27
BAB II DASAR HUKUM PEMBERIAN IWADH DALAM PERCERAIAN KHULU DALAM HUKUM ISLAM A.
Dasar Hukum Menurut Al Qur’an dan Hadist Al Qur’an mengajarkan apabila dalam hidup perkawinan tidak ada kesesuaian
antara suami isteri setelah kedua belah pihak menyabarkan diri, tetapi akhirnya tidak sanggup untuk melanjutkan hidup pernikahan, maka apabila yang menginginkan bercerai adalah pihak isteri, perceraian dapat dilakukan dengan jalan talak tebus (khulu’) yaitu isteri meminta kepada suaminya untuk mentalaknya dengan memberikan kepada suami harta yang pernah diterimanya sebagai mahar. Mahar atau maskawin adalah suatu pemberian wajib bagi suami kepada isteri dalam kaitannya dengan pernikahan.56 Islam tidak membatasi jumlah mahar. Islam hanya memberikan prinspi pokok yaitu secara ma’ruf, artinya dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan isteri.57 Tidak ada dosa bagi isteri untuk mengeluarkan tebusan itu kepada suaminya dan tidak ada dosa pula bagi suaminya atas tebusan yang diterimanya. Bila seorang wanita tidak menyukai suaminya, mungkin karena akhlaknya bentuk tubuh, agama, ketuaan, kelemahannya atau karena khawatir tidak bisa
56 57
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal.71. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal.55
27
Universitas Sumatera Utara
28
menjalankan perintah Allah berupa ketaatan kepada suami, maka ia boleh meminta cerai kepada suaminya dengan memberi penggantian sebagai penebus dirinya.58 Sebelumnya telah diuraikan bahwa Khulu’ merupakan salah satu bentuk dari putusnya perkawinan, namun berbeda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan itu, didalam khulu’ terdapat uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh. Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh isteri untuk menebus dirinya dari (ikatan) suaminya.59 Selain dari kata khulu’ para ulama menggunakan beberapa kata yaitu fidyah, shulh dan mubaraah. Meskipun dalam makna yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Apabila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan pada waktu nikah disebut khulu’. Apabila ganti rugi adalah separuh dari mahar maka disebut shulh dan apabila ganti rugi adalah lebih banyak dari mahar yang diterima pada waktu nikah disebut fidyah. Sedangkan bila isteri bebas dari ganti rugi disebut mubaarah.60 Isteri diperbolehkan memberikan uang tebusan kepada suami untuk menceraikannya dalam keadaan yang membahayakan dirinya. Tebusan itu sebaiknya tidak melebihi mahar yang diterimanya dari suami. Suami tidak boleh meminta tebusan lebih tinggi daripada mahar yang diberikannya kecuali jika permintaan cerai itu diajukan oleh isteri yang membangkang.61 Khulu’ boleh dilakukan karena manusia membutuhkannya akibat adanya pertikaian dan persengketaan diantara suami isteri dan tidak ada lagi keharmonisan diantara suami isteri tersebut. 58
Ensiklopedi Ijmak, Pustaka Firdaus, hal.318. Muhammad Jawad Mughniyah, Op.cit, hal.456. 60 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal.231. 61 Muhammad Mutawalli Sya’wari, Fiqih Wanita, Pena, Jakarta , 2006, hal. 198. 59
Universitas Sumatera Utara
29
Seorang wanita yang membenci suaminya karena keburukan akhlak, fisik, ketaatannya terhadap agama, karena kesombongan atau karena hal yang lain. Si isteri merasa takut jika dia tidak melaksanakan hak Allah untuk mentaati suaminya, oleh karena itu Islam menetapkan jalan untuknya dalam upaya mengimbangi hak talak yang dimiliki oleh laki-laki untuk membuatnya terbebas dari ikatan perkawinan, dan untuk menghilangkan keburukan darinya, maka diperbolehkan baginya untuk mengkhulu’ dengan cara memberikan ganti rugi berupa tebusan untuk menebus dirinya dari suaminya. Secara harfiah khulu’ yang berarti “lepas” itu didefinisikan oleh para ulama adalah perceraian dengan tebusan (dari pihak isteri kepada pihak suami) dengan menggunakan lafaz talak atau khulu’62 Khulu’ sebagai salah satu jalan keluar dari kemelut rumah tangga yang diajukan oleh pihak isteri didasarkan atas firman Allah SWT yang terdapat dalam Surah Al Baqarah ayat 229 yang artinya:63 “….Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” Al Qur’an menjelaskan bahwa seorang isteri berhak menuntut cerai dari suaminya (khulu’) jika ia khawatir kekejamannya. Sebagaimana dalam Surah An Nisa ayat 128 yang artinya:64
62 63
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, hal.131. Ensiklopedi Hukum Islam, hal.934.
