BAB II KONSEP TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY/CSR) PADA PENANAM MODAL YANG BERBENTUK BADAN HUKUM, BUKAN BADAN HUKUM DAN PERSEORANGAN
A. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan di perusahaan itu sendiri (internal) maupun di luar lingkungan perusahaan yaitu masyarakat di sekitar perusahaan.60 Dari berbagai pengalaman yang berkembang selama ini, praktik-praktik CSR umumnya berdasarkan pada nilai-nilai etis dan penghargaan perusahaan terhadap keberadaan serta peranan seluruh tenaga kerja, masyarakat, lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Karena itu, seringkali CSR dapat dijelaskan sebagai pengambilan keputusan bisnis yang dikaitkan secara langsung dengan nilai-nilai etis, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, serta penghargaan atas keberadaan dan peranan tenaga kerja, masyarakat, dan lingkungan.61 Mengacu pada praktik serta pengalaman penerapan CSR, definisi lain mengenai CSR yang digagas oleh Holmes dan Watts menjelaskan maksud CSR sebagai suatu komitmen perusahaan yang berkelanjutan untuk selalu bertindak etis dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi sembari meningkatkan
60
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 296. Heka Hertanto, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Ekonomi Rakyat dalam www. arthagrahapeduli.org/index.php, diakses tanggal 26 Juni 2009. 61
Universitas Sumatera Utara
kualitas hidup para karyawan dan keluarganya, komunitas lokal maupun masyarakat luas.62 Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yaitu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang secara khusus bergerak di bidang "pembangunan berkelanjutan" (sustainable development) yang menyatakan bahwa: "CSR adalah merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya." 63 CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat di sekitar wilayah kerja dan operasinya. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan
62
Ibid. http://www.wbcsd.org/includes/getTarget/CSR: Meeting Changing Expectations. diakses tanggal 23 Juni 2009. 63
Universitas Sumatera Utara
mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.64 Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan sering diidentikkan dengan CSR ini antara lain Pemberian/Amal Perusahaan (Corporate Giving/Charity), Kedermawanan Perusahaan (Corporate Philanthropy), Relasi Kemasyarakatan
Perusahaan
(Corporate
Community/Public
Relation),
dan
Pengembangan Masyarakat (Community Development). Keempat nama itu bisa pula dilihat sebagai dimensi atau pendekatan CSR dalam konteks Investasi Sosial Perusahaan (Corporate Social Invesment/Investing) yang didorong oleh spectrum motif yang terentang dari motif “amal” hingga “pemberdayaan”.65 Tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan sebagai suatu konsep yang berkembang pesat hingga dekade 1980-90 an. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainability development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994.66 Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup 64
Sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar Sehari “A Promise of Gold Rating : Sustainable CSR” Tanggal 23 Agustus 2006, lihat www.menlh.go.id. diakses tanggal 23 September 2009. 65 Briliant dan Rice, Influencing Corporate Philantropy dalam Cary M. Gould dan Michael L. Smith (eds), Social Work in the Workplace (New York: Springer Publishing Co.) hlm. 299. 66 Mas Achmad Daniri, Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Lihat http://www.madani-ri.com/2008/01/17/standarisasi-tanggung-jawab-sosial-perusahaan-bag-i/ diakses tanggal 22 Juni 2009.
