1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Indonesia, terdiri dari ribuan pulau menyebar di seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke, merupakan satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk mempersatukan hal tersebut memerlukan sarana transportasi darat, laut maupun udara, guna menunjang pembangunan ekonomi nasional sekaligus untuk menghadapi persaingan global. Untuk melakukan perjalanan dengan jarak tempuh kurang dari 500 km, sarana transportasi yang ideal digunakan adalah transportasi darat baik bus maupun kereta api. Sedangkan untuk jarak tempuh 500 km – 800 km, baik transportasi darat, laut maupun udara dapat digunakan seimbang, dalam arti pengguna jasa transportasi dapat memilih diantara ketiga jenis sarana transportasi tersebut. Namun untuk jarak tempuh lebih dari 800 km, transportasi udara cenderung lebih unggul dibandingkan dengan sarana transportasi lainnya. Keunggulan transportasi udara antara lain dapat mengatasi hambatan geografis, kehandalan sarana dan prasarana, keamanan dan keselamatan diperjalanan, waktu tempuh dalam perjalanan yang lebih cepat dan nyaman.
2
Transportasi udara domestik mempunyai peran yang sangat signifikan sebagai sarana pemersatu bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, budaya, adat istiadat, bahasa daerah yang tersebar di seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Transportasi udara juga mempercepat mobilitas penduduk dari satu daerah ke daerah yang lain. Transportasi udara dapat digunakan untuk membuka daerah-daerah terpencil yang tiba gilirannya dapat mengembangkan dan meningkatkan ekonomi dan pembangunan daerah tersebut, disamping sebagai sarana transportasi ekonomi nasional yang merupakan urat nadi ekonomi dan pembangunan nasional. Perkembangan dunia penerbangan di Indonesia sejak diberlakukannya beberapa kebijakan relaksasi di bidang angkutan udara menimbulkan pertumbuhan bisnis penerbangan yang sangat pesat. Hal ini menjadikan iklim usaha dunia penerbangan menjadi lebih kondusif dan kompetitif. Pertumbuhan bisnis penerbangan tersebut tampak dari besarnya jumlah pengguna jasa transportasi yang diangkut setiap tahunnya. Pertumbuhan tersebut perlu dukungan sumber daya manusia yang terampil dan tersedianya pesawat udara yang memadai. Sementara itu, pengadaan pesawat udara memerlukan dana yang besar karena harga pesawat udara yang sangat mahal. Apabila pengadaan pesawat udara tersebut harus dibeli langsung secara tunai oleh perusahaan penerbangan, hal itu akan mengganggu biaya operasional lainnya dari perusahaan penerbangan tersebut. Bisnis penerbangan adalah suatu industri yang mengandalkan teknologi tinggi dan padat modal yang mana aset terbesar dan paling bernilai bagi
3
perusahaan penerbangan adalah pesawat udara itu sendiri. Oleh karena itu, seringkali perusahaan penerbangan harus meminjam dana kepada Bank atau lembaga pembiayaan lain dalam rangka pengadaan pesawat udara.Dalam hal ini, Bank atau lembaga pembiayaan lainnya sebagai kreditur dalam negeri membutuhkan perlindungan hukum dan jaminan bahwa perusahaan penerbangan sebagai debitur akan melunasi hutangnya. Kreditur juga dapat melakukan penarikan terhadap pesawat udara apabila debitur wanprestasi. Adanya jaminan yang bersifat kebendaan yang memberikan hak preferensi1 kepada kreditur, maka kreditur dapat merasa lebih aman dalam memberikan pinjaman terhadap debitur. Pemerintah Republik Indonesia bertugas sebagai regulator atau otoritas penerbangan yang bertanggung jawab terhadap dipatuhinya seluruh aturan, ketentuan, dan regulasi yang dikeluarkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO)2. Namun, sayangnya pertumbuhan bisnis penerbangan tidak diiringi dengan sistem hukum yang menopang pertumbuhan bisnis sektor tersebut. Salah satunya adalah hukum mengenai jaminan atas pesawat udara yang terkait dengan pengadaanpesawat udara dan jaminan suatu hutang. Belum adanya regulasi yang mengatur pesawat udara sebagai jaminan hutang merupakan salah satu hambatan memperoleh dana untuk pengadaan pesawat
1
udara
sehingga
dapat
menghambat
pertumbuhan
industri
Preferensi adalah hak istimewa bagi penagih (orang yg berpiutang), http://www.kbbi.web.id Chappy Hakim, Tantangan Besar Dunia Penerbangan Kita, http://www.infopenerbangan.com/opini/opini-publik/1097-tantangan-besar-dunia-penerbangankita.html, diakses tanggal 1 Mei 2014. 2
4
penerbangan
di
Indonesia.
