BAB II BENTUK KEJAHATAN TRAFFICKING DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
A. Pengertian Trafficking Kejahatan trafficking (perdagangan orang) atau yang dapat dikategorikan sebagai “perbudakan modren” adalah merupakan persoalan global sangat serius. 35 Hal ini merupakan suatu permasalahan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia menekankan bahwa setiap orang dilahirkan memiliki kebebasan, dengan harkat dan martabat yang sederajat, serta berhak atas perlindungan tanpa diskriminasi. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab mengatur bahwa bangsa Indonesia mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, kemudian wajib mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban azasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. 36 Undang-Undang Dasar 1945 dalam rumusan salah satu pasalnya disebutkan mengenai hak untuk tidak diperbudak. 37 Untuk mewujudkan perlindungan hak tersebut,
35
Karen E. Bravo, “Human Trafficking: Global and National Responses To The Cries for Freedom,” Article, (Westlaw: University of St. Thomas Law Journal, 2009), hal. 2 36 Pancasila sila ke-2, butir kesatu dan kedua 37 UUD 1945 Pasal 28 ayat (1), hasil amandemen ke-2, tanggal 18 Agustus 2000
Universitas Sumatera Utara
maka
Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk melakukan pengaturan
tersendiri mengenai tindak pidana trafficking (perdagangan orang). Secara universal juga telah diakui bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Setiap orang berhak atas kehidupan, pekerjaan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi. 38 Namun terkadang dalam upaya memperoleh hak-hak tersebut diperhadapkan pada beragam tantangan dan perlakuan yang melanggar Hak Asasi Manusia yang disertai dengan kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Trafficking (perdagangan orang) bukan merupakan bentuk kejahatan yang baru dikenal. Dalam sejarah bangsa Indonesia, perdagangan orang pernah terjadi yaitu
melalui perbudakan atau perhambaan. Pada masa kerajaan, perdagangan
perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. 39 Perdagangan orang lebih terorganisir dan berkembang pesat pada masa penjajahan Belanda, hal ini terlihat dari adanya perbudakan tradisional dan perseliran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Perdagangan orang ini dapat berbentuk
38
Founding Father negara Indonesia mengatur tentang Hak Azasi Manusia (HAM) ini dalam pasalpasal Batang Tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, ini yang menjadi dasar bagi pelaksanaan perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) di Indonesia. 39 Farhana, Op.Cit., hal. 1, pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang bersifat agung dan mulia, kekuasaan raja tidak terbatas, sehingga raja bebas memiliki selir yang banyak. Selir-selir ini sebahagian merupakan putri-putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan, selain itu ada juga sebagai persembahan dari kerajaan lain, dan ada juga yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.
Universitas Sumatera Utara
kerja rodi, penjualan anak perempuan untuk mendapatkan imbalan materi dan kawin kontrak, 40 demikian juga halnya dengan masa penjajahan Jepang. 41 Pada awal perkembangan perdagangan orang belum merupakan tindak pidana, sehingga tidak ada hukuman yang diberikan pada para pelaku perdagangan orang tersebut. Kemudian, pada masa kemerdekaan perdagangan orang dinyatakan sebagai tindakan yang melawan hukum. Hal ini dengan pemikiran bahwa perdagangan orang tersebut telah meluas baik dalam bentuk jaringan kejahatan yan terorganisir, antar negara maupun internal negara, maka timbul keinginan pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang dengan melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerjasama. 42 Pemerintah Indonesia mengkriminalisasi perdagangan orang dengan Pasal 297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara eksplisit mengatur tentang perdagangan orang. Pasal itu mengatur bahwa memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun. Pasal-pasal yang sering dipakai sebagai dasar hukum untuk menjerat pelaku trafficking (perdagangan orang) adalah Pasal 285, Pasal 287-298, Pasal 324, dan Pasal 506 KUHP. Pengaturan dalam KUHP masih membutuhkan penyempurnaan agar dapat menjerat setiap kegiatan atau modus baru perdagangan orang. 40
Ibid., hal. 2 Ibid., hal. 3, pada masa ini Jepang bukan hanya memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, tetapi Jepang juga membawa perempuan dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong ke Jawa untuk melayani Perwira Tinggi Jepang. 42 Konsideran Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 41