Universitas Sumatera Utara
bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata. Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic
growth)
menjadi
pembangunan
yang berkelanjutan
(sustainable
development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder.67 Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah: 68 (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan atau manfaat. Pertemuan Johannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi “Sumbangan Pemikiran BWI pada Penyusunan Peraturan Pemerintah Perihal Tanggung Jawab Sosial Korporasi”, The Business Watch Indonesia, Desember 2007 perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social
67 68
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Responsibility).69 Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya, atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan. Prinsip
keberlanjutan
mengedepankan
pertumbuhan,
khususnya
bagi
masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah perusahaan, pemerintah dan masyarakat.70
69 70
Ibid. Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masingmasing stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholder diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan diemban secara bersama. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines.71 Di sini bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya. Pada
bulan
September
2004,
ISO
(International
Organization
for
Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang membidani
71
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility.72 Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggung jawab sosial terletak pada pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi. Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu “Rio Earth Summit on the Environment” tahun 1992 dan “World Summit on Sustainable Development (WSSD)” tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.73 Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO mengenai pembentukan “Strategic Advisory Group on Social Responsibility” pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi negara-negara berkembang, selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NYIP diedarkan kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak.74 Dalam hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut komite bayangan dari
72
Ibid. Ibid. 74 Ibid. 73
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000 diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta maupun publik.75 ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan ISO 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktifitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara: 1) mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan 3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebar luaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.76 Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok ISO 26000 Guidance Standard On Social Responsibility yang secara konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup 7 (tujuh) isu pokok yaitu:77 1. Pengembangan Masyarakat. 2. Konsumen. 3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat. 4. Lingkungan. 5. Ketenagakerjaan. 75
Ibid. Ibid. 77 Ibid. 76
Universitas Sumatera Utara
6. Hak asasi manusia. 7. Organizational Governance. ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktifitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang transparan dan etis, yang: 78 1. Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. 2. Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder. 3. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional. 4. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa. Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi:79 1. Kepatuhan kepada hukum. 2. Menghormati instrument atau badan-badan internasional. 3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya. 4. Akuntabilitas. 5. Transparansi. 6. Perilaku yang beretika. 7. Melakukan tindakan pencegahan.
78 79
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia. Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR di berbagai negara menimbulkan adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu sendiri di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam penerapan CSR di manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai panduan (guideline) atau dijadikan rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku umum, sekaligus menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia. Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan yang meningkat. Saat ini belum tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan sehingga banyak kalangan dunia usaha yang bersikap skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi usaha, karena mereka memandang bahwa CSR hanya merupakan komponen biaya yang mengurangi keuntungan. Praktek CSR akan berdampak positif jika dipandang sebagai investasi “jangka panjang”. Karena dengan melakukan praktek CSR yang berkelanjutan, perusahaan akan mendapat “tempat di hati dan izin operasional” dari
Universitas Sumatera Utara
masyarakat,
bahkan
mampu
memberikan
kontribusi
bagi
pembangunan
berkelanjutan.80 Di dalam Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ada aturan mengenai tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan. Pasal 74 Ayat (1) menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Perusahaan yang dibebani tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah perusahaan yang tujuan dan kegiatannya melakukan eksplorasi terhadap sumber daya alam, seperti halnya perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan, eksplorasi laut dan lepas pantai, kehutanan, perkebunan, dan lain sebagainya. Sedangkan yang termasuk dengan kriteria “yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perusahaan yang salah satu produknya merupakan hasil modifikasi ataupun turunan atau komponennya menggunakan hasil-hasil dari alam, contohnya perusahaan furniture yang menjual perabotan dari kayu, rotan, bambu, yang jika diperluas bisa juga menjadi perusahaan yang salah satu komponennya menggunakan
sumber
alam,
seperti
perusahaan
industri
air
minum
kemasan, atau industri-industri yang menggunakan minyak tanah, batubara, gas alam, dan lain-lain, sebagai salah satu bahan yang bakar industrinya, dimana walaupun
80
Chrysanti Hasibuan, “Sekali Lagi, CSR”, 10 November 2006, lihat www.swa.co.id. diakses tanggal 12 Juli 2009.
Universitas Sumatera Utara
tidak berkaitan dengan eksplorasi secara langsung, namun “memiliki dampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.”81 Pada Ayat (2) pasal ini menyatakan kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Pasal ini mengandung makna bahwa perusahaan sendirilah yang melaksanakan CSR sesuai dengan prinsip kepatutan dan kewajaran. Diserahkannya pelaksanaan CSR kepada perusahaan masing-masing adalah untuk memperlancar interaksi antara perusahaan dengan masyarakat, sedangkan peranan Pemerintah
hanya
sebagai
pemantau
apakah
perusahaan
dimaksud
telah
melaksanakan CSR atau belum. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang dimaksud Ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait. Misalnya apabila perusahaan mengabaikan tanggung jawab lingkungan maka perusahaan dimaksud akan dikenakan sanksi yang diatur sesuai dengan UU Lingkungan Hidup, dan apabila mengabaikan tanggung jawab sosial akan dikenakan sanksi yang diatur dalam Undang-Undang terkait. Kemudian Ayat (4) menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
81
http://irmadevita.com/2008/tanggung-jawab-sosial-dan-lingkungan, diakses tanggal 04 Juli
2009.
