Catatan : 1. 2.
Buku KAIS I tentang Ma’rifatullah ini hanya bersifat referensi dan pembantu semata untuk menambah wawasan tentang ma’rifatullah. Untuk teknis penyampaian materi diserahkan kepada tiap kakak bina karena tiap orang mempunyai cara penyampain sendiri, akan tetapi harus mengikuti kepada poin – poin silabus yang telah dibuat dan tujuan dari KAIS tentang ma’rifatullah harus tercapai.
BAB I PENTINGNYA MENGENAL ALLAH (AHAMMIYYATU MA’RIFATULLAH)
1.1
Definisi Ma’rifatullah Secara bahasa ma’rifatullah artinya yaitu mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagai
muslim, istilah mengenal hanya tidak cukup tapi istilah ma’rifatullah dapat diartikan mengenal Allah Azza wa Jalla dengan nama – nama-Nya yang maha indah, sifat – sifat-Nya yang maha terpuji sebagaimana dijelaskan dalam Al – Qur’an dan hadist tanpa at-tahrîf (menyelewengkan maknanya yang benar), at-ta’thîl (menolak/ mengingkarinya), at-takyîf (membagaimanakannya) dan at-tamtsîl (menyerupakannya dengan makhluk). Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Kita tidak boleh menyifati Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan sifat yang Dia Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya (dalam al-Qur’ân) dan yang ditetapkan oleh rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam haditshadits yang shahih), kita tidak boleh melampaui al-Qur’ân dan hadits.” (Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ (5/26)). Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ma’rifatullâh (yang benar) adalah mengenal zat-Nya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mengenal perbuatan-perbuatan-Nya.” (Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ (17/104)). Tidak akan mungkin seorang hamba bisa beribadah kepada-Nya dengan rasa cinta, mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya tanpa dia mengenal kemahaindahan nama-nama-Nya dan kemahasempurnaan sifat-sifat-Nya yang semua ini menunjukkan betapa Allâh maha agung dan maha tinggi. Dia satu-satunya yang berhak dibadahi dan tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia Azza wa Jalla. (Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 10). Salah seorang Ulama salaf mengungkapkan makna ini dalam ucapannya, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini.” Lalu ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini ?” Ulama itu menjawab, “Cinta
kepada Allâh, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.” (Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Ighâtsatul Lahfân (1/72)). 1.2
Ahammiyah Ma'rifatullah (Pentingnya mengenal Allah) Ada Riwayat yang menyatakan bahwa hal pertama yang harus dilaksanakan dalam
agama adalah mengenal Allah (awwaluddin ma'rifatullah). Dengan mengenal Allah, kita akan mengenal diri. Siapakah kita? Bagaimana kedudukan kita dibandingkan dengan makhlukmakhluk lain? Apakah sama misi hidup kita dengan binatang? Apakah tanggungjawab kita dan ke manakah akhir hidup kita? Semua pertanyaan itu akan terjawab secara tepat setelah kita mengenal Allah sebagai Rabb dan Ilah Yang Mencipta, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan dan seterusnya. Dengan mengenal Allah, kita akan mendapatkan banyak keuntungan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu sangat perlu kita mengenal Allah. Selain itu, perlunya mengenal Allah karena begitu banyak dalil yang terhampar di sekitar kita yang tidak mungkin dinafikan baik secara akal sehat ataupun dengan berbagai pendekatan ilmu. a.
Mengenal Allah hukumnya wajib
Artinya : “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (QS. Muhammad (47) : 19) Ayat diatas mengarahkan kepada kita dengan kalimat "Fa'lam annahu" (ketahuilah oleh mu) bahwasanya tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Apabila Al – Qur’an menggunakan sighah amar (perintah) maka wajib bagi kita menyambut perintah tersebut. Dalam konteks ini, mengetahui atau mengenali Allah (makrifatullah) adalah wajib.
b.
Allah menyatakan bahwa tiada tuhan melainkan Allah.
Artinya : “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali ‘Imran (3) : 18) Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia dan telah mengakui pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah berdiri dengan keadilan. Tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. c.
Allah menjanjikan bagi hamba-Nya yang mengingkari Allah dengan api neraka.
Artinya : “Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah: "Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?" Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu
adalah seburuk-buruknya tempat kembali. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. Al – Hajj (22) : 72 -73) Allah telah menjanjikan mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah dengan api neraka. Karena itu mengenal Allah dengan mentadaburi ayat – ayat-Nya adalah sangat penting dan utama agar selamat dari api neraka. d.
Mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya
Artinya : “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az – Zumar (39) : 67) Orang-orang kafir tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenarnya karena mereka salah dalam mengenal Allah. Ayat ini mengajak kita agar tidak salah mengagungkan terhadap hakikat ketuhanan Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu kita harus shahih dan tepat dalam ma’rifatullah. 1.3
Tema Pembahasan ma’rifatullah Pembahasan mengenai ma’rifatullah adalah berbicara tentang Rabb, Malik, Ilah dan
Asma wa Sifat. Kata Rabb dalam Al – Qur’an berarti bahwa Allah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Kata Malik berarti bahwa Allah sebagai Raja. Kata Ilah mengandung arti bahwa Allah-lah yang paling dicintai, paling ditakuti dan sebagai sumber pengharapan. Dan kalimat Asma wa Sifat menerengkan bahwa dalam mengenai Allah dengan nama – nama dan sifat – sifat-Nya.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ma’rifatullâh (yang benar) adalah mengenal zat-Nya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mengenal perbuatanperbuatan-Nya.” (Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ (17/104)). 1.4
Manfaat Ma’rifatullah Hasil dari pengenalan kepada Allah adalah bertambahnya iman dan takwa sehingga
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat. Dengan mengenal Allah maka kita akan mendapatkan beberapa manfaat seperti : a.
