BAB I PERUSAHAAN ASURANSI A. Pengertian Perusahaan Asuransi 1. Pengertian Perusahaan Kegiatan ekonomi yang berkembang akan membawa perkembangan pula dalam kegiatan bisnis, kegiatan ekonomi yang meningkat ini tentu akan berpengaruh pada kenaikan tingkat pendapatan masyarkat pada umumnya. Dengan pendapatan yang meningkat pada setiap orang maka akan berdampak pula pada perubahan gaya hidup seseorang sesuai dengan keinginan dan tujuan hidup masing-masing.Untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat ini, maka banyak tumbuh minat orang-orang yang berniat untuk mensuplai kebutuhan masyarakat tersebut.Untuk mewujudkan niat atau kreatifitas dalam dunia bisnis, maka dibutuhkan suatu wadah/tempat kegiatannya yaitu yang disebut dengan perusahaan. Mengenai pengertian perusahaan ini ada beberapa pendapat para ahli hukum, antara lain : 1.MOLENGRAAF, Menurut Molengraaf, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk memperoleh penghasilan dengan cara memperdagangkan atau menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. 2.POLAK, Polak memandang perusahaan dari sudut komersial, artinya baru dikatakan perusahaan apabila diperlukan perhitungan laba dan rugi yang dapat diperkirakan dan dicatat dalam pembukuan. 3.Undang-Undang No.3 Tahun 1983 tentang Wajib Daftar Perusahaan Pasal 1huruf (b) tercantum, Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. 4.Undang-Undang No.8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Pasal 1 Angka (1) ditentukan, Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan memperoleh keuntungan dan laba, baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Dari beberapa definisi tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut, • Badan Usaha • Kegiatan di bidang perekonomian • Terus-menerus • Bersifat tetap • Terang-terangan • Keuntungan/laba • Pembukuan
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian perusahaan kalau dipandang sudut hukum ekonomi adalah, Setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian secara terus menerus, bersifat tetap dan terang-terangan dengan tujuan memperoleh keuntungan laba yang dibuktikan dengan cacatan. 2. Pengertian Perusahan Asuransi Lembaga asuransi, sebagaimana diketahui juga melakukan kegiatan ekonomi atau bisnis dalam bidang jasa, yang mempunyai tujuan untuk memperoleh keuntungan/profit, bersifat tetap, terus menerus dan terang-terangan oleh sebab lembaga asuransi merupakan suatu badan usaha.Kalau dikaitkan dengan asuransi, maka yang dimaksud Perusahaan Perasuransi adalah sebagai berikut, Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria. (Pasal1 Undang-Undang No.2 Tahun1992 tentang Usaha Perasuransian). Sedangkan didalam Pasal 2 dalam Undang-Undang tersebut diatas dinyatakan bahwa, usaha asuransi yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meniggalnya seseorang. B.
Bentuk Hukum Usaha Perasuransian
Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk: a. Perusahaan Perseroan (Persero), b. Koperasi, c. Perseroan Terbatas (PT), d. Usaha Bersama (Mutual). Namun, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) usaha konsultan aktuaria dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh Perusahaan Perseroan (ayat 2). Sedangkan mengenai bentuk Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang (ayat 3). Mengingat undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama belum ada, maka untuk sementara ketentuan mengenai bentuk hukum ini akan diatur dengan peraturan pemerintah. Tetapi sayangnya hingga sekarang peraturan pemerintah tersebut belum ada. Apabila badan hukum yang menjalankan usaha perasuransian itu berbentuk Perseroan Terbatas dan atau Perusahaan Perseroan (Persero) maka pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Khusus badan hukum Perusahaan Perseroan (Persero) perlu mengikuti juga ketentuan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). Apabila badan hukum itu berbentuk Koperasi, pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
C.
