BAB II EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH PADA MASYARAKAT SUKU SAKAI DI KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU
A. Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 1. Dasar Pengaturan Hak Ulayat Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Di dalam UUD 1945 tidak menjelaskan secara terperinci arti bumi itu sendiri, mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
35 Universitas Sumatera Utara
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang.” Hal ini berarti bahwa negara masih mengakui hak atas tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adatnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Adatnya yang berarti kebiasaan masyarakat setempat, jika kebiasaan tersebut disertai suatu sanksi maka disebut dengan hukum adat. Hukum adat adalah aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang Timur Asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat). 29 Soepomo memberikan defenisi tentang hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturanperaturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan
29
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cetakan II, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hal.15.
Universitas Sumatera Utara
didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. 30 Soerjono Soekanto mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak dikitabkan tidak dikodifisir dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum. 31 Apabila ditelaah pendapat yang diberikan para ahli diatas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu didalam hukum adat termuat peraturanperaturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum. Di dalam hukum adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antar manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi mereka makan, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orangorang halus perlindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap dayadaya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya. Hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat pada masa penjajahan tidak diberikan pengakuan, karena penjajah hanya memberikan pengakuan kepada hak atas tanah yang telah terdaftar, sehingga ketika itu berlaku dualisme 30 31
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia,Tarsito, Bandung, 1996, Hal.13. Ibid, Hal.14.
Universitas Sumatera Utara
hukum pertanahan, yaitu hak atas tanah yang dikuasai oleh hukum barat yang dikenal dengan domein verklaring dan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah dalam kehidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikenal sebagai hak ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan didalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut. 32 Dalam suatu lingkungan hak ulayat, persekutuan dan anggota-anggotanya mempunyai wewenang dan kewajiban-kewajiban dalam mengatur penggunaan tanahnya dan hubungan-hubungan hukum anggota-anggota masyarakat dengan tanah dengan lingkungan wilayahnya, objek hak ulayat dapat mecangkup hak menggunakan dan mengelola tanah, hak menangkap ikan, hak memungut hasil hutan dan sebagainya.
32
Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, Hal.4
Universitas Sumatera Utara
Di dalam Pasal 3 UUPA dan penjelasannya disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan keadaan negara kesatuan. Hak ulayat semula belum pernah diakui, diakui dengan 2 (dua) pembatasan: 1. Hak ulayat diakui sepanjang masih ada (tanpa penjelasan tentang kriteria ‘masih ada’). 2. Biarpun hal ulayat diakui dan masih ada, kegunaannya harus disesuaikan dengan ketentuan bahwa masyarakat hukum adat sudah menjadi bagian integral masyarakat Indonesia. 33 Pengakuan atas hak ulayat ini hanya sebatas hak ulayat yang masih diakui sesuai dengan Penjelasan Umum II angka 3 UUPA, bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa ini dari masyarakat-masyarakat adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa hak ulayat masih diakui asalkan penguasaan hak ulayat tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lainnya yang lebih tinggi dan selama menurut kenyataan hak ulayat tersebut diakui. Misalnya saja, tidaklah dapat dibenarkan jika suatu masyarakat berdasarkan hak ulayatnya menolak begitu saja dibukanya tanah secara besar-besaran secara
33
Kumpulan Makala Seminar Tanah Adat, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukan pula bahwa pembangunan-pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan Pasal 3 UUPA, bahwa kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan jika didalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan negara sebagai kesatuan. Penegasan yang dikemukakan dalam Penjelasan Umum UUPA sebagaimana tersebut adalah merupakan landasan pemikiran tentang pengakuan dan sekaligus pembatasan hak-hak ulayat dari masyarakat hukum adat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara akan tetap memperhatikan keberadaan hak ulayat sepanjang hal tersebut dalam realitanya masih ada dan negara menempatkan hak ulayat untuk tunduk kepada kepentingan umum dan negara. Atas dasar kewenangan tersebut negara akan memberikan pengakuan, pengaturan dan pembatasan terhadap hak ulayat.
Universitas Sumatera Utara
Istilah hak ulayat memiliki penyebutan yang berbeda-beda, Djojodigoeno menyebutnya dengan istilah ‘hak purba’ ialah hak yang dipunyai oleh sesuatu suku (clans/gens/stam), sebuah serikat desa atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya. Hak purba tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan, diasingkan untuk selama-lamanya, hak purba meliputi juga tanah yang sudah digarap yang sudah diliputi hak perseorangan. Soepomo memberikan istilah sebagai hak pertuanan, dan didalam UUPA sendiri disebut dengan hak ulayat. Sedangkan Van Vollenhoven memberikan istilah beshikkingrecht terhadap hak ulayat, yang mana hak ulayat adalah berupa hak dan berkewajiban daripada persekutuan hukum sebagai suatu keseluruhan atas suatu wilayah tertentu yakni wilayah di mana mereka hidup. 34 Walaupun penyebutan istilah hak yang dimiliki hukum adat ini berbeda-beda namun pengertiannya tidaklah jauh berbeda. Perhatian khusus terhadap hak ulayat dilakukan oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan menetapkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak ulayat adalah hak dari masyarakat hukum adat. Dalam peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 di atas diberikan definisi operasional mengenai kedua hal tersebut.
34
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Cetakan V, Yogyakarta, 2007, Hal.2.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat hukum adat dirumuskan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan (Pasal 1 angka 3). Sedangkan mengenai hak ulayat dinyatakan bahwa hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya yang mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus-putus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 1). Unsur-unsur hak ulayat sebagaimana termuat didalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tersebut yaitu : 1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adanya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. 2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari. 3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, dalam hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dan memenuhi unsur-unsur dan kriteria hak ulayat dalam hukum adat suatu masyarakat dalam suatu wilayah. Hubungan timbal balik antara hak ulayat dengan hak perorangan sebagaimana dirumuskan Iman Sudiyat, bahwa hak purba dan hak perorangan itu bersangkut paut
Universitas Sumatera Utara
dalam hubungan kempis mengembang, desak mendesak, batas membatasi, mulur mungkret tiada henti. Dimana hak purba kuat, disitu hak perorangan lemah, demikian pula sebaliknya. 35 Antara hak ulayat dan hak perorangan yang diakui secara adat selalu ada pengaruh timbal balik, makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah maka makin eratlah hubungannya dengan tanah itu dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Di dalam hak demikian maka kekuatan hak ulayat terhadap tanah itu menjadi berkurang, tetapi menurut hukumnya yang asli bagaimanapun kuatnya hak perseorangan atas tanah itu tetap terikat oleh hak ulayat. 36 Sehingga dengan demikian hak ulayat bersifat fleksibel yaitu semakin berkembang dan maju kondisi masyarakatnya, maka hak ulayat menjadi semakin lemah dalam masyarakat apa lagi dalam masyarakat modern. Bila kita mengkaji lebih dalam, bahwa hak ulayat dan hak adat atas tanah ada perbedaan yang cukup signifikan. Hak ulayat bersifat hak komunal (hak bersama) dari sekelompok masyarakat hukum adat dengan kata lain tidak dimiliki perorangan oleh karenanya objek tidak dapat dijual belikan tanpa persetujuan Pimpinan Adat yang bersangkutan, warganya hanya boleh menikmati hasil, atau tempat berusaha sehari-hari dan pihak lain yang diluar kelompok masyarakat hukum adat tersebut tidak diperkenankan menguasai/melakukan aktivitas pada wilayah tersebut kecuali dengan persetujuan pimpinan adat yag bersangkutan, adapunhak atas tanah sifatnya dikuasai perorangan yaitu dengan diperoleh dengan membuka tanah negara misalnya berladang, berkebun dan lain-lain, dan apabila tanah tersebut dipergunakan dan dirawat /dipelihara dengan baik oleh penggarap maka pada gilirannya tanah ini dapat diberikan hak menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sedangkan tanah yang sifatnya termasuk alam lingkup hak ulayat tidak dapat diberikan hak untuk perorangan, kecuali atas dasar persetujuan pimpinan adat yang bersangkutan. 37 35
Ibid, Hal. 3. Seminar Langkah-langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Op.Cit, Hal.16 37 Ibid, Hal.20. 36
Universitas Sumatera Utara
2. Kriteria dan Penentuan Adanya Hak Ulayat Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagian telah diuraikan diatas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Sebagaimana telah kita ketahui wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk dalam bidang hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya. Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dikuasai oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tanah umumnya batas wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti. Masyarakat hukum adatlah sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya yang mempunyai hak ulayat, bukan orang seorang. Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku kedalam dan keluar. Kedalam berhubungan dengan para warganya, sedangkan kekuatan berlaku keluar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya yang disebut “orang asing”.
Universitas Sumatera Utara
Kewajiban yang utama penguasaan adat yang bersumber pada hak ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau
terjadi
sengketa
ia
wajib
menyelesaikannya.
Berhubungan
dengan
tanggungjawabnya mengenai kesejahteraan masyarakat hukumnya maka pada asasnya penguasa adat tidak diperbolehkan mengasingkan seluruh atau sebagian tanah wilayahya kepada siapapun. Menyinggung masalah hak ulayat tidak lepas dari asas-asas yang terkandung dalam UUPA salah satu diantaranya, asas pada tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara. Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi maksudnya bukan memiliki hak atas tanah, melainkan hanya sekedar menguasainya saja. Menurut Boedi Harsono,38 pengertian peguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penggunaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dari umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan menyewa yang 38
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaan, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, Hal. 145.
Universitas Sumatera Utara
menguasainya secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Dalam hukum tanah kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah. Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” diatas dipakai dalam aspek perdata. Pengertian “dikuasai” dan “menguasai” dipakai dalam aspek publik, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Pengertian “penguasaan” dipakai dalam arti yuridis, baik penguasaan yang beraspek perdata maupun publik. Pengertian “Hak Penguasaan Atas Tanah” dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai “ hak penguasaan atas tanah”. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang nasional kita, yaitu : 1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek pada perdata dan publik. 2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek publik.
Universitas Sumatera Utara
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek perdata dan publik. 4. Hak perorangan / individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas : a.
Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53.
b.
Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan Pasal 49.
c.
Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25, 33, dan 51. Hal ini secara jelas dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA, bahwa perkataan
“dikuasai” disini bukan berarti ‘dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberikan wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharan bumi,air, dan ruang angkasa b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Universitas Sumatera Utara
Hak menguasai dari negara tersebut diatas ditujukan untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kekuasaan negara tersebut mengenai semua bumi, air, dan ruang angkasa, baik yang sudah dihaki maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara tersebut. Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut, negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa (departemen, jawatan, atau daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing. Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kaitannya dengan hak ulayat, diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan, dengan penjelasan sebagai berikut : 1) mengenai muatan pokok dan maksud dikeluarkannya peraturan. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Kebijaksanaan tersebut meliputi : a. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1); b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5); c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan Pasal 4). Maksud dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan
Universitas Sumatera Utara
serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat, dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal diatas diwenangkan kepada daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan maksud Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan demikian akan lebih mampu menyerap aspirasi masyarakat setempat. 2) Mengenai pengertian hak ulayat. Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu “menurut kenyataannya masih ada”. Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Subjek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subjek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tertua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subjek hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat. 3) Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat. Tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, sebagaimana Pasal 2 ayat (2) PMA 5/1999 yaitu : a. Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
Universitas Sumatera Utara
hukum
tertentu,
yang
mengakui
dan
menetapkan
ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. b. Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehar-hari, dan c. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Penelitian mengenai ketiga unsur tersebut dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan pihak-pihak yang berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan peranannya secara objektif, yaitu antara lain para tetua adat, para pakar adat, wakil Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi yang bertanggung jawab mengenai pengelolaan sumber daya alam (misalnya instansi kehutanan, pertambangan dan sebagainya apabila tanah ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau bahan tambangnya). Selanjutnya dalam rangka memastikan masih adanya tanah ulayat tersebut, keberadaannya perlu dinyatakan dalam peta pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai, sekiranya pada kenyataannya batas-batas tanah yang bersangkutan dapat ditentukan menurut tata cara penentuan batas dalam
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan pendaftaran tanah, batas tersebut dapat digambarkan pada peta dasar pendaftaran tanahnya dan dicatat pula dalam daftar tanah yang ada. Semua itu perlu diatur sesuai dengan keadaan masing-masing daerah dalam Peraturan Daerah, yang dimaksud dalam Pasal 6 ketentuan yang demikian sebenarnya tidak cukup, sebab berdasarkan Pasal 19 UUPA jo. PP No. 24 Tahun 1997 bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah dicabut oleh PP No.24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah hak ulayat mengalami suatu kendala, karena sebagaimana Pasal 9 PP No.24 Tahun 1997 bahwa objek pendaftaran tanah meliputi : bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan, tanah negara. 4) Mengenai pelaksanaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat. Hak ulayat memberikan kewenangan tertentu kepada masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya yang sumber, dasar pelaksanaan, dan ketentuan tata cara pelaksanaannya adalah hukum adat yang bersangkutan. Kewenangan tersebut meliputi hak penguasaan tanah oleh para warganya (Pasal 4 ayat 1 huruf a) dan pelaksanaan tanah untuk keperluan “orang luar” (Pasal 4 ayat 1 huruf b). Mengingat
Universitas Sumatera Utara
hukum adat itu bersifat dinamis, maka hak penguasaan tanah yang diperoleh menurut hukum adat oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan apabila dikehendaki boleh didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut UndangUndang Pokok Agraria. Dengan demikian tujuan “meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan hukum dan kesederhanan dalam hukum pertanahan” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Pokok Agraria akan dapat terwujud secara alamiah dan bertahap. Dalam pada itu dapat dipastikan bahwa pada waktu dikeluarkannya Peraturan Daerah yang mengatur hak ulayat nanti akan terdapat bidang-bidang tanah yang sesuai dipunyai perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria atau sudah diperoleh menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku walaupun haknya secara administratif
belum diperoleh.
