BAB I
SERTIFIKASI FAIRTRADE : UNTUK PETANI ATAU KORPORASI?
Latar Belakang Fair Trade merupakan gerakan sosial yang muncul sebagai respon terhadap kegagalan perdagangan liberal dalam mengatasi persoalan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi dunia. Pada intinya, Fair Trade bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan yang adil, khususnya bagi petani atau buruh miskin di negaranegara selatan, dengan mendorong kesadaran -terutama kepada konsumen di negaranegara maju- tentang dampak-dampak negatif yang disebabkan oleh sistem perdagangan konvensional (liberal). Gerakan Fair Trade mulai berkembang sejak berakhirnya perang dunia kedua, dan semakin mendapatkan posisi penting sebagai perdagangan alternatif hingga saat ini. Jika pada akhir dekade 1990-an total perdagangan produk Fair Trade di Eropa bagian Barat, Australia, dan New Zealand diperkirakan hanya berkisar antara $400 juta hingga US$500 juta per tahun (Hadiwinata and Pakpahan 2004), tahun 2010 angka penjualan Fair Trade, untuk wilayah Britania Raya saja telah mencapai angka €1,3 milyar (Fairtrade International n.d.).
1
Dalam refleksi enam dekade eksistensi gerakan Fair Trade , salah satu asosiasi Fair Trade memandang dengan penuh optimis apa yang telah mereka capai: “The Fair Trade movement today is a global movement. Over a million small-scale producers and workers are organized in as many as 3,000 grassroots organizations and their umbrella structures in over 50 countries in the South. Their products are sold in thousands of World-shops or Fair Trade shops, supermarkets and many other sales points in the North and, increasingly, in sales outlets in the Southern hemisphere. The movement is engaged in debates with political decision-makers in the European institutions and international fora on making international trade fairer. And Fair Trade has made mainstream business more aware of its social and environmental responsibility. In short: Fair Trade is becoming increasingly successful.” (European Fair Trade Association 2006).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Fair Trade saat ini telah menjadi fenomena global. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya negara, baik utara maupun selatan yang tergabung dalam jaringan perdagangan Fair Trade. Semakin tingginya kesadaran pelaku bisnis secara umum untuk lebih dapat menghargai nilai-nilai sosial dan lingkungan, juga dapat dikatakan sebagai salah satu pengaruh positif yang diberikan oleh gerakan Fair Trade . Kesuksesan gerakan Fair Trade tidak dapat dilepaskan dari meningkatnya kesadaran konsumen terkait persoalan kemiskinan di negara-negara selatan. Sumber permasalahannya dipercayai berasal dari penerapan mekanisme pasar dalam sistem perdagangan internasional yang berakhir pada distribusi pendapatan yang tidak adil. Sebagai korbannya tidak lain adalah produsen-produsen kecil di negara-negara miskin dan berkembang. Dalam segi praktis, tidak jarang, misalnya, mereka harus melepas komoditas kepada tengkulak atau perusahaan dengan harga rendah yang bahkan tidak cukup untuk sekedar menutupi ongkos produksinya. 2
Berbeda dengan perdagangan liberal, Fair Trade
tidak mempercayai penentuan
harga berdasarkan mekanisme pasar. Dalam setiap transaksi perdagangan yang memegang nilai Fair Trade, semua pihak harus diuntungkan, tidak ada satu pun dirugikan, apalagi dengan sengaja dieksploitasi. Tidak seperti perdagangan konvensional1, Fair Trade mampu memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang mereka konsumsi berasal dari produsen yang mendapatkan harga beli yang layak atas komoditas yang diproduksinya. Hal ini dinilai telah berperan besar dalam melindungi petani dari praktik perdagangan yang tidak adil. Nicholls (2000) mengatakan bahwa market akses yang ditawarkan oleh Fair Trade telah memberikan kesempatan kepada produsen di negara-negara berkembang untuk keluar dari kemiskinan ekstrim. Pada awal kemunculannya, semangat gerakan Fair Trade adalah pemberdayaan masyarakat miskin dan marjinal (European Fair Trade Association 2006). Manifestasinya lebih mengarah pada kegiatan sosial dan sukarela. Itulah sebabnya gerakan
Fair
Trade
pada
awalnya
tidak
melibatkan
perusahaan
yang
kecenderungannya lebih berorientasi kepada maksimalisasi keuntungan. Kegiatan jual beli yang melibatkan petani atau produsen miskin di negara berkembang, difasilitasi oleh organisasi-organisasi sosial atau keagamaan.
