1
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Dalam perjalanan Sejarah Indonesia, awal abad ke-20 umumnya disebut sebagai babak baru kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Dikatakan demikian karena berbeda dengan periode sebelumnya yang cenderung “eksploitatif”, pada periode tersebut mulai berkembang pemikiran di kalangan orang-orang Belanda untuk meningkatkan kemakmuran orang-orang pribumi. Sebuah kebijakan baru yang menjadi tonggak penting perubahan kehidupan di Hindia Belanda itu dikenal dengan sebutan Politik Etis.1 Adapun dalam Sejarah Indonesia pembahasan mengenai kebijakan tersebut terfokus pada perubahan-perubahan aktivitas orangorang pribumi. Sementara itu, penulisan mengenai komunitas Tionghoa dalam hubungannya dengan Politik Etis masih meninggalkan celah, sekalipun akhirakhir ini sudah banyak upaya dilakukan untuk mengisinya. Politik Etis pada dasarnya ditujukan bagi kepentingan orang-orang pribumi daripada Tionghoa. Kebijakan tersebut merupakan reaksi atas menurunnya kesejahteraan orang-orang Pribumi yang menurut pemerintah Hindia Belanda disebabkan oleh dominasi pedagang atau rentenir Tionghoa.2 Sebagai solusinya petani dan pedagang eceran pribumi diarahkan untuk meminjam modal
1
M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi, 2009), hlm.327. 2
J.S. Furnivall (Terj.Samsudin Berlian), Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hlm. 254. 1
2
dari bank simpan pinjam atau pergadaian yang dibangun di desa-desa.3 Berikutnya kegiatan penyuluhan dan pembangunan irigasi pertanian semakin mendapatkan perhatian. Kebijakan yang semula ditujukan untuk menyerang perekonomian komunitas Tionghoa kemudian berkembang dalam bidang pendidikan. Hal itu terbukti ketika orang-orang Pribumi mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah pemerintah Hindia Belanda, sebaliknya komunitas Tionghoa belum mendapatkan perhatian serius setidaknya sampai dasawarsa pertama abad ke-20. Persoalan demikian itu menambah kebencian komunitas Tionghoa sebab mereka juga menerima pembatasan gerak melalui pemberlakuan surat pas dan perkampungan khusus.4 Kondisi komunitas Tionghoa yang semakin tertekan bertemu dengan gerakan nasionalisme Tiongkok yang berkembang ke Hindia Belanda.5 Hal itu kemudian berkontribusi dalam menumbuhkan semangat pergerakan komunitas Tionghoa untuk mendapatkan kedudukan yang sama dengan orang-orang Eropa. 3
Takashi Shiraishi, “Anti-Sinicism in Java’s New Order” dalam D. Chirot & A. Reid. (eds.), Essential Outsider : Chinese and Jews in The Modern Transfromation of Southeast Asia and Central Europe (Washington: Universtiy of Washington Press, 1997), hlm. 199. 4
Lea E. Williams, Overseas Chinese The Genesis of The Pan Chinese Movement in Indonesia 1900-1916 (Glencoe: Free Press, 1960), hlm. 26. 5
Gerakan Nasionalisme Tiongkok merupakan respon atas ketidakpuasan orang-orang Tionghoa terhadap tindakan sewenang-wenang dari Dinasti Ching (orang-orang Mancu) dan masuknya kekuatan politik dan militer dari negaranegara Barat. Komunitas Tionghoa di perantauan merespon dengan meningkatkan semangat ketionghoaan karena apabila Tiongkok masih mengalami kekacauan maka mereka akan diremehkan. Sebaliknya jika Tiongkok mampu melepaskan diri dari persoalan tersebut maka posisi mereka di perantauan menjadi lebih kuat, lihat, Nio Joe Lan, Tiongkok Sepanjang Abad (Jakarta: Balai Pustaka, 1952), hlm. 251.; lihat pula, Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of The Pan Chinese Movement in Indonesia 1900-1916 (Illinois: The Free Press, 1960), hlm. 42-46.
3
Komunitas Tionghoa membentuk alat pergerakan yang terdiri dari perkumpulan, sekolah, dan pers Tionghoa dengan dana dari anggota maupun pihak swasta lainnya untuk mencapai tujuan tersebut. Perkembangan pergerakan Tionghoa yang ditunjang kemandirian ekonomi berdampak pada penghapusan secara bertahap pembatasan gerak, mendapatkan kesempatan menjadi anggota dewan kota atau karesidenan, dan terbukanya akses yang lebih luas dalam dunia pendidikan bagi komunitas Tionghoa. Pergerakan Tionghoa di Batavia mendapatkan respon dari komunitas Tionghoa yang berada di kota-kota di pesisir utara Jawa Tengah. Sebagaimana diketahui area tersebut memiliki peran penting sebagai jalur masuk utama bagi imigran Tionghoa yang datang sebelum abad ke-20.6 Dari beberapa kota yang terletak di pesisir utara Jawa, Kota Rembang dan Lasem memiliki beberapa pertimbangan penting untuk dikaji. Pertama, komunitas Tionghoa khususnya yang bermukim di Lasem memiliki akar historis cukup tua dibandingkan dengan kotakota lain.7 Kedua, Kota Rembang dan Lasem merupakan penyumbang paling besar dari jumlah keseluruhan penduduk Tionghoa di Kabupaten Rembang, yang menempatkannya sebagai urutan keempat di Jawa setelah Batavia, Surabaya, dan Semarang pada tahun 1901.8 Bahkan jika dibandingkan dengan kabupaten lain di 6
Mengenai kedatangan orang-orang Tionghoa pada abad ke-17 dan perkembangannya sampai awal abad ke-20 di Semarang lihat Liem Thian Joe, Riwayat Semarang (Jakarta, Hasta Wahana, 2004). 7
R. P. Kamzah, Carita Sejarah Lasem (Semarang: Pembabar Pustaka, 1985), hlm. 45.; H.J. De Graff, dkk, (Terj. Alfajri), Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm.3. 8
Koloniaal Verslag, 1902, Bijlage A, hlm. 8.
