BAB II DASAR TEORI 2.1. Prinsip Kerja Penyerapan Bunyi Hukum konservasi energi mengatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Energi hanya bisa diubah bentuk dari bentuk satu ke bentuk lainnya. Jika terdapat kebisingan dalam ruangan, energi itu sendiri tidak dapat dihilangkan tapi dapat diubah menjadi bentuk energi yang tidak berbahaya. Inilah fungsi dari material penyerap bunyi. Secara garis besar penyerap bunyi dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: porous absorber, membrane absorber, dan volum/resonator absorber. Umumnya porous absorbers merupakan yang paling efektif bekerja pada frekuensi tinggi. Koefisien serap bunyi dari porous absorbers meningkat seiring dengan frekuensi yang semakin tinggi, sedangkan membrane, dan volum/resonator absorber bekerja baik pada frekuensi rendah (Rossing, 2014). Semua tipe dari absorber secara fundamental bekerja dengan cara yang sama. Bunyi merupakan energi getaran dari partikel udara dan dengan menggunakan absorber, energi getaran dapat diubah bentuk menjadi energi panas sehingga energi bunyi berkurang. Jumlah energi panas yang dihasilkan dari penyerapan bunyi amat kecil (Doelle, 1993).
Gambar 2.1 Ilustrasi penyerapan bunyi (Everest dan Pohlmann, 2009) Sebuah gelombang bunyi (S) merambat di udara mengenai dinding yang dilapisi material akustik, seperti terlihat pada gambar. Ketika gelombang bunyi melintasi udara, terjadi kehilangan panas (E) yang kecil hasil dari gesekan udara.
5
Sebagian gelombang bunyi yang mengenai permukaan material akustik (A) dipantulkan lagi ke udara (Everest dan Pohlmann, 2009). Beberapa bagian dari gelombang bunyi menembus lapisan material akustik ditunjukkan pada Gambar 2.1. Arah dari lintasan gelombang bunyi berbelok ke bawah karena material akustik lebih padat daripada udara. Terjadi kehilangan panas (F) ketika terjadi gesekan dengan material akustik yang ditimbulkan dari getaran partikel udara. Ketika gelombang bunyi mengenai permukaan dinding, terjadi 2 hal: sebagian gelombang dipantulkan (B) dan juga sebagian lagi dibelokan ke bawah ketika menembus dinding yang lebih padat. Kehilangan panas (G) kembali terjadi di dalam. Gelombang yang semakin melemah selama menembus material padat, mengenai batas dinding-udara mengalami pemantulan (C). Gelombang terus melintas sampai kemudian mengenai batas antara dindingudara terjadi pemantulan (C) dan pembiasan (D) dengan kehilangan panas (I, J, dan K) pada ketiga media (Everest dan Pohlmann, 2009) Gelombang bunyi (S) mengalami kejadian komplek selama perjalanan melintasi penghalang. Setiap kejadian memantul dan menembus udara, dinding, maupun material akustik mengurangi jumlah energinya. Hasil yang didapatkan dari pengukuran merupakan agregat dari tiap proses yang terjadi (Everest dan Pohlmann, 2009) Koefisien serap bunyi digunakan untuk menentukan efektifitas sebuah material dalam menyerap bunyi. Koefisien serap bunyi bervariasi tergantung dengan sudut datangnya bunyi. Bunyi menyebar ke segala arah dalam suatu ruangan. Dalam banyak perhitungan, kita membutuhkan koefisien serap bunyi rata- rata dari semua sudut datang yang mungkin (Everest dan Pohlmann, 2009). Koefisien serap bunyi biasanya dinotasikan dengan Ξ±, mempunyai nilai desimal antara 0 sampai 1. Koefisien serap bunyi bergantung pada frekuensi bunyi dan sudut yang dibentuk oleh gelombang bunyi yang datang dan garis normal permukaan medium (Bell, 1994). Koefisien serap bunyi suatu jenis material bervariasi tergantung pada frekuensi. Koefisien serap bunyi biasanya diukur dalam 6 standar frekuensi yaitu 125, 250, 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Nilai koefisien serap bunyi pada beberapa kasus diberikan dalam satu nilai yang disebut NRC (Noise Reduction
6
