BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Sekilas teringat menghangatnya penyebutan kasus „korupsi visual‟ dalam pameran tunggal Nasirun bertajuk “Rubuh-Rubuh Gedang” di Bentara Budaya Yogyakarta pada awal Oktober 2013, yang memunculkan berbagai tanggapan pedas atas persoalan etika di dalam proses berkesenian di Indonesia.1 Hal tersebut menguraikan atas perdebatan krusial dalam masyarakat mengenai orisinalitas dan karakter pribadi produk seni melalui eksistensi kolektif berbagai pihak yang dihadirkan dalam sebuah pergelaran seni rupa. Berkaitan dengan kasus praktik seni kolaborasi, praktik mengenai kasus keterlibatan artisan2 dalam praktik berkesenian seseorang juga menjadi persoalan penting atas diakuinya posisi agen-agen di dalam praktik tersebut. Kehadiran profesi Slamet Widodo sebagai artisan independen mengindikasikan berbagai dinamika pola kerja seni relasional yang sudah lekat dengan Afnan Malay, “Nasirun, Skandal Perupa Jogja” dalam Harian Jawa Pos, tanggal 10 November 2013, hal 6. 2 Berasal dari kata artigiano (lt) yang diserap berdasarkan artitus, artire yang berarti “mengintruksikan dalam seni”. Istilah ini sering dipadankan dengan tukang (alias pekerja bagian produksi atau teknis). Mikke Susanto, Diksi Rupa (Bali: Dictiartlab dan Jagad Art Space, 2011), 36. 1
1
2
kehidupan sosial masyarakat di berbagai daerah, termasuk di kawasan Yogyakarta yang tercatat sebagai salah satu ibukota seni rupa di Indonesia. Hal ini menempatkan wilayah kerja artisan seperti Slamet, menjadi kebutuhan pokok perupa yang bermodal kapital cukup besar di dalam perannya sebagai agen produksi karya seni. Berbagai perupa bergengsi pernah menjadi klien Slamet Widodo dalam membangun karir sebagai pekerja teknis seni tiga dimensional sejak tahun 90-an awal diantaranya Heri Dono, Mella Jaarsma, Nindityo Adi Purnomo, Anusapati, FX Harsono, Faizal dan Ivan Sagita. Praktik artisan Slamet Widodo menguraikan fenomena beberapa perupa sebagai kliennya dalam mengatasi kesulitan teknis untuk mengolah berbagai pilihan media seni tertentu yang menjadi bagian dari proses berkeseniannya, khusunya produk tiga dimensional, terlebih perupa kontemporer yang sering memakai media alternatif. Berkembangnya berbagai wadah aktualisasi karya seni seperti menjamurnya pergelaran seni di Yogyakarta terutama seperti pameran seni rupa, pasar seni, art fair, balai lelang, festival kesenian, memberikan pilihan sebagian perupa senantiasa
mengedepankan
efektivitas
dan
produktivitas
perwujudan karyanya dengan melibatkan artisan. Seiring pengakuan fungsi penting keterlibatan artisan, pembicaraan seputar kontroversi artisan, di satu sisi masyarakat
3
seni rupa dengan senang hati menerima keberadaan artisan karena menguntungkan, akan tetapi di sisi lain menolaknya secara mentah karena dapat mencurangi kemurnian praktik kerja seni. Berbagai kalangan berpendapat bahwa motif keterlibatan artisan menjadi hal yang dibenarkan dan cukup beralasan, jika terjadi kesepakatan yang saling menguntungkan dan tidak di tutupi kehadirannya. Terkait reaksi seniman atas pemanfaatan kerja artisan yang hanya berada pada wilayah teknis sering memunculkan tanggapan eksistensi kerja artisan di ruang publik yaitu sebagai berikut, “menurut Tita Rubi, ia telah mentradisikan penyebutan profil artisan dengan gamblang, malah beberapa diantaranya sampai dibahas, meskipun selintas. Hal ini dilakukan Tita Rubi sebagai langkah untuk untuk memberikan semacam promosi bagi kerja artisan dari kualitas kerja mereka, selain itu juga keinginan memperlihatkan kualitas kerja mereka. Kehadiran artisan memang amat diperlukan, meski begitu, bagi Tita Rubi urusan artisan hanya menyangkut hal teknis.”3 Ali Robin sebagai salah satu artisan dan perupa yang bertempat tinggal di Yogyakarta pernah tercatat ikut dalam keterlibatan proyek monumental Surrounding David milik perupa Tita Rubi. Ali Robin menegaskan beberapa hal seperti, pengasahan
Satmoko Budi Susanto, “Tita Rubi: Artisan juga Ahli”, dalam Visual Arts (Jakarta Barat: PT. Media Visual Arts (Desember 2010Januari 2011), 54. 3
4
skill, pemasukan uang untuk berkarya dan menyambung hidup sebagi hal yang menguntungkan menjadi artisan.4 Masih banyak persoalan kemurnian berkesenian menjadi tanggapan secara tegas penolakan praktik artisan di wilayah seni rupa Yogyakarta. Widodo sebagai salah satu perupa senior yang tercatat dengan julukan „pelukis buta‟ menegaskan bahwa, “kita tak akan lagi berbicara soal karakter, jika penggunaan artisan diterima, sementara karakter adalah perkara penting dalam seni”.5 Pandangan
atas
dampak
moralitas
dengan
mengedepankan
orisinalitas dan karakter personal menjadi satu-satunya prinsip utama atau acuan di dalam praktik berkesenian. Melihat gejala tersebut, terdapat kecenderungan masih kuatnya kontruksi pemikiran dan dalil idealisme seni serba tunggal atau „otonom‟6 sebagai acuan yang penting dalam proses berkesenian. Pandangan inilah yang sering menjadi pertanyaan Vidyasari Utami, “Ali Robin: Rindu Pesanan Eksploratif”, dalam Visual Arts (Jakarta Barat: PT. Media Visual Arts, Desember 2010Januari 2011), 55. 5 Deni Junaedi, “Artisan, Pembantu Kontroversial”, dalam Visual Arts (Jakarta Barat: PT. Media Visual Arts, Desember 2010- Januari 2011), 50. 6 Biang keladi kekacauan persepsi tentang seni barangkali adalah karena dalam dunia Barat modern yang gemar memilah-milah segala hal secara ketat, terlalu lama seni disempitkan menjadi bidang otonom tersendiri, lepas dari sains, agama, filsafat, politik ataupun ekonomi. sebagian lain karena filsuf abad ke-18 Alexander Baumgarten dan Immanuel Kant, terlampau menekankan sisi tertentu saja dalam bidang estetika dan seni, seakan seni hanyalah perkara selektif subjektif. sensibilitas inderawi, pra-pengetahuan, kontemplasi berjarak, atau pada ekstrim lain, sekedar keindahan dan kesenangan (Bambang Sugiharto, “Seni dan Manusia”, dalam Bambang Sugiharto ed., Untuk Apa Seni, Bandung: Matahari, 2013), 15. 4
5
dan kesadaran sosiologis masyarakat seni saat ini di dalam menanggapi praktik kerja artisan, sehingga profesi Slamet sebagai artisan tampak seperti praktik terselubung dan seolah-olah dianggap
ilegal.
