1
BAB I PENGANTAR A.
Latar Belakang “Sementara itu, Ketua Panitia PRJ Kemayoran Murdaya Poo menjelaskan, PRJ Kemayoran adalah ajang promosi industri kreatif yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil menengah, BUMN, pemerintah daerah, seniman, dan budayawan. Dengan demikian, ajang ini turut mendukung sektor riil, industri kreatif, dan pariwisata sehingga memperluas kesempatan kerja dan peningkatan ekonomi” 1 Demikian sebuah koran memberitakan digelarnya Pekan Raya Jakarta
yang digelar pada 6 Juni sampai 6 Juli 2014. Tahun ini acara tersebut untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Jakarta yang ke-487. Pemerintah bekerja sama dengan swasta menggelar pesta rakyat tersebut selain sebagai agenda tahunan juga untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Tahun ini, penyelenggara berharap Pekan Raya Jakarta dikunjungi 5 juta orang dengan transaksi 5 triliun. Agenda tahunan serupa Pekan Raya Jakarta yang marak diberitakan di berbagai media masa beberapa minggu terakhir bukanlah hal baru. Pada tahun 1920-an, Pasar Gambir digelar untuk memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina menyediakan beraneka ragam hiburan. Ribuan orang dari berbagai daerah mengunjungi Pasar Gambir yang juga menjadi bagian dari atraksi wisata tersebut.2
1
Kompas, Selasa, 10 Juni 2014, hlm. 27.
2
Pandji Poestaka, No. 36, Th. II, 4 September 1924, hlm. 725-728.
2
Sejak awal, kegiatan perjalanan untuk tujuan wisata telah menjadi kebutuhan setiap orang. Semua orang melakukan bermacam-macam jenis wisata, meskipun tidak semua perjalanan yang dilakukan tergolong perjalanan wisata. Raja dan pembesar kerajaan adalah orang yang sering berwisata karena posisi tinggi mereka. Mereka sering melakukan kegiatan perjalanan karena memiliki kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan kekuasaan mereka pada suatu wilayah. Para penguasa melakukan tedhakan ke daerah-daerah kekuasaan mereka untuk menunjukkan status kebesaran. Sebagai contoh, Hayam Wuruk pernah melakukan perjalanan mengelilingi wilayah kekuasaanya di abad ke-14. Ia ditemani sejumlah pengiring melakukan perburuan, kunjungan ke desa-desa, persinggahan di biara, percakapan metafisik dengan resi-resi, dan berbagai kegiatan lainnya. 3 Ketika ada acara-acara tertentu raja juga diundang untuk hadir, seperti ketika seorang rakyat Solo panen buah-buahan, Raja Pakubuwono X diundang untuk hadir. 4 Perjalanan ke hutan untuk berburu binatang juga menjadi kegiatan rekreatif rutin mereka, seperti yang dilakukan oleh para priyayi di Bandung abad ke-19.5
3
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan KerajaanKerajaan Konsentris (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 64. 4
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000), hlm. 383. 5
Rochiati Wiriaatmadja. Dewi Sartika (Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan , 1983), hlm. 35.
3
Akibat kedatangan banyak orang asing ke Indonesia di awal abad 20, pemerintah kolonial melihat adanya peluang ekonomi dari sektor pariwisata. Oleh karena itu, pemerintah bersama swasta mengambil kebijakan membentuk badan resmi yang mengurusi kegiatan wisata pada 1908 di Jakarta bernama Vereeniging Touristen Verkeer. Pemerintah bekerja sama dengan swasta memperbaiki fasilitas penunjang wisata seperti jalan, menambah jumlah penginapan-penginapan, restoran-restoran, selain juga membuka lebih banyak obyek-obyek wisata. Keadaan di atas menjelaskan bahwa di awal abad ke-20, kegiatan wisata seperti sekarang telah marak dilakukan dan diperhitungkan. Fasilitas-fasilitas wisata yang sebelumnya ditujukan kepada wisatawan asing juga diakses oleh priyayi yang merupakan elite bumiputera. Apalagi semenjak meletus Perang Dunia I, elite bumiputera juga dijadikan sasaran wisata karena ketatnya akses ke Indonesia. Lagipula, para elite profesional dan intelektual semakin bertambah jumlahnya sehingga menjadi pasar yang potensial. 6 Kebanyakan elite yang ada di awal ke-20 adalah elite intelektual dan profesional. Kemunculan elite baru adalah akibat meluasnya pendidikan Barat yang mula-mula berkembang di Jawa. Elite bumiputera lama yang tinggal di keraton masih tetap ada, tetapi pertambahannya tidak terlalu besar karena sistemnya yang tertutup. Dari jumlah mereka yang minoritas, sebagian besar priyayi mengelompok di perkotaan Jawa. Kebanyakan dari mereka bekerja menjadi pegawai negeri kolonial, disamping ada pula yang masih setia mengabdi 6
Achmad Sunjayadi, Vereeniging Touristenverkeer Batavia (1908-1942): Awal Mula Turisme di Hindia Belanda (Depok: FIB UI, 2007).
4
kepada keraton. Akibat keberadaan mereka yang mengelompok di perkotaan Jawa, maka dinamika sosial lebih terasa di tempat tersebut. Elite bumiputera yang disebut priyayi (Jawa) atau menak (Sunda) adalah golongan yang berada di atas rakyat jelata karena mampu mengatur, memimpin, dan memberi pengaruh. 7 Darsiti Soeratman mengatakan bahwa priyayi adalah golongan yang sangat mementingkan status. Mulai dari pakaian, makanan, tempat tinggal, hiburan, pergaulan, bahkan kepercayaan mereka sebisa mungkin mencerminkan identitas priyayi. Ketika orang Eropa semakin banyak datang ke Indonesia di akhir abad ke-19, percampuran dengan budaya Eropa semakin kuat. Interaksi dengan orang-orang Eropa memengaruhi berbagai hal dalam gaya hidup elite bumiputera. Keluarga priyayi memiliki gaya hidup sendiri. Priyayi dewasa terutama bagi yang laki-laki masuk dalam kepegawaian negeri bekerja di waktu yang tetap dan mendapatkan gaji yang tetap pula. Mereka mengenal adanya waktu libur, cuti kerja, dan tugas kantor. Tidak hanya dalam kepegawaian negeri, anak-anak mereka yang masuk di sekolah Eropa juga mengenal hari libur. Waktu-waktu tersebut biasanya dimanfaatkan oleh keluarga priyayi untuk keluar berwisata. Ada kalanya wisata juga menjadi salah satu agenda pembelajaran yang ada di sekolahsekolah Eropa, atau agenda organisasi maupun lembaga.
