BAB II CORAPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Latar belakang CSR 1. Sejarah CSR Corporate social responsibility merupakan suatu elemen yang penting dalam kerangka sustainability, yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Corporate social responsibility merupakan proses penting dalam pengelolaan biaya dan keuntungan kegiatan bisnis dengan stakeholders baik secara internal (pekerja, shareholders dan penanam modal) maupun eksternal (kelembagaan pengaturan umum, anggota-anggota masyarakat, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan lain), dimana tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor saja, tapi konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif, akan tetapi merupakan hak dan kewajiban yang dimiliki bersama antar stakeholders. Adapun alasan penting mengapa harus melakukan Corporate Social Responsibility, yaitu untuk mendapatkan keuntungan sosial, mencegah konflik dan persaingan yang terjadi, kesinambungan usaha/bisnis, pengelolaan sumber daya alam serta pemberdayaan masyarakat dan sebagai License to Operate. Jadi implementasi Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga secara
Universitas Sumatera Utara
sosial dan lingkungan alam bagi keberlanjutan perusahaan serta mencegah terjadinya konflik. 45 Isu CSR adalah suatu topik yang berkenaan dengan etika bisnis. Pada umumnya, implementasi dari etika bisnis yang berkembang sekarang ini diwujudkan dalam bentuk CSR, yaitu suatu bentuk kepekaan, kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan untuk ikut memberikan manfaat terhadap masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi. 46 CSR adalah sebuah konsep yang tidak hadir secara instan. CSR merupakan hasil dari proses panjang dimana konsep dan aplikasi dari konsep CSR pada saat sekarang ini telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan dari konsepkonsep terdahulunya. di wilayah Asia, konsep CSR berkembang sejak tahu 1998, tetapi pada waktu tersebut belum terdapat suatu pengertian maupun pemahaman yang baik tentang konsep CSR. Sementara itu, di Indonesia konsep CSR mulai menjadi isu yang hangat sejak tahun 2001, dimana banyak perusahaan maupun instansi-instansi sudah mulai melirik CSR sebagai suatu konsep pemberdayaan masyarakat. Perkembangan tentang konsep CSR pun pada dasarnya semakin meningkat lebih baik, ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. 47 Buku karangan Bowmen yang berjudul Social Responsibility of Businesman dapat dianggap sebagai dari awal permulaan CSR modern. Dalam buku tersebut
45
Arif Budimanta, Corporate Social Responsibility : Realita dan Perkembangan http://www.megawati-institute.org/pemikiran/corporate-social-responsibility-realita-danperkembangan.html. Diakses tanggal 10 April 2012. 46 Implementasi CSR Untuk Pemberdayaan Masyarakat Miskin, http://lateralbandung.wordpress.com/2007/08/22implementasi-csr-untuk-pemberdayaan-masyarakatmiskin/, Diakses tanggal 10 April 2012. 47 Arif Budiman, Op. cit., hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Bowmen memberikan defenisi awal dari CSR sebagai; ”... obligation of businessman to pursue these policies, to make those decision or to follow those line of action which are diserable in term of objectives and valuses of our society”. Buku yang diterbitkan di Amerika Serikat itu menjadi buku terlaris dikalangan dunia usaha pada era 19501960, atas prestasi tersebut pada saat itu Bowmen disebut sebagai bapak CSR. Sejak saat itu banyak refrensi ilmiah lain yang diterbitkan diberbagai negara yang mengacu pada prinsip-prinsip tanggung jawab dunia usaha kepada masyarakat yang telah dijabarkan oleh Bowmen. Ide dasar yang dikemukan Bowmen adalah mengenai “Kewajiban-kewajiban perusahaan menjalankan usahanya sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat ditempat perusahaan tersebut beroperasi”. Bowmen menggunakan istilah sejalan dalam konteks itu demi meyakinkan dunia usaha tentang perlunya mereka memiliki visi yang melampaui urusana financial perusahaan. 48 Dalam dekade 1960- an pemikiran Bowmen terus dikembangkan oleh bebagai ahli sosiologi bisnis lainnya seperti Keith Davis yang memperkenalkan konsep Iron Law of Social Responsibility. Keith mengungkapakn bahwa penekanan tanggung jawab sosial perusahaan memiliki koneksi positif dengan ukuran atau besarnya perusahaan. Studi ilmiah yang dilakukan Keith menemukan bahwa semakin tinggi dampak suartu perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya, maka semakin tinggi pula bobot tanggung jawab yang harus dipertahankan perusahaan iu pada masyarakat. Dalam periode 1970-1980, defenisi CSR lebih diperluas lagi oleh Archi Carrol yang
48
Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal.
37.
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya telah merilis bukunya tentang perlunya dunia usaha meningkatkan kualitas hidup masyarakat agar menjadi penunjang eksistensi perusahaan. 49 Pada dekade ini juga makin banyak perusahaan mulai mengeser konsep filantropisnya kearah Community Development (CD) yang mana inti kegiatan kedermawanaan yang sebelumnya kental dengan pola kedermawanan ala Robin Hood makin berkembang ke arah pemberdayaan masyarakat semisal pengembangan kerja sama, memberikan ketrampilan, pembukaan akses pasar, dan sebagainya. 50 Gagasan Community Development (CD) dapat ditelusuri sejak sekitar tahun 1925. Ketika itu pernah berhasil dipraktekkan oleh Inggris di beberapa negeri jajahannya sampai tahun 1948. Bila ditelusur lebih lanjut ke masa sebelumnya, sebenarnya sejak akhir dekade tahun 1870-an di Amerika Serikat juga telah ada implementasi gagasan senada,. Selanjutnya lebih berkembang sejak Undang-undang Smith Lever diundangkan tahun 1914. Di Uni Soviet, sesuai dengan asas komunisme, menyelenggarakan pembangunan dengan perencanaan dan pengendalian yang sentralistik sejak tahun 1920. 51 Perkembangan CD menjadi CSR didasari oleh adanya kesadaran terhadap situasi dan waktu yang telah berubah. Perusahaan bukan lagi merupakan kesatuan yang independen dan terisolasi, sehingga manajer tidak hanya bertanggung jawab kepada pemilik tetapi juga kepada kepentingan yang lebih luas yang membentuk dan mendukungnya. Dalam mengejar tujuan ekonomisnya, perusahaan menimbulkan
49
Ibid. Yusuf Wibisono, Op. cit,. hal. 6. 51 Sumardjo, Sejarah, Perkembangan dan Alternatif Pendekatan Comdev di Indonesia. http://www.create.or.id/?module=articles&action=detail&id=11 Diakses tanggal 10 April 2012. 50
Universitas Sumatera Utara
berbagai konsekuensi sosial lainnya, baik kemanfaatan maupun biaya sosial. Keamanan, kenyamanan, dan kemakmuran bagi masyarakat merupakan kemanfaatan sosial ,sedangkan degradasi potensi sumberdaya lingkungan limbah dan pencemaran membawa biaya sosial. Salah satu kesalahan dari pandangan lama (pandangan ekonomis) adalah tentang waktu yaitu mereka hanya memikirkan perolehan laba perusahaan dalam jangka pendek, sehingga tidak peduli terhadap dampak sosial lingkungannya. Akibatnya tidak sedikit perusahaan menjadi tidak aman karena respon masyarakat terhadap dampak negatif yang dialami akibat keberadaan suatu perusahaan. Dalam jangka panjang ternyata perusahaan yang memperhatikan kepentingan sosial, seperti memberi beasiswa kepada anak-anak tidak mampu, membangun sekolah dan tempat ibadah, memasang peralatan penyaring udara dan atau pembersih limbah, serta menerapkan program-program pengembangan masyarakat, ternyata menunjukkan eksistensi yang semakin mengemuka. Hal ini terjadi karena tanggung jawab sosial perusahaan tersebut menciptakan citra dan simpati bagi perusahaan dari masyarakat luas. 52 Dekade
1990
adalah
merupakan
periode
dimana
CSR
mendapat