Kepemilikan Perusahaan Asuransi
Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, Perusahaan Perasuransian hanya dapat didirikan oleh: a. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; b. Perusahaan perasuransian yang pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing. Berdasarkan ketentuan ini, warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dapat menjadi pendiri perusahaan Perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya maupun dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), Koperasi. Dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 ditentukan bahwa Perusahaan Perasuransian yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) harus merupakan: a. Perusahaan perasuransian yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dengan kegiatan usaha dari Perusahaan perasuransian yang mendirikan atau memilikinya; b. Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, yang para pendiri atau pemilik perusahaan tersebut adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Reasuransi. Perusahaan Perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh Perusahaan Perasuransian dalam negeri bersama Perusahaan Perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang lebih profesional. Selain itu, kerja sama Perusahaan Perasuransian yang sejenis juga dimaksudkan untuk lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi. Sesuai tujuan dari ketentuan ini, yang dimaksudkan untuk lebih menumbuhkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha, maka kepemilikan bersama atas Perusahaan Perasuransian oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi dalam negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri harus tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing patner dalam kepemilikan tersebut. Contoh mengenai hal ini adalah sebagai berikut: a. Perusahaan Reasuransi luar negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi. b. Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan Perusahaan Reasuransi dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi. D.
Modal Perusahaan Asuransi
Industri asuransi yang sehat, dapat diandalkan, dan kompetitif sangat diperlukan dalam perekonomian, nasional. Untuk mewujudkan industri asuransi seperti
itu perlu dilakukan penyempurnaan struktur permodalan dan tata kelola (governance) dari para pelaku usaha perasuransian. Penyempurnaan ketentuan mengenai struktur permodalan dilakukan dengan menetapkan jumlah modal disetor yang cukup besar bagi pendirian baru Perusahaan Perasuransian dan keharusan menyesuaikan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian. Termasuk juga didalamnya mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha asuransi dan reasuransi berdasarkan prinsip syariah antara lain berkaitan dengan permodalan, struktur organisasi, dan pengawasannya. Hal ini dimaksudkan agar pelaku usaha perasuransian memiliki permodalan dan kondisi keuangan yang kuat dalam memberikan jasa perlindungan dan/atau pelayanan kepada masyarakat dan mampu berkompetisi secara sehat baik di tingkat nasional, regional, maupun global. 1.
Modal Disetor
Yang dimaksud dengan modal disetor adalah modal disetor perseroan terbatas, atau simpanan pokok dan simpanan wajib koperasi, atau dana awal usaha bersama. Ketentuan permodalan tidak dikenakan pada Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, karena dalam kegiatan usaha perusahaan tersebut lebih dituntut unsur profesionalisme. Dengan demikian, unsur permodalan dapat dipenuhi sendiri sesuai dengan kebutuhan perusahaan yang bersangkutan. Besarnya jumlah modal disetor untuk masing-masing Perusahaan Perasuransian ditentukan dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, sekurang-kurangnya sebagai berikut: 1) Modal disetor minimum bagi pendirian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi adalah sebagai berikut: a. Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi; b. Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi; c. Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi. 2) Modal disetor minimum bagi pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut: a. Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi; b. Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi. 3) Modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan setiap penambahannya harus dalam bentuk tunai.
4)
Pada saat pendirian perusahaan, kepemilikan saham pihak asing melalui penyertaan langsung dalam Perusahaan Perasuransian paling banyak 80% (delapan puluh persen).
