BAB II BUDAYA MORAL SEBAGAI ANTISIPASI TERJADINYA KORUPSI TERHADAP ASET-ASET NEGARA
A. Tindak
Pidana
Korupsi
di
Indonesia
Dalam
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi sangat bersinggungan dengan masalah-masalah ekonomi (basic economic and economic life of the nation) dan trans nasional crime, 65 di samping itu korupsi bisa juga terjadi dalam lapangan jabatan, kekuasaan politik, korupsi moral dan korupsi demokrasi. Stephen D. Plats dalam Ethic Secience mengemukakan bahwa korupsi dapat terjadi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang sosial, hal ini dikemukakan oleh Stephen D. Plats sebagai berikut; “In economic term, corruption misdirect resources and discourage investment by the privat sector….corruption also has significant social cost, corruption creates a culture of privat and crime and deprives the neediest element sociaty on the benefits of government resources. Futhermore the political cost of corruption can be ruinous, corruption destroys the confidende of people in their government and under mines the very legitimacy of political institusional.” 66 Secara umum pengertian korupsi diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau 65
Barda Nawawi Arief, Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Makalah seminar di Unsoed, Poerwokerto, 1999. Lihat juga Edi Setiadi, Op. Cit, hal. 50. The Asean Street Journal pada Tahun 1997 sudah menuliskan corruption ranking in 1996, based on the level of corruption in a country. 66 Stephen D. Plats, dalam Triaji, Optimalisasi Fungsi BPK dalam Pengawasan Keuangan Negara, Sebagai Upaya Preventif terjadinya KKN, Seminar di Unsoed, 1999, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism). 67 Pada hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut: 68 1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of purpose or intent); 2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon the ingenuity or carelesne of the victim); 3. Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation); Karakteristik tindak pidana korupsi dan pencucian uang sangat berbeda dengan karakteristik tindak pidana secara umum yang dianut di dalam sistem hukum maupun kaedah 69 KUH Pidana dan Hukum Acara Pidana (KUHAP), terutama yang menyangkut pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
67
Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 12. 68 Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni 1992), hal. 56. 69 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Alumni, 1982, hal. 67. Pembicaraan mengenai tata kaedah hukum telah disinggung mengenai tujuan kaedah tersebut, yakni kedamaian hidup antar pribadi. Kedamaian tersebut meliputi dua hal yaitu ketertiban ekstern antar pribadi, ketenangan intern dalam pribadi. Kedua hal tersebut ada hubungannya dengan tugas kaedah-kaedah hukum yang bersifat dwi tunggal merupakan sepasang nilai yang sering bersitegang, yaitu memberikan kepastian dalam dalam hukum (“certainly”, “zekerheid”) dan memberikan kesebandingan dalam hukum, kecuali yang telah disinggung di atas, masih ada dua pasang lagi, yakni; Pertama, nilai kepentingan rohaniah/keakhlakan (spritualisme) dan nilai kepentingan jasmaniah/kebendaan (materialisme), Kedua, nilai kebaruan (inovatisme) dan nilai kelanggengan (konservatisme).