pengembangan makna dan jangkauan. Banyak bermunculan model CSR seperti Corporate Social Performance (CSP), Business ethics Theory (BET), dan Corporate Citizenship. Pada periode ini CSR telah menjadi tradisi baru dalam dunia usaha. Meskipun banyak terdapat istilah atau model-model CSR pada saat itu, pada dasarnya keseluruhan konsep CSR tersebut dapat diklasifikasikan kedalam 2 konsep dasar yaitu Cause Branding dan Venture Philantrophy. Cause Branding adalah pendekatan 52
Ibid
Universitas Sumatera Utara
secara top-down, artinya perusahaan menentukan masalah sosial apa yang perlu dibenahi oleh perusahaan. Branding mendesain program sosial yang berkaitan dengan branding product yang tujuannya membuat masyarakat lebih akrab dengan merek dagang, untuk jangka panjang model ini bermanfaat bagi perusahaan membenahi diri untuk memperkuat eksistensi. Sedangkan Venture Philantrophy merupakan pendekatan bottom-up, dimana perusahaan membantu pihak-pihak non-profit dalam masyarakat. Perusahaan membantu masyarakat untuk menciptakan sendiri sumbersumber penghidupan baru dan tidak sekedar menyalurkan bantuan sosial atau financial kepada masyarakat. 53 Pada saat sekarang ini, CSR tidak hanya menjadi suatu tradisi yang dilaksanakan oleh perusahaan. Konsep dan eksistensi CSR telah mulai diangkat kedalam posisi yang lebih tinggi, tidak hanya di ruang lingkup privat perusahaan tetapi juga telah menjadi perhatian oleh sektor publik yakni pemerintah. Hal ini dapat dicermati dari adanya isu hangat dunia mengenai pentingnya kontribusi perusahaan dan pemerintah dalam perbaikan, pengembangan dan perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat yang dicetuskan dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002 yang menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan. Perkembangan CSR pada dekade ini pun diikuti dengan diperkuatnya eksistensi CSR tersebut kedalam kewajiban yang bersifat normatif diberbagai negara. Meskipun baru hanya beberapa negara yang berani untuk mengambil tindakan tersebut dimana Indonesia termasuk
53
Hendrik Budi Untung, Op. cit., hal. 38
Universitas Sumatera Utara
salah satu negara didalamnya, hasil ini merupakan perkembangan yang sangat positif bagi CSR itu sendiri. 2. Pertimbangan hukum CSR dalam Perundang-Undangan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tanggal 15 April 2009, dengan pemohon Muhamad Sulaiman Hidayat,dkk yang mengajukan uji materil dan formil Pasal 74 ayat (1,2,3), yang dianggap oleh pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. 54 Dengan demikian berdasarkan putusan hakim setelah melakukan pengkajian dan proses persidangan maka hakim memutuskan dengan Amar putusan: 1. Menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III tidak dapat diterima; 2. Menyatakan permohonan pengujian formil Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI terhadap Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta penjelasannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) ditolak; 3. Menyatakan menolak permohonan pengujian materiil Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk seluruhnya;
54
Agus Pranki Pasaribu, S.H, Studi komparatif antara uu no. 1 tahun 1995 dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Dimensi Hukum Perusahaan, diakses pada tanggal 30 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
4. Menyatakan Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta penjelasannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi antara lain: 55 1. Bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III tidak dirugikan secara langsung oleh berlakunya Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta penjelasannya karena para Pemohon hanya merupakan wadah dan himpunan pengusaha sedangkan subjek hukum yang diatur dalam Pasal 74 ayat (1) adalah perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. 2. Bahwa Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) beserta Penjelasannya UU 40/2007 menimbulkan ketidakpastian hukum, karena rumusan TJSL dalam Pasal a quo yang menjadi kewajiban hukum (legal obligation) tidak sejalan dengan prinsip CSR yang bersifat etis, moral, dan sukarela (voluntary). TJSL dalam Pasal a quo dapat dikualifikasikan sebagai pemungutan ganda yang harus ditanggung perusahaan di samping pajak, dan TJSL secara implisit telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sektoral dengan sanksi yang
55
Ibid
Universitas Sumatera Utara
cukup ketat. Oleh karena itu pengaturan TJSL dalam UU 40/2007 dengan kewajiban hukum adalah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 3. Bahwa harus dibedakan antara pungutan pajak oleh negara dan dana perusahaan untuk TJSL. Uang pungutan pajak digunakan untuk pembangunan secara nasional, sedangkan dana TJSL dipergunakan bagi masyarakat sekitar perusahaan dan pemulihan lingkungan dimana perusahaan berada, sehingga terhadap kedua hal tersebut tidak dapat digeneralisir. Bahwa TJSL menurut ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU 40/2007 merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan
dan
diperhitungkan
sebagai
biaya
perseroan
“yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Dengan demikian tidak memungkinkan terjadinya pungutan ganda sebab biaya yang dikeluarkan untuk TJSL akan diperhitungkan sebagai biaya perseroan dan pelaksanaannya didasari oleh kemampuan perusahaan, dimana TJSL
dalam
pelaksanaan
operasionalnya
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah;Bahwa dengan telah diatur TJSL berdasarkan Pasal 74 ayat (4) UU No 40/2007 maka sudah jelas pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkenaan dengan JSL, sebab perintah Undang-Undang berdasarkan Pasal 74 ayat 94) bersifat imperative yaitu hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Bahwa dengan telah diatur TJSL berdasarkan Pasal 74 ayat (4) UU 40/2007 maka sudah jelas pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkenaan dengan TJSL, sebab perintah Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Pasal 74 ayat (4) bersifat imperatif yaitu hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah; 5. Penerapan kewajiban TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tidak dapat dianggap sebagai perlakuan diskriminatif karena berkaitan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sehingga Negara berhak untuk mengatur secara berbeda. 6. Mahkamah berpendapat prinsip dasar perekonomian di Indonesia adalah bersifat kerakyatan. Pengaturan CSR dengan suatu kewajiban hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat sehingga penormaan CSR dengan kewajiban hokum telah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 khususnya pada frasa efisiensi berkeadilan. Terhadap putusan tersebut, terdapat tiga hakim yang mempunyai alasan berbeda (dissenting opinions) yaitu Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, dan M. Arsyad Sanusi, yang pada pokoknya menyatakan: 56 1. Bahwa pengaturan CSR menjadi suatu kewajiban akan berdampak pada tidak maksimalnya penerapan CSR di masyarakat. Penerapan CSR tidak dapat dibakukan dalam suatu Undang-Undang, karena permasalahan dan kebutuhan tiap daerah berbeda-beda. Dalam kenyataannya CSR di Indonesia telah berlangsung lama dan bersifat sukarela, karena merupakan tradisi dimana taggung jawab sosial merupakan tanggung jawab semua unsur masyarakat,
56
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sektor swasta dan Pemerintah. CSR merupakan kegiatan komplementer dan bukan menggantikan kewajiban Pemerintah. 2. Bahwa ketentuan dalam Pasal 74 ayat (3) yang menyatakan ”dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, adalah rumusan yang tidak pasti (masih umum) dan tidak menunjuk pada peraturan perundang-undangan yang dimaksud, sehingga pengenaan sanksi tersebut dapat dilaksanakan secara membabi-buta. Ketentuan dalam ayat (3) ini juga dapat menjadi tidak terbatas, karena dalam Penjelasan ayatnya dirumuskan bahwa ”yang dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait”.