Universitas Sumatera Utara
30
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nuzyus (kekejaman) atau sikap acuh tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan bila kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Kemudian pula apabila seorang isteri merasa khawatir apabila suaminya tidak dapat menunaikan kewajibannya dalam masa perkawinan sebagaimana yang ditetapkan oleh syari’ah, maka dia dapat melepaskan diri dari ikatan pernikahan itu dengan mengembalikan sebahagian ataupun seluruh yang telah diterimanya kepada suaminya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadist yang artinya:65 “Seorang wanita menghadap Nabi Muhammad SAW dan berkata:” Aku benci pada suamiku dan ingin berpisah darinya”. Nabi Muhammad SAW bertanya: “sudikah engkau mengembalikan kebun yang telah ia berikan sebagai mahar kepadamu?” Dia menjawab: “ya, bahkan lebih dari itu (kalau perlu).” Maka nabi Muhammad SAW bersabda: “Adapun selebihnya tidak usah.” Tetapi tidak ada alasan apapun bagi seorang isteri untuk meminta cerai kemudian ia meminta tebusan bagi suaminya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya:66 “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga.” Pengganti khulu’ adalah tebusan yang diberikan isteri kepada suaminya sebagai penukar talak terhadapnya dan kebebasannya. Hukum pengganti ini berbeda-beda 64 65
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahannya, hal 129. Abdul Rahman I.Doi, Perkawinan Dalam Syariah Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal
114. 66
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, hal.306
Universitas Sumatera Utara
31
sesuai dengan perbedaan yang dialami oleh pasangan suami isteri dan khulu’ yang ditimbulkannya. Adapun kondisi tebusan tersebut tidak terlepas dari salah satu dari tiga kondisi berikut antara lain: 1. Isteri yang tidak suka untuk tetap tinggal bersama suaminya, tanpa ada tindakan menyakitkan dan kemudharatan dari suami terhadapnya. Dalam kondisi demikian, suami boleh mengambil harta dari pihak isteri sebagai pengganti dari talak dan kebebasan yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, suami tidak berdosa bila yang diambilnya dari pihak isteri tidak melebihi apa yang diberikannya kepada isteri. Mayoritas ulama membolehkan apabila yang diambilnya itu lebih banyak dari apa yang diberikan kepadanya.67 Sebagaimana dalam Al Quran Surah al Baqarah ayat 229 yang artinya: “ Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak data menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untik menebus dirinya.” 68 2. Ketidaksenangan dan keberpalingan pihak suami saja. Suami ingin melepaskan diri dari isterinya agar bisa menikah lagi dengan perempuan lain. Dalam situasi ini, suami tidak boleh mengambil apapun dari isterinya sebagai tebusan talak terhadapnya baik banyak maupun sedikit, sebesar apapun mahar yang telah diberikan kepadanya.69 Sebagaimana dalam Al Qur’an Surah An-Nisa ayat 20 yang artinya: “ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang
67
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.cit, hal.410. Al Qur’an Dan Terjemahannya, Op.cit,hal.45 69 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.cit, hal.410.
68
Universitas Sumatera Utara
32
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan (menanggung) dosa yang nyata?”70
Suami yang membenci isterinya lalu mempersulitnya dalam berinteraksi agar isteri terdesak nuntik cerai dan bebas darinya dengan memberikan harta tebusan kepadanya maka dalam hal ini suami tidak halal mengambil apapun dari isterinya secara agama.71 Sebagaimana dalam Al Quran Surah Al-Baqarah ayat 231 yang artinya: “ Janganlah kamu rujuki mereka umtuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya.”72 Selain juga firman Allah SWT dalam Al Qur’an An Nisa ayat 19 yang artinya: “ Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil sebahagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.”73 3. Kebencian itu terdapat pada kedua belah pihak dimana rasa kasih sayang di antara suami isteri menjadi tidak sepurna, sementara keduanya pun takut bertindak ceroboh dalam melaksanakan hak-hak suami isteri. Dalam situasi seperti ini, isteri boleh melepaskan diri dari kehidupan rumah tangga dengan memberikan harta kepada suami, sementara suami boleh mengambil harta tersebut sebagai pengganti dari kebebasan yang diberikan kepadanya. Dalam situasi ini, lebih diutamakan suami tidak mengambil harta lebih banyak dari mahar yang diberikan kepadanya karena nusyuz tersebut berasal dari keduanya.74
70
Al Qur’an Dan Terjemahannya, Op.cit, hal.45 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.cit, hal.410. 72 Ibid, hal.46 73 Ibid, hal.104. 74 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.cit, hal.410. 71
Universitas Sumatera Utara
33
Iwadh atau tebusan yang dibayarkan isteri kepada suami dalam khulu’ ini dapat berupa apapun yang memenuhi syarat untuk menjadi mahar, tetapi biasanya berupa sejumlah harta. Dalam hal sejumlah harta dapat berupa pengembalian mahar yang pernah diterima oleh isteri dari suami, baik seluruhnya maupun sebahagian. Wujud iwadh itu bergantung kepada persetujuan bersama antara suami dan isteri. Tebusan khulu’ atau iwadh tidak diisyaratkan berupa uang yang dipergunakan oleh banyak orang saja, melainkan juga dibolehkan berupa setiap harta yang bernilai atau bermanfaat yang dapat ditukar dengan harta, seperti ditimbang, ditakar atau berupa rumah. 75 Demikian pula dengan rumah untuk ditempati, garapan tanah dalam waktu yang telah ditentukan dan tebusan dengan menyusui anak dari sang suami, mengasuhnya, menafkahinya juga termasuk dalam iwadh. B.