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan pemerintah dilakukan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang salah satu tujuan kuncinya adalah untuk mendorong
dan/atau
menyempurnakan
peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak. Dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia (DUHAM) 43 dinyatakan bahwa pengakuan martabat dan hak yang sama dan mutlak umat manusia adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia, dan bahwa aspirasi tertinggi rakyat adalah penikmatan kebebasan mengeluarkan pendapat, kepercayaan, dan bebas dari rasa takut dan kekurangan. 44 Lebih lanjut diatur juga bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak memilih
pekerjaan,
berhak
atas
syarat-syarat
pekerjaan
yang
adil
dan
menguntungkan. 45 Kenyataannya dalam pelaksanaannya upaya masyarakat untuk keinginan memperoleh pekerjaan untuk kehidupan yang layak menyebabkan banyak yang terperangkap dalam sebuah perdagangan orang. Perdagangan orang terjadi dengan tidak memandang jenis kelamin dan usia, baik laki-laki atau perempuan, dewasa atau bahkan anak-anak. 46
43
Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia (DUHAM) diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang merupakan standar umum mengenai pemajuan dan mendorong penghormatan terhadap hak dan kebebasan manusia sebagai landasan dari keadilan, kebebasan dan kedamaian. 44 Achie Sudiarti Luhulima, “ Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan”, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 38-39 45 Ibid., hal 78 46 Administrator, ”Trafficking di Indonesia“, http://www.humantrafficking.org/countries/ Indonesia, diakses tanggal 2 Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
Daerah-daerah di Indonesia yang dulunya hanya sebagai daerah penerima sekarang berubah menjadi daerah transit, bahkan sebagai daerah pengirim dan sebaliknya. Perdagangan orang terjadi tidak hanya lintas daerah dalam wilayah Indonesia namun telah meluas menjadi lintas negara atau antar negara.47 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (UU HAM) dalam Pasal 65 diatur secara eksplisit mengenai kriminalisasi perdagangan orang tersebut yaitu dengan menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan ekploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan
anak,
serta
dari
berbagai
bentuk
penyalahgunaan
narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa perbudakan merupakan salah satu kejahatan kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik. Penjelasan pasal ini menyebutkan dengan tegas bahwa perbudakan adalah termasuk tindakan perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak. Perkembangan selanjutnya yaitu lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), undang-undang ini semakin memperjelas pemahaman tentang tindak pidana ini.
47
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO berbunyi : Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tersebut tereksploitasi. Penjelasan umum dari undang-undang ini menyebutkan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modren dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi ini dimanfaatkan oleh orang atau sekelompok orang untuk melakukan atau mengembangkan kejahatannya. Salah satu bentuk kejahataan yang berkembang itu adalah perbudakan atau perhambaan dalam bentuk yang baru yaitu perdagangan orang (trafficking), yang beroperasi secara tertutup dan terorganisasi dan disertai dengan semakin canggihnya peralatan dan modus operandinya. 48 Monsignor Franklyn M, menyatakan bahwa : 49 Human trafficking is not a new phenomenon. Since a decade or so, however, this appalling practice has reached epidemic proportions. Listed as one of the three most profitable organized crimes alongside the trafficking of weapons and drugs and intrinsically related to them, human trafficking is part of the dark side of reality virtually everywhere. The U.S. State Department's 2007 report on human trafficking estimates that 800,000 people 48
Karen E. Bravo, Op.Cit., hal. 2 49 Monsignor Franklyn M., “International Trafficking in Persons : Suggested Responses to a scourge of Humankind“, (Westlaw : Intercultural Human Rights Law Review, 2008), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
are being trafficked across borders each year, with 80% of the victims being women and children, and up to 50% minors. Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan orang khusus perempuan dan anak, Suplemen
Konvensi PBB untuk Melawan