Dalil hukum di atas Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat berbeda sehingga, MK menolak permohonan uji materiil tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 74 UU PT tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) jo Pasal 28I ayat (2) jo Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. 57 Dikatakan oleh para hakim MK bahwa, pertama, menjadikan TJSL sebagai suatu kewajiban hukum melalui rumusan Pasal 74 merupakan kebijakan hukum dari pembentuk UU untuk mengatur dan menerapkan TJSL dengan suatu sanksi, dan hal ini adalah benar, karena:
57
Mahkamah Konstitusi, above no.4, bagian Amar Putusan
Universitas Sumatera Utara
1. Secara faktual, kondisi sosial dan lingkungan telah rusak di masa lalu ketika perusahaan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan sehingga merugikan masyarakat sekitar dan lingkungan pada umumnya. 58 2. Budaya hukum di Indonesia tidak sama dengan budaya hukum negara lain, utamanya negara industri maju tempat konsep CSR pertama kali diperkenalkan di mana CSR bukan hanya merupakan tuntutan bagi perusahaan kepada masyarakat dan lingkungannya tetapi juga telah dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja perusahaan dan syarat bagi perusahaan yang akan go public. Dengan kata lain, MK tampaknya berpendapat bahwa sesuai kultur hukum Indonesia, penormaan TJSL sebagai norma hukum yang diancam dengan sanksi hukum merupakan suatu keharusan demi tegaknya TJSL atau CSR. 59 3. Menjadikan TJSL sebagai kewajiban hukum dinilai oleh MK justru untuk memberikan kepastian hukum sebab dapat menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda-beda tentang TJSL oleh perseroan sebagaimana dapat terjadi bila TJSL dibiarkan bersifat sukarela. Hanya dengan cara memaksa tersebut akan dapat diharapkan adanya kontribusi perusahaan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 60
Kedua, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 tidak menjatuhkan pungutan ganda kepada perseroan sebab biaya perseroan untuk melaksanakan TJSL 58
Mahkamah Konstitusi, above no.4, Bagian 3. Pertimbangan Hukum, subbagian Pendapat Mahkamah, nomor 3.19, hal. 91. 59 Ibid hal. 92 60 Ibid, hal. 93
Universitas Sumatera Utara
berbeda dengan pajak. 61 Lebih jauh, disebutkan oleh MK bahwa pelaksanaan TJSL didasari oleh kemampuan perusahaan, dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran, yang pada akhirnya akan diatur lebih lanjut oleh PP.
Demikian pula tentang sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 ayat (3) yang merujuk pada sanksi hukum yang terdapat pada perundang-undangan sektoral merupakan rumusan yang tepat dan justru memberikan kepastian hukum, bila dibandingkan kalau UU PT menetapkan sanksi tersendiri. 62 Jadi, Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan para pemohon yang mengatakan adanya berbagai pasal dalam perundang-undangan yang juga mengatur tentang TJSL mengakibatkan ketidak-pastian hukum dan tumpang tindih sehingga tidak dapat mewujudkan TJSL yang efisien berkeadilan.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma hukum yang mewajibkan pelaksanaan TJSL oleh perusahaan tidak berarti meniadakan konsep demokrasi ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan seperti diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan tidak akan membuat TJSL sekedar formalitas perusahaan saja, sebab:
1. prinsip demokrasi ekonomi memberi kewenangan kepada Negara untuk tidak hanya menguasai dan mengatur sepenuhnya kepemilikan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam, serta untuk memungut pajak semata, melainkan
61 62
Ibid, hal. 94 Ibid, hal. 95
Universitas Sumatera Utara
juga kewenangan untuk mengatur pelaku usaha agar mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. 2. Pelaksanaan TJSL menurut Pasal 74 tetap akan dilakukan oleh perseroan sendiri sesuai prinsip kepatutan dan kewajaran, Pemerintah hanya berperan sebagai pemantau. Dengan demikian, tak perlu dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan dana TJSL ataupun membuat perseroan melaksanakan TJSL hanya sebagai formalitas belaka.
Pengaturan TJSL dalam bentuk norma hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi rakyat.