Berdasarkan
respon
kontroversi
artisan
di
masyarakat tersebut dan resiko rusaknya kepercayaan dari kliennya tersebut, Slamet Widodo harus membatasi diri atas pengakuan publik seni atas eksistensinya sebagai artisan, terlebih lagi beberapa kliennya yang sebagian besar adalah perupa „bergengsi‟. Prinsip kerja Slamet Widodo sebagai artisan secara jelas menyebutkan bahwa kemutlakan gagasan dan klaim karya menjadi hak perupa sepenuhnya. Slamet Widodo tidak pernah mempersoalkan kelanjutan fungsi dan tujuan produk pesanan setelah diterima kliennya. Melihat dimensi hubungan sosial sebagai artisan, prinsip kerja kolektif ini juga tidak hanya di dasarkan pada aktivitas artistik saja, akan tetapi melibatkan kepentingan lain sesuai dengan negosiasi yang terbentuk dengan perupa. Slamet mengakui bahwa pola kerja ini lebih menekankan prinsip kekerabatan atau dalam konteks keterlibatan artisan dapat disebut sebagai partner. Ali Gopal seorang artisan profesional menegaskan pernyataan sebagai berikut. “Porsi kerja artisan sebagai partner tentunya berlainan dengan tukang ataupun asisten, jika sebuah karya full di tangan artisan, maka nilai karya
6
tersebut tetap sah milik pengorder. Bagaimanapun seniman (pengorder) adalah yang mempunyai konsep, sedangkan artisan tidak”.7 Kesemerawutan spesifikasi terminologi yang kurang sesuai dengan konteks keterlibatannya, praktik kerja artisan yang terjadi di masyarakat juga mendukung kesalahpengenalan tanggapan atas wacana artisan dalam perkembangan dunia seni rupa di Indonesia saat ini. Pemisahan konsep serta implikasi istilah artisan dengan partner, asisten, pekerja seni atau tukang dalam masih kurang mendapat porsi yang sesuai. Dalam praktiknya sudah jelas bahwa penyebutan istilah artisan atau semacamnya memang dipersepsi tidak perlu dipertanyakan atau dipisahpisahkan lagi di segala lapisan kerja seni terapan seperti, kerajinan batik, ukir ataupun desain grafis. Persoalan legitimasi atas proyek kerja dalam melegitimasi praktik artisan akan lebih mudah dijawab ketika wahana dan media seni praktik tersebut sudah terjelaskan dahulu.8 Tertutupinya pengakuan publik atas praktik artisan Slamet Widodo sepatutnya juga dipertanyakan atas dasar pergulatan perkembangan seni rupa yang tercatat sudah
Satmoko Budi Santoso, “Ali Gopal: Motivasinya Membantu Teman”, dalam Visual Arts (Jakarta Barat: PT. Media Visual Arts, Desember 2010- Januari 2011), 55. 8 Kesimpang-siuran penyebutan istilah artisan ini berbanding terbalik dengan dunia seni yang lain seperti perfilman yang secara elegan menyebutkan eksistensi kru sampai dengan profesi sopir ikut diperjuangkan (Junaedi, Desember 2010- Januari 2011), 53. 7
7
tidak terpisah dan terbatas pada media atau ruang seni itu sendiri. Tentu ada alasan bagi seorang perupa untuk menggunakan tenaga bantuan agar lebih banyak waktu untuk mengeksplorasi gagasan baru. Produktivitas berpikir melalui pengembangan wawasan dan pengetahuan merupakan hal penting bagi perupa kontemporer layaknya klien Slamet Widodo. Profesi Slamet Widodo sebagai artisan menguraikan permasalahan kebutuhan hidup yang tidak mungkin dilepaskan dan berpengaruh besar terhadap keberlangsungan eksistensinya sebagai perupa. Sirkulasi modal dengan langkah berbagai strategi memungkinkan Slamet Widodo untuk melanggengkan kedua posisinya sebagai artisan dan perupa. Peran penting profesi Slamet Widodo sepertinya berhasil mendukung simbolis
praktik
yang
kerja
sudah
relasional
terikat
pada
serta
sirkulasi
kesepakatan
produk sebuah
perencanaan pergelaran seni rupa. Dibalik hal tersebut, terdapat resiko besar bahwa profesi artisan Slamet Widodo semakin diandalkan menjadi pasokan produk ekonomis para perupa bersama galeri komersial, mediator, art dealer, kolektor atau balai lelang yang setiap saat mendukungnya.9 Praktik penggunaan
Pasalnya konon ‟seni sudah berakhir‟. kata Arthur Danto, Victor Burgin, Joseph Kosuth, Hal Foster atau Adorno. Betapa tidak, dalam 9
8
artisan ikut mendukung klaim seni rupa kontemporer yang secara ideologi
serta
praktiknya
sering
disalah-tafsirkan
gerakan
“anything goes on”,10 bahkan sebuah karya merupakan bentuk seni industri. Berdasakan asumsi ini ada anggapan bahwa artisan dapat dikatakan sebagai „mesin pekerja‟ seniman dalam ranah produksi material sebuah karya seni. Namun berbagai peristiwa seni dalam bentuk pencitraan sebuah kesuksesan pergelaran seni rupa masih mempertimbangkan pengungkapan kehadiran Slamet Widodo dan persepsi pengamat atas fenomena tersebut juga masih menjadi sebuah kewajaran. Persoalan pemanfaatan artisan hingga permasalahan legitimasi artisan merupakan pilihan seniman dengan berbagai implikasinya, tentu menjadi penting pula seorang seniman kontemporer saat ini menggunakan bantuan artisan untuk lebih mampu mengekplorasi gagasan dan pengembangan wawasan baru melalui produktivitas berpikir. Dari beberapa asumsi dan pernyataan di atas memunculkan beberapa pertanyaan, sampai sejauh mana praktik Slamet sebagai artisan menjadi ujung pangkal komoditas produk simbolis dan kehidupan yang kian dikelola pasar, seni tidak sekedar siasat komunikasi pemasaran, atau lebih gawat lagi, semacam strategi pembiusan demi meraih berbagai keuntungan (keuntungan ekonomi, politik, sosial, bahkan kegamaan) (Sugiharto, 2013), 15. 10 Sementara pada bentuknya yang paling serius pun yang kini bisa disebut „seni kontemporer‟ misalnya memang tidak ada lagi jelas bedanya mana karya yang „seni‟ mana yang sekedar perilaku ganjil tak senonoh dari orang-orang yang frustasi atau kehilangan identitas dan sakit jiwa yang mencari perhatian secara kekanak-kanakan (Sugiharto, 2013), 15.