Dasar Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam Perkawinan pada prinsipnya untuk selama-lamanya dan dilakukan dalam
rangka terciptanya keluarga bahagia, sesuai dengan Hadist Riwayat Ibnu Majah, “Sesuatu yang halal dan yang sangat dibenci adalah perceraian.”76 Kehidupan pernikahan hanya bisa tegak di atas ketenangan dan kasih sayang, perlakuan baik dan masing-masing suami isteri saling melaksanakan kewajibannya. Namun terkadang jika suami membenci isteri dan sebaliknya. Ketika kebencian berasal dari pihak suami, maka ia memiliki kuasa untuk menjatuhkan talak,
75 76
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.cit, hal.413. E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2008,
hal.320.
Universitas Sumatera Utara
34
sedangkan apabila kebencian muncul dari pihak isteri, Islam membolehkan yang bersangkutan untuk melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan cara khulu’. Khulu’ adalah salah satu perceraian yang dibolehkan dalam syariat. Khulu’ merupakan salah satu bentuk putusnya perkawinan. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf i yang dimaksud dengan khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebus atau iwadh kepada suami dan atas persetujuan suami. Masalah khulu’ diatur dalam pasal pasal 148 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 yang berbunyi “Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu’, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat
tinggalnya
disertai
alasan
atau
alasan-alasannya.”
Selanjutnya dalam pasal 124 Kompilasi Hukum Islam berbunyi
“ Khulu’ harus
berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116.” Adapun Kompilasi Hukum Islam pasal 116 disebutkan bahwa yang menjadi alasan perceraian tersebut antara lain : a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
Universitas Sumatera Utara
35
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami melanggar taklik talak; k. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Sehingga bila dilihat dalam uraian pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tersebut bahwa salah satu alasan terjadinya khulu’ karena adanya perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri dan tidak ada harapan untuk rukun kembali dalam kehidupan rumah tangga. Tujuan diperbolehkannya khulu’ adalah untuk menghindarkan isteri dari kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya apabila perkawinan dilanjutkan dan tanpa merugikan pihak suami karena ia telah mendapat iwadh dari isterinya atas permintaan cerai dari isterinya. Baik dalam fiqih maupun dalam Kompilasi Hukum Islam menempatkan khulu’ sebagai salah satu jalan yang ditempuh untuk melakukan perceraian dari pihak isteri. Khulu’ bukan alasan bagi isteri untuk menanggalkan ikatan perkawinan, tetapi khulu’ sebagai suatu jalan keluar yang ditetapkan syari’at bagi isteri sebagaimana syariat menetapkan talak bagi suami.
Universitas Sumatera Utara
36
C.
Pandangan Para Ulama Fiqih Tentang Hukum Khulu’ dan Iwadh Kata Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-a’ yang berasal dari bahasa Arab
secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.77 Dalam suatu ikatan perkawinan diibaratkan bahwa suami itu sebagai pakaian dari isterinya dan isteri merupakan pakaian bagi suaminya. Menurut mazhab Hanafi bahwa khulu’ memiliki lima lafal yaitu: khulu’, almubaara’ah (pembebasan), talak, al-mufaaraqah (perpisahan) dan syiraa’ (membeli). Mazhab Hanafi kemudian berpendapat bahwa Khulu’ adalah penghilangan kepemilikan ikatan pernikahan yang bergantung kepada penerimaan si isteri dengan lafal khulu’ dan kalimat
lain yang memiliki makna yang sama.