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengetahui karakteristik tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilihat di dalam UUPTPK secara arti materil sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UUPTPK diuraikan berikut ini; Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”. Bunyi pasal ini mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yaitu: 1. Melawan hukum; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Dapat merugikan keuangan negara. Ad. 1. Unsur melawan hukum. Unsur melawan hukum dapat diartikan bahwa tersangka/terdakwa tidak mempunyai hak untuk menikmati atau menguasai suatu benda, dalam hal ini berupa uang. Dalam buku-buku hukum pidana yang dimaksud dengan melawan hukum itu terdapat perbedaan pendapat antara para pakar misalnya ada yang memakai istilah bertentangan dengan hak orang lain, ada yang memakai istilah tanpa hak, dan lain-
Universitas Sumatera Utara
lain. Yurisprudensi Indonesia menafsirkan unsur melawan hukum secara sosiologis yang meliputi baik melawan hukum formil maupun hukum materil. Penjelasan umum UUPTPK dapat dikontruksikan bahwa melawan hukum diartikan seperti dalam hukum perdata yang pengertiannya meliputi perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya. Ini dimaksudkan agar mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. Penjelasan dari UUPTPK Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dihukum. Unsur melawan hukum itu tidak hanya menjadikan perbuatan melawan hukum dengan cara memperkaya diri sendiri, orang lain, badan atau korporasi secara tertulis saja sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum melainkan melawan hukum dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan tetap dipidana dalam arti tidak tertulis seperti kebiasaan atau adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di dalam tatanan masyarakat atau hukum formil. Hal ini sebagaimana dirumuskan oleh penjelasan
Universitas Sumatera Utara
umum UUPTPK menyatakan bahwa agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang lebih luas menurut hukum tertulis dan menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Pengertian tentang “perbuatan melawan hukum ini dalam praktek terjadi permasalahan untuk diterapkan hal ini dapat kita lihat di dalam perkara dugaan korupsi yang dilakukan oleh Mantan Direktur Bank Mandiri atas nama Edward Cornelis William Neloe, begitu juga saat ini masih hangat-hangatnya berita tentang kasus penyuapan (bribery) yang melibatkan Jaksa Urip atas Artalyta Suryani alias Ayin yang menyuap Jaksa Urip dalam Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dimana para terdakwa dituntut oleh penuntut umum telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan meksud memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit. Perbuatan para tersangka dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan tetap dipidana. 70 Perkembangan selanjutnya melalui Putusan
70
Nota Pembelaan Terhadap Requisitoir/Surat Tuntutan Jaksa Nomor Reg. Perkara: PDS08/JKT.SL/Ft.1/09/2005. Praktek peradilan pidana telah meninggalkan asas melawan hukum materil
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Agung Nomor 003/PUU-IV/2006, di dalam putusannya menyatakan bahwa oleh karenanya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil seperti termuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan demikian penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK sepanjang mengenai yang dimaksud melawan hukum dalam pasal ini mencakup
(materielle wederrechtelijkheid) yang berarti asas nullum delictum tidak absolut lagi berlaku namun tetap memegang teguh asas “geen straf zonder schuld”. Oleh sebab itu dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana, harus dapat dibuktikan secara profesional dan proporsional, baik berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999, pada pokoknya adalah upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dimana hakim tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus mampu membuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Bahwa secara yuridis, substansi norma hukum yang tercantum di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah merupakan delik materil yang ditandai dengan dicantumkannya akibat konkrit dari perbuatan yang dilarang berupa memperkaya diri sendiri atau oarang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jaksa Penuntut Umum harus dapat membuktikan akibat dari terjadinya perbuatan tersebut sebgaimana perintah undang-undang. Hal tersebut telah diatur secara khusus di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang intinya Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Artinya beban pembuktian tidak semata-mata berada di tangan terdakwa, tetapi Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan ini mengandung asas lex specialis derogat lex generalis dari KUH Pidana. Bahwa berdasarkan ilmu hukum pidana, penerapan asas melawan hukum materil dalam suatu tindak pidana, mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya terbatas pada hukum tertulis, tetapi juga meliputi hukum tidak tertulis serta asas hukum yang berlaku di dalam masyarakat (algemene beginselen van recht). Terhadap