuan ini dapat menjawab permasalahan bahwa GPPH adalah gangguan dalam tampilan perilaku. Hal ini berarti kebutuhan penangan pada anak dengan GPPH bukanlah semata-mata pada keterampilan begaimana suatu perilaku dapat ditampilkan, namun lebih kepada kesadaran bahwa mereka membutuhkan pengubahan tampilan perilaku yang lebih efektif, dan juga kesadaran bahwa mereka memiliki kemampuan untuk belajar mengendalikan tampilan perilaku mereka sendiri. 2.3. Prinsip pelatihan untuk anak dengan GPPH Pada dasarnya suatu proses pelatihan sama dengan proses belajar, dimana pelatihan merupakan suatu cara untuk belajar, membiasakan diri, atau mengajarkan seseorang supaya menjadi tahu, terbiasa, atau terampil mengenai sesuatu yang dipelajarinya, baik dalam cakupan kognitif, afektif, maupun psikomotor (Kohls, 1995). Sohlberg et al (1993) menyatakan bahwa terdapat 6 prinsip dasar dalam suatu program pelatihan yang ditujukan untuk individu dengan cognitive impairment, termasuk GPPH, yaitu: 1. Menggunakan model teoritis Model teoritis digunakan sebagai dasar dan acuan dalam pembuatan suatu program pelatihan. 2. Program yang digunakan tersusun dengan sistematis Dalam penyusunan suatu program pelatihan perlu dipertimbangkan tingkat kesulitan dan peningkatan dari tingkat kesulitan tersebut dengan memperhatikan kaitannya dengan kondisi yang mungkin ditemui oleh individu sehari-hari. 3. Perlu adanya repetisi Pemberian kesempatan dan latihan melalui pemberian treatment yang berulang merupakan salah satu cara untuk mendapatkan suatu perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar. 4. Seri/rangkaian dari program yang diberikan merupakan pemberi/sumber data Progres yang diperlihatkan individu selama melakukan rangkaian program merupakan salah satu cara untuk memberikan data mengenai performa individu selam melakukan treatment. 5. Program yang dilakukan harus dapat digeneralisasikan pada situasi sehari-hari Kemampuan untuk dapat digeneralisasikan dalam kehidupan sehari-hari merupakan tujuan utama dari suatu program pelatihan. Hasil yang didapatkan oleh individu dalam pelatihan tersebut hendaklah dapat digunakan juga dalam situasi lain. 6. Keberhasilan dari program yang diberikan akan tercermin dari perubahan pada fungsi akademis 2.4. Prinsip Belajar dalam pelatihan Pelatihan merupakan suatu cara untuk belajar, membiasakan dirim atau mengajarkan seseorang untuk mengetahui, terbiasa atau terampil mengenai sesuatu yang dipelajarinya, baik dalam cakupan kognitif, afektif maupun psikomotor (Kohls, 1995). Dalam proses belajar, menurut Valet (1969) terdapat beberapa prinsip belajar sebagai berikut: 1. Kesiapan (readiness) Anak akan belajar jika ia memiliki minat dan keinginan untuk belajar. oleh karena itu, anak perlu diberitahukan tujuan dari pembelajaran yang akan dilakukan. Selain itu perlu diketahui pula apa yang menjadi ketertarikan anak 2. Efek Perlu dibuat suatu rancangan pembelajaran yang terprogram yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan kemampuan anak untuk mempertinggi pengalaman dengan sukse. Dengan demikian, diharapkan efek dari belajar akan lebih membuatnya bersemangat untuk terus meningkatkan kemampuannya 3. Cue discrimination Perlu dibuat suatu program sehingga anak diperkenalkan secara jenjang dari tingkat yang paling mmudah ke tingkat yang paling sulit. Peralatan yang digunakan sebaiknya tidak asing bagi anak. 4. Adanya penguat (reinforcement) Yaitu supaya untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan. Penguatan ini tidak harus selalu dalam bentuk benda. Keterlibatan (involvement) anak dalam kegiatan belajar, juga merupakan suatu penguat yang dirasakan sendiri oleh anak 5. Latihan dan umpan balik (drill and feedback) Anak perlu dilibatkan dalam proses latihan dan mengevaluasi tampilan prestasinya sendiri dan untuk menentukan perbaikan dari kegagalan yang telah dibuatnya 6. Transfer dan generalisasi (transfer and generalization) Keterampilan atau kemampuan yang telah dimiliki anak dari suatu pembelajaran sifatnya menetap dan dapat diterapkan anak pada situasi di luar treatment dalam setting yang menuntut hal yang sama. Yang penting adalah dengan memberika gambaran pada situasi apa dan bagaimana keterampilan tersebut diterapkan. Hal ini terkait dengan prinsip berikutnya insight a& understanding
7.