9
ekonomis perupa serta relasi terhadap kondisi ekonomi, politik, sosial masyarakat Yogyakarta. Dari sini muncul pertanyaan utama mengenai peran artisan Slamet Widodo dalam praktik berkesenian di Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah 1. Mengapa praktik berkesenian sebagai artisan di Yogyakarta dipilih oleh Slamet Widodo? 2. Bagaimana kontestasi karya artisan Slamet Widodo di dalam praktik berkesenian di Yogyakarta? 3. Bagaimana pembedaan wujud karya Slamet Widodo sebagai artisan dan perupa?
C. Tujuan 1. Menjelaskan latar belakang Slamet Widodo memilih praktik berkesenian sebagai artisan di Yogyakarta. 2. Menjelaskan kontestasi karya artisan Slamet Widodo di dalam praktik berkesenian di Yogyakarta. 3. Menjelaskan
pembedaan
wujud
sebagai artisan dan perupa.
karya
Slamet
Widodo
10
D. Manfaat 1. Bagi
peneliti
sendiri,
hasil
penelitian
berguna
untuk
menambah pengetahuan mengenai seluk-beluk artisan dalam praktik berkesenian. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan materi mata kuliah pengkajian seni rupa atau kritik seni dalam
memahami
peran
artisan
sebagai
penunjang
eksistensi seniman. 3. Bagi komunitas seni rupa dan masyarakat pecinta seni, hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan referensi mengenai
artisan
berikut
pola
kerja
dalam
praktik
berkesenian. Secara keseluruhan hasil penelitian ini dapat menjadi
modal
dasar
peneliti
selanjutnya
untuk
menemukan masalah yang lebih khusus dan detail, serta dapat meninjau hal yang belum diungkapkan dalam penelitian ini, sehingga dapat dikembangkan penelitian selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka merupakan kajian atau acuan awal suatu tahap penelitian sebelum melangkah ke penulisan. Hal ini berkaitan erat dengan pertanggung-jawaban keabsahan masalah penelitian. Masalah penelitian yang dikaji sebaiknya mempunyai
11
ketentuan
dalam
hal
masalah.
Masalah
pertanggungjawaban
ke‟baru‟an
objek
ke‟baru‟an
penelitian
harus
suatu dapat
dipertanggungjawabkan dengan pembuktian karya ilmiah ataupun penelitian ilmiah sebelumnya. Penelitian ini menjadi tolok ukur sampai
sejauh
mana
posisi
pertanyaan
masalah
utama
dibandingkan dengan penelitian yang lainnya. Berkaitan
dengan
topik
peran
artisan
dalam
proses
perwujudan karya seni sampai saat ini belum ada pihak-pihak yang secara spesifik menggunakan istilah artisan di dalam penelitian
akademik.
Akan
tetapi
beberapa
peneliti
sudah
menyinggung peristilahan artisan di dalam konteks yang secara signifikan memiliki persamaan, seperti buku Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara; Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multidisiplin. Buku karya SP Gustami ini merupakan karya ilmiah setara disertasi yang secara kompleks mengangkat fenomena industri mebel ukir dengan pendekatan multidisipliner karena mengandung berbagai aspek, faktor, dan efek. Substansi dan sistematika dalam analisis buku ini menyajikan deskripsi analitis mengenai kondisi geografis, kondisi sosial ekonomi industri mebel ukir di Jepara, pada periode perkembangan dan perubahannya, sehingga dapat dipandang sebagai rujukan analisis industri seni kerajinan di Indonesia. Buku ini disusun untuk menunjukkan bahwa industri mebel ukir hanya sebagai sebuah perwujudan karya seni yang tidak terlepas
12
dari konteks ruang dan waktu, tetapi juga sebuah praktik relasional produk kreatif yang berdimensi ganda. Berkaitan dengan tesis ini karya seni mebel ukir Jepara dipandang bukan hanya sebagai karya artistik individual seniman ukir, tetapi juga sebagai
karya
seni
kolektif
dalam
suatu
komunitas
yang
berkembang. Buku yang ditulis oleh SP. Gustami ini membantu menjelaskan
proses
relasional
perwujudan
karya
seni
dari
berbagai jaringan seperti seniman, konsumen, pekerja seni, pasar, institusi pemerintah dan swasta atau seni di dalam selubung seni industri. Berkaitan
dengan
peristilahan
konteks
artisan
secara
spesifik terdapat esai dan artikel populer yang menjadi bahan utama pembahasan. Dalam Majalah Seni Rupa. Visual Arts. Vol. 6 No.