Berdasarkan pemikiran bahwa bidang-bidang tanah ini sudah diperoleh secara sah, yaitu dengan membeli atau membebaskannya dari hak-hak dan kepentingan yang ada di atasnya, maka pelaksanaan hak ulayat atas bidang-bidang tanah ini dikecualikan (Pasal 3 UUPA). Menurut prinsip Hukum Adat yang diakui eksistensinya oleh undang-undang agraria intensitas hubungan seseorang dengan tanah akan menentukan tebal tipis haknya atas tanah tersebut. Makin lama dan intensif hubungan seseorang dengan tanah, makin tebal haknya atas tanah tersebut. Djojodiguno teori mulur-mungkret”
Universitas Sumatera Utara
Supomo “individualis-sering proces”. Secara kultural, rakyat Indonesia acapkali disebut sebagai masyarakat “oral cultural”. 39 Dokumen atau catatan tertulis sebagai bukti suatu hak bukanlah sesuatu yang penting. Bukti yang kuat adalah hubungan kongkret seperti tanaman dan pengetahuan dari anggota masyarakat hukum sekitarnya. Sistem girik bukanlah asli budaya Indonesia. Girik adalah sistem administrasi Hindia Belanda untuk kepentingan perpajakan. Kemudian, diterima (resepsi) sebagai bukti pemilihan atas tanah. Begitu pula pengertian “tanah dikuasai negara” dalam praktek, negara atau pemerintah diberi wewenang untuk memberikan hak tanah kepada siapapun tanpa menghiraukan hubungan yang telah ada antara rakyat dengan tanah. Praktek semacam ini sangat kolonialistik dan bertentangan dengan undang-undang dasar. Asas “domein” pada masa kolonial masih ada batas, yaitu dibedakan antara “vrijlandsdomein” dan “onvrijlandsdomein”. Terhadap “onvrijlandsdo-mein” pemerintah koloniali tidak akan memberikan kepada pihak lain karena diatas tanah tersebut diakui hak masyarakat atas tanah seperti hak ulayat dan lain-lain. Sebaliknya dimasa merdeka lebih-lebih setelah ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dalam kenyataan pengertian hak negara menguasai negara bergeser seperti “domein” pada masa kolonial, bahkan lebih. Pemerintah atas nama negara berkuasa penuh menyerahkan atau memberikan hak atas sebidang tanah negara tanpa harus menghiraukan hak-hak yang secara sosio-kultural ada pada rakyat. Hukum
39
Ibid, Hal.262.
Universitas Sumatera Utara
menjadi bentuk formal di tangan para penguasa. Satu hal pokok yang di lupakan, begitu pula dari sudut Undang-Undang Dasar. Hak negara menguasai tanah adalah induk kepentingan rakyat. Sangat tepat ungkapan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 karena itu tidak boleh dipilah atau dipisahkan dikuasai negara itu untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Kalau tanah, sebidang tanah telah dipergunakan rakyat, maka tercapailah salah satu tujuan penguasaan negara atas tanah, yaitu untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Jadi, negara atau pemerintah harus mengutamakan hak rakyat atas tanah daripada kepentingan lain yang datang kemudian. Inilah inti paham tanah dikuasai negara.
B. Otonomi Daerah Dan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah Setelah Indonesia merdeka, penghapusan terhadap segala kolonialisme menciptakan babak baru penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia. Para founding fathers mulai merintis kebijakan baru penyelenggara pemerintah daerah yang merujuk pada kedaulatan rakyat sesuai dengan nilai demokrasi yang tertanam dalam konstitusi. Konsensus yang dicapai oleh founding fathers kiranya merupakan hal yang tepat, yaitu pembangunan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka negara kesatuan melalui desentralisasi dan otonomi daerah sebagai instrumen perekatnya. Pemikiran ini merupakan hal yang bijaksana mengingat pada kondisi geografis
Indonesia
yang
begitu
luas
dengan
segala
kemajemukan
dan
Universitas Sumatera Utara
kompleksitasnya menyebabkan tuntutan kebutuhan untuk mengakomodasikannya dalam penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Secara teoritis dan faktual, pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi tidak akan menyebabkan terjadinya disintegrasi nasional, tetapi justru kondusif bagi tercapainya integritas nasional. Pemberian status otonom kepada kelompok masyarakat lokal merupakan jiwa besar pemerintah sebagai bentuk penghargaan terhadap perbedaan yang ada sehingga akan mendorong masyarakat lokal berpartisipasi dalam skala daerah maupun nasional. 40 Pergeseran stuktur politik dan pemerintahan dari model sentralisasi menuju kearah desentralisasi merupakan sebuah langkah yang penting dalam rangka pemberdayaan masyarakat adat. Keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang kemudian dirubah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menandai
dimulainya
otonomi
daerah
yang
didalamnya
terdapat
harapan
pembangunan daerah sesuai dengan kepentingan dan kehendak daerah, serta merupakan harapan baru bagi pengembangan komunitas lokal. Hal ini dapat dilihat dengan adanya otonomi desa, yang secara eksplesit menegaskan desa dikembalikan kepada asal usulnya, yakni adat. Adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah merupakan pedoman (guideline) dalam pelaksanaan otonom daerah yang diarahkan 40
Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 63-64
Universitas Sumatera Utara
untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemberian peran yang lebih dominan kepada DPRD pada prinsipnya ditujukan pada pengembangan demokratisasi didaerah sehingga akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah daerah dapat terjamin. 41 Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan panduan yang nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga merupakan politik hukum otonomi daerah. Dengan dasar kekuatan tersebut, pelaksanaan otonomi daerah diwujudkan dalam kebijakan yang terukur, terarah, dan terencana oleh pemerintah pusat. Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat nyata dan luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Maksudnya otonomi
daerah
harus
dipahami
sebagai
perwujudan
pertanggungjawaban
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, penegakan keadilan dan pemerataan, serta
41
Ibid, Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 42 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sangat jelas mengatur mengenai pertanahan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi poin (k) tentang pelayanan pertanahan. Kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah itu juga, sesuai dengan yang terdapat dalam penjelasan poin (b), yang menyebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Dengan demikian daerah memiliki kewenangan membuat arah kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya juga kebijakan nasional di bidang pertanahan saat ini, melalui kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, secara tegas dijelaskan bahwa sebagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota, meliputi :
42
Ibid, Hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pemberian izin lokasi; Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; Penyelesaian sengketa tanah garapan; Penyelesaian masalah ganti kerugian dan satuan tanah untuk penbangunan; Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; Pemberian izin membuka tanah; Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota. 43 Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi
daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa merupakan lini pertama yang dapat melindungi hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja dengan benar-benar memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan cara inilah maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar keberadaannya oleh para pengambil keputusan. Sebagaimana apa yang dinyatakan Hari Sabarno dalam bukunya bahwa :
43
M. Rizal Akbar dkk, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, LPNU Press, Pekanbaru, 2005, Hal.9.
Universitas Sumatera Utara
Tolak ukur utama keberhasilan otonomi pada suatu daerah tidak lain adalah pada masyarakat daerah itu sendiri. Masyarakat merupakan bagian utama pemerintahan. Oleh sebab itu, selain tanggungjawab pelaksanaan otonomi di tangan Kepala Daerah, DPRD, dan aparat pelaksananya, masyarakat harus menjadi pelaksana utama dalam otonomi daerah tersebut. 44 Adapun dalam bidang pertanahan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan pengaturannya di bidang pertanahan tersebut, yaitu meliputi penyelenggaran kegiatan dibidang pertanahan, dan memberikan kewenangan pengaturannya kepada Pemerintah Daerah propinsi maupun kabupaten/kota. Sedangkan mengenai hak-hak penguasaan atas tanah tetap berdasarkan UUPA. Adapun pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan
44
Hari Sabarno, Op.Cit, Hal.44.
Universitas Sumatera Utara
yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. 45 Hak menguasai tanah oleh negara adalah hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur 3 hak seperti termuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik juga memberi wewenang kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat. Jika kedua hal tersebut dihubungkan satu dengan yang lain, maka hak menguasai tanah oleh negara semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu, meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia. Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik berlaku terbatas hanya pada suatu wilayah masyarakat hukum adat tertentu (bersifat lokal), sedangkan hak menguasai tanah oleh negara berlaku untuk semua tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia (bersifat nasional). 46 Biarpun bemacam-macam, tetapi semua hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang atau diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.
45 46
Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 23 Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini didukung oleh adanya beberapa persamaan antara konsep hak ulayat dengan konsep hak menguasai tanah oleh negara, yaitu : 1. Baik hak ulayat maupun hak menguasai tanah oleh negara merupakan “induk” dari hak-hak atas tanah lainnya. Di atas hak atas tanah ulayat dapat muncul hak perorangan atas tanah, demikian pula dengan hak menguasai tanah oleh negara dapat muncul hak-hak perorangan atas tanah. 2. Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku kedalam yang sama dengan kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai oleh negara atas tanah. Setelah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, atas dasar ketentuan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3), hak ulayat yang memberikan wewenang kepada masyarakat hukum adat untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah kekuasaannya, pada tingkatan tertinggi (secara nasional) wewenang itu diserahkan kepada negara. Penyerahan ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Konsep hak menguasai tanah oleh negara semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan tertinggi ini, sesuai dengan konsep hak menguasai tanah oleh negara yang termuat dalam Pasal 2 UUPA. Konsep ini dapat diterima sepanjang hak ulayat yang ditarik pada tingkatan tertiggi itu (hak menguasai tanah oleh negara), tidak menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya benarbenar masih ada. Hak ulayat itu harus dibiarkan hidup secara bebas tanpa ada gangguan dari siapa pun, dibawah naungan dan lindungan hak menguasai tanah oleh
Universitas Sumatera Utara
negara. Kedua hak itu secara berdampingan walaupun kedudukan hak ulayat lebih rendah dari pada hak menguasai tanah oleh negara, dan hak menguasai tanah oleh negara tidak boleh menghapus hak ulayat, bahkan sebaliknya ia harus mengayomi dan melindungi hak ulayat. 47 Adapun mengenai pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA ada yang sebagai lembaga hukum dan ada pula sebagai hubungan-hubungan hukum kongkrit. Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 20 sampai 45 UUPA, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa bangunan. Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah, negara dalam hal ini melalui pemerintah merupakan representasi penyelenggaraan negara, sehingga daerah tidak dapat berbuat sendiri atas kemauan dan kehendaknya, kecuali untuk kewenangan yang telah diserahkan sebelumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itulah undang-undang otonomi daerah dikeluarkan dengan tujuan memberikan pengaturan mengenai tugas dan wewenang daerah dalam pemerintahan, agar tidak terjadi benturan antara kewenangan pusat dan daerah. Pada era reformasi, terjadi tarik ulur antara pemerintah pusat dan daerah tentang kewenangan di bidang pertanahan. Di samping itu terjadi inkonsistensi
47
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
peraturan pusat yang dibuat oleh presiden dalam bentuk keputusan presiden (keppres), sehingga menghambat pelaksanaan/penerapan otonomi daerah di kabupaten/kota. Tarik ulur dan inkonsistensi tersebut sebagaimana terdapat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, memberikan kesempatan dan keleluasaan yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945). Ketentuan ini dijadikan landasan yang kuat bagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 untuk menganut asas otonomi daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7. menurut pasal tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewenangan di bidang pemerintahan, kecuali wewenang yang oleh Undang-undang diberikan kepada pemerintah pusat. Selanjutnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Yang dalam Pasal 2 ayat (3) nomor 14, merincikan kewenangan pemerintah pusat di bidang pertanahan yaitu: 1. Penetapan persyaratan pemberian hak-hak atas tanah. 2. Penetapan persyaratan landreform. 3. Penetapan standar administrasi pertanahan.
Universitas Sumatera Utara
4. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan. 5. Penetapan kerangka dasar kadastral nasional dan pelaksanaan pengukuran kerangka dasar kadastral nasional orde I dan II. 48 Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, pemerintah pusat hanya diberi wewenang untuk menetapkan standarisasi hal-hal tersebut diatas, sedangkan kebijakan (policy) di bidang pertanahan dipegang oleh pemerintah daerah. Inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh presiden dengan memberlakukan Keppres Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Otonomi di bidang pertanahan, yang mencabut kewenangan pemerintah daerah di bidang pertanahan. Pencabutan ini secara hukum tidak dapat dibenarkan, karena presiden tidak mempunyai kewenangan untuk mencabut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Undang-undang terdahulu. Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya dapat dicabut dengan ketentuan Undang-undang dan bukan dengan keputusan presiden. 49 Pencabutan wewenang pemerintah daerah di bidang pertanahan, dipertegas dengan diberlakukannya Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, Selanjutnya dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan demikian mencabut undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang-Undang 48 49
Nomor
22
Tahun
1999.