B. Pergeseran Paradigma Tanggung Jawab Perusahaan Sejarah keberadaan Corporate Social Responsibility (“CSR”) sebenarnya telah ada sejalan dengan perkembangan aktivitas bisnis (perdagangan) itu sendiri, meskipun pada saat itu tidak terdapat konsep baku mengenai hal tersebut. Pemikiran mengenai konsep CSR kuno telah dicetuskan ketika zaman Raja Hammurabi, dalam Kode Hammurabi sekitar tahun 1700 sebelum masehi, telah memberlakukan sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Pada zaman itu setiap pengusaha ditekankan untuk menanggung suatu tanggung jawab sosial, tidak hanya karena adanya ketentuan hukum, namun karena kesadaran moral. 63
63
J.J. Asongu, Strategic Corporate Social Responsibility in Practice, (Greenview Publishing Company, 2007), hal 29
Universitas Sumatera Utara
Dalam rentang waktu tersebut hingga sekarang ini, konsep dan definisi CSR sendiri telah mengalami suatu evolusi dan metamorfosis mengikuti perkembangan konsep perusahaan yang ada. Konseptualisasi CSR tersebut muncul sebagai reaksi atas perkembangan perusahaan global dan kapitalisme yang sangat cepat. Pada awalnya, seiring dengan kemajuan revolusi industri dan lahirnya laissez faire 64 di Eropa dan Amerika Serikat, tujuan prinsip pendirian suatu perusahaan oleh para pemegang saham hanyalah untuk mencari keuntungan. Hal ini karena adanya pengaruh teori klasik yang sedang berkembang ketika itu, sebagaimana dirumuskan oleh Adam Smith bahwa “the only duty of corporation is to make profit”. 65 Lebih lanjut Adam Smith menekankan bahwa mencari keuntungan merupakan cerminan watak dari para pelaku bisnis yang menjalankannya. Sifat ramah dan memberikan pelayanan dari para pelaku usaha selalu disertai niatan pamrih atas keuntungan yang mereka harapkan dari pelanggan. Dalam kesempatan lain Milton Friedman juga memiliki pandangan yang sejalan dimana satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan adalah meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham sebagai tugas perintah moral. Sehingga meletakkan suatu konsep kewajiban moral kepada perusahaan guna melaksanakan CSR pada saat itu dianggap bertentangan dengan hakikat dari pendirian perusahaan itu sendiri.
64
Laissez faire adalah bahasa Prancis yang berarti “biar saja berjalan sendiri”. Pada masa ini tugas pokok negara dilukiskan sebagai negara penjaga malam (nightwatch state) atau hanya sebagai penjaga keamanan warga negaranya. Sedangkan terhadap segala kegiatan ekonomi diatur oleh invisible hands atau pasar yang akan menciptakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran secara kompetitif. 65 Sofyan Djalil, Konteks Teoritis dan Praktis Corporate Social Responsibility, Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 4 No.1 Januari-Desember 2003, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
Dalam praktik revolusi industri sendiri telah melahirkan suatu masalah sosial dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memunculkan suatu wacana untuk mengoreksi tujuan perusahaan yang semata-mata hanya untuk mencari keuntungan. Konsep pelaksanaan cikal bakal CSR sebagai bagian dari perusahaan modern mulai di rintis sejak tahun 1900-an. Pada tahun 1929 Dekan Harvard Business School, Wallace B. Donham, berkomentar dalam suatu kegiatan yang disampaikan di Northwestern University: 66 “Busineness started long centuries before the down of history, but business as we now know it is new-new in its broadening scope, new its social significance. Business has not learned how to handle these changes, nor does it recognise the magnitude of the responsibilities for the future of civilisation”.
Selain itu, secara tersirat juga dapat dilihat melalui buku The Modern Corporation and Private Property, yang ditulis oleh Adolf A. Berle dan Gardiner C. Means,
menyebutkan
bahwa
suatu
perusahaan
modern
seharusnya
mentransformasikan diri menjadi institusi sosial, ketimbang institusi ekonomi yang memaksimalkan laba. 67 Terlepas dari itu, perkembangan pemikiran mengenai bentuk perusahaan modern ini, secara tidak langsung telah menempatkan CSR sebagai bagian dari proses metamorfosis dari tujuan perusahaan itu sendiri.
66
“History of Corporate Social Responsibility and Sustainability”,\ www.brass.cf.ac.uk/upload/History_L3.pdf, diunduh pada tanggal 31 Maret 2011. 67 Adolf A. Berle dan Gardiner C.Means, The Modern Corporation & Private Property, Transaction Publishers, (New Brunswick, New Jersey ed.10th, 2009), hal 309.
Universitas Sumatera Utara
Secara gamblang konsep mengenai tujuan perusahaan modern dipaparkan oleh Beth Stephens, yaitu mencari keuntungan bukanlah satu-satunya tujuan perusahaan,
namun
hanya
bisnis
utamanya.
Selebihnya
perusahaan
harus
memperhatikan kepentingan sosial dan lingkungan sebagai bagian dari tujuan perusahaan. Perihal ini didasarkan pada 2 (dua) alasan, dimana pada saat itu timbul: 68 1. Dampak negatif dari operasional perusahaan; dan 2. Hubungan antara perusahaan dengan masyarakat yang semakin komplek, sehingga diperlukannya intervensi negara dalam mengatur aktivitas perusahaan. Ternyata dalam praktik eksploitasi ekonomi pasar yang dilakukan oleh perusahaan, tanpa memikirkan kepentingan masyarakat sekitar dan kesadaran akan lingkungan, telah memunculkan kesadaran bagi sejumlah kalangan masyarakat akan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap perekonomian dunia. Terlebih apabila melihat perluasan usaha yang dilakukan perusahaanperusahaan besar, khususnya perusahaan multinasional, ke berbagai negara-negara dunia ketiga yang nyatanya tidak sepenuhnya dapat meningkatkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat sekitar. 69 Namun seringkali keberadaannya menyebabkan masalah pencemaran lingkungan dan eksploitasi terhadap buruh serta pelanggaran hak asasi manusia. Kondisi yang
68
Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human Right”, (20 Berkeley J. International, 2002), hal 51-52 69 Sejumlah perusahaan multinasional memiliki pendapatan sebanding dengan Gros Domestik Produk (GDP) negara maju dan melebihi puluhan negara miskin dan berkembang. Misalnya, penjualan tahunan General Motor sebanding dengan GDP Denmark dan omzet Exxon Mobil melebihi gabungan GDP 180 negara miskin dan berkembang. Namun demikian, kemajuan perusahaan multinasional tersebut ternyata tidak sejalan dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat dunia. Hingga awal millenium ini, diantara 5,4 miliar populasi penduduk di dunia terdapat sekitar 2,3 miliar penduduk yang hidup dibawah 1 Dollar AS per hari.