asas melawan hukum materil, banyak keberatan dikemukakan oleh para sarjana dengan alasan; Pertama, kepastian hukum akan terabaikan (rechtzekerheid), Kedua, terdapat kecenderungan bagi hakim untuk melakukan tindakan sewenang-wenang, Ketiga, kemungkinan akan lebih dominan terjadinya “main hakim sendiri” (eigenrichting). Namun demikian dalam perkembangan hukum pidana dewasa ini, keberadaan asas melawan hukum materil perlu dianut khususnya dalam delik-delik kolektif, tetapi penerapannya harus benar-benar didukung oleh profesionalisme dan pengetahuan yang mendalam tentang disiplin ilmu hukum pidana. Demi hukum terdakwa harus dibebaskan dengan asas “geen straft zonder schuld”, yaitu terdakwa hanya bisa dihukum apabila dapat dibuktikan adanya kesalahan yang sekecil-kecilnya. Bahwa Jaksa Penuntut Umum menguraikan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah delik formil sedangkan melalui adanya perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi positif. Menurut teori dan asas hukum pidana yang diterima secara universal, argumantasi yang dikeluarkan oleh Jaksa Penuntut Umum di atas adalah sangat keliru, karena asas hukum materil adalah berkualitas abstrak yang tidak mungkin dikaitkan dengan fungsi positif. Seharusnya jika Jaksa Penuntut Umum menggunakan asas melawan hukum materil harus memahami keberadaan hukum yang tidak tertulis atau norma-norma serta kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktek perbankan yang menentukan dapat tidaknya sebagai perbuatan melawan hukum.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti materil maupun dalam arti formil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan, nilai-nilai, dan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat yang tersirat dalam UUD 1945, maka perbuatan itu dapat dipidana dan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Perbuatan melawan hukum di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK inilah yang menjadi dasar bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan materil (materile wederrechtelijkheid) saja sebagaimana dianut KUH Pidana, melainkan juga perbuatan melawan hukum secara formil (formele wederrechtelijkheid). Dengan diperluasnya pengertian “melawan hukum” maka hal itu meliputi pula pengertian perbuatan melawan hukum yang dianut dalam KUH Perdata (onrechtmatig daad) dalam hukum perdata, dan dalam UUPTPK ditambah dengan unsur lain yaitu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ad. 2. Unsur Memperkaya Diri Sendiri Secara harfiah “memperkaya” artinya bertambah kaya, sedangkan kata “kaya” artinya mempunyai banyak harta, uang dan sebagainya. Pembuat undang-undang tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan memperkaya diri atau orang lain atau suatu badan, akan tetapi hal ini dihubungkan dengan Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dimana tersangka/terdakwa berkewajiban memberikan keterangan tentang sumber kekayaan demikian sehingga kekayaan yang
Universitas Sumatera Utara
tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan dapat digunakan sebagai alat bukti. Ad. 3. Unsur Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara. Dalam unsur ini yang dikatakan merugikan negara atau perekonomian negara, terdapat dua teori yaitu: a. Teori dari Von Buri, terkenal dengan nama “teori ekivalen” (equivalensi theori) atau teori conditio sine quanon yaitu; “semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor yang bersangkutan harus dianggap sebagai sebab akibat”. 71 b. Teori Von Kries, terkenal dengan teori mengeneralisir mengatakan; “di antara faktor-faktor dalam rangkaian faktor-faktor yang dapat dihubungkan dengan terjadinya tindak pidana, ada satu yang dapat dianggap menjadi kausa faktor yang seimbang (adaequaat) dengan terjadinya perbuatan yang bersangkutan”. 72 Indonesia menganut teori yang dikemukakan oleh Von Kries. Dengan demikian kita lihat bahwa unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sangat luas jangkauannya dan mudah membuktikannya tentang adanya kerugian negara dan inilah yang dapat menjadi kausa faktor yang seimbang (adaequaat), sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUTPK disebutkan bahwa dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
71 72
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2002), hal. 91-95. Ibid, hal. 96-99.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; “Keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter”. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) ini kemudian mengalami perubahan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai berikut; “Kedaan tertentu dalam ketentuan ini adalah ketentuan yang dapat dijadikan alasan pemberantasan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter serta penanggulangan tindak pidana korupsi”. Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa korupsi adalah, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupia) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar). Bunyi Pasal 3 terdapat beberapa unsur yaitu: 1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi; 2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada; 3. Dapat merugikam keuangan negara atau perekonomian negara.