Universitas Sumatera Utara
B. Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) Pada Penanam Modal Yang Berbentuk Badan Hukum, Bukan Badan Hukum Dan Perseorangan Perusahaan adalah pemegang peranan kunci dalam memproduksi barang yang akan dijual ke pasar untuk konsumen. Kinerja kebiasaan pelaku dan keputusan dalam produksi merupakan faktor menentukan apabila tercapainya efisiensi atau alokasi sumber daya yang optimal memang secara alami para pelaku ekonomi selalu akan berupaya mencapai keuntungan yang maksimal dari transaksi yang dilakukannya. Sebagaimana dalam teori tentang harga bahwa perusahaan memang bermaksud mendapat keuntungan yang maksimum atau maksimumkan keuntungan.82 Secara moral dan sosial keuntungan adalah yang baik, karena antara lain punya akibat yang berguna bagi banyak orang lain, misalnya keuntungan merupakan semacam upah atau imbalan, seperti halnya semua pekerja atau karyawan yang menyumbangkan tenaga dan pikirannya mendapat upah atau imbalan untuk itu. Sebab dengan upah karyawan dapat memperbaiki kondisi hidupnya, demikian pula dengan keuntungan pemilik modal memperbaiki kondisi hidupnya adalah wajar dan normal. Oleh sebab itu mengejar keuntungan harus dianggap sebagai hal yang baik karena juga berkaitan dengan kewajiban si pemilik modal untuk mempertahankan atau memperbaiki kondisi hidupnya sebagaimana halnya semua orang lain punya kewajiban moral untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi hidupnya.83
82
Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 71. 83 Sonny Keraf, Op.cit. hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan hal di atas tidak mengherankan bila dalam kenyataannya bahwa keuntunganlah yang menjadi satu-satunya motivasi orang berbisnis. Menurut Milton Friedman, mencari keuntungan bukanlah hal yang jelek sebab orang memasuki bisnis selalu punya motivasi dasar yaitu mencari keuntungan.84 Pandangan ini sekarang tidak dapat dipertahankan lagi sebab tujuan bisnis (perusahaan) bukanlah semata-mata untuk mencari keuntungan, tetapi adalah meningkatkan standar hidup masyarakat, mensejahterakan masyarakat, dan membuat hidup manusia lebih manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan mereka secara baik. Karena yang utama adalah memenuhi kehidupan manusia, dalam bisnis perhatian terutama ditujukan pada konsumen dan juga karyawan perusahaan tersebut. Menurut Konosuke Matsushita,85 pendiri perusahaan Matsushita Inc. di Jepang, tujuan bisnis sebenarnya bukanlah mencari keuntungan melainkan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Sedangkan keuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan. Artinya, karena masyarakat merasa kebutuhan hidupnya dipenuhi secara baik mereka akan menyukai produk perusahaan tersebut yang memang dibutuhkannya tapi sekaligus juga puas dengan produk tersebut. Maka, mereka akan tetap membeli produk tersebut. Dari situlah keuntungan akan mengalir terus. Dengan demikan yang pertama-tama menjadi fokus perhatian dalam bisnisnya bukanlah mencari keuntungan, melainkan apa yang
84
Ibid, hlm. 49. Konosuke Matsushita, Not For Bread Alone Ethos, A Management Ethics (Kyoto: PHP Institute, 1988) dalam A. Sonny Keraf, Opcit, hlm. 51. 85
Universitas Sumatera Utara
menjadi kebutuhan masyarakat dan bagaimana melayani kebutuhan masyarakat itu secara baik, dan dari sanalah ia akan memperoleh keuntungan. Koordinator Perekonomian Boediono pada pembukaan Indonesia Business Links Conference on CSR, yang menyatakan bahwa sudah menjadi kewajiban dunia usaha untuk berperan aktif bersama pemerintah dan masyarakat membangun lingkungan. Corporate Social Responsibility (CSR) tidak dapat dilepaskan dari konteks tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance atau GCG) demi mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.86 Sistem tata kelola perusahaan yang baik merupakan jalinan keterkaitan antara stakeholder perusahaan yang digunakan untuk menetapkan dan mengawasi arah strategi dan kinerja usaha suatu organisasi. Dalam prakteknya GCG merupakan acuan tertulis
(pedoman)
mengenai
kesepakatan
antar
para
stakeholders
dalam
mengidentifikasi dan merumuskan keputusan-keputusan strategis secara efektif dan terkoordinasi. Dengan bakal dari pedoman tersebut maka dapat dibangun saling kepercayaan antara pemilik perusahaan dan para pemimpin perusahaan (Dewan Direksi dan para Manajer tingkat puncak). Guna mengawasi lebih lanjut kinerja perusahaan dan menjaga kepentingan para pemilik modal secara professional, maka pemilik perusahaan melalui RUPS, mengangkat anggota komisaris untuk duduk dalam Dewan Komisaris.
