BAB II FENOMENA MAKAM ORANG JEPANG YANG ADA DI DELITUA MEDAN
2.1.LATAR BELAKANG SEJARAH PEMAKAMAN Saat ini makam orang Jepang di Medan berada di daerah Delitua. Namun sebelumnya makam orang Jepang di Medan berada di dalam kota Medan di Jalan Gatot Subroto. Berikut adalah catatan dokumentasi dari Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan. “Sebelumnya makam orang Jepang di Medan berada di Jalan Gatot Subroto yang sekarang dikenal sebagai Plaza Medan Fair. Sebelum perang, perkumpulan orang Jepang yang menetap di Indonesia saat itu membentuk kepanitiaan untuk mengontrol pemeliharaan, sekitar 250 pilar digunakan pada pemakaman tersebut. Setelah perang dunia ke-2 pada tahun 1945 saat Jepang kalah perang lokasi pemakaman dibiarkan sunyi tidak ada yang mengelola karena seluruh anggota pengurus dan biksu Buddha ditarik kembali ke Jepang pada saat itu. Pada tahun 1951, setelah perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda, sisa-sisa tentara asli Jepang dan pejabat Konsulat berkumpul, saat itu pemeliharaan makam tidak lagi cukup jika hanya menjadi otoritas panitia kepengurusan makam orang Jepang di Medan. Saat-saat itu adalah saat yang penuh masalah bagi Indonesia, orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal mulai berkumpul disekitar makam, kemudian mereka merusak batu nisan dan membangun rumah di pinggir sungai menggunakan pondasi dari pecahan-pecahan batu nisan dari pemakaman orang Jepang di Medan. Orang-orang Jepang yang pulang ke Jepang mencemaskan batu nisan tersebut, mereka memasang kawat besi disekitar makam namun, dalam satu malam kawat besi tersebut sudah rusak, dalam tahun terakhir hanya sekitar belasan batu nisan yang selamat. Dengan adanya perencanaan pembangunan di kota Medan membuat konsulat meminta kepada pemerintah kota Medan untuk memindahkan makam orang Jepang keluar. Kemudian dari hasil diskusi Konsul Jendral dengan pemerintah kota Medan, pemerintah kota menawarkan daerah Delitua yang menjadi lokasi pemakaman saat ini sebagai situs alternatif. Hari perpindahan makam resmi jatuh pada 22 September 1973, dilaksanakan upacara perpindahan 15
dengan kepercayaan Buddha yang dihadiri oleh Bapak Inoue dari kuil Nishihon dari Jepang dan warga Jepang. Perlu dicatat bahwa saat ini biaya konstruksi makam orang Jepang dibiayai oleh sumbangan relawan perusahaan Jepang di Medan. Terdapat 25 monumen prajurit di dalam pemakaman saat ini, sekitar tahun 1947, setelah perang besar 25 komandan militer dan 25 orang lainnya di eksekusi. Monumen ini dibangun untuk menghibur arwah mereka, monumen ini juga merupakan monumen untuk mengenang sisa tentara Jepang yang terluka yang turut serta dalam perang kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu di Medan juga kedatangan dengan yang disebut karayuki-san. Mereka meninggalkan barang-barang seperti: shamisen, botol kosmetik dan lain-lain. Perempuan Jepang yang meninggal pada zaman Meiji sampai tahap awal Showa berasal dari prefektur Kumamoto (Amakusa), Nagasaki, dan berbagai tempat lainnya di Jepang. Demi perang kemerdekaan Indonesia, orang-orang yang bekerja jauh dari rumah, dan orang-orang yang meninggal, bersama dengan doa kebahagiaan di akhirat untuk orang-orang yang datang ke tempat ini yang menjadi tanah di tanah asing, mulai sekarang merupakan tanggung jawab kami untuk benar-benar memelihara Pemakaman Orang Jepang di Medan”. Kemudian menurut Sari (2006:48) makam orang Jepang ini merupakan makam perpindahan dari berbagai tempat di provinsi Sumatera Utara maupun diluar provinsi Sumatera Utara. Kota dan daerah asal para jenazah tersebut antara lain: Tebing Tinggi, Binjai, Tanjung Tiran Batu Bara Kabupaten Asahan, Kisaran, Tanjung Balai, Stabat, Siantar, Prapat, Kabanjahe, Kabanjahe-Tigapana, Sawalunto, Medan, Pangkalan Brandan, Rantau Prapat, Aceh Mulabo, Aceh Langsa, Kuala Simpang, Aceh-Arakundoe, dan Jakarta.