4
Jawa, Rembang berada di urutan pertama pada tahun yang sama. Hal ini menarik karena Kota Rembang dan Lasem merupakan bagian dari sebuah kabupaten kecil dengan fasilitas yang terbatas. Ketiga, pedagang Tionghoa terlibat aktif dalam perdagangan maupun penyelundupan candu pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20 di Kota Rembang dan Lasem. Dalam peralihan abad tersebut, mereka mendapatkan tekanan berat karena penghapusan lisensi perdagangan opium dan pengawasan opium regie yang bertambah ketat. Beberapa pertimbangan tersebut menjadi landasan untuk mengungkap aktivitas komunitas Tionghoa di Kota Rembang dan Lasem dalam batasan spasial dan temporal yang jelas, dari sudut pandang sejarah sosialekonomi.
B. Rumusan Masalah Dari uraian sebelumnya maka pokok permasalahan tesis ini adalah sejauhmana dan dalam hal apa dampak Politik Etis dan Pergerakan Tionghoa terhadap perubahan-perubahan sosial-ekonomi komunitas Tionghoa di Kota Rembang dan Lasem. Kemudian untuk menguraikan inti permasalahan tesis tersebut diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut. a. Apakah aktivitas komunitas Tionghoa dalam perdagangan dan perkreditan terhambat setelah orang-orang pribumi mendapat dorongan dari Politik Etis? b. Bagaimana peran komunitas Tionghoa bagi perekonomian masyarakat kota Rembang dan Lasem beserta dampak yang ditimbulkan? c. Mengapa dan sejauhmana pergeseran kerja terjadi dalam komunitas Tionghoa?
5
d. Apakah kendala yang dialami komunitas Tionghoa dalam bidang pendidikan, dan bagaimana dampaknya terhadap pergerakan Tionghoa di kota Rembang dan Lasem?
C. Ruang Lingkup Penelitian Penulisan sejarah selalu dibatasi oleh waktu dan tempat sebagaimana dengan tesis ini. Pembahasan utama tesis ini meliputi paruh pertama abad ke-20 dengan batas awal yaitu akhir abad ke-19 sampai dekade pertama abad ke-20. Pemilihan tersebut mempertimbangkan beberapa hal seperti terbentuknya pergerakan Komunitas Tionghoa sebagai reaksi atas Politik Etis, penghapusan lisensi perdagangan opium, dan kebutuhan pendidikan modern. Adapun tahun 1942 dipilih sebagai batas akhir dengan pertimbangan pedagang Tionghoa mengalami hambatan dalam mengembangkan perdagangan akibat krisis 1930an dan meningkatnya solidaritas Tionghoa sebagai respon atas penyerangan Jepang terhadap Tiongkok. Pertimbangan berikutnya adalah pada tahun tersebut bala tentara Jepang telah memasuki Hindia Belanda yang mengakibatkan perubahan penting dalam kehidupan komunitas Tionghoa, sehingga mereka mengalami sebuah periode baru yang berbeda dengan sebelumnya. Tesis ini memusatkan perhatian terhadap aktivitas sosial-ekonomi komunitas Tionghoa di Kota Rembang dan Lasem, dengan beberapa pertimbangan yang dijelaskan pada sub bab latar belakang.
D. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan maka tesis ini bertujuan mengungkap dampak Politik Etis dan Pergerakan Tionghoa terhadap perubahan-
6
perubahan sosial-ekonomi komunitas Tionghoa sebagai di Kota Rembang dan Lasem. Kemudian menganalisis sejauhmana perubahan tersebut terjadi, beserta alasan-alasan yang menjelaskan mengapa dan bagaimana perubahan tersebut dapat terjadi. Selain itu hal penting lainnya yang menjadi tujuan tesis ini adalah memperkaya kajian yang sudah ada bahwa Politik Etis tidak hanya mengakibatkan dinamika orang-orang pribumi tetapi juga komunitas Tionghoa dalam batasan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan fasilitas yang tersedia di tempat mereka bermukim.
E. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai komunitas Tionghoa di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20 telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti baik dari dalam maupun luar negeri. Lea E. Williams misalnya melihat pergerakan orang-orang Tionghoa terbentuk berkat adanya pengaruh dari luar yaitu ide atau gagasan baru dari gerakan nasionalisme Tiongkok dan kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang merugikan di dalam negeri.9 Pergerakan tersebut diwujudkan dalam bentuk perkumpulan, surat kabar, dan pembangunan sekolah. Ketiga alat pergerakan tersebut umumnya memiliki jaringan antara satu kota dengan kota lainnya terutama yang memiliki penduduk Tionghoa dengan jumlah besar. Oleh karena itu ide-ide pergerakan bisa disebarluaskan dengan cepat. Secara bertahap orang-orang Tionghoa mulai dibebaskan dalam beraktivitas dan mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan. Penelitian ini terfokus pada peristiwaperistiwa di tingkat nasional, sehingga bisa menjadi gambaran umum untuk 9
Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of The Pan Chinese Movement in Indonesia 1900-1916 (Illinois: The Free Press, 1960).
7
mengungkap realitas pada area yang lebih terbatas yaitu di tingkat lokal. Akan tetapi periode penelitian tersebut masih terbatas pada dasawarsa kedua abad ke-20 sehingga diperlukan tulisan lain untuk melengkapinya. Selanjutnya Victor Purcell menaruh perhatian terhadap posisi komunitas Tionghoa di Hindia Belanda sebagai salah satu tujuan migran dari Tiongkok ke Asia Tenggara.10 Kesimpulan yang bisa diperoleh dari penjelasan Purcell adalah sebelum abad ke-20 orang-orang Tionghoa sengaja dikontrol oleh pemerintah Hindia Belanda dengan berbagai kebijakan pembatasan aktivitas. Namun, mereka secara bertahap mampu keluar dari pembatasan tersebut berkat pergerakan pada awal abad ke-20. Dalam periode yang baru tersebut terbukanya kesempatan pendidikan mempengaruhi pergeseran pekerjaan orang-orang Tionghoa sehingga tidak hanya menjadi pedagang tetapi pekerjaan-pekerjaan dibidang jasa, Selain itu mereka harus terlibat perselisihan dengan anggota Sarekat Islam, melakukan pemboikotan terhadap barang-barang Jepang, dan krisis ekonomi tahun 1930an. Secara keseluruhan banyak informasi mengenai aktivitas sosial-ekonomi yang bisa diperoleh dari tulisan tersebut. Akan tetapi Purcell kurang menganalisis keterlibatan orang-orang Tionghoa di bidang Politik yang tidak kalah penting dibandingkan sosial-ekonomi. Oleh karena itu diperlukan pembahasan dari penelitian lain untuk melengkapi kekurangan tersebut.
10
Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, (London:Oxford University Press, 1965).
8
Jika Purcell menjelaskan aktivitas politik orang-orang Tionghoa secara terbatas, maka Suryadinata memberikan informasi yang lebih detil.11 Suryadinata memetakan orientasi politik orang-orang Tionghoa peranakan ke dalam tiga kelompok yaitu Sin Po, Cung Hwa Hui, dan Partai Tionghoa Indonesia. Masingmasing kelompok tersebut, didukung pers Tionghoa, memiliki sikap yang berbeda mengenai posisi mereka di Hindia Belanda. Akibatnya antara satu kelompok dengan kelompok lain memiliki persamaan dan perbedaan sehingga menimbulkan pertentangan. Suryadinata memberikan bukti orang-orang Tionghoa terlibat aktif dalam pergerakan politik sebagaimana dilakukan orang-orang Pribumi. Penjelasan tersebut berguna sebagai landasan untuk melihat pergerakan politik Tionghoa di tingkat lokal sebagai konsekuensi dari pengaruh di tingkat nasional. Untuk membedakan tesis ini dengan penelitian sebelumnya, maka ditampilkan beberapa penelitian orang-orang Tionghoa di Lasem. Iqbal Rizaldin menulis kondisi perekonomian Tionghoa di Lasem dari tahun 1950 sampai tahun 1960.12 Skripsi ini bertujuan melihat dampak kebijakan nasional berupa Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1959 pada pedagang Tionghoa di Lasem. Kesimpulannya menunjukan perdagangan Tionghoa tidak terlalu terpengaruh dengan adanya kebijakan pembatasan gerak perdagangan di perdesaan. Kondisi tersebut dikarenakan skala bisnis Tionghoa tidak terlalu besar, sedangkan upaya Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kemandirian penduduk Jawa dengan membentuk koperasi belum membuahkan pencapaian yang maksimal. Oleh 11
Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994). 12
Iqbal Rizaldin, “Perekonomian Etnis Tionghoa Lasem 1950-1960”, Skripsi S-1, Jurusan Sejarah. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada, 2014.