78
Kalimat
“kepemilikan ikatan pernikahan” membuat keluar khulu’ yang terjadi akibat pernikahan yang fasid dan khulu’ yang terjadi setelah talak ba’in dan kemurtadan karena khulu’ pada kondisi yang seperti ini tidak ada artinya. Mazhab Maliki berpendapat bahwa khulu’ mempunyai empat lafal yaitu: khulu’, al-mubaara’ah, ash-shulhu (perdamaian), al-fidyah atau al-mufaadaah (tebusan). Semuanya ditafsirkan dengan satu makna, yaitu isteri memberikan iwadh untuk penalakannya.79Menurut mazhab Maliki bahwa khulu’ mencakup perpisahan yang terjadi dengan iwadh atau dengan tanpa iwadh’.
77
Amir Syarifuddin, Op.cit, hal.231 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penterjemah Abdul Hayyie al-Kattani, Gema Insani, Jakarta, 2007, hal.418. 79 Ibid, hal.420. 78
Universitas Sumatera Utara
37
Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali menyebutkan bahwa khulu’ sah dengan lafal talak yang bersifat sindiran, terang-terangan, sindiran dengan diiringi niat dan dengan bahasa selain bahasa Arab. Mazhab Syafi’i menyebutkan definisi khulu’ adalah perpisahan antara suami isteri dengan iwadh dengan lafal talak atau khulu’.80 Seperti ucapan seorang suami kepada isterinya, “Aku talak kamu atau aku khulu’ kamu berdasarkan ini.” Maka si isteri menerima. Menurut mazhab Hambali yang dimaksud dengan khulu’ adalah perpisahan suami dengan isterinya dengan iwadh yang dia ambil dari si isteri, atau dari orang yang selain isteri dengan lafal khusus. 81 Khulu’ menghilangkan kuasa pernikahan dengan kompensasi sejumlah harta. Tanpa kompensasi maka tidak ada khulu’. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara kebolehan khulu’ dengan kompensasi mahar, sebahagian dari mahar, atau dengan harta lain, baik nilainya lebih rendah atau lebih tinggi dari mahar.82 Sehingga apapun yang boleh dijadikan mahar maka boleh dijadikan kompensasi dalam khulu’. Secara terminologi, mahar adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya.83
80
Wahbah Az-Zuhaili, Op.cit, hal.419. Ibid, hal.421. 82 Sulaiman al Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah, Beirut Publishing, Jakarta, 2014, hal.561. 83 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, Kencana Pernada Media, Jakarta, 2010, hal.84. 81
Universitas Sumatera Utara
38
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa boleh hukumnya suami mendapatkan kompensasi lebih dari yang dia berikan kepada isterinya. Sebagaimana berdasarkan Firman Allah yang artinya: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”( QS Al- Baqarah ayat 229).84 Sebahagian ulama berpendapat bahwa iwadh itu tidak boleh melebihi ukuran mahar yang diberikan suami sewaktu akad nikah. Suami tidak boleh mengambil sesuatu melebihi apa yang pernah ia diberikan kepada istrinya.85 Ini berdasarkan riwayat Daruquthni dengan sanad shahih bahwa Abu Zubair memberi mahar isterinya berupa kebun. Nabi bertanya kepada isteri Abu Zubair, “Maukah kamu mengembalikan kebun yang Abu Zubair berikan kepadamu?” Dia menjawab, “ Ya dan lebih.” Nabi bersabda, “Adapun lebih dari itu maka tidak boleh, bahkan hanya kebunnya saja.” Dia berkata, ‘Baik”.86 Suami haram untuk menyakiti isteri dengan tidak memberikan sebahagian hak isteri agar isterinya marah dan menghkulu’ dirinya. Hal tersebut dilarang agar wanita tidak menanggung dua kerugian sekaligus yaitu berpisah dengan suaminya dan tanggungan harta yang harus dibayarkan kepada suaminya.
84
Al Qur’an Dan Terjemahannya, hal.45. Amir Syarifuddin, Op.cit, hal.236 86 Sulaiman al Faifi, Op.cit, hal.561 85
Universitas Sumatera Utara
39
1.
Rukun dan Syarat Khulu’ Di dalam khulu’ terdapat beberapa unsur yang merupakan rukun yang menjadi
karakteristik dari khulu’itu. Adapun dalam khulu’ terdapat beberapa rukun yang harus dipenuhi: a. suami. Syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana yang berlaku dalam talak adalah seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’ yaitu akil, baligh dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan atas syarat ini suami yang belum dewasa atau suami dalam keadaan gila, maka yang akan menceraikan dengan nama khulu’ adalah walinya. Demikian pula keadaan seseorang yang berada di bawah pengampuan yang menerima permintaan khulu’ isterinya adalah walinya. b. Isteri yang di khulu’ Isteri yang akan mengajukan khulu’ kepada suaminya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:87 1. Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami dalam arti isterinya atau yang telah diceraikan, namun masih berada dalam talak raj’i. 2. Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan mengajukan khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal dan tidak berada di bawah pengampuan serta cerdas bertindak atas harta. Apabila tidak memenuhi persyaratan ini maka yang melakukan khulu’ adalah walinya, sedangkan uang iwadh dibebankan kepada hartanya sendiri kecuali keinginan datang dari pihak wali.