1
Perdagangan konvensional merujuk pada sistem perdagangan yang tidak menggunakan nilai-nilai Fairtrade . Perdagangan konvensional dapat diartikan juga sebagai perdagangan mainstream atau perdagangan berbasis mekanisme pasar (liberal) yang pada umumnya diterapkan saat ini.
3
Namun seiring dengan berjalannya waktu, gerakan Fair Trade mulai membuka pintu masuk kepada perusahaan, salah satunya melalui mekanisme sertifikasi atau –seperti yang diketahui oleh konsumen- label Fairtrade . Penemuan mekanisme sertifikasi merupakan perkembangan yang paling signifikan dalam jaringan Fair Trade (Reed 2009). Terbentuknya pasar Fair Trade seluas sekarang disebut-sebut tidak terlepas dari campur tangan retailer besar, branders, dan berbagai jenis perusahaan konvensional lainnya (Murray and Raynolds 2007). Hal ini lantas menimbulkan perdebatan dalam kalangan pendukung Fair Trade itu sendiri. Sekarang, seperti yang dikatakan Murray dan Raynolds “As Fair Trade has moved into the mainstream of international trade, it has become embroiled in a range of debates and dilemmas that threaten to divide the movement” (Murray and Raynolds 2007).Valkila et. al mengatakan bahwa di balik kampanye tentang keuntungan yang didapat oleh petani, “paradoxically, Fair roasters,
and
Trade
also empowers coffee traders: export companies,
retailer.” (Valkila, Haaparanta and Niemi 2010). Secara lebih
mendalam, Peter Grifiths (2012) bahkan berani mengatakan bahwa gerakan Fair Trade telah gagal menjalankan ide-ide yang diusungnya. Grifiths berpendapat menunjukkan bahwa dana lebih yang dikeluarkan oleh konsumen untuk membeli produk Fair Trade, hanya sebagian kecil saja yang mengalir ke petani. Sementara, menurutnya jumlah yang lebih besar justru lebih banyak dinikmati oleh perusahaan di negara-negara utara. Hal ini menunjukkan bahwa petani tetap berada pada posisi yang tidak menguntungkan dalam rantai produksi Fair Trade ketika dihadapkan mereka kembali dengan perusahaan-perusahaan konvensional. 4
Di tengah kontroversi dan perdebatan tersebut, tesis ini ingin melihat bagaimana implementasi Fair Trade di Indonesia. Secara lebih khusus, tesis ini akan membahas implementasi Fair Trade yang dijalankan oleh Fairtrade Labelling Organization FLO) atau yang dikenal juga dengan sebutan Fairtrade International. FLO saat ini merupakan salah satu organisasi Fair Trade terbesar di dunia yang menerapkan mekanisme sertifikasi, salah satu yang menjadi inti perdebatan dalam gerakan Fair Trade. Sementara itu, kopi Gayo, saat ini dapat dikatakan mewakili gambaran penerapan sertifikasi Fair Trade yang dijalankan oleh FLO di Indonesia. Dari 20 kelompok usaha (koperasi) di Indonesia yang telah resmi memegang sertifikat dari FLO, 17 diantaranya berasal dari gayo.
Rumusan Masalah Bagaimana implementasi sertifikasi Fairtrade di bawah FLO yang dijalankan di Indonesia, khususnya pada komoditas kopi Gayo? Dan bagaimana posisi petani kopi Gayo dalam jaringan perdagangan yang dibentuk oleh FLO?
