BAB I PENGANTAR
1.1. Latar Belakang Pada bulan Februari 2003, Tahun Baru Imlek dirayakan secara resmi untuk pertama kalinya oleh masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa setelah 30 tahun lebih dilarang oleh pemerintah Indonesia. Pada saat itulah masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa menikmati tahun baru Imlek sebagai hari libur resmi nasional. Hal ini sangat berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 yang mendeklarasikan Imlek sebagai opsi hari libur Nasional (Retnaningsih, 2012: 9). Sejak perayaan Imlek direstui Pemerintah Indonesia, masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa melihat ini sebagai pembaharuan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap budaya Tionghoa dan agama Khong Hu Cu di Indonesia (Ibid, 11). Hal ini juga dianggap sebagai sebuah perubahan dari sejarah politik diskriminasi ke sebuah harapan akan kebebasan untuk mengekspresikan budaya dan agama mereka. Hal ini tidak dapat dipisahkan dengan konteks sejarah mengapa masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa merasa didiskriminasikan oleh kebijakan politik sejak masa kolonial. Masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai pendatang. Meskipun negara menganut asas ius sanguinis yaitu penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan atau pertalian darah atau kewarganegaraan orang tuanya, bukan berdasarkan negara tempat tinggalnya, dalam 1
2
realita orang Indonesia-Tionghoa masih belum dianggap sebagai Warga Negara Indonesia seperti populasi yang lain. Pada masa pemerintahan Soeharto, diskriminasi yang dialami oleh orang Tionghoa masih berlanjut. Soeharto juga menerapkan kebijakan yang disebut “masalah Cina". Orang Tionghoa terus-menerus digambarkan sebagai "musuh" sedangkan masalah etnis Cina1 disebut-sebut sebagai akar masalah di Indonesia. Kesenjangan ekonomi yang melebar menjadi penyebab mengapa orang Tionghoa dianggap sebagai “binatang ekonomi” yang bersifat oportunis dan hanya memikirkan diri sendiri (Kwartanada, 1996). Media digunakan untuk mengabadikan stereotip bahwa semua orang Tionghoa makmur yang menikmati kekayaan dengan mengorbankan kesejahteraan ekonomi mayoritas pribumi. Etnis Tionghoa dipaksa berasimilasi dengan politik pembauran total karena perbedaan-perbedaan budaya Tionghoa2 dianggap menjadi ancaman terhadap kesatuan nasional Indonesia (Kasenda, 2013) .
1
Istilah “Tionghoa” dan “Cina” dipakai secara bergantian dalam disertasi ini dengan pengertian sebagai berikut: Kata “Tionghoa” dipakai secara umum, sedangkan kata “Cina” dipakai secara pejoratif ketika mereka mengalami diskriminasi, dan ketika mereka mengalami derogatori/pelecehan. (“Dibalik kata Cina”) https://retnodamayanthi.wordpress.com/2008/05/08/di-balik-kata-cina/ 2
Mulai tahun 1966, pemerintah berusaha untuk menghilangkan segala bentuk ekspresi budaya ketionghoaan dan menyerang tigapilar budaya Tionghoa - yaitu pers yang berbahasa Tionghoa, sekolah berbahasa Tionghoa serta perkumpulan etnis Tionghoa. Soeharto menutup semua surat kabar yang berbahasa Tionghoa. Semua perkumpulan etnis Tionghoa juga dibubarkan dan sekolah-sekolah dalam bahasa Tionghoa ditutup.Menurut Chua yang dikutip oleh Chee Kiong Tong (2010) masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa "didorong" untuk menggantikan nama Tionghoa mereka dengan nama Indonesia untuk "mempercepat proses asimilasi" (124). Praktik umum agama dan adat istiadat Tionghoa, termasuk perayaanTahun Baru Imlek dilarang. Kebijakan diskriminatif itu seolah-olah untuk memadamkan budaya Tionghoa dan mengasimilasikan etnis Tionghoa dengan mayoritas pribumi.