9
karena pedagang Tionghoa yang memiliki modal dan jaringan luas tetap memegang peran penting dalam perdagangan. Dari penjelasan sebelumnya, penelitian tersebut terfokus kepada persoalan ekonomi. Sementara itu aspek sosial seperti pendidikan atau perkumpulan belum mendapatkan perhatian yang luas. Begitupula dengan periodisasi yang digunakan belum menyentuh periode pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu tesis ini akan mengisi aspek sosial yang kurang terlihat dari tulisan tersebut sekaligus menggunakan periode yang lebih lama yaitu awal abad ke-20. Penelitian mengenai orang-orang Tionghoa di Lasem dari sudut pandang sejarah ekonomi juga dilakukan Muhammad Abi Kusnawan.13 Akan tetapi berbeda dengan sebelumnya, tulisan ini menggunakan tiga periode yaitu pemerintahan
Jepang
dan
pasca
kemerdekaan
Indonesia.
Menurutnya
perdagangan orang-orang Tionghoa mengalami perkembangan pesat akhir pemerintahan Hindia Belanda. Akan tetapi, keuntungan tersebut tidak mampu dipertahankan pada periode pendudukan Jepang. Lalu setelah kemerdekaan Indonesia, aktivitas perdagangan mereka meningkat kembali. Pembahasan penelitian tersebut masih terbatas pada industri batik sedangkan orang-orang Tionghoa yang terlibat dalam perdagangan tanaman pangan, perkreditan, atau pegawai relatif belum dibahas terutama pada periode Hindia Belanda. Dengan demikian kekurangan-kekurangan yang masih ada tersebut selanjutnya akan dilengkapi melalui tesis ini.
13
Muhammad Abi Kusnawan, “Perekonomian Etnis Tionghoa di Lasem 1940-1950”. Skripsi S-1, Jurusan Sejarah. Fakultas Bahasa dan Sastra. Universitas Negeri Semarang, 2011.
10
Berikutnya Pratiwo mengkaji permukiman Tionghoa di Lasem dan Kota Rembang dengan menggunakan sudut pandang arsitektur.14 Sekalipun bukan sebuah karya historis, tetapi Pratiwo cukup mengandalkan sumber-sumber sejarah untuk memperkuat analisis dari tulisanya tersebut. Penelitian Pratiwo memberikan informasi mengenai proses terbentuknya permukiman Tionghoa di kedua kota tersebut dari abad ke-18 sampai abad ke-20. Akan tetapi persoalan seputar dinamika sosial komunitas Tionghoa di kedua kota pada awal abad ke-20 nyaris belum banyak dibicarakan. Sebagaimana Pratiwo, Handinoto juga menggunakan pendekatan sejarah dalam menganalisis perkembangan permukiman dan arsitektur Tionghoa di Lasem. Sama seperti sebelumnya informasi mengenai aktivitas penduduk Tionghoa pada awal abad ke-20 tidak banyak dibicarakan.15 Adapun Warto melihat pedagang Tionghoa mendominasi perdagangan di Keresidenan Rembang pada awal abad ke-20.16 Sekalipun bidang tersebut dibahas dalam tesis ini, tetapi Warto belum memberikan penekanan pada hubungan pengusaha dengan buruh usaha Batik Lasem maupun respon pengusaha terhadap krisis ekonomi. Meskipun dari segi periodisasi tidak jauh berbeda akan tetapi penelitian Warto mempergunakan spasial yang lebih luas yaitu Karesidenan Rembang, sedangkan tesis ini lebih sempit karena memusatkan pada Kota Rembang dan Lasem. Dengan demikian cukup dimungkinkan dapat memperoleh
14
Pratiwo, Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota (Yogyakarta: Ombak, 2010). 15
Handinoto, Lasem: Kota Tua Bernuansa Cina di Jawa Tengah (Yogyakarta: Ombak, 2015). 16
Warto, “Aktivitas Ekonomi Etnis Cina di Karesidenan Rembang Pada Awal Abad Ke-20”, Diakronik, Vol. 2 (7), Juli 2005, hlm.47-60.
11
fakta-fakta baru yang bisa dipergunakan untuk membantu melengkapi penelitian sebelumnya. Tesis ini tidak saja membutuhkan pembanding dari penelitian mengenai orang-orang Tionghoa tetapi juga Historiografi mengenai Rembang pada awal abad ke-20. Penelitian yang telah dilakukan diantaranya oleh Warto mengenai pemanfaatan hasil hutan secara berlebihan oleh pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Rembang.17 Penelitian tersebut berkontribusi dalam memberikan informasi mengenai kondisi alam Rembang dan keberadaan pengusaha Tionghoa yang menanamkan modal dalam kontrak penebangan hutan. Akan tetapi hubungan penghapusan lisensi penjualan candu terhadap keterlibatan pengusaha Tionghoa dalam kontrak tersebut belum mendapatkan perhatian. Beralih ke area pesisir, Indriyanto mengkaji dinamika fungsi dan pengaruh pelabuhan Rembang terhadap ekonomi masyarakat selama abad ke-19.18 Kesimpulan dari penelitian ini adalah Pelabuhan Rembang berfungi sebagai pintu keluar-masuk bagi penumpang Pribumi, Eropa, atau Tionghoa dan berbagai macam komoditi perdagangan. Dari aktivitas tersebut terbuka kesempatan ekonomi yang luas dalam bidang perdagangan dan jasa. Akan tetapi menjelang akhir abad ke-19 fungsi pelabuhan mengalami kemerosotan karena dua faktor. Faktor pertama adalah keputusan pemerintah Hindia Belanda yang tidak menempatkan Rembang sebagai pelabuhan ekspor atau impor. Kemudian faktor 17
Warto, Desa Hutan Dalam Perubahan: Eksploitasi Kolonial Terhadap Sumberdaya Lokal di Keresidenan Rembang 1865-1940 (Yogyakarta: Ombak, 2009). 18
Indriyanto,“Pelabuhan Rembang 1820-1900 (Profil Pelabuhan Kecil dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Ekonomi Wilayah Rembang)”, Tesis S2, Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada 1995.