87
Amir Syarifuddin, Op.cit, hal.235
Universitas Sumatera Utara
40
Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan persetujuan isteri. Khulu’ seperti ini disebut khulu’ ajnabi. Pembayaran iwadh dalam khulu’ seperti ini ditanggung oleh pihak ajnabi tersebut.
c. Adanya uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh Terdapat perbedaan tentang iwadh pada para ulama. Mayoritas ulama menempatkan iwadh sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya khulu’. Menurut Ahmad dan Imam Malik mengatakan bahwa boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh. Alasannya karena khulu’ merupakan salah satu bentuk dari putusnya perkawinan, oleh karenanya boleh tanpa iwadh sebagaimana dalam talak.88 d. Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan suami yang dalam ungkapan tersebut dinyatakan “ganti uang” atau “iwadh”. Tanpa menyebutkan ganti ini ia menjadi talak biasa. “ Saya ceraikan kamu dengan tebusan sebuah sepeda motor.” Tentang pelaksanaan khulu’ yang harus menggunakan ucapan shighat tertentu, para ulama memiliki pendapat yang berbeda. Mayoritas ulama berpendapat bahwa sighat merupakan suatu rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam arti apabila tertinggal maka khulu’ itu batal sehingga terjadi talak biasa. Menurut ulama ucapan khulu’ terbagi dua macam:89 1. Menggunakan lafaz yang jelas dan terang atau sharih . Yang termasuk dalam lafaz yang sharih untuk khulu’ itu yaitu: pertama, lafaz khulu’ seperti ucapan suami : “ Saya khulu’ kamu dengan iwadh sebuah sepeda motor.” Kedua, lafaz “tebusan” seperti ucapan suami: “Saya
88 89
Ibid, hal.235-236. Ibid, hal.237.
Universitas Sumatera Utara
41
bercerai denganmu dengan tebusan sekian.” Ketiga, lafaz fasakh, seperti ucapan suami: “ Saya fasakh kamu dengan iwadh sebuah kitab Al-Qur’an. 2. Menggunakan lafaz kinayah yaitu lafaz lain yang tidak langsung berarti perceraian tapi dapat digunakan untuk itu. Terjadinya khulu’ dengan lafaz kinayah ini diisyaratkan harus disertai dengan niat. Misal ucapan suami: “Pergilah pulang ke rumah orang tuamu dan kamu membayar iwadh sebanyak sejuta rupiah.” Beberapa ulama ada salah satunya Ahmad yang tidak menempatkan shighat sebagai rukun dalam arti khulu’ telah berlangsung dengan semata suami telah menerima iwadh dari isterinya. Adapun alasan yang digunakan adalah peristiwa yang terjadi tentang Tsabit bin Qeis dalam pisahnya dengan isterinya setelah menerima tebusan dari isterinya tanpa mengucapkan apapun. e. Alasan untuk terjadinya khulu’ Adanya alasan terjadinya khulu’ yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadist yaitu kekhawatiran isteri yang tidak akan melaksanakan kewajibannya sebagai isteri yang menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum Allah SWT. Terdapat dua pendapat dikalangan ulama:90 1. Menurut jumhur ulama terjadinya khulu’ tidak harus setelah terjadinya kekhawatiran tidak akan menegakkan hukum Allah dengan arti sah khulu’ walaupun tidak terjadi alasan demikian. Khulu’ ini hukumnya makruh. Bahkan Imam Ahmad mengatakan bahwa hukumnya adalah haram. 90
Ibid, hal.238.