Universitas Sumatera Utara
Apabila dicermati sekilas akan tergambar bahwa bunyi Pasal 3 ini hampir sama dengan bunyi Pasal 2 ayat (1), tetapi kalau dilihat lebih mendalam, maka akan terdapat perbedaannya. Adapun perbedaan perumusan tersebut adalah sebagai berikut; 1. Pasal 3 tidak disebutkan “unsur melawan hukum” secara tegas tetapi unsur melawan hukumnya melekat (inherent) dalam keseluruhan perumusan, yaitu dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya. Dengan perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang telah melawan hukum. Oleh karena itu dengan disebutnya unsur itu, maka Penuntut Umum tidak perlu mencantumkannya dalam surat dakwaan begitu pula dalam requisitor (tuntutan); 2. Adapun tujuan dari menyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya adalah untuk memperkaya dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Oleh karena itu di dalam undangundang ini bagi terdakwa diwajibkan membuktikan bahwa kekayaannya itu didapatkan bukan dari hasil korupsi, dengan kata lain sistem pembuktian terbalik; 3. Dengan adanya penyalahgunaan kewenangan sebagaimana dimaksud di atas, maka perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 4. Perumusan kata “dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka dalam hal ini Penuntut Umum harus dapat membuktikan adanya kerugian negara atau perekonomian negara akibat telah dilakukan penyalahgunaan
Universitas Sumatera Utara
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada terdakwa karena jabatan atau kedudukannya sebagaimana dimaksudkan di atas. Pasal-pasal yang diuraikan di atas merupakan perumusan asli dari pembuat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sedangkan perumusan pasal-pasal selanjutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, unsur-unsurnya dari unsur-unsur pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) yang ditarik ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
B. Kondisi Korupsi di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya Sudah bukan rahasia lagi, bahwa Indonesia pun sedang dilanda penyakit korupsi yang sangat parah. Korupsi telah sedemikian mewabah di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Merusak sistem hukum, demokrasi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta kepentingan dan nilai-nilai nasional yang telah dicitacitakan oleh The Founding Fathers negara Republik Indonesia. Bahkan menurut pemerhati korupsi, korupsi telah menjadi semacam budaya yang mengakar dalam kehidupan bernegara; sudah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat, sehingga memunculkan stigma negatif bagi negara dan bangsa Indonesia dalam pergaulan masyarakat internasional. Hasil survei Transparancy International menunjukkan posisi korupsi di Indonesia menempati rangking keempat dari 180 negara dengan Indeks Persepsi Korupsi sebesar 2,4. 73
73
http://www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi, diakses terakhir tanggal 12 Oktober 2009.
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN di lingkungan kejaksaan, telah diambil langkah-langkah kebijakan, antara lain: 74 1. Penempelan pengumuman di berbagai tempat strategis yang berisi larangan keras memberi uang atau barang atau menjanjikan sesuatu kepada Jaksa atau pegawai di lingkungan internal Kejaksaan; 2. Membuat stiker, spanduk, alat peraga lain yang mengkampanyekan dan mensosialisasikan anti Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme; 3. Pemberitahuan kepada masyarakat, apabila menerima telepon atau pesan yang mengatasnamakan Jampidsus dan/atau pejabat lain, diminta untuk berhati-hati dan tidak melayani permintaannya serta mengkonfirmasi melalui telepon; 4. Membangun database perkara korupsi dan sarana CCTV di seluruh ruangan pemeriksaan pada Jampidsus; dan 5. Mereformasi pejabat struktural dan fungsional pada Jampidsus. Sedangkan di bidang penegakan hukum pemberantasan korupsi, ditempuh langkah-langkah sebagai beriktu: 75 a. Pelaksanaan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi ; b. Menyelesaikan kasus-kasus korupsi melalui Tim Khusus Pemberantasan Tipikor ; c. Program pemberantasan korupsi 5 – 3 – 1; d. Ikrar para JAM (Jaksa Agung Muda) dan para KAJATI seluruh Indonesia pada tanggal 7 Desember 2005 untuk bekerja keras melakukan tugas penegakan hukum khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi dan selalu menghindari melakukan perbuatan tercela; e. Membentuk Satgas khusus penanganan Tipikor di tingkat Kejagung dan di seluruh Kejati; f. Membuat indikator dan standar kinerja penanganan Tipikor di setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi); g. Membentuk pengawasan eksternal (berupa Komisi Kejaksaan); h. Menyelesaikan perkara illegal logging dengan menggunakan ketentuan Tipikor; i. Melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap pelaku Tipikor; 74