12
kedua adalah pendangkalan pelabuhan yang disebabkan oleh gejala alam yaitu derasanya kumpur yang mengalir ke pantai utara Jawa sehingga menyebabkan pendangkalan. Penelitian tersebut memberikan kontribusi bagi tesis ini karena memberikan penjelasan mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat, khususnya yang memiliki hubungan dengan keberadaan Pelabuhan Rembang sebelum abad ke-20. Dengan demikian Indriyanto menjelaskan peran orang-orang Pribumi, Tionghoa, dan Eropa. Sementara itu tesis ini memfokuskan pada pergerakan orang-orang Tionghoa tanpa mengabaikan hubungan dengan orang-orang Pribumi dan Eropa. Dalam persoalan bidang pertanian, Mudji Hartono menyoroti dampak Politik Etis terhadap produktivitas tanaman pangan di Keresidenan Rembang.19 Kesimpulan penelitian tersebut adalah produktivitas padi Rembang tergolong rendah karena kerap mengalami kegagalan panen yang disebabkan setidaknya oleh dua faktor. Faktor pertama adalah pembenahan irigasi dan pembibitan tidak dapat berjalan maksimal karena adanya krisis ekonomi. Kemudian faktor kedua berhubungan dengan kondisi alam yaitu musim kemarau yang panjang sehinga kerap dilanda kekeringan. Penelitian tersebut memfokuskan pada aktivitas orang-orang Pribumi sebagai kelompok yang menjadi sasaran utama dari program peningkatan kesejahteraan. Meskipun demikian juga disebutkan secara terbatas keberadaan orang-orang Tionghoa sebagai pedagang perantara. Para pedagang tersebut datang langsung ke desa-desa untuk membeli hasil panen petani atau sebaliknya petani 19
Mudji Hartono, “Pertanian Tanaman Pangan di Rembang 1900-1928”, Tesis S2, Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada 2002.
13
sendiri yang membawanya ke Lasem atau Rembang. Akan tetapi Mudji kurang memberikan penjelasan mengenai hubungan pedagang Tionghoa dengan petani dalam sistem penjualan padi. Oleh karena itu tesis ini akan mengungkap persoalan tersebut. Dari beberapa penelitian sebelumnya dapat diambil kesimpulan penulisan sejarah Rembang sudah cukup beragam dari segi periode maupun tema penelitian yang
digunakan.
Akan
tetapi
pergerakan
komunitas
Tionghoa
yang
mempengaruhi aspek-aspek sosial-ekonomi awal abad ke-20 belum mendapat banyak perhatian. Oleh karena itu tesis ini fokus pada posisi komunitas Tionghoa dalam aktivitas sosial-ekonomi masyarakat Kota Rembang dan Lasem, antara tahun 1900 sampai tahun 1942.
F. Kerangka Berpikir Komunitas Tionghoa merupakan salah satu bagian dari komunitaskomunitas lain yang membentuk masyarakat Rembang. Sebelum masuk dalam pengertian orang Tionghoa, pemahaman mengenai arti komunitas itu sendiri perlu diperjelas. Kingsley Davis menyebut dua pertimbangan untuk memahami komunitas yaitu territorial proximity dan social completeness. Pertimbangan pertama menyangkut sekelompok orang yang bermukim di area yang sama. Mereka ini mengutamakan untuk menjalin hubungan dengan orang-orang di dekatnya daripada orang-orang di luar tempat tinggalnya. Adapun pertimbangan kedua bisa diartikan sebagai sebuah kelompok kecil dengan anggota yang saling berdekatan dalam semua aspek kehidupan sosial.20 20
Kingsley Davis, Human Society (New York: The Macmillan Company, 1960), hlm. 310-312.