Coefficient). NRC merupakan rata- rata yang didapat dari pengukuran pada frekuensi 250, 500, 1000, dan 2000 Hz (Rossing, 2014). NRC merupakan nilai rata-rata dari pengukuran koefisien serap bunyi pada frekuensi menengah. Jika mempertimbangkan penyerapan pada rentang frekuensi yang lebih lebar, maka pengukuran koefisien secara terpisah pada rentang frekuensi tersebut perlu dilakukan (Everest dan Pohlmann, 2009). Secara umum material dengan NRC kurang dari 0,2 dikatakan sebagai material reflective sedangkan nilai NRC lebih dari 0.4 dikatakan material absorptive (Rossing, 2014). Suatu bahan disebut menyerap dengan baik, bila kemampuan serapnya diatas 0,2 (Egan, 1972). SAA (Sound Absorption Average) untuk menunjukan nilai koefisien serap bunyi digunakan juga dalam beberapa kasus. SAA merupakan rata-rata koefisien serap bunyi dari 1/3 pita oktaf yang terdiri dari 12 frekuensi mulai dari 200 sampai 2500 Hz (Everest dan Pohlmann, 2009). Frekuensi yang terjadi dalam suatu ruang tergantung pada frekuensi yang dihasilkan sumber bunyi dalam ruang tersebut. Percakapan menghasilkan bunyi pada rentang frekuensi 500-2000 Hz (Rossing, 2014). Frekuensi yang dihasilkan instrumen musik memiliki rentang yang lebih lebar yaitu pada 27,5-4186 Hz (Everest dan Pohlmann, 2009). Pembagian jenis ruang berdasarkan frekuensi yang terjadi dalam ruang ditunjukkan pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Pembagian jenis ruang berdasarkan frekuensi yang terjadi dalam ruang No
Jenis Ruang
Frekuensi
Contoh Ruang
1
Percakapan
500-2000 Hz
Kantor, ruang kelas, auditorium, gereja, masjid
2
Musik
27,5-4186 Hz Concert hall, opera house, studio musik, ruang multimedia, ruang karaoke
2.2. Prinsip Kerja Resonator Helmholtz Resonator Helmholtz merupakan sebuah sistem akustik sederhana yang terdiri dari rongga berdinding rigid dengan volume (V) yang berisi udara dan lubang leher resonator (S) dengan panjang tertentu (L) yang menghubungkan rongga dengan dengan bagian luar. Udara yang mengisi sistem ini berada di bawah tekanan atmosfer. Kemudian udara yang mengisi bagian lubang leher mulai bergerak naik turun. Gerakan udara ini kurang lebih dapat dideskripsikan seperti 7
sistem getaran dengan satu derajat kebebasan (Gambar 2.2). Udara yang mengisi rongga selama getaran berlangsung berperan seberti halnya sebuah pegas dan udara yang berada di lubang leher berperan seperti halnya sebuah massa yang bergerak naik turun (Lupea, 2012).
Gambar 2.2 Efek pegas pada resonator Helmholtz (Lupea, 2012) Resonator Helmholtz dapat dibuat dengan 2 prinsip bentuk yaitu: resonator tunggal dan resonator terdistribusi. Resonator tunggal memiliki konfigurasi satu resonator digunakan oleh satu lubang leher resonator. Resonator terdistribusi memiliki konfigurasi sebuah resonator digunakan bersamaan oleh banyak lubang leher resonator. Panel berlubang yang sering digunakan pada ruangan merupakan contoh dari resonator Helmholtz terdistribusi. Geometri dari resonator Helmholtz sangat beragam, tapi punya 2 karakteristik utama: Sebuah rongga/resonator dan bukaan yang berukuran relatif kecil tempat masuknya energi bunyi yang disebut lubang leher resonator (Randeberg, 2000). Persamaan frekuensi resonansi dari resonator Helmholtz tunggal dengan lubang leher resonator berbentuk lingkaran (Gambar 2.3) ditunjukkan pada persamaan (2.1) sebagai berikut (Randeberg, 2000): π0 =
π S β 2π π(π + πΏπ‘ππ‘ )
(2.1)
8
Gambar 2.3 Resonator Hemholtz dengan lubang leher bulat/lingkaran (Everest dan Pohlmann, 2009) Persamaan frekuensi resonansi dari resonator Helmholtz terdistribusi dengan lubang leher resonator berbentuk lingkaran (Gambar 2.4) ditunjukkan pada persamaan (2.2) sebagai berikut (Randeberg, 2000). π0 =
π ο β 2π π(π + πΏπ‘ππ‘ )
(2.2)
π
Dimana Ξ¦ = π΄ πΏπ‘ππ‘ =
16π 3π