3
Konsep “etnis” memiliki berbagai pengertian, kendati sering dianggap sama dengan ras atau bangsa (Green, 2006).3 Etnisitas itu sendiri merupakan suatu fenomena yang kompleks. Ada 4 pendekatan dalam mendefinisikan pengertian etnis, yaitu (1) etnisitas tersusun sebagai fenomena primordial; (2) etnisitas yang dipandang sebagai epiphenomenon; (3) etnisitas sebagai fenomena situasional; (4) etnisitas sebagai fenomena subjektif (Isajiw, 1993). Etnisitas sebagai fenomena primordial merupakan pendekatan tertua. Pendekatan ini menyatakan bahwa etnisitas adalah sesuatu yang given, berasal dari kelahiran dalam suatu marga dan keluarga tertentu di struktur masyarakat yang ada, sehingga etnisitas dipandang sebagai sesuatu yang tetap dan permanen. Etnisitas sebagai ephipenomenon menganggap bahwa etnisitas itu tumbuh karena proses produksi dalam masyarakat. Etnisitas dalam pandangan ini merupakan sesuatu yang diciptakan dan dipertahankan dalam struktur ekonomi yang timpang, atau merupakan hasil dari suatu eksploitasi ekonomi. Etnisitas sebagai fenomena situasional menganggap etnisitas sebagai sesuatu yang cair, berubah-ubah menurut situasinya. Seorang individu menyatakan dirinya sebagai etnis tertentu kalau keanggautaan dalam etnis tersebut menguntungkan dirinya. Jadi pengakuan keanggautaan etnis
3
Kesulitan mendefinisikan secara baik konsep etnisitas itu karena konsep ini merupakan suatu konsep baru dalam ilmu sosial. Meskipun sebagai istilah / kata, etnisitas sudah ada dalam bahasa Inggris sejak abad 14, secara historis, konsep ini muncul untuk menggantikan konsep “tribe” dalam kajian kajian antropologis. Konsep ini menggambarkan suatu unit sosial politik dimana anggauta anggautanya memiliki hubungan darah atau kekerabatan. Mengingat kesulitan dalam mendefinisikan term etnis, maka para ilmuwan sosial menghindari pertanyaan-pertanyaan apa etnisitas itu dan sejauh mana etnisitas berbeda dengan istilah-istilah lain dalam ilmu sosial, seperti kasta dan ras (Green, 2006).
4
merupakan suatu pilihan rasional. Etnisitas dalam fenomena subjektif4 memandang bahwa etnisitas pada dasarnya merupakan realitas sosial-psikologis, atau dengan kata lain merupakan masalah yang membedakan “kami” dengan “mereka”. Dari pengertian tentang etnisitas itulah saya mulai melihat sesuatu yang menarik tentang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia. Saya menganggap bahwa dalam suatu masyarakat yang pluralistik, di mana berbagai kelompok etnis saling berinteraksi dan berkompetisi, batasan internal mau tidak mau akan menghasilkan batasan eksternal. Orang akan diidentifikasikan oleh yang lain sebagai kelompok etnis tertentu sejauh mereka mempunyai hubungan dengan mitos tentang leluhur yang sama, tanpa memandang apakah mereka memiliki pola budaya yang sama atau berbagi pola budaya yang sama dengan kelompok etnis tersebut. Jadi etnisitas merupakan persoalan batas ganda, batasan internal dari dalam yang ditegakkan dengan proses sosialisasi, dan batasan eksternal yang ditentukan oleh proses hubungan antar kelompok etnis. Tinjauan historis di atas menunjukkan terbentuknya identitas etnis Tionghoa yang lebih menekankan pada perbedaan-perbedaan antara etnis Tionghoa dan kelompok etnis lainnya di Indonesia, baik pada masa Hindia Belanda maupun di zaman Indonesia merdeka (Suryadinata, 1999). Perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan kepada etnis Tionghoa telah menciptakan suatu prasangka dan persepsi 4
Dalam pendekatan ini, Barth sebagaimana yang juga dikutip Iswaji merujuk pada adanya batasan etnis (etnic boundaries) yang internal maupun eksternal. Batasan internal adalah area dari “selfinclusion” (memasukkan diri sendiri kedalamnya) kepada suatu kelompok. Batasan internal ini tumpang tindih dengan proses identitas diri (self-identity). Dalam area self-inclusion ini, perasaan simpati, empati dan loyalitas terhadap sesama anggauta etnis iartikulasikan (Barth, 1996).