Undang-undang
inipun
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 63-65. Muhammad Bakri, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
memberikan
kewenangan
seluas-luasnya
kepada
pemerintah
daerah
untuk
menyelenggarakan pemerintahannya. Adapun otonomi yang seluas-luasnya tersebut harus tetap memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Dengan demikian dalam era otonomi daerah ini, paradigma lama di bidang pertanahan yang bersifat sentralistik, sudah sepatutnya diganti dengan paradigma baru yang bersifat desentralisasi, oleh karena itu sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, kewenangan pemerintah pusat di bidang pertanahan harus diserahkan kepada pemerintah daerah. Maka dengan adanya otonomi daerah pemerintah daerah bisa memberikan perhatiannya lebih serius terhadap kemajuan dan kemakmuran daerah-daerah kekuasaannya. Dengan adanya otonomi daerah pemerintah bisa lebih bijak lagi dalam memberikan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat asli yang ada di kabupaten tersebut agar tidak hilang bersama perkembangan zaman serta keberadaan tanah ulayat masyarakat tersebut Agar tidak hilang eksistensinya akibat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.
C. Masyarakat Suku Sakai Kabupaten Bengkalis
Universitas Sumatera Utara
1. Deskripsi Masyarakat Suku Sakai Pada masa penjajahan sebagian besar daerah Bengkalis berada dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Siak, kecuali Pulau Bengkalis yang merupakan daerah jajahan langsung pemerintah Hindia Belanda. Kekuasaan pemerintah Kerajaan Siak berakhir tahun 1942. 50 Sebelum tahun 1858 Pulau Bengkalis termasuk dalam Keresidenan Riau yang berkedudukan di Tanjung Pinang. Sehubungan dengan bertambah pesatnya pertumbuhan usaha-usaha Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Timur, terutama dengan dibukanya areal perkebunan, maka pada Mei 1873 Keresidenan Riau dibagi menjadi 2 (dua) yaitu : a. Keresidenan Riau dengan pusat pemerintahan di Tanjung Pinang. b. Keresidenan Sumatera Timur dengan pusat pemerintahan di Bengkalis. Dan pada tahun itu juga pusat pemerintahan keresidenan Sumatera Timur dipindahkan ke Medan dan Bengkalis merupakan asisten residen. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia daerah Kabupaten Bengkalis terdiri dari 4 (empat) kewedanan dan 11 kecamatan, yaitu : a) Kewedanan Bengkalis, ibunegerinya Bengkalis, membawahi 3 (tiga) kecamatan, yaitu : 1. Kecamatan Bengkalis, ibunegerinya Bengkalis. 50
Emrizal Pakis, Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkalis Tahun 1996, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bekerjasama Dengan Kantor Statistik Kaupaten Bengkalis.
Universitas Sumatera Utara
2. Kecamatan Bukit Batu, ibunegerinya Sungai Pakning. 3. Kecamatan Rupat, ibunegerinya Batu Panjang. b) Kewedanan Selatpanjang, ibunegerinya Selatpanjang, yang membawahi 2 (dua) kecamatan, yaitu : 1. Kecamatan Tebing Tinggi, ibunegerinya Selatpanjang. 2. Kecamatan Merbau, ibunegerinya Telukbelitung. c) Kewedanan Siak, ibunegerinya Siak Sri Indrapura, yang membawahi 3 (tiga) kecamatan, yaitu : 1. Kecamatan Siak, ibunegerinya Siak Sri Indrapura. 2. Kecamatan Sungaiapit, ibunegerinya Sungaiapit. 3. Kecamatan Mandau, ibunegerinya Muarakelantan. d) Kewedanan Bagansiapi-api, ibunegerinya Bagansiapi-api, yang membawahi 3 (tiga) kecamatan, yaitu : 1. Kecamatan Bangko, ibunegerinya Bagansiapi-api. 2. Kecamatan Kubu, ibunegerinya Telukmerbau. 3. Kecamatan Tanah Putih, ibunegerinya Tanah Putih. Sejalan dengan pesatnya perkembangan daerah ini, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk serta dilakukannya kegiatan eksplorasi minyak bumi di wilayah Kecamatan Mandau, dan Dumai dijadikan pelabuhan ekspor minyak, maka wilayah administrasi pemerintahan di Kabupaten Bengkalis pada tahun 1963
Universitas Sumatera Utara
dikembangkan dengan membentuk kewedanan baru yaitu kewedanan Dumai, yang membawahi 3 (tiga) kecamatan, yaitu : a. Kecamatan Dumai, ibunegerinya Dumai. b. Kecamatan Rupat, ibunegerinya Batupanjang. c. Kecamatan Mandau, ibunegerinya Duri. Pada tahun 1958, seluruh kewedanan yang ada di wilayah Kabupaten Bengkalis dihapuskan, sehingga dengan demikian kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bengkalis langsung berada dibawah pemerintahan kepala daerah tingkat II Bengkalis. Struktur baru ini lahir Tahun 1956, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1956, Lembaran Negara Nomor 25 Tahun 1956. Komunitas adat terpencil sebagaimana yang didefenisikan departemen sosial merupakan masyarakat yang terisolir dan memiliki kemampuan yang karena itu bersifat terbelakang dan tertinggal dengan proses mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial budaya, keagamaan dan ideologi. Komunitas adat terpencil sering dianggap rendah oleh masyarakat dan selau dijauhkan oleh kelompok-kelompok yang lain. Tidak salah sehingga mereka menjadi rendah diri, sehingga selalu terpojok dan jarang mau bergaul dan menyatu dengan kelompok atau orang luar, sehingga tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan luar yang lebih maju. Salah satu kelompok atau komunitas dari masyarakat terpencil ini adalah orang Sakai “Sakai” merupakan nama salah satu suku bangsa di tanah melayu dan
Universitas Sumatera Utara
dapat juga diartikan sebagi orang bawahan atau hamba sahaya. Orang Sakai pada dasarnya dikategorikan sebagai masyarakat yang tertinggal oleh proses perubahan sosial atau relatif terbelakang kehidupannya. Kelompok ini dianggap tidak maju dan kuat memegang tradisi. Mengenai kata Sakai dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, menerangkan kata Sakai sebagai nama suku bangsa di tanah Melayu, termasuk bangsa Negrito yang tidak berbahasa Melayu, disamping diartikan pula sebagai orang bawahan (yang diperintah) sama dengan hamba sahaya. Tetapi ada juga anggapan bahwa Sakai itu nama sungai di Mandau Kabupaten Bengkalis. Karena suku itu menetap di tepi sungai tersebut, maka mereka disebut orang atau Suku Sakai. 51 Menurut M.Yatim kepala batin Suku Sakai, bahwa nama Suku Sakai diartikan sebagai suku anak air ikan, karena sumber penghidupannya adalah dipinggiran air serta menangkap ikan. Menurutnya lagi Sakai adalah suku atau manusia kebal (sakai=badak=kebal), sedangkan menurut orang Sakai sendiri, Sakai adalah suku orang batin. 52 Tokoh atau pemimpin Sakai yang paling menentukan ialah batin. Batin memimpin suatu perkampungan. Dialah pemimpin formal dalam suku yang mengatur dan mengemudikan masyarakat dengan asas adat. 53 Karena itu batin menjadi pusat 51
UU.Hamidy, Masyarakat Terasing Daerah Riau Di Gerbang Abad XXI, Zamrad Untuk Pusat Kajian Islam dan Dakwah Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 1991, Hal.88. 52 Wawancara Penulis dengan M.Yatim, Kepala Batin, Tanggal 28 Maret 2010. 53 Batin = Kepala Suku atau Ketua Adat
Universitas Sumatera Utara
kehidupan dan mitos suku. Batin juga bisa merangkap sebagai bomo. 54 Tetapi, bomo juga telah merupakan tokoh yang khas dalam kehidupan masyarakat, sebab dia telah memainkan peranan penting dalam hubungan dengan makhluk gaib, sehingga amat menentukan jalan pikiran masyarakatnya. Pada bomolah bertumpu alam pikiran animisme sehingga dia memainkan peranan yang besar dalam berbagai tradisi yang bersangkutan dengan alam atau makhluk halus. Menurut silsilah dan asal usulnya orang Sakai dahulunya berasal dari Pagaruyung yang datang ke Riau sekitar abad ke-14 Masehi. Karena negeri Pagaruyung adalah negeri yang sangat padat penduduknya sehingga untuk mengatasi kepadatan penduduk tersebut Raja Pagaruyung berusaha mencari wilayah-wilayah baru yang masih sedikit penduduknya. Raja Pagaruyung kemudian mengutus sebuah rombongan berjumlah 190 orang untuk berangkat kearah timur karena di wilayah tersebut masih kosong penduduknya. Rombongan menembus hutan belantara dan akhirnya sampai ditepi sebuah sungai yang mereka namakan Sungai Biduando. Nama Biduando inilah yang kemudian berubah menjadi “Mandau”,dan wilayah sekitar sungai tersebutlah mereka jadikan wilayah pemukiman yang baru. 55 Kemudian Raja Pagarayung mengutus kembali rombongan yang kedua yang terdiri dari 3 orang hulubalang. Rombongan ini kembali berjalan menuju kearah wilayah Mandau dengan mengikuti bekas perjalanan rombongan yang pertama. 54 55
Bomo= Dukun http://www.katcenter.info/detail artikel, diakses pada tanggal 25 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Setelah beberapa tahun perjalanan rombongan tersebut bukannya sampai kewilayah Mandau akan tetapi sampai di Kunto Bessalam, yang akhirnya mereka menyerahkan diri kepada Raja Kunto Bessalam. Setelah beberapa lama tinggal di kerajaan tersebut mereka diangkat sebagai hulubalang raja. Raja Kunto Bessalam mengalihkan kegiatan pembangunan kekerajaan Rokan Kanan/Kiri yang berkerabat dan bersahabat dengannya dengan mengirim 5 keluarga yang dipimpin oleh 2 orang hulubalang yang bernama Sultan Janggut dan Sultan Rimbo untuk bekerja disitu. Akan tetapi sebelum pekerjaan itu selesai, 2 orang hulubalang dan 5 keluarga telah melarikan diri karena tidak sanggup tinggal disana karena rajanya sangat kejam. Rombongan tersebut melarikan diri kearah wilayah Mandau, dan sampailah mereka ditepi sungai Sam-Sam di hulu Sungai Mandau, dan kemudian meneruskan perjalanan sehingga sampailah rombongan tersebut di hulu Sungai Penaso, yang kemudian sampailah mereka diwilayah Desa Mandau dan kemudian menyerahkan diri kepada kepala desanya. Ada banyak versi yang menceritakan kedatangan orang Sakai sampai ke Mandau. Menurut Moszkowski (1908) dan Loeb (1935) orang Sakai adalah orang Veddoid yang bercampur dengan orang Minangkabau yang berimigrasi pada abad ke14 ke daerah Riau, yakni di Gasib, di tepi sungai di hulu Sungai Rokan, sedangkan menurut Hasny, orang Sakai berasal dari Pagaruyung, Batu Sangkar dan Mentawai. 56
56
Husni Thamrin, SAKAI Kekuasaan, Pembangunan dan Marjinalisasi, Gagasan Press, Pekanbaru, 2003, Hal.5.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian orang Sakai telah masuk islam, oleh tokoh tarekat Naksyahbandiyah Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan dengan khalifahnya bernama Ibrahim yang juga tokoh tradisional Sakai, yaitu batin. Maka terdapatlah dua macam batin dalam kehidupan orang Sakai, yaitu batin yang juga khalifah dan batin biasa yang hanya tokoh adat saja. Kemudian dengan adanya binaan dari pihak pemerintah melalui Depsos, mulailah dikenal adanya Kepala Desa. 57 Kepala Desa ini juga kebanyakan adalah batin itu sendiri. Maka dikenallah paling kurang 4 tokoh masyarakat Sakai : khalifah, batin, bomo, atau dukun dan kepala desa. 58 Masyarakat Sakai pada masa lalu mempunyai sistem pemerintahan yang mereka sebut Perbatinan yang dipimpin oleh Batin. Perbatinan ini terdiri atas Perbatinan Lima dan Perbatinan Delapan. 59 Disebut dengan Perbatinan Lima mereka masing-masing perbatinan mempunyai tanah hak ulayat dan hutan di (1) Minas; (2) Penaso; (3) Beringin; (4) Belutu; dan (5) Tengganau. Perbatinan Delapan adalah kelompok orang Sakai yang di beri hak untuk membuka hutan oleh Raja Siak Sri Indrapura meliputi wilayah (1) Petani; (2) Sebangar; (3) Air Jamban; (4) Pinggir; (5) Semunai; (6) Sam-Sam; (7) Kandis; (8) Balai Makam. 60
57
Kepala Desa ini juga kebanyakan adalah batin itu sendiri. Jika ada kepala desa yang bukan batin, maka pengaruhnya hanya amat terbatas sekedar untuk hubungan administratif saja dengan pihak luar yang bersifat formal administratif. 58 UU.Hamidy, Op.Cit, Hal. 90-91. 59 Perbatinan nan lima yaitu kelompok masyarakat adat yang terdapat di daerah pesisir, sedangkan perbatinan nan delapan yaitu kelompok masyarakat adapt yang terdapat di daerah pedalaman. 60 Husni Tamrin, Op.Cit, Hal.5.