7
Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009), hlm. 31.
5
Dalam bahasa sansekerta, wisata diartikan sebagai perjalanan 8 sehingga arti wisata pada dasarnya memiliki cakupan yang luas. Selanjutnya wisata diartikan sebagai semua kegiatan perjalanan yang dilakukan untuk memuaskan hasrat
ingin
tahu,
mengurangi
ketegangan
pikiran,
beristirahat,
dan
mengembalikan kesegaran pikiran dan jasmani pada alam lingkungan yang berbeda dengan alam lingkungannya sehari-hari.9 Penjelasan mengenai wisata tersebut adalah penjelasan dari kaca mata sosiologi yang berkembang sampai sekarang. Kegiatan wisata elite bumiputera pada seputar periode Perang Dunia banyak dimuat dalam koran, novel, juga foto-foto. Beberapa surat kabar terlihat mempromosikan kegiatan wisata dengan memajang foto obyek wisata di halaman muka edisi-edisinya. Foto-foto tersebut diberi judul “Hindia Tjantik”, “Hindia Molek”, “Hindia Bagoes”, “Pemandangan jang Indah...” dan lain sebagainya. Di dalam cerita atau tulisan seringkali disinggung mengenai gaya elite bumiputera tersebut saat berwisata. Pada saat yang bersamaan, kota-kota di Jawa sebagai tempat bermukimnya sebagian besar priyayi telah berkembang menjadi kota-kota dengan berbagai fasilitas seperti fasilitas transportasi, komunikasi, pendidikan, ekonomi, hiburan, dan sebagainya. Fasilitas tersebut pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan
8
H. Kodhyat, Sejarah Pariwisata dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1996), Hlm 9. 9
James J. Spillane, Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 28-29.
6
orang Eropa. Orang Eropa baik pegawai negeri maupun swasta, mayoritas menempati posisi yang tinggi. Gaji yang diperoleh juga lebih tinggi daripada golongan lain. Itulah mengapa akses terhadap fasilitas-fasilitas banyak dinikmati oleh mereka karena memiliki kemampuan finansial yang cukup. Priyayi adalah golongan bumiputera yang sampai batas tertentu memiliki akses terhadap fasilitas-fasilitas tersebut karena posisi mereka. Pada periode yang sama, ciri-ciri kota tradisional Jawa diantaranya ditandai adannya alun-alun di tengah-tengah kota masih nampak, namun sudah bergeser fungsi. Alun-alun yang semula adalah ruang khusus untuk kepentingan keraton menjadi ruang publik yang terbuka untuk semua kalangan. Di sekeliling alun-alun dibangun kantor-kantor pemerintahan Eropa berhadapan dengan kantor bupati, dan juga fasilitas-fasilitas penunjang kota. Perkembangan tata ruang perkotaan tidak lagi terpaku pada konsep kosmos, namun mengikuti alur jalan raya. Beberapa kota besar di Jawa mendapat status gemeente, dengan telah tersedianya fasilitas-fasilitas yang memadai terutama bagi kalangan orang Eropa. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Magelang mendapat status gemeente lebih awal, sejak 1906. Fasilitas-fasilitas kota tersebut meliputi kantor telefon dan kantor pos, sekolah-sekolah, angkutan umum berupa bus, trem, dan kereta api, bank, toko-toko, bioskop, societeit, dan fasilitas-fasilitas penunjang penting lainnya. Kelengkapan fasilitas perkotaan tersebut turut membentuk gaya hidup penghuni kota. Di kota-kota inilah mula-mula terjadi penetrasi kebudayaan Barat.
7
Secara umum, artinya tidak sebatas di kota-kota saja namun secara keseluruhan, Jawa adalah wilayah yang memiliki daya tarik wisata. Fasilitasfasilitas di kota yang telah memadai menjelaskan hal tersebut. Lebih jauh, di daerah luar perkotaan keadaannya juga menarik. Jawa adalah wilayah dengan keadaan sosial-geografis beraneka ragam. Banyak gunung dan pegunungan, 25 diantaranya adalah gunung api aktif. Di antara gunung-gunung tersebut, menghampar area persawahan dan sungaisungai yang menjadi sumber penghidupan rakyat di pedesaan yang masih menganut ekonomi subsisten. Selain itu, di Jawa tidak ada daerah yang berjarak lebih dari 100 km dari laut sehingga mobilitas dari pedalaman ke pesisir atau sebaliknya menjadi mudah dijangkau oleh masyarakat yang tinggal di wilayah ini. 10 Keadaan Jawa yang berupa dataran tinggi, dataran rendah, serta pesisir membuat Jawa memiliki beragam cuaca dan menjadikannya semakin menarik. Dalam bidang sosial-budaya, Lombard membagi keadaan daerah di Jawa menjadi tiga yaitu Pasundan, Jawa, dan Pesisir.11 Ketiga daerah tersebut berkembang dengan kebudayaan masing-masing. Di daerah-daerah, terutama daerah Jawa pedalaman, sisa-sisa peninggalan Hindu-Budha masih dapat ditemukan, misalnya berupa candi, arca, upacara, dan tari-tarian. Keadaan tersebut juga menjadi keunikan yang menjadi daya tarik Jawa sebagai tempat wisata budaya.
10
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I: Batas-Batas Pembaratan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 21. 11
ibid., hlm. 29.
8
Seperti yang telah dikatakan Murdaya Poo di atas, sektor pariwisata terus diperhatikan dengan digelarnya kegiatan-kegiatan penunjang tertentu karena menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang diperhitungkan. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya pelaku wisata yang potensial akibat kemampuan ekonomi mereka. Pada periode tahun 1920-an sampai 1930-an, elite bumiputera menjadi salah satu sasaran potensial tersebut. Dibangunnya berbagai fasilitas pendukung, pendapatan, dan pergaulan sehari-hari elite bumiputera menjembatani mereka untuk memikirkan mengenai kegiatan wisata. B.
Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menjelaskan kegiatan wisata sebagai salah satu gaya hidup
baru priyayi ketika pengaruh budaya Barat sedang menguat dalam kehidupan masyarakat perkotaan Jawa tahun 1920-an sampai 1930-an. Permasalahan pokok di atas memunculkan beberapa pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian pertama yaitu mengapa priyayi merasa perlu melakukan kegiatan wisata. Kedua, dipertanyakan pula mengenai apa sajakah bentuk-bentuk wisata yang dilakukan oleh elite priyayi sehingga mereka berbeda dengan golongan lain. Selanjutnya, pertanyaan ketiga tentang bagaimana elite melakukan simbolisasi gaya hidup mereka ketika berwisata. Batasan spasial dari penelitian ini mengacu pada aspek geografis, yaitu kota-kota di Pulau Jawa. Kota yang dimaksud meliputi kota gubernemen maupun kota kerajaan. Perkotaan di Jawa dipilih menjadi batasan spasial mengingat kata Wertheim pengaruh Barat mula-mula muncul di wilayah kota-kota di Jawa,
9
sebelum kemudian berkembang ke wilayah lain. Pada saat yang bersamaan, mayoritas priyayi tinggal di perkotaan, sehingga dinamika sosial lebih terasa di tempat tersebut. Batasan temporal penelitian diawali pada tahun 1920, ketika pengaruh Barat semakin berkembang dalam kehidupan sehari-hari kalangan elite priyayi. Pada masa tersebut, akibat telah dibukanya modal asing di Indonesia semakin banyak orang Eropa datang ke Jawa. Selain itu, di saat yang bersamaan telah banyak golongan intelektual dan profesional yang menjadi priyayi baru. Fasilitas kota juga telah memadai, seperti misalnya telah dibangun toko, bank, kantor pos, stasiun, dan sebagainya sehingga mempermudah aktivitas warga kota. Pada awal periode ini terjadi perbaikan kesejahteraan disebabkan meluasnya lapangan pekerjaan seperti dalam bidang industri, perkebunan, dan pemerintahan. Akhir periode penelitian adalah masa-masa paska krisis ekonomi. Terjadi peningkatan jumlah pengangguran di berbagai sektor pekerjaan pada masa krisis. Keadaan ekonomi sedemikian rupa tentu saja memengaruhi gaya hidup priyayi. Oleh karena itu, batasan temporal dipilih agar dapat melihat adanya dinamika dalam kehidupan priyayi antara tahun 1920-an sampai 1930-an . C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bermaksud mendeskripsikan sikap elite priyayi Jawa dalam
merespon kebudayaan Barat melalui gaya wisata mereka saat menguatnya pengaruh Barat di Jawa tahun 1920-an sampai 1930-an. Tujuan tersebut dijawab dari alasan mereka merasa perlu melakukan kegiatan wisata yang sebagaimana
10
mereka pilih. Dilihat dari gaya wisata dan jenis wisata mereka, diharapkan semakin jelas perbedaan gaya hidup mereka dengan rakyat kebanyakan. Dalam tujuan historiografis penelitian ini bermaksud merekonstruksi gaya hidup berwisata elite yang selama ini belum banyak dikerjakan. Penelitian ini penting karena mengangkat permasalahan berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Kebanyakan penelitian sebelumnya menjelaskan gaya hidup elite tanpa melihat gaya wisata mereka.12 Sementara penelitian lainnya menjelaskan kegiatan wisata tanpa menitikberatkan subjek pada elite priyayi. 13 Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian sejarah kebudayaan, khususnya mengenai aktivitas wisata sebagai gaya hidup baru kalangan elite priyayi di Jawa tahun 1920-an sampai 1930-an. D.
Kerangka Konseptual Konsep elite memiliki batasan luas. Sartono Kartodirdjo menjelaskan
bahwa elite merupakan golongan sosial terkemuka.14 Oleh karena itu, batasan
12
Misalnya karya Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2009), dan Sartono Kartodirdjo, dkk., Perkembangan Peradaban Priyayi (Yogyakarta: UGM Press, 1987). 13
Misalnya karya Achmad Sunjayadi, Vereeniging Touristenverkeer Batavia (1908-1942): Awal Mula Turisme di Hindia Belanda (Depok: FIB UI, 2007), James J. Spillane, Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya (Yogyakarta: Kanisius, 1989), dan H. Kodhyat, Sejarah Pariwisata dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1996). 14
Sartono Kartodirdjo, Elite dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. xvii.
11
tersebut dapat mewadahi berbagai golongan yang mendapatkan status sosial akibat pencapaian mereka baik dalam bidang agama, ekonomi, maupun politik. Ulama adalah sebutan bagi siapa saja yang memiliki pengetahuan agama sampai suatu ukuran tertentu yang telah umum diterima orang.15 Di Indonesia khususnya Jawa, ulama juga sering disebut dengan istilah kyai. Sebenarnya, kyai juga terdiri dari dua jenis. Pertama, kyai yang menjadi bagian dari birokrasi misalnya menjadi abdi dalem kerajaan, dan kedua, kyai bebas yang mengajar di pesantren. Gaya hidup kyai birokrat tersebut cenderung menyerupai gaya hidup priyayi. 16 Mereka merupakan bagian dari golongan elite Islam. Martabat dan pengaruh ulama dalam masyarakat tergantung dari tingkat kesalehan dan pengabdiannya terhadap ilmu agama. Selayaknya priyayi, mereka juga melakukan cara-cara agar kedudukan dan fungsi mereka terjaga di mata masyarakat, dengan memperdalam ilmu, menjalin hubungan kekerabatan, melalui ikatan perkawinan, dan lain sebagainya. 17 Contoh kelompok elite bumiputera lainnya adalah pengusaha batik Laweyan atau dikenal sebagai Mbok Mase. Mereka memiliki gaya hidup yang cukup berbeda dengan elite keraton, meskipun sebenarnya mereka juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan orang-orang dalam keraton tersebut. 15
Saletore, “Ulama”, dalam Sartono Kartodirdjo, ibid., hlm. 130.
16
Supariadi, Kyai & Priyayi di Masa Transisi (Surakarta: Pustaka Caraka, 2001), hlm. 142. 17
Ibid.