5
tertentu terhadap etnis Tionghoa. Persepsi yang mapan disebut stereotipe5, yang berpengaruh kuat terhadap individu maupun kelompok. Tinjauan tentang stereotipe etnis Tionghoa tak dapat dilepaskan dari kondisi politik, sosial-ekonomi dan budaya. Mengacu pada stereotipe etnis Tionghoa, saya beranggapan bahwa stereotipe tersebut timbul karena adanya perbedaan budaya yang menonjol dan relevan dengan kelompok etnis lainnya. Tionghoa secara historis memiliki kebudayaan yang sudah berkembang sejak sebelum Masehi (Fairbank and Goldman, 1992). Budaya ini akan dibawa kemanapun etnis Tionghoa berada dalam bentuk ritual, kepercayaan dan tradisi. Kesadaran dan kebanggaan akan peradaban dan kebudayaan Tionghoa ini tak jarang menjadi dasar formasi identitas etnis Tionghoa, termasuk etnis Tionghoa di Indonesia. 5
Pembentukan stereotipe itu sendiri (stereotyping) merupakan proses kategorisasi. Impressi terhadap suatu kelompok tertentu tak mungkin terbentuk kalau kita tak dapat melihat dan menemukan perbedaan antara kelompok tersebut dengan kelompok lain. Kategorisasi merupakan proses kognitif untuk mendeteksi persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang dimiliki antar kelompok. Dengan kategorisasi ini, maka suatu kelompok akan terpisah secara jelas dari kelompok yang lain melalui pendeteksian dan penekanan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang dianggap relevan. Stereotipe merupakan impressi terhadap kelompok tertentu yang dimiliki oleh individu. Adanya stereotipe ini memudahkan interaksi sosial karena orang akan dipersepsikan dan diperlakukan sesuai dengan keanggautaan dalam kelompok tertentu, walau kadang-kadang bisa juga menyulitkan. Ini berarti ada pengabaian terhadap informasi yang detail dan beragam mengenai individu yang bersangkutan. Seorang Tionghoa akan diperlakukan secara tertentu karena ia termasuk dalam etnis Tionghoa, tanpa memperhatikan apakah ia tumbuh dan besar dalam budaya Tionghoa, budaya Jawa atau budaya yang lain. Kepemilikan stereotipe ini pada akhirnya merupakan keyakinan bersama kelompok (shared group beliefs).Ketepatan stereotipe bukanlah hal yang penting, sehingga stereotipe tidak saja memudahkan pemahaman terhadap anggauta kelompok tertentu, tapi juga memudahkan terjadinya kesalahpahaman terhadap kelompok tertentu. Sebagai shared beliefs, maka stereotipe merupakan normative belief karena adanya kumpulan dan penyatuan pengetahuan, pengalaman, ideologi, budaya, yang dialami secara bersama dalam interaksi antar anggauta kelompok yang berbeda. Stereotipe merupakan pengetahuan bersama karena adanya pengalaman yang sama atau adanya pengetahuan bersama dalam kehidupan bermasyakat mengenai kelompok-kelompok yang ada. Anggauta kelompok terlibat dalam proses diferensiasi / pembedaan untuk menjadikan kelompoknya berbeda dalam dimensi dimensi tertentu dengan kelompok lainnya, sekaligus memperkuat perasaan keanggautaan dalam kelompok tertentu (Perkins, T. 1979).
6
Etnis Tionghoa di Indonesia, secara historis lebih banyak diperlakukan secara khusus, terutama dalam bidang ekonomi. Perlakuan ini menyebabkan terbentuknya suatu stereotipe tertentu mengenai etnis Tionghoa. Stereotipe tentang pekerjaan orang Tionghoa akan dikaitkan dengan perdagangan, pengusaha serta termasuk dalam kelompok ekonomi yang mapan. Jarang ada stereotipe bahwa orang Tionghoa itu adalah petani, polisi, anggauta TNI dan miskin, meskipun banyak orang Tionghoa di Kalimantan yang berprofesi sebagai petani (Heidhues, 2003), atau Cina Benteng, yang tinggal di Tangerang, kebanyakan berprofesi sebagai petani atau buruh di pabrik-pabrik besar di sekitar Tangerang (Uzi, 2008). Atribut-atribut seperti kikir, kondisi ekonomi yang mapan, selalu mencari untung merupakan dimensi-dimensi yang ada dalam stereotipe etnis Tionghoa. Dalam hal penggunaan bahasa, ada dialek dan pelafalan tertentu yang menjadi stereotipe etnis Tionghoa, sementara dalam hal warna, ada warna tertentu yang menjadi stereotipe etnis Tionghoa, yaitu warna merah. Ritual dengan menggunakan Hio juga merupakan stereotipe etnis Tionghoa. Dalam hal agama atau kepercayaan, etnis Tionghoa dikaitkan dengan kelenteng, jarang dikaitkan dengan agama Islam, meskipun Laksamana Cheng Ho merupakan seorang muslim. Setelah jatuhnya Soeharto, pemerintahan di bawah Presiden Abdurrahman Wahid memberi kesegaran bagi etnis Tionghoa karena peraturan-peraturan yang membatasi gerak mereka kecuali di bidang ekonomi telah dicabut dengan keputusan Presiden N0.6/2000. Presiden Abdurrachman Wahid mendorong pluralisme dan keterbukaan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Setelah dilarang selama kurang
7
