BAB II DAMPAK POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL YANG BAIK PADA ANAK TUNANETRA
Pada bab ini akan dijelaskan konsep tentang teori-teori yang berkaitan dengan keterampilan sosial dan pola asuh orang tua yang meliputi pengertian keterampilan sosial, dimensi keterampilan sosial, aspek-aspek keterampilan sosial, keterampilan sosial pada anak tunanetra, pengertian pola asuh orang tua, jenisjenis pola asuh, dimensi pola asuh orang tua, penelitian yang relevan dan kerangka berpikir.
A. Konsep Dasar Keterampilan Sosial 1.
Pengertian keterampilan sosial Menurut
Chaplin
(2004:465)
keterampilan
memiliki
arti
sebagai
kemampuan bertingkat tinggi yang memungkinkan seseorang melakukan satu perbuatan motorik yang kompleks dengan lancar disertai ketepatan. Walaupun pengertian di atas lebih menitikberatkan kemampuan motorik, namun istilah keterampilan (skill) itu sendiri memiliki keterkaitan yang erat dengan pengetahuan (knowledge) dan serangkaian pilihan yang diperlukan individu. Nelson-Jones (Nurfitriyah, 2003:27) menyebutkan bahwa kemampuan individu dalam membuat dan mengimplementasikan serangkaian pilihan (implement sequence of choice) dalam rangka mencapai tujuan pribadinya merupakan hal yang esensial dalam istilah keterampilan. Dengan kata lain, penggunaan istilah keterampilan dalam 8
9
konteks sosial melibatkan fungsi psikis dan motorik dengan penggunaan kemampuan individu untuk berpikir (membuat pilihan-pilihan) dan bertindak (melaksanakan pilihan-pilihan) secara tepat. Istilah keterampilan sosial seringkali disamakan dengan kompetensi sosial. Hops (Cartledge & Milburn, 1993:8) menjelaskan istilah kompetensi lebih mengacu pada refleksi penilaian sosial secara umum tentang kualitas perilaku individu dalam situasi perilaku tertentu sedangkan istilah keterampilan sosial merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan dengan lancar disertai dengan ketepatan. Keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain. Berikut ini akan dipaparkan pengertian keterampilan sosial berdasarkan para ahli. a) Libert
&
Lewinshon
(Cartledge
&
Milburn,
1993:7)
menyebutkan
keterampilan sosial sebagai kemampuan kompleks untuk melakukan perilaku yang mendapat penguatan positif dan tidak melakukan perilaku yang mendapat penguatan negatif. b) Combs & Slaby (Cartledge & Milburn, 1993:7) mengartikan keterampilan sosial sebagai kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain pada konteks sosial dalam cara-cara spesifik yang secara sosial diterima atau bernilai dalam waktu yang sama memiliki keuntungan untuk pribadi dan orang lain. c) Hersen & Bellack (Cartledge & Milburn, 1993:4) menjelaskan keterampilan sosial adalah berdasarkan situasi dan konsep keterampilan sosial, yaitu perilaku
10
efektif dalam melakukan interaksi sosial dan bergantung pada konteks dan parameter dari keadaan. Berdasarkan keseluruhan paparan mengenai pengertian keterampilan sosial, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan individu dalam membuat dan mengimplementasikan serangkaian pilihan serta sikap sosial yang sesuai dengan lingkungan hidupnya, baik terhadap lingkungan pendidikan, antar pribadi, pribadi dan tugas-tugas akademis dengan tujuan agar dapat diterima secara positif oleh lingkungan tersebut. Salah satu perwujudan dari keterampilan sosial yang dimiliki oleh anak adalah anak mampu menjalin hubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Hubungan antara teman sebaya (peer ralationship) sebagai salah satu aspek yang penting dari perwujudan keterampilan sosial, sangat besar kontribusinya terhadap perkembangan sosial maupun kognitif anak (Tarsidi, 2010:25).