2.2. MAKAM ORANG JEPANG DI DELITUA 2.2.1. JUMLAH Menurut catatan dokumentasi Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan, sebelum di pindahkan ke Delitua, terdapat 250 pilar (nisan) yang digunakan pada Makam Orang Jepang di Medan. Pada saat itu makam masih berada di dalam kota
16
Medan, tepatnya di jalan Gatot Subroto yang sekarang dikenal dengan Medan Fair.Terdapat 25 monumen prajurit yang menjadi monumen untuk mengenang 25 komandan perang dan 24 orang yang di eksekusi pada tahun 1947, dan juga sisa tentara Jepang yang terluka pada saat perang kemerdekaan Indonesia. Namun, pada pada tahun 1951 setelah perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda, banyak batu nisan yang dicuri oleh penduduk Indonesia sehingga hanya tinggal belasan batu nisan yang tersisa. Menurut Sari (2206:48) pada makam orang Jepang di Delitua, Medan terdapat 35 makam orang Jepang dengan berbagai macam bentuk dan 305 buah guci abu jenazah yang dilektakkan di dalam rak (tempat penyimpanan abu) yang terdapat di dalam sebuah ruangan.
2.2.2. BENTUK Menurut Mulines dalam Sari (2006:9), yang dimaksud dengan makam tradisional Jepang adalah: 1. Makam yang bersifat agama rakyat. 2. Makam yang bersifat Shinto. 3. Makam yang bersifat berbagai macam aliran agama Buddha. 4. Seluruh makam yang bersifat konfuisme dan pandangan nilai yang mempengaruhinya. Ciri khas makam tradisional Jepang, antara lain: 1. Terdapat Kamon pada batu nisan (cap nama). 2. Terdapat Koro (tempat dupa). 3. Bentuknya :
17
Bentuk makam tradisional Jepang, antara lain: 1). Berbentuk persegi empat. 2). Berbentuk tiang. 3). Berbentuk batu alam. Menurut Fujii dalam Iwayumi (2001:4) di Jepang ada berbagai macam bentuk dari batu nisan, yaitu: 1. Tipe Jepang : •
Bentuk batu nisan persegi
•
Bentuk batu penyangga persegi
•
Bentuk Ihai (catatan di kamar mayat Budhis)
•
Bentuk batu nisan papan kayu
•
Bentuk buah catur (kuda)
•
Bentuk pilar/penyangga bulat
2. Tipe Eropa 3. Tipe menara 4. Tipe batu alam 5. Tipe patung batu Budha 6. Tipe makam bulat diatas bukit 7. Tipe makam dengan batu nisan/monumen peringatan Menurut Niwa dalam Iwayumi (2001:4) bentuk-bentuk batu nisan yaitu: 1. Tipe Jepang: •
Tipe persegi (
•
Tipe lima lingkaran
•
Bentuk kapal/model perahu
角碑型
)
( 五輪型
18
(
)
船型
)
•
Bentuk menara permata
•
Bentuk dewa pelindung anak dalam agama Budha
宝塔型 )
(
(
地蔵型
)
2. Tipe Eropa: •
Bentuk salib (
•
Bentuk pola petak-petak persegi/lantai batu ( 石畳型
•
Tipe gerbang berbentuk busur
•
Bentuk orang/
•
Bentuk yang lain (bentuk papan dam Jepang)
十学型
)
( ア―チ型
)
)
人物型
Menurut Iwayumi (2001:4) ada 5 macam bentuk batu nisan, yaitu: 1. Tipe Jepang Karena zaman sekarang bentuk batu nisan dapat dilihat, jadi dapat dipikirkan tipe yang paling khas/ ideal. Kebanyakan mengambil konstruksi 3 tingkat yang rendah dan memasang batu epipedum tegak lurus panjang diatas dua baris alas yang terbuat dari batu yang disebut dengan, “batu perahu”. 2. Tipe Eropa Karena bentuknya yang sudah berkembang maka banyak terdapat kuburan yang dibuat seperti taman di daerah sekitar kota. 3. Bentuk Perubahan Tipe Jepang Tidak lagi menggunakan batu perahu epipedum yang tegak lurus seperti tipe Jepang, contohnya batu alam yang panjang/tinggi, atau mengutangi bagian alas depannya.