12
Mereka tidak tertarik dengan status kepriyayian yang diberikan, dan memilih mendapatkan status sosial mereka sendiri dari pencapaian dalam usaha batik. Jika dilihat dari kemampuan ekonomi, beberapa dari mereka memiliki kekayaan yang sejajar dengan para priyayi dan bangsawan istana. Kekayaan memiliki sifat paralel dengan status sosial. Oleh karena itu, akibat kekayaan yang dimiliki mereka mengalami peningkatan status sosial. Dalam kaitannya dengan aspek kultural, mereka mengantisipasi gaya hidup priyayi lama di keraton. Perempuan memegang kendali lebih besar dalam perusahaan, dampaknya membuat poligami menjadi hal yang ditolak dalam komunitas ini. 18 Hari J. Benda menyebutkan munculnya elite baru yang memegang kekusaan di dunia Timur, yaitu kaum inteligensia yang terdidik secara Barat. 19 Sebelumnya, di Jawa golongan aristokrat yang berada di keraton juga merupakan elite politik, meskipun pada periode 1920-an dalam beberapa hal mereka berada di bawah pemerintah kolonial. Kaum inteligensia baru yang telah dijelaskan di atas kebanyakan menjadi bagian dari golongan kelas menengah. Henk Schulte Nordholt dalam hipotesis nya mengatakan hal yang berbeda mengenai kemunculan elite baru yang semakin banyak tersebut. Mereka dikatakan lebih bersemangat untuk memperjuangkan gaya hidup daripada hal-hal yang menyangkut nasionalisme. Karena akses
18
Lihat Soedarmono, Mbok Mase: Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20 (Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia, 2006). 19
Harry J. Benda, “Kaum Inteligensia Timur sebagai Golongan Elite Politik”, dalam Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 156.
13
tersebut hanya dapat diperoleh dengan bergabung dalam kerangka pikir sistem kolonial dan berkonsolidasi dengan rezim kolonial, maka mereka tidak begitu tertarik memperjuangkan nasionalisme.20 Leslie Palmier dalam bukunya Social Status and Power in Java, menggolongkan priyayi menjadi priyayi kecil dan priyayi luhur. Priyayi kecil adalah mereka yang berprofesi sebagai pegawai negeri, seperti yang dimaksudkan Benda dan Henk. Sedangkan priyayi luhur adalah mereka keturunan para bupati. Menurut Sartono Kartodirdjo, dkk. dalam buku Perkembangan Peradaban Priyayi, perolehan gelar kepriyayian di awal abad ke-20 yang biasa disebut sebagai priyayi profesional maupun priyayi gubernemen masih erat kaitannya dengan hubungan kekerabatan dengan priyayi lama. Hal ini dikarenakan pada dekade kedua abad 20 akses pendidikan sebagai alat mobilitas sosial menjadi priyayi profesional hanya terbuka bagi golongan atas yang tidak lain adalah golongan priyayi lama. Sementara itu Robert van Niel dalam bukunya Munculnya Elite Modern Indonesia, tidak mempermasalahkan asal usul priyayi. Ia menulis bahwa priyayi adalah mereka yang berada di atas rakyat jelata dalam hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur, dan menuntun akibat posisinya sebagai administratur, pegawai pemerintah, orang berpendidikan, dan lain sebagainya.
20
Henk Schulte Nordholt, “Modernity and Cultural Citizenship in the Netherlands Indies: An Illustrated Hypothesis, dalam Journal of Southeast Asian Studies, 42 (3), Oktober, 2011, hlm. 438.
14
Konsep priyayi dalam penelitian ini menempati arti luas, seperti yang dipakai oleh Robert van Niel dalam bukunya, namun terbatas pada mereka yang tinggal di perkotaan. Dalam penelitian ini tidak dibedakan asal usul priyayi luhur maupun priyayi kecil, mengingat kata Sartono dkk. bahwa unsur pertalian darah tetap menjadi sesuatu yang penting. Pembedaan priyayi cenderung dilihat dari kemampuan finansial akibat profesi dan pendidikan mereka sebagai penentu pilihan gaya hidup mereka. Mengenai konseptualisasi wisata, James J. Spillane dalam bukunya Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya mengatakan bahwa dalam kacamata sosiologi, wisata berarti semua perjalanan untuk memuaskan hasrat ingin tahu, mengurangi ketegangan pikiran, beristirahat, dan mengembalikan kesegaran pikiran dan jasmaninya pada alam lingkungan yang berbeda dengan alam lingkungannya sehari-hari. 21 Dalam buku Vereeniging Touristen Verkeer Batavia, Achmad Sunjayadi menjelaskan konsep wisata pada masa kolonial sebagai perjalanan yang telah direncanakan untuk mengunjungi suatu tempat dengan objek tertentu, dalam waktu sementara, tidak memperoleh keuntungan ekonomis dari kunjungan tersebut, tetapi justru melakukan pengeluaran. 22 Arti wisata dalam Bahasa Sansekerta seperti dikutip oleh Kodhyat adalah perjalanan. 23
21
James J. Spillane, op.cit., hlm. 28-29.
22
Achmad Sunjayadi, Vereeniging Touristenverkeer Batavia (1908-1942): Awal Mula Turisme di Hindia Belanda (Depok: FIB UI, 2007), hlm. xv-xvi. 23
H. Kodhyat, op.cit., hlm 9.
15
Kata wisata dalam penelitian ini mewadahi kata turisme (tourism), tournee, ekskursi (excursie), picknick, tamasya, darmawisata (schoolwandeling), plesir (pleisure, plezier), tedhakan, atau kata-kata lain yang konteksnya kurang lebih sama. Wisata diartikan sebagai segala kegiatan perjalanan sementara di luar rumah dengan berbagai tujuan yang jelas, baik menikmati pemandangan, menambah pengetahuan, mencari pengobatan, dan lain sebagainya, kecuali tujuan mendapatkan keuntungan ekonomis. Berbicara mengenai kota, Restu Gunawan mengatakan bahwa sebuah wilayah dapat berkembang menjadi kota jika terdapat pusat pemerintahan dan lembaga yang lebih tegas, formal, dan jelas batasnya. Kota (town) berkembang menjadi kota besar (city) selain ciri di atas juga memiliki kepadatan bangunan dan penduduk lebih rapat.24 Menurut J. Gonda yang mengacu kepada Bahasa Sansekerta, kota berarti desa yang dipertahankan atau desa sebagai satuan politik.25 Warga kota di dalam benteng kota awal, sadar bahwa memiliki cara hidup berbeda dengan daerah di luarnya, terlindung dari bahaya luar, dan berhubungan satu sama lain. 26
24
Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), hlm. 31. 25
J. Gonda, Sanskrit in Indonesia (New Delhi: International Academy of Indian Culture, 1973), hlm. 480 dalam Abdurrahman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930 (Jakarta: komunitas Bambu, 2008), hlm. 5. 26
Abdurrahman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 5.