2. Dimensi keterampilan sosial Stephens (Cartledge & Milburn, 1993:14) menjelaskan bahwa keterampilan sosial melibatkan dua dimensi yaitu kognitif dan afektif. Proses kognitif dan afektif merupakan determinan yang sangat penting terhadap keberfungsian sosial. Sejumlah kemampuan yang harus dikuasai oleh anak berkaitan dengan dua dimensi ini adalah sebagai berikut. a. Dimensi afektif Pada dimensi ini, perasaan atau emosi anak cenderung sulit diukur tetapi pola perilaku yang tampak sebagai bentuk pengekspresian perasaan cenderung
11
menggambarkan bagaimana perasaan atau kondisi emosi anak. Krathwohl, Bloom dan Masin (Cartledge & Milburn, 1993:19) menjelaskan sejumlah kemampuan yang harus dicapai dalam pelatihan keterampilan sosial berkaitan dengan perkembangan afektif individu, yaitu: 1) rasa memiliki terhadap diri sendiri, identitas diri dan perkembangan harga diri sendiri secara objektif, memahami karakteristik pribadi, mengetahui kelemahan dan kelebihan diri sendiri, menerima pengalaman-pengalaman seperti kegagalan dan penolakan secara konstruktif; 2) pengekspresian dan keperluan terhadap perasaan sendiri yang ditandai dengan kemampuan untuk mengenali perasaannya terhadap perasaan sendiri yang ditandai dengan kemampuan untuk mengenali perasaannya terhadap peristiwa-peristiwa hidup yang berbeda, menggunakan simbol-simbol yang tepat untuk menggambarkan perasaannya yang positif atau negatif, mengekspresikan emosi termasuk pengekspresian perasaannya dengan pengalaman-pengalaman antar pribadinya; 3) kepedulian individu terhadap perasaan orang lain yang ditunjukkan baik secara verbal, nonverbal maupun sensitive terhadap perasaan orang lain; 4) kepedulian individu terhadap keragaman
dalam
mengekspresikan
perasaan
yang
ditandai
dengan
kemampuan untuk memahami bahwa perasaan-perasaan yang muncul senantiasa akan berubah-ubah, bergantung pada situasi dan waktu yang tengah terjadi.
12
b. Dimensi kognitif Dimensi ini mempunyai fungsi dalam membantu individu untuk mengontrol emosi dan perilakunya agar selaras dengan lingkungan. Aspek keterampilan sosial yang berkenaan pada dimensi kognitif adalah: 1) persepsi sosial yaitu kemampuan individu untuk menerima dan mengukur situasi yang sedang terjadi disertai penentuan perilaku yang sesuai dengan respon terhadap perilaku orang lain; 2) pemecahan masalah; 3) pengajaran diri atau yang lebih memfokuskan dalam keterampilan mengendalikan diri; 4) restruksi kognitif yaitu dengan membangun kembali sistem keyakinan diri yang tidak rasional menjadi lebih rasional melalui pemahaman perasaan-perasaan negatif yang sering muncul, mengenali sistem-sistem keyakinan diri yang tidak rasional, menghadapi perasaan tidak berdaya dengan cara memunculkan pemahaman yang lebih positif tentang diri sendiri dan lebih realistis dalam memandang diri.