Al Hurriyah (Kebebasan) Mengenal Allah berarti menyerahkan dirinya dan semua urusannya kepada Allah. Dengan
mengenal Allah akan timbul keyakinan kepada taqdir dan menjadikan diri
kita hanya
bergantung kepada sang Pencipta saja. Dengan demikian kita menjadi
bebas dari segala tuntutan hawa nafsu yang dapat membelenggu diri kita dan juga lepas dari segala ikatan yang membuat kita sangat bergantung dan menjadi tidak aman.
Artinya : “Orang – orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al – An’aam (6) : 82) b.
Thuma’ninah (Memberikan ketenangan) Mengenal Allah akan menuntut kita untuk ingat kepadaNya melalui dzikir dan
menjalankan ibadah. Ketenangan akan diperoleh dengan mengingatNya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang orang-orang yang beriman akan mendapatkan ketentraman hati. Bahkan dalam surat yang lain disebutkan bahwa hanya dengan mengenal Allah, hati menjadi tenang. Cara lain selain mengingat Allah, hati belum tentu tenang dan tentram. Dengan demikian kepentingan kita mengenal Allah adalah untuk kepentingan kita sendiri.
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar – Ra’d (13) : 28) c.
Al Barakat (Keberkahan) Allah akan melimpahkan keberkahan kepada manusia yang beriman dan bertaqwa, ini merupakan janji Allah. Iman dan taqwa hanya diperoleh dari pengenalan dan pemahaman kita kepada Allah dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Artinya : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka
Kami siksa mereka
disebabkan
perbuatannya.” (QS. Al – A’raaf (7) : 96) d.
Al Hayatul Thayibah (kehidupan yang baik) Kehidupan yang baik untuk diukur dari materi. Banyak mereka yang mempunyai kecukupan dan kelebihan materi tetapi tidak mendapatkan kehidupan yang baik. Hidup mereka susah, tidak tenang, tidak tentram, gelisah dan merasakan kekurangan terus menerus. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang tenang walaupun tidak mempunyai kecukupan materi, kita mempunyai kedamaian hati. Dapat mengatasi berbagai masalah kehidupan manusia dan dunia dengan iman dan amal shaleh.
Artinya :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An – Nahl (16) : 97) e.
Al Jannah (Syurga) Kepentingan mengenal Allah juga akan mengantarkan kita ke surga. Mengimani Allah mesti diikuti dengan melaksanakan amal shaleh. Misalnya kita telah mengenal Allah tentang berbagai kebaikanNya yang diberikan kepada manusia seperti rezki, kesehatan, kehidupan, anak, pekerjaan, makan, minum dan banyak lagi kebaikan Allah lainnya. Dengan mengenal kebaikan Allah maka sangat tidak wajar kita tidak berterima kasih dan tidak bersyukur kepada Allah, oleh karena itu rasa syukur kita perlu diwujudkan dalam amal shaleh dan ibadah.
Artinya : “Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus (10) : 25 – 26)
f.
Nardhatillah (Keridhaan Allah) Seorang yang mengenal Allah akan selalu mengharap ridha-Nya dalam setiap perbuatannya, dalam perjalanan hidupnya ia tidak akan berbuat sesuatu kecuali bila hal itu diridhai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lain halnya dengan orang yang tidak mengenal Allah. Ia berbuat berdasarkan kemauan syahwat dan kehendak hawa nafsunya. Jadilah hawa nafsunya Tuhan selain Allah, yang memerintah dan melarangnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan ridha kepada kita apabila kita ridha menjalankan semua perintah-Nya. Salah satu bentuk keridhaan Allah kepada hamba-Nya adalah dengan memberikan tiket ke syurga-Nya.
Artinya : “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al – Bayyinah (98) : 8)
BAB II CARA MENUJU MA’RIFATULLAH (ATHTHARIIQ ILA MA’RIFATILLAH)
2.1 Memahami bahwa Jalan mengenal Allah adalah melalui ayat-ayat-Nya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menampilkan wujud Dzatnya Yang Maha Hebat di hadapan makhluk-makhluknya secara langsung dan dapat dilihat seperti kita melihat sesama makhluk. Maka, segala sesuatu yang tampak dan dapat dilihat dengan mata kepala kita, pasti itu bukan tuhan. Allah menganjurkan kepada manusia untuk mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam supaya berpikir tentang makhluk-makhluk Allah. Jangan sekali-kali berpikir tentang Dzat Allah. Makhluk-makhluk yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan Allah inilah yang disarankan di dalam banyak ayat Al-Qur’an agar menjadi bahan berpikir tentang kebesaran Allah. 2.2 Ayat-ayat Ayat-ayat Allah yang bisa kita saksikan ada dua macam: a. Ayat Allah yang ada di Al-Qur’an (Ayat Qauliyah). b. Ayat Allah yang ada di alam semesta (Ayat Qauniyah). a. Ayat Qauliyah Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek, ajaran-ajaran konsep hidup, peraturan yang lengkap adalah merupakan mu'jizat yang nyata yang menunjukan akan adanya Allah.
Artinya : “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman; sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”.
(QS. At – Tin (95) : 1 – 5) b. Ayat Qauniyah Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah. Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan segala sistem dan peraturan-Nya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan keagungan Penciptanya. Hal tersebut dapat dilihat pada QS. Nuh (41): 53 berikut :
Artinya : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”. (QS. Nuh (41) : 53) Sesungguhnya banyak sekali fenomena – fenomena yang yang menunjukkan kebesaran Allah. Di antara sesuatu yang wajib diterima akal adalah bahwa setiap sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakan. Begitu juga alam semesta ini, tentu ada yang menjadikannya.