34
terbit
pada
Desember
2010-Januari
2011
yang
mengangkat fokus edisi utama seputar fenomena artisan di antaranya:
Deni Junaedi, dengan tulisan berjudul “Artisan,
Pembantu Kontroversial”; Hardiman dengan tulisan berjudul “Cantrik, Artisan Dan Tukang”, Asmujo Jono Irianto dengan tulisan
berjudul
“Asisten
dan
Artisan
dalam
Seni
Rupa
Kontemporer”. Dalam majalah ini terdapat juga hasil wawancara beberapa perupa dan kolektor yang sepenuhnya menanggapi fenomena artisan di Indonesia. Terkait juga beberapa harian surat
13
kabar seputar fenomena artisan yaitu, Afnan Malay dengan tulisan berjudul “Nasirun, Skandal Perupa Jogja”.
F. Landasan Teori Penelitian ini berupaya mengungkapkan konsep dan alasan dari praktik berkesenian Slamet Widodo sebagai artisan serta konstruksi peran artisan di dalam arena kehidupan seni rupa di daerah Yogyakarta saat ini. Kerangka teoretik diarahkan kepada pendekatan sosiologi seni untuk menjawab pertanyaan pertama tentang konsep dan alasan praktik berkesenian Slamet Widodo sebagai artisan serta peran artisan di dalam lingkungan sosial seni rupa di Yogyakarta. Pendekatan sosiologi seni yang digunakan secara spesifik „pembacaan arena‟ dari “arena produksi kultural” Pierre Bourdieu. Metode analitisnya yang ketat berusaha untuk melihat lebih jauh kondisi-kondisi sosial, produksi, sirkulasi, dan konsumsi barang-barang simbolis, serta mengungkap pihak atau agen (produsen, distributor, publik, institusi, lembaga, galeri dan kritikus) yang ikut dalam mengonstruksi barang-barang simbolis menjadi sebuah karya seni. Pembacaan arena adalah sebuah antitesa dari apa yang dibuat Bourdieu sebagai „efek hubungan singkat‟, yakni adanya kecenderungan dari penjelasan sosiologi seni yang timpang dan
14
parsial dalam menjelaskan karya seni.11 Umumnya ketimpangan itu berasal dari kecenderungan untuk memberikan perhatian secara eksklusif pada hanya salah satu penjelasan dari dua penjelasan berikut ini, yaitu: 1). Penjelasan terhadap fungsi saja, 2). Penjelasan logika internal sebuah karya seni saja. Padahal, menurut
Bourdieu
penjelasan
seharusnya
diberikan
kepada
keduanya secara bersamaan dan relasional. Arena produksi kultural Bourdieu dimulai dari “pembacaan arena” dengan cara membedah
nilai-nilai
estetis
yang
sering
terperosok
pada
reduksionisme, entah pembacaan internal murni maupun analisis eksternal karya seni. Sebaliknya, nilai estetis serta nilai sosialnya ditemukan di dalam sejarah dan struktur arena itu sendiri dengan komponen-komponen yang beragam di dalam relasi antara arena kultural dengan arena kekuasaan. Penjelasan atas pentingnya pemahaman relasional juga telah dikemukakan Bourdieu dalam tulisan lainnya berjudul “The Intelectual Field: a World Apart” dalam bukunya In Other Words. Dalam bukunya itu Bourdieu menjelaskan posisi teoretis dari teori arena: “teori arena (mengarah) pada penolakan terhadap kaitan langsung biografi individual dengan karya sastra (atau yang berkaitan dengan „kelas 11Pierre
Bourdieu, The Field of Cultural Production: Essay on Art and Literature. Ed. Randal Johnson (Columbia: Columbia University Press, 1993), 176-191.
15
sosial‟ yang menjadi asal suatu karya) maupun pada penolakan terhadap analisis internal karya individual bahkan analisis intertekstualitasnya, karena yang mestinya kita lakukan adalah melakukan keduanya bersamaan”. 12 Teori
arena
mensyaratkan
penolakan
dengan
tegas
pendekatan yang memisahkan analisis internal dan eksternal karena konsep arena sendiri menyediakan suatu cara untuk melampaui tradisi analisis kedua-duanya yang dilihat Bourdieu sebagai spekulasi dan reduksi terhadap cara pandang penilaian terhadap karya seni. Nilai karya seni sebenarnya muncul dan eksis pada hukum keberfungsian arena itu sendiri beserta kompleksitasnya. Bourdieu beranggapan, bahwa esensi karya seni terbentuk justru tumpang-tindih dan saling melengkapi di dalam refleksi
sejarah
dan
struktur-struktur
arena.
Lebih
lanjut
mengenai analisis arena, Bourdieu menegaskan; “arena ini bukan latar belakang sosial yang samar-samar, bukan pula milieu artistique seperti dunia relasi personal antara seniman dan penulis, atau antar perspektif yang diadopsi oleh mereka yang mempelajari „pengaruh-pengaruh‟. Arena adalah sebuah semesta sosial sesungguhnya, tempat terjadinya –sesuai hukum-hukum tertentuakumulasi bentuk-bentuk modal tertentu, sekaligus tempat relasi-relasi kekuasaan berlangsung. Semesta ini adalah tempat bagi pergulatan yang sepenuhnya spesifik, khususnya terkait dengan pertanyaan siapa yang menjadi bagian dari semesta, siapa seniman sesungguhnya, dan siapa yang tidak. Untuk menafsir karya-karya, fakta terpentingnya adalah bahwa Pierre Bourdieu, In Other Words, Essay Toward A Reflexive Sociology (California: Stanford University Press, 1990), 147. 12
16
semesta sosial yang otonom ini berfungsi layaknya sebuah prisma yang membiaskan setiap determinasi eksternal: peristiwa-peristiwa demografis, ekonomis, dan politis selalu diterjemahkan ulang menurut logika spesifik arena, dan melalui perantaraan peristiwa-peristiwa itu bertindak menurut logika perkembangan karya”.13 Prinsip-prinsip sosiologis bagi karya-karya kultural melalui pembacaan arena Bourdieu sepantasnya dapat menjadi pijakan untuk menetralisir tradisi perspektif strukturalisme dan sosiologis dalam memahami karya seni secara dialektis. Perspektif pembacaan arena Bourdieu tentang karya seni diklasifikasikan menjadi dua model yang berhubungan secara relasional yaitu: 1) Arena karya seni; dan 2) arena produksi karya seni. Di satu sisi arena karya seni adalah arena dimana karya seni baru bisa eksis sebagai objek simbolik jika diakui dan dikenali, atau arena pergulatan potensi modal-modal simbolik yang berada pada posisi dominasi atas prinsip legitimasi nilai karya seni. Di sisi lain arena karya seni berada pada posisi tersubordinasi atau terdominasi oleh arena kekuasaan. Legitimasi merupakan
atas
produksi
karya
seni
keyakinan
sebagai
terhadap
objek nilai
simbolik
karya
jika
dilembagakan secara sosial dan diterima oleh para penikmat yang sanggup mengenali dan mau mengakui sebagai karya seni. Prinsip keyakinan ini harus mempertimbangkan peran produser makna 13
Bourdieu, 1993: 163-164.