Universitas Sumatera Utara
Menurut UU Hamidy, menjelaskan bahwa Sakai Batin Nan Limo berasal dari kerajaan Gasib yang pergi karena diserang Aceh. Sedangkan Sakai Batin Delapan diriwayatkan berasal dari Semenanjung Melaka. Mereka dalam jumlah sekitar 100 orang lelaki dan perempuan yang telah mendarat di Kunto Darussalam, dan membuat Kampung Bonai. Sebagian diantaranya mendiami kawasan aliran Sungai Sakai. Maka mereka kemudian disebut Suku Sakai. Karena itu dalam teks lisan yang dihafal batin Sakai, sebagian mereka mengatakan berasal dari Siak atau Gasib, sebagian lagi dari Pagaruyung Minangkabau. Setelah mendiami Mandau, maka sejak berdirinya Kerajaan Siak tahun 1723 mereka jadi rakyat Siak. Tapi tanah ulayat dan adat istiadat mereka tidak dicampuri Sultan. Hal ini sepenuhnya diserahkan kepada Batin Suku Sakai masing-masing. 61 Sehingga masyarakat Sakai merupakan bagian dari Kesultanan Siak Sri Indrapura dengan Raja Kecil sebagai rajanya. Pada waktu orang Sakai hidup pada zaman kekuasaan Kerajaan Siak Sri Indrapura, Raja Siak adalah penguasa tertinggi yang mereka kenal dan mereka akui dalam tata kehidupan mereka. Segala peraturan dan ketentuan yang dikeluarkan dan diberlakukan oleh kerajaan adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang suci. Sehingga sampai sekarang pun orang Sakai masih sangat menghargai dan menghormati keturunan dari Raja Siak.
61
UU Hamidy, Op.Cit,Hal.88-89.
Universitas Sumatera Utara
2. Pola Kehidupan Masyarakat Suku Sakai Riau merupakan propinsi yang kaya dengan sumber daya alam, sejarah dan budaya, disamping letaknya yang srategis sebagai lalu lintas perdagangan internasional melalui Selat Melaka. Namun, sebagian dari kelengkapan budaya Riau telah sangat kurang diakui dan diperhatikan, bahkan tidak diketahui secara benar. Salah satu diantaranya adalah, sejumlah suku-suku asli (Indigenous people) yang merupakan minoritas di pinggiran suku melayu yang sempat mendominasi daerah Selat Melaka melalui beberapa kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan Melayu di Riau tidaklah menguasai daerah dan masyarakat yang luas, melainkan menguasai titik-titik strategik di jalur utama perdagangan, yaitu Selat Melaka dan sungai-sungai besar, seperti Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan. Masyarakat yang tinggal di tebing sungai dekat pusat kerajaan menerima berbagai pengaruh diluar, menjadi bagian dari perubahan sosial-budaya, termasuk agama. Merekalah yang menjadi orang melayu dengan Islam sebagai salah satu atribut kunci dari jati dirinya. Hal ini diidentikkan dengan masuk Melayu sama dengan masuk Islam. Kawasan yang luas diantara sungai-sungai besar, pada masa lalu, semuanya dikuasai oleh Batin-Batin (kepala suku orang sakai). Batin sebagai ketua masyarakat, memiliki teritorial yang diatur secara otonom berdasarkan hukum adat, jumlah orang
Universitas Sumatera Utara
Sakai yang terbanyak di Kabupaten Bengkalis adalah berada dalam wilayah Kecamatan Mandau. Berikut penyebaran orang Sakai dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Penyebaran Orang Sakai di Kecamatan Mandau No. Desa/Kelurahan
KK
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1.
Bumbung
61
145
196
341
2.
Kesumbo Ampai
101
296
245
541
3.
Sebanggar
129
340
375
715
4.
Petani
116
295
286
581
5.
Harapan Baru
85
150
220
370
6.
Pematang Pudu
265
565
660
1225
7.
Titian Antui
29
70
80
150
8.
Talang Mandi
15
31
46
77
JUMLAH
801
1892
2108
4000
Sumber: Biro Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis, 2008.
Berdasarkan dari tabel diatas dapat dilihat pada umumnya orang Sakai banyak bertempat tinggal di desa Pematang Pudu 1.225 orang, Sebanggar 715 orang, sedangkan jumlah orang Sakai paling sedikit terdapat di desa Talang Mandi 77 orang, dari seluruh jumlah orang Sakai di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau. Orang Sakai sebagai komunitas masyarakat terpencil dalam kehidupan seharihari hidup berdampingan dengan masyarakat lain, mereka masih mempertahankan tradisi leluhur nenek moyang mereka, akan tetapi mereka telah mulai menyesuaikan
Universitas Sumatera Utara
dengan perubahan yang terjadi akibat modernisasi, karena warga Sakai oleh masyarakat sekitar telah diberikan kesempatan dan peluang untuk diasimilasikan dengan masyarakat lainnya. Misalnya pembangunan pemukiman yang berdekatan dengan lokasi masyarakat setempat, melakukan perkawinan, mempekerjakan pada perusahaan serta telah mengenyam bangku pendidikan. Adapun sumber utama kehidupan masyarakat Sakai adalah bercocok tanam, selain juga berburu, maupun menangkap ikan di sungai. Cara bertani mereka masih tradisional, dilakukan berpindah-pindah, namun perpindahannya saat ini masih di sekitar tanah yang dibuka pertama. Proses membuka hutan untuk perladangan tersebut masih dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan upacara adat dengan memotong beberapa ekor ayam, dengan harapan mereka tidak diganggu oleh roh-roh halus yang ada di sekitar tanah tersebut. Ada 4 (empat) mata pencaharian tradisional Sakai, yaitu berladang, menangkap ikan, berburu dan mengambil hasil hutan, serta kuli atau buruh dan berdagang. Berladang dilakukan dengan sistem tebang (tebas) dan bakar, setelah itu ditugali dengan menanam ubi nanggalo atau tembakau. Peralatannya parang, tombak, panah dan juga memakai jerat sentak. Hasil buruan dibagi-bagi, tapi juga ada yang dijual. Binatang buruan yang dijerat seperti kijang dan rusa. Ikan dicari dengan mempergunakan lukah dan kail. Hasil hutan yang paling suka mereka cari ialah kayu
Universitas Sumatera Utara
gaharu disamping damar dan rotan. Pekerjaan menjadi buruh dilakukan oleh orang Sakai dengan mengambil upah menebang kayu.
Tabel 2 Mata Pencaharian Masyarakat Sakai Berdasarkan Pembagian Desa No
Desa/Kelurahan
KK
Berladang
Menangkap Ikan
Beburu
Kuli
Jumlah
1.
Bumbung
61
32
8
15
6
61
2.
Kesumbo Ampai
101
55
20
15
11
101
3.
Sebanggar
129
70
-
30
29
129
4.
Petani
116
70
6
15
25
116
5.
Harapan Baru
85
45
15
10
15
85
6.
Pematang Pudu
265
165
30
40
30
265
7.
Titian Antui
29
19
-
5
5
29
8.
Talang Mandi
15
10
-
5
-
15
801
446
79
135
120
801
Jumlah
Sumber : Dinas Sosial Propinsi Riau, 2008. Berdasarkan dari tabel diatas, maka dapat dilihat bahwa masyarakat Sakai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya rata-rata berladang, dan hanya sebagian kecil menagkap ikan,berburu dan kuli. Berladang adalah kehidupan yang sangat penting bagi kehidupan orang Sakai. Saat ini rata-rata sebagian masyarakat Suku Sakai lebih suka berladang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena hanya dengan berladanglah sumber
Universitas Sumatera Utara
kehidupan yang sangat mudah dilakukan oleh masyarakat Sakai. 62 Sebuah ladang biasanya dibangun dari sebuah keluarga inti (Suami-isteri dan anak-anak) atau dibangun secara gotong-royong atau saling membantu diantara dua keluarga sampai lima keluarga. Pembuatan ladang dilakukan melalui tahap-tahap : 1. Memilih tempat untuk membuat ladang Tradisi mereka dalam pemilihan wilayah hutan untuk dijadikan ladang, wilayah hutan yang dipilih adalah tidak begitu banyak semak belukarnya, dan tanah yang gak miring dan mereka memilih dekat air adalah lebih baik dan tidak ada rumah semutnya, atau dalam bahasa mereka sesab dengan busut. 2. Tahap-tahap membuka hutan untuk ladang Jika orang Sakai telah menemukan hutan yang mereka anggap baik untuk persyaratan berladang, mereka pergi melapor kepada batin, serta menunjukan hutan yang akan mereka buka. Setelah batin tidak berperan lagi mereka melapor kepada penghulu atau kepala desa. Dalam penebangan pohon-pohon kayu hutan yang besar dilakukan secara bersama-sama dengan menggunakan kapak atau beliung. Masingmasing keluarga telah menentukan kira-kira berapa luas masing-masing ladang yang hendak dibuatnya. 3. Menugal Padi
62
Wawancara dengan A. Yani, Kepala Bagian Dinas Sosial, tanggal 18 Agustur 2010.
Universitas Sumatera Utara
Bila ladang sudah dipersiapkan dan bibit tanaman padi sudah siap untuk ditanam, maka ditentukanlah hari untuk mempersiapkan kegiatan menunggal padi secara bersama-sama. Satu hari sebelum dilakukan kegiatan menanam padi di ladang dilakukan upacara “mematikan tanah” dengan tujuan agar ladang tersebut tanahnya dingin dan subur serta mereka yang tinggal di daerah ladang tersebut terhindang dari mara bahaya. Upacara mematikan tanah ini dilakukan oleh masing-masing kepala keluarga dengan meminta perlindungan kepada “Poti Soi” (Putri Sri, Dewi Padi) yaitu bacaan mantera untuk kesuburan ladang mereka, yang lafalnya sebagai berikut : Poti Soi Gemolo Soi Siti Dayang Sempono Tuan, Engkau Nak Besuko-suko Ati Kotongah Ladang. (Indonesianya:) Putri Sri (Dewi Sri) Gembala Sri (Penunggu dan Penguasa Tanah) Siti Dayang Sempurna Tuan engkau hendak bersukaria Ketengah ladang. 4. Panen Padi Panen padi dilakukan dengan tahap-tahap tertentu. Sebelum dimulai menuai padi, pemilik ladang menghubungi “dukun” atau “bomo” memimpin upacara pemanenan untuk menghindari keluarga tersebut dari segala marabahaya. Upacara dimulai dengan membaca mantra sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Poti Soi Gemolo Soi Siti Dayang Sempono Tuanku Engkau Nak Basuko-suko Ati Kotongah Ladang Ambo Ko Nak Bao Tuanku Samo Hayatnyo (Indonesianya:) Putri Sri Gembala Sri Siti Dayang Sempurna Tuanku hendak bersuka ria Ke tengah ladang Saya ini hendak membawa Tuanku bersama hayatnya
5. Memperluas Ladang Setelah kegiatan panen padi selesai, setiap anggota keluarga peladang yang bersangkutan menanami setiap jengkal bekas ladang padi yang masih kosong. Pada waktu musim kering datang, mulailah para peladang yang tergabung dalam satu ketetanggaan ladang mempersiapkan pembuatan ladang baru untuk memperluas ladang pertama yang telah mereka panen hasil padinya. Bila telah terjadi kata sepakat bahwa merak masih akan hidup bersama dalam satu ketetanggaan ladang maka pada tahap berikutnya adalah menentukan luas ladang mereka. Bila ada diantara mereka tersebut berniat memisahkan diri dari ketetanggaan, maka dicari keluarga lain untuk menggantikannya. Bila ternyata tidak ada keluarga lain yang mau menggantikan tempat keluarga yang memisahkan diri maka
Universitas Sumatera Utara
ketetanggaan harus dibubarkan, karena menurut kepercayaan orang Sakai pantang bagi mereka untuk meneruskan perluasan ladang yang salah satu anggota ketetanggaan ladang tersebut mengundurkan diri. Pemukiman masyarakat Sakai sudah mulai mengalami kemajuan, rumahrumah mereka tidak lagi terbuat dari kulit kayu, rotan, atau bambu dan beratapkan rumbia akan tetapi mereka sudah ada yang memiliki rumah yang terbuat dari batu dan telah beratapkan seng. Mereka juga sudah mengenal kendaraan bermotor sebagai alat transportasi. Sistem kekerabatan bagi orang Sakai merupakan kerangka acuan yang penting dalam menentukan dengan siapa ego (saya) dapat berhubungan dan bekerjasama dalam berbagai kehidupan sosial, ekonomi dan keluarga. Bagi orang Sakai kelompokkelompok kekerabatan dalam kehidupan mereka terwujud dalam kegiatan pengelolaan ladang, biasanya satuan pemukiman dihuni oleh satu atau dua kelompok keluarga. 63 Sistem kekerabatan Suku Sakai menganut matrilineal yaitu dititik beratkan menurut garis keturunan ibu/perempuan. Yang lebih diutamakan adalah kedudukan anak perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan penerus keturunan ibunya, sedangkan anak laki-laki hanya seolah-olah pemberi bibit keturunan kepada isteri. Dalam budaya Sakai hak perempuan Sakai besar, semua barang milik baik yang
63
Isjoni, Orang Sakai Dewasa Ini, Unri Press, Pekanbaru, 2005, Hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
bergerak maupun tidak bergerak adalah milik wanita. Kedudukan kepala suku diwariskan dari wanita, dan anak-anak mengikuti ibu, bukan ayah. Karena itu menurut masyarakat Sakai apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan, maka seolah-olah hidup tidak berkesinambungan. Namun demikian bukan berarti anak laki-laki tidak berfungsi dalam keluarga. Anak laki-laki membantu orang tua meringankan beban hidup keluarga. 64 Pengaruh adat istiadat leluhur mereka sehari-hari juga masih sangat dominan. Menurut kepercayaan mereka apabila ada adat istiadat yang dilanggar maka akan menyebabkan mereka sengsara. Selain itu juga ada sanksi atas pelanggaran adat berupa denda yang berbentuk materi atau menyelenggarakan upacara adat, dan bahkan lebih dari itu dapat dipermalukan di tengah-tengah masyarakat. Untuk menjaga tata tertib mereka juga memiliki lembaga adat. Ketua lembaga adat dahulunya dipilih berdasarkan turun-temurun tetapi sekarang dipilih berdasarkan musyawarah. Agama yang dianut sebagian besar adalah agama Islam akan tetapi masih diselimuti dengan keyakinan animisme adanya kekuatan gaib. Mereka percaya bahwa lingkungan hidup dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan “antu”. 65 Antu itu ada yang baik ada juga yang jahat. Makhluk itu tinggal dan menjadi penghuni 64
Kini dalam adat Perkawinan asli Sakai tidak tampak lagi, peran Batin dalam menikahkan diganti oleh ayah kandung, Qadhi atau KUA (Kepala Urusan Agama). Pada masa lalu masyarakat Sakai tidak mengenal uang hantaran, tetapi kini mengenalnya yang sudah dipepolerkan sejak zaman kerajaan Sultan Siak. 65 Antu= Hantu / roh-roh halus.