Artinya : “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath – Thuur (52) : 35)
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al – Baqarah (2) : 164)
Artinya : “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz – Dzaariyat (51) : 20 – 21) 2.3 Metode Islam Memahami pendekatan dalam mengenal Allah menggunakan metode Islam, diantaranya sebagai berikut : a. Naqli dan Akal Islam menghargai nilai akal yang dimiliki manusia. Karena dengan sarana akal ini, manusia mampu berpikir dan memilih antara yang benar atau salah. Walau begitu, dengan akal semata-mata tanpa panduan dari Pencipta akal, pencapai pemikiran manusia cukup terbatas. Apa lagi jika dicampurkan dengan unsur (anasir) hawa nafsu dan zhan (prasangka). Gabungan antara kemampuan akal dan panduan dari Penciptanya akan menghasilkan pengenalan yang tepat dan mantap terhadap Allah swt. Maka, menjadi satu kesalahan besar apabila manusia tidak menggunakan akalnya untuk berpikir. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya :
Artinya : “Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Katakanlah, “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Yunus (10) : 100-101)
Artinya : “Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.” (QS. Ath-Thalaaq (65): 10)
Artinya : “Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk (67): 10) b. Tasdiq (membenarkan) Hasil dari berpikir dan meneliti secara terus menurut pedoman-pedoman yang sewajarnya, akan mencetuskan rasa kebenaran, kehebatan dan keagungan Allah. Boleh jadi ia berbetulan dengan firman Allah di An-Najm (53): 11 yang berbunyi, “Tiadalah hatinya mendustakan (mengingkari) apa-apa yang dilihatnya). Hati mula membenarkan dan akur kepada kebijaksanaan Tuhan.”
Artinya : “ (Yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran (3): 191)
Artinya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai
akal
atau
yang
menggunakan
pendengarannya,
sedang
dia
menyaksikannya.” (QS. Qaf (50) : 37) c. Menghasilkan Iman. Metode pengenalan kepada Allah yang dibawa oleh Islam ini cukup efektif secara berurutan sehingga akhirnya menghasilkan keimanan sejati kepada Allah Azza Wa Jalla. Iman seseorang bisa dikatakan bagus dengan salah satunya beriman kepada Allah. Unsur iman merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. 2.4 Metode Selain Islam Pemikiran berkenaan theologi dan ketuhanan banyak juga dibawa oleh pemikir-pemikir dari penjuru dunia, tetapi tidak berlandaskan kepada metoda yang sebenarnya. Kebanyakannya berlandaskan duga-dugaan, sangka-sangkaan, dan hawa nafsu. Pastinya metoda itu tidak akan sampai kepada tujuan (natijah) yang sebenar karena bayang-bayang khayalan tetap menghantui pemikiran mereka. Ada tuhan angin, tuhan api, tuhan air yang berasingan dengan rupa-rupa yang berbeda seperti yang digambarkan oleh Hindu, Budha, dan seumpamanya. a. Dugaan dan Hawa Nafsu Dua unsur utama dalam metoda mengenal tuhan yang tidak berlandaskan disiplin yang benar adalah sangka-sangkaan dan juga hawa nafsu. Campur tangan dua unsur ini sangat tidak mungkin untuk mencapai natijah yang tepat dan shahih. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya :
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang,” karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.” (QS. Al-Baqarah (2): 55)
Artinya : “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus (10) : 36)
Artinya : “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am (6) : 115) b. Ragu-Ragu Apabila jalan yang dilalui tidak jelas dan tidak tepat, maka hasil yang didapati juga sangat tidak meyakinkan. Mungkin ada hasil yang didapati, tetapi bukan hasil yang sebenarnya. Bagaimanakah kita ingin mengenal Allah tetapi kaidah pengenalan yang kita gunakan tidak menurut neraca dan panduan yang telah ditetapkan oleh Allah. Kadangkala Umar bin Khattab tersenyum sendiri mengenangkan kebodohannya menyembah patung yang
dibuatnya sendiri dari gandum sewaktu jahiliyah. Apabila terasa lapar, dimakannya pujaan itu. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya :
Artinya : “Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al-Qur’an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.” (QS. Al – Hajj (22) : 55)
Artinya : “Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu, ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. An-Nur (24) : 50) c. Berakibat Kufur Semua metoda pengenalan yang tidak berasaskan cara yang dianjurkan oleh Islam, yaitu mengikuti aqli dan naqli, akan membawa ke jalan kekufuran terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kufur secara bahasa berarti menutupi. Sedangkan menurut syara', kufur adalah tidak beriman kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.
BAB III PENGHALANG MENGENAL ALLAH (AL MAWANI’ FII MA’RIFATULLAH)
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al A’raf (7) : 172) Secara fitrah, semua manusia telah bersaksi bahwa Allah adalah tuhannya, jauh sebelum ia dilahirkan. Yang menghalangi manusia dari mengenal Allah adalah sifat-sifat manusia itu sendiri seperti yang Allah sebutkan dalam Qur’an .
Artinya : “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)” (QS. Asy Syam (91) : 8 – 9) Sifat-sifat penghalang mengenal Allah berasal dari 2 sumber: 1. Sifat yang berasal dari penyakit syahwat
-
Fasiq Yaitu sifat seorang muslim yang secara sedar melanggar ajaran Allah (Islam) atau dengan kata lain orang tersebut percaya akan adanya Allah, percaya akan kebenaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW tetapi dalam tindak perbuatannya mereka mengingkari terhadap Allah SWT dan hukumNya, selalu berbuat kerosakan dan kemaksiatan.
Artinya : “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orangorang yang fasik. (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al – Baqarah (2) : 26 – 27)
-
Artinya : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr (59) : 19) Sombong Sombong adalah sifat yang menganggap dirinya lebih dengan meremehkan orang lain. karenanya orang yang takabbur itu seringkali menolak kebenaran, apalagi bila kebenaran itu datang dari orang yang kedudukannya lebih rendah dari dirinya.
Artinya : “Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.” (QS. An Nahl (16) : 22)
Artinya : Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."
(QS. Al A’raf (7) : 12)
Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenangwenang.”
-
(QS. Ghafir / Al – Mu’min (40) : 35) Zalim Zalim adalah meletakkan sesuatu/ perkara bukan pada tempatnya dan zalim adalah perbuatan menyakiti seseorang ataupun diri sendiri.