17
dan nilai karya, seperti kritikus, penerbit, pengelola galeri, dan agen-agen lain, yang tugas-tugas mereka membuat konsumen mampu mengetahui dan mengakui karya seni sebagai karya seni, terutama di kalangan guru dan keluarga. Jadi yang diperhatikan bukan hanya peran produsen langsung karya itu tetapi juga dimensi materialitasnya (seniman, penulis, dan lainnya). Analisis arena karya seni seyogyanya tidak hanya mempertimbangkan kondisi-kondisi sosial produksi artis, kritikus seni, dealer patron dan lain sebagaimana yang terlihat dalam indeks-indeks seperti asal usul sosial, pendidikan atau kualifikasi,14 tetapi juga kategori persepsi, motivasi, dan evaluasi nilai estetik suatu karya seni yang berada pada hukum keberfungsian arena tersebut, Bourdieu selanjutnya menjelaskan arena produksi seni dalam analisis tentang karya seni sebagai berikut. “Objek ilmu tentang karya-karya kultural adalah korespondensi di antara dua struktur homolog, yakni antara struktur karya karya (genre, bentuk, dan tema) dengan struktur arena sastra, sebuah arena kekuatan-kekuatan yang niscaya menjadi sebuah arena pergulatan. Pemicu perubahan karya karya kultural (bahasa, seni sastra, ilmu dan sebagainya) terletak di dalam pergulatan–pergulatan yang terjadi di dalam arena produksi yang terkait. Pergulatan-pergulatan ini, yang tujuannya adalah melestarikan atau mengubah hubungan-hubungan kekuasaan di arena produksi, sudah barang tentu berdampak melestarikan atau mengubah struktur
14
Bourdieu, 1993: 37.
18
arena karya, yang merupakan alat dan taruhan dalam pergulatan-pergulatan ini.15 Arena produksi karya seni merupakan bagian dari arena karya seni yang lebih spesifik berdasarkan prinsip produksi karya seni. Singkatnya adalah arena pergulatan sesama produsen dalam memperebutkan legitimasi posisi objektif pelaku, mediator, dan produknya di dalam wilayah yang lebih luas (arena karya seni). Bourdieu menjelaskan dalam arena produksi karya seni adalah “arena produksi karya seni adalah tempat bagi pergulatan-pergulatan mempertaruhkan kekuasaan untuk mengimposisi definisi dominan „pengkarya‟, dan sekaligus kekuasaan untuk membatasi populasi (siapa) yang barhak ambil bagian di dalam pergulatan mendefinisikan „pengkarya‟“.16 “Taruhan utama dalam pergulatan karya seni adalah legitimasi karya seni, diantaranya monopoli kekuasaan untuk mengatakan berdasarkan otoritas siapa yang berhak menyebut dirinya sebagai „pengkarya‟; atau dengan kata lain, persoalan monopoli atas semua kekuasaan untuk menaikkan „derajat‟ prestise produsen atas produknya.17 Relasi yang dijalin oleh produsen barang-barang simbolis dengan produsen lain, dengan signifikasi yang tersedia di arena karya seni dalam momen tertentu, akibatnya pada karya mereka sendiri, bergantung langsung pada posisi yang mereka tempati di dalam arena produksi dan sirkulasi karya-karya simbolis. Lebih jauh lagi, Bourdieu menjelaskan sebagai berikut. 15 16 17
Bourdieu.1993: 183. Bourdieu, 1993: 42. Bourdieu, 1993: 43.
19
“arena produksi karya seni adalah wilayah par excellence (terakhir) antara fraksi dominan kelas dominan, yang kadangkala saling bertengkar secara pribadi, namun lebih sering antara para produsen yang hendak mempertahankan „ide-ide‟ mereka dan memuaskan selera mereka, dengan fraksi-fraksi terdominasi yang terlibat total di dalam pergulatan tersebut. Konflik ini mengintegrasikan ke dalam sebuah arena berbagai sub-arena yang terspesialisasi secara sosial, pasar yang terpisah dari ruang sosial bahkan geografis, di mana bermacam-macam fraksi kelas bisa menemukan produk-produk yang 18 disesuaikan selera mereka. Ruang pengambilan posisi19 merupakan manifestasi arena produksi karya seni atas kondisi dan proses produksi karya simbolis di dalam pergulatan potensi modal-modal spesifik agenagen sebagai upaya untuk mencapai derajat konsekrasi (derajat kehormatan atau prestise) dan pengakuan yang lebih luas, yaitu arena karya seni. Struktur arena produksi karya seni yang berorientasi pada pembentukan produksi karya seni atau ruangruang pengambilan posisi terlihat dialektis dengan arena karya seni yang tergantung pada perebutan legitimasi atas nilai karya seni tersebut. Singkatnya sosiologi seni dengan konsep arena Bourdieu adalah persoalan tentang bagaimana memahami karya seni sebagai manifestasi arena secara keseluruhan, yang mana di
18 19
Bourdieu, 1993: 102. Bourdieu, 1993: 30.