Universitas Sumatera Utara
pepohonan, sungai-sungai, rawa-rawa, wilayah hutan, ladang, tempat pemukiman rumah dan sebagainya. 3. Hak-Hak Atas Tanah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Tanah ulayat dalam bahasa Sakai disebut dengan popah yaitu pembatasan. 66 Telah sejak zaman dahulu nenek moyang Suku Sakai telah membentuk popah dalam suatu lingkungan hidup dan menjaga popah tersebut agar tidak berbenturan dengan suku-suku lainnya. Adapun wilayah popah ini terdiri dari : a. Pangkal popah, dari tepi sungai Rokan yang disebut dengan Bromban Petani. b. Ujung popah, yaitu Bromban Mineh. c. Pertengahan, yaitu Potongan Popah. Terhadap tanah ulayat (popah) tersebut terdapat tanda-tanda adat yang dikuasai masing-masing batin nan delapan dan batin nan limo dan tiap-tiap batin tersebut memiliki tanah ulayat. Yang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia saat ini disebut dengan daerah Kabupaten Bengkalis dan dalam wilayah Kecamatan Mandau. Yang kemudian kecamatan Mandau dimekarkan menjadi Kecamatan Minas, Kecamatan Kandis, Kecamatan Pinggir. Modernisasi merupakan sebuah proses yang melanda kehidupan manusia saat ini, diseluruh bidang dan berbagai tempat, akan tetapi masyarakat Sakai tertinggal
66
Popah (Pembatasan) dalam bahasa Sakai = Tanah Ulayat
Universitas Sumatera Utara
jauh dari proses modernisasi tersebut. Suku Sakai tidak bisa mengimbangi lajunya perputaran hidup disekitarnya. Perubahan sosial yang terus terjadi di sekeliling mereka masih terasa asing bagi mereka, yang pada akhirnya mereka tetap menutup diri mereka memang tidak bisa bersaing. Bagi masyarakat Sakai, hutan adalah detak kehidupan bagi mereka tempat mereka melakukan pemenuhan kebutuhan hidup dan mengandung unsur magis sehingga penuh arti bagi mereka. Budaya inilah yang sangat melekat dan sulit dipisahkan dari setiap unsur kehidupan mereka. Sehingga orang Sakai mengelola hutan sedemikian rupa agar rantai kehidupan mereka terus berlanjut. Oleh karena itu masyarakat Sakai membagi hutan tanah menjadi 3 bagian yaitu : a) Tanah Peladangan (tanah perkarangan dan rumah). b) Rimba Kepungan Sialang. c) Rimba Simpanan. Ketiga bagian kawasan ini pemakaiannya diawasi oleh kepala suku atau batin. Setiap suku mempunyai tanah ulayatnya masing-masing berupa tanah peladangan dan rimba kepungan sialang, sedangkan rimba simpanan dipunyai bersama. Maka tiap warga yang memakai tanah peladangan diberikan dengan hak pakai yang apabila tidak dipergunakan lagi maka akan diberikan kepada warga lain yang masih merupakan bagian dari masyarakat Sakai. Sedangkan rimba kepungan sialang merupakan bagian-bagian hutan yang membatasi hutan dengan tanah peladangan
Universitas Sumatera Utara
mereka dan juga tempat lebah bersarang. Selain itu juga sebagai panahan erosi dan tempat reboisasi kembali setelah tanah peladangan ditinggal sementara, karena mereka berladang dengan sistem tebang bakar, sehingga pada akhirnya akan tetap kembali keladang yang pertama. Di dalam masyarakat hukum adat, maka antara masyarakat hukum sebagai suatu kesatuan dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat magis religio. Hubungan inilah yang menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat. 67 Dilihat dari pola kehidupan masyarakat Sakai dalam Kecamatan Mandau Desa Kesumbo Ampai, dari penelitian yang dilakukan melalui wawancara dengan Kepala Desa Kesumbo Ampai, diketahui bahwa sebagian besar diantaranya masih tetap hidup memisahkan diri dari suku-suku lainnya. Mereka lebih cenderung untuk memilih hidup berkelompok dengan sesama anggotanya dan terpisah dari masyarakat luar yang kehidupannya relatif sudah maju. 68 Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Batin, bahwa pola kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Suku Sakai sebagai sumber mata 67 68
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, Hal.35. Wawancara Penulis dengan Anita, di Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 26 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
pencarian mereka adalah dengan berladang dan berpindah-pindah, dan dengan keterbatasan mereka, untuk membuka ladang baru lagi dilakukan dengan cara bakar. Memungut hasil hutan di wilayah hutan adat mereka serta menangkap ikan dari sungai yang terdapat di lingkungan ulayat mereka juga merupakan pekerjaan utama masyarakat Sakai. 69 Masyarakat Sakai lebih suka mendiami daerah hutan sepanjang aliran sungai karena mudah mendapatkan mata pencaharian untuk hidup walaupun sebagian dari masyarakat juga sudah banyak pindah dipinggiran kota. 70 Hubungan manusia dengan tanah memang tidak dapat dipisahkan. Sejak dahulu sampai saat ini masih terlihat adanya pertalian yang sangat erat dan kekal, karena selama hayatnya manusia mempunyai hubungan dengan tanah, terutama sebagai tempat tinggal dan sebagai sumber yang menghasilkan bahan makanan bagi kelangsungan hidupnya. Walaupun kehidupan masyarakat Suku Sakai saat ini sudah sedikit mengalami kemajuan dari apa yang dilakukan nenek moyang mereka pada zaman dahulu akan tetapi petani tetap merupakan mata pencaharian yang utama bagi masyarakat Sakai. Tanah/lahan yang menjadi tempat mereka berladang mereka peroleh dari lingkungan ulayat mereka yang sebelumnya telah mendapat izin dari Batin.
69
Wawancara Penulis dengan M.Yatim, Batin Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 28 Maret
2010. 70
Wawancara Penulis dengan Misran Masyarakat Suku Sakai, Tanggal 25 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil wawancara dengan Batin Sebangar 71 , bahwa hak-hak atas tanah yang ada dan berlaku pada masyarakat Suku Sakai, mereka mengenal 2 macam hak atas tanah, yaitu hak bersama masyarakat hukum adat (hak ulayat) dan hak perseorangan atas tanah. a. Hak bersama masyarakat hukum adat. Hak bersama masyarakat Suku Sakai atas tanah dikenal dengan istilah hak ulayat. Istilah tersebut menunjukan hubungan antara masyarakat hukum dengan tanah di wilayahnya. Menurut Van Vollenhoven ciri-ciri atau tanda-tanda hak ulayat adalah sebagai berikut : 72 1) Persekutuan hukum dan anggota-anggotanya berhak dengan bebas menggunakan, mengenyam kenikmatan menggarap tanah dalam wilayah persekutuan hukum tersebut. 2) Orang yang bukan persekutuan hukum harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepala persekutuan dengan membayar ganti kerugian. 3) Dalam menggunakan tanah, anggota persekutuan hukum tidak membayar, tetapi bagi orang luar (asing) harus membayar uang pemasukan (recognitie/contributie).
71
Wawancara dengan Batin Sebangar, Tanggal 25 Maret 2010. Budi Riyanto, Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam, Penerbit Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan da Lingkungan, Bogor, 2006, Hal.47. 72
Universitas Sumatera Utara
4) Persekutuan hukum bertanggung jawab atas kejahatan (pembunuhan) dalam wilayah persekutuan hukumnya apabila si pelaku tidak bisa digugat atau tidak dikenal. 5) Persekutuan tidak boleh memindah tangankan (menjual, memberi) untuk selamalamanya kepada siapapun juga kecuali dalam hal-hal tertentu dan sangat khusus. 6) Persekutuan hukum tetap mempunyai hak campur tangan atas hak individu. Demikian juga masyarakat Suku Sakai, wawancara dengan Kepala Desa Kesumbo Ampai bahwa masyarakat Suku Sakai juga masih memiliki hak bersama atas tanah yaitu dengan masih terdapatnya hutan adat masyarakat Suku Sakai yang masih dapat dimanfaatkan secara bersama-sama oleh anggota komunitas masyarakat Suku Sakai. 73 Sejalan dengan hal tersebut, maka dengan diaturnya hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat kedalam pengertian hutan negara tidaklah akan meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan serta anggota-anggotanya untuk dapat mendapatkan manfaat dari hutan-hutan tersebut, dengan syarat sepanjang hak itu menurut kenyataannya masih ada. Pelaksanaannya pun harus sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan yang dicantumkan dalam UndangUndang Kehutanan, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
73
Wawancara penulis dengan Anita, di Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 26 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
b. Hak Perseorangan Atas Tanah. Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Ter Haar menjelaskan bahwa : Hubungan hidup antara umat manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain disatu pihak dan tanah di lain pihak yaitu tanah di mana mereka berdiam, tanah yang memberi mereka makan, tanah dimana mereka di makamkan dan yang menjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungannya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya-daya hidup termasuk juga hidupnya umat itu dan karenanya tergantung daripadanya, maka pertalian demikian itu yang dirasakan dan berakar dalam alam pikirannya “serba berpasangan” (participerenddenken) itu dapat dan seharusnya dianggap sebagai pertalian hukum (rechtsbetrekking) umat manusia terhadap tanah. 74 Begitu essensialnya hubungan manusia dengan tanah, maka tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu : 1) Karena sifatnya Tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang walaupun mengalami keadaan yang bagaimana pun juga, senantiasa masih bersifat tetap dalam keadaannya, kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan. 2) Karena fakta, yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu : a) Merupakan tempat tinggal. b) Memberikan penghidupan kepada persekutuan. 74
Imam Sudiyat, Op.Cit, Hal.144-145.
Universitas Sumatera Utara
c) Merupakan tempat warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan. d) Merupakan tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan. 75 Sebagaimana dalam lingkup hak ulayat, dalam lingkup hak bangsa pun dimungkinkan para warga negara Indonesia, sebagai pihak yang mempunyai hak bersama atas tanah bersama tersebut, masing-masing menguasai dan menggunakan sebagian dari tanah bersama itu secara individual, dengan hak-hak yang bersifat pribadi. Menguasai dan menggunakan tanah secara individual berarti bahwa tanah yang bersangkutan boleh dikuasai secara perseorangan. Tidak ada keharusan menguasainya bersama-sama dengan orang lain secara kolektif, biarpun menguasai secara bersama dimungkinkan dan diperbolehkan. 76 Hak perseorangan atas tanah ialah hak warga desa ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada diwilayah hak purba persekutuan hukum bersangkutan. 77 Hak perseorangan atas tanah dibatasi oleh hak ulayat. Antara hak ulayat dan hak-hak perseorangan selalu ada pengaruh timbal balik, makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah, makin eratlah hubungannya dengan tanah yang bersangkutan dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut. 78
75
Soerjono Wignojodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV.Haji Masagung, Jakarta, 1992, Hal. 197. 76 Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 233. 77 Imam Sudiyat, Op.Cit Hal. 8. 78 Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 188.
Universitas Sumatera Utara
Hak milik merupakan hak terkuat diantara hak-hak perorangan. Sedangkan Djaren Seragih menjelaskan : Hak milik adalah hak anggota ulayat dimana anggota tersebut mempunyai kekuasaan penuh untuk bertindak atas tanah ataupun isi lingkungan ulayat. Selanjutnya Djaren Seragih menjelaskan bahwa hak milik terdiri dari : a. Hak milik terikat, adalah hak yang dibatasi oleh hak lain, misalnya hak komunal atas tanah dimana sebidang tanah menjadi milik bersama dari penduduk desa. b. Hak milik terikat, adalah hak milik perorangan yang tidak ada campur tangan dari hak desa. Dalam suasana hukum adat hak milik itu tidaklah bebas sebebas-bebasnya, tapi mempunyai fungsi sosial artinya apabila rakyat memerlukan sebidang tanah orang dibebani hak milik, untuk kepentingan kesatuan ulayat, maka hak milik yang ada diatas tanah itu dicabut. 79 Hak wenang pilih, adalah hak yang diberikan pada seseorang untuk mengusahakan tanah dimana orang tersebut didahulukan daripada orang lain. Hak menikmati hasil adalah hak yang diberikan kepada seseorang untuk memungut hasil tanah yang tidak boleh lebih dari satu kali panen. Hak ini biasanya diberikan kepada orang-orang
di
luar
lingkungan
ulayat.