16
Di perkotaan tersebutlah mula-mula pembaratan muncul. Empat hal mencolok penanda pembaratan dalam masyarakat menurut Palmier yaitu perkembangan pendidikan, transportasi, komunikasi masa, dan industri. 27 Seperti yang diketahui, sejak Politik Etis dicanangkan, pendidikan mendapat perhatian lebih besar dari pemerintah kolonial. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan dengan sistem pengajaran Eropa, baik sekolah rendah yang diselenggarakan di desa sampai sekolah tinggi di kota. Perkembangan transportasi diantaranya ditandai oleh banyak dibangunnya jalur kereta api dan alat transportasi bermesin lainnya seperti sepeda, motor, mobil, bus, dan pesawat. jalan-jalan di Jawa diperbaiki sebagai prasarana pendukung alat transportasi yang semakin banyak tersebut. Dengan alat-alat transportasi di atas, mobilitas masyarakat semakin cepat dan mudah. Industri juga semakin berkembang, tidak hanya dalam bidang perkebunan, tetapi juga produk sehari-hari seperti industri barang-barang dari besi, batik, kerajinan, makanan, dan kebutuhan sehari-hari lain sebagainya. Industri dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Perkembangan industri tersebut juga mendandai semakin membaiknya kesejahteraan masyarakat yang kemudian mempengaruhi daya beli. Terakhir, pembaratan ditandai dengan perkembangan komunikasi masa seperti radio, surat kabar, telefon, dan telegraf. Radio menjadi mode di kalangan 27
Mengenai empat indikator penanda modernisasi, lihat Leslie Palmier, Indonesia: New Nation and Peoples (London: Themes and Hudson Ltd, 1963), hlm. 122.
17
masyarakat kota pada tahun 1930-an, menjadi sarana penyampai informasi yang cepat. Surat kabar yang telah hadir sebelumnya juga semakin berkembang menjadi Koningin de Aarde (ratu dunia), baik sebagai ruang penyampai informasi maupun penyampai aspirasi publik. Dua benda yang terakhir, telefon dan telegraf memberi kemudahan kepada masyarakat untuk berkomunikasi dari jarak yang jauh dengan cepat. E.
Tinjauan Pustaka Denys Lombard menulis secara singkat di dalam salah satu bagian
bukunya mengenai kegiatan wisata di Indonesia pada masa VOC dan kolonial. 28 Meskipun singkat, ia menyinggung mengenai sebuah buku panduan perjalanan sejak masa VOC. Buku tersebut berisi panduan perjalanan bagi para pegawai yang akan berkunjung ke daerah-daerah jajahan. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga daya tarik wisata di Indonesia, yaitu fenomena alam, cuaca, dan kebudayaan. Akan tetapi ia tidak berbicara banyak mengenai kegiatan wisata tersebut, apalagi tentang wisata yang dilakukan elite priyayi karena buku karangannya berfokus pada permasalahan lain. Pembahasan lebih detail mengenai kegiatan wisata di Indonesia ditulis oleh Achmad Sunjayadi.29 Ia menjelaskan bahwa kegiatan wisata “modern” di Indonesia dimulai sejak awal abad ke-20, ketika dibentuknya VTV (Vereeniging
28
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I: Batas-Batas Pembaratan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). 29
Achmad Sunjayadi, Vereeniging Touristenverkeer Batavia (1908-1942): Awal Mula Turisme di Hindia Belanda (Depok: FIB UI, 2007).
18
Touristenverkeer) pada 1908. Ia menjelaskan mengenai fasilitas-fasilitas wisata yang juga diperbaiki dan diperbanyak untuk para turis asing yang menjadi konsumen utama VTV tersebut. Di dalam tulisannya ia menjelaskan mengenai perubahan kebijakan pemerintah di dalam pengaturan kedatangan orang asing ke Indonesia yang sebelumnya tertutup, menjadi lebih terbuka karena aktivitas turisme mampu menjadi sektor ekonomi baru dan menambah pendapatan negara. Dalam sebuah kalimat, ia mengatakan bahwa turisme dilakukan oleh para golongan priyayi sekitar dekade ketiga abad ke-20 akibat kekacauan perang. Sayangnya, ia tidak menjelaskan mengenai wisatawan lokal utamanya elite priyayi karena ia lebih fokus membahas mengenai aktivitas yang dilakukan oleh VTV bersama wisatawan asing yang datang ke Indonesia. Tidak lagi membahas sejarah lembaga biro wisata, kajian utama penelitian ini adalah kegiatan wisata yang dilakukan priyayi Jawa sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Dalam penelitiannya, Robert van Niel menjelaskan mengenai priyayi. 30 Niel membagi kelas dalam masyarakat Indonesia menjadi dua, yaitu rakyat jelata dan elite atau priyayi yang di dalamnya juga termasuk kaum ningrat. Niel banyak menjelaskan
mengenai
kehidupan
priyayi
profesional-intelektual
dalam
pemerintahan dan organisasi bercorak nasionalisme, namun ia tidak membahas mengenai gaya hidup sehari-hari subyek penelitiannya, apalagi mengenai kegiatan wisata mereka. 30
Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009).