lebih 30 tahun, maka bahasa, budaya dan tradisi Tionghoa diperbolehkan untuk diekspresikan secara publik. Kegiatan-kegiatan budaya Tionghoa diizinkan untuk diekspresikan di depan publik dengan keputusan Presiden tersebut. Terjadi semacam “China-revival” dalam kehidupan masyarakat Indonesia (Chang, 2009). Terjadi perubahan juga di bidang media. Metro TV misalnya menyiarkan siaran berita dalam bahasa Mandarin. Beberapa stasiun televisi swasta yang lain mulai menayangkan sinetron tentang kehidupan etnis Tionghoa. Di dalam tayangantayangan hiburan yang demikian tampak sekali identitas Tionghoa ditampilkan. Apalagi, tayangan-tayangan hiburan tersebut dibuat dan ditayangkan menjelang Tahun Baru Imlek. Berbicara tentang identitas Tionghoa dan stereotipikasinya di dalam tayangan-tayangan tersebut, saya melihat bahwa ada perubahan seiring dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia seperti yang telah dibahas di atas. Seiring dengan kelonggaran serta ijin yang diberikan pemerintah kepada masyarakat etnis Tionghoa dengan pencabutan Inpres no. 14/1967 dan penerbitan Keppres no. 6/2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan membebaskan etnis Tionghoa untuk merayakan hari raya Imlek, serta adat dan tradisi mereka, media juga mulai menulis secara terbuka bahkan menayangkan acara-acara yang bertajuk etnis Tionghoa. Salah satunya adalah sinetron, film TV dan hiburan lain menjelang Imlek. Meskipun tayangan semacam ini hanya muncul tahunan yaitu menjelang Tahun Baru Imlek, paling tidak bisa dicermati bagaimana tayangan-tayangan tersebut disajikan. Metro TV misalnya, dalam menyambut Tahun Baru Imlek menampilkan beragam acara kebudayaan Tiongkok dengan dalih sebagai komitmen Metro TV untuk merangkul
8
komunitas Tiongkok (baca: Tionghoa) Indonesia. Bahkan manager Humasnya, Henny Puspitasari, mengatakan bahwa sebagai salah satu komunitas besar di Indonesia, etnis Tionghoa memiliki daya tarik tersendiri. Oleh karena itu, dalam rangka hari raya Imlek, Metro TV memberi porsi lebih untuk menunjukkan eksistensi etnis Tionghoa. Sedangkan Surya Citra Televisi (SCTV) sempat menayangkan film televisi yang berjudul “Akiong Cinta Siti”, serta “Moi, I Love You”. Rajawali Citra Televisi (RCTI) pada tahun 2002 pernah menayangkan sinetron dengan judul “Lo Fen Koei” dengan sukses karena meraih penghargaan sinetron drama lepas terpuji dalam Forum Film Bandung dan Asian Television Technical and Creative 2001, di Singapura (Pontoh, 2001). Dua tahun kemudian menjelang Imlek 2004, stasiun tersebut menayangkan sinetron berlatar belakang etnis Tionghoa, “Hsiao Tsing”, sebuah sinetron yang diangkat dari kumpulan cerpen “Panggil Aku Peng Hwa”, karya Veven SP Wardhana (Swarasama, 2004). Sinetron tersebut disutradari oleh Teddy Soeriaatmadja yang juga menyutradarai “Lo Fen Koei”. Di samping sinetron, saya melihat banyak sekali tayangan-tayangan hiburan seperti Extravaganza, Opera Van Java, yang mengetengahkan tema Imlek di penghujung Tahun Baru Imlek. Karena hampir setiap setasiun televisi swasta menayangkan tema yang sama pada saat itu, maka saya mengasumsikan penonton atau khalayak dari berbagai kalangan masyarakat mau tidak mau akan menontonnya. Hal inilah yang membuat saya ingin meneliti bagaimana mereka menanggapi tayangan-tayangan tersebut. Berbicara tentang tayangan-tayangan di televisi dengan tema Imlek, saya melihat ada sebuah politik yang mungkin dapat disebut politik Imlek. Politik Imlek
9
tidak hanya menyangkut pada perdebatan tentang apakah itu merupakan festival agama atau budaya. Ketika Imlek telah menjadi semakin dikomersialisasikan, beberapa orang berpendapat bahwa simbol-simbol budaya untuk Imlek telah menjadi bagian dari budaya populer, dipelajari dan dilakukan tidak hanya oleh etnis Tionghoa di Indonesia, tetapi juga etnis non-Tionghoa (Chang, 2009: 4). Namun, Chang juga mengatakan bahwa peningkatan visibilitas produk budaya Tionghoa - dan konsumsi mereka oleh non-Tionghoa Indonesia - tidak boleh dibaca secara naif sebagai tanda penerimaan Pemerintah terhadap etnis Tionghoa. Retorika asimilasi Orde Baru masih memiliki pengaruh kuat di Indonesia. Ideologi Orde Baru membangun identitas tunggal, yang berarti bahwa semakin Tionghoa seseorang maka semakin sedikit ia menjadi orang Indonesia dan sebaliknya. Munculnya kembali simbol ketionghoaan bisa ditafsirkan sebagai kembalinya gagasan esensialis ketionghoaan serta membuktikan mitos populer, 'sekali Cina tetap Cina' (Sukma, 2006 : 29) . Secara politis, ini dapat berarti bahwa loyalitas TionghoaIndonesia semakin dipertanyakan karena bila mereka sekarang menjadi 'lebih Tionghoa', dengan demikian mereka menjadi 'kurang Indonesia'. Walaupun demikian, seperti yang diutarakan di awal tulisan ini, penampilan budaya Imlek ini tetap ditayangkan dalam berbagai bentuk seperti sinetron, Film Televisi (FTV), maupun dialog. Akses untuk menonton tayangan-tayangan yang berbau Imlek menjadi begitu mudah sejak Reformasi. Tayangan-tayangan tersebut hampir secara keseluruhan menampilkan etnis Tionghoa dengan ciri-ciri fisik ketionghoaan serta stereotipe dalam hal berbicara seperti cedal dan artikulasi bahasa yang khas.