Organisasi Kejahatan Transnasional, Protokol ini memberi pengertian perdagangan orang adalah : a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang dikemukakan dalam sub alinea (a) ini tidak relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam subalinea (a) digunakan. c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam subalinea (a) pasal ini. d. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun. 50 Dalam suplemen ini juga disebutkan maksud dibuatnya protokol ini yaitu : untuk mencegah dan melawan perdagangan terhadap orang, memberi perlindungan kepada perempuan dan anak-anak, untuk melindungi dan mendampingi korban perdagangan orang dengan penuh kepedulian terhadap hak-hak azasi mereka. 51
50 51
Farhana, Op.Cit., hal. 21 Achie Sudiarti Luhulima, Op.Cit., hal. 182
Universitas Sumatera Utara
Kathleen K. Hogan dalam komentarnya mengatakan “Human trafficking is a very profitable form of organized crime. It is the most profitable form of illegal trade worldwide, second to the trafficking of arms and drugs. Criminal groups make more than nine billion dollars in annual revenue globally from the trafficking of human beings. 52 Dengan demikian dapat dilihat bahwa Trafficking (perdagangan orang) merupakan tindak pidana yang bisa dilakukan oleh perorangan dan sindikasi (organised crime) yang sangat menguntungkan karena perputaran uang yang sangat besar. Sebagai bukti bahwa kejahatan perdagangan orang adalah merupakan kejahatan yang sangat menguntungkan, hal itu bisa dilihat dari perkembangan tindak kejahatan ini dari tahun ke tahun. Data International Organization of Migration (IOM) Indonesia, disebutkan Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara pengirim terbesar dengan total persentase sebesar 99,71% (sembilan puluh sembilan koma tujuh puluh satu persen), diikuti oleh negara Uzbekistan sebesar 0.24% (nol koma dua puluh empat persen) dan Kamboja dan Ukraina masing-masing dengan persentase 0.03% (nol koma nol tiga persen). 53
52
Kathleen K. Hogan, “Comment Slavery In The 21 st Century and In New York : What Has The State Legislature Done?”, (West law : Albany Law School, 2008), hal. 2 53 International Organization Migration (IOM) Indonesia, http://www.iom. or.id/ loadpdf.jsp?lang=eng=upd2fike=custatistics2010June2010(28072010).pdf, diakses tanggal 27 April 2011
Universitas Sumatera Utara
Data perdagangan orang dengan kategori provinsi pengirim atau daerah asal di Indonesia, lima kota yang menduduki peringkat teratas adalah Jawa Barat, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara. 54 Dari semua data kejahatan trafficking (perdagangan orang) yang terjadi sebagian besar kejahatan itu dilakukan ke luar negeri dengan negara tujuan Malaysia, Saudi Arabia dan Singapura, 55 ketiga negara ini menduduki 3 (tiga) peringkat teratas. Dari penelitian yang dilakukan International Organization Migration (IOM) Indonesian, dapat dilihat bahwa kejahatan trafficking (perdagangan orang) yang dilakukan oleh
agen sejumlah 2059 (dua ribu lima puluh sembilan) kasus atau
sebanyak 54.40 %, agen penyalur resmi sebanyak 736 (tujuh ratus tiga puluh enam) kasus atau sebanyak 19.54 %, anggota keluarga sebanyak 260 (dua ratus enam puluh) kasus atau sebanyak 6.87 %, teman 236 (dua ratus tiga puluh enam) kasus atau sebanyak 6.24 %, tetangga sebanyak 232 (dua ratus tiga puluh dua) kasus atau sebanyak 6.13 %, kontak pribadi ada 112 (seratus dua belas) kasus atau sebanyak 2.96 %, sedangkan yang tanpa data sebanyak 150 (seratus lima puluh) kasus atau sekitar 3.96 %. 56 Meskipun kejahatan trafficking
(perdagangan orang) telah diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi aparat penegak hukum masih belum bisa memaksimalkan perannya dalam memberantas trafficking, hal ini dapat terjadi karena
ringannya hukuman yang diberikan kepada para pelaku trafficking di
54
Ibid., hal. 2 Ibid., hal. 4 56 Ibid., hal. 6 55
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. 57 Akibatnya kasus trafficking bukannya dapat diatasi tetapi sebaliknya makin meningkat. Peningkatan ini juga terjadi karena beberapa faktor seperti adanya kelemahan pada perangkat hukum (peraturan perundang-undangan) dan juga adanya faktorfaktor di luar peraturan perundang-undangan. Kelemahan pada perangkat hukum disebabkan adanya peraturan yang sulit untuk diterapkan pada kasus-kasus trafficking yang ditangani oleh aparat penegak hukum. 58 Faktor-faktor di luar peraturan perundang-undangan misalnya adanya pandangan masyarakat tentang perempuan yang menganggap bahwa bila ada kejahatan yang terjadi pada dirinya, maka hal itu merupakan kesalahannya sendiri. Selain itu ada juga pandangan masyarakat yang enggan terlibat dengan masalah orang lain terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan merugikan diri sendiri, alasan lainnya ada kecendrungan paradigma pemerintah yang memandang tenaga kerja sebagai komoditi penghasil devisa negara, kemudian adanya faktorfaktor sosial yang berkembang di masyarakat, misalnya masih adanya diskriminasi terhadap perempuan. Ada juga kelemahan yang datang dari aparat penegak hukum yang disebabkan ketidaktahuan mereka tentang masalah trafficking (perdagangan orang). 59