19
Sartono Kartodirdjo, A.S. Sudewo, dan Suhardjo Hatmosuprobo juga sepakat membedakan priyayi ke dalam dua jenis yaitu priyayi Gupernemen dan Kerajaan Jawa, dengan menegaskan bahwa semua gelar kepriyayian masih sangat ditentukan oleh pertalian darah.31 Sartono Kartodirdjo dkk., menjelaskan mengenai pencarian identitas priyayi profesional yang juga masih keturunan dari priyayi luhur keraton. dalam beberapa lembar Sartono Kartodirdjo dkk., menjelaskan mengenai gaya hidup mereka, namun seperti lainnya hanya sedikit membahas mengenai wisata. Menurut para penulis, Priyayi adalah golongan yang cenderung menolak kebiasaan lama karena pengaruh pembaratan dalam kehidupan mereka. Akan tetapi penelitian ini membuktikan bahwa priyayi masih menerima dan melakukan kebiasaan lama, memadukannya dengan kebudayaan baru dengan cara mereka sendiri. Penelitian Djoko Soekiman menjelaskan mengenai pertemuan dua kebudayaan, Indonesia dan Eropa pada masa kolonial.32 Ia menjelaskan mengenai percampuran budaya yang kemudian ia sebut sebagai Kebudayaan Indis. Para pelakunya memiliki gaya hidup yang berbeda dengan kelompok-kelompok sosial lainnya. Ia memaparkan masuknya dua kebudayaan ke dalam tujuh unsur kebudayaan. Ia mencontohkan dengan pemakaian kebaya oleh keluarga Eropa, rumah batu landhuiz yang berhalaman luas, kebiasaan pergi ke soos dan lain
31
Sartono Kartodirdjo, dkk., (Yogyakarta: UGM Press, 1987). 32
Perkembangan
Peradaban
Priyayi
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011).
20
sebagainya. Mereka adalah golongan tingkat atas, salah satunya adalah priyayi. Berbeda dengan penelitian ini, Djoko Soekiman memberi batasan yang lebih luas untuk kaum elite priyayi, dengan memasukkan kaum indo ke dalam golongan ini. Akan tetapi karena cakupan gaya hidupnya yang lebih luas, maka penjelasan mendetail mengenai kegiatan wisata priyayi di Jawa juga tidak banyak disinggung. Rudolf Mrazek menjelaskan proses pembaratan dalam kehidupan masyarakat Indonesia dari sudut pandang pembuatan dan pemakaian barangbarang fisik dengan teknologi Barat.33 Dalam bukunya, diantaranya ia menjelaskan mengenai perkembangan arsitektur, teknologi optik, pakaian, transportasi dan juga alat komunikasi. Ia tidak menaruh perhatian khusus kepada subyek pemakai barang-barang tersebut. Ia menjelaskan pengaruh yang ditimbulkan dari barang-barang tersebut pada kehidupan keseharian masyarakat, tetapi tidak menaruh perhatian mendetail gaya hidup wisata masyarakat itu sendiri. Tulisan W. F. Wertheim mengenai masyarakat Indonesia ketika masamasa transisi menjelaskan berlangsungnya pembaratan dalam masyarakat.34 Ia mengatakan bahwa pendidikan barat yang bermula di perkotaan adalah salah satu pendorong pembaratan di Indonesia sehingga memunculkan priyayi. ia
33
Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006). 34
W. F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
21
menyejajarkan modernisasi dengan westernisasi. Berbeda dengan penelitian ini, penulis tidak bermaksud menyejajarkan modernisasi dengan westernisasi meskipun berangkat pada masalah semakin besarnya pengaruh Barat dalam kehidupan masyarakat Jawa. modernisasi dipahami sebatas sebagai pembaruan khususnya dalam bidang-bidang gaya hidup elite. Lebih jauh, karya ini cenderung lebih cocok disebut sebagai karya bertema sosial daripada kebudayaan, berbeda dengan penelitian ini. Disertasi Mutiah Amini juga membahas mengenai pengaruh budaya barat dalam keluarga elite perkotaan, khususnya yang terjadi di Kota Semarang awal abad ke-20.35
Dengan metode prosopografi,
ia
menjelaskan mengenai
pembentukan identitas baru yang tercermin dari lima keluarga elit Semarang. Tesisnya mengatakan bahwa terbangunnya identitas sebagai keluarga Jawa Semarang yang egaliter, terbuka, dan cair dalam menghadapi pembaratan di Kota Semarang membuktikan bahwa ketika budaya Jawa dihadapkan dengan Barat, budaya Jawa tidak mengalami keterpurukan kultural. Sepakat dengan penelitian tersebut, penelitian ini bermaksud melihat thesis Mutiah Amini dalam kerangka spasial yang lebih luas. Oleh karena itu tulisan ini berbeda karena tidak hanya melihat kondisi tersebut di Kota Semarang, namun di kota-kota di Jawa secara umum dengan metode yang berbeda.
35
Mutiah Amini, “Modernitas dan Perubahan Identitas di Perkotaan: Sejarah Sosial Keluarga Elite Jawa di Semarang pada Awal Abad 20”, Disertasi S3, Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2012.
22
Beberapa skripsi di Jurusan Sejarah UGM juga membahas mengenai pembaratan dan kegiatan pariwisata, namun belum ada yang memiliki kesamaan dengan penelitian ini. 36 Dwi Sumpani Wati meneliti mengenai potensi-potensi wisata yang dimiliki Surakarta, menyangkut juga pengaruh pada perekonomian wilayah itu. Ia mencontohkan tempat-tempat wisata yang biasa dikunjungi seperti Tawangmangu, Taman Sri Wedari, Sekaten, serta societeit bagi golongan tertentu. Ia tidak mempermasalahkan gaya hidup priyayi yang juga menjadi pelakunya. Batasan subyek dalam penelitiannya tidak terletak pada priyayi Jawa, namun semua masyarakat Indonesia yang melakukan perjalanan wisata saat itu. Indri Tri Lestari menulis dalam spasial Magelang dengan permasalahan mengenai bagaimana pengelolaan pariwisata di Magelang, siapa saja pelaku, kapan, dan apa saja objek menarik. Seperti Dwi, ia juga menyebutkan tempattempat wisata yang ada di Magelang, sekaligus akomodasi dan transportasi yang mendukungnya. Ia menanyakan mengenai pelaku wisata, yang terdiri dari kaum Eropa, Pribumi, maupun Tionghoa tanpa menitikberatkan subyek penelitian pada salah satunya. Yeni Rudiastuti membahas mengenai sejarah pariwisata dengan spasial yang lebih luas, yaitu Indonesia pada masa kolonial 1919-1934. Yeni Rudiastuti
36
Lihat Dwi Sumpani Wati, “Pariwisata di Surakarta pada Masa Kolonial Belanda 1900-1942”, Skripsi S1, Jurusaan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta, 2003; Indri Tri Lestari, “Pariwisata di Magelang pada Masa Kolonial 1926-1942”, Skripsi S1, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta, 2010; Yeni Rudiastuti, “Pariwisata di Indonesia pada Masa Kolonial 1919-1934”, Skripsi S1, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta, 2000; dan Anna Mariana, “Sukabumi 1914-1938: Kota Pelesiran Masa Kolonial”, Skripsi S1, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2005.