10
Penelitian saya mempunyai pertanyaan penelitian tentang “Resepsi Orang Tionghoa terhadap Tayangan Ketionghoaan”. Resepsi yang saya maksud dalam penelitian saya adalah resepsi generasi ke tiga menurut Alasauutari (1999). Resepsi generasi ketiga ini disebut sebagai pandangan konstruksionis yang berfokus pada wacana yang memperhitungkan keterlibatan khalayak dengan media, yaitu bagaimana khalayak mengonstruksi dan memaknai media yang diresepsi. Sejalan dengan pemikiran Alasauutari, Ien Ang memakai kata “resepsi” (Ang, 1985:5) dalam sebuah konsep bahwa khalayak memberi makna sebuah teks berdasarkan pengalaman hidup dari khalayak. Dalam penelitiannya tentang Dallas, Ang tidak mempermasalahkan konteks produksi dari teks Dallas, tetapi ia lebih melihat bagaimana khalayak menerima dan mengonsumsi acara tersebut (Ang, 1985: 6)). Intinya, makna dari sebuah teks tidak inheren dalam teks tersebut, tetapi dikonstruksi dalam hubungan antara teks dan khalayak. Hal lain yang membuat saya ingin meneliti tentang ini adalah karena saya ingin mengetahui kebiasaan membaca (menonton) tayangan ketionghoaan setelah 32 tahun tayangan ketionghoaan dibelenggu oleh regim Soeharto. Saya ingin mengetahui, apakah, setelah selama 32 tahun hal-hal tentang ketionghoaan hilang, orang yang merasa dirinya Tionghoa berusaha mengumpulkan kembali ketionghoaan mereka ketika ketionghoaan dirayakan oleh stasiun-stasiun televisi swasta. ada lima stasiun televisi swasta yang menjadi favorit informan saya. Kelima stasiun swasta tersebut adalah Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), TransTV, Andalas TV (ANTV), Kompas TV, dan Trans7. Oleh karena itu pokok persoalan dalam penelitian
11
saya adalah bagaimana pemaknaan khalayak terhadap tayangan ketionghoaan yang ada di televisi swasta yang yang saya sebut di atas. Penelitian ini hanya akan melihat objek materi tayangan ketionghoaan6 selain berita.
1.1.1 Permasalahan Untuk mengkaji permasalahan utama tersebut, maka beberapa sub-masalah berikut menjadi pertimbangan kajian: 1. Menurut khalayak Tionghoa, tayangan apa di hari Imlek yang menunjukkan ketionghoaan? 2. Mengapa mereka melihat tayangan itu sebagai ketionghoaan? 3. Bagaimana tanggapan khalayak Tionghoa terhadap ketionghoaan yang ditayangkan di televisi? 4. Mengapa mereka menanggapi demikian?
1.1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum menjawab pertanyaan pokok yaitu menguji secara empiris resepsi khalayak Tionghoa terhadap tayangan ketionghoaan di televisi. Secara khusus penelitian ini akan mencoba untuk :
6
Yang dimaksud dengan acara ketionghoaan dalam disertasi ini adalah tayangan di televisi swasta menjelang dan selama hari raya Imlek, selain berita. Acara tersebut bisa berupa talk shows, komedi situasi, hiburan musik, tari-tarian, dan sinetron.
12
1. Menemukan yang dimaksud dengan tayangan ketionghoaan oleh khalayak Tionghoa dan alasan-alasan mereka menganggap bahwa tayangan tersebut adalah tayangan ketionghoaan. 2. Menemukan alasan mengapa mereka meresepsi seperti itu.
1.2. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori Bab ini akan mengulas tentang tulisan-tulisan dan studi yang telah dilakukan peneliti-peneliti terdahulu tentang ketionghoaan, terutama identitas budayanya, dan stereotype serta studi tentang resepsi khalayak, serta landasan teori yang dipakai untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan dalam pokok permasalahan.