Sedangkan
hak
pakai
dan
hak
menggarap/mengolah, adalah hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menggunakan tanah ataupun memungut hasil tanah tersebut. Hak menggarap yang minimal hak pakai dan hak menikmati hasil ialah hak yang dapat diperoleh oleh warga persekutuan untuk mengolah sebidang tanah, selama satu tahun atau beberapa kali panen. 80
79 80
Djaren Seragih, Op.Cit, Hal.82. Imam Sudiyat, Op.Cit, Hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
Hak imbalan jabatan adalah hak atas tanah yang diberikan kepada pengurus masyarakat selama dia menjadi pengurus tersebut. 81 Sedangkan hak wenang beli yaitu hak seseorang lebih utama dari yang lain untuk mendapat kesempatan membeli tanah (juga empang) tetangganya dengan harga yang sama. Adanya pengaturan mengenai penguasaan atas tanah pada masyarakat Suku Sakai tersebut, juga masih dimilikinya kepala adat sebagai orang yang mengemban tugas untuk memberikan pengaturan dalam kehidupan sehari-hari serta yang memberikan pengaturan terhadap hak penguasaan serta pemilikan atas tanah, maka dengan demikian telah memenuhi kriteria ada atau tidaknya masyarakat hukum adat ada hak ulayatnya sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kepala Desa Kesumbo Ampai bahwa masih terdapatnya masyarakat adat serta tanah ulayat masyarakat Suku Sakai yang masih dikelola dan dipergunakan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. 82
D. Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Pada Masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Pertumbuhan pembangunan disegala bidang saat ini memang membawa dampak tersendiri bagi masyarakat, salah satunya membawa akibat meningkatkan kebutuhan akan tanah, yang berdampak juga kepada tanah-tanah masyarakat hukum 81 82
Djaren Seragih, Op.Cit, Hal. 84. Wawancara Penulis dengan Anita, Kepala Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 26 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
adat/tanah ulayat. Hal demikian tentunya akan mengganggu eksistensi masyarakat hukum adat. Hukum tanah adat merupakan hukum asli, mempunyai sifat yang khas, dimana hak-hak perorangan atas tanah merupakan hak pribadi akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut “fungsi sosial”, seperti yang dijelaskan dalam undang-undang pokok agraria pasal 6. Hukum adat merupakan sumber utama hukum undang-undang pokok agrarian atau hukum pertanahan Indonesia, walau pun hukum adat merupakan dasar dari UUPA tetapi permasalahan terhadap hak kepemilikan atas tanah dalam masyarakat adat di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Dalam sistem hukum adat, tanah ulayat adalah tanah tempat persekutuan menggantungkan harapan dalam menjalankan hidupnya. Pada tanah inilah masyarakat persekutuan bertempat tinggal secara bersama-sama, diatas tanah inilah masyarakat persekutuan mencari nafkah, menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan sumber kekayaan alam yang terdapat didalam tanah ulayat mereka, seperti mencari rotan, kayu, madu lebah, dan juga binatang buruan. Istilah hak ulayat dalam artian sebagaimana di Minangkabau tidak diketemukan di daerah-daerah lain. Tetapi dalam artian lingkungan yang dikuasai memang ada walaupun tidak begitu tepat, baik sebagai milik “petuanan” (Ambon), daerah
penghasil
makanan
“penyampeto”
(Kalimantan),
lapangan
terpagar
Universitas Sumatera Utara
“pewatasan” (Kalimantan), “wewengkon” (Jawa), “prabumian” (Bali), “totabuan” (Bolaang Mongondow), “nuru” (Buru), “limpo” (Sulawesi Selatan), “payar” (Bali), “paer” (Lombok), “tanah dati” (Maluku), dan “ulayat” (Minangkabau). 83 Hak ulayat adalah suatu persekutuan hukum yang menguasai suatu lingkungan tanah termasuk suatu lingkungan, persediaan perluasannya untuk kepentingan hidup persekutuan beserta seluruh warganya. Orang luar persekutuan pada prinsipnya tidak dapat ikut serta dalam menikmati hak tersebut, orang luar hanya dimungkinkan untuk ikut menikmatinya bila ada perkenaan dari persekutuan yang berhak atas tanah ulayat. Orang luar persekutuan yang diperkenankan untuk ikut menikmati hak tersebut, juga tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh hukum adat. Dengan pembatasan tersebut hak untuk dapat menikmati dari orang luar persekutuan berbeda dan lebih lemah dibandingkan dengan isi hak dari anggota persekutuan itu sendiri. 84 Keberadaan tanah ulayat dan hukum adat dalam peta politik nasional sebenarnya sudah jelas. Undang-undang agraria merupakan salah satu kebijakan nasional yang mengayomi keberadaan hukum adat dan tanah ulayat. Salah satu pasal yang mengatur hal ini terdapat pada Pasal 18 B ayat 2. Dalam amandemen kedua pasal ini dijelaskan adanya pengakuan keberadaan tanah ulayat adat, dan hak-hak
83
Soerjono Wignjodipuro, Op.Cit Moh. Koesnoe, Hak-Hak Persekutuan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia, UIR Press, Pekanbaru, 1994, Hal. 105. 84
Universitas Sumatera Utara
masyarakat asli. Dalam aturan yang lebih tinggi, bahkan pengakuan terhadap keberadaan tanah ulayat dan pemberlakuan hukum adat sudah diatur dalam deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang perlindungan Masyarakat Adat. 85
Lalu
bagaimana dengan hak ulayat menurut hukum adat, karena hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat adat. Mengenai hak ulayat masyarakat adat juga di atur dalam pasal 3 Undang-undang pokok agrarian, yaitu: “dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi ”. Bahwa isi pasal tersebut merupakan pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah (hak ulayat) dan masyarakat hukum adat. Pasal 13 dan Pasal 5 UUPA menggariskan tentang hak-hak tanah adat termasuk didalamnya hak ulayat. Rumusan tanah adat yang secara jelas atau tegas dirumuskan dalam UUPA : 1. Bahwa berhubungan dengan penegasan dalam UUPA maka perlu adanya hukum agraria nasional yang mendasarkan hukum adat tentang tanah, yang
85
Majalah Teraju, Edisi XII Desember 2008- Januari 2009, Hal.27.
Universitas Sumatera Utara
sederhana dengan tidak mengabaikan pada unsur yang bersandar pada hukum agraria. 2. Penjelasan UUPA pada nomor II/3 disebutkan sebagai berikut : bertalian dengan hubungan antar bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan negara seperti disebut dalam Pasal 1 dan Pasal 2 maka didalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum. Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut ketentuannya masih ada harus dipertahankan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan dan keselamatan serta kesatuan bangsa sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat juga harus disertai dengan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang melekat pada hak ulayat itu, diantaranya : 1. Hak masyarakat hukum adat untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah hukumnya (tanah ulayat). 2. Hak ulayat masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya, yaitu : a.
Hak untuk membuka tanah (hutan);
b.
Hak untuk memungut hasil hutan;
Universitas Sumatera Utara
c.
Hak untuk mengambil kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi (bahan tambang);
d.
Hak untuk mengambil ikan di sungai, danau atau pantai yang ada di wilayah hukumnya;
e.
Hak untuk mengambil binatang liar yang ada dihutan yang belum dipunyai oleh orang. 86 Maka dari itu pengakuan terhadap hak-hak ulayat masyarakat hukum adat
tersebut harus disertai dengan pengakuan terhadap tanah ulayatnya, karena hak-hak dari masyarakat hukum adat sebagaimana yang disebutkan diatas, semuanya berkaitan dengan tanah ulayat masyarakat hukum adat tersebut, karena semua hak tersebut terdapat diatas tanah ulayat. Oleh karena itu tanpa tanah ulayat, maka hakhak masyarakat hukum adat tersebut tidak akan pernah ada. Pengakuan hak ulayat dibatasi pada 2 (dua) hal yaitu berkenaan dengan eksistensi dan pelaksanaannya. Hak Ulayat diakui eksistensinya, bilamana menurut kenyataannya di lingkungan kelompok warga masyarakat hukum adat tertentu yang bersangkutan memang masih ada. Jika ternyata masih ada, pelaksanaannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan persatuan bangsa. 87
86 87
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 128. Ibid, Hal. 192.
Universitas Sumatera Utara
Tentang pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, UUPA tidak memberikan kriterianya. Kiranya masih adanya hak ulayat diketahui dari kenyataan mengenai 1) masih adanya suatu kelompok orang-orang yang merupakan warga suatu masyarakat hukum adat tertentu dan 2) masih adanya tanah yang merupakan wilayah masyarakat hukum adat tersebut yang disadari sebagai kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat itu sebagai “lebens-raum” nya. Selain itu eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan juga diketahui dari kenyataan masih adanya 3) kepala adat dan para tetua adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warganya, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pengemban tugas kewenangan masyarakat hukum adatnya, mengelola, mengatur peruntukan, penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut. 88 Sedangkan menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pada Pasal 2 ayat (2), syarat eksistensi hak ulayat adalah : “a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari. d. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.” 88
Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 192.
Universitas Sumatera Utara
Pada kenyataannya, hak ulayat didalam masyarakat-masyarakat hukum adat masih ada tetapi intensitas eksistensinya di berbagai daerah berbeda-beda. Kepastian mengenai eksistensi hak ulayat di suatu masyarakat hukum adat tertentu hanya dapat diperoleh dengan cara meneliti keadaan masyarakat hukum adat tersebut apabila terdapat masalah yang perlu diselesaikan. Sedangkan untuk syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan pada persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Adapun mengenai apa yang dimaksud dengan kepentingan nasional dan negara dapat dilihat dari Penjelasan Umum II/3 yang menyatakan bahwa : “Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebelumnya akan di dengar pendapatnya dan akan di beri “recognitie” yang memang iya berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu. Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum itu menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas.” Berdasarkan penjelasan umum tersebut dapat diketahui bahwa di atas tanah ulayat dapat dibebani dengan suatu hak guna usaha, sedangkan berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa : “hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan, pertanian, perikanan, atau peternakan.”
Universitas Sumatera Utara
Sehingga dengan demikian bahwa hak guna usaha hanya dapat diberikan kepada tanah yang secara langsung dikuasai oleh negara. Sedangkan berdasarkan Penjelasan Umum II/3 tersebut dinyatakan bahwa di atas hak ulayat dapat dibebankan dengan hak guna usaha, maka dari itu tanah hak ulayat dapat dikatakan sebagai tanah negara, sehingga negara dapat memberikan sesuatu hak di atas tanah ulayat itu seperti hak guna usaha ataupun misalnya hak penguasaan hutan. Sehingga dengan demikian dapat menghilangkan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya seperti hak memungut hasil hutan ataupun hak untuk mengambil kekayaan alam di atas tanah ulayat tersebut. Dengan adanya pengakuan dalam UUD 1945 sebagai payung hukum tertinggi dalam Negara Republik Indonesia, maka merupakan peluang terbesar bagi masyarakat hukum adat karena semua produk hukum yang terkait dengan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya harus diikuti keberadaannya, dengan demikian masyarakat akan menjadi subjek dari pembangunan, sehingga kesejahteraan yang dicita-citakan akan terletak ditangan masyarakat itu sendiri. Serta dengan adanya pengakuan hak ulayat, maka pada dasarnya masyarakat kolektif secara adat akan diperhatikan sepanjang kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan, sebaliknya jika berdasarkan hak ulayat menjadi penghalang kemajuan pembangunan masyarakat dan sertifikasi tanah, sehingga harus diutamakan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dapat diketahui bahwa UUPA telah mendua di dalam pengaturannya, karena disatu sisi UUPA mengakui eksistensi hak ulayat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 UUPA, akan tetapi disisi lain juga melakukan pengingkaran terhadap hak ulayat masyarakat sebagaimana yang terdapat dalam Penjelasan Umum II/3 UUPA. Padahal sebagaimana amanat yang terkandung dalam UUD 1945 yang mengakui dan menghormati hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 18 B ayat (2) yaitu : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.” Selanjutnya juga diatur dalam Pasal 28 ayat (3) UUD 1945 : “Identitas budaya dan hak-hak tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Berdasarkan kata hormat tersebut, maka Negara Republik Indonesia harus menghormati arti kata mengikuti dan menaati, keberadaan masyarakat hukum adat dan pemerintahan adatnya, dan hak-hak atas tanah adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat (hak ulayat) dan hak perorangan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah adat. 89
89
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 128
Universitas Sumatera Utara
Begitu tegasnya peraturan perundang-undangan memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat begitupun tanah ulayatnya, sehingga dengan demikian seharusnya tidak ada lagi pihak-pihak yang dapat berbuat sewenangwenang terhadap masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya, begitu pula masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis, Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Mandau. Karena eksistensi masyarakat Suku Sakai tersebut
berdasarkan
syarat
eksistensi yang telah ditentukan oleh undang-undang maka Suku Sakai tersebut masih benar-benar merupakan hukum adat, hal ini terbukti dari masih adanya kelompok masyarakat hukum adat, di daerah Kabupaten Bengkalis, tepatnya di Desa Kesumbo Ampai Kecamatan Mandau yang dalam kehidupan sehari-harinya masih terikat tatanan hukum adat yang berlaku di lingkungan wilayah mereka. Begitu juga dengan tanah atau lahan yang menjadi tempat hidup mereka merupakan tanah milik turun-temurun milik nenek moyang mereka yang masih dimiliki secara bersama, demikian juga dalam hal pengurusan dan penguasaan serta penggunaan tanah tersebut mereka masih mengikuti aturan-aturan hukum adat yang berlaku di lingkungan mereka, yang diawasi dan diatur oleh kepala suku atau ketua adat yang mereka miliki. 90
90
Wawancara Penulis dengan M. Yatim, batin Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 28 Maret
2010.