19
4. Menara Lima Lingkaran Menggunakan lima menara lingkaran sebagai batu nisan 5. Bentuk bulat, bentuk piramid, dan lain sebagainya.
Pada makam orang Jepang di Delitua, Medan terdapat sebuah ruangan di dalam pemakamaan. Menurut Sari (2006:48) ada sebuah ruangan di dalam area pemakaman tersebut yang digunakan para peziarah untuk menyembah roh leluhurnya atau roh keluarganya dengan memberikan doa dan sesajen (kuyo). Di dalam ruangan tersebut juga kamidana atau butsudan yang dilektakkan di tengahtengah rak abu jenazah dan diantara kedua sisinya diletakkan ihai. Menurut Sari (2006:49) makam orang Jepang di Delitua, Medan bukan makam keluarga karena tidak terdapat kamei, kamon, koro dan geika. Kemudian di dalam pemakaman ini masih terdapat ciri makam tradisional Jepang, yaitu: 1. Berbentuk persegi empat 2. Berbentuk patung Budha 3. Berbentuk batu alam 4. Berbentuk menara Di samping itu ada juga yang menggunakan bentuk kolaborasi yaitu antara tipe Jepang dengan tipe Eropa, yang berbentuk persegi empat dengan batu keramik.
2.2.3. ORANG YANG DIKUBURKAN Orang yang dikuburkan pada makam orang Jepang di Delitua, Medan kebanyakan adalah pahlawan yang turut serta dalam perang kemederkaan Indonesia melawan Belanda. Menurut catatan dokumentasi dari Badan pengurus
20
perkuburan Jepang di Medan, diantaranya terdapat 74 pejuang yang terdiri dari 25 prajurit yang gugur dalam perang kemerdekaan Indonesia, kemudian 25 orang komandan perang yang berpangkat sersan dan mayor, dan 24 pejuang yang dieksekusi, namun ada juga beberapa warga sipil yang juga di kuburkan pada pemakaman tersebut. Menurut Sari (2006:51) makam pada gambar 1 merupakan makam pindahan dari Binjai pada tanggal 3 Maret 1999. Di dalam makam terdapat 20 tulang belulang Jenazah. Makam pada gambar 7 merupakan makam dari para pejuang yang tewas dalam perang. Di dalamnya terdapat 25 pejuang laki-laki. Menurut Sari (2006:50-51) makam pada gambar 3.1 merupakan makam dua orang pahlawan Jepang yang meninggal pada waktu perang. Data para pahlawan tersebut tertulis pada batu nisannya: 1. Makino Kenji, asal Toyama Ken (Toyama Shi Jepang). Alamat tidak diketahui, mantan Sersan Mayor Dai Nippon Teikoku Kaigun (angkatan laut kerajaan Jepang) pada tahun Meiji ke-37 (1904). Meninggal pada tahun 1939 di Tanjung Tiram Batu Bara Kabupaten Asahan dan dimakamkan di perkuburan Kristen di desa Simpang Tiga Labuhan Ruku. Pecah perang antara Jepang dan Rusia, Almarhum Sersan Makino Kenji direkrut turun dalam perang melawan angkatan laut Rusia. 2. Thurrumi Hasan, asal Jepang, turut dalam perang kemerdekaan Republik Indonesia. Pangkat Sersan Mayor Tentara Unit Persenjataan pada tanggal 29 Juli 1947. Terkubur bersama senjatanya di Sei Ular melawan Belanda, terkena serangan udara Belanda.
21
2.2.4. PERAWATAN Menurut Iwayumi dalam Sari (2006:37-41) jenis-jenis kuburan atau pemakaman di Jepang terbagi atas: こうえいぼち
1. Pemakaman umum (
), terdiri dari:
公営墓地
1). Pemakaman yang dikelola publik ( 公営墓地
).
ぶ ら く よ ぼ ち
2). Pemakaman kampung(
部落有墓地 ).