Gambar 2.4 Resonator Helmholtz terdistribusi (Randeberg, 2000) Resonator Helmholtz memiliki kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan penyerap berpori pada umumnya. Dengan membuat variasi pada volume rongga atau ukuran lubang leher, resonator dapat disetel untuk bekerja maksimal pada frekuensi tertentu. Dengan demikian penyerapan pada rentang frekuensi rendah dapat dicapai tanpa penambahan ketebalan absorber, yang biasanya 9
dilakukan pada porous absorber. Kekurangan dari resonator Helmholtz jika dibandingkan dengan porous absorber adalah adalah hanya mampu menyerap pada lebar frekuensi yang relatif kecil. Hal ini disebabkan karena sistem resonator itu sendiri hanya mampu menghilangkan energi dalam jumlah yang kecil. Jangkauan frekuensi yang sempit dapat dikompensasi dengan pengisian rongga secara sebagian atau seluruhnya menggunakan material berpori, atau dapat juga dilakukan dengan cara melapisi lubang masukan pada lubang leher menggunakan lapisan tipis yang sifatnya memberi hambatan (Randeberg, 2000). 2.3. Penggunaan Kayu sebagai Material Penyerap Bunyi Koefisien serap bunyi dari kayu dipengaruhi faktor-faktor antara lain: ketebalan spesimen, jarak ruang antara spesimen dengan rigid backing, spesies, rentang frekuensi, dan propertis dari material (Kollmann dan CΓ΄tΓ©, 1968). Penelitian tentang hubungan antara koefisien serap bunyi dan sudut pemotongan dari spesies pohon maple (Acer mono) dilakukan dengan menggunakan standing wave. Percobaan dilakukan pada kayu dengan diameter antara 31-101 mm dan tebal 2-11 mm pada frekuensi 90-6500 Hz. Spesimen dipotong dengan sudut yang berbeda. Gambar 2.5 memperlihatkan grafik pengaruh koefisien serap bunyi terhadap sudut potong pada pohon Maple, spesimen pertama dipotong longitudinal radial (LR) dengan sudut Ξ±=0Β°, spesimen kedua dengan sudut 90Β° dan tiga spesimen lain pada sudut 23Β°, 45Β°, dan 67Β°. Spesimen dengan sudut 90Β° koefisien serap bunyi maksimal didapat pada frekuensi 1.5 kHz (Watanabe dkk, 1967).
10
Gambar 2.5 Grafik pengaruh sudut potong pada pohon Maple terhadap nilai koefisien serap bunyi (Watanabe dkk, 1967) 2.4. Pengukuran Serapan Bunyi Menggunakan Tabung Impedansi Terdapat dua metode untuk mengukur koefisien serap bunyi, yaitu dengan tabung impedansi (impedance tube) yang dapat mengukur koefisien serap bunyi dari arah normal (tegak lurus permukaan), serta pengukuran dengan ruang dengung (reverberation room) untuk mengukur koefisien serap bunyi pada obyekobyek yang besar, seperti prototype panel (Parikh dkk, 2006). Tabung impedansi (disebut juga standing wave tube atau Kundt tube) digunakan untuk mengukur koefisien serap bunyi. Kelebihan dari metode ini adalah ukuran alat yang kecil, hanya membutuhkan sedikit peralatan penunjang, dan ukuran spesimen yang kecil. Metode ini cocok digunakan untuk pengujian pada material berpori karena material tersebut tidak bergantung pada faktor luas area seperti pada membrane absorber. Konstruksi dari tabung impedansi ditunjukkan pada Gambar 2.6. Spesimen yang akan diuji dipotong agar pas dengan tabung. Jika aplikasi absorber akan dipasang langsung ke dinding, maka saat pengujian akan ditempatkan menempel pada backing plate. Jika aplikasi pemasangannya menggunakan space (ruang antara absorber dan dinding), maka jarak absorber ke backing plate bisa disesuaikan (Everest dan Pohlmann, 2009)
11
Gambar 2.6 Metode pengujian standing-wave tube untuk mengukur koefisien serap bunyi (Everest dan Pohlmann, 2009) 2.5. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang pengaruh penambahan acoustic fill serat kenaf acak pada sel akustik kayu sengon laut terhadap nilai koefisien serap bunyi dilakukan oleh Diharjo (2008). Sel akustik dengan kandungan acoustic fill serat kenaf 8, 9, dan 10% (v/v) masing-masing memiliki nilai Ξ± 0,91; 0,93; dan 0,96 pada frekuensi 700 Hz ditunjukkan pada Gambar 2.7. Jadi kandungan acoustic fill yang paling baik adalah 10% (v/v).