1.2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang identitas ketionghoaan telah dilakukan oleh banyak peneliti dan ahli di bidang etnis Tionghoa baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Saya akan melihat bagaimana studi tentang identitas Tionghoa digambarkan sejak Pemerintah Orde baru sampai Pasca Orde Baru. Sebagian besar studi tentang ketionghoan lebih berfokus pada identitas Tionghoa yang tidak jelas pada masa pemerintahan Orde Baru dan kebangkitan kembali identitas Tionghoa yang diasumsikan mulai menggeliat karena pemerintahan Soeharto telah berakhir (Chang 2008; Sukma 2009; Dawis 2010;). Kompleksitas identitas orang Tionghoa menjadi bahan kajian para peneliti karena konsep Indonesia-Tionghoa atau Tionghoa-Indonesia berhubungan dengan konsep asimilasi,
13
multikultur dan hibriditas, misalnya kajian Suryadinata (1999), Chua (2004), Ang (2005). Dalam kajian tentang identitas Tionghoa dalam hubungannya dengan media, beberapa peneliti mengkaji bagaimana dalam masa Orde Baru media telah dibungkam sehingga visibilitas ketionghoaan hampir dikatakan tidak ada (Budianta: 2004; Lindsey: 2005). Kajian tentang orang Indonesia-Tionghoa dari kaca mata media belum banyak, terutama bagaimana mereka tumbuh di lingkungan media dan budaya setelah 32 tahun terkekang. Ada beberapa kecenderungan fokus kajian yang dilakukan para peneliti. Pertama, kajian tentang kesulitan orang Tionghoa di dalam menempatkan identitas ketionghoaan dalam sebuah komunitas (Chee: 2004). Kedua, para peneliti melakukan pendekatan kajian dari segi politik, misalnya bagaimana identitas Tionghoa dibentuk dan berubah sebagai akibat dari upaya politik pemerintahan Soeharto (Chang: 2008). Akibatnya, pembahasan tentang budaya dan media dalam masa-masa tersebut kurang menjadi perhatian. Ketiga, penelitian yang ada selama ini membahas bahwa identitas Tionghoa itu plural (Chang: 2006). Oleh karena itu perlu ada kajian lebih lanjut tentang khalayak untuk melihat pluralitas resepsi terhadap artikulasi ketionghoaan di kalangan Tionghoa. Keempat, kajian berfokus pada film dan film seri tentang ketionghoaan yang diimpor dari Hongkong mupun Taiwan, bukan diproduksi di dalam negeri (Dawis, 2010). Kajian-kajian tersebut memperlihatkan bahwa para peneliti kurang memberi perhatian terhadap persoalan identitas dalam kaitannya dengan media. Dengan beralihnya pemerintahan dari Orde Baru ke Reformasi dan masa sekarang, visibilitas
14
identitas ketionghoaan lebih banyak diungkap meskipun masih tampak bahwa pengungkapan tersebut lebih berdasarkan stereotipe yang sudah ada sejak jaman Orde Baru. Saya melihat ada celah terkait pengeksposan identitas yang menandakan ketionghoaan yang ada di media, khususnya televisi, selain acara berita. Saya memilih
celah
tersebut
untuk
menjadi
topik
penelitian
saya,
sekaligus
membedakannya dengan kajian-kajian sebelumnya. Penelitian saya akan memberikan kontribusi tersendiri dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena selain pluralitas tentang ketionghoaan akan dapat dilipat gandakan ketika diuji ke konsumen, dalam hal ini adalah khalayak, juga pluralitas resepsi mereka terhadap media yaitu tayangan ketionghoaan akan bisa diungkap. Selain peneliti yang saya sebut di atas, Ien Ang (2005) dalam On Not Speaking Chinese membahas arti ketionghoaan dalam dunia kontemporer. Ang menyoroti kerawanan identitas dalam arti ketidakpastian ketionghoaan sebagai penanda identitas. Pada awal dari pembahasannya Ang merasakan ada kejanggalan (dissonance) dan keanehan kultural dalam pengalaman hidupnya. Ketika Ang menghadiri sebuah konferensi di Taiwan tahun 1992, ia mempertanyakan secara terus menerus tentang dirinya yang tidak bisa berbicara bahasa Tionghoa, meskipun secara fisik mempunyai ciri-ciri etnis ketionghoaan. Ang seorang Indonesia-Tionghoa yang pindah dan hidup di Australia mengalami dilemma: ketiadaan modal budaya sebagai orang Tionghoa dan visibilitas fisik yang besar sebagai orang Tionghoa. Buku Ien Ang ini boleh dikatakan merupakan sebuah refleksi tentang “keberantaraan” (inbetweenness) dan merupakan titik kulminasi keterlibatannya di dalam kesulitannya
15