し ゆ う ぼ ち
2. Pemakaman pribadi ( 私有墓地 ), terdiri dari: 1). Pemakaman pribadi yang berbadan hukum, dibagi atas: a. Pemakaman yang dikelola oleh lembaga agama, dibagi atas: •
Pemakaman oleh Jiin ( Otera, Jinja ).
•
Pemakaman yang dikelola oleh badan hukum agama.
b. Pemakaman yang diperuntukkan untuk umum, dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: •
Pemakaman (
•
ざいだんほうじんえいぼち
(
yang
dikelola
しゃだんほうじんえいぼち
yang
えいりほうじんえいぼち
営利法人営墓地 pribadi
こ じ ん ゆ う ぼ ち
個人有墓地
22
yayasan
oleh
perusahaan
). dikelola
oleh
perusahaan
). yang
).
oleh
).
社団法人営墓地
c. Pemakaman
2). Pemakaman
dikelola
財団法人営墓地
Pemakaman (
(
yang
tidak
berbadan
hukum
1. Pemakaman umum (
こうえいぼち
公営墓地
)
Pemakaman umum merupakan salah satu pemakaman masyarakat Jepang yang dikelola oleh negara. Pemakaman ini terbagi atas 2 pihak pengelola, yaitu: 1). Pemakaman yang dikelola publik ( 公営墓地 Pemakaman
ini/Koeibochi
merupakan
)
pememkaman
umum
masyarakat Jepang yang dikelola oleh negara. Hal ini sesuai dengan konsep pemikiran masyarakat jepang dengan sistem Ie dalam kelembagaannya. Bahwa negara adalah sebuah keluarga dimana rumah tangga adalah unit terkecil sedangkan negara adalah unit keluarga terbesar. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pengelolaan makam orang Jepang yang berada diluar negara Jepang juga merupakan tanggung jawab pemerintah Jepang. Dalam hal ini pengelolaan dilakukan oleh para duta Jepang pada setiap negara. Contohnya adalah makam orang Jepang di Delitua, Medan yang dikelola oleh Badan Pengurus Perkuburan Jepang di Medan yang terdiri dari tiga lembaga yaitu: Konsulat Jendral Jepang di Medan, Medan Japan Club, dan Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan. ぶ ら く よ ぼ ち
2). Pemakaman kampung( Pemakaman
部落有墓地
)
Kampung/Burakuyobochi
adalah
pemakaman
masyarakat Jepang yang dikelola oleh pemerintah wilayah pada suatu daerah atau desa. Pada masyarakaat Jepang terdapat pemikiran negara
23
sebagai sebuah keluarga. Pada masa feodal pengertian keluarga adalah satu keluarga dalam ruang lingkup satu wilayah. Di daerah kepala keluarganya adalah Daimyo dan seluruh anak buahnya adalah anggota keluarga. Makam ini dikelola oleh badan pengurus perkuburan yang ada pada setiap kantor pemerintahan wilayah masing-masing daerah.