Universitas Sumatera Utara
42
Alasannya bahwa yang terdapat dalam Al Qur’an maupun hadist Nabi tentang terjadinya khulu’ itu bukan merupakan syarat. 2. Sebahagian ulama di antaranya Zhahiriy dan Ibnu al –Munzir berpendapat bahwa khulu’ adalah sah apabila didahului dengan alasan tidak dapat menegakkan hukum Allah, sedangkan tanpa alasan tidak dapat dilakukan khulu’. Adapun alasan yang digunakan oleh ulama ini adalah zhahir ayat yang menyatakan adanya kekhawatiran tidak menegakkan hukum Allah. Kalau tidak demikian keadaannya tidak boleh suami mengambil kembali apa yang telah diberikannya kepada isterinya dalam bentuk mahar. Pengertian khulu’ menurut mazhab Maliki adalah talak dengan iwadh, baik talak ini berasal dari isteri maupun dari orang lain yang selain isteri yang terdiri dari wali ataupun orang lain, atau talak yang diucapkan dengan lafal khulu’.91 Dari pengertian diatas menunjukkan bahwa ada dua macam khulu’ yaitu : 1. khulu’ yang terjadi adalah yang berdasarkan iwadh harta. 2. Talak yang terjadi dengan lafal khulu’ meskipun tidak berdasarkan ‘iwadh apa-apa. Misal: suami berkata kepada isteri “Aku khulu’ kamu atau “Kamu terkhulu’.” Dengan perkataan lain si isteri ataupun orang lain memberikan harta kepada si suami agar mentalak si isteri, atau membuat jatuh hak si isteri yang harus dipenuhi oleh si suami, maka dengan khulu’ ini jatuh talak ba’in. Syarat-Syarat khulu’ Persyaratan khulu’ harus diperhatikan dengan baik. Sebab khulu’ tidak boleh terjadi apabila alasan yang diajukan tidak sesuai dengan tuntunan agama. Beberapa persyaratan khulu’ tersebut antara lain:92 91
Wahbah Az-Zuhaili, Op.cit, hal.418.
Universitas Sumatera Utara
43
a. Di dalam rumah tangga ada bahaya yang mengancam bagi sang isteri, serta rasa takut akan keduanya karena tidak dapat melaksanakan perintahperintah Allah SWT dengan baik. b. Berlangsung hingga selesai tanpa adanya sikap yang menyakiti (penganiayaan) dari suami kepada isterinya. Apabila terjadi maka suami tidak berhak ataupun mengambil sesuatu apa pun dari isterinya. c. Khulu’ berasal dari isteri dan bukan dari suami. Suami yang tidak menyukai isterinya ataupun tidak hidup senang bersama isterinya, maka ia tidak berhak mengambil apapun harta isterinya. d. Kedudukan khulu’ sama dengan talak ba’in, dimana seorang suami tidak bisa mengajak isterinya, kecuali seorang isteri telah menikah dengan lakilaki lain secara sah dan melalui sebuah akad pernikahan yang baru. Mazhab Maliki
berpendapat bahwa khulu’ tidak boleh dilakukan kecuali
dengan syarat-syarat berikut ini: 1. Apa yang dibayarkan kepada si suami adalah sesuatu yang sah untuk dimiliki dan dijual, yang berarti diluar minuman keras, babi dan barangbarang sejenisnya. 2. Jangan sampai menyeret kepada sesuatu yang tidak boleh seperti khulu’ berdasarkan pinjaman ataupun berdasarkan pengakhiran yang berupa hutang atau kondisi mempercepat dan yang sejenisnya itu yang merupakan jenis riba. 3. Khulu’ yang dilakukan oleh isteri berdasarkan kehendak si isteri atau berdasarkan keinginan untuk berpisah dengan suaminya dengan tanpa unsure paksaan dan tindakan buruk kepada suami. Apabila salah satu dari kedua syarat ini dilanggar maka jatuh talak dan tidak jatuh khulu’.93 Adapun syarat khulu’ menurut mazhab Hambali sebagai berikut: 1. Membayar iwadh. 2. Dari orang yang sah untuk memberikan sumbangan dan dari suami yang sah untuk menjatuhkan talak. 3. Keduanya tidak bergurau. 4. Tidak mengahalanginya jika si isteri membayar iwadh. 5. Jatuh khulu’ dengan lafal yang bersifat terang-terangan ataupun sindiran. Pertama, “Aku lakukan khulu’” dan “Aku batalkan” dan “Aku tebus”. Kedua, “Aku bebaskan kamu” dan “Aku membebaskanmu” dan “Aku buat kamu tertalak ba’in.” 92
Honey Miftahulljannah, A-Z Ta’aruf, Khitbah, Nikah dan Talak Bagi Muslimah, PT Grasindo, Jakarta, 2014, hal.161. 93 Wahbah Az-Zuhaili, Op.cit, hal.432.
Universitas Sumatera Utara
44
6. 7. 8. 9.
Tidak memancangkan niat untuk menjatuhkan talak. Bersifat langsung. Dapat terjadi pada semua isteri. Tidak ada tipu daya. Khulu’ mengharamkan terjadinya tipu daya untuk menjatuhkan sumpah talak atau ta’liq-nya dan tidak sah khulu’ dengan tipu daya ini.94
Khulu’ dianggap sumpah dari pihak suami, sebab suami menggantungkan talak isterinya kepada penerimaan harta, sementara menggantungkan kepada sesuatu (ta’liq) dianggap sumpah menurut fuqaha. Khulu’ juga dianggap mu’awadhah (tukar menukar) dari pihak isteri, sebab ia wajib memberikan sejumlah harta sebagai pengganti kebebasannya dari suaminya. Namun mu’awadhah tersebut bukanlah mu’awadhah mahdhah (pengganti murni), tetapi ada unsur kesamaan dari sumbangan.95 Jumhur ulama berpendapat bahwa khulu’ adalah talak ba’in seperti yang disebutkan dalam hadist Rasullah SAW : “ Ambillah kebun itu dan talaklah dia.”