57
Banyak kasus trafficking diputus hakim Pengadilan Negeri dengan pidana jauh lebih rendah dari batas minimal yang ditetapkan oleh undang-undang. 58 Farhana, Op.Cit., hal. 137 59 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Bachtiar H. Tambunan mengatakan bahwa kesulitan untuk memberantas trafficking karena beberapa kendala yaitu : 60 1. luas wilayah Indonesia yang tidak sebanding dengan petugas pengawas di perbatasan. 2. kemampuan penyidik polisi yang masih rendah, sedangkan tempat kejadian perkara terkadang melintasi dua negara, hal ini menimbulkan masalah dalam pelaksanaan penyidikan. 3. belum adanya atau jarangnya kerjasama antar negara untuk menindaklanjuti kasus trafficking dan sulitnya melakukan penyidikan apabila tempat kejadian perkara di luar negeri dan tersangkanya adalah warga negara asing. 0 5 - June Menghadapi kondisi ini, maka diperlukan kebijakan yang lebih dapat mengatur secara komprehensif mengenai pencegahan, penanganan, penanggulangan, dan penegakan hukum atas tindak pidana perdagangan orang.
B. Bentuk-bentuk Trafficking Bentuk-bentuk perdagangan orang dapat berupa pekerja migran, pekerja anak, perdagangan anak melalui adopsi (pengangkatan anak), pernikahan dan pengantin pesanan, dan implantasi organ tubuh. 61 1. Pekerja Migran Pekerja migran adalah orang yang berimigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran terbagi dua yaitu :
60
Administrator, ”Kasus Trafficking terus meningkat”, http://matanews.com/2009/06/28-kasustrafficking -terus- meningkat, diakses tanggal 23 April 2011 61 Farhana, Op.Cit., hal. 32-49
Universitas Sumatera Utara
a. Pekerja Migran Internal Pemerintah mengatur kebijakan tentang penempatan tenaga kerja dalam negeri untuk menjamin perlindungan bagi tenaga kerja yang ditempatkan melalui penetapan prosedur dan mekanisme penempatan tenaga kerja serta pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan tersebut, sehingga tidak terjadi perdagangan orang. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPPO disebutkan : Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) rahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Dari rumusan pasal ini dapat dilihat bahwa tindak pidana perdagangan orang tersebut adalah :
1) adanya
perekrutan,
pengangkutan,
penampungan,
pengiriman,
pemindahan,atau penerimaan seseorang. 2) adanya
ancaman
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan, penyalahguanaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat. 3) walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain. 4) untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
5) di wilayah Negara Republik Indonesia. Kemudian dalam Pasal 3 UU PTPPO, memberi rumusan tindak pidana trafficking (perdagangan orang) sebagai berikut: a. memasukkan orang b. ke wilayah Negara Republik Indonesia c. dengan maksud untuk dieksploitasi d. di wilayah negara Republik Indonesia e. atau dieksploitasi di negara lain Pasal ini dapat digunakan apabila pelaku perdagangan orang menjadikan negara Republik Indonesia sebagai tempat tujuan perdagangan orang tempat dilakukannya eksploitasi, atau apabila pelaku menjadikan negara Republik Indonesia sebagai tempat transit atau persinggahan sebelum pelaku membawa korban perdagangan orang ke negara lain sebagai tempat tujuan. b. Pekerja Migran Internasional Pasal 4 UU PTPPO disebutkan : Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengirim tenaga migran terbesar. Kebijakan penempatan Tanaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) pada prinsipnya adalah penempatan jasa manusia bukan komoditas barang,
Universitas Sumatera Utara
tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak kelemahan dan tantangan di dalam proses tersebut, sehingga penyimpangan-penyimpangan dari visi dan misi kebijakan penempatan TKI/TKW tersebut menimbulkan banyak peluang yang memungkinkan terjadinya
trafficking (perdagangan manusia. Kaitannya dengan pengadaan jasa