Tinjauan Pustaka Meskipun sejarah gerakan Fair Trade sudah berlangsung cukup lama di Indonesia, penelitian yang membahas gerakan ini masih sangat terbatas. Salah satu karya yang cukup populer yang membahas gerakan adalah sebuah buku berjudul Fair Trade 5
adalah Fair Trade: Gerakan Perdagangan Alternatif (Hadiwinata and Pakpahan 2004). Dalam bukunya Hadiwinata dan Pakpahan menjelaskan gerakan Fair Trade yang dibawa oleh Oxfam ke Indonesia. Buku ini sendiri sangat bermanfaat memberikan gambaran sejarah masuknya gerakan Fair Trade di Indonesia. Oxfam merupakan
organisasi
sosial
keagaamaan
yang
aktif
melakukan
program
pemberdayaan masyarakat melalui gerakan Fair Trade. Namun begitu, buku ini belum membahas perkembangan terbaru dalam gerakan Fair Trade , yaitu munculnya mekanisme sertifikasi dan mulai terlibatnya perusahaan-perusahaan konvensional dalam gerakan Fair Trade. Seiring dengan melejitnya popularitas Fair Trade dan kopi gayo di perdagangan dunia, serta semakin tingginya tingkat partisipasi petani kopi Gayo dalam jaringan sertifikasi Fairtrade, sebuah penelitian dilakukan untuk melihat manfaat sertifikasi terhadap petani. Salah satu poin penting dari penelitian yang berjudul Coffee, a Fair Trade?
A study about Fairtrade certified Gayo coffee farmers in Aceh karya
Almqvist (2011) adalah: “It may seem surprising that the incomes for the certified farmers are lower even if they have larger harvests. The result of the income is calculated per price per kilogram and it has nothing to do with the yield of the harvest. The income depends on who are willing to buy the coffee and to which price. It depends on the supply and the demand. If the supply is bigger than the demand the price will be lower to make it easier to be sure to sell all coffee.” (Almqvist 2011)
Penelitian tersebut menunjukkan bukti-bukti bahwa bergabungnya petani dalam sertifikasi Fairtrade tidak semerta-merta membuat pendapatannya lebih tinggi
6
dibandingan petani non-sertifikasi. Meskipun demikian, penelitian ini tidak menempatkan mekanisme sertifikasi dalam konteks yang melatarbelakanginya sebagai gerakan sosial. Sertifikasi Fairtrade hanya dilihat sebagai suatu cara untuk menambah nilai jual komoditas atau keuntungan non-ekonomi lain, bukan sebagai gerakan alternatif yang ingin merubah sistem perdagangan internasional. Oleh karena itu, meskipun penelitian ini dapat menunjukkan berbagai keuntungan atau kerugian yang didapat oleh petani melalui mekanisme sertifikasi Fairtrade, namun persoalan mengenai posisi petani dalam rantai produksi kopi masih belum mendapatkan pembahasan lebih dalam. Beberapa penulis sebenarnya telah berusaha untuk menjawab persoalan keterlibatan perusahaan konvensional dalam jaringan Fair Trade dan pengaruhnya terhadap petani dalam struktur produksi. Secara garis besar pendapat mereka terpecah ke dalam dua kelompok: pertama, mereka yang meyakini bahwa Fairtrade model sertifikasi, meskipun melibatkan perusahaan besar tetap memberikan keuntungan kepada petani. Nicholls (2000) mengatakan bahwa label Fairtrade telah memberikan manfaat kepada petani, antara lain: market akses yang lebih luas, informasi tentang harga pasar dan standar kualitas komoditas, sumber kredit -terutama dari perusahaan eksportir, mendapatkan hak-hak pekerja sesuai International Labour Organization (ILO), bahkan akses terhadap pasar finansial. Setali tiga uang Litvinoff dan Madeley (2007) berpendapat bahwa Fairtrade setidaknya memberikan beberapa manfaat kepada petani seperti harga yang adil dan stabil, pendapatan lebih –dari dana
7