Gambar 2.7 Grafik pengaruh variasi kandungan acoustic fill serat kenaf (v/v) terhadap nilai koefisien serap bunyi (Diharjo, 2008) Penelitian tentang pengaruh penambahan lapisan pada permukaan terhadap koefisien serap bunyi pada porous mortar (POM)/adukan semen jenis agregat 12
crushed stone (CS) dan silica black (SB) dilakukan oleh Okamoto dkk (2014). Lapisan yang akan ditambahkan pada permukaan adalah vinyl wallpaper dan anyaman serat dari hemp. Hasil penelitian ini adalah koefisien serap bunyi ratarata spesimen dengan lapisan permukaan menggunakan vinyl wallpaper lebih rendah daripada tanpa lapisan pada frekuensi 2000-5000 Hz, tapi nilai koefisien serap bunyi pada frekuensi kurang dari 1800 Hz meningkat secara signifikan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Grafik pengaruh penambahan vinyl wallpaper terhadap nilai koefisien serap bunyi (Okamoto dkk, 2014) Martellotta dan Castiglione (2011) melakukan penelitian tentang penentuan nilai koefisien serap bunyi menggunakan variasi kanvas dengan cat minyak, kanvas inkjet, kanvas sulam dilapisi tinta sablon dan kanvas serat jute dilapisi pewarna pakaian untuk melapisi panel porous dari serat polyester. Gambar 2.9 dan Gambar 2.10 menunjukkan nilai koefisien serap yang naik pada frekuensi rendah (< 500 Hz) dan turun secara signifikan pada frekuensi tinggi (> 500 Hz). Gambar 2.11 menunjukkan nilai koefisien serap bunyi yang tidak banyak berpengaruh pada spesimen kanvas sulam dilapisi tinta sablon dan nilai koefisien serap bunyi yang turun pada kanvas serat jute dilapisi pewarna pakaian.
13
Gambar 2.9 Grafik pengaruh penambahan kanvas cat minyak terhadap nilai koefisien serap bunyi (Martellotta dan Castiglione, 2011)
Gambar 2.10 Grafik pengaruh penambahan kanvas inkjet terhadap nilai koefisien serap bunyi (Martellotta dan Castiglione, 2011)
14
Gambar 2.11 Grafik pengaruh penambahan kanvas sulam dan jute terhadap nilai koefisien serap bunyi (Martellotta dan Castiglione, 2011) Seddeq
(2009)
melakukan
penelitian
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi nilai koefisien serap bunyi. Salah satu faktor yang diteliti adalah penambahan lapisan. Hasil yang didapat adalah penambahan lapisan PVC pada permukaan meningkatkan koefisien serap bunyi pada rentang frekuensi yang lebih rendah dibandingkan spesimen tanpa lapisan. Hasil penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Grafik pengaruh penambahan lapisan PVC terhadap nilai koefisien serap bunyi (Seddeq, 2009)
15
Tinjauan pustaka memberikan gambaran tentang penelitian terdahulu sehingga akan memberikan gambaran terhadap penelitian yang akan dilakukan. Dugaan yang kami buat adalah spesimen dengan modifikasi pengecatan tinta sablon akan menghasilkan nilai koefisien serap bunyi yang tidak terpaut jauh dibandingkan
spesimen
tanpa
modifikasi.
Spesimen
dengan
modifikasi
penambahan lapisan akan meningkatkan nilai koefisien serap bunyi pada frekuensi rendah (< 500 Hz) dan menurunkan nilai koefisien serap bunyi pada frekuensi tinggi (> 500 Hz).
16