Hendarman Supandji, “Membangun Budaya Anti Korupsi Sebagai Bagian Dari Kebijakan Integral Penanggulangan Korupsi di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Orasi Penganugerahan Gelar Doktor HC di hadapan forum terhormat, Rapat Senat Terbuka Universitas Diponegoro, Semarang, Tanggal 18 Juli 2009, hal.7. 75 Ibid. hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
j. Membentuk Tim Terpadu pencari terpidana Tipikor dan menangkap para koruptor yang kabur ke luar negeri beserta aset-asetnya; k. Membentuk satuan khusus supervisi dan pengendalian perkara tindak pidana korupsi; l. Program optimalisasi yang mengutamakan kualitas dan kuantitas serta pengembalian kerugian negara. Untuk mengaktualisasikan bidang penindakan dalam RAN-PK 2004-2009, ditetapkan kegiatan-kegiatan pemberantasan korupsi yang dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, antara lain: 76 1. Percepatan Penanganan dan Eksekusi Tindak Pidana Korupsi. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi: a. Menentukan sektor prioritas pemberantasan korupsi untuk menyelamatkan uang negara dengan indikator yang akan dicapai, antara lain: - Memperjelas langkah-langkah pemberan-tasan korupsi; - Membuka peluang untuk menyelamatkan kekayaan negara dalam jumlah besar; dan - Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan dan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi. b. Merumuskan dan menetapkan kriteria penentuan prioritas untuk penanganan kasus-kasus korupsi yang telah ada untuk memper-cepat penanganan dan penyelesaian kasus dengan indikator yang akan dicapai adalah meningkatnya jumlah penyelesaian kasus menyangkut lembaga pelayanan publik dengan jumlah kerugian negara yang besar, sehingga masyarakat langsung dapat merasakan manfaat pemberantasan korupsi; c. Mempercepat pembekuan dan pengelolaan aset-aset hasil penyitaan negara dengan indikator yang akan dicapai adalah meningkatnya jumlah pengembalian kekayaan negara dan hasil-hasil penyitaan aset dengan mekanisme pembekuan dan pengadministrasian penyitaan aset yang baik; dan d. Melakukan pembatalan terhadap SP3 perkara-perkara korupsi yang secara hukum masih dapat diproses kembali dengan indikator yang akan dicapai adalah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. 2. Peningkatan Kapasitas Aparatur Penegak Hukum. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi: 76
Ibid, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
a. Memberikan pelatihan Hakim dan Jaksa Spesialis menangani perkara korupsi, asset tracing, legal audit, forensic accounting/ audit forensic dan public relation dalam rangka proses peradilan dengan indikator pencapaian meningkatnya penyelesaian kasus-kasus korupsi dengan kompleksitas tinggi; b. Menyempurnakan sistem manajerial lembaga penegak hukum dengan indikator yang akan dicapai adalah meningkatnya transparansi dan akuntabilitas proses penegakan hukum; c. Menyempurnakan dan mengimplementasikan pedoman pelayanan pengaduan masyarakat termasuk atas perilaku/sikap personel dengan indikator yang akan dicapai adalah masyarakat secara proaktif mendukung upaya pemberantasan korupsi, terutama korupsi di lembaga penegak hukum; d. Mengimplementasikan Standar Profesi/Kode Etik dengan indikator yang akan dicapai adalah standar kinerja aparatur penegak hukum yang lebih terukur dan akuntabel. Namun semua upaya itu belum membuahkan hasil maksimal. Wajar apabila saya selaku salah seorang pelaku kebijakan, melakukan evaluasi dan perenungan terhadap langkah kebijakan hukum yang selama ini ditempuh. Hasilnya sampai pada kesimpulan bahwa korupsi, seyogyanya ditangani dengan pendekatan yang integral karena mengandung kompleksitas sebab dan masalah.