Insight dan pemahaman (insight and understanding) Anak perlu dibimbing untuk mengetahui bagaimana kemampuan/pengetahuan baru yang ia peroleh dapat bergna dalam pemecahan masalah yang dialaminya. Dengan demikian anak diharapkan dapat berguna dalam pemecahan masalah serupa apa yang dialaminya sesuai dengan yang ia butuhkan.
2.5. Latihan menggunakan rocking chair untuk anak GPPH Latihan menggunakan rocking chair merupakan salah satu bentuk psikoedukasional yang bertujuan untuk melatih anak mengendalikan gerakan tubuhnya melalui kombinasi tugas diam dan bergerak (Valett, 1974). Diam yang dimaksud adalah duduk diam dan tidak menggerakkan anggota tubuh saat duduk, sedangkan bergerak yang dimaksud adalah menggerakkan rocking chair ke depan dan ke belakang. Tugas duduk diam dan tidak menggerakkan anggota tubuh secara langsung melatih anak untuk dapat mengendalikan gerak tubuhnya melalui menurunan frekuensi gerak anggota tubuh. Sedangkan pada tugas menggerakkan rocking chair, anak berlatih mengendalikan gerak tubuhnya melalui proses yang ia lakukan selama mengendalikan gerakan rocking chair. Rocking chair sebagai peralatan dalam pelatihan memiliki 2 hal yang dapat mendukung proses latihan mengendalikan gerak, yaitu: 1) Rocking chair memiliki mekanisme gerak teratur Gerakan dari rocking chair termasuk gerak linear yang secara konsisten dan berulang bergerak dengan pola tertentu, yaitu ke depan dan ke belakang. Gerakan seperti ini disebut juga gerakan ritmik. Ritme merupakan ketetapan waktu dan aturan yang absolute. Ritme pada gerakan ritmik memberikan stimulasi yang saling bertukar/bolak-balik (alternating stimulation) pada otak melalui sinyal-sinyal saraf dari sel-sel sensoris pada indera vestibular, tactile, dan proprioceptive. Sinyal-sinyal saraf kemudian dipancarkan ke otak melalui zatzat pemancar (transmitter) seperti dopamine, glutamate, dan gamma-Aminobuturic acid (GABA). Stimulasi yang saling bertukar/bolak-balik lebih efisien dibandingkan stimulasi yang tidak terputus. Otak dengan cepat terbiasa dengan stimulasi yang cepat dan konstan (Bloomberg, 2011). Gerakan ritmik dan berulang dari rocking chair tersebut meskipun tidak diketahui seperti apa mekanisme fisiologisnya secara tepat, berdasarkan penelitian Robert L. Massey (2010), gerakan rocking chair tersebut dapat meningkatkan kenyamanan dan mengurangi gerak pada individu yang menggunakannya. 2) Rocking chair memiliki sifat inersia. Sifat inersia1 pada rocking chair dapat menentukan ritme dari gerakan yang dihasilkan sehingga ketika ada orang yang menggerakkannya ke depan, ia akan bergerak juga ke belakang secara otomatis. Individu yang menggunakan rocking chair tidak mengendalikan arah gerakan namun mengendalikan amplitudo dari gerakan yang dirasakan nyaman oleh anak. Pada saat mengendalikan amplitodo dari rocking chair tersebut anak menggunakan keterampilan closed motor-nya, yaitu setiap gerakan tubuh atau gerakan benda di sekitar tubuh merupakan inisiatif dan diatur secara sadar oleh anak. Oleh karena itu, keterampilan ini juga dikatakan self paced. Kemampuan closed motor merupakan kemampuan paling dasar dari kemampuan motor seseorang (Gentile, 2000). Anak akan mendapatkan langsung feedback dari gerakan yang dihasilkan oleh rocking chair mengenai performanya atau usaha pengendalian yang telah ia lakukan. Umpan balik tersebut adalah gerakan yang dihasilkan oleh rocking chair dianggap nyaman atau tidak nyaman oleh anak. Ketidaknyamanan anak akan terjadi ketika ia menghasilkan gerakan kursi yang tidak teratur. Hal ini berarti anak tidak dapat mengendalikan gerakan kursi. Sebaliknya kenyamanan akan dirasakan oleh anak ketika ia dapat menghasilkan gerakan kursi yang teratur. Keteraturan akan menimbulkan kenyamanan pada anak sebagaimana dinyatakan oleh Robert L. Massey (2010). Keteraturan dari gerakan kursi memperlihatkan bahwa anak dapat mengendalikan gerakan kursi.