86
“CSR Tidak Hanya Filantropi: Tidak Mungkin Membangun Negeri Tanpa Melibatkan Pebisnis”, Lihat http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/08/ekonomi/2937837.htm. diakses tanggal 12 September 2009.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Bank Dunia, Corporate Governance “is a blend of law, regulation and appropriate voluntary private sector practices wich enable a corporation to attact financial and human capital, perform effectively and thereby perpetuate itself by generating long term economic value for its shareholders and society as a whole”.87 Prinsip-prinsip dalam Good Corporate Govenance adalah :88 a. Keterbukaan (transparency) Hak-hak para pemegang saham yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan. Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan mengembangkan sistem akuntansi yang berbasiskan standar akuntansi dan best practice yang menjamin adanya laporan b. Pertanggung jawaban (responsibility) Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimanaditetapkan oleh hukum dan kerjasama yang aktif antara perusahaan serta pemegang kepentingan
dalam
menciptakan
kekayaan,
lapangan
kerja,
dan
perusahaan yang sehat dari aspek keuangan. Prinsip ini diwujudkan
87
Richard Chinn dan Martyn E Jones, The Corporate Governance Handbook (London: GEE Pub. Ltd., 2000). 88 I Nyoman Tjager, dkk., Corporate Tantangan dan Kesempatan Bagi Komunitas Bisnis Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta, 2003, hlm. 50.
Universitas Sumatera Utara
dengan kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggung jawab sosial, menghindari penyalahgunaan kekuasaan, menjadi professional dan menjunjung etika dan memelihara lingkungan bisnis yang sehat. c. Keadilan (fairness) Perlindungan yang sma terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading). Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan membuat peraturan korporasi yang melindungi kepentingan minoritas. d. Akuntabilitas (accountability) Tanggung
jawab
manajemen
melalui
pengawasan
yang
efektif
berdasarkan balance of power manager, pemegang saham, dewan komisaris dan auditor. Salah satu prinsip GCG mengenai masalah pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Akhir-akhir ini terdapat tiga kepentingan publik yang oleh perusahaan cenderung terabaikan. Pertama, perusahaan hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap pemegang sahamnya (shareholder), sedangkan masyarakat tempat di mana perusahaan tersebut berdomisili kurang diperhatikan. Kedua, dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan semakin meningkat dan harus ditanggung oleh masyarakat sekitar. Sementara itu sebagian besar keuntungan manfaat hanya dinikmati oleh pemilik saham perusahaan saja. Ketiga, masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi korban sebagian besar mengalami kesulitan untuk menuntut ganti rugi kepada perusahaan. Itu karena belum ada hukum (regulasi) yang
Universitas Sumatera Utara
mengatur secara jelas tentang akuntabilitas dan kewajiban perusahaan kepada publik.89 Selain tanggung jawab perusahaan kepada pemegang saham tanggung jawab lainnya
menyangkut tanggung jawab
sosial
perusahaan
(corporate social
responsibility) dan tanggung jawab atas kelestarian lingkungan hidup (sustainable environtment responsibility). Dalam era reformasi yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya keterbukaan, seharusnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungannya semakin meningkat. Perusahaan yang tidak memiliki kepedulian sosial dengan lingkungan sekitarnya akan banyak menemui berbagai kendala, misalnya sering didemo oleh masyarakat, bahkan ada perusahaan yang terpaksa ditutup oleh pihak yang berwenang. Terdapat dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR, yaitu bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan (internal drivers). Termasuk kategori pendorong dari luar, misalnya adanya regulasi, hukum, dan diwajibkannya analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). 90 Konsep tanggung jawab sosial perusahaan sesungguhnya mengacu pada kenyataan bahwa perusahaan adalah badan hukum yang dibentuk oleh manusia dan terdiri dari manusia. Sebagaimana halnya manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, demikian pula perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan memperoleh keuntungan bisnis tanpa pihak lain. Ini menuntut agar perusahaan perlu dijalankan dengan tetap
89
www.kemitraan.or.id/implementasi-good-corporate-governance-melalui-corporate-socialresponsibility, diakses tanggal 15 Agustus 2009. 90 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bersikap tanggap, peduli dan bertanggung jawab atas hak dan kepentingan banyak pihak lainnya. Setiap perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi. 91 Segala keputusan dan tindakan yang diambil oleh perusahaan harus membawa kebaikan bagi segenap perusahaan maupun masyarakat. Perusahaan juga harus mampu bertanggung jawab atas akibat yang timbul dari keputusan tersebut. Mencegah terjadinya kerusakan lingkungan juga merupakan salah satu tanggung jawab perusahaan.