C. Eksistensi dan Bahaya Korupsi Bagi Perekonomian Negara Sebagaimana dimaklumi, korupsi merupakan salah satu masalah besar dan sekaligus merupakan ancaman bagi program pembangunan bangsa Indonesia dan bahkan juga pembangunan masyarakat bangsa-bangsa di dunia karena korupsi menyangkut kepentingan publik. Sering dinyatakan, bahwa kejahatan (termasuk Korupsi sebagai salah satu bentuknya) merupakan ”problem sosial tertua” (‘”the oldest social problem”) dan merupakan fenomena universal (”a universal
Universitas Sumatera Utara
henomenon”) 77 yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Keberadaannya mengikuti sejarah manusia itu sendiri. Khususnya masalah korupsi, Adolfo Beria pernah menyatakan, bahwa korupsi terjadi di mana-mana yang merugikan keuangan negara. Di dalam masyarakat apapun dan dalam sistem pemerintahan manapun, bahkan dalam kekaisaran dunia manapun, tidak ada yang terbebas dan tidak dirusak oleh fenomena dan bahaya korupsi ini. Tidak ada agama apapun yang tidak mengutuk korupsi 78 bahaya/akibat korupsi yang sangat luas dan multidimensi, sering dinyatakan dalam berbagai statement global, antara lain: a. Dalam Resolusi "Corruption in government" Kongres PBB ke 8/1990 mengenai "the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders" di Havana (Cuba) dinyatakan, bahwa korupsi di kalangan pejabat publik ("corrupt activities of public official"): 1. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah ("can destroy the potential effectiveness of all types of governmental programmes"); 77
Bahkan dalam “preamble” UNCAC 2003, korupsi disebut sebagai “a transnational phenomenon”. 78 “There is no primordial indigenous culture without its phenomena of corruption, there is no system (from that of USA to that of Japan) which is free from vast areas of corruption; there is no centre of government (from the prairies of America to the communist collectivizations); which has not been vitiated or distorted by corruption, there is no religion (Eastern, Judaic-Christian or Islamic) which has not had to confront evils connected to corruption; there is no Empire (be it Persian, Roman, British or Soviet) which has not experienced and has not been damaged by corruption”, Adolfo Beria, “Global Strategic Against Corruption” dalam Responding to Corruption : Social Defence, Corruption, and the Protection of Public Administrationand the Independence of Justice, up dated document on the XIII International Congress on Social Defence, Lecce, Italy, 1996. p. 23; (www.antikorupsi.org; http://pdf-searchengine. com/REKONSTRUKSI %20BIROKRASI%20 KEJAKSAAN%20 DENGAN %20PENDEKATAN%20 HUKUM%20 PROGRESIF%20...-html-).
Universitas Sumatera Utara
2. Dapat mengganggu/menghambat pembangunan ("hinder development"); dan 3. Menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat (“victimize individuals and groups”). b. Di dalam Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo antara lain juga ditegaskan, bahwa korupsi merupakan masalah serius karena: 1. Membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat (endangers the stability and security of societies); 2. Merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas (undermined the values of democracy and morality); dan 3. Membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik (jeopardizes social, economic and political development). c. Dalam UN Convention Against Corruption yang telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada 31 Oktober 2003, antara lain dinyatakan bahwa korupsi merupakan: 1. Ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat (threat to the stability and security of societies); 2. Merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi (undermining the institutions and values of democracy), - merusak nilai-nilai moral dan keadilan (undermining ethical values and justice); 3. Membahayakan “pembangunan yang berkelanjutan” dan “rule of law” (jeopardizing sustainable development and the rule of law); dan 4. Mengancam stabilitas politik (threaten the political stability).
Universitas Sumatera Utara
Di samping itu, bahaya korupsi dapat mengakibatkan terjadinya krisis keuangan negara, apabila korupsi tersebut sudah tidak dapat diselesaikan lagi. Bahkan bisa mengakibatkan terganggunya distribusi sembako bagi masyarakat hingga pada akhirnya menimbulkan kelaparan rakyat akibat tingginya biaya hidup. Di sisi lain bahaya korupsi tersebut berdampak kepada para investor dalam maupun luar negeri merasa enggan dan takut untuk menanamkan sahamnya atau berinvestasi di Indonesia karena tidak jelas masalah kepastian hukum dalam melindungi hak-hak pengusaha.