III.
Metodologi
Desain penelitian yang digunakan adalah single-subject research design tipe ABAB. Pada penelitian ini hanya digunakan satu partisipan untuk melihat pengaruh suatu kondisi treatment. Dasar perbandingan respon yang 1
Kecenderungan benda atau tubuh untuk tetap diam saat berada dalam keadaan istirahat; ketahanan benda atau tubuh terhadap perubahan momentum
digunakan dalam single-subject research design adalah respon pre-treatment dari partisipan itu sendiri. Oleh karena itu, penting dilakukan pengukuran secara berulang pada variabel terikat, yaitu regualsi gerak, baik sebelum dan setelah treatment. Dalam desain tipe ABAB terdapat dua macam kondisi, yaitu kondisi A dan kondisi B. Kondisi A adalah kondisi baseline. Pada kondisi ini perilaku yang menjadi target dicatat dalam keadaan bebas (tanpa treatment). Dalam penelitian ini yang menjadi target perilaku adalah regulasi gerak. Pencatatan target perilaku pada kondisi A pertama dilakukan selama 3 hari di setting kelas. Pengukuran dilakukan pada mata pelajaran tematik karena mata pelajaran tersebut melibatkan kegiatan membaca, menulis, dan berhitung. Menurut Barkley (1998) anak yang mengalami GPPH memerlukan konsentrasi tinggi pada kegiatan-kegiatan tersebut sehingga ketika pelajaran berlangsung anak diharapkan untuk dapat duduk dengan tenang di tempat duduknya. Kondisi B adalah kondisi eksperimen. Pada kondisi ini treatment berupa latihan menggunakan rocking chair diberikan sebagai usaha untuk mengubah perilaku yang dicatat selama fase baseline. Pada kondisi A kedua ini pengukuran yang dilakukan sama dengan pengukuran pada kondisi A pertama. Tujuan dari pengukuran A kedua ini adalah memperoleh informasi mengenai target perilaku setelah treatment diberikan. Setelah itu dilanjutkan lagi dengan kondisi B kedua. Bentuk desain yang akan digunakan di dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 1 Bentuk rancangan penelitian: ABAB design Fase A Fase B Fase A Fase B Baseline
Treatment
Baseline
Treatment
O1 O2 O3
X1 X2 X3… X6
O4 O5 O6
X7 X8 X9… X12
Keterangan:
a.
Baseline pertama (O1 – O3 ) : Hasil pengukuran frekuensi gerak anggota tubuh saat duduk di kelas yang diperoleh dengan teknik observasi terstruktur sebelum diberikannya treatment b. Treatment pertama (X1-X6) : Pemberian treatment berupa latihan menggunakan rocking chair c. Baseline kedua (O4 – O6) : Hasil pengukuran frekuensi greak anggota tubuh saat duduk di kelas yang diperoleh dengan teknik observasi terstruktur setelah diberikannya treatment d. Treatment kedua (X7-X12) : Pemberian treatment berupa latihan menggunakan rocking chair
IV.