Artinya : “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS. As Sajdah (32) : 22)
Artinya :
-
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. As Shaff (61) : 7) Dusta Dusta adalah sifat dimana memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan kepala atau mengangguk.
Artinya : “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al Baqarah (2): 10),
-
(QS. Al Mursalat (77) : 10 – 19) Banyak dosa (QS. Al Mutaffiffin: 14)
Hasil dari penyakit syahwat ini akan menyebabkan pelakunya mendapat murka Allah. Penyakit ini dapat ia sembuhkan dengan ber-mujahadah (mendekat) kepada Allah. 2. Sifat yang berasal dari penyakit subhat ()
-
Jahil atau bodoh (QS. Az Zumar (39) : 65) Ragu-ragu (Qs. Al Hajj (22) : 55) Menyimpang (Qs. Al Ma’idah (50) : 13) Lalai (Qs. Al A’raf (7) : 179)
Puncak atau akibat dari penyakit subhat ini sangat fatal. Karena akan menyebabkan pelakunya berada pada kesesatan. Namun, ia dapat kembali kepada jalan yang lurus, saat ia mau diobati dan mengobati jiwanya dengan ilmu.
BAB IV BUKTI KEBERADAAN ALLAH Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan berbagai sarana dan jalan hingga kita dapat memiliki kepercayaan kepada-Nya sampai kadar keyakinan yang ilmiah, sebagaimana keyakinan kita melihat benda yang dapat ditangkap dengan indra. Secara umum, ilmu ada dua katagori, yaitu ilmu dharuri (aksiomatis) dan ilmu nazhari (teoritis). Ilmu dharuri adalah pengetahuan akan sesuatu yang tidak membutuhkan dalil, karena keberadaannya dapat disentuh dengan indra. Ketika kita berada di dpn suatu masjid, kita tidak memerlukan dalil untuk mengatakan bahwa masjid itu ada. Sedangkan ilmu yang hanya dapat diperoleh dengan dalil disebut ilmu nazhari. Misalnya luas segitiga adalah setengah kali alas kali tinggi (1/2 x a x t). Dan sesungguhnya, fenomena alam dan perangkat kehidupan yang dianugerahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dapat menuntun kita pada ma’rifat kepada-Nya dengan ma’rifat yang sangat dekat, sebagaimana ilmu dharuri yang dapat dilihat dengan mata kepala. Berikut ini kita bahas dalil-dalil yang dapat menguatkan keyakinan kita akan keberadaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 1. Ad dalil al fithri (dalil fitrah) Ketika kita menghadapi musibah berat yang tak mampu kita hadapi, spontan kita akan meminta perlindungan dan pertolongan kepada “kekuatan ghaib” di balik alam ini. Inilah ‘fitrah imaniah’ (karakter dasar keimanan) yang pasti muncul pada saat-saat seseorang tidak sanggup menghadapi ujian duniawi. (lihat QS. Az Zumar ayat 8, Ar Rum ayat 33, An Naml ayat 62, Al Ankabut ayat 65, Lukman ayat 32, An Nahl ayat 53). Dikatakan kepada Rabi’ah al Adawiyah, seorang tokoh muslimah ahli ibadah, bahwa seseorang dapat menunjukkan seribu dalil akan adanya tuhan. Ia tertawa dan berkata, “Satu dalil sudahlah cukup.” “Apa itu ?” tanya orang itu. “Kalau kamu berjalan di tengah padang pasir, lalu kakimu tergelincir dan jatuh ke lubang sebuah sumur hingga tidak bisa keluar darinya, apa yang akan kamu perbuat ?” tanya Rabi’ah. “Kami akan berkata, ya Allah,” jawabnya. “Nah, itulah dalil…,” tegas Rabi’ah. Demikianlah fitrah manusia. Dia memang diciptakan Allah Subahanahu Wa Ta’ala di atas fitrah agama Allah, sehingga keimanan kepada Allah sesungguhnya telah bersemayam dalam hati setiap insan, siapapun orangnya dan yang lahir dari siapapun.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum, 30: 30). Dalil lain yang mendukung (QS. 7:172, 29:61, 43:9, 75:14-15) 2. Ad dalil al hassiy (dalil panca indera) Panca indra manusia diciptakan sebagai alat untuk mengenal alam benda di sekitar kita. Namun apa yang ada pada diri kita itu memiliki banyak sekali keterbatasan. Mata kita misalnya. Ada hal-hal yang sebenarnya ada di dunia ini, tetapi mata tidak mampu melihatnya. Misalnya arus listrik, udara, aroma dan sebagainya. Apa yang kita lihat juga kadang tidak menunjukkan fakta yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan dalam segelas air terlihat patah padahal sebenarnya tidak. Rel kereta api bila kita lihat semakin jauh terlihat bertemu pada satu ujung, padahal tidak demikian faktanya. Lautan terjauh yang kita lihat seolah-olah bertemu dengan ujung dunia, padahal realitanya tidaklah demikian. Keterbatasan indra inilah yang justru menjadi dalil bahwa sesungguhnya di balik dunia yang kita tangkap dengan indra masih terdapat dunia lain. Termasuk di dalamnya adalah dunia ghaib, di mana Allah Subahanahu Wa Ta’ala termasuk bagian darinya. Dengan demikian, barangsiapa mengingkari wujud Allah Subahanahu Wa Ta’ala hanya karena indra tidak menangkapnya, maka ia harus juga mengingkari banyak sekali realita yang ada di dunia ini, yang tidak bisa ditangkap oleh indra manusia. Benarlah apa yang Allah firmankan, “ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al An’am, 6: 103). Dalil lain yang mendukung (QS. 54:1, 17:1, 8:9, 3:125, 36:37-40) 3. Ad dalil al ‘aqli (dalil akal) Akal memiliki keistimewaan berupa kemampuan membuat kesimpulan dari data-data yang tertangkap panca indra kita. Kesimpulan inilah yang akan menghadirkan berbagai hakikat penting yang sangat dibutuhkan manusia dalam beragama. Seorang Arab badui suatu ketika ditanya tentang keberadaan Allah, lalu dia menunjuk seonggok kotoran onta sambil balik bertanya, ‘Tahukah Anda, kotoran apakah itu ?’ ‘Kotoran onta jawabnya,’ jawabnya. Sang badui kemudian bertanya lagi, ‘Apakah Anda melihat ontanya ?” “Tidak”, jawabnya. Sang badui bertanya lagi, ‘Lalu, bagaimana Anda bisa mengetahui bahwa kotoran itu adalah kotoran onta, tanpa Anda tahu ontanya ?” ‘Dengan melihat ciri-cirinya,” jawabnya lagi.