Pada saat pendirian perusahaan dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, kepemilikan saham pihak asing melalui penyertaan langsung dalam Perusahaan Perasuransian telah ditentukan paling banyak 80% (delapan puluh persen). Namun demikian, dimungkinkan untuk melakukan perubahan kepemilikan melampaui batas kepemilikan 80% (delapan puluh persen) dengan ketentuan jumlah modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia harus tetap dipertahankan.1 Pada prinsipnya modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan pihak asing tidak boleh berkurang jumlahnya. Namun demikian persentase kepemilikan pihak Indonesia dapat berkurang dalam hal perusahaan dimaksud membutuhkan penambahan modal dan penambahan modal tersebut menyebabkan pihak Indonesia tidak mampu mempertahankan persentase kepemilikannya. Ketentuan yang memungkinkan persentase kepemilikan pihak asing melampaui batas 80% (delapan puluh persen) ini hanya berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang didalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing yang persentase kepemilikan asing sudah mencapai 80% (delapan puluh persen). 2. Modal Sendiri Modal sendiri adalah penjumlahan dari modal disetor, agio saham, saldo laba, cadangan umum, cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan nilai surat berharga dan selisih penilaian aktiva tetap. Dalam Pasal 6A Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008, Perusahaan Perasuransian harus memiliki modal sendiri paling sedikit sebagai modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). Selanjutnya dalam Pasal 6B Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dijelaskan bahwa: 1)
Perusahaan Asuransi harus memiliki modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2010; b. paling sedikit sebesar Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2012; c. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2014. 2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2010; 1
Lihat Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 10 A Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
b.
paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2012; c. paling sedikit sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2014. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dalam hal kekuatan permodalan bagi Perusahaan Perasuransian baik yang baru maupun yang telah ada pada saat Peraturan Pemerintah ini ditetapkan. Selanjutnya tentang ketentuan modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) untuk Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah, diberlakukan ketentuan sebagai berikut:2 1) Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah harus memiliki modal sendiri paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008. 2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi harus memiliki modal sendiri paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008. 3.
Modal Kerja Menurut ketentuan Pasal 6D Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Modal kerja minimum Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut:3 a. sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) bagi Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi; b. sebesar Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) bagi Unit Syariah dari Perusahaan Reasuransi.
Selanjutnya dalam Pasal 6E Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008, dijelaskan sebagai berikut: 1)
Perusahaan Asuransi yang memiliki Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D huruf a, harus menyesuaikan modal kerja dari Unit Syariah dimaksud dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008; b. paling sedikit sebesar Rp 12.500.000.000,00 (dua belas miliar lima ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2009; c. paling sedikit sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2010. d. 2) Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D huruf b, harus menyesuaikan modal kerja dari Unit Syariah dimaksud dengan tahapan sebagai berikut: 2
3
Lihat Pasal 6C Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Lihat Pasal 6D Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
a.
paling sedikit sebesar Rp 12.500.000.000,00 (dua belas miliar lima ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008; b. paling sedikit sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2009; c. paling sedikit sebesar Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2010. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah harus memenuhi modal sendiri dalam jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D huruf a dan huruf b.4 Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dalam hal kekuatan permodalan bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi baik yang memiliki Unit Syariah maupun yang tidak. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi yang belum memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Pasal 6C, dan Pasal 6E Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, harus menyampaikan rencana kerja untuk memenuhi ketentuan pentahapan permodalan paling lambat tanggal 30 September tahun berjalan. Selain hal permodalan sebagaimana diuraikan di atas, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki dana jaminan. Menurut ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1)
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki dana jaminan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari modal disetor minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) atau 20% (dua puluh persen) dari modal sendiri minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1). 2) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis. 3) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat ditempatkan dalam bentuk: a. deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum di Indonesia yang bukan afiliasi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan; dan/atau b. surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh Pemerintah. 4) Besar dana jaminan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus disesuaikan dengan perkembangan volume usaha yang besarnya ditetapkan oleh Menteri. 4
Lihat Pasal 6F ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
5)
Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dicairkan atau dijual hanya atas persetujuan Menteri atau Pejabat yang mendapat pendelegasian untuk itu berdasarkan permintaan: a. likuidator dalam hal perusahaan dilikuidasi; b. perusahaan yang bersangkutan dalam hal izin usahanya dicabut atas permintaan perusahaan yang bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah diselesaikan; c. perusahaan yang bersangkutan dalam hal jumlah dana jaminan yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan telah melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3); atau d. perusahaan yang bersangkutan dalam hal akan melakukan pemindahan atau penggantian dana jaminan, setelah terlebih dahulu menempatkan dana jaminan dalam jumlah yang sekurang-kurangnya sama dengan jumlah dana jaminan yang akan dipindahkan atau diganti. 6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah dan tata cara penempatan dana jaminan diatur dalam Peraturan Menteri. E.