Hasil dan Pembahasan
Evaluasi hasil latihan dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian, yaitu “Latihan Menggunakan Rocking chair dapat membentuk kemampuan pengendalian gerak pada anak usia 8-9 tahun yang mengalami mengalami gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas (GPPH)”. Analisis data yang dilakukan akan dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu 1) Hasil dan analisis data pembentukan pengendalian gerak pada setting kelas, 2) Hasil dan analisis data pembentukan pengendalian gerak pada setting latihan, dan 3) Hasil pengujian hipotesis 4.1. Hasil dan analisis data pembentukan pengendalian gerak pada setting kelas Data pengendalian gerak subjek pada setting kelas didapatkan pada setiap fase A (baseline) atau disebut juga fase tanpa treatment. Dalam penelitian ini pada masing-masing fase A dilakukan 3 kali pengukuran melalui kegiatan observasi di setting kelas. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut:
FASE BASELINE
GERAKAN TANGAN 7
Tabel 2 Hasil Pengukuran Fase A (Baseline) FREKUENSI GERAK TIDAK TERATUR GERAKAN GERAKAN GERAKAN KAKI TUBUH KEPALA 9 18 5
TOTAL 39
RATA-RATA FREKUENSI GERAK 35,33
FASE PERTAMA BASELINE KEDUA
FREKUENSI GERAK TIDAK TERATUR GERAKAN GERAKAN GERAKAN KAKI TUBUH KEPALA 1 7 5 7 25 3 6 12 3 6 11 3 7 15 0
GERAKAN TANGAN 9 10 7 7 8
TOTAL
RATA-RATA FREKUENSI GERAK
22 45 28 27 30
28,33
Hasil pengukuran fase A di atas akan dianalisis menggunakan dua cara, yaitu pertama adalah membandingkan mean atau rata-rata frekuensi pada setiap pelaksanaan baseline dan kedua membandingkan hasil pengukuran menggunakan grafik poin. Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa rata-rata frekuensi gerak subjek pada saat baseline pertama lebih tinggi daripada frekuensi gerak subjek pada saat baseline kedua. Rata-rata frekuensi gerak subjek menurun sebesar 7 poin atau 20% dari pengukuran baseline pertama. Persamaan pola yang terjadi saat baseline pertama dan baseline kedua membuat kedua data tersebut dapat dipindahkan dalam bentuk grafik poin. Perbandingan grafik frekuensi kemunculan perilaku gerak tubuh subjek saat baseline pertama dan baseline kedua dapat dilihat di Grafik 1 di bawah ini: 50 45
Jumlah Frekuensi Gerak
45 40
39
35 30
28
25
30
27 22
20
Baseline pertama
15
Baseline kedua
10 5 0
Baseline pertama Baseline kedua
1 39 28
2 22 27
3 45 30
Pengukuran ke-
Grafik 1. Perbandingan Hasil Pengukuran Baseline pertama dan Baseline kedua Dilihat dari grafik di atas secara umum terdapat perbedaan level antara grafik baseline pertama dan grafik baseline kedua. Dalam analisis visual, perbedaan level tersebut dapat menunjukan bahwa terjadi perubahan pada target perilaku, yaitu gerak tubuh. 4.2. Hasil dan analisis data pembentukan pengendalian gerak pada setting latihan Program latihan menggunakan rocking chair dilakukan selama 12 pertemuan dan dibagi menjadi dua, yaitu 6 pertemuan di fase B pertama dan 6 pertemuan di fase B kedua. Materi yang diberikan pada setiap latihan sama selama 12 kali pertemuan, yaitu subjek diminta untuk menggoyangkan rocking chair selama 10 menit tanpa menggerakkan tangan, kaki, badan, dan kepala. Pencapaian atau data pada setiap latihan didapatkan dari perhitungan frekuensi gerak tangan, kaki, badan, dan kepala subjek selama melakukan tugasnya. Di bawah ini merupakan hasil pengukuran frekuensi gerak tidak teratur di setting latihan:
Jumlah Frekuensi Gerak
150
140
100 65
50
14 7
0 1
2
3
4
13
0 0 1 2 0 5 2 5 6 7 8 9 10 11 12 Pengukuran ke-
Grafik 2 Hasil Pengukuran Gerak di Setting Latihan Berdasarkan grafik di atas dapat dikatakan bahwa subjek menunjukkan penurunan frekuensi gerak tidak teratur secara signifikan di setting latihan. 4.3. Hasil pengujian hipotesis Pengujian hipotesis pada penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil pengukuran baseline pertama dan baseline kedua. Pada baseline pertama rata-rata frekuensi gerak anggota badan subjek saat duduk adalah 35,33 dan pada baseline kedua rata-rata frekuensi gerak anggota badan subjek saat duduk adalah 28,33. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa terjadi penurunan rata-rata frekuensi gerak sebesar 7 poin. Hal tersebut memperlihatkan bahwa setelah mendapatkan treatment, subjek mengalami penurunan frekuensi gerak anggota tubuh saat duduk atau dengan kata lain subjek mulai mengalami pembentukan pengendalian gerak. Hasil ini juga didukung dengan data penunjang yang didapatkan dari hasil monitoring guru di sekolah. Berdasarkan observasi guru, subjek mengalami penurunan frekuensi gerak tubuh selama treatment diberikan. Jika dilihat dari hasil pengukuran saat latihan pun subjek konsisten menunjukkan penurunan frekuensi gerak anggota tubuh saat duduk. Dengan demikian, jawaban dari hipotesis penelitian adalah “Pelatihan Rocking chair dapat Berperan dalam Membentuk Kemampuan Pengendalian Gerak pada Anak Usia 8-9 Tahun yang Mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktivitas (GPPH)”.