Hal
tersebut
menyebabkan
perusahaan
penerbangan sulit memperoleh dana, sebaliknya Bank atau lembaga pembiayaan lain tidak mau meminjamkan uangnya tanpa adanya jaminan atau kepastian hukum bahwa piutang akan dilunasi.Pada umumnya peminjaman uang untuk pengadaan pesawat udara selalu mensyaratkan adanya jaminan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Guna menjawab tantangan tersebut, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Cape Town 2001 beserta Protokolnya3 dan sekaligus dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Hal tersebut untuk membantu pengadaan dan memodernisasi armada pesawat udara, serta memberikan keuntungan bagi kreditur, debitur, pemerintah Indonesia dan masyarakat pengguna jasa transportasi udara. Bagi kreditur keuntungannya adalah memberikan kepastian hukum, sehingga bilamana debitur melakukan cedera janji (wanprestasi) kreditur dapat merealisasi jaminan hak kebendaan atas modal barang bergerak, yang berupa kerangka pesawat udara, mesin pesawat terbang dan helikopter sebagai obyek perjanjian, sehingga kreditur mau menanamkan modal mereka di Indonesia. Kepercayaan kreditur meningkat karena dijamin oleh pemerintah bilamana debitur cedera janji (wanprestasi), pemerintah akan melepaskan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara yang bersangkutan.
3
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention on International Interest in Mobile Equipment (Konvensi tentang Kepentingan Internasional Dalam Peralatan Bergerak) beserta Protocol to the Conention on Matters Specific to Aircraft Equipment (Protokol Pada Konvensi tentang Kepentingan Internasional Dalam Peralatan Bergerak Mengenai MasalahMasalah Khusus Pada Peralatan Pesawat Udara)
5
Keuntungan bagi debitur adalah dapat meningkatkan posisi tawar menawar untuk mencari sumber dana kredit pada sektor penerbangan untuk pengadaan, memodernisasi armada pesawat udara beserta perlengkapannya. Untuk memperoleh dana tersebut biasanya kreditur menggugat adanya jaminan hak kebendaan (chargor) yang pasti atas barang modal bergerak, termasuk pesawat udara. Dengan meratifikasi Konvensi Cape Town 2001, Indonesia dapat meyakinkan kepada kreditur bahwa bilamana debitur melakukan wanprestasi terhadap perjanjian, kreditur dapat segera mengambil pesawat udara yang digunakan sebagai obyek perjanjian. Berdasarkan
ratifikasi
tersebut,
perusahaan
penerbangan
dapat
memanfaatkan kemudahan fasilitas ini dalam rangka pengadaan dan memodernisasi armada pesawat udara, sehingga secara tidak langsung dapat mendorong pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia. Posisi debitur di Indonesialebih percaya diri karena dukungan Pemerintah terhadap jaminan hak kebendaan atas pesawat udara sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran perjanjian. Di samping itu, biaya jaminan risiko akan turun dan kepercayaan kreditur meningkat, sehingga biaya pengadaan pesawat udara turun yang tiba gilirannya masyarakat dapat menikmati jasa transportasi udara dengan harga yang wajar. Keuntungan bagi pemerintah Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia ikut menumbuh-kembangkan hukum udara perdata internasional dalam pergaulan internasional, bahwa Indonesia dapat mengakui status pesawat udara sebagai benda tetap dan menunjukkan
6