premium (premium fee), dan lebih kuatnya posisi petani dalam pasar internasional. Kekurangan kedua karya ini adalah terlalu menyederhanakan penerapan Fairtrade dengan mengatakan bahwa apa saja yang telah menjadi standar Fairtrade secara otomatis akan dirasakan pula manfaatnya oleh petani. Faktanya, beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa standar yang diterapkan oleh Fair Trade tidak selalu dirasakan manfaatnya oleh petani. Kelompok kedua, beranggapan bahwa Fair Trade tidak dapat menjamin keadilan bagi petani. Beberapa penelitian telah dilakukan dengan mengambil sampel atau tempat (negara/daerah) tertentu yang sedang menerapkan Fair Trade. Valkila et.al (2010) misalnya, dengan melakukan penelusuran pada rantai nilai perdagangan kopi antara Nicaragua dan Finlandia menunjukkan bahwa harga premium yang dibayarkan oleh konsumen Fairtrade, atau dalam bahasa mereka ethical donations, sebagian besar tinggal di Finalndia sebagai negara konsumen, dan oleh sebab itu tidak secara efisien diberikan kepada negara produsen, dalam hal ini Nicaragua. Sehingga mereka berani
mengatakan
bahwa
secara
berlawan
Fairtrade
justru
juga
telah
memberdayakan coffee trader: export companies, roaster, dan retailers. Kontribusi penelitian Valkila dan kawan-kawan sangat besar dalam menunjukkan sisi lain Fairtrade yang selama ini belum terlalu ditonjolkan, terutama terkait dengan keterlibatan perusahaan-perusahaan konvensional. Studi dampak sertifikasi Fairtrade pada petani kopi di Costa Rica yang dilakukan oleh Dragusanu dan Nunn (Dragusanu and Nunn 2014) menujukkan bahwa meskipun 8
Fair Trade memberikan pengaruh terhadap jumlah produksi kopi, manfaat tidak mengalir kepada pekerja paling miskin di industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang dibentuk oleh Fair Trade juga tidak bebas dari persoalan ketimpangan pendapatan. Valkila dan Nygren (2008) dengan mengambil sampel Nicaragua, melihat bahwa manfaat Fairtrade terhadap petani masih sangat dipengaruhi oleh harga pasar konvensional. Sehingga petani tidak dapat sepenuhnya bergantung pada mekanisme yang diciptakan oleh Fairtrade. Di tengah perbedaan argumen inilah, penerapan sertifikasi Fairtrade pada komoditas kopi gayo menjadi penting untuk dilakukan. Hal ini untuk melihat apakah mekanisme sertifikasi Fairtrade yang dijalankan oleh FLO telah benar-benar mengubah posisi petani Kopi Gayo dalam struktur produksi kopi internasional.
Kerangka Konseptual Fairtrade
FLO hanyalah salah satu dari beberapa organisasi internasional yang aktif mempromosikan Fair Trade. Beberapa organisasi yang memiliki visi serupa antara lain adalah World Fair Trade Organizations (WFTO), Network of European Worldshops (NEWs), dan European Fair Trade Association (EFTA). Setiap organisasi memiliki mekanismenya masing-masing dalam menjalankan praktik perdagangan yang berkeadilan.
9
FLO mempunyai label/merek Fairtrade2 yang menjadi tanda bagi konsumen untuk membedakannya dengan produk konvensional. Produk berlabel Fairtrade saat ini sudah dijual di 25 negara. Label Fairtrade dinilai sebagai label etikal yang paling dikenali di dunia (Fairtrade International n.d.). Hingga tahun 2012, jaringan perdagangan FLO telah melibatkan sebanyak 1.149 kelompok produsen di 70 negara, dengan total penjualan produk mencapai 4,8 milyar Euro (Fairtrade International n.d.). Sebagai gerakan yang mengusung nilai Fair Trade, FLO mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda dengan organisasi sejenis lainnya. Hal ini bisa dilihat dari Joint Statement antara FLO dan WFTO berikut ini: “Fair Trade is a trading partnership, based on dialogue, transparency and respect,
that
seeks greater equity in international
trade. It
contributes to
sustainable development by offering better trading conditions to, and securing the rights of, marginalized producers and workers – especially in the South. Fair Trade Organizations, backed by consumers, are engaged actively in supporting producers, awareness raising and in campaigning for changes in the rules and practice of conventional international trade. (World Fair Trade Organization; Fairtrade Labelling Organization International 2009)”
Label Fairtrade oleh sebab itu menjandi penanda bagi konsumen bahwa produk tersebut telah memenuhi nilai-niali yang disebutkan di atas. Seperti yang dikatakan oleh Alex Nicholls (2000), label Fairtrade merupakan jaminan kepada konsumen 2
Untuk selanjutnya dalam tulisan ini, Fairtrade (tanpa spasi) merujuk pada label atau mekanisme sertifikasi yang dijalankan oleh FLO. Sementara Fair Trade merujuk pada gerakan Fair Trade pada umumnya.