し ゆ う ぼ ち
2. Pemakaman pribadi ( 私有墓地 ) Pemakaman pribadi/Shiyuubochi dibagi atas dua bagian: ほうじんえいぼち
1). Pemakaman pribadi yang berbadan hukum (
法人営墓地
)
Pemakaman ini disebut Houjineibochi, merupakan salah satu jenis pemakaman masyarakat Jepang yang dibangun dan dikelola oleh suatu lembaga yang berbadan hukum atau perusahaan yang khusus menangani masalah pengurusan mayat dan makam. Makam ini dibagi lagi menjadi tiga bagian: a. Pemakaman
yang
dikelola
oleh
lembaga
agama
しゅうきょうほうじんえいぼち
(
宗教法人営墓地 )
Pemakaman ini terdiri dari: •
Pemakaman yang dikelola oleh Jiin (Otera, Jinja) Pemakaman ini disebut Jiin Bochi karena pemakaman orang Jepang ini dikelola oleh orang-orang yang bekerja dalam organisasi keagamaan, baik kuil Shinto (Jinja)maupun kuil Budha (Otera). Peraturan yang atau undang-undang yang digunakan dalam sistem
24
makam kuil ini adalah peraturan yang dibuat oleh keluarga yang mendukung sekte atau golongan keagamaan. •
Pemakaman
yang
dikelola
oleh
badan
hukum
keagamaan Pemakaman ini adalah pemakaman yang dikelola oleh organisasi keagamaan yang berbadan hukum yang menerima konsumen tanpa membedakan agama atau kepercayaan konsumen serta pemakai makam. b. Pemakaman
yang
diperuntukkan
untuk
umum
こうえきほうじんえいぼち
(
公益法人営墓地 ) Kouekihoujinei Bochi yaitu makam orang Jepang yang
dikelola oleh
lembaga kesejahteraan umum yang berbadan
hukum dan menerima konsumen tanpa membedakan agama dari para konsumen tersebut. Pengelola makam ini adalah berupa yayasan kemasyarakatan dan organisasi daerah yang terdapat di setiap daerah yang disebut dengan Badan Hukum Kemasyarakatan Umum. Lembaga ini mengelola makam, bukan untuk mencari keuntungan. Jaminan kesinambungan makam akan tetap terjaga sebab pengelolaan makam tidak bertujuan untuk mendatangkan keuntungan lebih. Pengelolaan makam tersebut diatur dalam undang-undang pemakaman (Bomaiho) pasal ke-10 bahwa pihak yang mengelola pembakaran mayat dan yang membuat
25
tempat penyimpanan abu (Nokotsu) harus menerima izin dari gubernur daerah. Pemakaman ini dibagi lagi menjadi dua bagian: •
Pemakaman (
yang
dikelola
ざいだんほうじんえいぼち
財団法人営墓地
oleh
yayasan
)
Zaidanhoujinei Bochi yaitu makam yang dikelola oleh suatu badan hukum yang berupa yayasan atau kelompok yang fungsional. •
Pemakaman (
yang
dikelola
えいりほうじんえいぼち
営利法人営墓地
oleh
perusahaan
)
Makam ini merupakan makam yang dikelola oleh perusahaan. Perusahaan di Jepang juga mempunyai konsep
pemikiran
tentang
sistem
Ie,
bahwa
perusahaan adalah sebuah keluarga (Ie). Para pegawai merupakan anggota keluarga dan yang menjadi kepala keluarga
adalah
pemimpin.
Perusahaan
Jepang
membuat makam bagi para pegawainya yang telah meninggal dan membuat altar Budha dan Shinto untuk memuja para leluhurnya di dalam perusahaan tersebut.
2.2.5. ACARA PEMUJAAN Dalam pandangan Jepang, kematian adalah kekotoran, roh orang yang baru meninggal dianggap labil dan berbahaya. Menurut Situmorang (2011:48) dalam
26
pandangan Jepang kekotoran dibagi atas 2 macam yaitu, akafuju/ 赤不浄 dan kurofuju/ 黒 不 浄 .Akafuju adalah
darah dan kurofuju adalah kematian, oleh
karena itu diperlukan acara-acara pemujaan dan doa-doa untuk penyucian. Seluruh acara pemujaan dilakukan untuk menyucikan roh tersebut hingga menjadi dewa/Kami. Menurut Morioka dalam Situmorang (2011:46) roh yang tidak ada penyembahnya disebut muenrei/ 無 縁 霊 , maka roh tersebut dipercaya akan menjadi yurei / 幽 霊 (hantu), atau disebut juga gaki dalam agama Budha. Penyembahan leluhur ini dikatakan sebagai inti dari agama Ie. Kemudian menurut Fujii dalam Situmorang (2013:43) pemujaan leluhur pada umumnya adalah pemujaan orang mati (cult of the dead), adalah pemujaan akan bentuk kepercayaan yang berpusat pada penyembahan yang bertujuan untuk menyenangkan roh, dan membersihkan roh orang mati dari kekotoran setelah berpisah dari raga supaya roh tersebut menjadi suci dan tenang. Setelah upacara kematian, menurut Situmorang (2011:50) orang Jepang kemudian melakukan acara pemujaan/pemberian kuyo pada hari ke-7, hari ke-49, hari ke-100, acara 1 tahun (isshuki), 3 tahun (sankaiki), 7 tahun (nanakaiki), 13 tahun (juusankaiki), 17 tahun (juunanakaiki), 23 tahun (nijuusankaiki), hinnga 33 tahun (sanjuusankaiki) (dalam konsep Budha) atau 49 tahun (konsep Shinto). Hingga acara ke-33 tahun atau 49 tahun roh leluhur sudah dianggap menjadi dewa/kami. Menurut Tsuboi dalam Situmorang (2011:51) jumlah seluruh upacara menjadi seibutsu (proses menjadi hotoke/dewa) sama jumlahnya dengan jumlah acara proses pendewasaan atau dari lahir hingga menikah. Kemudian roh tersebut diembah hingga tomurai age (mencapai 33 tahun).