92
Oleh karenanya walaupun perusahaan benda mati, namun
perusahaan yang sebagai badan hukum harus memikul tanggung jawab moral. Maka tidak dapat disangkal bahwa perusahaan selain mempunyai tanggung jawab hukum juga mempunyai tanggung jawab moral yang mana tanggung jawab tersebut merupakan cerminan dari perusahaan tersebut. Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial. Pertama, karena perusahaan dan seluruh karyawannya adalah bagian integral dari masyarakat setempat. Kedua, perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapat keuntungan bagi perusahaan tersebut. Ketiga, dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas. Keempat, dengan keterlibatan sosial, perusahaan tersebut menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan
91 92
A. Sonny Keraf, Op.cit, hlm. 122 dan 126. I Nyoman Tjager, dkk. Corporate Governance, PT. Prenhallindo, Jakarta, 2003, hlm. 142-
144.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dan dengan demikian perusahaan tersebut akan lebih diterima kehadirannya dalam masyarakat tersebut.93 Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.94 Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasannya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.95 Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang
saham,
melainkan
pula
stakeholders,
yakni
pihak-pihak
yang
berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.96 Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku
93 http://rinaeka12.blogspot.com/2009/10/bab-vi-tanggung-jawab-sosial-perusahaan.html diakses tanggal 14 Oktober 2009. 94 http://www.tekmira.esdm.go.id/, Op.cit. diakses tanggal 8 Nopember 2009. 95 Ibid. 96 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan.97 Di dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang memuat tentang hak kewajiban dan tanggung jawab penanam modal, di salah satu butirnya, disebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) atau CSR. Menjadi lebih menarik lagi jika butir tersebut dihubungkan dengan beragam masalah lingkungan dan sosial masyarakat berkaitan dengan keadaan korporasi di Indonesia, seperti misalnya kasus pencemaran di Teluk Buyat oleh Newmont Minahasa, masalah pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan, masalah pemberdayaan masyarakat suku di wilayah pertambangan Freeport di Papua dan tentu saja yang menjadi masalah nasional sampai saat ini adalah masalah semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo yang belum juga terselesaikan dengan baik. 98 Selama ini, pelaksanaan CSR di Indonesia hanyalah merupakan sebuah tindakan sukarela dari perusahaan. Artinya, CSR sangat tergantung dari komitmen dan norma etika perusahaan untuk turut memikirkan kondisi sosial sekitarnya. Sehingga, wacana CSR tidak pernah menjadi prioritas utama bagi perusahaanperusahaan di Indonesia. Di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
97
Ibid. http://gatosoideas.blogspot.com/2007/04/uupm-dan-tanggung-jawab-sosial.html, diakses tanggal 20 Mei 2008. 98
Universitas Sumatera Utara
Perseroan Terbatas pada Pasal 74 Ayat (1) menyebutkan : “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.” Ayat (2) : “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhitungkan kepatutan dan kewajaran.” Ayat (3) : “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.” Substansi dalam ketentuan pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tentang Perseroan Terbatas mengandung makna, mewajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan mencakup pemenuhan peraturan perundangan terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, dan kewajiban melaporkannya. Kesadaran perseroan untuk melaksanakan kewajiban Tanggung Jawab Sosial Lingkungan atau CSR dapat memberikan makna yaitu perseroan dimaksud bukan lagi sebagai