Sang badui kemudian berkata, “Lihatlah ke atas dan lihatlah alam semesta. Jika kotoran onta menunjukkan adanya onta tanpa harus terlihat ontanya, apakah tidak cukup bahwa alam semesta ini menunjukkan adanya pencipta tanpa harus terlihat sang pencipta ? Dialah Allah.” Allah Subahanahu Wa Ta’ala berfirman, “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.” (QS. Ali Imron, 3: 190-191). Dalil lain yang mendukung (QS. 41:53, 27:88, 87:1-4) 4. Dalil Naql Pendekatan dalili akal hanya sampai pada kesimpulan akan adanya dzat ghaib yang berada di balik alam semesta ini. Namun siapakah dia? Nash (teks) wahyu Al Quran memperkenalkannya dengan sangat jelas. Ayat-ayat Al Quran telah menunjukkan kepada kita akan keberadaan Sang Maha Pencipta. Ayat-ayat yang terangkai dalam Al Quran merupakan untaian mukjizat untuk menunjukkan keberadaan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam beberapa ayat-Nya berikut ini ; “Sesungguhnya tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia sengaja menciptakan Arsy. Dia tutup malam dengan siang yang mengikutinya dengan cepat. Matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah, mencipta dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Berkat Allah, tuhan semesta alam.” (QS. Al A’raf, 7: 54). “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha, 20: 14) “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada tuhan selain Dia. Raja yang Mahas Suci, yang Maha Sejahtera, yang mengkaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Esa, yang memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang Membentuk rupa, yang Mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan apa yang di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Hasyr: 22-24). Dalil lain yang mendukung (QS. 4:82, 17:88, 30:1-3, 15:9, 47:4)
5. Ad dalil at tarikhi (dalil sejarah) Peninggalan situs-situs sejarah yang masih dapat kita saksikan hingga kini, menunjukkan adanya kepercayaan umat manusia akan keberadaan Tuhannya. Ritual haji di depan Ka’bah oleh musyrikin Arab, candi Borobudur di Indonesia, Pagoda Songkla dan lainnya menunjukkan pengakuan manusia akan adanya Sang Pencipta. “Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS. Muhammad,47: 10). Dalil lain yang mendukung (QS. 3:137, 7:176, 12:111, 11:120)
BAB V MENGESAKAN ALLAH (TAUHIDULLAH)
5.1
Tauhidullah Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat tentang keberadaan Allah, (Rabb)
yang disifati dengan semua sifat kesempurnaan dan sifat kemuliaan, satu-satunya yang berhak diibadahi. Iman kepada Allah merupakan asas dan inti ‘aqidah Islamiyah. Iman kepada Allah meliputi beberapa cakupan, diantaranya; Iman terhadap Rububiyah-Nya, Iman terhadap Mulkiyah-Nya, Iman terhadap Uluhiyah-Nya, Iman terhadap Asma wa Sifat-Nya. 5.1.1 Tauhid Rububiyatullah Yaitu mentauhidkan segala apa yang dilakukan Allah, baik mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, serta bahwasanya Dia adalah Raja, Penguasa, dan Yang mengatur segala sesuatu. Allah Sebagai AlKhaliq Kandungan Tauhid Rububiyah
Allah Sebagai ArRaziq Allah Sebagai AlMudabbir
Dalil-dalil yang menunjukkan pembagian Tauhid Rububiyah -
QS. Al-Fatihah : 1
-
QS Al-A’raf : 54
-
QS Ar-Ra’d : 16
-
QS Al-Mu’minum : 84-89
-
QS Ghofir : 64
-
QS Az-Zumar : 62 Penetapan Tauhid Rububiyah saja tidak menjadikan seseorang masuk, artinya
penetapan keislaman seorang muslim bukan hanya tauhid Rububiyah, karena kaum
Musyrikin pun ternyata menetapkannya, akan tetapi itu tidak menjadikannya sebagian Muslim (lihat QS Luqman : 25) Imam Ibnul Qayyi rahimahullohu ta’ala berkata; “Seandainya keimana kepada tauhid Rububiyah ini saja dapat menyelamatkan, tentunya orang-orang musyrik telah diselamatkan. Akan tetapi urusan yang amat penting dan menjadi penentu adalah keimanan kepada tauhid uluhiyah yang merupakan pembeda antara orang-orang musyrikin dan orang-orang mentauhidkan Allah.
5.1.2 Tauhid Mulkiyatullah Yaitu mentauhidkan (meng-Esa-kan) Allah dalam segala perbuatan-Nya diakherat. Caranya adalah menetapkan keesaan Allah dalam kekuasaan-Nya di akhirat, terutama kekuasaan-Nya dalam menegakkan hari akhir, menyelesaikan segala urusan, menegakkan keadilan dan membalas semua perbuatan. Tauhid mulkiyah mencakup seluruh keesaan Allah dalam segala perbuatannya di akhirat. Menegakkan dan menguasai hari pembalasan Tidak ada keraguan bahwa Allah akan menegakkan hari kiamat, memusnahkan dunia dan membangkitkan kembali manusia. Pada hari itu, kekuasaan sepenuhnya di tangan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Furqan ayat 26: “Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu), satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir.” Serta disebutkan pula dalam Al-Quran surat Ghafir ayat 16-17: “(Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur), tiada suatu pun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” Menyelesaikan semua urusan Tentang keesaan Allah dalam hal kembalinya segala urusan untuk diputuskan, disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 210: “Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.”