27
Ada pula suatu ritual yang berhubungan dengan pemujaan leluhur yang ditujukan kepada satu kelompok arwah dari suatu Ie, ritual ini disebut dengan mai-asa atau mai-ban. Yaitu penyajian sesajen berupa makanan di pagi hari atau di malam hari yang diiringi dengan pembakaran hio (dupa) atau peletakkan bunga di butsudan atau kamidana dirumah, kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para ibu.
a. Hoji Upacara yang dilaksanakan setelah upacara kematian dalam agama Budha adalah hoji(
法寺
) atauhoyo (
法要
). Menurut Oota dalam Saraswati
(2003:45-46) tujuan dari upacara ini adalah suizen (melakukan persembahan untuk mendoakan arwah orang yang meninggal), keiga (mendoakan kebahagiaan arwah orang yang meninggal), kigan (memohon doa pada dewa dan sang Budha), serta hoon (membalas budi). Tetapi pada umumnya, pengadaan hoji atau hoyo adalah untuk melakukan persembahan serta menghibur serta mendoakan arwah orang yang meninggal. Pada saat ini seluruh kerabat dan keluarga orang yang meninggal berkumpul di depan altar dimana ihai dan kotsutsubo (tempat abu orang yang meninggal) diletakkan. Pendeta akan dipanggil untuk membacakan sutra kemudian dupa dinyalakan dan hidangan disajikan untuk para tamu yang datang. Menurut Danandjaja (1997:351) Kadang-kadang hoji dilakukan pada hari ke100 (hyakkanichi) dan untuk jangka waktu tertentu akan dilakukan sho-tsuki-menichi yaitu hoji yangdilaksanakan setiap tahun tepat pada tanggal kematian, mei-tsukimenichi yaitu hoji yang dilakukan setiap bulan dan nenki yaitu hoji yang dilakukan secara periodik.
28
b. Tomurai Age Menurut Situmorang (2011:41) Tomurai Age adalah acara memindahkan ihai dari kamidana dirumah, dipindahkan ke gunung atau dibakar. Hal ini dilakukan karena sosen (leluhur) tersebut sudah 49 tahun disembah dirumah. Oleh karena itu dianggap sudah menjadi dewa (sosendadai atau okusama). MenurutKodansha Encyclopedia of Japan dalam Dewanti (1996:32) Tomurai Age adalah peringatan ke-33 tahun (konsep Budha) atau ke-50 tahun (konsep Shinto) yang merupakan upacara peringatan kematian terakhir. Orang Jepang beranggapan bahwa pada saat itu orang yang meninggal akan bergabung bersama para leluhur yang lain, ihai orang yang meninggal dibakar, dibuang ke laut atau disimpan dikuil sambil mengatakan ”Hotoke wa kami ni nari...” yang berarti arwah akan menjadi dewa.
c. Higan Menurut Kyousuke (1997:1167) Higan adalah: 春分・秋分の日を中日とし、前後各三日を合わせた七日間。 Shunbun to Shuubun no hi wo chuunichi toshi, zengo kakumikka wo awaseta nanokakan Yang artinya: Hari ekuinoks dalam 7 hari yang disesuaikan masing-masing 3 hari sebelum dan 3 hari sesudah.
Maksudnya adalah higan adalah waktu dimana hari ekuinoks musim semi (shunbun no hi) dan musim gugur (shuubun no hi) yang disesuaikan dalam 3 hari sebelum
dan
3
hari
sesudahnya
dalam
7
hari.