14
Maciver dan Charles memiliki pendapat tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, ada dua pertimbangan dalam memahami komunitas yaitu locality dan community sentiment. Aspek locality menunjukan bahwa komunitas selalu ditandai dengan keberadaannya dalam sebuah area yang spesifik. Adapun community sentiment menunjuk pada pengertian anggota-anggota komunitas dipersatukan oleh ikatan saling membantu.21 Pengertian tokoh-tokoh tersebut paling tidak mengerucut pada kesimpulan sekelompok orang di sebuah area yang sama dengan kepemilikan rasa solidaritas dari masing-masing anggota sehingga memiliki hubungan yang saling berdekatan dibandingkan dengan komunitas lain. Kedekatan hubungan tersebut dibangun melalui pengalaman pribadi, pendidikan, dan kebiasaan sehingga membentuk perasaan atau ikatan kesadaran sebagai bagian dari sebuah komunitas. Ada tiga unsur yang membangun community sentiment yaitu pertama, we-feeling yaitu masing-masing anggota komunitas mengidentifikasi diri sebagai sebuah kesatuan karena memiliki kepentingan dan mengalami kondisi yang sama. Kedua, role-feeling yaitu orangorang yang tergabung dalam komunitas memiliki kesadaran tentang peran sosial di masyarakat. Ketiga, dependecy-feeling yaitu ketergantungan terhadap komunitas sebagai tempat pelindung yang memberikan rasa aman dan semangat untuk menjalani kehidupan.22 Berikutnya terdapat dua tanda community sentiment yaitu community folkways dan Interest in the local life. Tanda yang pertama merupakan ciri khas sebuah komunitas meliputi keyakinan, kebiasaan, atau bahasa yang membedakan 21
R.M. Maciver & Charles H. Page, Society An Introductory Analysis (London: Macmillan & Co Ltd, 1961), hlm. 9-10. 22
Ibid., hlm. 292-293.
15
dengan komunitas lain. Adapun tanda yang kedua menunjukan anggota komunitas baik secara fisik maupun psikologi lebih dekat dengan sesama anggota komunitas, dibandingkan dengan komunitas lain. Dalam komunitas modern hal itu didukung oleh peran surat kabar atau penerbitan yang memungkinkan anggota semakin mengetahui aktivitas-aktivitas komunitas tersebut.23 Sekalipun komunitas terbangun oleh solidaritas tetapi bukan berarti masing-masing anggota memiliki perilaku yang seragam sebab terdapat pula perbedaan. Adapun perbedaan tersebut adalah pertama, menyangkut usia, jenis kelamin, maupun spesialisasi anggota komunitas sehingga mempengaruhi pembagian kerja yang berbeda-beda. Kedua, kondisi yang disebutkan sebelumnya mempengaruhi terbentuknya pembagian kelompok majikan dan pekerja. Ketiga, kebebasan berpolitik mempengaruhi keterlibatan masing-masing anggota dalam perkumpulan yang berbeda-beda.24 Perbedaan-perbedaan tersebut menunjukan anggota komunitas memiliki latar belakang yang beragam sehingga dalam hal tertentu memiliki posisi dan kepentingan berbeda. Penjelasan sebelumnya mengenai unsur-unsur atau tanda-tanda dari sebuah komunitas akan dipergunakan untuk membantu memahami sekelompok orang Tionghoa sebagai komunitas.. Ada berbagai golongan etnik di Hindia Belanda, salah satunya adalah orang-orang Tionghoa Menurut Bath penggolongan sebuah etnik terbentuk karena ada batas-batas etnik yaitu ciri atau kriteria yang ditentukan oleh sebuah kelompok untuk menilai seseorang termasuk ke dalam anggotanya atau bukan. Ciri tersebut tetap bertahan sekalipun terjadi interaksi dengan berbagai etnik 23
R.M. Maciver & Charles H. Page, ibid.,hlm. 294-295.
24
Ibid.,hlm. 304-305.
16
lain.25 Penjelasan Bath dipergunakan untuk mengidentifikasi siapa-siapa yang digolongkan sebagai komunitas Tionghoa melalui ciri-ciri etnik seperti penggunaan nama dan bahasa. Di Hindia-Belanda, terutama Jawa, orang-orang Tionghoa secara biologis dan budaya sering dibedakan sebagai totok dan peranakan. Akan tetapi, bukan perkara mudah untuk mengenali atau mengelompokan seseorang ke dalam kedua istilah tersebut. Penyebutan Tionghoa totok dipahami sebagai orang Tionghoa yang lahir di Tiongkok kemudian melakukan migrasi ke Hindia-Belanda.26 Selain itu bisa dipergunakan untuk menyebut seseorang yang lahir di Hindia-Belanda tetapi dari keluarga totok. Mereka ini biasanya masih memegang teguh ajaran leluhurnya tanpa menyerap budaya ditempat yang baru.27 Identitas tersebut misalnya bisa dilihat dari kemampuan menggunakan bahasa dan huruf mandarin untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.28 Kemudian mereka memiliki orientasi politik ke Tiongkok sebagai tempat asal leluhur yang harus dibangun setelah memperoleh kesukesasan di Hindia-Belanda.29 Adapun istilah Tionghoa peranakan kerap dimaknai sebagai orang-orang Tionghoa yang lahir di Hindia-Belanda dari hasil perkawinan, meskipun tidak 25
Frederik Bath.(ed.), (Terj. Nining I. Soesilo), Kelompok Etnik dan Batasannya (Jakarta: UI-Press, 1988), hlm. 16. 26
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti Press,1981), hlm. 90. 27
Mely G Tan (ed), Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia : Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta:Gramedia, 1979), hlm. 10. 28
Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan (Depok: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 28-29. 29
G. Williamm Skinner,” Golongan Minoritas Tionghoa”, dalam Mely G Tan (ed), op.cit., hlm. 11.; Leo Suryadinata, op.cit., hlm. 94.