Serta yang utama adalah memutuskan perselisihan dalam perkara agama, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Jatsiyah ayat 17: “Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama), maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya.” Menegakkan keadilan, membuat perhitungan dan membalas semua perbuatan Tentang keesaan Allah dalam memberi hukuman dan perhitungan, disebutkan dalam AlQuran surat Al-An’am ayat 62: “Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum hanya kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” Tentang keesaan-Nya dalam memberi balasan, pahala dan pertolongan, disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 44: “Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.” Konsekuensi Tanda seseorang beriman kepada tauhid mulkiyah adalah ikhlas mengharapkan ampunan dan balasan hanya kepada Allah. Sebab tidak ada yang dapat memberikan kebaikan dan keselamatan di akhirat kecuali Allah. Serta tidak ada satupun makhluk yang mampu memberi pertolongan tanpa izin dari-Nya. Adapun di antara dalil-dalilnya yaitu :
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai (Nya).” (QS. An-Najm : 24-26)
“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (QS. Al-Insan : 9-10)
Kedudukan tauhid mulkiyah dalam Islam Tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar. Semua cabang keimanan berasal dari tauhid dan kembali menuju kepadanya. Tauhid diibaratkan batang utama sebuah pohon dimana cabang-cabang lain berasal darinya. Dalam sebuah hadits disebutkan yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah: “Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Cabang paling utamanya adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” Setiap bagian tauhid memiliki kedudukan masing-masing termasuk tauhid mulkiyah. Dimana tauhid asma wa sifat sebagai latar belakang penciptaan manusia, tauhid rububiyah sebagai modal bagi manusia, tauhid uluhiyah sebagai tugas bagi manusia sedangkan tauhid mulkiyah sebagai balasan bagi manusia. Dalil yang menunjukkan tentang balasan bagi orang yang bertauhid dan tidak, contohnya :
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (surga). Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.” (QS. Al-Maidah : 9-10)
“Barangsiapa yang mati tanpa menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka ia wajib masuk surga. Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka ia wajib masuk neraka.” (HR. Muslim dari Jabir)
5.1.3 Tauhid Uluhiyahtullah Yakni mentauhidkan (meng-Esa-kan) Allah dengan segala bentuk ibadah yang nampak maupun tersembunyi, dengan ucapan maupun amalan, serta meniadakan segala bentuk ibadah kepada selain Allah. Pentingnya (Kedudukan) Beriman Kepada Tauhid Uluhiyah -
Jin dan manusia diciptakan untuk merealisasikan tauhid Uluhiyah. (QS Adz-Dzariyat: 56)
-
Para rasul dan kitab-kitab diturunkan untuk menyeru kepada tauhid Uluhiyah. (QS AnNahl : 36)
-
Tauhid Uluhiyah pembeda antara orang-orang yang bertauhid dan orang musyrik. (QS Az-Zukhruf : 9)
-
Sebab inti permusuhan antara para Rasul dengan kaumnya adalah dalam hal Tauhid Uluhiyah.
Mengenal Kalimat Laa ilaahaillallah Makna Kalimat Yakni tiada tuhan yang berhak disembah (diibadahi) kecuali Allah. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa meninggal dunia dan dia mengerti bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, niscaya ia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
Rukun-rukun Kalimat Laa ilaahaillallah memiliki 2 rukun yaitu An-Nafyu (peniadaan) dan Al-Itsbat (penetapan). -
An-Nafyu Yakni menafikan (meniadakan) ibadah kepada selain Allah dan pembatalan kemusyrikan serta kewajiban mengingkari segala apa disembah selain Allah.
-
Al-Itsbat Yakni menetapkan bahwa ibadah itu hanya ditujukan kepada Allah semata, serta meng-Esa-kan-Nya dalam segala bentuk dan macam ibadah. (lihat QS Al-Baqarah : 256)
Syarat-syarat Kalimat Laa ilaahaillallah memiliki 7 syarat yaitu ilmu, yakin, inqiyad (patuh), shidq (jujur), ikhlas, dan mahabbah (cinta). -
Ilmu, yakni mengetahui makna kalimah ‘Laa ilaahaillallah.’ (QS Muhammad : 19]
-
Yakin, hendaknya orang-orang yang mengucapkannya yakin. (QS Al-Hujarat:15)
-
Qabul (menerima), apa yang ditunjukkan oleh makna kalimat tersebut. (QS AsShaffat : 35-36)
-
Inqiyad (patuh) terhadap makna yang ditunjukkannya. (QS Luqman : 22)
-
Shidq (jujur), hendaknya orang-orang yang mengucapkan kalimat ini benar-benar jujur dari dalam hatinya.
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan Yang Berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya secara jujur dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkan dirinya dari Neraka.” (HR BukhariMuslim) -
Ikhlas, membersihkan amal dari segala debu syirik yaitu dengan cara tidak mengucapkan kalimat tersebut karena tujuan duniawi. “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’ (dengan ikhlas dari hatinya) karena mengrapkan (pahala melihat) wajah Allah.” (HR Bukhari-Muslim)
-
Mahabbah (cinta), cinta terhadap kalimat tersebut dan memahami isinya. (QS AlBaqarah : 256)
Pengertian Ibadah Yakni sebutan nama yang mencakup apa-apa yang dicintai dan diridhoi Allah, baik yang dzohir ataupun yang bathin. Ibadah adalah perkara taufiqiyah, artinya tidak ada suatu bentuk ibadahpun yang disyariatkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan apa yang tidak disyariatkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak). Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan suatu amalan yang tidak atas perintah kami, maka ia ditolak.” (HR Bukhari-Muslim) Ibadah digolongkan menjadi 3 bagian ibadah yakni, ibadah hati, ibadah lisan serta ibadah anggota badan. Contoh Ibadah Hati, seperti -
Khauf (takut)
-
Raja’ (berharap)
-
Tawakkal, berpasrah kepada Allah
-
Raghbah, berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu yang ia cintai
-
Rahbah, perasaan cemas yang menimbulkan keinginan untuk melarikan diri dari yang ditakutinya. Ini adalah rasa yang ditakuti dengan perbuatan.