3. Aspek-aspek keterampilan sosial Stephen (Cartledge & Milburn, 1993:15) menegaskan bahwa keterampilan sosial mempunyai empat sub aspek dalam pengembangan perilaku sosial individu. Dalam hal ini keempat aspek perilaku menjadi indikator tinggi rendahnya keterampilan sosial anak. Perilaku tersebut antara lain: a. Environmental behavior (perilaku terhadap lingkungan), yaitu bentuk perilaku yang menunjukkan bagaimana tingkah laku sosial individu dalam mengenal dan memperlakukan lingkungan hidupnya. Pada kategori ini, lingkungan hidup individu berada di lingkungan rumah. Contoh perilaku tersebut adalah peduli
13
terhadap lingkungan dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang diadakan di lingkungan rumah. b. Interpersonal behavior (perilaku interpersonal), yaitu bentuk perilaku yang menunjukkan tingkah laku sosial individu dalam mengenal dan mengadakan hubungan dengan sesama individu lain (dengan teman sebaya atau guru). Contoh perilaku tersebut terdiri dari: menerima otoritas, senang membantu orang lain, memulai percakapan dengan orang lain, bersikap positif terhadap teman, dan mengawali sapaan kepada orang lain. c. Self-related behavior (perilaku pribadi), yaitu bentuk perilaku yang menunjukkan tingkah laku sosial individu terhadap dirinya sendiri. Contoh perilaku tersebut yaitu dapat mengekspresikan perasaan, bersikap positif terhadap diri sendiri, menjaga dan merawat kondisi fisik, menyadari dan menerima konsekuensi atas perbuatannya sendiri. d. Task-related behavior (perilaku yang berhubungan dengan tugas), yaitu bentuk perilaku atau respon individu terhadap sejumlah tugas akademis yang terwujud dalam bentuk memperhatikan selama pelajaran berlangsung, aktif dalam diskusi kelas, memiliki kualitas belajar yang baik, memenuhi tugas-tugas pelajaran di kelas dan bertanya atau menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru.
14
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial a. Keluarga Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan sosial anak. Pada tahun-tahun awal kehidupan yang memberikan pengaruh terpenting terhadap keterampilan sosial dan sikap anak adalah pola asuh atau cara orang tua mendidik anak. Hal tersebut menggambarkan bahwa kegagalan yang dialami anak dalam hidupnya terutama dalam hubungan sosial dengan orang lain adalah sebagai akibat dari sikap atau pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Salah satu contoh pola asuh orang tua yang mempengaruhi keterampilan sosial anak, yaitu permissive indulgent parenting (terlalu melindungi). Perilaku orang tua yang permissive indulgent parenting (terlalu melindungi) kepada anak contohnya dengan memberikan perawatan/ pemberian bantuan yang terus menerus, meskipun anak sudah mampu merawat dirinya sendiri, kontak yang berlebihan dengan anak, mengawasi kegiatan anak secara berlebihan dan memecahkan masalah anak. Dengan penerapan pola asuh tersebut, maka perilaku anak akan menjadi kurang percaya diri, sulit dalam bergaul, pembuat onar dan suka bertengkar dalam lingkungan sosial misalnya di lingkungan sekolah. Hal tersebut menunjukkan anak sulit dalam mengembangkan keterampilan sosialnya. Dan sebaliknya anak yang dibesarkan dengan pola asuh demokratis, anak akan dapat melakukan penyesuaian sosial yang baik, mereka aktif secara sosial.
15
b. Sekolah Sekolah tidak hanya berperan dalam memberikan pengetahuan saja melainkan sebagai penyelenggara pendidikan yang mencakup pengajaran, latihan dan bimbingan. Oleh karena itu guru tidak hanya berperan sebagai pendidk untuk mengembangkan kemampuan akademik, namun berperan dalam mendidik, melatih dan membimbing siswa agar memiliki keterampilan sosial. Keterampilan sosial merupakan cara siswa dalam melakukan interaksi, baik dalam hal berkomunikasi maupun bertingklah laku dengan orang lain, sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupannya baik di lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas. c. Teman sebaya Teman sebaya (peers) adalah anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih sama (Santrock, 1995:268). Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya. Anak-anak mengevaluasi apa yang mereka lakukan dalam arti apakah ini baik daripada apa yang dilakukan oleh anak-anak lain. Hal ini sulit dilakukan di rumah, karena saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atu lebih muda. d. Media massa Media massa sekarang menjadi sangat berpengaruh bagi anak, dapat dikatakan media massa kini menjadi salah satu lingkungan sosial yang juga memberikan banyak informasi. Televisi sebagai salah satu media yang berpengaruh
16
terhadap perkembangan sosial anak, juga selain itu seiring perkembangan zaman kini internet pun masuk dalam dunia anak. Hal tersebut sudah menjadi sebuah fenomena, dalam hal ini ada dua dampak yang muncul yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya, media tersebut dapat menjadi sumber informasi bagi anak, menyajikan program-program yang memotivasi dan memberi model-model perilaku prososial. Dan dampak negatifnya, terkadang dapat menjauhkan mereka dengan lingkungan di dunia nyata, seperti menjauhkan mereka dari pekerjaan rumah, mereka cenderung menjadi pasif, mengajarkan mereka berbagai stereotif, memberi mereka model-model agresi (kekerasan) dan dapat menjadikan mereka terobsesi dengan pandangan yang tidak realistis tentang dunia.