20
dalamnya terpusat semua kekuasaan dan pengaruh agen-agen yang saling terlibat di dalam arena tersebut.20 Merujuk konsep arena terebut maka kondisi praktik Slamet Widodo menjadi ruang hadirnya posisi artisan dalam relasi lingkungan sosial. Praktik seni artisan tersebut juga dapat dibaca sebagai sebuah arena seni rupa yang di dalamnya terdapat agenagen tertentu yang melakukan pergulatan untuk mendapatkan posisi-posisi tertentu. Selanjutnya Bourdieu juga mendefinisikan struktur arena sebagai berikut. “Struktur arena, yaitu ruang posisi-posisi, tak lain adalah struktur distribusi modal propertiproperti spesifik yang mengatur keberhasilan di dalam arena dan memenangkan laba eksternal atau laba spesifik (seperti prestise sastra) yang 21 dipertaruhkan di dalamnya “ Atas dasar itu maka amatan atas praktik-praktik tertentu (seperti penciptaan karya seni) dari para agen seharusnya diletakkan dan dibaca di dalam “ruang posisi-posisi” berdasarkan modal-modal spesifik yang dimilikinya dalam arena spesifik yang ditempati. Hal itu menjadi sangat penting disebabkan di dalam ruang tersebut sebenarnya para agen mempertaruhkan diri dan modal-modal spesifik yang awalnya dimiliki menjadi patokan dalam
serangkaian
pengambilan
persepsi sebagai konsep habitus. 20 21
Bourdieu, 1993: 37. Bourdieu, 1993: 30.
keputusan,
tindakan
dan
21
Bersamaan dengan itu maka praktik spesifik agen-agen di dalam arena tidak dapat dipahami sebagai suatu tindakan „ideasional‟ dan „voluntaris‟ semata, melainkan harus dimaknai sebagai
sebuah
praktik
yang
memiliki
tujuan
utama
memenangkan pertarungan serta dengan asumsi tidak ada agen yang mau mengalami kekalahan dalam arena tersebut. Hal itu merupakan habitus yang dimiliki oleh setiap agen di dalam arena, yakni semangat dan niatan untuk memenangkan pertarungan. Habitus sendiri di definisikan Bourdieu sebagai berikut. “Sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur struktur (structured structures prediposid to function as structuring structures), yaitu prinsipprinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasilhasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar dan mencapai tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk mencapainya. Dikarenakan sifatnya teratur dan berkala secara objektif, tapi bukan produk kepatuhan terhadap aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatu-padankan secara kolektif tanpa menjadi produk tindakan pengorganisasian seorang pelaku.”22 Tujuan utama untuk memenangkan pertarungan tersebut membuat memasuki
setiap arena
agen melakukan guna
dapat
pembacaan
melihat
ruang
tertentu
saat
kemungkinan-
kemungkinan yang ada dalam arena. Tujuan itu, secara inheren Pierre Bourdieu, The Logic of Practice. Richard Nice trans. (Cambridge: Polity Press, 1990), 53. 22
22
mengarahkan para agen untuk menentukan acuan tertentu dan rujukan
yang
tertentu
pula.
Acuan
dan
rujukan
tersebut
selanjutnya akan membantu para agen dalam merumuskan strategi kemenangannya. Bourdieu menjelaskan: “Relasi yang terbentuk antara posisi-posisi yang tersedia dan pengambilan posisi tidak mengakibatkan terjadinya determinasi yang mekanistik. Setiap agen, penulis, dan seniman atau intelektual melakukan proyek kreatif mereka berdasarkan, pertama, persepsi tentang kemungkinan yang tersedia yang dihasilkan oleh kategori persepsi dan apresiasi yang terpatri di dalam habitus melalui lintasan tertentu; kedua, kecenderungan mengambil keuntungan dari atau dengan menolak kemungkinan ini sesuai kepentingan terkait dengan posisi mereka dalam permainan.”23 Penjelasan
Bourdieu
tersebut
menerangkan
bahwa
keputusan pengambilan strategi yang dilakukan para agen umumnya berpedoman pada dua hal, yakni: 1) Pembacaan seorang
agen
atas
posisinya
sendiri;
2)
Pembacaan
atas
kecenderungan yang dapat diambil atau ditolaknya berdasarkan posisinya dalam arena. Hal itu merupakan suatu hal yang juga dapat diartikan sebagai pembacaan atas kemungkinan atau ketidakmungkinan legitimasi atas karyanya.
Kedua, pedoman
strategi tersebut dengan demikian juga adalah habitus berikutnya yang umum dimiliki seorang agen dalam memasuki sebuah arena.
23
Bourdieu, 1977: 184.
23
Hasil pembacaan dari dua pedoman itu selanjutnya akan memandu para agen dalam hal orientasi atas riset dan tujuan proses kreatif mereka, sehingga mereka mengetahui adanya ruang-ruang kemungkinan
tertentu untuk kemudian dapat
mengambil satu posisi tertentu dalam arena. Ruang kemungkinan inilah yang menjadi acuan umum dan membuat para agen produsen
saling
merujuk
satu
sama
lain
hingga
memiliki
hubungan objektif dengan agen produsen lain, yang pada taraf tertentu saling berkaitan secara intelektual dan memiliki titik rujukan dan juga bahkan tujuan artistik yang sama.24 Uraian diatas memberi pemahaman bahwa praktik seni berupa lintasan strategi-strategi terhadap habitus seorang agen di dalam arena pada dasarnya merupakan hasil dari dinamika arena yang
menstrukturkannya,
menstrukturkan
arena
kemudian
itu
kembali.
juga
memiliki
Uraian
di
potensi
atas
juga
memberikan pemahaman bahwa arena spesifik tidak terpisah dengan habitus spesifik yang diproduksinya melalui struktur arena. Pembicaraan tentang habitus adalah pembicaraan tentang „habitus sebuah arena dan begitu juga sebaliknya, pembicaraan tentang arena adalah pembicaraan tentang ‟arena dari habitushabitus‟.