kelompok
yang
mementingkan
dirinya
sendiri,
melainkan
wajib
memperhatikan dan melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, wajar apabila Tanggung Jawab Sosial Lingkungan atau CSR tidak hanya sekedar responsibility yang bersifat voluntary, tetapi mandatory dalam pengertian liability, dan terhadap perseroan yang tidak melaksanakan CSR akan dikenakan sanksi. CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti perusakan lingkungan, eksploitasi
Universitas Sumatera Utara
sumber daya alam, tidak membayar pajak, dan menindas buruh. Kebanyakan perusahaan cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar sehingga terjadi kesenjangan antara masyarakat dengan perusahaan itu beroperasi.99 Sebanyak 40% (empat puluh persen) hutan Indonesia telah ditebangi sejak tahun 1950, dan setengah dari yang tersisa telah dibagi-bagi untuk jalan raya dan perkebunan kayu atau kelapa sawit. Hutan seluas 5 (lima) hektar lenyap setiap menitnya. Berarti hutan seluas lapangan sepak bola lenyap setiap 12 detik. Padahal di sisi lain, 40-50 juta masyarakat Indonesia hidupnya sangat tergantung pada hutan.100 Bank Dunia tahun 2002 melaporkan bahwa antara 1997–1998 telah terjadi kehancuran hutan lebih dari 9 juta hektar, tanpa satupun perusahaan yang mendapatkan hukuman.101 Padahal, Menteri Kehutanan sudah mengidentifikasi 176 perusahaan yang harus bertanggung jawab atas musibah besar tersebut dengan kerugian yang diderita diperkirakan mencapai US$ 9,3 milyar. Selain itu, dari data tahunan produksi kayu Indonesia, sebanyak 88% (tahun 2003) berasal dari kegiatan ilegal.102 Karena praktek ini, di tahun 2001, pemerintah Indonesia menderita kerugian sebesar US$ 3,5 milyar. Jumlah ini sama dengan komitmen IMF terhadap pemerintah Indonesia selama setahun yang dijabarkan dalam Letter of Intent (LoI).103 Perusakan
99
http://hukumonline.com/ CSR, Kegiatan Sukarela yang Wajib Diatur, diakses tanggal 4 Agustus 2009. 100 Yanuar Nugroho, Menanti Tanggung Jawab Bisnis di Sektor Finansial Studi Awal tentang Social Responsibility Sektor Finansial di Indonesia, Artikel dalam The Business Watch Indonesia, Jakarta, 1 Oktober 2003. 101 Ibid 102 Ibid 103 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
lingkungan karena aktivitas eksploratif bisnis semacam ini tentu tidak berjalan lancar jika tidak disokong dengan kredit usaha yang diberikan oleh sektor finansial. Penelitian ini mencatat beberapa sumber kredit yang mengucur untuk praktik tak akuntabel semacam ini berasal juga dari lembaga keuangan asing. Mereka yang ikut membiayai perusahaan-perusahaaan yang terlibat dalam pengrusakan hutan diantaranya adalah German and Finnish Export Credit Agencies, Credit Suisse First Boston, Credit Lyonnaisse, Lemhan Brothers and Morgan Stanley, Bearing dan Asia Kapitalindo.
104
Dalam studi ini, beberapa kasus coba untuk dilihat kembali dalam
perspektif ini, misalnya menghancurkan lingkungan seperti pembukaan perkebunan kelapa sawit, kasus Indorayon di Sumatera Utara, dan kegiatan perusahaan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup, kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat sekitar akan menciptakan iklim yang lebih menerima perusahaan itu beserta produk-produknya. Sebaliknya ketidakpedulian perusahaan akan selalu menimbulkan sikap protes, permusuhan, dan penolakan atas kehadiran perusahaan itu beserta produknya, tidak hanya dari masyarakat setempat di sekitar perusahaan itu melainkan juga sampai pada tingkat internasional.