B. Keterampilan Sosial Anak Tunanetra Persatuan Tunanetra Indonesia (Tarsidi, 2010:5) mendefinisikan pengertian tunanetra yaitu anak yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas). Kingsley
(Tarsidi,
2010:4)
menyatakan
bahwa
ketunanetraan
mengakibatkan tiga keterbatasan serius yang berdampak pada perkembangan fungsi kognitif anak, yaitu: 1) dalam sebaran dan jenis pengalamannya; 2) dalam kemampuannya untuk bergerak di dalam lingkungannya; dan 3) dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Keterbatasan-keterbatasan itu bukanlah dampak
17
langsung dari ketunanetraan, artinya bahwa jika tunanetra tersebut mendapat intervensi yang tepat dan sedini mungkin, maka dampak negatif terhadap perkembangan keterampilan sosial tunanetra tersebut dapat diminimalkan. Agar dapat beradaptasi dengan lingkungan, anak harus memiliki seperangkat perilaku verbal dan non verbal yang dipergunakannya untuk merespon individu lain (Sunanto, 2005:92). Keterampilan sosial oleh orang normal, sering dipelajari melalui observasi visual dan kegiatan meniru dalam kegiatan sehari-hari. Bagi anak awas beberapa tingkah laku sosial seperti penggunaan mimik, gerakan tubuh atau bahasa tubuh digunakan tanpa berfikir terlebih dahulu dalam arti langsung ditiru setelah melihatnya, sedangkan bagi tunanetra harus diajarkan satu per satu. Sunanto (2005:96) menyatakan bahwa perkembangan sosial antara anak tunanetra dan anak awas pada umumnya tidak berbeda akan tetapi untuk mengembangkan kompetensi tunanetra memerlukan penanganan khusus sebagai akibat ketunaannya khususnya yang berkaitan dengan penyediaan rangsangan yang bersifat non-visual.
C. Konsep Dasar Pola Asuh Orang Tua 1.
Pengertian pola asuh orang tua Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan
merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang tua
18
dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Darling (Rahmawati, 2006:14) mendefinisikan pola asuh sebagai aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak. Sejalan dengan itu Kohn (Octaria, 2007:12) mengemukakan definisi pola asuh sebagai sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara menunjukkan otoritasnya dan cara memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Octaria (2007:12) pun menambahkan bahwa pola asuh orang tua yang dirasakan anak adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan dan minum) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman dan kasih sayang) tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya.
19
2.