10
bahwa produk yang tersertifikasi telah memenuhi beberapa standar dan diaudit secara berkala. Standar-standar tersebut adalah (Nicholls 2000): •
Pembelian secara langsung (direct purchase) dari produsen
•
Hubungan perdagangan jangka panjang dan transparan
•
Kerjasama bukan persaingan
•
Mengikuti harga minimal untuk menutupi biaya produksi, biasanya ditetapkan di atas harga pasar
•
Fokus terhadap pembangunan dan bantuan teknis dengan membayarkan biaya tambahan Premium (umumnya sebesar 10% atau lebih dari harga produk)
•
Menyediakan informasi pasar
•
Produksi yang berkelanjutan dan bertanggungjawab pada lingkungan
Standar-standar di atas menunjukkan bagaimana petani atau produsen kecil merupakan inti dari kegiatan yang dijalankan oleh FLO. Hal ini dapat dilihat dari semua poin, kecuali poin terakhir, yang memang diperuntukkan secara langsung untuk kebaikan produsen kecil. Dalam sebuah kampanye yang dilakukan oleh Fairtrade Canada, salah satu organisasi Fairtrade di bawah FLO, komitmen semacam itu kembali dipertegas. “Fairtrade means fair conditions and better prices for the people who grow our products: whether it’s the coffee we drink, the cocoa in our chocolate, or the cotton in our t-shirts. But Fairtrade is about more than just prices. By getting Fairtrade certified, farmers and workers build connections with traders and consumers, invest
11
in their communities and businesses, and take an active role in determining what the international Fairtrade system is now and will be in the future.” (Fairtrade Canada t.thn.)
Dari beberapa definisi, pernyataan, dan standar-standar yang disampaikan di atas, Label Fairtrade dengan demikian memberikan beberapa manfaat kepada petani, antara lain akses pasar alternatif, hubungan perdagangan yang transparan dan saling menguntungkan, kerjasama -atau bisa juga dikatakan sebagai bantuan- perusahaan untuk berbagai kegiatan pembangunan di lingkungan petani.
Rantai Suplai Global
Konon, manifestasi perekonomian global kontemporer sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan neoliberalisme. Penganut neoliberalis, pada intiinya ingin membentuk tatanan masyarakat yang didasarkan pada mekanisme pasar yang secara alamiah digerakkan oleh tangan-tangan tak terlihat. Akar pemikirannya dapat ditarik dari liberalisme klasik yang menekankan pada kebebasan individu. Perbedaannya dalam liberalisme yang diperbaharui, kebebasan individu, termasuk di dalamnya kepemilikan pribadi harus dijamin, misalnya oleh negara -yang pada akhirnya mejadi tokoh sentral dalam menciptakan tatanan ekonomi dunia yang neoliberal. Dengan kepemilikan pribadi dan ruang gerak yang bebas itu pasar dapat berjalan dengan efektif.
Sehingga
aktivitas
pertukaran
atau
perdagangan
menjadi
saling
menguntungkan bagi semua pihak.