24
Bourdieu, 1993: 176-177.
24
Perlu diingat bahwa habitus bukanlah sesuatu yang ketat mengikat
dan
mengekang
agen.
Seperti
yang
diungkapkan
sebelumnya, bahwa saat seorang agen memutuskan memasuki arena maka mereka akan “mensituasikan” dan “mengkondisikan” dirinya
dengan
arena.
Akan
tetapi,
apa
yang
dimaksud
mensituasikan itu tidak hanya dimaknai sebagai upaya untuk sekedar mengikuti aturan-aturan main yang ada, melainkan dapat juga diartikan sebagai sebuah „strategi‟ untuk memenangkan pertarungan.25 Pada titik inilah kiranya posisi Slamet Widodo sebagai artisan dalam relasi praktik berkesenian dapat dibaca pula sebagai
sebuah
„strategi‟,
yakni
upaya
untuk
melakukan
„pembedaan‟ dan pengambilan posisi di dalam arena seni rupa di Yogyakarta saat ini. Untuk memberi keterangan lebih jauh, Randal Johnson mengutarakan definisi strategi Bourdieu sebagai strategi-strategi agen adalah fungsi konvergensi (mengerucutkan) posisi dan pengambilan posisi yang dijembatani habitus. Dalam sebuah pengantar
buku
Bourdieu
dijelaskan
bahwa
strategi
bisa
dimengerti sebagai orientasi spesifik praktik. Sebagai produk habitus,
25
strategi
tidak
Bourdieu, 1993: 184.
didasarkan
pada
kalkulasi
sadar,
25
melainkan lebih merupakan hasil disposisi tak sadar terhadap praktik.26 Bourdieu menunjukkan bagaimana habitus agen-agen seni membentuk kecenderungan untuk memainkan strategi permainan menang
kalah,
menambah,
memelihara
dan
memanfaatkan
modal-modal spesifik dalam pergulatan arena. Strategi ini juga menjelaskan “lintasan” yang ditempuh agen dalam suatu arena. Penjelasan lintasan adalah sebagai berikut. “strategi dan lintasan adalah dua konsep kunci teori arena Bourdieu. Lintasan seperti yang didefinisikan di dalam prinsip-prinsip bagi sosiologi karya-karya kultural, mendeskripsikan serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang penulis di tengah keadaan arena sastra yang silih berganti. Ini berarti bahwa posisi-posisi yang silih berganti ini hanya bisa didefinisikan dan ditentukan di dalam struktur arena. Lintasan adalah satu cara dimana hubungan antara agen dan arena diobjektifikasikan.”27 Hal
tersebut
kiranya
yang
menjadi
landasan
bahwa
kerangka pemikiran teori arena merupakan sebuah kerangka pemikiran yang disebut Bourdieu berguna untuk mencapai „objektifitas subjektif‟‟. Agen „disituasikan‟ dan „dikondisikan‟ oleh
Randal Johnson, “Editors Introduction: Pierre Bourdieu on Art, Literature and Culture”, Randal Johnson ed., Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production: Essay on Art and Literature (Columbia: Columbia University Press, 1993), 17 27 Johnson, 1993: 17-18. 26
26
arena secara objektif sehingga memiliki potensi subjektifnya mempengaruhi arena.28 Ada juga hal lain yang disinggung dalam teori arena Bourdieu, yakni adanya kemungkinan „bias‟ determinan ekternal seperti peristiwa politik, revolusi atau krisis ekonomi dalam karya seni yang biasanya terlihat saat struktur arena berubah.29
G. Metode Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diterapkan dalam penelitian ini, maka jenis penelitian yang cocok adalah penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini dapat ditangkap berbagai asumsi yang meliputi sejumlah strategi penelitian yang bersifat khas paradigma
kualitatif.
Penelitian
kualitatif
tentunya
lebih
cenderung sejalan dengan kondisi dan fenomena budaya itu sendiri sebagai cabang ilmu humaniora yang unik. Kategori pemilihan penelitian kualitatif menjadi alasan utama penerapan fenomena budaya karena biasanya data di lapangan tidak terstruktur dan relatif banyak, sehingga memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi dan mengklasifikasikan yang lebih menarik.30 tentunya
Studi
dengan
menerapkan
paradigma
kualitatif
dapat mengungkap perilaku yang sangat kompleks
Bourdieu, 1990: 135-141. Bourdieu, 1993: 182. 30 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), 15. 28 29
Kebudayaan
27
mencakup kepercayaan, persepsi, motivasi, dan sejumlah variabel lainnya. Analisis kualitatif dimungkinkan untuk menggali ciri khas dan keunikan suatu masyarakat, mulai dari karakteristik subjek dari individu hingga karakteristik dari struktur objektifnya yang berpengaruh terhadap tingkah laku yang tidak mungkin direduksi dalam satu sudut pandang atau realitas atau interaksi di antara realitas yang terhubung pada mekanisme praktik sosial.31 Upaya analisis kualitatif inilah yang kemudian sejalan dengan deskripsi analisis yang dapat mengungkapkan dinamika hubungan antara agen
dan
struktur
tidak
linear
dan
khas
untuk
setiap
masyarakat.32 Batasan ruang lingkup waktu dan wilayah dalam analisis sudah terpaparkan pada perangkat konseptual Bourdieu, yaitu habitus dan arena. Pembatasan waktu pada objek penelitian tidak terbatas pada struktur internal produksi karya kapan dibentuk, akan tetapi sejalan dengan konsep analisis Bourdieu yaitu habitus yang merupakan produk sejarah dari setiap pengalaman individu terhadap individu lain dari struktur subjektif Slamet Widodo yang Chaedar A. Alwasilah, Pokoknya Kualitatif; Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2011), 60. 32 Bagus Takwin, “Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-Usul Masyarakat, Melampaui Oposisi Biner dalam Ilmu Sosial” Pipit Maizier terj. dalam Richard Harker, Cheelen Mahar, Crish Wilkes ((Habitus X Modal) + Ranah = Praktik (Yogyakarta; Jalasutra; 2005). xxiii-xxiv. 31
28
mendasari posisi objektif sosialnya dalam mekanisme praktik sebagai artisan. Analisis sinkronis penelitian ini disempurnakan pada konsep habitus diindikasikan oleh sekumpulan skema dari perjalanan mengevaluasi
hidupnya praktik
dalam artisan
mempersepsi, yang
memahami,
dibentuknya.33
Habitus
mendasari arena yang merupakan jaringan relasi antar posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individual.34 Subjek utama dalam penelitian ini adalah Slamet Widodo, baik sikap, persepsi atau motivasi di dalam situasi sosialnya produksi karya seni sebagai artisan. Batasan-batasan ruang lingkup wilayah penelitian berada pada relasi yang berada pada arena produksi karya seni Slamet Widodo terlibat dengan beberapa pihak dan agen-agen mediator seni di Yogyakarta. Perupa yang menjadi agen pemesan penciptaan materialitas karyanya juga mendapat perhatian sebagai subjek penelitian berikutnya. Tidak tertutup kemungkinan sejumlah artisan lain yang mempunyai metode kerja berlainan dengan Slamet Widodo sebagai artisan independen dapat digunakan sebagai data perbandingan artisan satu dengan yang lainnya.