Universitas Sumatera Utara
demikian mendorong pergeseran paradigm tujuan perusahaan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Oleh sebab itu penekanan pemahaman tentang konsep perusahaan modern merupakan acuan bagi setiap perusahaan, dimana harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan lingkungan eksternal dalam setiap keputusan bisnisnya. Peningkatan peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi dinilai sebagai suatu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melihat gambaran nyata tentang pencarian keuntungan berdasarkan pasar (liberal) yang dilakukan perusahaanperusahaan multinasional ternyata tidak dapat mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Menurut Stiglitz, pertumbuhan ekonomi penting hanya jika pertumbuhan itu dibarengi dengan peningkatan pemerataan. Menurutnya, kaum fundamentalis pasar telah gagal menciptakan dunia yang lebih adil melalui globalisasi. 70 Globalisasi dengan sistem pasar yang terlalu bebas tanpa campur tangan pemerintah bisa saja menciptakan negara menjadi kaya, tetapi dengan rakyatnya yang tetap miskin. Sebagai contoh di penghujung tahun 1998, pada saat kekacauan semakin mendalam dan berkembang ke Amerika Serikat, maka ketidakstabilan yang telah terjadi semakin tidak terkendali. Kondisi menyebabkan banyak para pendukung kapitalis laisez faire yang mulai mengakui perlunya pengaturan dari pemerintah. 71 Lebih lanjut Stiglitz menyebutkan dalam studinya tentang peranan negara terdapat beberapa bentuk alternatif intervensi negara dalam urusan ekonomi, adalah: 70
Ibid, hal 11. Sebagaimana dicatat dalam tajuk rencana Bussiness Week tanggal 12 Oktober 1998, “Kekeliruan pemerintah yang semakin melebar juga sangat menentukan. Pendapat yang mengatakan bahwa pasar bebas itu ada dalam sebuah kekosongan (vacuum) telah dihancurleburkan. Tanpa peraturan regulasi, semuanya itu akan menimbulkan anarki”, Lihat David C. Korten, The PostCorporate World: Kehidupan Setelah Kapitalisme, terjemahan dan kata pengantar A. Rahman Zainuddin edisi I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hal 238. 71
Universitas Sumatera Utara
1. Negara dapat memberi hak monopoli bagi perusahaan negara; 2. Negara menciptakan kondisi yang bersaing antara perusahaan-perusahaan negara; 3. Negara dapat membuat seperangkat peraturan perundang-undangan yang dapat menciptakan kompetisi; 4. Negara dapat mengatur monopoli swasta. Dengan
adanya
pengembalian
peranan
negara
tersebut,
diharapkan
mendudukkan kembali kerjasama antara negara, pengusaha dan masyarakat untuk mencapai tujuan negara sebagai suatu agent of development. Oleh sebab itu keberadaan peranan perusahaan modern disuatu negara diharapakan dapat bekerja sebagai the agent of development yang dapat bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat dalam menggapai tujuan pembangunan. Sebagai agent of development perusahaan merupakan bagian dari masyarakat atau warga negara. Dengan menjadi bagian dari warga negara suatu bangsa (corporate citizenship), 72 maka perusahaan juga mempunyai kewajiban dalam pembangunan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan dalam World Economic Forum, bahwa setiap perusahaan harus memberikan sumbangsihnya kepada masyarakat, yaitu:
72
Istilah corporate citizenship dicetuskan oleh Peter Utting dalam tulisan ilmiahnya yang dibacakan pada Januari 2000 dalam sidang The United Nations Research Institute for Social Development (UNRISD) di Geneva. Ia menyampaikan “development agencies and actor concerned with promoting sustainable development have been joined in recent years by another player-big business. Increasing adherence on the part of senior managers to concept like corporate citizenship or corporate social responsibility suggest that this sector of business is beginning to recast it relationship with that environment and it multiple stakeholder. This envolving situation stand in sharp contrast to the scenario of the past when big business was seen to be insensitive to the need of certain stakeholders and responsible for much of the environmental degradation of the planet”.
Universitas Sumatera Utara
“Corporate citizenship is the contribution a company makes to society and the environtment throught its core business activities, its social investment and philanthropy programmes, and its engagement in public policy” Berdasarkan uraian tentang konsep perusahaan maka paradigma tradisional perusahaan sudah dianggap tidak relevan lagi. Perusahaan modern sebagai suatu perusahaan yang menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan sosial serta lingkungan merupakan prinsip utama saat ini. Hal ini secara tidak langsung telah mempengaruhi kedudukan CSR itu sendiri di mata pengusaha. Pergeseran paradigma tanggung jawab perusahaan dan perkembangan tentang penerapan CSR dewasa ini semakin menunjukan pentingnya peranan perusahaan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, selain kewajibannya kepada pemegang saham. Saat ini kecenderungan untuk menekankan supaya keberadaan suatu perusahaan selain bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi, diharapkan juga dapat berperan dalam aktifitas sosial kemasyarakatan sebagai bentuk penghargaan dan kepeduliaan mereka terhadap stakeholders 73 yang telah menerima keberadaan perusahaan tersebut. Stakeholders disini bukan hanya sebatas pemegang saham saja, namun termasuk di dalamnya masyarakat sekitar, konsumen, serta lingkungan hidup.
73
Pengertian tentang kepentingan stakeholders dapat dilihat dari pendapat dari E. Merric Dodd yang mengajukan konsep bahwa perusahaan bekerja tidak hanya untuk kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat umum dan kesejahteraan bangsa (stakeholders). Ajaran ini telah melahirkan stakeholders theory. Teori ini dibangun berdasarkan pandangan , apabila direksi perusahaan hanya mencari untung sebanyak-banyaknya demi kepentingan pemegang saham, maka kemungkinan besar bisnisnya akan cenderung menyimpang. Perusahaan akan melakukan eksploitasi terhadap buruh dan menekan konsumen serta rekanan bisnis.
Universitas Sumatera Utara
Kesemuanya merupakan faktor-faktor penunjang bagi kelangsungan dari suatu perusahaan. Perusahaan merupakan keluarga besar yang memiliki tujuan dan target yang hendak dicapai, yang berada di tengah lingkungan masyarakat yang lebih besar. Sebagai warga masyarakat, perusahaan membutuhkan apresiasi dan interaksi anggota masyarakat dalam setiap aktivitasnya. Gambaran mengenai kedudukan perusahaan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas (stakeholders) dapat dilihat dari bagan yang dijelaskan oleh Nor Hadi yang sejalan dengan pendapat Archie B. Caroll. 74 Perusahaan dalam menjalankan operasionalnya mempunyai empat tanggung jawab terhadap masyarakat luas yaitu: 75 1. Tanggung jawab ekonomis Yaitu keberadaan perusahaan yang selama ini hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan dalam menjaga keberlangsungan perusahaan, serta meningkatkan kesejahteraan bagi para pemilik (shareholders). Untuk itu, perusahaan
memiliki
tanggung
jawab
menjamin
dan
meningkatkan
kesejahteraan bagi pemegang saham. 2. Tanggung jawab legal Yaitu perusahaan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas memiliki kepentingan untuk memenuhi aturan legal formal, sebagaimana yang
74
Archie B. Carrol berpendapat bahwa konsep CSR memuat komponen-komponen sebagai berikut: Economic Responsibilities, Legal Responsibilities, Ethical Responsibilities dan Discretionary Responsibilities. Lihat Dwi Kartini, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability Management Dan Implementasi Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal 14. 75 Nor Hadi, Corporate Social Responsibility, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
diisyaratkan oleh pemerintah. Operasional perusahaan hendaknya dilakukan sesuai dengan kaidah peraturan perundangan. 3. Tanggung jawab etis yaitu perusahaan berkewajiban melakukan aktivitas bisnis didasarkan pada etika bisnis yang sehat. Dalam konteks ini, perusahaan tidak dibenarkan menjalankan aktivitas yang menyimpang secara etika baik dilihat dari aspek norma bisnis, masyarakat, agama, budaya lingkungan maupun norma-norma lain. 4. Tanggung jawab filantropis Yaitu perusahaan bukan hanya bertanggung jawab terhadap pemegang saham, namun juga harus bertangung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan fisik sekitar. Keberadaan perusahaan bukan bersifat independen terhadap lingkungan dan masyarakat, melainkan memiliki ketergantungan dan membutuhkan lingkungan masyarakat yang lebih besar. Perusahaan sebagai pihak yang memperoleh keuntungan besar dalam pemanfaatan sumber daya tersebut, sementara masyarakat yang justru menanggung akibat negatif baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya perusahaan harus bertanggung jawab atas berbagai dampak negatif yang dimunculkan.