12
Tatanan neoliberalisme diperkuat oleh kehadiran lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank –yang juga diinisiasi oleh aktor negara. Lembaga ini telah berjasa dalam menyebarluaskan kepercayaan terhadap mekanisme pasar. Sehingga negara-negara pada akhirnya membuka perekonomian, misalnya seperti yang terlihat dari agenda-agenda liberalisasi di negara-negara berkembang yang dimulai di Amerika Latin dan kemudian di Asia. Namun gagasan tentang perdagangan yang saling menguntungkan rupanya tidak sepenuhnya terbukti, terutama bagi negara-negara pascakolonial atau negara-negara berkembang yang pada umumnya termajinalkan dari struktur ekonomi global. Perdagangan internasional yang dijalankan atas mekanisme pasar itu dianggap hanya menguntungkan segelintir pihak, terutama para pemilik modal atau mereka yang secara umum mempunyai akses terhadap pasar. Sementara produsen-produsen kecil yang mayoritas berada di negara-negara berkembang alih-alih mendapatkan keuntungan, justru semakin terpinggirkan dan tidak jarang terjebak dalam kondisi keterbelakangan. Neoliberalisme oleh sebab itu dianggap mempertegas karakter eksploitatif yang melekat pada sistem ekonomi kapitalisme.
13
Gambar 1 Rantai Perdagangan Produk Kopi (Utting-Chamorro 2005)
Apa yang terjadi pada komoditas kopi merupakan contoh paling gamblang yang memperlihatkan kegagalan sistem ekonomi berbasis perdagangan bebas tersebut. Mayoritas konsumen kopi merupakan negara maju, atau sering disebut juga dengan negara konsumen. Sementara itu, mayoritas produsen kopi, karena faktor alam dan 14
sejarah kolonialisme, justru merupakan negara miskin dan berkembang, atau yang sering disebut dengan negara produsen. Selama ini, perusahaan di negara-negara maju mendapat posisi yang sangat diuntungkan karena memegang akses pasar yang dibutuhkan oleh produsen di negara-negara selatan, yaitu peminum kopi di negaranegara maju. Saat ini, konsumsi kopi per kapita di negara pengimpor kopi terbesar seperti Amerika Serikat mencapai 4,3 kilogram per tahun (Tempo.co 2014). Bandingkan dengan konsumsi per kapita di Indonesia yang hanya 1,03 kilogram per tahun (Rikang dan Dharma 2014). Tidak heran jika perusahaan asal Amerika seperti Starbucks sangat menguasi pasar kopi dunia. Negara paling konsumtif terhadap kopi juga didominasi oleh negara-negara maju, Finlandia setiap tahunnya menghabiskan 11,4 kilogram perkapita, diikuti dengan Norwegia dengan 10,6 kilogram, Belgia sebanyak 8 kilogram, Austria 7,6 kilogram, dan Jepang 3,4 kilogram (Tempo.co 2014). Dalam perdagangan liberal, harga ditentukan oleh pasar tanpa ada intervensi siapapun kecuali oleh tangan-tangan tak terlihat- setidaknya seperti itulah dogma yang ingin dijalankan. Hal ini meletakkan petani dalam posisi yang tidak menguntungkan. Mereka menjadi aktor yang berada dalam struktur produksi paling bawah yang seringkali menjadi korban eksploitasi dari aktor-aktor di atasnya. Di tingkat pertama, sebut saja, ada tengkulak. Tengkulak ini pun biasanya terbagi lagi atas berapa tingkatan, mulai dari tengkulak kampung, tengkulak kota, sampai tengkulak pusat. Di atas mereka ada eksportir, perusahaan di negara prodsen. Dan di atas eksportir ada 15
buyer atau perusahaan pembeli di negara maju. Tanpa pengaturan harga, buyer yang rasional sebisa mungkin akan mencari produk dengan harga beli yang paling rendah untuk mendapatakan keuntungan yang maksimal. Pada akhirnya, harga jual di tingkat petani jugalah yang tertekan. Bahkan dalam kondisi normal sekalipun, menurut International Trade Center seperti yang tertulis dalam The Coffee Guide Exporter’s Guide 2011 petani kopi hanya mendapatkan share 7-11% dari harga retail supermarket (Fairtrade Foundation 2012) . Gerakan Fair Trade memahami lemahnya posisi petani dalam rantai suplai komoditas kopi. Itulah sebabnya model perdagangan langsung (direct trade) pada awalnya dipilih oleh organisasi penggerak Fair Trade. Hal ini dilakukan untuk memotong rantai pasokan sehingga petani dapat terhindar dari praktik-praktik eksploitatif yang dilakukan oleh aktor-aktor di atasnya. Di sisi lain, mekanisme sertifikasi mengundang kembali aktor-aktor konvensional untuk terlibat dalam jaringan perdagangan Fair Trade. Konsekuensinya rantai perdagangan kopi kembali pada bentuknya yang semula, meskipun dengan kondisi yang berbeda. Sebab ada standar-standar FLO yang harus diikuti oleh perusahaanperusahaan jika ingin menjual produk berlabel Fairtrade. Oleh sebab itu, analisis terhadap rantai suplai produk berlabel Fairtrade akan menunjukkan bagaimana sebetulnya posisi petani dalam stuktur perdagangan alternatif yang dibentuk oleh FLO.