96
Menurut jumhur ulama tidak tepat memasukkan khulu’ ke dalam fasakh, karena dalam khulu’ terdapat unsur ikhtiar ( kesadaran untuk melakukan), sedangkan dalam fasakh unsur ikhtiar tersebut tidak ada.
97
Namun sebahagian ulama diantaranya Abu
Dawud, Ibnu Abbas, Utsman bin Affan dan Ibnu Umar berpendapat bahwa khulu’ adalah fasakh.98 Konsekwensi perbedaan pendapat ini tampak pada penghitungan jumlah talak. Bagi ulama yang menilai khulu’ sebagai talak maka itu terhitung sebagai talak ba’in. dan bagi yang menilainya sebagai fasakh maka tidak terhitung sebagai talak. Suami yang menjatuhkan talak dua kepada isterinya setelah itu di khulu’, kemudian dia ingin
94
Wahbah Az-Zuhaili, Op.cit, hal.432. Abdul Majid Matlub, Op.cit, hal, 418. 96 Sulaiman Al-Faifi, Op.cit, hal.564. 97 Ensiklopedi Hukum Islam, hal.934. 98 Sulaiman Al-Faifi, Op.cit, hal.564. 95
Universitas Sumatera Utara
45
menikahinya maka dia bisa melakukan hal tersebut selama isterinya belum menikah dengan laki-laki lain. Karena dia hanya memiliki dua talak saja, sedangkan khulu’ nya nilainya sia-sia. Adapun bagi ulama yang menilai khulu’ sebagai talak, mereka mengatakan bahwa suami tidak boleh merujuk kembali isterinya hingga ia menikah dengan laki-laki lain, sebab dengan khulu’ itu talaknya sudah lengkap menjadi talak tiga. Menurut jumhur ulama ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh Khulu’ yaitu sebagai berikut:99 1. Terjadinya talak ba’in apabila ganti ruginya terpenuhi. Apabila ganti rugi tidak ada maka perceraian tersebut menjadi talak biasa. 2. Isteri harus membayar ganti rugi. 3. Seluruh hak dan kewajiban antara suami isteri menurut Imam Abu Hanifah menjadi gugur. Sedangkan utang piutang dengan orang lain tidak gugur. Tetapi menurut jumhur ulama termasuk Muhammad bin Hasan asySyaibani (sahabat Imam Abu Hanifah) menyatakan bahwa seluruh hak dan kewajiban tidak gugur, kecuali ada kesepakatan antara keduanya sebelumnya. 4. Menurut jumhur ulama suami yang mengkhulu’ isterinya tidak berhak untuk rujuk kepada isterinya dalam masa iddahnya. Tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa mantan suami tersebut boleh menikahinya kembali pada masa iddahnya. Khulu’ merupakan perceraian dengan kehendak isteri. Ibnu Sirin dan Abi Qalabah mengatakan bahwa tidak boleh khulu’ kecuali bila jelas di perut isteri itu telah terdapat janin dalam arti dia sudah membuat suatu perbuatan keji.100 Sebagaimana dalam QS An Nisa ayat 19 yang artinya :
99
Ensiklopedi Hukum Islam, hal.934. D.A Pakih Sati,Op.cit, hal.241
100
Universitas Sumatera Utara
46
“Janganlah kamu enggan terhadapnya suaya kamu mendapat kembali apa yang telah kamu berikan, kecuali ia telah jelas memperbuat suatu perbuatan keji.”101 2.Hukum Khulu’ Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Melepaskan diri dari kehidupan perkawinan adalah menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rasul dan menyalahi kehendak Allah untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah mawwadah dan warahmah. Hubungan suami isteri yang tidak dapat lagi untuk diperbaiki dan terjadi konflik terus menerus dan keduanya sudah tidak mampu untuk bersabar, maka keduanya diperbolehkan untuk bercerai. Islam memberi hak kepada suami untuk mengakhiri kehidupan suami isteri dengan talak, dan memberikan kepada isteri dengan jalan khulu’. Terdapat beberapa alasan dimana isteri dapat menuntut cerai dengan wewenang Qodhi. Apabila isteri memiliki hak tafriq, maka suami tidak akan memperoleh ganti rugi. Adapun perceraian yang diberikan oleh Qodhi karena:102 1. 2. 3. 4. 5. 101 102
Perlakuan menyakitkan yang biasa diterima oleh isteri. Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban dalam ikatan perkawinan. Sakit ingatan. Ketidakmampuan yang tidak dapat disembuhkan. Suami pindah tempat tinggal tanpa memberitahu isteri.