Dimensi pola asuh orang tua Ada bermacam cara untuk menggolongkan tingkah laku orang tua terhadap
anak. Salah satu pendekatan yang sering dipilih, berakar dari seorang ahli psikologi adalah Diana Baumrind (Olive, Selasa 8 Juni 2010) yang mengemukakan empat dimensi pola asuh yaitu : a. Tuntutan (Demandingness) Dimensi ini menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, apakah orang tua menuntut terlalu tinggi di luar batas kemampuan anak, ataukah justru orang tua tidak menetapkan bagaimana anaknya harus berperilaku. Masing-masing orang tua memiliki kadar tuntutan yang berbeda satu sama lain. Hertherington dan Parke (Olive, Selasa 8 Juni 2010) menyatakan bahwa kadar tuntutan berkisar dari orang tua yang sangat menuntut, bersikap kaku dan cenderung memaksa (menuntut). Orang tua tidak menuntut di mana anak tidak mendapat kontrol dalam berperilaku, kalaupun batasan itu ada, sifatnya tidak mengikat dan sangat sedikit (tidak menuntut). Biasanya, orang tua menuntut untuk membuat anak-anaknya mempunyai kemampuan di bidang sosial, intelektual dan emosi. Orang tua juga menuntut kemandirian, termasuk memberi kesempatan kepada anak untuk membuat keputusannya sendiri. b. Kontrol (Controll) Dimensi ini menunjukkan pada upaya orang tua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan tingkah laku yang dibuat sebelumnya. Tindakan yang bersifat mengontrol adalah tindakan dimana orang
20
tua merubah ekspresi anak yang dependent, agresif dan senang bermain atau membuat anak mengikuti standar orang tua yang sudah ditetapkan. c. Respon (Responsiveness) Dimensi ini mengukur bagaimana orang tua berespon kepada anaknya. Orang tua menggunakan penalaran untuk mencapai sesuatu dari anak dan berusaha untuk memecahkan masalah anak melalui musyawarah. Orang tua dapat menunjukkan kasih sayang dengan tindakan dan sikapnya serta memperhatikan kesejahteraan fisik dan mental emosional anak dan dapat menunjukkan kebanggaan serta kebahagiaan atas keberhasilan anak. Rentang perhatian yang diberikan orang tua berkisar antara: orang tua yang sangat tanggap dengan kebutuhan anak, hingga orang tua tidak tahu menahu mengenai kebutuhan anaknya. Hertherington dan Parke (Olive, Selasa 8 Juni 2010) menyatakan bahwa kadar respon berbeda berdasarkan kehangatan orang tua dengan anak. Pada orang tua yang memiliki hubungan hangat dengan anaknya maka orang tua akan sadar benar pada kebutuhan anaknya. Orang tua yang cenderung menolak anak (rejecting), tidak akan tahu kebutuhan anak dan lebih memperhatikan kebutuhan orang tua (parent centered). d. Penerimaan (Accepting) Dimensi ini menunjukkan pada kesadaran orang tua untuk mendengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak apabila diperlukan. Dari ke empat dimensi pola asuh di atas, ternyata memiliki kaitan dengan ke empat jenis pola asuh. Olive (Selasa 8 Juni 2010) menyimpulkan bahwa jika
21
dimensi menuntut, mengontrol, menerima, dan merespon yang kadarnya tinggi dipadukan, maka akan terbentuk pola asuh yang authoritative. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya tinggi sementara penerimaan dan respon kadarnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh authoritarian. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya sedikit sementara penerimaan dan respon kadarnya tinggi digabungkan, maka akan terbentuk pola asuh permissiveindulgent atau memanjakkan; dan jika dimensi menuntut dan mengontrol, menerima dan meresponnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh permissiveindifferent atau pola asuh tidak peduli.
3.