Konsekuensi dari kerugian ini, ternyata menimbulkan efek berantai yang cukup panjang. Tidak disetornya pajak adalah satu sebab penting terjadinya defisit anggaran. Akibat defisit anggaran, alokasi pemerintah untuk bidang kesehatan, pendidikan dan subsidi bagi masyarakat semakin dikurangi. Salah satu konsekuansinya adalah dicabutnya subsidi pemerintah untuk BBM, sehingga harga BBM membubung tinggi. Kenaikan harga BBM segera diikuti oleh kenaikan harga bahan pokok, dan kenaikan harga pokok akan menimbulkan beban masyarakat miskin semakin berat. 104 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) pada bidang lingkungan yang diusung oleh Kementerian Lingkungan Hidup memberikan penilaian perilaku sosial perusahaan dalam mengimplementasikan CSR dengan mengkategorikan perusahaan menjadi 4 (empat) peringkat yang juga dikaitkan dengan pemikiran yang digagas oleh John Elkington dengan mengelompokkan korporasi berdasarkan kesamaan sifatnya dengan 4 (empat) jenis serangga yang memiliki karakter berbeda, yaitu:105 1. Peringkat I : Perusahaan Lebah Madu (Hijau) Yaitu perusahaan yang sudah menempatkan CSR pada strategi inti dan jantung bisnis. CSR tidak hanya dianggap sebagai keharusan tetapi kebutuhan (modal sosial). Perusahaan meyakini ada nilai tukar atas aspek lingkungan dan sosial terhadap aspek ekonomi dan usahanya hanya dapat sustain apabila disamping memiliki modal finansial, harus memiliki modal sosial dan kapital. Korporasi lebah madu bersifat menumbuhkan (regenerative) karena korporasi ini menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis, manajemen pengelolaan sumber daya alam yang strategis dan sustainable. Perusahaan ini mendapatkan citra positif, kepercayaan dan dukungan dari masyarakat. 2. Peringkat II : Perusahaan Kupu-kupu (Biru) Yaitu perusahaan menilai praktek CSR akan memberikan dampak positif terhadap usahanya karena merupakan investasi, bukan biaya. Perusahaan jenis
105
Harian Kompas, “Harapan Untuk Berbagi Madu”, tanggal 4 Agustus 2007 dan Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Gresik, Fascho Publishing, 2007, Hlm. 64-66.
Universitas Sumatera Utara
ini memiliki komitmen kuat terhadap agenda-agenda CSR dan secara sukarela mempraktekkannya. Perusahaan meyakini investasi sosial akan berdampak pada lancarnya operasional perusahaan disamping citra dan reputasi positif yang diterima sehingga perusahaan dapat sustain. 3. Peringkat III : Perusahaan Belalang (Merah) Yaitu perusahaan ini umumnya bersifat degeneratif dan tidak sustain bisnisnya, cenderung mengeksploitasisumber daya melampaui daya dukung ekologi, sosial dan ekonomi serta secara kolektif menghasilkan dampak negatif di tingkat regional dan global. Perusahaan kategori ini pada umumnya berasal dari peringkat hitam yang mengimplementasikan CSR setelah mendapat
tekanan
dari
stakeholdersnya
sehingga
dengan
terpaksa
memperhatikan isu lingkungan dan sosial. CSR dipandang sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungan perusahaan. Muncul stigma negatif pada perusahaan bahkan tidak akan mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan. Ditinjau dari beberapa sisi, kasus PT. Freeport Indonesia memiliki kemiripan dengan kategori ini. 4. Peringkat IV : Perusahaan Ulat (Hitam) Yaitu sistem ekonomi yang didominasi korporasi ulat pasti akan memakan kapital alam dan sosial. Kegiatannya degeneratif. Perusahaan menjalankan bisnis semata-mata untuk kepentingan bisnis itu sendiri. Perusahaan tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial di sekelilingnya. Muara dari aktifitas usaha kategori ini kolaps dan tutup.