TKI/TKW yaitu bahwa banyak kasus trafficking terjadi akibat dari kesalahan yang dimulai dari proses perekrutan bahkan sampai pada proses penempatan tenaga kerja di luar negeri. Trafficking terjadi akibat kesalahan PJTKI dan PPTKIS. 62 Banyak ditemui kasus TKI/TKW mengalami penyiksaan di luar negeri, hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 10 dari Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, dimana pasal ini diatur bahwa tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. 2. Pekerja Anak Pada tahun 1990 pemerintah Indonesia telah meratifikasi hak-hak anak. Hal ini sebagai bentuk perhatian bagi masalah buruh anak. Batas minimum anak yang diperbolehkan bekerja diundangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 tentang pengesahan Konvensi ILO.
62
Hal ini berhubungan dengan reputasi dari PJTKI dan PPTKIS sebagai perusahaan yang berwenang untuk melakukan yang melakukan perekrutan dan penempatan tenaga kerja di luar negeri. Dari hasil audit yang dilakukan oleh Kementrian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi terhadap 560 (lima ratus enam puluh) PJTKI, maka ada sejumlah 165 ( seratus enam puluh lima) yang memiliki reputasi jelek, 150 (seratus lima puluh) reputasi sedang dan sisanya sebanyak 245 (dua ratus empat puluh lima) dengan predikat baik.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan anak dalam rangka menjamin dan menghindarkan anak dari bentukbentuk eksploitasi, khususnya yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan anak. Pasal 74 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan : a. Siapa pun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaanpekerjaan terburuk. b. Pekerjaan-pekerjaan terburuk yang dimaksud pada ayat (1) meliputi : 1. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya, 2. Segala pekerjaan yang bermanfaat, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian 3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, dan/atau 4. Semua pekerjaan anak yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak 63 c. Jenis-jenis pekejaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan dengan keputusan Menteri.
63
Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action For The Elimination of The Worst Form of Child Labour, dalam konvensi ini disebutkan bahwa Pasal 1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 2. "Anak" berarti semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. 3. Pengertian "bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak" adalah : (a) segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; (b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno; (c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan; (d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga dengan Pasal 35 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri, ditetapkan tentang batas minimal usia 18 tahun dan syarat pendidikan serendah-rendahnya lulus SLTP atau sederajat yang bisa disalurkan untuk bekerja di luar negeri. Hal ini berhubungan dengan ketentuan Pasal 17 UU PTPPO yang memberikan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang yang masih anak-anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun bahkan anak yang masih dalam kandungan,
sebagai ganjarannya
terhadap pelaku perdagangan orang akan dikenakan pemberatan sanksi pidana yaitu menambah sepertiga dari pidana yang dijatuhkan. Kenyataan yang banyak berkembang saat ini banyak pemalsuan terhadap umur dan juga pendidikan, 64 sehingga banyak kasus terjadi eksploitasi atau perdagangan orang dengan kedok penyaluran TKI/TKW. Pasal 19 UUPTPPO, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. memberikan atau memasukkan keterangan palsu b. atau memalsukan c. dokumen negara atau dokumen lain d. untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang
64
pelaku trafficking dapat berupa agen dan agen resmi, dalam hal ini perusahaan penempatan TKI swasta (PPTKIS) dan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Diperkirakan hampir 80% permasalahan TKI yang terjadi di luar negeri bahkan sampai terjadinya eksploitasi diakibatkan perbuatan PJTKI. Kesalahan yang dilakukan dimulai dari pelaksanaan perekrutan, pemalsuan identitas, baik itu pemalsuan usia maupun pendidikan. Contoh kasus adalah perdagangan anak yang dilakukan oleh PJTKI, Susiani anak yang belum cukup umur asal Nusa Tenggara Barat (NTB), kemudian oleh PJTKI dipalsukan identitasnya (manipulasi umur) dan dikirimkan ke Yordan (Timur Tengah)