17
selalu, antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan Pribumi sehingga terjadi perkawinan campuran.30 Mereka tidak saja mempertahankan kebudayaan leluhur seperti Imlek, Tjap Go Meh, atau berdoa di klenteng, tetapi juga menyerap budaya setempat seperti bahasa Jawa atau Melayu untuk berkomunikasi.31 Sebaliknya penggunaan bahasa dan huruf mandarin terbatas pada kepentingan perdagangan sedangkan dalam urusan lain mulai ditinggalkan. Pengertian orang-orang Tionghoa totok maupun peranakan merupakan persoalan identitas yang juga menjadi bagian dari persoalan sosial. Ciri-ciri dari keduanya akan dipergunakan untuk membantu melihat dinamika sosial yang ditimbulkan oleh perkembangan pendidikan, perkumpulan, dan aksi sosial seperti penggalangan dana. Komunitas Tionghoa berperan dalam menghubungkan kepentingan orangorang Eropa dengan Pribumi. Hubungan tersebut kerap terjadi dalam bidang perdagangan sehingga posisinya menjadi pedagang perantara. Reid menyebutnya sebagai entrepreneur minorities yaitu orang-orang kelas kedua dalam masyarakat, biasanya minoritas, yang memiliki spesialisasi jual-beli barang, mengatur keuangan, dan modal.32 Ia menambahkan interaksi mereka dengan orang-orang Pribumi tidak selalu berjalan mulus tetapi juga menimbulkan pertentangan. Penyebabnya adalah isu agama, ras, dan terutama karena mereka menekuni pelayanan kredit dan penarikan pajak sehingga menimbulkan kebenciaan.33
30
Mely G. Tan, op.cit., hlm. 10. Lihat pula Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti Press,1981), hlm. 88. 31
Onghokham, op.cit., hlm. 29.; Mely G. Tan, ibid, hlm. 10.
32
Anthony Reid dalam D. Chirot & A. Reid. (eds.), op.cit., hlm. 34.
33
Ibid., hlm. 35
18
Jika sebelumnya konsep pedagang perantara dilihat dari sudut pandang ilmu sosial maka selanjutnya dari ilmu ekonomi. Menurut Liem Twan Djie posisi pedagang perantara bisa didefinisikan sebagai cabang perdagangan yang menjadi penghubung antara dua pihak yaitu pedagang besar atau industri dengan pedagang kecil atau masyarakat umum.34 Ong Eng Die juga memberikan kesimpulan serupa bahwa pedagang perantara merupakan aktivitas ekonomi yang dilakukan pedagang besar dan kecil (pedagang keliling) dengan tujuan mengumpulkan dan mendistribusikan barang.35 Dari penjelasan keduanya bisa diperoleh kesimpulan pedagang perantara orang-orang Tionghoa memainkan peran penting dalam persoalan distribusi karena pada level ini kemampuanya dibutuhkan oleh produsen maupun konsumen yang ada di masyarakat baik orang-orang Eropa, Pribumi, maupun Tionghoa sendiri. Penjelasan dari para ahli tersebut menjadi modal untuk mengungkap dalam bidang apa dan siapa saja pihak-pihak yang menjalin
hubungan
dengan
pedagang
perantara
Tionghoa
Rembang.
Selanjutnya pendekatan Sejarah Sosial menjadi alat bantu untuk membangun fakta berdasarkan sumber-sumber sejarah sehingga menjadi narasi yang utuh. Sejarah Sosial pada dasarnya fokus pada persoalan kehidupan sosial masyarakat yang dalam tesis ini terfokus pada komunitas Tionghoa.36 Pendekatan tersebut memiliki cakupan yang luas sehingga dalam hal ini dibatasi seputar 34
Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Cina di Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 3. 35
36
Ong Eng Die, dalam Mely G Tan (ed), op.cit.,hlm. 30.
Djoko Suryo, Sejarah dan Sejarah Sosial Tergugahnya Objektivitas Sejarah Sosial,dalam S. Margana, dkk, (Penyunting), Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia Modern (Yogyakarta: STPN PressJurusan Sejarah FIB UGM, 2009), hlm. 75.
19
perkumpulan, pendidikan, dan hubungan komunitas Tionghoa dengan orangorang Eropa dan Pribumi yang mempengaruhi terbentuknya kerja sama, persaingan, dan konflik. Persoalan-persoalan yang berada dalam lingkup Sejarah Sosial dapat dikombinasikan dengan persoalan Sejarah Ekonomi sehingga menjadi Sejarah Sosial-Ekonomi.37 Pendekatan tersebut dipergunakan untuk mengungkap jenis pekerjaan, tingkat upah, perdagangan, dan dampak serta respon pengusaha Tionghoa terhadap krisis ekonomi 1930. Untuk mendukung pejelasan tersebut maka data statistik akan dipergunakan secara terbatas.