menjadi orang Tionghoa di dalam diaspora (Ang, vii), Ang menjelaskan bahwa perspektif yang ia pakai untuk membahas identitas ketionghoaan adalah dari sudut pandang hibriditas, yaitu posisi ambigu antara “bukan ini bukan itu,”atau sekaligus “keduanya”. Ang kemudian menyebutkannya sebagai “kebersamaaan dalam perbedaan” (Ang, 2005: 30). Secara implisit Ang ingin mengatakan bahwa ketionghoaan dalam kedudukannya sebagai hibrid yang keberadaannya merupakan minoritas di dalam mayoritas bangsa membutuhkan identitas, tetapi identitas itu sendiri hanya merupakan „jaket ketat‟ (viii), suatu metafora yang artinya sesuatu yang membatasi, merintangi, mencegah untuk bergerak. Oleh karena itu walau tulisannya berdasarkan pengalaman pribadi, Ang membahasnya dalam kerangka self untuk publik, bukan tujuan pribadi. Artinya, Ang membahasnya dalam konstruksi retorik dirinya dalam melihat identitas secara umum. Di dalam dunia postmodern yang mudah berubah, terus aktif, saling bergantung, dan bercampur aduk, maka genealogis etnisitas dan keturunan harus didefinisikan kembali. Dalam kasus dirinya, Ang mengatakan: “In short, if I am inescapably Chinese by descent, I am only sometimes Chinese by consent. When and How is a matter of politics” (Ang, 2005: 36). Persoalannya adalah, apakah orang lain berpikiran seperti dirinya bahwa identitas merupakan masalah politik, mengingat ia menulis pengalaman pribadinya, sehingga mungkin saja orang tidak berlaku seperti Ien Ang yang normatif dan personal. Ini merupakan salah satu celah lain untuk bisa saya teliti karena penelitian saya bukan hanya mengarah ke pengalaman personal, tetapi juga kolektif. Artinya,
16
pengalaman personal para informan membawa saya ke konteks yang lebih luas yaitu keluarga dalam komunitas Pecinan Semarang. Selain hal itu, Ang boleh dikatakan merupakan seorang pelopor yang membahas tentang politik budaya yang baru, seorang intelektual diasporik yang melakukan resistensi terhadap tarikan identitas diaspora. Ia mengatakan bahwa sikapnya yang lepas dan tidak terpengaruh serta ambivalen mencegahnya menjadi seorang „intelektual organik‟7, meminjam istilah Gramsci yang dikutip oleh Satar (2013), untuk masalah Tionghoa di Indonesia. Ang tidak membahas lebih lanjut masalah Tionghoa di Indonesia, namun kajian Ang ini bisa dijadikan pertimbangan untuk melihat bagaimana ketionghoaan di Indonesia yang mungkin juga masih atau sudah tidak memakai jaket ketat di dalam keberadaannya di Indonesia. Berbicara tentang masalah Tionghoa di Indonesia, Christian Chua (2004) mengatakan bahwa identitas Tionghoa di Indonesia diatur oleh negara, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ien Ang bahwa identitas adalah by consent. Artinya, identitasnya sebagai orang Tionghoa sangat cair. Kadang-kadang ia menjadi Tionghoa bila diperkenankan/diperlukan oleh negara. Chua mengatakan hal yang hampir sama dengan Ang, bahwa pemerintah orde baru telah melakukan tiga upaya penting yang pejoratif terhadap orang Tionghoa, yaitu: marjinalisasi, diskriminasi, dan stigmatisasi. Pertama, marjinalisasi terhadap orang Tionghoa justru berlangsung
7
Yang dimaksud intelektual organik oleh Gramsci yang dikutip Satar (2013), yaitu intelektual yang membumi, yang senantiasa meletakkan kemanusian sebagai nilai tertinggi dengan menyuarakan pembebasan bagi orang-orang yang tertindas, dan terlibat untuk menjalankan peran-peran transformatif mendorong terjadinya perubahan sosial.
17
dengan cara mereka dinetralisasikan ke dalam sebuah program yang disebut pembauran total. Kedua, untuk menghindari agar mereka tetap bisa dipantau, mereka didiskriminasi, dan dengan demikian mengingkari politik asimilasi. Ketiga, orang Tionghoa yang minoritas diberi stigma sebagai orang kaya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa identitas sosial orang Tionghoa (ketionghoaan) juga diwarnai konten dan proses sejarahnya oleh negara (baca: pemerintahan Orde Baru) untuk mengatur mereka dalam kehidupan bernegara. Kajian Chua ini mungkin akan dapat menjadi kontribusi tersendiri dalam melihat stereotipisasi objek materi dalam penelitian saya. Walau Chua tidak membahas secara mendalam stereotipisasi, kajiannya dapat menjadi rujukan awal untuk melihat bagaimana orang Tionghoa diberi stigma dan bagaimana mereka dibentuk oleh negara di dalam perkembangan identitasnya. Chang Yau Hoon dalam bukunya Chinese Identity in Post-Soeharto Indonesia yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menulis secara teoritis tetapi informatif tentang apa artinya menjadi orang Tionghoa di Indonesia pasca pemerintahan Soeharto. Dikatakan oleh Chang, bahwa selama pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa boleh dikatakan telah memajukan perekonomian Indonesia, tetapi ironisnya mereka didiskriminasikan dan dimarjinalisasikan dalam semua aspek kehidupan sosial, budaya, politik, bahasa, serta di dalam hidup bermasyarakat termasuk dalam fasilitas pelayanan publik. Pasca kerusuhan anti Tionghoa pada tahun 1998, serta kejatuhan Soeharto, Indonesia mengalami proses reformasi dan demokratisasi. Pada saat inilah untuk