-
Khsyu’
-
Dan lain-lain
Contoh Ibadah Lisan, seperti
-
Takbir
-
Tasbih
-
Tahmid
-
Tahlil
-
Dan lain-lain
Contoh Ibadah Anggota Badan -
Shalat
-
Puasa
-
Zakat
-
Haji
-
Dan lain-lain
Paham-paham yang salah dalam masalah Ibadah Tafrith Yakni yang mengurangi masalah ibadah serta meremehkan pelaksanaanya. Ifrath Yakni berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai batas ekstrim, yang sunah mereka angkat sampai wajib, sebagaimana yang mubah sampai menjadi haram.
Syarat diterimanya amal ibadah terdapat 2 yaitu ikhlasunniat (niat yang ikhlas) dan Ittiba’ u Rasul (mengikuti contoh dari Rasulullah). Tiga pilar sentral landasan dalam ibadah meliputi Khauf/takut (QS 17 : 57), raja’/berharap (QS 17 : 57) dan Mahabbah/Cinta (QS Al-Baqarah : 165, QS 5 : 54)
5.1.4 Tauhid Asma wa Sifat Yakni mentauhidkan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya tanpa tahrif, ta’thil, tamsil, takyif dan tafwidh.
Tahrif, merubah dari makna yang sebenarnya tentang nama dan sifat Allah.
Ta’thil, meniadakan seluruh atau sebagian dari nama-nama dan sifat Allah
Tamsil, menyamakan atau menyerupakan nama-nama dan sifat Allah dengan makhluknya.
Takyif, menanyakan sifat-sifat Allah (kaifa) yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Tafwidh, menyerahkan nama dan sifat Allah seluruhnya kepada Allah.
Kaidah-kaidah umum dalam memahami tauhid Asma’ wa Sifat meliputi : -
Wajibnya beriman dengan seluruh nama-nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih.
-
Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat Allah.
-
Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut, seperti bagaimana Tangan Allah, Wajah Allah, dan lain-lain.
Mengenal pembagian sifat-sifat Allah Pertama, Sifat Tsubutiyah Yakni setiap sifat yang ditetapkan Allah bagi Diri-Nya didalam Al-Qur’an dan AsSunnah. Semua sifat ini adalah sifat kesempurnaan, seperti Hayaah (Hidup), Ilmu (Mengetahui), Nuzul (Turun), Qudrah (Berkuasa), dan sifat lainnya yang merupakan sifat kesempurnaan Allah. Sifat Tsubutiyah tergolong menjadi dua macam; -
Sifat Dzaatiyah, yakni sifat yang senantiasa dan selamanya tetap ada pada diri Allah Subhanahu wa Ta’ala.
-
Sifat Fi’liyah, yakni sifat yang terikat dengan masyi’ah (kehendak Allah), seperti Istiwa, Nuzul.
Kedua, Sifat Salbiyah Yakni setiap sifat yang dinafikan (ditolak) Allah bagi Diri-Nya melalui Al-Qur’an dan AsSunah. Dan seluruh ini adalah sifat kekurangan dan tercela bagi Allah, seperti Maut, Naum, Jahl, Nis-yan, ‘Ajz, Ta’ab, dan sifat-sifat lainnya yang tertolak bagi Allah.
5.2
Tauhidul ‘Ibadah Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia,
karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal, menurut tuntunan Islam, tauhidullah yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagian yang hakiki di alam akhirat nanti. Dan amal yang tidak dilandasi dengan tauhid akan sia-sia, tidak dikabulkan oleh Allah dan lebih dari itu, amal yang dilandasi dengan syirik akan menyengsarakannya didunia dan diakhirat. Sebagaimana Allah berfirman : “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada (nabi-nabi) sebelum kamu, jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” [QS Az-Zumar: 65-66] Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud (keberadaan)Nya dan wahdaniyah (ke-Esa-an)Nya dan bukan pula sekedar mengenai ‘Asma dan sifatNya. Iblis mempercayai bahwa Tuhannya adalah Allah, bahkan mengakui ke-Esa-an dan ke Mahakuasaan Allah dengan permintaanya kepada Allah melalui ‘Asma dan sifat-Nya. Kaum Jahiliah Kuno yang dihadapi Rasulullah juga meyakini bahwa Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan Penguasa alam semesa ini adalah Allah. Sebagaimana Allah berfirman : “Dan sesunggunya jika kamu tanyakan kepada mereka; ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab ‘Allah’” [QS Lukman: 25] Namun kepercayaan mereka dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagai makhluk yang berpredikat Muslim, yang beriman kepada Allah. Dari sini lalu timbullah pertanyaan, “Apakah hakikat tauhid itu?” Hakikat Tauhid, ialah pemurnian ibadah kepada Allah (tauhidul ‘ibadah), yaitu; menghambakan diri hanya kepada Allah secara murni dan konsekuen, dengan menaati segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya dengan penuh rendah diri, cinta, harap, dan takut kepadaNya. Untuk inilah sebenarnya manusia diciptakan. Dan sesungguhnya misi para Rasul adalah untuk menegakkan tauhid. Mulai Rasul yang pertama, Nabi Nuh, hingga Rasul terakhirm Nabi Muhammad. Sebagaimana firman Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.” [QS Adz-Dzariyat: 56]