Jenis-jenis pola asuh orang tua Diana Baumrind (Santrock, 2003:185) mengemukakan empat macam pola
asuh orang tua yaitu authoritative, authoritarian, permissive-indifferent, permissive-indulgent. Masing-masing gaya pengasuhan orang tua tersebut menggunakan cara berbeda dalam keluarga, dan masing-masing menunjukkan pengaruh penting atas perasaan dan perilaku anak atau remaja. a. Authoritarian parenting (pengasuhan otoriter) Authoritarian adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha (Baumrind dalam Santrock, 2003: 185). Orang tua ini berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikapsikap anak sesuai dengan yang telah ditentukan, terutama berdasarkan standar absolut mengenai perilaku. Orang tua ini menekankan nilai kepatuhan yang
22
tinggi terhadap kekuasaan atau wewenangnya. Mereka cenderung tidak mendorong tingkah laku independen dan justru menempatkan pentingnya perlakuan atau hubungan baik atas tindakan yang membatasi otonomi anak. Orang tua authoritarian bersikap kaku dan keras, cepat marah, otoritasnya tinggi, kasar dan tidak mau mendengarkan kebutuhan anak. Anak yang orang tuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah (Santrock, 2003:185). b. Authoritative parenting (pengasuhan demokratis) Authoritative mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan tindakan-tindakan mereka (Baumrind dalam Santrock, 2003:186). Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati anak. Orang tua ini berusaha menunjukkan atau mengatur aktivitas anak mereka melalui penggunaan cara yang berpusat pada isu rasional. Melalui penjelasan kepada anak dan mempertimbangkannya dengan mereka, orang tua authoritative berusaha untuk mengontrol anak. Oleh karena itu, orang tua macam ini memberi dorongan lisan saling “memberi dan menerima” karena orang tua di sini mengijinkan anak duduk bersama-sama dengan dirinya untuk mempertimbangkan apa yang tersirat di balik kebijakan mereka. Orang tua ini memiliki kehangatan yang tinggi dan bersikap membatasi secara moderat, tetapi mau mendengarkan dengan baik dan penuh perhatian terhadap kebutuhan anak karena mereka mengharapkan kematangan tingkah laku secara tepat pada anak (Steinberg,
23
1993). Orang tua menggunakan kontrol terhadap anak, tetapi tidak membebani anak dengan kekangan. Mereka percaya bahwa orang tua dan anak sama-sama punya hak tetapi penentuan akhir dalam pengambilan keputusan ada pada orang tua. Gaya pengasuhan ini menjadikan anak sadar diri dan mempunyai tanggung jawab secara sosial (Santrock, 2003:186). c. Permissive Indifferent parenting (pola pengasuhan tidak peduli) Gaya pengasuhan permissif tidak peduli (permissive-indifferent parenting) adalah suatu pola di mana si orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak/ remaja (Santrock, 2003: 186). Mereka tidak mau tahu tentang aktifitas anak-anaknya, padahal anaknya itu sangat membutuhkan perhatian mereka. Anak yang mendapat perlakuan ini menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik. d. Permissive Indulgent parenting (pengasuhan permisif-memanjakan) Santrock (2003: 186) menjelaskan pengasuhan permisif memanjakan sebagai suatu pola di mana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Orang tua yang bersifat permisif memanjakan mengijinkan si anak melakukan apa yang mereka inginkan, dan akibatnya adalah anak tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri, dan selalu berharap mereka bisa mendapatkan semua keinginannya. Beberapa orang tua memperlakukan anak mereka secara demikian karena mereka percaya bahwa kombinasi keterlibatan yang hangat dengan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri.
24
Perilaku anak yang terbentuk dengan gaya pengasuhan seperti ini adalah tidak patuh dan menentang peraturan yang ditetapkan.