Prosedur Perijinan Usaha Perasuransian
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, maka setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha perasuransian wajib mendapat izin dari Menteri Keuangan, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial. Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan demikian bagi Badan Usha Milik Negara termaksud tidak diperlukan adanya izin usaha dari Menteri. Untuk mendapatkan izin usaha perasuransian harus dipenuhi persyaratan mengenai: a. Anggaran dasar; b. Susunan organisasi; c. Permodalan; d. Kepemilikan; e. Keahlian di bidang perasuransian; f. Kelayakan rencana kerja; g. Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat. Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang bertanggungjawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat.
Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko, penilai kerugian asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan. Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing, maka untuk memperoleh izin usaha perasuransian wajib dipenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan di atas serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing tersebut. Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing, termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan industri perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri. Untuk selengkapnya mengenai prosedur perizinan usaha perasuransian dapat dijelaskan sebagaimana berikut: 1.
Permohonan Izin Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi a.
Bukti pemenuhan persyaratan izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, yang meliputi: 1) Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang; 2) Susunan Organisasi dan Kepengurusan perusahaan yang menggambarkan pemisahan fungsi dan uraian tugas. Susunan organisasi tersebut harus dilengkapi dengan fungsi, uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab, serta prosedur kerja dari masing-masing unit organisasi; 3) Tenaga Ahli yang memiliki kualifikasi sesuai dengan bidang usahanya; 4) Perjanjian Kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing. Perjanjian kerjasama ini harus dinyatakan dalam bahasa Indonesia dan telah ditandatangani oleh pihak Indonesia dan pihak asing; 5) Bagi perusahaan asuransi, spesifikasi program asuransi yang akan dipasarkan beserta program reasuransinya; 6) Bagi perusahaan reasuransi, program retrosesi;
b.
Bagi perusahaan yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing : 1) Rekomendasi dari badan pembina dan pengawas asuransi pihak asing yang menyatakan bahwa pihak asing memiliki reputasi baik dan izin usahanya masih berlaku; 2) Laporan keuangan yang telah diaudit untuk 2 (dua) tahun terakhir baik bagi pihak asing maupun pihak Indonesia. Laporan keuangan pihak asing harus menggambarkan pemilikan modal sendiri sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dari besarnya penyertaan langsung pada perusahaan yang dimintakan izin usahanya;
c.
Daftar riwayat hidup dan bukti pendukungnya dari Pengurus dan Tenaga Ahli yang dipekerjakan;
d.
Pernyataan bahwa Direksi bagi Perseroan Terbatas atau Pengurus bagi Koperasi tidak merangkap jabatan eksekutif pada perusahaan lain;
e.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi perusahaan yang dimintakan izin usaha berikut NPWP Pengurus perusahaan, Dewan Komisaris dan pemegang sahamnya, kecuali bagi wajib pajak luar negeri;
f.
Bukti bahwa sekurang-kurangnya separo dari jumlah Pengurus perusahaan telah memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang usaha perasuransian sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;
g.
Bukti bahwa Pengurus Perusahaan yang bertanggung jawab pada fungsi pengelolaan risiko telah memiliki pengalaman di bidang tersebut sekurangkurangnya 5 (lima) tahun;
h.
Bukti pemenuhan modal disetor berupa fotokopi deposito atas nama Menteri Keuangan untuk kepentingan perusahaan yang bersangkutan yang telah dilegalisasi oleh bank penerima deposito tersebut;
i.
Laporan Keuangan yang meliputi Neraca Pembukaan dan Laporan Labarugi;
j.
2.