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan dokumen negara dalam ketentuan ini tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte kelahiran, dan surat nikah, sedangkan dokumen lain meliputi surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait. 65 3. Perdagangan Anak Melalui Adopsi (Pengangkatan Anak) Modus lain dalam perdagangan orang adalah dengan pengangkatan anak (adopsi). Pasal 5 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur : Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Kemudian Pasal ini juga diperkuat dengan Pasal 6 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu : Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Dari isi pasal ini dapat dilihat bahwa adopsi yang dimaksudkan sebagai tindak pidana trafficking adalah adopsi yang menyebabkan anak tereksploitasi. Dua badan peradilan yang berwenang menangani pengangkatan anak adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Prosedur pengangkatan anak memang dilakukan dengan 65
Penjelasan Pasal 19 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Universitas Sumatera Utara
ketat demi melindungi hak-hak anak yang diangkat dan mencegah berbagai pelanggaraaan dan kejahatan seperti perdagangan anak. Ketidaktahuan prosedur ini menimbulkan persepsi yang salah pada masyarakat, sehingga sering masyarakat bertindak di luar hukum yang mengakibatkan terjadinya perdagangan anak. Para pelaku perdagangan anak dalam kejahatannya melakukan pemalsuan data identitas anak, even adoptive parents and children only rarely discover the status of the children as trafficking victims. Once children are secured, traffickers "launder" them through the adoption system by creating fictitious identities and obliterating the children's histories. 66 Perdagangan anak terjadi melalui sistem adopsi sangat banyak terjadi, contoh yang terjadi di negara Amerika, seperti yang diungkapkan oleh Patricia J. Meier dalam jurnalnya bahwa : 67 “Intercountry adoption involves parents who are citizens of one country adopting children who are citizens of another. It is a well-established method of creating or enlarging an American family. Americans adopt more foreign children each year than all other receiving countries combined. In 2006, 20,679 adoptees joined American families. This number has grown rapidly, nearly tripling since 1990, when Americans adopted 7093 foreign children. The total has surpassed 20,000 each year since 2002. To date, 2004 marks the year the most children--22,884--became U.S. citizens through adoption. Dari tulisan ini dapat dilihat begitu besarnya jumlah adopsi terhadap anak yang dilakukan antar negara, sehingga jika tidak dilakukan pengawasan yang baik dan juga pengaturan yang jelas dan tegas mengenai perbuatan adopsi, maka tidak 66
Patricia J. Meier, “ Small Commodities : How Child Traffickers Exploit Children and Families in Intecountry Adoption and What The United State Must Do to Stop Them,” (Westlaw: Journal of Gender, Race and Justice, 2008), hal. 1 67 Ibid
Universitas Sumatera Utara
dapat dihindari akan banyak kasus adopsi sebagai modus dari kejahatan trafficking (perdagangan orang). 4. Pernikahan dan Pengantin Pesanan Modus perdagangan orang yang lain adalah pengantin pesanan (Mail Order Bride) yang merupakan pernikahan paksa, dimana pernikahannya diatur oleh orang tua. Dua bentuk perdagangan melalui perkawinan, yaitu pertama, perkawinan digunakan sebagai jalan penipuan untuk mengambil perempuan tersebut dan membawanya ke wilayah asing dan selanjutnya dimasukkan dalam prostitusi. Kedua, perkawinan untuk memasukkan perempuan kedalam rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik yang sangat eksploitatif. 5. Implantasi Organ Tubuh Modus terakhir yaitu ditemukan adanya kasus berkedok adopsi, yang tujuan sebenarnya adalah untuk implantasi organ tubuh. Selain kelima bentuk trafficking ini, maka Undang-Undang No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, juga mengatur
perbuatan yang dimasukkan sebagai tindak pidana trafficking, yaitu : Pasal 9 Undang-Undang No. 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. berusaha b. menggerakkan orang lain c. supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang d. tindak pidana itu tidak terjadi
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga menyebutkan bahwa setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan, 68 merencanakan atau melakukan permufakatan jahat 69 untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang 70 dipidana dengan pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana perdagangan manusia. Hal ini sangat berbeda dengan Pasal 53 KUHP tentang percobaan, dimana apabila seseorang telah melakukan permulaan perbuatan namun tidak selesai bukan karena kehendak dari pelaku, maka hukumannya dikurangi sepertiga. Begitu pula dengan pembantuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 56 dan 57 KUHP, dimana ancaman pidana bagi pelaku pembantuan dikurangi sepertiga dari pidana pokoknya.