23
menekankan pembahasan pada potensi wisata, usaha promosi wisata, dan ketersediaan sarana akomodasi serta transportasi pendukungnya. Ia juga menjelaskan berbagai tempat yang biasa dikunjungi wisatawan dengan bermacam fasilitasnya. Terlihat jelas ia membatasi penelitiannya dalam lingkup wisata juga sebagai komoditi ekonomi. Ia pun tidak mempermasalahkan batasan subjek penelitiannya, namun kemudian wisatawan asing lebih banyak disebut. Agak berbeda dengan Ana Mariana, ia melakukan penelitian mengenai pembaratan kota Sukabumi yang kemudian menjadikan Sukabumi sebagai kota plesiran. Berbeda dengan ketiga penelitian sebelumnya, Ana membahas mengenai pengaruh budaya Eropa yang nampak pada fasilitas perkotaan, dan segregasi sosial antara masyarakat Eropa dengan pribumi. Akan tetapi, ia juga lebih fokus pada subyek orang Eropa. Ia menyimpulkan bahwa Sukabumi adalah kota yang dibentuk untuk keperluan orang Belanda. Di Sukabumi banyak didirikan fasilitas untuk bersenang-senang atau pelesir untuk mereka, sedangkan fasilitas untuk kehidupan pribumi kurang. Kartika Rini telah menulis dalam skripsinya mengenai kegiatan mengisi waktu senggang di perkotaan Jawa.37 Ia mengatakan bahwa salah satu kegiatan dalam aktualisasi gaya hidup Barat mengarah ke hal-hal yang rekreatif, misalnya dengan pergi berwisata, berolahraga, dan mengunjungi tempat-tempat hiburan. Kajian tersebut membahas bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang dilakukan oleh masyarakat kolonial urban. Seperti Djoko 37
Kartika Rini, “Leisure Time: Sebuah Kegiatan Mengisi Waktu Senggang Kota-Kota Kolonial di Jawa pada Awal Abad XX”, Skripsi S1, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2012.
24
Soekiman, Kartika Rini menjadikan elite urban sebagai subjek tanpa membedakan etnisitas, kuncinya terletak pada batasan spasial yaitu urban. Pada sisi yang lain, penelitian penulis membahas mengenai permasalahan gaya hidup baru elite priyayi di perkotaan Jawa pada 1920-an dilihat dari kegiatan wisata yang mereka lakukan. Penelitian ini tidak membahas mengenai elite di Jawa lainnya, yang berasal dari bangsa Eropa, Tionghoa, maupun Arab, dan lainnya. Gaya hidup yang akan dibahas dalam penelitian ini khusus pada gaya hidup berwisata yang dilakukan elite bumiputera akibat alasan-alasan tertentu. Seperti beberapa penelitian sebelumnya, dijelaskan mengenai tujuan dan bentuk wisata semata-mata untuk memperkuat penjelasan mengenai kecenderungan kegemaran wisata elite priyayi. penulis tidak bermaksud melihat keuntungan ekonomi yang diperoleh pemerintah dari aktivitas wisata.
Jawa merupakan
spasial yang cukup lebar, dengan demikian penelitian ini akan mengambil beberapa kota sebagai contoh yang diharapkan dapat mewakili gambaran Jawa secara umum. F.
Metode dan Sumber Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode sejarah.
Penggunaan metode dalam penelitian ini dimaksudkan agar penelitian dapat menjadi sebuah penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode sejarah terbagi menjadi lima tahapan. Kelima tahapan tersebut adalah
25
tahap pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi/kritik, interpretasi, dan penulisan.38 Langkah awal dari sebuah penelitian adalah memilih topik penelitian. Topik penelitian yang dipilih adalah sebuah topik sejarah, Artinya subyek yang dibahas adalah manusia, dan memperhatikan ruang lingkup temporal dan spasial tertentu di masa lampau. Priyayi di Jawa menjadi pilihan subyek penelitian, dan tahun 1920-an adalah batasan temporal yang diambil. Kuntowijoyo menyarankan agar dapat mengerjakan penelitian dengan baik, maka topik penelitian sebaiknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan intelektual. 39 Pemilihan topik penelitian juga sesuai dengan pernyataan di atas. Tentunya selain karena alasan kedekatan emosional dan intelektual dari penulis, topik dipilih dengan mempertimbangkan beberapa aspek, meliputi ketersediaan sumber, perhitungan biaya, perhitungan waktu pengerjaan, dan perhitungan-perhitungan lainnya. Maka, melihat beberapa pertimbangan di atas, topik penelitian adalah sebuah topik yang “workable”. Tahapan selanjutnya adalah tahapan heuristik atau pengumpulan sumber. Sumber-sumber penelitian yang dipakai adalah sumber primer dan sumber sekunder baik tertulis maupun tidak tertulis. Keberadaan sumber-sumber penelitian cukup banyak. Sumber primer, yaitu sumber yang sezaman terutama berupa surat kabar, catatan perjalanan, novel, data penduduk, dan foto. Sumber-
38
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005),
hlm. 90. 39
ibid.