Universitas Sumatera Utara
C. Pengaturan Corporate Social Resposibility (CSR) dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Dalam perkembangannya CSR mengalami perubahan dari mulai konsep CSR yang bersifat kedermawanan dan sukarela kemudian beralih ke arah filantropis lalu community development. Perwujudan CSR sebenarnya telah ada dari sejak dahulu tetapi namanya saja yang berubah yakni bakti sosial atau bantuan sosial. Pada awalnya pelaksanaan CSR di Indonesia bersifat sukarela sehingga tergantung pada puncak korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan misi korporasi. Apabila pemimpin korporasi memiliki kesadaran moral yang tinggi maka korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang benar. Sebaliknya, jika orientasi pemimpin korporasinya hanya berkiblat untuk mencari keuntungan dan untuk kepentingan pemegang saham (stakeholders) saja maka korporasi itu menerapkan CSR hanya sebagai kosmetik (penghias) saja. Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang serta lemahnya penegakan hukum di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang menerapkan CSR sebagai kosmetik saja. Hal yang penting bagi perusahaan yang seperti ini adalah laporan tahunan yang baik dan lengkap dengan tampilan aktivitas sosial yang telah terealisasi. Pelaksanaan CSR merupakan bagian dari GCG bahwa intinya GCG merupakan suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan yang
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan 5 (lima) prinsip GCG tersebut yang disingkat dengan TARIF, yaitu sebagai berikut: 76 1. Transparency Pada prinsipnya suatu perusahaan dituntut untuk menyediakaan informasi yang cukup, tepat waktu, akurat, kepada setiap pemegang saham dan pihak-pihak yang berkepentingan. 2. Accountability Adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi. 3. Responsibility (pertanggungjawaban) Pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan penerapan prinsip ini diharapkan perusahaan tidak hanya mementingkan kegiatan operasional perusahaan tetapi juga lingkungan sekitar perusahaan. Dengan kata lain perusahaan tidak hanya melakukan kepentingan shareholders (pemegang saham) tetapi juga stakeholders (pemangku kepentingan).
76
Yusuf Wibisono, Op.cit., hal. 11-12.
Universitas Sumatera Utara
4. Independency (kemandirian) Intinya prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran) Menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholders (pemangku kepentingan) dan shareholders (pemegang saham) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Diharapkan juga prinsip ini dapat sebagai alat monitor berbagai kepentingan di dalam perusahaan. Tata kelola perusahaan yang baik (GCG) sangat diperlukan dalam menerapkan etika bisnis di dalam perusahaan. Prinsip responsibility yang terdapat di dalam GCG merupakan prinsip yang sangat berhubungan erat dengan CSR. Penerapan CSR merupakan salah satu implementasi dari konsep GCG sebagai entitas bisnis yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannya. 77 Terlepas pro dan kontra tentang regulasi CSR, sejumlah produk hukum di Indonesia yang mengatur CSR telah muncul, antara lain: 1. Keppres Nomor 90 Tahun 1995 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas
bantuan yang diberikan untuk pembinaan keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera 1. Keppres ini berbunyi: .Wajib pajak badan maupun orang pribadi dapat membantu sampai dengan setinggi-tingginya 2 persen dari laba atau
77
Ibid., hal. 79
Universitas Sumatera Utara
penghasilan yang diperolehnya dalam satu tahun pajak untuk pembinaan keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera 1. 78 2. Keppres Nomor 92 Tahun 1996 mengantikan Keppres Nomor 90 Tahun 1995.
Keppres ini berbunyi: Wajib pajak badan maupun orang pribadi wajib memberikan bantuan untuk pembinaan keluarga prasejahtera dan sejahtera 1 sebesar 2 persen dari laba atau penghasilan setelah pajak penghasilan dalam satu tahun pajak. 79 3. Keppres Nomor 98 Tahun 1998, melalui Keppres ini kedua keppres di atas
dicabut. 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,yaitu:
a. Pasal 15 huruf b menyebutkan: .Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. b. Pasal 17 menyebutkan: .Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan. c. Pasal 34 menyebutkan: .Badan usaha atau usaha perseorangan tidak memenuhi kewajiban melaksanakan tanggung jawab social akan dikenai sanksi administratif. Dengan situasi yang berkembang bahwa CSR memerlukan regulasi hukum yang tepat maka lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan 78
Keppres Nomor 90 Tahun 1995 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas bantuan yang diberikan untuk pembinaan keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 79 Kepres Nomor 92 Tahun 1996 menggantikan Keppres Nomor 90 Tahun 1995 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas bantuan yang diberikan untuk pembinaan keluarga prasejahtera dan sejahtera 1
Universitas Sumatera Utara
Terbatas menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tantang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut dengan UU PT bahwa yang mewajibkan CSR yang dikenal dalam undang-undang ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 angka 3 yang berbunyi: Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. 80 Selanjutnya, dalam Pasal 66 ayat (2) butir c juga menyebutkan .Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat sekurang-kurangnya laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 81 Tanggung jawab sosial dan lingkungan ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan perseroan yang kaitan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam sebagaimana tercantum di dalam Pasal 74 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 82 Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ini, khususnya di dalam Pasal 74 akan mengandung 6 (enam) buah unsur, yaitu: 1. Kewajiban bagi; 2. Perseroan yang bergerak dibidang pengelolaan atau berkaitan dengan sumber daya alam; 3. Dianggarkan sebagai biaya;
80 81
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 66 ayat (2) butir c Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas 82
Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Universitas Sumatera Utara
4. Dilakukan dengan memperhatikan aspek .kepatutan dan kewajaran.; 5. Bagi pelanggarnya dikenai sanksi; 6. Pengaturan lebih jauh akan ditunagkan dalam peraturan pemerintah. Unsur-unsur inilah yang menjadi titik tolak dalam pengaturan CSR yang tercantum di dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 1. CSR sebagai kewajiban CSR merupakan sebuah kewajiban walaupun di dalam prakteknya muncul berbagai pro dan kontra atas keberadaan CSR. Dalam hal memperdebatkan apakah CSR itu sukarela atau wajib adalah sia-sia belaka karena pada CSR sudah terdapat unsur kewajiban. Supaya CSR dapat berjalan dengan baik perlu diperkuat dengan peraturan
yang
mendorong
perusahaan
bisnis
untuk
lebih
serius
dalam
menjalankannya. Pada dasarnya ada 2 (dua) pendirian mengenai CSR. Yang pertama CSR merupakan kewajiban bagi perusahaan, yaitu kubu mendatori (yang mewajibkan) dan yang kedua voluntary (yang menginginkan tetap bersifat sukarela). 83 Kedua kubu ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Tanggung jawab sendiri adalah konsep mendatori, yang berarti harus dilaksanakan. Namun, kubu voluntary berkeyakinan perusahaan wajib menjalankan ketetapan-ketetapan hukum yang berlaku dimana opeasinya dijalankan. Perkembangan yang ada saat ini tengah menempatkan kubu voluntari di posisi terdepan, dengan dikembangkannya berbagai standar yang bisa diadopsi secara sukarela atas basis kehendak menjadi lebih 83
Belajar CSR., http://www.csrindonesia.com, Diakses tanggal 10 April 2012.