D. Budaya Moral Sebagai Antisipasi Terjadinya Korupsi Terhadap Aset-Aset Negara Sering
dinyatakan,
bahwa
upaya
kebijakan
kriminal
(kebijakan
penanggulangan kejahatan) dapat ditempuh dengan menggunakan sarana hukum pidana dan upaya lain yang ”bukan hukum pidana”. Dilihat secara integral, upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan satu kesatuan berbagai subsistem (komponen) yang terdiri dari komponen ”substansi hukum” (legal substance), ”stuktur hukum” (legal structure), dan ”budaya hukum” (legal culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses peradilan/penegakan hukum terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/ normatif), lembaga/struktur/aparat penegak hukum (komponen
Universitas Sumatera Utara
struktural/ institusional beserta mekanisme prosedural/administrasinya), dan nilainilai budaya hukum (komponen kultural). 79 Penegakan supremasi hukum harus disertai dengan pemahaman bahwa manusia merupakan insan pokok (pelaku utama) dalam segala kegiatan untuk mewujudkan keadilan, seperti yang diutarakan oleh Lawrence M. Friedman : “the legal system is not a machine, it is run by human beings,” 80 maka untuk mewujudkan suatu penegakan hukum yang sebenar-benarnya, tidak hanya sistem peraturan perundang-undangan saja yang baik dan memadai, tetapi juga manusia -dengan perilakunya juga harus memiliki kepribadian yang baik, memiliki kemampuan dan integritas yang layak dan tinggi serta memiliki kesadaran dalam mentaati peraturan yang berlaku, baik itu oleh aparatur penegak hukum maupun oleh seluruh anggota masyarakat. Dari
beberapa
manusia/masyarakat
faktor
sangat
penyebab
dominan
korupsi,
dalam
terlihat
memberikan
bahwa
kesempatan
faktor yang
menyebabkan korupsi menjadi tumbuh subur. Hal ini membuktikan bahwa penanggulangan/pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya bergantung pada kebijakan pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian sanksi terhadap perbuatan korupsi seseorang, tetapi juga perlu dukungan perilaku dari
79
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bab VII (Citra Aditya Bakti, 2003) dan Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Bab XIII (Prenada Group, 2008), hal. 67. 80 Larewnce M. Friedman, Legal System, (New York: Russel Sage Foundation, 1975), hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
seluruh lapisan masyarakat agar tidak lagi bersikap permisif yang menimbulkan keadaan kondusif terhadap keberadaan korupsi tersebut. Dari uraian singkat di atas terlihat, bahwa penegakan hukum/undang-undang oleh aparat penegak hukum belum merupakan jaminan berhasilnya penanggulangan kejahatan (inklusif korupsi). Keberhasilannya masih harus ditunjang oleh budaya sikap dan perilaku. Salah satu bentuk pendekatan integral yang terkait erat dengan upaya penanggulangan korupsi terhadap aset negara atau keuangan negara, adalah pendekatan edukatif dalam membangun budaya anti-korupsi. Pendekatan budaya antikorupsi inipun ditegaskan dalam mukaddimah/pembukaan/“preamble” UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) 2003, dengan menggunakan istilah “to foster a culture of rejection of corruption” (meningkatkan budaya penolakan terhadap korupsi). 81 Peningkatan budaya anti-korupsi ini, tentunya juga tidak terlepas dari proses pendidikan moral sebagai bagian dari kebijakan/pendekatan integral. Pentingnya pendekatan integral atau komprehensif melalui pendekatan moral ini pernah pula dikemukakan oleh Dr. Ibrahim F. I. Shihata 82 yang menyatakan antara lain: “Attempts to combat corruption may have a greater chance of success if they recognize from the outset the complexity of this phenomenon and the impossibility of eliminating it altogether…They are best advised to avoid 81
Statement lengkapnya berbunyi : “Bearing also in mind the principles of proper management of public affairs and public property, fairness, responsibility and equality before the law and the need to safeguard integrity and to foster a culture of rejection of corruption”. 82 Ibrahim Shihata adalah “Senior Vice President and General Councel of the World Bank” dan “Secreta-ry-General of the International Centre for Settlement of Investment Disputes (Washington DC)”, dalam Hendarman Supandji, Op. cit, hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