Menurut
KBBI
(kbbi.web.id/ekuinoks) ekuinoks adalah saat matahari melintasi ekuator sehingga
29
siang dan malam bagi tempat-tempat di lintang 0˚ sama panjang; saat busur siang dan busur malam matahari sama panjang bagi semua tempat di bumi, diperkirakan pada tanggal 21 maret dan 23 september. Menurut Situmorang (2011:41) higan adalah upacara yang dilakukan pada tgl 17 Maret dan 17 September. Adalah hari dimana panjang siang dan malam sama. Menurut Kodansha Encyclopedia of Japan dalam Dewanti (1996:35) upacara higan ini dimaksudkan untuk menolong arwah melewati dunia yang penuh kekacauan ini menuju dunia pencerahan. Pada saat higan inilah dimana keluarga pergi berziarah ke makam untuk membersihkan makam dan juga mengadakan upacara dengan mengundang pendeta Budha untuk membacakan sutra di depan butsudan, hidangan makanan dan sake juga disediakan di depan butsudan. Ada kue yang terbuat dari kacang merah yang bernama o-hagi yang khusus disiapkan pada saat itu, sebagian dihidangkan kepada para leluhur dan sebagian lagi untuk dimakan pada saat makan malam.
d. Segaki Menurut Kyousuke (1997:764) Segaki adalah: (仏教で)餓鬼道に堕らた死者や無録の死者のためにする供 養。 (Bukkyou de) gakimichidou ni orata shisha ya muroku no shisha no tame ni suru kuyo. Yang artinya: (Dalam ajaran Budha) persembahan untuk orang meninggal yang tidak dikenali dan oeang meninggal yang menjadi hantu gentayangan.
30
Upacara ini ditujukan kepada roh gentayangan (muen-botoke) yang dianggap membahayakan manusia. Menurut Smith dalam Dewanti (1996:36-37) ada kepercayaan bahwa saat pendeta membacakan kitab sutra, para muen-botoke berkumpul mengelilingi altar dan pada saat upacara dilakukan secara resmi nyorai harus diletakkan diatas altar bersamaan dengan ihai yang bertuliskan nama untuk beribu-ribu roh dari tiga dunia, upacara ini biasanya dilakukan pada malam hari tanpa lampu atau musik, dan kitab sutra dibacakan pendeta dengan suara yang rendah agar tidak mengganggu muen-botoke. Upacara segaki dilakukan antara tanggal 1-15 Juli dan juga menjadi bagian dari upacara obon, namun dapat juga dilakukan pada saat peringatan terjadinya kecelakaan ataupun bencana alam.
e. Upacara pada saat Shogatsu Takeda dalam Dewanti (1996:32) mengemukakan bahwa pada saat obon atau shogatsu atau tahun baru merupakan saat dimana keluarga-keluarga Jepang menyambut arwah para leluhur yang pulang ke Ie mereka masing-masing. Daun pinus pada saat shogatsu dan bunga-bunga pegunungan yang ditata pada saat obon di rumah-rumah mereka adalah tanda bahwa arwah leluhur turun dari gunung dan tinggal bersama keturunannya di rumah mereka. Shogatsu adalah perayaan tahun baru yang dilaksanakan pada tanggal 1-13 Januari yang ditandai dengan berkumpulnya seluruh anggota keluarga, mengunjungi kuil Budha atau Shinto dan mengunjungi sanak saudara atau kerabat. Jepang Dewasa Ini (1998: 116) mengatakan bahwa pada saat shogatsu keluarga-keluarga Jepang mengucapkan selamat datang kepada arwah leluhur yang berkunjung kerumahnya. Para leluhur dihibur dengan doa-doa dan sesajen
31
yang diletakkan di altar keluarga sampai mereka kembali pada akhir perayaan. Upacara shogatsu ini dilakukan dengan tujuan untuk menyambut Toshigami atau dewa tahun baru. Rumah-rumah dibersihkan, dihiasi dengan tali yang terbuat dari jerami padi yang dipasang sebagai garis perbatasan antara kawasan suci dengan kawasan duniawi atau disebut dengan Shimenawa yang dipasang di depan pintu rumah sebagai tanda bahwa rumah tersebut adalah tempat tinggal dewa dan untuk mencegah roh-roh jahat masuk ke dalam rumah. Di depan pintu gerbang diletakkan kadomatsu, yaitu rangkaian dari tiga ranting daun cemara di bambu, yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan di tahun yang akan datang. Di dalam The Kodansha Bilingual Encyclopedia of Japan (2003:530) dikatakan bahwa ketika shogatsu, terdapat altar khusus yang disebut toshidana. Toshidana ini digunakan untuk menaruh berbagai persembahan yang ditujukan kepada kami atau dewa. Benda-benda yang dijadikan persembahan tersebut diantaranya adalah ranting tumbuhan sakaki, kagamimochi (dua buah mochi yang berbentuk bundar pipih seperti cermin yang diletakkan dengan cara bertumpuk dengan bagian yang lebih kecil diatas dan yang lebih besar dibawah), dan sake. Ada juga sebagian orang yang menggunakan kamidana (altar Shinto) sebagai toshidana.