itikad baik terhadap dunia internasional yang tidak mempersulit pelepasan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara bilamana debitur melakukan wanprestasi, apalagi Indonesia sekarang ini sedang mencari dukungan internasional untuk menjadi anggota Dewan Harian (ICAO-Council) dalam pemilihan tahun yang akan datang. Keuntungan bagi masyarakat pengguna jasa transportasi udara adalah menurunnya biaya pengangkutan melalui udara, harga barang dapat diturunkan dan masyarakat dapat membeli barang yang relatif lebih murah, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dengan berkurangnya biaya pengangkutan maka ongkos untuk mengangkut pun dapat diturunkan sehingga menguntungkan bagi pengguna jasa transportasi udara. Berdasarkan keuntungan bagi kreditur, debitur, keuntungan pemerintah maupun masyarakat tersebut di atas, maka Indonesia meratifikasi Konvensi Cape Town 2001 untuk membantu pengadaan dan memodernisasi armada pesawat udara yang dicantumkan dalan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007. Namun, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak menyebutkan secara spesifik hak jaminan kebendaan apa yang dapat dibebankan bagi pesawat udara, hanya disebutkan hak jaminan kebendaan, yang mana dalam hukum Indonesia dikenal berbagai macam lembaga jaminan kebendaan, seperti gadai, fidusia dan hak tanggungan. Kemudian disebutkan juga bahwa perjanjian pengikatan pembiayaan pesawat
7
terbang dan perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan dapat dibuat berdasarkan hukum yang dipilih oleh para pihak pada perjanjian tersebut4. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa Undang-Undang tersebut sebenarnya berusaha untuk mengakomodir pengakuan hak atas jaminan kebendaan yang dibuat berdasarkan hukum asing. Dalam hukum kebendaan Indonesia mengenal penggolongan benda menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Penggolongan ini mempunyai akibat yang penting terutama yang terkait dengan hak jaminan kebendaan yang dapat dibebankan atas benda tersebut. Pesawat udara menurut sifatnya yang dapat berpindah dan dipindahkan adalah benda bergerak namun perlakuan yang diberikan terhadap pesawat udara berbeda dengan barang bergerak lainnya. Hal ini tercermin dari adanya kewajiban pendaftaran bagi pesawat udara dan tanda kebangsaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan bahwa setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran5. Dan bagi pesawat udara yang telah mempunyai sertifikat pendaftaran Indonesia diberikan tanda kebangsaan Indonesia6. Terhadap benda tidak bergerak hak jaminan kebendaan yang dapat diberikan adalah Hak Tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
4
Indonesia, Undang-Undang tentang Penerbangan, UU No. 1 Tahun 2009, LN No. 1 Tahun 2009, TLN No. 4956, psl. 72. 5 Ibid., psl. 24. 6 Ibid., psl. 27 ayat (1).
8
Yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-undang Hak Tanggungan) dan Hipotik yang diatur dalam Buku
II
Bab
XXI
Kitab
Undang-undang
Hukum
Perdata
(KUHPerdata). Sedangkan bagi benda bergerak hak jaminan kebendaan yang dapat dibebankanadalah Gadai sebagaimana diatur dalam Buku II Bab XX KUHPerdata dan Fidusia berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang JaminanFidusia (Undang-undang Fidusia). Pesawat terbang tidak mungkin dibebankan dengan Hak Tanggungan karena menurut Undang-undang Hak Tanggungan dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria), Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu7. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Fidusia, jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak bewujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Namun dalam ketentuan selanjutnya mengecualikan hipotek atas pesawat terbang, sehingga dengan demikian pesawat terbang tidak bisa dibebankan dengan fidusia8. Sebagai benda bergerak pesawat udara tidak bisa dibebankan dengan gadai karena pada gadai konsep utamanya adalah benda yang dijadikan objek jaminan harus berada dalam kekuasaan penerima gadai/ 7
Indonesia (b), Undang-undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No.3632, psl. 1 ayat (1). 8 Indonesia (c), Undang-undang Tentang Jaminan Fidusia, UU No. 42 Tahun 1999, LNNo. 168 Tahun 1999, TLN No. 3889, psl. 3.