simplistic solutions and the narrow approaches typically advocated in different social disciplines…It should address the economic, political, social, legal, administrative and moral aspects of the phenomenon and recognize the close linkages among these aspects. 83 Bertolak dari pernyataan di atas, selanjutnya Ibrahim Shihata menjelaskan bahwa upaya penanggulangan korupsi (“Efforts to Combat Corruption”) tidak dapat ditempuh hanya dengan pembaharuan hukum, tetapi juga harus ditempuh dengan berbagai upaya pembaharuan lainnya yang integral, antara lain dengan “moral reform”. 84 Salah satu pembaharuan moral yang menonjol untuk mendapatkan perhatian kita dalam memberantas korupsi adalah ”moral kejujuran”. Istilah “korupsi” di samping dipakai untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang “busuk”, juga disangkut pautkan kepada ketidakjujuran seseorang. Watak/sifat tidak jujur merupakan salah satu penyebab terjadinya perbuatan korupsi. Tingginya kasus korupsi di Indonesia yang telah berhasil diungkap dan ditangani aparat penegak hukum, merupakan indikator bahwa tingkat ketidak jujuran sikap koruptif di Indonesia menunjukkan trend yang meningkat dan berada pada tingkat yang memprihatinkan. Oleh karena itu, perlu terus ditingkatkan upaya sinergi dari segenap komponen bangsa, dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan korupsi. Semakin meningkatnya korupsi, merupakan salah satu bentuk dari absennya 83
Dikemukakan dalam Simposium Internasional Ke-14 mengenai “Economic Crimes” di Inggris tahun 1996, Barry Rider (Ed.), “Corruption : The Enemy Within”, Kluwer Law International, The Hague, Netherland, 1997, hal.. 263. 84 Ibrahim Shihata, Op. cit, hal. 264-269, meliputi “economic reform”, “legal and judicial reform”, “administrative (civil service) reform”, “other institutional reforms”, “moral reform”, dan “international measures”.
Universitas Sumatera Utara
kejujuran, dan ketidakmampuan masyara-kat dalam membangun komitmen kejujuran. Padahal sikap jujur, sebenarnya dapat dijadikan sebagai salah satu sarana atau tools untuk menghindarkan diri dari sikap koruptif yang selama ini telah menjadi suatu problematik hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika perbuatan korupsi ini dibiarkan begitu saja merajalela, maka kita tidak akan dapat membangun bangsa ini secara baik dan berkesinambungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi dan kebijakan yang komprehensif, dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana korupsi. Kalau sering dikatakan, bahwa korupsi sudah membudaya, dan korupsi identik dengan ketidakjujuran, berarti budaya ketidakjujuran juga semakin parah. Oleh karena itu korupsi (budaya ketidakjujuran) harus dihadapi dengan “strategi budaya”, yaitu membina budaya jujur dan sekaligus integralitas moral religius yang berkualitas. Kalaupun Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK secara terus menerus melaksanakan tugasnya, dalam kurun waktu puluhan tahun, belum tentu korupsi berhasil diberantas secara tuntas, apabila budaya jujur (budaya anti-korupsi) dan integralitas moral ini masih belum terbina dan terbentuk. Usaha membangun budaya anti korupsi, harus berawal dari membangun watak/sifat jujur, dan ini harus dilakukan sejak dini. Perilaku korupsi harus dipe-rangi sejak dini dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan moral di samping pengembangan aspek intelektual pada generasi muda. Dengan ditanamkannya sejak dini sifat jujur (kepada diri sendiri, kepada keluarga, kepada masyarakat dan kepada Tuhan) diharapkan dapat mengembangkan sikap antikorupsi. Indonesia saat ini,
Universitas Sumatera Utara
sudah berada dalam usia 1 (satu) abad lebih dihitung dari hari Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908), namun justru menunjukkan sema-kin terpuruk dalam hal moralitas. Degradasi moral banyak terjadi di masyarakat, bahkan sudah menurun pada generasi muda. Kondisi ini merupakan pemicu maraknya perbuatan menyimpang dan perilaku Korupsi di Indonesia. Dengan dasar pendidikan intelektual yang dilandasi oleh moral dan iman yang kuat, diharapkan generasi muda tidak akan terbawa arus budaya korupsi dan kemorosotan moral. Salah satu jalan untuk membendung arus budaya korupsi dan kemerosotan moral itu adalah dengan membangun budaya jujur. Adanya ketentuan hukum dan penegak hukum saja tidak cukup. Kita perlu kesadaran hukum atau budaya hukum yang tumbuh kuat dalam masyarakat. Jika kesadaran hukum dan budaya hukum tumbuh kuat,maka orang akan patuh pada hukum. Kepatuhan seperti itu tumbuh dari bibit awal yang namanya kejujuran.
Universitas Sumatera Utara