f. Obon Menurut Oota dalam Saraswati (2003:50-51) Urabon-e ( 盂 蘭 盆 会 ) atau disebut juga dengan Obon(お盆) secara umum dipahami sebagai upacara atau seremoni untuk mendoakan arwah leluhur. Urabon sendiri mempunyai pengertian yaitu:
32
盂蘭盆会とは、地獄や餓鬼道に落ちて、さかさづりに苦しん でる霊を救うという意味で、そのために供義を営むのが盂蘭 盆などです。 Terjemahan bebasnya: Arti dari urabon adalah menolong roh yang menderita yang terjatuh di alam gaki dan neraka, dan untuk itu upacara persembahan yang dilakukan adalah urabon-e
Dalam Bukyo Minzoku Jiten ( 1986:51 ) dijelaskan bahwa kata bon ( 盆 ) atau obon (お盆 ) merupakan kependekan dari urabon yang berasal dari bahasa Sansekerta ullambana, yang mempunyai arti menggantung secara terbalik. Kataullambanaitusendiriberasaldari avalambana yang berarti menggantung, yang mencerminkan kehidupan manusia di alam baka yang sengsara. Istilah ini yang kemudian di dalam bahasa dan tradisi Jepang lebih dikenal dengan obon. Upacara obon ini diadakan setiap tahunnya pada bulan Juli pada tanggal 13 sampai dengan 16 Juli. Dalam upacara obon, arwah-arwah orang yang meninggal dan para leluhur dikatakan akan kembali pulang kerumah keluarganya dan untuk menyambut kedatangan roh-roh tersebut disediakan api yang menyala. Pada malam hari ke-13, api dinyalakan di depan pintu gerbang. Arti dari api tersebut adalah untuk membimbing para roh agar tidak tersesat sampai dirumah keluarganya. Penyalaan api pada malam ke-13 itu disebut juga dengan mukae bon. Pada saat 13 di pagi hari juga dibuat bon dana (
盆棚
) atau meja persembahan
yang dibuat untuk menyambut para leluhur. Bon dana tersebut adalah papan meja berbentuk segi empat yang diisi dengan ihai para leluhur. Kemudian di depan ihai diletakkan terong atau timun yang dibentuk menyerupai kuda atau sapi yang 33
dianggap sebagai kendaraan bagi roh para leluhur untuk datang dan pergi ke rumah keluarganya. Benda-benda lain yang diletakkan di bon danaatau shoryoudana adalah berupa dupa, air suci, bunga, buah-buahan, sayur-sayuran, dan makanan kesukaan almarhum semasa hidup. Bon dana kemudian diletakkan di depan pintu rumah, di taman atau diletakkan di butsudan. Peletakan bon dana tersebut disesuaikan dengan kebiasaan masing-masing daerah di Jepang. Pada hari ke-14 dan ke-15, arwah-arwah orang yang meninggal tersebut akan menetap di rumah keluarganya hingga malam hari ke-16 arwah-arwah tersebut akan kembali ke alamnya. Sama halnya dengan pada saat mukae bon, pada tanggal 16 keluarga dari arwah-arwah tersebut juga akan menyalakan api/obor untuk menerangi jalan yang akan dilewati oleh para roh tersebut sekaligus mengantarkannya pulang kembali ke alamnya. Penyalaan api/obor pada hari ke-16 ini disebut juga dengan okuri bon.
34