Universitas Sumatera Utara
Kalau kita perhatikan dengan seksama tiang tonggak dari hak ulayat itu bertumpu pada adanya Hak Ulayat dan adanya Masyarakat Hukum Adat, sehingga Mahadi pernah menyatakan bahwa tidak mungkin masyarakat hukum adat itu ada tanpa ada hak ulayat dan adanya hak ulayat itu melekat dengan adanya masyarakat hukum adat. Dalam pengertian masih ada itu seyogyanya tidak ada usaha untuk meniadakan hak tersebut dengan berbagai alasan, seperti : a. Hak Ulayat itu tidak jelas batas-batasnya (memang masyarakat hukum adat tidak menetapkan patok-patok seperti pada surat-surat ukur), namun oleh mereka batas-batas itu ditentukan menurut alam, seperti sungai, bukit, tanaman pohon hidup, parit yang sengaja dibuat dan lain-lain. Keadaan yang demikian menimbulkan ketidak pastian bagi masyarakat. b. Tidak ada bukti-bukti tertulis (dan ini sama saja meminta tanduk pada kuda). c. Dikatakan bahwa hak ulayat itu sering menimbulkan suatu hambatan dalam pembangunan ekonomi dan sosial apalagi dalam rangka penanaman modal. d. Konflik-konfik antara kehutanan dan masyarakat sekitar hutan tersebut sudah merupakan rahasia umum, dan selalu para anggota masyarakat hukum adat itu dikalahkan. 91
91
Parlindungan, Status Hukum Tanah Ulayat terangkum dalam Kumpulan Makala Seminar Tanah Adat, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
Suku Sakai merupakan masyarakat asli yang mendiami beberapa daerah Kecamatan Mandau dan Minas termasuk dalam kawasan Batin Nan Delapan, yang memiliki tanah-tanah adat, yang dikuasai oleh masing-masing batin batin dengan pembagian hutan tanah untuk Batin Delapan dan Batin Nan Limo. Desa Kesumbo Ampai termasuk dalam wilayah Batin Nan Delapan, yang sebut juga dengan Batin Sebanga. Jika ditelaah lebih lanjut pendapat Mahadi dengan keadaan tanah ulayat Masyarakat Sakai saat ini sudah sedikit melemah, sehingga batas-batas yang termasuk tanah ulayat tidak jelas. Dengan tidak diperkuatnya bukti-bukti tertulis menyebabkan tanah ulayat yang ada di Sakai sering kali terjadinya peralihan hak secara musyawarah dengan ganti rugi yang pada akhirnya masyarakat Sakai juga yang dirugikan. Wilayah hukum Suku Sakai yang disebut dengan perbatinan telah lama diakui jauh sebelum kemaharajaan kesultanan Siak Sri Indrapura. Oleh karena itu, dalam budaya
Sakai
mereka
mengenal
“Hak
Ulayat”
(Beschikkingsrecht)
yang
kekuasaannya berada ditangan persekutuan hukum komunitas Suku Sakai, namun keberadaan Suku Sakai ini telah terdesak oleh berbagai kepentingan pembangunan (pertambangan, kehutanan, dan perkebunan) yang menyebabkan lambat laun eksistensi hak ulayat Suku Sakai semakin memudar.
Universitas Sumatera Utara
Ada dua jenis yang dapat dilihat dari kepemilikan tanah ulayat orang Sakai. Pertama adalah tinjauan masyarakat adat, kedua adalah tinjauan hukum. Dahulu pada masa kejayaannya, mereka mempunyai tanah ulayat yang mereka namakan tanah perbatinan, baik perbatinan delapan maupun perbatinan lima. Tanah ulayat adalah tanah yang tidak boleh dijual oleh siapapun, sebab tanah tersebut adalah milik seluruh warga. Di tanah ulayat inilah mereka meletakkan suatu harapan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Kepemilikan tidak oleh diganggu gugat tanpa seizin Batin, karena batinlah yang meletakkan dasar tanah adat tersebut. Dan Batin jugalah yang berhak untuk membagikan tanah tersebut. Tanah ulayat masyarakat suku Sakai di Desa Kesumbo Ampai dalam pemanfaatannya juga sesuai dengan kepentingan umum masyarakat, dalam artian bahwa tanah ulayat tersebut dapat dipergunakan sebagai tempat perkuburan umum, tempat pengembalaan hewan ternak, dengan tetap tidak melupakan ketentuan hukum adat yang berlaku. Hal ini jika dihubungkan dengan UUPA maka sesuai dengan prinsip yang dianut terdapat dalam Pasal 6 UUPA, yang menyebutkan bahwa,”semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Menurut Misran, mereka masih merasakan keberadaan hutan/tanah ulayat mereka dengan utuh, tanpa ada gangguan dari pihak luar, jika ada pun permasalahan
Universitas Sumatera Utara
dari pihak luar mereka akan mendiskusikan dengan kepala batin bagaimana pemecahan masalah tersebut. 92 Pemimpin masyarakat Suku Sakai yang paling menentukan ialah Batin. Tugas seorang Batin adalah menegakkan ketentuan adat ditengah-tengah masyarakat, mengatur pemakaian hutan, mengatur peruntukan tanah bagi anggota masyarakat, maupun mengatur tata cara sosial kemasyarakatan. Dalam mengatur hutan dan menentukan lokasi perladangan serta menetapkan batas-batasnya, namun demikian Batin tetap bekerjasama dengan Kepala Desa. Batin merupakan seorang kepala adat tempat masyarakat berkeluh kesah tentang kehidupan, baik itu dalam segi politik, sosial dan ekonomi dalam masyarakat Suku Sakai. Salah satunya tentang gangguan pihak luar terhadap hutan dan tanah ulayat mereka, mereka akan membicarakan masalah tersebut kepada batin bagaimana solusi yang akan diambil dari permasalahan tersebut. Diskusi biasanya mereka lakukan ditempat kediaman Batin, dan itu dilakukan pada malam hari, karena kegiatan diluar sudah tidak ada lagi pada malam hari, dan hanya dihadiri oleh para laki-laki saja. Pada awalnya seluruh tanah dalam wilayah persekutuan hukum masyarakat Sakai berasal dari tanah ulayat. Akan tetapi karena semakin kuatnya hubungan individual masyarakat Sakai dengan tanahnya, yaitu dengan diolah dan diusahakan
92
Wawancara Penulis dengan Misran, Masyarakat Suku Sakai, Tanggal 25 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
secara terus menerus, maka penguasaannya berada ditangan orang yang menguasainya. Padahal dahulunya sebagian besar dikuasai oleh persekutuan Sakai, dibawah penguasaan Batin. Akan tetapi walaupun demikian seluruh anggota masyarakat adat Suku Sakai Desa Kesumbo Ampai tersebut mempunyai hak yang sama untuk membuka, memanfaatkan dan menikmati hasil tanah ulayat tersebut. Apabila semakin kuatnya hubungan individu dengan tanah ulayatnya sehingga hal ini merupakan salah satu alasan semakin berkurangnya tanah ulayat masyarakat Suku Sakai Kabupaten Bengkalis. Selain juga pemberian penguasaan tanah kepada perusahaan HPH maupun HTI oleh pemerintah. Sehingga menyebabkan masyarakat kehilangan beberapa sumber mata pencariannya, diantaranya berburu di hutan juga mencari madu lebah, karena hutan telah dijadikan hutan tanaman industri yang tanamannya telah diganti dengan satu tanaman sejenis yaitu akasia. Setiap anggota komunitas masyarakat suku sakai memiliki hak memanfaatkan tanah ulayat serta hak-hak atas tanah antara lain yaitu: 1. Hak bersama masyarakat hukum adat. Hak bersama ini dikenal dengan istilah hak ulayat. Hak ini merupakan hak memanfaatkan tanah ulayat secara bersama-sama, seperti bertani, yang dilakukan dengan cara berpindah-pindah, hal ini dilakukan karena adanya berbagai macam keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat Suku Sakai, seperti keterbatasan skill. Adapun cara berladang yang mereka lakukan yaitu dengan cara berkelompok, yang
Universitas Sumatera Utara
setelah 5 kali perpindahan maka mereka akan kembali pada tanah yang mereka buka pertama kalinya (kepala tanah). Membuka hutan ulayat untuk dijadikan lahan tempat mereka bertani dilakukan dengan izin dari Batin. Dalam membuka hutan untuk dijadikan ladang tersebut, masing-masing keluarga telah menentukan kira-kira berapa luas masing-masing ladang yang hendak dibuatnya. Adapun ladang-ladang orang Sakai dibuat bertetangga mengikuti pola. Sebuah ketetanggaan terdiri dari ladang-ladang yang ukuran jarak bagian muka dan belakangnya adalah sama. Jika dalam ketetanggaan tersebut terdapat 5 (lima) ladang, maka ladang 1,2,dan 3 ukuran tiap-tiap ladang adalah dua jalur (20m x 50m). 93 Ladang 4, dan 5 masing-masing berukuran dua jalur (20m x 50m) dan tiga jalur (30m x 50m). Setiap ladang di ketetanggaan ladang 4 dan 5 mempunyai panjang muka-belakang yang sama tetapi lebar yang tidak sama. Dalam aturan perladangan orang Sakai jarak ladang muka-belakang tergabung dalam sebuah ketetanggaan haruslah sama, sedangkan lebarnya dapat berbeda-beda. 94 2. Hak perseorangan atas tanah. Hak perseorangan atas tanah pada masyarakat Suku Sakai berasal dari tanah di lingkungan ulayat mereka. Adapun perubahan hak ulayat menjadi hak perseorangan dilakukan dengan cara mereka menghadap kepada Batin, untuk mendapat izin untuk
93
Satu jalur sama dengan 20depa x 50depa, dan satu depa menurut ukuran orang Sakai adalah sama dengan 1m, atau satu jalur luasnya kira-kira 100m2. 94 Wawancara Penulis dengan M.Yatim, Kepala Batin, Tanggal 1 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
membuka hutan terlebih dahulu yang kemudian dijadikan sebagai areal perladangan. Hutan tersebut dibuka secara berkelompok dengan anggota kelompok sekitar 10 kepala keluarga, yang luasnya disesuaikan dengan kemampuan tenaga anggota dalam kelompok. Setelah tanah selesai dibersihkan dan siap untuk ditanami maka kemudian dibagi dengan anggota kelompok tersebut, apabila tanaman yang ditanami sudah besar biasanya mereka akan mendirikan tempat tinggal areal tersebut, sehingga hubungan tanah dan pengelolaan menjadi satu. Sehingga pada akhirnya tanah tersebut menjadi milik mereka. Akan tetapi sebaliknya apabila tanah tersebut setelah ditanami dan telah dipanen kemudian dibiarkan tidak diolah lagi hingga kembali dipenuhi belukar maka tanah tersebut menjadi tanah ulayat kembali. Maka dengan demikian hak perorangan atas tanah pada masyarakat Suku Sakai dengan hak perorangan menurut hukum adat yaitu bahwa hak perorangan dibatasi oleh hak ulayat. Hak perseorangan masyarakat Suku Sakai dapat berupa : a. Hak milik Masyarakat Suku Sakai mempunyai hak milik, luas tanah yang dimiliki dibagi dalam 3 kategori yaitu : > 1 jalur 2 – 3 jalur < 4 jalur ( 1 jalur = 100 x 25 m)
Universitas Sumatera Utara
Pembagian kategori hak milik ini ditentukan oleh Batin setempat. Jadi kepemilikan tidak boleh diganggu gugat oleh tanpa ijin batin. b. Hak wenang pilih Bentuk hak wenang pilih yang dikenal oleh masyarakat Suku Sakai, dalam bentuk antara lain : 1)
Bagi anggota masyarakat Suku Sakai yang memberikan tanda larangan pertama kali pada sebidang tanah yang akan dijadikan areal perladangan, yang setelah tanda tersebut diberikan pada bidang tanah tersebut maka tanah tersebut tidak boleh ditelantarkan lagi, karena apabila tanah tersebut tidak dikerjakan dalam beberapa waktu maka tanah tersebut akan kembali menjadi tanah ulayat dan anggota masyarakat Suku Sakai lainnya dapat memberi tanda untuk kemudian diolah.
2)
Hutan rimba ada yang di sekitar tanah perladangan tanah perladangan, menjadi hak wenang dari warga yang membuka tanah untuk pertama kali.