26
sumber tersebut diperoleh dari Perpustakaan Nasional, Pusat Studi Kependudukan UGM, Perpustakaan St. Ignatius Kotabaru Yogyakarta, Perpustakaan HB Jassins, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Yogyakarta, Arsip Nasional Republik Indonesia, kitlv.nl, dan delpher.nl. Sumber-sumber surat kabar yang dipakai berupa Pandji Poestaka, Bintang Hindia, Poesaka, Poestaka Timoer, SinPo, Taman Kanak-Kanak, Indische Courant, dan Bataviaasch Niewsblad. Selain itu juga dipakai novel sezaman berjudul Mata Gelap dan Student Hidjo keduanya adalah karangan Marco Kartodikromo, Pertemuan Djodoh karangan Abdoel Moeis, dan lain-lain. Selanjutnya, sumber sekunder yang didapat berupa biografi, buku kenangkenangan pelaku sezaman, buku-buku ilmiah, skripsi, tesis, jurnal, dan informasi dari website. Sumber-sumber tersebut diperoleh dari
Perpustakaan Nasional,
Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan Pusat Studi Kependudukan UGM, Perpustakaan St. Ignatius, Perpustakaan Kemdiknas, Perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia, beberapa website, dan juga dari koleksi pribadi penulis. Penelitian ini tidak menggunakan sumber lisan sebagai sumber primer karena kemungkinan wawancara langsung yang kecil, sedangkan sumber lisan di Arsip Nasional Republik Indonesia tidak ada yang sesuai. Sebagai gantinya, diharapkan biografi dan autobiografi dapat menjadi pengganti ketidaktersediaan sumber lisan tersebut. Selain dari aspek rumusan masalah dan ruang lingkup, penelitian berbeda dalam hal penggunaan sumber-sumber. Surat-surat surat kabar sezaman yang
27
disebutkan di atas adalah surat kabar yang sasarannya adalah keluarga priyayi bumiputera, terlihat dari bahasa dan berita-berita yang disajikan. Meskipun SinPo dan Bintang Hindia cenderung mengutamakan informasi bagi kalangan Tionghoa, bumiputera juga mejadi sasaran kedua. Surat kabar lainnya yaitu Bataviaasch Niewsblad dan Indische Courant meskipun berbahasa Belanda juga memiliki banyak informasi yang disediakan untuk bumiputera. Biografi dan novel juga menjadi sumber yang tak kalah pentingnya. Meskipun memiliki subyektivitas yang lebih tinggi, biografi dapat memberi pemahaman mengenai keadaan masa lampau individu, baik berupa tindakan maupun pemikiran. Biografi Sujatin Kartowijono, Mien Soedarpo, Tio Tek Hong, Hoegeng, Soetedjo, Selo Soemardjan dan yang lainnya digunakan dalam penelitian ini karena alasan tersebut. Novel tidak mengungkapkan fakta secara langsung, namun jika dilihat secara kritis pengarang novel bermaksud menggambarkan keadaan suatu masa tertentu. Terlebih jika pengarang-pengarang novel tersebut adalah anak zaman dari latar novel yang ia tulis. Melalui novel, penulis berupaya memberi alternatif jawaban terhadap persoalan-persoalan sosial-ideologis konkrit yang sedang dihadapi oleh para novelis. 40 Sepakat dengan pernyataan tersebut, novel-novel membawa cerita dari zamannya sehingga dapat menjadi sumber penelitian yang cukup kredibel.
40
Faruk, Novel-Novel Indonesia: Tradisi Balai Pustaka 1920-1942 (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 231.
28
Beberapa sumber yang disebut di atas memang bukan merupakan sumber resmi selayaknya arsip pemerintah. Namun demikian jika dibandingkan dengan arsip, gaya hidup bumiputera lebih banyak dijelaskan dari fakta-fakta yang terkandung di dalam sumber-sumber tidak resmi tersebut baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan demikian penelitian ini juga berupaya menjelaskan gaya hidup berwisata priyayi dengan cara yang berbeda, melalui diaksesnya sumbersumber tersebut. Sumber resmi pemerintah tetap diakses, berupa data Volkstelling. Tahapan yang akan dilakukan setelah semua sumber dapat dikumpulkan adalah melakukan verifikasi dari sumber-sumber yang ada. Hal ini dilakukan agar dapat diperoleh sumber yang kredibel, dan juga otentik. Pemilahan dilakukan dengan cara ditelaah kesesuaian isi dengan keadaan yang sebenarnya, dan relevansinya dengan topik yang akan dibahas. Kritik ekstern dilakukan sebatas memerhatikan aspek fisik dari sumber-sumber yang didapat dengan cara manual, tanpa melalui uji laboratorium, khususnya untuk sumber yang diperoleh tidak dari website. Kritik ekstern dengan cara manual dianggap sudah cukup untuk penelitian ini, mengingat pula biaya yang harus dikeluarkan untuk uji laboratorium mahal. Dilakukannya kritik ekstern ini dimaksudkan agar dapat diperoleh sumber yang otentik. Setelah dilakukan pemilahan sumber, maka akan dilakukan interpretasi untuk membangun sebuah narasi sejarah. Interpretasi memerlukan imajinasi penulis, oleh karena itu subjektivitas tidak dapat terhindarkan. Tetapi hal tersebut dapat terminimalisir dengan menerapkan kaidah-kaidah penelitian ilmiah dengan baik. Imajinasi tentu saja diperlukan untuk membangun sebuah narasi, namun
29
narasi yang dibangun tetap terikat pada fakta yang satu dengan fakta yang lain. Oleh karena itu fakta adalah alat pengontrol imajinasi penulis dalam penelitian. Hasil rekonstruksi sejarah ini akan dituangkan menjadi sebuah tulisan yang ilmiah. Tulisan sejarah yang terbangun dapat berbeda dengan yang dihasilkan oleh peneliti lainnya tergantung pada data yang berhasil ditemukan, dan juga kemampuan rekonstruksi penulis. Oleh karena itu, penelitian bisa jadi berbeda dengan penelitian bertema sama nantinya. G.
Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian disusun dengan lebih memperhatikan aspek
tematis. Tulisan diawali dengan pengantar yang berisi latar belakang, rumusan dan ruang lingkup, tujuan, tinjauan pustaka, metode dan sumber serta sistematika penulisan. Pada bagian selanjutnya dijelaskan mengenai konseptualisasi elite dalam penelitian, keadaan perkotaan dengan fasilitas-fasilitas, dan sebagai akibatnya muncul gaya hidup berwisata elite.
Setelah itu, ditunjukkan pula
mengenai jenis-jenis wisata dan tujuan-tujuan wisata yang diakses kaum elite. Bagian selanjutnya adalah bagian yang dapat dikatakan sebagai klimaks dalam penelitian ini. Bagian tersebut menjelaskan mengenai kecenderungan perilaku elite priyayi ketika melakukan kegiatan wisata. Setelah itu, tulisan akan ditutup dengan bagian yang berisi kesimpulan sebagai jawaban dari pertanyaan penelitian, dan saran penulis terkait pada hasil penelitian yang dilakukan.