Program kerja serta rincian persiapan yang telah dilakukan oleh perusahaan yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) Proyeksi neraca, perhitungan laba rugi, dan arus kas, berikut asumsi-asumsinya yang mendukungnya, untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun mendatang; 2) Realisasi pemenuhan sumber daya manusia dan prasarana berikut rencana di bidang kepegawaian, termasuk rencana pengembangan sumber daya manusia, untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun mendatang; 3) Sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan dalam pengambilan keputusan berikut formulir yang dipergunakan; 4) Sistem admnistrasi yang memenuhi pengendalian intern; 5) Pedoman operasional yang akan dijadikan pedoman kerja bagi masing-masing unit organisasi; 6) Pernyataan tertulis dari perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang memuat dukungan kerja sama reasuransi. Selanjutnya, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) sejak tanggal pemberian izin usaha, perusahaan harus menyampaikan realisasi program dukungan reasuransi tersebut.
Permohonan Izin Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang berbentuk badan hukum a.
Bukti pemenuhan persyaratan izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 yang meliputi:
1)
b.
c. d. e. f. g. h.
3.
Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang; 2) Tenaga Ahli yang memiliki kualifikasi sesuai dengan bidang usahanya; 3) Polis Asuransi Indemnitas Profesi; 4) Perjanjian Kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing. Perjanjian kerjasama ini harus dinyatakan dalam bahasa Indonesia dan telah ditandatangani oleh pihak Indonesia dan pihak asing; 5) Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perjanjian Keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni. Bagi perusahaan yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing : 1) Rekomendasi dari badan pembina dan pengawas asuransi pihak asing yang menyatakan bahwa pihak asing memiliki reputasi baik dan izin usahanya masih berlaku; 2) Laporan keuangan yang telah diaudit untuk 2 (dua) tahun terakhir baik bagi pihak asing maupun pihak Indonesia. Laporan keuangan pihak asing harus menggambarkan pemilikan modal sendiri sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dari besarnya penyertaan langsung pada perusahaan yang dimintakan izin usahanya (khusus bagi perusahaan pialang asuransi, pialang reasuransi, dan penilai kerugian); Daftar riwayat hidup dan bukti pendukungnya dari Pengurus dan Tenaga Ahli yang dipekerjakan; Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi perusahaan yang dimintakan izin usaha berikut NPWP Pengurus perusahaan, Dewan Komisaris dan pemegang sahamnya, kecuali bagi wajib pajak luar negeri; Laporan Keuangan yang meliputi Neraca Pembukaan dan Laporan Labarugi; Bukti bahwa Pengurus perusahaan telah memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang usaha perasuransian sesuai dengan bidang usaha yang diselenggarakannya, sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun; Bukti pemenuhan modal disetor berupa fotokopi deposito atas nama Menteri Keuangan untuk kepentingan perusahaan yang bersangkutan yang telah dilegalisasi oleh bank penerima deposito tersebut; Program kerja serta rincian persiapan yang telah dilakukan oleh perusahaan yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) Proyeksi neraca, perhitungan laba rugi, dan arus kas, berikut asumsi-asumsinya yang mendukungnya, untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun mendatang; 2) Rencana di bidang kepegawaian, termasuk rencana pengembangan sumber daya manusia, untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun mendatang; 3) Sistem administrasi dan pengolahan data.
Permohonan Izin Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang berbentuk perorangan a.