68
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 10 69 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 11 70 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 12
Universitas Sumatera Utara
C. Perbuatan Pidana Trafficking Istilah Perbuatan Pidana adalah terjemahan dari Bahasa Belanda “Strafbaarfeit” atau juga disebut Delict. 71 Menurut Simons tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat mempertanggungjawabkan tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 72 Menurut Van Hammel “Strafbaar-feit” adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif. Dua unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana adalah : 73 1. Unsur Obyektif yaitu adanya suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh hukum dengan ancaman pidananya. Menjadi titik utama dari pengertian obyektif ini adalah tindakannya 71
Utrecht, Op.Cit., hal.251 Tongat, “Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesi Dalam Perspektif Pembaharuan”, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 105, unsur-unsur tindak pidana yaitu :1. perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat), 2. diancam dengan pidana, 3. melawan hukum,4. dilakukan dengan kesalahan, 5. oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 72
73
Ketut Wirawan, ”Perbuatan Pidana”, http://ketutwirawan.com/perbuatan-pidana/ diakses tanggal 25 April 2011
Universitas Sumatera Utara
2. Unsur Subyektif yaitu adanya perbuatan seseorang atau beberapa orang yang berakibat pada hal yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Menjadi titik utama dari pengertian subyektif ini adalah adanya seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindakan, jadi sorotannya adalah pelakunya. Syarat yang harus dipenuhi (sebagai unsur obyektif dan subyektif yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah : 74 a. Harus ada perbuatan orang atau beberapa orang. Perbuatan itu dapat dipahami orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa b. Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum c. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ketentuan hukum d. Harus terbukti ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan e. Harus tersedia ancaman hukuman terhadap perbuatan yang dilakukan yang termuat dalam peraturan hukum tersebut. Menurut Moeljatno bahwa unsur-unsur tindak pidana itu adalah : 75 a. perbuatan b. yang dilarang (oleh aturan hukum) c. ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) Jika dilihat unsur-unsur ini maka ini dapat diterjemahkan sebagai syarat formil yaitu berhubungan dengan azas legalitas pada Pasal 1ayat (1) KUHP yang dalam rumusannya disebutkan “tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu.”
74
Ibid Moeljatno dalam Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 2010, hal. 79 75
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan unsur ancaman pidana berkaitan dengan syarat materiil sifat melawan hukum dengan fungsinya yang negatif, artinya bahwa suatu perbuatan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum, apabila secara material perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum. 76 Bilamana perbuatan (handeling), melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka perbuatan itu menjadi perbuatan pidana (feit), bilamana perbuatan pidana terbukti ada sifat melawan hukum, ada kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) ada juga kemampuan bertanggung jawab, maka feit meningkat menjadi perbuatan yang dapat dihukum (Strafbaar feit). Dengan demikian dalam setiap terjadinya suatu kejahatan ada 3 (tiga) komponen yang harus dikuasai yaitu : perbuatan pidana (feit), sifat melawan hukum (wederrechttelijk) serta pertanggung jawaban pidana. Pompe 77 merumuskan straafbaar feit sebagai suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum, sedangkan Vos 78 merumuskan bahwa straafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa suatu straafbaar feit harus memenuhi beberapa unsur, yaitu:
76
Komariah Emong Sapardjaja, “Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia”, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 26 77 Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 76 78 Ibid
Universitas Sumatera Utara
1) suatu perbuatan manusia (menselijk handelingen), dengan handeling dimaksudkan tidak saja perbuatan een doen (perbuatan) akan tetapi juga een nalatten (mengakibatkan) 2) perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman dalam undang-undang 3) perbuatan
itu
harus
dilakukan
oleh
seseorang
yang
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mengenai sifat melawan hukum (wederrechttelijk) ini mempunyai beberapa pengertian yaitu : melawan hukum (tegen het recht), tanpa hak sendiri (zonder eigen recht), bertentangan dengan hukum pada umumnya (in strijd met recht in het algemeen), bertentangan dengan hak pribadi seseorang (in strijd met een anders subjectieve
recht), bertentangan dengan hukum objektif (tegen het objectieve
recht). 79 Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau implisit. Tidak semua pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan hukum ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu : 1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit 2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan dengan kaidah materiil yang berlaku baginya, oleh karena itu 79
Alvi Syahrin, Op.Cit., tanpa halaman.