Universitas Sumatera Utara
kompetitif. Sedangkan kubu mandatori kini memperjuangkan masuknya seluruh manajemen dampak dalam kerangka hukum dan menamakan perjuanganya sebagai corporate accountability movement. 84 Pengelolaan CSR diatur oleh pemerintah dan perusahaan bertanggung jawab akan proses kelangsungan CSR tersebut. Pelaksanaan CSR bukan hanya sebuah pengharapan, melainkan sebuah keharusan untuk memenuhinya, dan pemerintah ikut andil dalam hal tersebut dengan melahirkan peraturan perundang-undangan yang terkait. Ketentuan kewajiban melaksanakan CSR ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan perusahaan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. 2. Perseroan yang bergerak di bidang pengelolaan atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) Korporasi merupakan bagian yang paling bertanggung jawab atas timbulnya polusi, pemanasan global, pengurasan sumber daya di seluruh dunia serta memiliki andil besar pada munculnya pola-pola konsumsi sesaat dan budaya konsumtif, sebagian besar korporasi memunculkan produk-produk yang tidak ramah lingkungan. Kondisi ini terus berlanjut dan mengakibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Eksploitasi ini dilakukan sebagian besar korporasi guna memenuhi kebutuhan manusia yang semakin konsumtif. Situasi ini memunculkan aspek pelaksanaan CSR oleh perusahaan. Bahkan beberapa korporasi
84
Yusuf Wibisono, Op. cit., hal. 59
Universitas Sumatera Utara
sengaja menempatlkan aspek lingkungan sebagai keunggulan utama. 85 Oleh karena perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (SDA) dan pengelolaannya memegang peranan penting terutama berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan hidup sebagai warisan untuk anak-cucu kita di masa yang akan datang. Sumber daya alam yang dimaksud merupakan sumber daya alam yang bias diperbaharui (renewable resources) maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Dalam UU PT, perseroan yang diwajibkan melakukan CSR terdiri dari: 86 a. Perseroan yang menjalani kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam,yaitu perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam; maksudnya adalah perseroan yang benar-benar bergerak di bidang SDA. b. Perseroan yang menjalani kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam yaitu perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usaha berdampak pada fungsi kemampuan SDA. Dengan melihat kualifikasi perseroan yang diwajibkan CSR seperti yang disebutkan di atas maka pemerintah sebagai regulator dalam membuat peraturan pelaksanaannya harus memperjelas konteks kegiatan usaha pada bidang sumber daya alam tersebut. Dan lebih jelas tercantum di dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan 85
Khudori, .Tanggung Jawab Sosial (semu) Perusahaan., http//:www.ti.or.id Diakses tanggal 10 April 2012. 86 Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Universitas Sumatera Utara
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 87 Di dalam Pasal 74 UUPT ini menitik beratkan pelaksanaan CSR diemban oleh perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (SDA) dan yang berkaitan dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), hal ini dikarenakan perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (SDA) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) lah yang berhubungan langsung dengan masyarakat dan lingkungan hidup sekitar. Dimana perusahaan dalam menjalankan bisnisnya memperoleh manfaat dari masyarakat dan lingkungan hidup sekitar. Jadi, sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (SDA) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) memiliki tanggung jawab yang
menjadi
sebuah
kewajiban
untuk
melestarikan
lingkungan
serta
mensejahterakan kehidupan masyarakat sekitar. Hubungan yang begitu erat dimana perusahaan mengambil hasil dari masyarakat dan lingkungan hidup sekitar, oleh karena itu perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (SDA) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) memiliki kewajiban yang merupakan tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan hidup sekitar. Peraturan pelaksana nantinya diharapkan dapat secara jelas memberikan kebijakan cakupan kewajiban perusahaan yang merupakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 3. CSR dianggarkan sebagai biaya CSR dianggarkan sebagai biaya di dalam laporan rencana kerja yang tercantum di dalam Pasal 66 ayat (2) butir c Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Pasal tersebut menjelaskan bahwa perusahaan diwajibkan untuk membuat laporan tahunan yang sekurang-kurangnya memuat 87
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang dasar Tahun 1945
Universitas Sumatera Utara
laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahan. Laporan tahunan ini dianggarkan sebagai biaya terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Baik-buruknya pelaksanaan CSR tergantung pemerintah yang akan mengeluarkan peraturan pelaksana nantinya. Apabila CSR dianggarkan sebagai biaya, maka hal ini memungkinkan munculnya kritikan pedas dari kalangan pebisnis, dimana perusahaan memiliki tanggung jawab double, yang pertama perusahaan harus membayar pajak kepada negara dan kemudian perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap biaya CSR yang harus dianggarkan di dalam laporan keuangan. Secara logis, hal ini tidak memungkinkan karena mana mungkin perusahaan mau mengeluarkan dana berlebih sedangkan mereka mengalami deficit dalam hal keungan karena besarnya pajak yang harus mereka bayar kepada negara. Hal ini menjadi sulit bagi penerapan CSR di lapangan, perusahaan sebagai wadah dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya diminta untuk rugi dengan membiayai program CSR yang harus dianggarkan dalam laporan keuangan perusahaan. Pemegang saham (shareholders) dari perusahaan tidak dengan mudahnya memberikan dana kepada masyarakat dan lingkungan hidup sekitar dalam rangka membiayai program CSR, karena pemegang saham tidak menginginkan kerugian di dalam perusahaan. Tetapi di lain pihak perusahaan diketuk pintu hatinya untuk lebih peduli peduli kepada masyarakat dan lingkungan hidup sekitar. Dua hal yang bertolak belakang inilah yang menimbulkan polemik di tengah perusahaan. Jadi diharapkan kepada pemerintah dengan nantinya dikeluarkan peraturan pelaksana untuk lebih mempertimbangkan mengenai pengurangan pajak bagi perusahaaan yang telah
Universitas Sumatera Utara