“Dan sesungguhnya Kamu telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaugat.” [QS An-Nahl: 36] Tauhidul ‘ibadah adalah ikhlasul ibadah (memurnikan ibadah) hanya dengan untuk Allah saja. Peng-Esa-an Allah dan ikhlasul ibadah hanya akan tercapai dan benar apabila memenuhi konsekuensi kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” yaitu menolak segala bentuk ilah dan hanya mengakui Allah sebagai satu-satunya ilah, tiada sekutu bagi-Nya. Karena itu tauhid ‘ibadah baru akan tercapai apabila dilakukan dengan dua sayapnya yaitu :
Mengingkari Thaghut Kata thaghut diambil dari thagha yang berarti melampui batas. Menurut Imam Ibnu
Taimiyah, thabhut segala sesuatu yang disikapi sebagaimana sikapnya kepada Allah, baik berupa jin, manusia, maupun makhluk lainnya. Demikian itu karena sesungguhnya yang berhak mendapatkan peribadatan hanyalah Allah. Ketika ada dzat lain yang mendapat perlakuan sebagaimana Tuhan atas permintaanya atau diperlakukan oleh pihak lain padahal tidak pantas mendapat perlakuan demikian, maka itulah perlakuan yang melampaui batas hingga ia disebut thaghut. Untuk menjamin kemurnian tauhidul ‘ibadah, penolakan terhadap thaghut harus dilakukan secara preventif-antisipatif sehingga setiap muslim diperintahkan untuk menjauhi thaghut agar tidak terlibat dalam kemusyrikan, betapa pun kecil dan samar. Diantara karakteristik orang yang bertaqwa adalah menjauhi thaghut. Sebagaimana Allah berfirman: “Diatas mereka ada lapisan-lapisan dari api dan dibawahnya juga disediakan lapisanlapisan yang disediakan bagi mereka. Demikianlah Allah mengancam hamba-hamba-Nya (dengan azab itu). “Wahai hamba-hamba-Ku, maka bertakwalah kepada-Ku. {16} Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat kabar gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku. {17} (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat. {18}” [QS Az-Zumar: 16-18] Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa kemusyrikan itu lebih tersembunyi disbanding bekas tapak kaki seekor semut hitam diatas batu karang dikegelapan malam. (HR. Ahmad)
Iman Kepada Allah Diatas penolakannya terhadap thaghut itu, manusia harus membangun imannya
kepada Allah. Demikian itu karena apabila ia hanya menolak tuhan-tuhan tapi tidak percaya kepada Tuhan yang satu, pada saat itu ia disebut atheis. Saat itu ia telah mempertuhankan dirinya sendiri, berarti ia telah thaghut (melampaui batas) dan inilah yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an. “Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, ia memandang dirinya serba cukup.” [QS Al-‘Alaq : 6-7] Iman yang hanya diberikan kepada Allah haruslah diwujudkan dalam bentuk ibadah (penghambaan) dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Misi pembebasan manusia dari pengambaan atas sesama (makhluk) kepada penghambaan Allah inilah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. “Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’, kemudian diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah da nada ppula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [QS An-Nahl: 36]
Dengan dua sayap tauhid inilah, pemurnian ibadah hanya kepada Allah dapat dicapai, dengannya pula seseorang disebut telah berpegang pada tali yang kokoh. “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah : 256]
5.3
Akhtar Asy-Syrik (Bahaya Syirik) Syirik adalah itikad ataupun perbuatan yang menyamakan sesuatu selain Allah dan
disandarkan pada Allah dalam hal rububiyyah dan uluhiyyah.
Thaghut Al-Allamah Ibnu Qayyim telah mendefinisikan Thaghut secara menyeluruh, dia berkata:
Thaghut adalah segala apa saja yang disikapi seorang hamba dengan melampaui batas padanya, baik dalam bentuk sesembahan, atau yang diikuti, atau yang ditaati. Thaghut adalah segala sesuatu yang diabdi selain Allah dan dia ridho diibadahi.
Artinya :
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).” (QS. Al – Alaq (96) : 6 – 8) Macam – macam thaghut 1.
Syetan (QS. Yaasiin (36) : 60, An –Nisaa (4) : 118, Ibrahim (14) : 22)
2.
Pemerintah Zalim (QS. Al – Ma’idah (5) : 44, 45, 47)
3.
Hukum Jahiliyah (QS. An – Nisaa (4) : 60, Al – Ma’idah (5) : 50)
4.
Dukun dan tukang sihir (QS. Al – Jin (72) : 6, Al – Baqarah (2) : 102)
5.
Berhala (QS. An – Nisaa (4) : 117, Ibrahim (14) : 35-36)
Bahaya syirik 1.
Kedzaliman yang besar (QS. Luqman (31) : 13)
2.
Tidak mendapat ampunan (QS. An – Nisaa (4) : 48)
3.
Kesesatan yang jauh (QS. An – Nisaa (4) : 60 & 116)
4.
Diharamkan surga (QS. Al – Ma’idah (5) : 72)
5.
Masuk neraka (QS. Al – Ma’idah (5) : 72)
6.
Dihapuskan amal (QS. Az – Zumar (39) : 65, Al – An’am (6) : 88)
REFERENSI : 1.
Materi akidah Islamiyah PPM Daarut Tauhiid oleh Abu Nida’ Mardais Al – Hilali
2.
Kitab Tauhid Karangan Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab
3.
Dakwatuna.com.
2008.
Ma’rifatullah
bagian
http://www.dakwatuna.com/2008/03/22/443/marifatullah-bagian-2/#ixzz3r3fxuOj0
2. .
Diakses : 07-11-2015
4.
Al-Qur’an
Sunnah.
2015.Kufur.http://www.alquran-sunnah.com/audio-kajian/hadits-
akhlaq/58-tauhid-3/bab-i/627-13-kufur-definisi-dan-jenisnya. Diakses: 07-11-2015
5.
dll