16
Rantai suplai atau yang sering disebut juga dengan rantai pasokan adalah proses pembentukan bahan mentah menjadi produk yang siap dikonsumsi. Mekanisme sertifikasi yang dibentuk oleh FLO dapat dilihat sebagai upaya untuk membentuk rantai pasokan ini dapat berjalan dengan adil, terutama bagi petani dan produsen di negara-negara selatan. Sebab melalui mekanisme sertifikasi, keterlibatan perusahaanperusahaan konvensional tidak lagi dihindari atau dipotong dari rantai perdagangan Fair Trade melainkan dilibatkan, asal perusahaan-perusahaan tersebut mau mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan oleh FLO.
Argumen Keterlibatan perusahaan-perusahaan konvensional dalam jaringan perdagangan Fair Trade berpotensi untuk merugikan petani. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa dalam skema sertifikasi Fairtrade, nilai lebih yang didapatkan justru lebih banyak mengalir kepada perusahaan-perusahaan besar dibandingan kepada petani. Argumen yang ingin dibangun dalam tesis ini adalah bahwa sertifikasi Fairtrade belum mampu menyelesaikan persoalan yang bersifat struktural dalam perdagangan internasional. Petani di negara-negara berkembang, khsusunya petani kopi Gayo, memang mendapatkan beberapa manfaat dengan mengikuti sertifikasi, seperti tersedianya akses pasar alternatif, harga biji kopi yang cenderung lebih stabil, serta dana premium yang digunakan untuk pemberdayaan
17
masyarakat setempat, namun hal itu tidak cukup untuk mengangkat posisi petani dalam perdagangan internasional. Petani tetap saja masih menjadi pihak yang inferior dibandingkan dengan aktor-aktor lain dalam stuktur perdagangan yang dibentuk oleh FLO. Hal ini diperparah dengan tidak berjalannya fungsi koperasi sebagai organisasi yang benar-benar dijalankan oleh petani.
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data-data primer dan sekunder. Data primer didapat dari hasil wawancara yang dilakukan kepada stakeholder yang terkait dengan jaringan Fairtrade kopi gayo, yang mencakup petani, pengurus koperasi kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Pertanyaan wawancara dibuat terbuka sesuai dengan perkembangan yang ditemukan selama berada di lapangan. Sementara itu, untuk melengkapi data yang ada, selain kepada petani dan pengurus koperasi, wawancara juga dilakukan bersama pengamat kopi setempat. Pengamat kopi merupakan orang-orang yang selama ini berkecimpung di perdagangan kopi gayo, seperti penulis ataupun tokoh yang memperhatikan penerapan Fairtrade pada komoditas Kopi Gayo. Selain itu, data –data sekunder juga diperoleh dari berbagai sumber cetak maupun online. Data-data sekunder dibutuhkan untuk memperdalam wacana terkait dengan perdebatan dalam gerakan Fair Trade mengenai mekanisme sertifikasi atau keterlibatan perusahaan-perusahaan konvensional. 18