33 34
Takwin, 2009: viii. Takwin, 2009: xix.
29
Untuk mendapatkan data yang lengkap digunakan teknik triangulasi, yakni kombinasi metodologi untuk memahami satu fenomena. Dalam penelitian kualitatif, triangulasi ini merujuk pada pengumpulan informasi dan data sebanyak mungkin dari berbagai sumber (manusia, latar dan kejadian) melalui berbagai metode.35 Kombinasi pengumpulan data yang digunakan adalah melalui
observasi
lapangan
(field
observation),
wawancara
(interview) dan studi kepustakaan. Data primer berorientasi pada hasil observasi lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder
berasal dari sumber
dokumentasi dan studi kepustakaan. Observasi yang dilakukan untuk dapat mengumpulkan data valid ditempuh melalui proses observasi
lapangan,
dilengkapi
kamera
dan
buku
catatan.
Pengamatan tersebut dapat berupa proses pengerjaan karya rupa dan lingkungan kerja artisan. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa referensi tertulis, foto dan audio visual, serta hasil analisis wawancara. Untuk kepentingan ini, maka dilakukan wawancara pada informan yang juga sebagai artisan sekaligus perupa. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terbuka, dilengkapi dengan alat perekam (recorder), sehingga diperoleh informasi mendalam berkait dengan pokok permasalahan. Data tersebut terbagi di beberapa tempat, di antaranya; studio kerja 35
Alwasilah, 2000: 106.
30
Slamet Widodo di Gamping, Yogyakarta, berupa penelusuran riwayat, pilihan, dan pengalaman karir profesinya sebagai artisan dengan wawancara dengan pelaku. Data kepustakaan diperoleh dari berbagai literatur seperti, buku, artikel majalah, surat kabar, katalog pameran, arsip tertulis ataupun online.36 Data yang didapat berupa dokumentasi foto dan arsip katalog pameran yang pernah diikuti pelaku sekaligus perupa Yogyakarta. Penggalian beberapa wacana dari artikel di surat kabar dan majalah mengenai fenomena
artisan
juga
mendukung
pengembangan
studi
kepustakaan. Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dalam suatu proses. Proses di sini berarti analisis atas data yang sudah dikerjakan secara terus menerus dan intensif selama proses pencarian data di lapangan maupun setelah di lapangan. Data dianalisis
berdasarkan
pertanyaan
rumusan
permasalahan
dengan
penelitian
seperti
menggunakan
dalam
sistematika
konstruksi teoritik yang diuraikan dalam landasan teori. Untuk menjawab wawancara
pertanyaan dan
pertama,
dokumentasi
data
primer
observasi
dari
transkrip
diverifikasi
untuk
„memetakan‟ posisi dan memahami kondisi Slamet Widodo secara Studi kepustakaan (library research) ditempuh untuk memperoleh data tertulis mengenai artisan di dalam relasi berkesenian melalui publikasi dalam buku, jurnal, brosur, surat kabar, surat berharga, arsip, serta dokumen (R.M Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001), 128. 36
31
internal
dan
eksternal,
lalu
menghubungkannya
ke
dalam
mekanisme relasional konkrit strategi pilihan sebagai artisan (bentuk simbolis menjadi karya seni), peran dan posisi agen, mediator, institusi dalam menempatkan dan melegitimasi praktik artisan ke dalam arena seni rupa Yogyakarta. Arsip dari katalog pameran,
surat
kabar,
dan
literatur
mendukung
untuk
menjelaskan latar belakang Slamet Widodo memilih praktik sebagai artisan secara berkesinambungan sampai saat ini. Untuk menjawab pertanyaan selanjutnya dalam penelitian ini
adalah
analisis
hasil
wawancara
digabungkan
dengan
dokumentasi foto dari struktur wujud karya serta foto katalog pameran
yang
diikuti
Slamet
Widodo
lalu
direkontruksi
berdasarkan klasifikasi struktur wujud karya rupa. Analisis tersebut dianalogikan sebagai suatu „arena‟ yang berada dalam wilayah kuasa dominasi (peran agen dominan). Oleh karenanya, analisis struktur bentuk karya rupa tersebut ekuivalen dengan analisis „arena‟ Bourdieu. H. Sistematika Penulisan Berdasarkan rumusan masalah yang ditetapkan, penulisan tesis ini terbagi menjadi lima bab.
32
Bab I, pengantar, menjelaskan tentang: latar belakang; rumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian; tinjauan pustaka; landasan teori; metode penelitan; sistematika penulisan. Bab II, membahas latar belakang Slamet Widodo memilih praktik berkesenian sebagai artisan di Yogyakarta. Bab III, membahas kontestasi karya artisan Slamet Widodo di dalam praktik berkesenian di Yogyakarta Bab IV, membahas pembedaan wujud karya Slamet Widodo sebagai artisan dan perupa Bab V, penutup, berisi kesimpulan atau jawaban dari pertanyaan penelitian.