G. Sumber dan Metode Penelitian Untuk menghasilkan penulisan sejarah maka tesis ini memerlukan sumbersumber sejarah baik tertulis atau lisan. Beberapa sumber tertulis yang dipergunakan adalah dokumen pemerintah Hindia Belanda seperti Memory van Overgarve (M.v.O) atau laporan serah terima jabatan residen, Koloniaal Verslaag, dan Regeering Almanak. Kemudian ditunjang oleh surat kabar atau majalah sejaman seperti Sin Po, Soeara Tsing Nien, Djawa Tengah Review, Djawa Tengah, Perniagaan, De Locomotief, Bataviaasch Nieuwsbald, serta literatur lainnya berupa buku, artikel, dan foto. Sumber-sumber sejarah tersebut berasal dari Arsip Nasional Republik Indonesia dan Perpustakaan Nasional yang berada di Jakarta, Perpustakaan Medayu Agung di Surabaya, dan Arsip Propinsi Jawa Tengah di Semarang. Kemudian Perpustakaan Sonobudoyo, Perpustakan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) 37
E.J. Hobsbawm, From Social History to the History of Society, Daedalus, Vol.100,No.1,Historical Studies Today (The MIT Press,1971), hlm. 21, http://www.jstor.org/stable/20023989, diakses pada 19 Januari 2015.
20
dan Pusat Universitas Gadjah Mada (UGM), serta Koleksi Wertheim di Pusat Studi Pedesaan UGM, kesemuanya berada di Yogyakarta. Berikutnya adalah situs internet yaitu Delpher Kranten, KIT Collonial Collection, dan tropen museum.38 Selain sumber tertulis, tesis ini juga menggunakan sumber lisan yang diperoleh dari penggalian ingatan orang-orang Tionghoa Lasem. Hal itu merupakan upaya memberi ruang bagi suara orang-orang biasa untuk turut berkontribusi dalam melukiskan sejarah.39 Akan tetapi tidak semua orang Tionghoa menjadi informan, melainkan dilakukan seleksi terlebih dahulu dengan mempertimbangkan kedekatan informan terhadap peristiwa. Penulisan tesis ini menggunakan kerangka dasar penelitian sejarah yang dimulai dari pemilihan topik, pengumpulan sumber atau heuristik, kritik sumber, interpretasi serta implementasinya dalam bentuk historiografi.40
H. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini terdiri dari enam bab, khusus bab kedua sampai kelima akan dimulai dengan pertanyaan kecil dalam setiap bab, yang akan terbagi ke 38
Delpher Kranten, Tropen Museum, dan KIT Collonial Collection merupakan situs internet yang menyediakan sumber-sumber sejaman berbentuk digital meliputi terbitan pemerintah, buku, surat kabar, foto dan sebagainya. Sumber-sumber tersebut dipergunakan sepanjang berkaitan dengan topik penelitian dan memiliki posisi yang sama sebagaimana sumber-sumber lain di luar internet. Catatan khusus beberapa sumber dari KIT tidak disertai alamat pengunduhan karena belum sempat ditulis. Kondisi tersebut semakin menyulitkan karena situs KIT untuk sementara waktu belum bisa diakses kembali. 39
Paul Thompson, Teori dan Metode Sejarah Lisan (Yogyakarta: Ombak, 2012). hlm. 7., lihat pula, Kuntowijoyo,Metodologi Sejarah Edisi Kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana,2003), hlm. 29-30. 40
Kuntowijoyo, ibid., hlm. 70-80.
21
dalam beberapa sub bab. Secara keseluruhan susunan tesis ini meliputi bab pertama yang berisi latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, dan sistematika penulisan. Bab kedua memfokuskan pada perkembangan masyarakat Kota Rembang dan Lasem yang diperkuat dengan area-area lain di Kabupaten Rembang sampai awal abad ke-20. Di dalamnya berisi kondisi masyarakat dan lingkungan, birokrasi pemerintah Hindia Belanda di tingkat lokal, dan pembangunan infrastruktur yang mendukung aktivitas sosial-ekonomi masyarakat. Bab ketiga memfokuskan pada perekonomian komunitas Tionghoa di Kota Rembang dan Lasem. Di dalamnya berisi proses terbentuknya permukiman Tionghoa, perkembangan penduduk, jenis-jenis pekerjaan orang Tionghoa serta persoalan-persoalan dalam aktivitas sosial-ekonomi. Bab keempat memfokuskan respon komunitas Tionghoa ditingkat lokal terhadap pergerakan Tionghoa di tingkat nasional. Di dalamnya berisi perkembangan perkumpulan Tionghoa, sekolah Tionghoa, dan pengaruh birokrasi pemerintah Hindia Belanda terhadap komunitas Tionghoa. Bab kelima memfokuskan hubungan antara komunitas Tionghoa dengan orang-orang Pribumi dan Eropa. Isinya mengenai posisi orang-orang Tionghoa sebagai pedagang perantara, pertentangan antara orang-orang Tionghoa dengan anggota Sarekat Islam, dan kondisi problematik dalam usaha Batik Lasem tahun 1930. Bab keenam merupakan penutup yang berisi kesimpulan yaitu jawabanjawaban atas pertanyaan dalam rumusan masalah serta temuan baru dari penulisan tesis tersebut.