Universitas Sumatera Utara
Secara teoretis CSR mengasumsikan penanam modal sebagai agen pembangunan yang penting, khususnya dalam hubungan dengan pihak pemerintah dan kelompok masyarakat sipil. Dengan menggunakan alur pemikiran motivasi dasar, berbagai stakeholder kunci dapat memantau, bahkan menciptakan tekanan eksternal yang bisa "memaksa" penanam modal mewujudkan konsep dan penjabaran CSR yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.106 Dari perspektif masyarakat sipil, pola kemitraan sangat menguntungkan karena kegiatan bisnis memiliki berbagai sumber daya penting dan kapabilitas yang dapat digabungkan untuk tujuan-tujuan pembangunan. Misalnya, pembangunan infrastruktur industri pertambangan di wilayah pedalaman mampu menyumbang secara signifikan pada penyediaan berbagai fasilitas publik, yang dapat dilihat dalam perkembangan kota Sangatta, Pekanbaru, dan Balikpapan.107 Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang biasanya dilakukan oleh penanam modal adalah pemberian fasilitas kepada para pekerja atau buruh. Kenyataannya bahwa pemberian fasilitas baru akan terealisasi jika adanya ancaman mogok atau unjuk rasa dari para buruh. Ini berarti tanggung jawab sosial perusahaan terhadap para buruh didasarkan sebagai suatu negosiasi antara manajemen dengan para buruh. Manajemen tentunya akan memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dengan adanya ancaman tersebut jika dinilai akan merugikan perusahaan maka (biasanya) tuntutan akan direalisasikan. Contohnya adalah seperti buruh PT WRP, 106
Pamadi Wibowo, Tanggung Jawab Sosial www.pdat.co.id/hg/opinions.../id.htm diakses tanggal 25 Juli 2009. 107 Ibid.
Perusahaan
dan
Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara
sebuah perusahaan penanaman modal asing dari Malaysia yang memproduksi sarung tangan, di mana buruh PT WRP berunjuk rasa di depan Konsulat Malaysia pada hari Selasa tanggal 3 Nopember 2009. Mereka menuntut hak berupa upah lembur yang belum mereka terima.108 Masalah buruh atau karyawan merupakan salah satu tanggung jawab sosial perusahaan yang harus dilaksanakan oleh perusahaan agar tercipta sinergi antara perusahaan dengan karyawan. Perusahaan harus memikirkan kesejahteraan dari dalam dulu (internal) yaitu mengenai kesejahteraan buruh atau karyawan, baru kemudian selanjutnya bergerak keluar (ekternal) yaitu terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Pada penanam modal seperti CV, Firma ataupun Perseorangan, mereka melakukan tanggung jawab sosial dalam bentuk yang masih relatif kecil, mengingat usaha yang mereka lakukan tidak sama dengan sebuah perusahaan nasional atau multinasional yang ruang lingkupnya luas di mana perusahaan tersebut memiliki modal usaha yang besar dan karyawan atau buruh yang banyak serta berdampak luas bagi masyarakat sekitar. Contohnya adalah sebuah unit usaha CV, Firma atau Perseorangan yang bergerak pada usaha pengelola hasil bumi atau usaha perkebunan kelapa sawit. CV, Firma atau Perseorangan tersebut dalam hal tanggung jawab sosial kepada masyarakat adalah dalam bentuk yang relatif kecil bagi masyarakat seperti dalam bentuk membayar gaji karyawan tepat waktu, pemberian insentif berupa kesejahteraan hari raya keagamaan kepada para pekerja atau buruh serta keluarganya. Membuat sarana jalan, bantuan kepada masyarakat tidak mampu atau kepada siswa108
Harian Kompas, hari Rabu tanggal 4 November 2009, hlm. 26.
Universitas Sumatera Utara
siswa sekolah di sekitar usaha CV atau Perseorangan tersebut dan bantuan keagamaan seperti pembangunan rumah ibadah atau setiap perayaan hari besar keagamaan. Bentuk lainnya yang dilakukan oleh CV, Firma atau Perseorangan dari tanggung jawab sosial perusahaan hanyalah sebatas pemberian sumbangan, hibah, dan bantuan untuk bencana alam yang sifatnya momentum. Penanam modal yang berbentuk CV, Firma atau Perorangan tidak harus menganggarkan biaya CSR dalam anggaran perusahaan, karena hal tersebut belum diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti Perseroan Terbatas sebagaimana diatur di dalam Pasal 74 Ayat (2) Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengharuskan biaya CSR diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Dengan tidak ada diaturnya mengenai anggaran biaya CSR, maka CV, Firma atau Perorangan dapat berinisiatif sendiri dalam melakukan program pelaksanaan CSR yang disesuaikan dengan keadaan keuangan CV, Firma atau Perorangan tersebut.
Universitas Sumatera Utara