D. Penelitian yang Relevan Penelitian tentang pola asuh orang tua yang berkaitan dengan perilaku yang ditimbulkan pada anak/ remaja telah diungkap pada penelitian-penelitian terdahulu. Berikut beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan. 1. Rizki Disniwati (2008) menyebutkan bahwa semakin authoritative pola asuh yang diterapkan orang tua, maka semakin rendah tingkah laku siswa kelas XI SMA BPI 1 Bandung. Semakin indulgent pola asuh yang diterapkan, maka semakin tinggi tingkah laku agresi siswa, dan semakin siswa merasakan pola asuh indifferent, maka semakin tinggi tingkah laku agresi siswa. 2. Enandes Kenyorini (2009) menyebutkan gaya pengasuhan authoritative yang berkategori tinggi berhubungan positif dengan kemandirian emosional remaja yang berkategori tinggi. Demikian juga dengan gaya pengasuhan authoritative rendah juga berhubungan positif dengan kemandirian emosional berkategori rendah. Sehingga semakin tinggi gaya pengasuhan authoritative yang diberikan orang tua di rumah, maka semakin tinggi pula kemandirian emosional pada remaja SMAN 77 Jakarta. 3. Penelitian lain yang dilakukan Ayuningtyas Nuryanto (2011) menjelaskan bahwa siswa yang merasakan pola asuh demokratis memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam aspek kepribadian order, endurance, achivement, deference, dan change. Siswa yang merasakan pola asuh otoriter memiliki kecenderungan
25
lebih tinggi dalam aspek kepribadian succorrance, nurturance, affiliation, dominance, intraception, aggression, autonomy, dan endurance. Siswa yang merasakan pola asuh pemanja memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam aspek
kepribadian
intraception,
agression,
autonomy,
heterosexuality,
nurturance, exhibition, igominance dan abasement. Berdasarkan kajian permasalahan dan temuan-temuan peneliti terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak. Penelitian ini, akan memberikan gambaran perlakuan orang tua yang lebih spesifik, sehingga dapat membuktikan bahwa yang melatar belakangi anak memperoleh keterampilan sosial baik dihasilkan oleh pola asuh orang tua tertentu. Dengan demikian, perlakuan orang tua tersebut dapat dijadikan acuan orang tua lain dalam mendidik anak.
E. Kerangka Berpikir Berdasarkan hasil studi pendahuluan di SLB Negeri A Bandung di kelas D3 tahun ajaran 2011/ 2012, menunjukkan bahwa terdapat beberapa kelompok keterampilan sosial anak, yaitu anak dengan keterampilan sosial baik, anak dengan keterampilan sosial sedang dan anak dengan keterampilan sosial rendah. Kebanyakan dari anak-anak tersebut termasuk dalam kategori keterampilan sosial sedang, ada pula anak dengan keterampilan sosial rendah dan hanya beberapa anak yang memiliki keterampilan sosial baik. Tetapi dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada keterampilan sosial baik saja. Anak dengan keterampilan
26
sosial baik (AG dan AN) menunjukkan sikap yang ramah, sopan terhadap orang yang lebih tua, dan mudah bergaul, sedangkan anak dengan keterampilan sosial sedang dan rendah menunjukkan kompetensi sosial yang lebih rendah dari anak dengan keterampilan sosial baik. Bar-Tal (Dewinuraida, 2010:4) mengemukakan faktor yang melatar belakangi perbedaan kemampuan keterampilan sosial tersebut salah satunya disebabkan oleh faktor pola asuh orang tua. Baumrind (Santrock, 2003: 185) mengemukakan pola asuh orang tua terbagi ke dalam empat bentuk, yaitu pola asuh orang tua authoritarian (otoriter), authoritative (demokratis), permissive indulgent (memanjakan), dan permissive indifferent (tidak peduli). Untuk menentukan jenis pola asuh mana yang digunakan orang tua dalam mendidik anaknya, maka perlu diketahui lebih dulu bagaimana perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anak. Perlakuan orang tua dapat kita nilai berdasarkan pada dimensi pola asuh orang tua menurut Baumrind (Olive, Selasa 8 Juni 2010), yaitu: tuntutan, kontrol, respon, dan penerimaan. Dari keempat dimensi pola asuh orang tua tersebut, maka akan terbentuk pola asuh tertentu yang digunakan orang tua dalam mengasuh anak. Jika dimensi menuntut, mengontrol, menerima, dan merespon yang kadarnya tinggi dipadukan, maka akan terbentuk pola asuh yang authoritative. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya tinggi sementara penerimaan dan respon kadarnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh authoritarian. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya sedikit sementara penerimaan dan respon kadarnya tinggi digabungkan, maka akan terbentuk pola asuh permissive-indulgent atau memanjakkan; dan jika dimensi
27
menuntut dan mengontrol, menerima dan meresponnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh permissive-indifferent atau pola asuh tidak peduli.