melakukan program CSR sehingga program CSR dapat terus dilaksanakan oleh perusahaan 4. CSR dilakukan dengan memperhatikan aspek kepatutan dan kewajaran Pelaksanaan CSR yang diperhitungkan dan dianggarkan harus memperhatikan aspek kepatutan dan kewajaran. Hal ini semakin sulit karena tidak ada batasan mengenai kepatutan dan kewajaran tersebut. Penilaian terhadap kepatutan dan kewajaran bagi masing-masing perusahaan pastilah berbeda tidak ada standar jelas dalam menilai kepatutan dan kewajaran tersebut. Dalam teknis pelaksanaannya, CSR harus dirancang dalam rencana kerja tahunan. Rencana ini juga perlu mencantumkan anggaran yang dibutuhkan. Anggaran itu disusun dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran serta diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Klausul .kepatutan dan kewajaran. menurut rancangan peraturan pemerintah ini adalah sesuai dengan kemampuan keuangan perseroan dan potensi resiko serta tanggung jawab yang harus ditanggung oleh perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya. Tidak ada berapa persen .tarif. CSR dalam rancangan peraturan pemerintah itu. Pelaksanaan CSR ini harus dimuat dalam laporan tahunan untuk dipertanggung jawabkan kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Masyarakat dapat melakukan keberatan kepada perseroan jika perseroan tidak melaksanakan CSR sebagaimana mestinya. Keberatan ini disampaikan secara tertulis kepada perseroan. Nantinya keberatan ini akan ditindak lanjuti oleh perusahaan. 5. Adanya sanksi Konsekuensi dari kewajiban melaksanakan CSR menimbulkan sanksi bagi pelanggarnya. Sanksi yang diberikan pun beraneka ragam dengan memperhatikan
Universitas Sumatera Utara
hukum positif yang sudah ada dan berkaitan dengan sumber daya alam seperti: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Dalam artian bahwa pengaturan maupun sanksi yang akan diterapkan tidak menjadi overlapping dengan aturan-aturan yang sudah ada. Sanksi yang diterapkan secara umu berupa sanksi administratif, perdata maupun pidana. Meskipun demikian, CSR sebagai konsep kewajiban tidak dapat menetapkan eksekusi atau hukuman hingga diterbitkannya peraturan pelaksanaan yang dibuat oleh pemerintah (PP) yang mengatur CSR lebih lanjut. 88 Seharusnya penerapan CSR tidak hanya mencantumkan kewajiban dan ancaman hukuman bagi yang tidak melaksanakannya, tapi juga memperhatikan sisi insentif bagi yang menerapkan dengan baik, dan di atas kewajiban-kewajiban peraturan perundangan-undangan. Dengan cara itu, sistem reward and punishment akan berjalan, dan perusahaan (PT) akan termotivasi melaksanakan CSR. 6. Pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). Berkaitan dengan kewajiban untuk melaksanakan CSR banyak kalangan pelaku usaha berpendapat bahwa di Negara-negara maju, CSR memang tidak lazim diatur. Namun hal ini perlu ditelaah karena kesadaran sosial dan lingkungan 88
Yu un Oppusunggu, Mandatory Corporate Social and Environmental Responsibilities in The New Indonesia Limited Liability Law, disampaikan pada 5th Asian Law Institute Conference, tanggal 22-23 Mei 2008, di Singapura hal. 6 sebagaimana dikutip dari Ika Safitri, Analisisi Hukum terhadap pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun2007 Tentang Perseroan Terbatas, tesis, (Medan : Pascasarjana Hukum USU, 2008), hal. 128
Universitas Sumatera Utara
pengusaha di negara-negara tersebut lebih baik dibandingkan pelaku usaha di Indonesia. Berkaitan dengan implementasi tanggung jawab sosial dan lingkungan akan dibuat peraturan pelaksananya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) termasuk mengenai bentuk penerapannya, besaran kewajibannya, siapa lembaga yang akan mengawasinya serta apa sanksinya jika tanggung jawab diabaikan. Seiring dengan itu pada tanggal 4 April 2012 Peraturan Pemerintah (PP) tersebut telah diterbitkan. Dalam PP yang merujuk pada ketentuan Pasal 47 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas itu disebutkan, bahwa setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung jawab itu menjadi kewajiban bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, yang bisa dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan perseroan. “Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS. Rencana kerja tahunan memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan,” 89 Penjelasan PP ini menyebutkan, yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang SDA adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan SDA. Sementara yang dimaksud perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan SDA adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan SDA, tetapi kegiatan usahanya berdampak 89
Pasal 4 Ayat 1, 2 PP Nomor 47 tahun 2012 itu.
Universitas Sumatera Utara
pada fungsi kemampuan sumber daya alam, termasuk pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan Perseroan dalam PP ini dimaksudkan untuk: a. Meningkatkan kesadaran Perseroan terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia; b. Memenuhi perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan; dan c. Menguatkan pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan bidang kegiatan usaha Perseroan yang bersangkutan. 90 Dalam PP itu juga ditegaskan, bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, dalam menyusun dan menetapkan rencana kegiatan dan anggaran untuk pelaksanaan kewajiban sosial dan lingkungan harus memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Dan realisasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan tersebut diperhitungkan sebagai biaya Perseroan. “Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dimuat dalam laporan tahunan Perseroan, dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS,” 91 Terhadap perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai diatur dalam PP Nomor 47 tahun 2012, akan dikenakan sanksi
90
Penjelasan Peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 47 tahun 2012 Tentang Tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas. 91
Pasal 6 PP Nomor 47 Tahun 2012.
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara bentuk sanksi akan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Sebaliknya terhadap perseroan yang telah berperan serta melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, menurut Pasal 8 Ayat 2 PP ini, dapat diberikan penghargaan oleh instansi yang berwenang. Dalam penjelasan Pasal 8 disebutkan, bahwa penghargaan yang diberikan misalnya fasilitas atau bentuk penghargaan lainnya.
Universitas Sumatera Utara