V.
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat didapatkan beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Pemberian pelatihan menggunakan rocking chair dapat berperan membentuk pengendalian gerak pada subjek penelitian yang mengalami GPPH tipe kombinasi. Hal ini dilihat dari penurunan gerak anggota tubuh saat duduk di setting kelas dan di setting latihan 2. Salah satu tugas subjek ketika pelatihan adalah duduk diam. Dalam tugas duduk diam tersebut, subjek memperlihatkan penurunan frekuensi gerak anggota tubuh yang signifikan pada 6 pertemuan pertama, yaitu dari 140 gerak ke 0 gerak; dan frekuensi gerak anggota tubuh yang stabil pada 6 pertemuan kedua, yaitu antara 0 – 5 gerak. 3. Dalam tugas subjek untuk menggerakan rocking chair, subjek mulai dapat mengendalikan amplitude rocking chair pada pertemuan ke-6. Hal ini sejalan pula dengan penurunan frekuensi gerak anggota tubuh saat latihan dan kenyamanan subjek saat menggerakkan rocking chair. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan subjek mengendalikan amplitude gerak rocking chair dapat mempengaruhi kenyamanannya dalam menggerakkan dan frekuensi gerak tubuh yang ia tunjukkan selama menggerakkan rocking chair. 4. Faktor internal yang mendukung perubahan perilaku subjek adalah kesediaannya untuk mengikuti pelatihan dengan baik dan adanya motivasi yang tinggi pada diri subjek 5. Faktor eksternal yang mendukung perubahan perilaku subjek adalah adanya reinforcement positif, seperti pujian dan dukungan, yang ia dapatkan dari peneliti setiap subjek berhasil menunjukkan perubahan positif, dukungan dari orangtua, dan arahan dari guru.
VI.
Daftar Pustaka Arnold, L. E., Clark, D. L., Sachs, L. A., Jakim, S., & Smithies, C. (1985). Vestibular and visual rotational stimulation as treatment for attention deficit and hyperactivity. American Journal of Occupational Therapy, 39, 84–91. Barkley, R. A.. 1998. Attention-Deficit Hyperactivity Disorder : A Handbook for Diagnosis and Treatment 2nd Ed. New York : The Guilford Press. Barkley, R. A.1996. ADHD and the Nature of Self-Control. New York : The Guilford Press. Barkley, R.A., Shelton, T.L., Crosswait, C.R., Moorehouse, M., Fletcher, K., Barrett, S., Jenkins, L., & Metevia, L. (2000). Multi-method psycho-educational intervention for preschool children with disruptive behavior: Preliminary results at post-treatment. Journal of Child Psychology & Psychiatry & Allied Disciplines, 41(3) 319-332. Brown, Thomas E. 2005. Attention Deficit Disorde: The Unfocused Mind in Children and Adults. USA: Integrated Publishing Solutions Christensen, Larry B. 1997. Experimental Methodology seventh edition. USA: Viacom Company Flick, G.L. 1998. ADD/ADHD Behavior Change Resource Kit : Ready To Use Strategies & Activities for Helping Children with Attention Deficit Disorder. New York : The Center For Applied Research In Education. Ialongo NS, Horn WF, Pascoe JM, et al. The effects of a multimodal intervention with attention-deficit hyperactivity disorder children: a 9-month follow-up. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1993;32(1):182–9 Kohls, L Robert. 1995. Training Know-How for Cross Cultural and Diversity Trainers. _. Laila Qodariah. 2010. Program Latihan Perkusi Bagi Anak Yang Mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian (GPP) : Studi Tentang Perancangan (Fase I) dan Uji Coba (Fase II) Program Latihan Perkusi Guna Meningkatkan Kemampuan Mempertahankan Atensi Bagi Anak Kelas 3 Sekolah Dasar yang Mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian (GPP). Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Tesis. Tidak Diterbitkan. Magill, Richard A. 2003. Motor Learning and Control: Concept and Application seventh edition. Singapore: Mc Graw Hill Millichap, J. Gordon. 2010. Attention Deficit Hyperactivity Disorder Handbook:A Physician’s Guide to ADHD Second Edition. New York: Spinger Sattler, Jerome M. 2002. Assessment of Children: Behavioral and Clinical Applications fourth edition. San Diego: Jerome M. Sattler Publisher Inc Valett, Robert E. 1974. The Psychoeducational Treatment of Hyperactivity Children. California: Fearon Publisher