Universitas Sumatera Utara
dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan. Trafficking merupakan kejahatan yang tergolong ke dalam crime against humanity dan sulit dibuktikan. Pelaku adalah orang-orang yang memiliki keahlian, jaringan, serta akses ke berbagai bidang seperti penegak hukum, elit politik, serta aparat keamanan, para korban sebahagian adalah orang yang tidak tahu hukum serta memiliki kepentingan ekonomi sehingga mudah diperalat atau dieksploitasi. Tindak pidana trafficking (perdagangan orang) sebagai perbuatan pidana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 yaitu disebutkan : Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Dari isi pasal ini dapat dianalisis sebagai berikut, bahwa yang memenuhi unsur perbuatan adalah : perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang. Perbuatan ini bukan merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang tetapi ketika perbuatan itu dilakukan dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
Universitas Sumatera Utara
memberi bayaran atau manfaat, maka perbuatan tadi menjadi bagian dari hukum pidana. Kata selanjutnya adalah “untuk tujuan”. Frasa “mengeksploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil yang berarti bahwa adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dan tidak harus menimbulkan akibat. 80 Suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai perbuatan/peristiwa pidana ialah harus ada suatu perbuatan maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan itu terlihat sebagai perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa serta perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam ketentuan hukum, artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum harus memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku dimana pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut.
80
H.A. Zainal Abidin Farid, “Hukum Pidana I”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.358-359, delik formil adalah delik yang oleh pembuat undang-undang dirumuskan secara formil, dengan kata lain undang-undang pidana cukup menguraikan perbuatan yang dilarang saja dan tidak menyebut akibatnya. Berbeda dengan delik materil yang menghendaki adanya suatu akibat dari perbuatan. Perbedaan kedua delik ini sangat penting dalam hal terjadinya percobaan dan penyertaan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dalam rangka menegakkan hukum pidana terhadap kejahatan trafficking (perdagangan orang), maka terhadap pelaku/trafficker yang melakukan perbuatan pidana sesuai ketentuan dapat dikenakan sanksi pidana yang tertuang dalam kejahatan trafficking (perdagangan orang). Undang-Undang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Perdagangan
Orang
(UUPTPPO) ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan/perbuatan seseorang yang mampu menyediakan landasan hukum materil dan formil sekaligus, misalnya dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPPO merupakan delik formil, sedangkan Pasal 2 ayat (2) UUPTPPO yang mengatur tentang mengakibatkan orang tereksploitasi merupakan delik materil dalam tindakan/proses, cara atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan orang dan antara tindakan/proses, cara dan tujuan saling kait mengkait sehingga perbuatan pidana pelaku menjadi suatu rangkaian peristiwa pidana. 81 Dari semua rumusan mengenai tindak pidana trafficking (perdagangan orang), maka dapat dilihat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi sehingga perbuatan itu memenuhi tindak pidana adalah : 82 1. 2.
3.
Adanya unsur perbuatan yang meliputi perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang. Adanya unsur cara yaitu menggunakan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat. Adanya unsur tujuan yaitu eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
81
Farhana, Op.Cit., hal. 116- 117 Rini Maryam, Op.Cit., hal. 2-3
82
Universitas Sumatera Utara