Bukti pemenuhan persyaratan izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 yang meliputi:
1)
Tenaga Ahli yang memiliki kualifikasi sesuai dengan bidang usahanya; 2) Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perjanjian Keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni. b. Identitas diri; c. Bukti tanda lulus ujian keagenan dari agen yang dipekerjakan bagi pendiri yang dikeluarkan oleh aosiasi asuransi di Indonesia; d. Nomor Pokok Wajib Pajak. Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha yang disampaikan akan diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Untuk penolakan atas permohonan izin usaha tersebut akan disampaikan disertai dengan alasan tertulis. Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan untuk mencairkan modal disetor yang ditempatkan dalam bentuk deposito atas nama Menteri Keuangan. Bagi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi, pencairan deposito tersebut di atas tidak termasuk pencairan deposito jaminan (deposito wajib). Permohonan untuk mencairkan deposito tersebut di atas dapat juga dilakukan oleh pemohon yang ditolak izin usahanya atau pemohon yang membatalkan permohonannya. Bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapatkan izin usaha, diharuskan menjalankan kegiatan usaha perasuransian secara terus menerus, hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian,selanjutnya dijelaskan lebih rinci Pasal 10 yaitu, 1) Perusahaan Perasuransian harus menjalankan kegiatan usaha perasuransian secara terus menerus sejak diperolehnya izin usaha 2) Perusahaan Perasuransian dinilai tidak menjalankan kegiatan usaha perasuransian secara terus menerus apabila dalam jangka waktu (enam) bulan tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan 3) Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian apabila perusahaan tidak menjalankan kegiatan usaha Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 4) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memperhatikan tahapan pengenaan sanksi 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tidak menjalankan kegiatan usaha secara terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. F. Pembinaan dan Pengawasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya, dalam Pasal 11 dinyatakan pula bahwa pembinaan dan pengawasan perusahaan perasuransian tersebut meliputi: a. Kesehatan keuangan, bagi perusahaan asuransi jiwa, kerugian, dan reasuransi, meliputi: 1. Batas Tingkat Solvabilitas;
2. 3. 4. 5. 6.
Retensi Sendiri; Reasuransi; Investasi; Cadangan teknis; Lain-lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan. Penyelenggaraan usaha, yang meliputi: Syarat-syarat polis asuransi; Tingkat premi; Penyelesaian klaim; Persyaratan keahlian di bidang perasuransian; Hal-hal lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan
b. 1. 2. 3. 4. 5. usaha.
Dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, perusahaan perasuransian (perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi) diwajibkan untuk menyampaikan laporan secara periodik. Laporan yang wajib disampaikan meliputi laporan keuangan dan laporan operasional. Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai pelaporan dikenakan sanksi baik berupa sanksi administrasi maupun sanksi denda. Untuk perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, kewajiban penyampaian laporan tersebut terdiri dari laporan keuangan triwulanan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, dan laporan penyelenggaraan usaha tahunan. Selain itu, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi diwajibkan pula untuk mengumumkan laporan keuangannya (neraca dan laporan laba rugi) pada surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas di Indonesia. Sedangkan untuk perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi, laporan yang wajib disampaikan terdiri dari laporan keuangan semester, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, dan laporan penyelenggaraan usaha tahunan. Selain penyampaian laporan secara periodik, dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan tersebut, Menteri Keuangan dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap perusahaan perasuransian. Adapun jenis pemeriksaan pada umumnya terbagi menjadi dua yaitu pemeriksaan rutin yang dilaksanakan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) tahun dan pemeriksaan khusus. G. Sanksi Administratif dan Pidana 1.
Pengenaan Sanksi Administratif Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian serta peraturan pelaksanaannya yang berkenaan dengan: a. perizinan usaha, b. kesehatan keuangan, c. penyelenggaraan usaha, d. penyampaian laporan,
e.
pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan langsung, dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan izin usaha.5
Selanjutnya untuk sanksi pembatasan kegiatan usaha dapat dilakukan antara lain dalam bentuk: 6 a. Larangan melakukan penutupan pertanggungan baru bagi Perusahaan Asuransi; b. Larangan melakukan penutupan pertanggungan ulang yang baru bagi Perusahaan Reasuransi; c. Larangan melakukan jasa keperantaraan bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi; d. Larangan melakukan jasa konsultasi aktuaria bagi Perusahaan Konsultan Aktuaria; e. Larangan melakukan jasa penilaian kerugian bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi; f. Larangan melakukan jasa pemasaran bagi Agen Asuransi. Selanjutnya Berdasarkan Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dapat dijelaskan bahwa: 1)
Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, terhadap: a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan, laporan auditor independen, atau laporan operasional tahunan, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan untuk setiap laporan tersebut; b. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan, laporan auditor independen, atau laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan untuk setiap laporan tersebut. 2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak: a. Rp 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah) untuk setiap laporan yang terlambat disampaikan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi; b. Rp 180.000.000,00 (seratus delapan puluh juta rupiah) untuk setiap laporan yang terlambat disampaikan oleh Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan, penagihan, dan pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
5
6
Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Penjelasan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
Pengenaan denda administratif berakhir pada saat pembayaran denda ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara yang diikuti dengan penyampaian laporan keuangan tahunan dan atau laporan operasional tahunan dan atau pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi yang dimaksud dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008, selambat-lambatnya dalam 2 (dua) hari kerja. 7 Dalam hal laporan disampaikan melalui usaha jasa pengiriman, batas waktu 2 (dua) hari kerja dihitung sejak tanggal pembayaran denda sampai dengan tanggal pengiriman melalui usaha jasa pengiriman. Untuk pemenuhan pengumuman neraca dan laporan laba rugi pada surat kabar harian, batas waktu 2 (dua) hari kerja dihitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemuatan pengumuman neraca dan laporan laba rugi dimaksud pada surat kabar harian.8 Dalam hal laporan keuangan tahunan dan atau laporan operasional tahunan telah disampaikan dan atau neraca dan perhitungan laba rugi telah diumumkan tetapi perusahaan yang bersangkutan belum membayar denda administratif, denda tersebut dinyatakan sebagai hutang kepada negara yang harus dicantumkan dalam neraca perusahaan yang bersangkutan. 9 Berdasarkan Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dijelaskan bahwa: 1) Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri segera setelah diketahui adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. 2) Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk setiap jenis pelanggaran dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 1 (satu) bulan. 3) Dalam hal Menteri menilai bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan tidak mungkin dapat diatasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat menetapkan berlakunya jangka waktu yang lebih lama dari 1 (satu) bulan dengan ketentuan jangka waktu dimaksud paling lama 6 (enam) bulan. 4) Dalam hal perusahaan telah dikenakan sanksi peringatan terakhir, dan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan ayat (3) setelah peringatan diberikan, perusahaan tetap tidak memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan, perusahaan yang bersangkutan dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha.” Berdasarkan Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dijelaskan bahwa: 1)
7
8
9
Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4) berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.”
Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Penjelasan Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Pasal 39 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
2)
Dalam hal Menteri menilai diperlukan adanya suatu rencana kerja dalam rangka mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan kegiatan usaha pada saat penetapan pembatasan kegiatan usaha Menteri dapat memerintahkan penyusunan rencana kerja yang harus disampaikan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. 3) Dalam hal Perusahaan Perasuransian dapat mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mencabut sanksi pembatasan kegiatan usaha. 4) Dalam hal Perusahaan Perasuransian tidak dapat mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau dari pelaksanaan rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam jangka waktu sampai berakhirnya sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpulkan bahwa perusahaan tidak mampu atau tidak bersedia mengatasi penyebab dari sanksi termaksud, Menteri mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan. 2.
Pengenaan Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 berikut ini: a. Terhadap pelaku utama, Orang yang menjalankan atau menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa izin usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak 2,5 (dua setengah) milyar rupiah. b. Terhadap pelaku pembantu, Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan, atau menjual kembali kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut di atas yang diketahuinya bahwa barang-barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak 500 (lima ratus) juta rupiah. c. Terhadap pemalsu dokumen, Orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak 250 (dua ratus lima puluh) juta rupiah. Apabila tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 dilakukan oleh atas nama suatu badan hukum, atau badan usaha yang bukan merupakan badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan terhadap badan tersebut, atau terhadap mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana itu, atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pidana itu maupun terhadap kedua-duanya (Pasal 24 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992).