3)
Berdasarkan sistem peladangan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Sakai yaitu dengan berpindah-pindah, maka setelah 5 kali perpindahan maka mereka akan kembali ke lokasi semula, walaupun tanah tersebut telah menjadi belukar akan tetapi itu merupakan areal wenang pilihnya.
c. Hak pakai
Universitas Sumatera Utara
Atas inisiatif dari Kelapa Batin Delapan, karena melihat semakin berkurangnya luas tanah ulayat untuk pemukiman maupun tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hutan larangan yang sudah tidak ada lagi, sungai yang juga salah satu tempat mencari ikan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup juga sudah tercemar, maka oleh Kepala Batin Delapan dan Batin Nan Lima diusahakan tanah seluas 17x7 km di Desa Sebangar yang sebagian masih hutan rimba. Tanah tersebut berasal dari Punih Batin Militer Khalifah Rajab sebagai Kepala Suku Sakai, yang telah dikuasakan kepada Kepala Desa Sebagar Duri untuk kepentingan bersama Suku Sakai. Tanah tersebut dimanfaatkan warga Suku Sakai di Kecamatan Mandau. Masing-masing kepala keluarga diberikan seluas 2ha, dengan status hak pakai. 95 Masih adanya penguasaan atas tanah pada masyarakat Suku Sakai begitu pula masih dimilikinya ketua adat yang tersebut dengan Batin sebagai orang yang mengemban tugas untuk memberikan pengaturan dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan pengaturan terhadap hak penguasaan, pemilikan atas tanah, maupun aturan dalam kehidupan sehari-hari, dan masih adanya juga masyarakat Suku Sakai sebagai warga komunitas masyarakat hukum adat, maka dengan demikian hal ini
95
Hak Pakai disini bukanlah hak pakai yang dimaksud dalam UUPA, didalam UUPA hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu 10 tahun, tetapi hak pakai yang berlaku di dalam lingkungan Perbatinan masyarakat Suku Sakai di Kecamatan Mandau hak pakai ini dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah itu tidak digunakan atau telantar, hak pakai yang bersangkutan dihapus. Penggunaan selanjutnya dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan.
Universitas Sumatera Utara
telah memenuhi kriteria ada atau tidaknya masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang pokok agraria. Jika ditinjau dari segi hukum, pasal 3 UUPA menyimpulkan dua syarat terhadap pengakuan hak ulayat, yaitu mengenai eksistensinya bahwa hak ulayat diakui sepanjang menurut keyakinan masih ada. Kedua mengenai pelaksanaannya. Pelaksanaan hak tanah ulayat hatus sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan oleh rasa persatuan dan kesatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan pasal 58 UUPA mengakui hak ulayat dan hak-hak lain yang sejenis yang tidak bertentangan dan selama belum diatur khusus, maka apa yang menjadi petunjuk yang diatur dalam pasal 3 jika dipenggal akan berbunyi, “bahwa hak ulayat itu masih merupakan kenyataan hidup”, artinya dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa tanah ulayat tersebut masih berfungsi dan masih dipatuhi oleh masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa UUPA tidak memberikan secara tegas apa ukuran untuk menentukan apakah hak ulayat dalam kenyataannya masih ada. Artinya kalau pada tanggal 24 September 1960 (lahirnya UUPA) ini ada hak ulayat dalam kenyataannya, maka selanjutnya hak ulayat itu akan diakui, meskipun dengan
Universitas Sumatera Utara
pembatasan-pembatasan. Sebaliknya, kalau dalam kenyataannya pada tanggal tersebut hak ulayat tidak ada, maka seterusnya hak ulayat itu akan dianggap tidak ada. Bagi orang Sakai hutan dan tanah memiliki fungsi ekonomi,sosial dan politik. Hutan bagi orang Sakai berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan dan sebagai tempat mempertahankan eksistensi komunal mereka. Namun, setelah hutan dan tanah tersebut setelah ditanami dengan sawit dan karet, masyarakat Sakai kehilangan tempat tinggal, tempat mencari makan, dan terpencar-pencarnya kesatuan sosial orang Sakai. Walaupun hutan dan tanah yang dikuasai oleh masyarakat Sakai tersebut masuk dalam pengertian hutan dan tanah negara, namun sepanjang masyarakat hukum adat tersebut menurut kenyataannya masih ada, maka masih mempunyai hak untuk mendapat manfaat dari hutan dan tanah itu. Pengertian hak untuk memperoleh manfaat, tidak berarti hak untuk menguasai. Karena hak untuk menguasai telah diangkat ketingkat yang lebih tinggi yaitu Negara. Otonomi daerah sebagai suatu momentum dimilikinya kewenangan oleh daerah untuk mengurus masalah pertanahan didaerahnya, tentunya merupakan suatu pencerahan bagi daerah, karena mereka lebih dapat mengetahui bagaimana situasi daerahnya, masyarakatnya serta kebutuhan masyarakatnya. Harapan perbaikan jelas tertumpu pada otonomi daerah, pelaksanaan otonomi daerah pun bergantung pada kemampuan pemerintah daerah serta seluruh komponen masyarakat daerah. Dengan
Universitas Sumatera Utara
pandangan bahwa, dalam bidang pertanahan, tanah tidak lagi dipandang sebagai komoditas yang siap jual, atau diserahkan kepada berbagai pihak dengan segala kemudahan, akan tetapi lebih kepada pemanfaatan bersama secara lebih adil dalam kegiatan produksi yang hak penguasaannya tetap berada ditangan rakyat. Adanya otonomi daerah tersebut maka pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam penetapan keberadaan masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam mendukung eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat antara lain: 1) Inventarisasi daerah yang masih terdapat masyarakat hukum adat. 2) Melakukan pengkajian dan penelitian. 3) Menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah masyarakat hukum adat dalam bentuk peraturan daerah. 4) Mengusulkan kepada Menteri kehutanan untuk menetapkan wilayah masyarakat hukum adat sebagai hutan adat. Mengingat pengaturan tentang masyarakat hukum adat dalam tatanan undangundang dan peraturan pemerintah maka hal tersebut diartikan sebagai perintah untuk pejabat Bupati/Walikota untuk menindaklanjuti dalam bentuk perda bagi wilayahnya yang memiliki masyarakat hukum adat dan ada hak-hak ulayat yang melekat di dalamnya. Dalam alam desentralisasi sekarang ini, pemerintah daerah hendaknya mampu menciptakan iklim demokrasi yang merupakan payung desentralisasi.
Universitas Sumatera Utara
Demokrasi memerlukan kepastian hukum, demikian pemerintah daerah harus mampu menciptakan produk hukum yang dapat mendukung fungsi hutan adat yang dapat agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara lestari dalam rangka peningkatan kesejahteraannya. 96 Era otonomi daerah ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, sangat jelas mengatur mengenai hak-hak masyarakat dibidang pertanahan yang menjadi urusan pemerintah daerah. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14, yaitu: “Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk Kabupaten/Kota merupakan urusan yang berskala Kabupaten/Kota meliputi point (k) tentang pelayanan pertanahan.” Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, sesuai bagaimana yang terdapat dalam penjelasan point (b), menyatakan bahwa: “Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti wilayah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintahan yang di tetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.” Kemudian apabila diperhatikan lebih lanjut Pasal 126 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Camat sebagai aparat pemerintahan di
96
Budi Riyanto, Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam, Penerbit Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2006, Hal.56.
Universitas Sumatera Utara
kecamatan memperoleh pelimpahan wewenang dari Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi tugas-tugas: “a. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat. b. Mengkoordinasikan upaya penyelengaraan ketentraman dan ketertiban umum. c. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan. d. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum e. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintah ditingkat kecamatan. f. Membina penyelenggaraan pemerintah desa dan/atau kelurahan. g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugas dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintah desa atau kelurahan.” Melihat begitu pentingnya urusan pemerintah kecamatan di era otonomi daerah saat ini dalam rangka pemberdayaan Kecamatan maupun Desa, sesuai dengan yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan dengan demikian diharapkan hak-hak masyarakat hukum adat, seperti hak atas tanah ulayatnya semakin mendapat perlindungan dan juga pengakuan oleh berbagai pihak maupun oleh pemerintah sendiri guna terwujudnya kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Dalam konsideran menimbang pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut juga disebutkan: “a. Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
b. Bahwa efesiensi dan efektifitas penyelenggaran pemerintah daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintah negara.” Kemudian dilanjutkan dengan adanya kebijakan nasional di bidang pertanahan yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota dan Propinsi, menyatakan bahwa sebagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota maupun Propinsi tersebut meliputi : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Pemberian izin lokasi. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan. Penyelesaian tanah garapan. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian kelebihan maksimum serta tanah absentee. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. Pemberian izin membuka tanah. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota. 97 Adanya kebijakan tersebut juga berarti memberikan peluang dan kesempatan
kepada daerah kabupaten/kota untuk mempertahankan eksistensi tanah ulayat didaerahnya, karena kebijakan tersebut telah memberikan kesempatan untuk itu. Oleh karena itu daerah dapat menggunakan peluang tersebut untuk mempertahankan eksistensinya melalui Peraturan daerah (Perda). Mengenai kewenangan dan
97
Keppres No.34 Tahun 2003 Pasal 2 ayat (2) Tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan.
Universitas Sumatera Utara
penetapan suatu peraturan daerah berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagaimana yang diatur dalam Bab VI, Pasal 136 sampai dengan Pasal 149, yang terpenting dalam hubungan ini adalah ketentuan dalam Pasal 139 ayat (1) yang berbunyi : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan perda.” Adapun proses yang perlu dilalui dalam pembuatan perda tersebut yaitu dengan dibentuknya terlebih dahulu Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pembentukan badan pemusyawaratan desa dapat dibuat apabila pemerintah daerah setempat mengeluarkan perda tentang pembentukan BPD tersebut. Landasan hukum pembentukan perda tersebut yaitu Pasal 209 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi : “Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.” Serta Pasal 210 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi : “(1). Anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. (4). Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam Perda yang berpedoman pada peraturan pemerintah.” Adapun “wakil” yang dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut dalam penjelasannya adalah penduduk desa yang
Universitas Sumatera Utara
memangku jabatan seperti ketua rukun warga, pemangku adat, dan tokoh masyarakat lainnya. Setelah terbentuknya badan permusyawaratan desa maka selanjutnya adalah pembuatan
kesepakatan
desa
dengan
keputusan
BPD
dan
kepala
desa.
Memperhatikan bunyi Pasal 209 dan 210 ayat (1) dan (4) tersebut apabila dikaitkan dengan proses pembuatan keputusan desa, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut : “1. Penerbitan Perda kabupaten/kota tentang pembentukan BPD. 2. Setelah Perda tentang pembentukan BPD diterbitkan, maka BPD segera dibentuk. 3. Setelah BPD terentuk maka BPD mengadakan rapat (musyawarah/mufakat) untuk memilih pimpinan BPD. 4. Setelah pimpinan BPD terpilih, maka BPD mengadakan rapat (musyawarah/mufakat) untuk mengambil keputusan yang telah diagendakan, antar lain tentang masyarakat hukum adat dan tanah ulayat. 5. BPD bersama Kelapa Desa mengeluarkan keputusan desa yang isinya mengenai keputusan hasil musyawarah/mufakat BPD.” 98 Maka demikian masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya dan hak ulayatnya telah terbuka jalan untuk diperjuangkan dan dimohonkan pembuatan perda untuk perlindungannya. Dalam penelitian yang dilakukan melemahnya hak ulayat pada masyarakat Sakai dikarenakan tidak sampainya sosialisasi dan penyuluhan dari pihak BPN pada masyarakat Sakai tersebut, pihak BPN menganggap tanah ulayat yang dikatakan oleh
98
A. Bazar Harahap, dkk, Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV.Yani’s, Jakarta, Hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Sakai itu tidak ada karena tanah yang mereka katakan tanah ulayat merupakan tanah negara yang mana masyarakat Sakai hanya diberikan hak manfaat saja. Serta kurangnya pengawasan dari pihak BPN terhadap pertanahan di Riau khususnya tanah masyarakat adat. Dapat dilihat bahwa hak ulayat atas tanah pada masyarakat Suku Sakai memiliki kecendrungan semakin berkurang hak ulayatnya, hal ini dikarenakan dengan semakin menguatnya pengaruh (intern) hak individu ataupun hak perorangan atas tanah maupun karena penguasaan atas tanah dengan pemberian hak guna usaha kepada perusahaan HTI, ataupun karena kesewenangan pihak lain pengaruh (ekstern) terutama kebijakan dan pengaruh pihak penguasa, seperti penyerobotan atas tanah masyarakat Sakai maka perlu adanya suatu ketentuan yang benar-benar melindungi hak masyarakat Sakai, ketentuan yang jelas secara langsung dapat berhubungan dengan masyarakat Sakai. Karena dalam peralihan penguasaan atas tanah, rakyat yang berada dalam kondisi politik dan ekonomi yang demikian lemah yang harus dilindungi. Jika ditinjau dari hasil penelitian lapangan lemahnya atau hilangnya hak ulayat pada masyarakat Sakai terjadi sejak zaman kemerdekaan Indonesia dan terbukanya jalan raya buatan yang menghubungkan antara Pekanbaru dengan Dumai, yang kemudian berlanjut dengan dibukanya ladang-ladang minyak yang diiringi dengan pemukiman-pemukiman baru, baik oleh perusahaan ataupun oleh pendatang-
Universitas Sumatera Utara
pendatang baru, juga diakibatkan adanya kebijakan dan tindakan-tindakan dari pihak penguasa, untuk memperoleh tanah yang merupakan tanah adat menurut masyarakat Sakai untuk berbagai keperluan pembangunan, baik oleh pemerintah ataupun pengusaha swasta. Hal ini juga disebabkan oleh lemahnya perlindungan kewenangan yang diberikan pemerintah terhadap perkembangan masyarakat adat yang ada di Riau apalagi tanah ulayat tempat masyarakat itu tinggal. Yang oleh pemerintah lebih mementingkan kepentingan bersama dari pada kepentingan suatu kelompok individu saja.
Universitas Sumatera Utara