9
kreditur. Bagi pesawat terbang hal itu adalah tidak mungkin karena debitur membutuhkan pesawat terbang tersebut untuk menjalankan usahanya9. Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk membuat suatu kajian yang lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut, dengan judul “KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM NEGERI TERKAIT DENGAN PESAWAT UDARA SEBAGAI JAMINAN HUTANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN”
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan tersebut, maka penulis mengambil suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana kepastian hukum terkait dengan hak jaminan kebendaan atas pesawat udara sebagai jaminan hutang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan?
2.
Bagaimana perlindungan hukum bagi kreditur dalam negeri dalam proses penjaminan pesawat udara setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan?
C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang kepastian dan perlindungan hukum bagi kreditur dalam negeri terkait dengan pesawat udara sebagai jaminan hutang ditinjau 9
Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1999), psl. 1152.
10
dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan belum pernah ada yang meneliti. Memang, ada beberapa penelitian yang mirip dan relevan dengan penulis, namun berbeda dalam pengungkapan materi, kasus yang diteliti maupun pemecahan masalahnya. Adapun penelitian yang relevan dengan yang penulis lakukan diantaranya adalah: 1.
Irlan Febriansyah (UGM, 2006), dengan judul: ”Pesawat Terbang Sebagai Jaminan Hipotik Dalam Pemberian Kredit Investasi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Jakarta”.
2.
Prathiti Kusuma Rahayu (UGM, 2013), dengan judul: “Kapal Laut Sebagai Jaminan Hipotik (Studi Kasus Antara PT. Bank X, Tbk dengan PT. Y)”.
Namun, kedua penelitian dimaksud langsung menitikberatkan penelitian pada jaminan hipotik, sedangkan penulis justru ingin mencari tahu hak jaminan kebendaan apa yang seharusnya digunakan sebagai jaminan hutang atas pesawat udara. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk menambah dan melengkapi penelitian terdahulu.
D. Manfaat Penelitian Penulisan tesis ini diharapkan akan diperoleh manfaat praktis dan teoritis sebagai berikut: 1.
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak sebagai berikut:
11
a.
Bagi penulis, penelitian ini dilakukan untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada program Pascasarjana Universitas Gajah mada.
b.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan dan Lembaga Perbankan di Indonesia, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan, evaluasi serta referesi berkaitan dengan proses penjaminan pesawat udara sebagai jaminan hutang setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
c.
Bagi Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya bagi mahasiswa yang melakukan penelitian berkait dan dengan proses penjaminan pesawat udara sebagai jaminan hutang dan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi kreditur dalam negeri.
2.
Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai berikut: a.
Memberikan masukan bagi pihak-pihak berkepentingan dalam kegiatan proses penjaminan pesawat udara sebagai jaminan hutang.
b.
Memberikan masukan bagi kreditur dalam negeri dengan kepastian hukum dan perlindungan yang diperoleh terhadap proses penjaminan pesawat udara sebagai jaminan hutang.
12
c.
Sebagai informasi bagi para peneliti dan praktisi Penerbangan yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan substansi yang sama dengan sudut pandang lain.
E. Tujuan Penelitian a. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan objek yang diteliti dan dalam rangka penyusunan penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. b. Tujuan Objektif Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mengetahui dan menganalisis tentang: a)
Kepastian hukum terkait dengan hak jaminan kebendaan atas pesawat udara sebagai jaminan hutang berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
b)
Perlindungan hukum bagi kreditur dalam negeri dalam proses penjaminan pesawat udara setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.