Al Qur’an Dan Terjemahannya, Op.cit, hal.104. Abdul Rahman I.Doi, Op.cit, hal.116.
Universitas Sumatera Utara
47
6. Sebab-sebab lain yang serupa yang menurut pendapat qodhi dapat dibenarkan untuk bercerai. Khulu’ hanya dibolehkan ketika ada sebab yang mengharuskan, misalnya suami memiliki cacat pada fisik, tidak menunaikan hak isteri atau isteri khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah yang wajib baginya untuk berlaku dengan baik. Namun apabila tidak ada sebab, khulu’ tidak boleh dilakukan. Sebagaimana halnya dengan talak, maka khulu’ hukumnya ada kalanya wajib, haram, makruh, sunat maupun mubah.103 1. Wajib. Khulu’ wajib dilakukan ketika permintaan isteri karena suami tidak mau memberi nafkah atau menggauli isterinya sehingga isteri menjadi tersiksa. 2. Haram. Hal ini dapat terjadi dari dua pihak antara suami dan isteri. Pertama dari pihak suami, Khulu’ itu hukumnya
haram
jika dimaksudkan untuk
menyengsarakan isteri dan anak-anaknya. Dimana suami menyusahkan isterinya sehingga pada akhirnya isteri tidak tahan dan menggugat suami melalui tebusan atau iwadh. Dan apabila suami menceraikan isteri maka suami tidak berhak untuk mengambil iwadh tersebut. Kecuali isteri melakukan perbuatan keji seperti berzina atau perbuatan maksiat maka suami dapat membuat kondisi dimana membayar tebusan melalui jalan khulu’. 103
Jamaluddin, Hukum Perkawinan Empat Mazhab, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan, hal.124
Universitas Sumatera Utara
48
Sebagaimana dalam Surah An Nisa ayat 19 yang artinya:104 “Tidak diperbolehkan bagi suami untuk melakukan sesuatu yang membahayakan isterinya, dan tidak menggauli isterinya dengan baik, dengan tujuan agar dia meminta khulu’ darinya dan agar menembalikan harta yang diberikan kepadanya, baik keseluruhan atau sebahagiannya, selama isteri tidak melakukan perbuatan keji yang nyata. Dalam hal ini Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.” Kedua dari pihak isteri, dimana isteri yang meminta cerai padahal keadaan rumah tangganya berjalan baik dan tidak ada alasan syar’i yang membenarkan perceraiannya melalui jalan khulu’ . Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya:105 “Siapa yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada alasan apa-apa (yang sah), maka bau surga diharamkan baginya.” Sebahagian ulama diantaranya Abu Bakar bin Abdullah al Muzanniy berpendapat tidak bolehnya khulu’ tersebut, bahkan bila dilakukan maka yang berlangsung adalah talak bukanlah khulu’. Alasan yang dikemukakan oleh ulama ini adalah bahwa khulu’ yang pada hakikatnya si suami mengambil kembali mahar yang telah diberikannya kepada isterinya dalam bentuk iwadh.106
104 105
Al Qur’an Dan Terjemahannya, hal.86. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita, Akbarmedia, Jakarta,2009
,hal.341. 106
Amir Syarifuddin,Op.cit, hal.233.
Universitas Sumatera Utara
49
3. Makruh. Khulu’ menjadi makruh hukumnya jika tidak ada keperluan untuk itu kecuali ada kekhawatiran bahwa ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah tidak akan dapat ditunaikan kalau tidak dengan melepaskan diri (bercerai). Menurut mazhab Syafi’i bahwa hukum asal melakukan khulu’ itu adalah makruh dan ia hanya dapat menjadi sunat apabila isteri ternyata tidak baik dalam bergaul dengan suaminya.
107
4. Sunat. Khulu’ menjadi sunat hukumnya jika dimaksudkan untuk mendatangkan maslahat yang lebih bagi kedua suami isteri. 5. Mubah. Sedangkan menurut Al-Dasuqi bahwa khulu’ hukumnya mubah bukan makruh.108 Khulu’ dilakukan atas keridhaan kedua belah pihak (suami dan isteri). Ketika tidak ada keridhaan antara kedua belah pihak, hakim bisa mengharuskan suami untuk memberlakukan khulu’. Berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengharuskan Tsabit bin Qais menerima kebun dan menalak isterinya setelah keduanya mengadukan permasalahannya kepada beliau.
107 108
Jamaluddin, Op.cit, hal.124. Abdul Rahman I. Doi, Op.cit, hal.116.
Universitas Sumatera Utara