18
pertama kalinya budaya Tionghoa mulai menggeliat dan tampak. Seiring dengan visibilitas ketionghoaan ini, komunitas Tionghoa di Indonesia mulai aktif di bidang politik dengan mendirikan partai-partai politik, serta organisasi non-politik yang memperjuangkan hak-hak mereka setelah 32 tahun dibungkam oleh pemerintah seperti misalnya penghapusan undang-undang yang diskriminatif. Mereka juga menggalakkan rasa persaudaraan serta kesetiakawanan antar kelompok etnis di Indonesia. Mereka juga mempromosikan pluralisme dan multikulturalisme. Chang juga membongkar makna ketionghoaan di Indonesia pasca-Soeharto dengan cara melakukan kritik terhadap beberapa konsep tentang asimilasi, multikulturalisme dan hibriditas dalam kaitannya dengan identitas budaya dan politik. Kajian Chang ini harus dibaca secara hati-hati dan direfleksi karena menurut saya bahasannya lebih ditujukan untuk warga etnis Tionghoa atau paling tidak mereka yang menyebut dirinya Indonesia-Tionghoa. Mengingat ketionghoaan di Indonesia berdasarkan atas daerah, kelompok, budaya dan agama maka akan dapat timbul pertanyaan lain, misalnya “apakah ada sebuah identitas Tionghoa di Indonesia?” (Chang, 12). Bila ada, maka timbul pertanyaan selanjutnya adalah ketionghoaan yang mana yang direpresentasikan dalam keragaman budaya di Indonesia. Lalu bisa dilanjutkan dengan pertanyaan siapa yang menentukan ketionghoaan tersebut. Seperti yang telah dikatakan oleh Hall bahwa konstruksi identitas ditentukan oleh kelompok yang berkuasa yang menentukan siapa yang termasuk dan siapa yang dikesampingkan, maka merekalah yang mengonstruksi identitas kultural minoritas Tionghoa. Hal ini akan menjadikan pertimbangan saya ketika memilih informan di
19
dalam penelitian saya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, bahasan Chang ini membiarkan bias-bias yang mungkin timbul sebagai akibat bangkitnya rasa “ketionghoaan” yang mengarah ke esensialis ketionghoaan, alih-alih suatu identitas yang dinamis yang terus berubah seiring dengan berjalannya waktu. Chang selanjutnya juga menyinggung tentang media. Dengan bangkitnya kembali identitas ketionghoaan, maka muncul kembali pers, budaya, religi, dan bahasa Mandarin. Visibilitas ketionghoaan mulai muncul dengan menjamurnya kursus-kursus bahasa Mandarin, dan dibukanya Kajian Tionghoa (Chinese Studies) di Universitas Indonesia. Dalam bab tersebut, Chang membicarakan representasi ketionghoaan dalam berbagai media dan penerbitan arus utama di Indonesia. Dikatakan bahwa dalam media elektronik dan cetak, ketionghoaan direpresentasikan oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan dan kelompok pemegang kekuasaan “yang memiliki beraneka macam agenda dengan beragam cara – termasuk merepresentasikannya sebagai suatu entitas yang tak berubah dan statis (86). Hal ini disebabkan terjadi reifikasi8 dan homogenisasi budaya atas nama multikulturalisme yang sebenarnya mengkategorisasikan orang ke dalam kelompok-kelompok kultural yang berbeda tetapi kemudian dihomogenisasikan. Akibatnya, sekat-sekat kelompok dipertegas dengan menarik garis demarkasi sebagai kelompok yang tetap dan tunggal.
8
Reifikasi adalah tereduksinya hubungan antar manusia karena menjadi relasi alat produksi. Dalil dasar reifikasi adalah “penurunan” nilai relasi manusia yang seharusnya hangat, menjadi hubungan antar “manusia” karena kepentingan ekonomi. Di dalam masyarakat modern persoalan ini menjadi sedemikan akut sehingga kita merasa terasing dengan manusia yang lain.
20
Menurut Khrisna Sen dan David T. Hill. (2007) dalam media publik pascaSoeharto, penayangan orang Indonesia-Tionghoa di media tidak serta merta mendorong pemberdayaan mereka. Bahkan, representasi ketionghoaan masih berwacana Orde Baru. Misalnya, sinetron Indonesia. Kajian Sen ini seiring dengan penelitian Chang yang melihat bahwa karakter Tionghoa yang muncul di sinetron tersebut mengenakan pakaian Tionghoa tradisional. Karakter laki-laki berpenampilan fisik seperti stereotipe orang Tionghoa: bermata sipit dan berkuncir, sedangkan karakter wanita membawa sapu tangan sutera. Mereka juga digambarkan sebagai karakter yang pelit, dan mata duitan (Chang, 2008: 87). Kajian Sen (2007) dan Chang (2008) ini merupakan temuan yang menarik mengingat setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru, penggambaran karakter Tionghoa masih sama, tidak berubah, walau kadang-kadang tergantung wacana narasi. Misalnya, penayangan tentang petani Tionghoa di Singkawang yang sama sekali berbeda dengan streotipe karakter Tionghoa pada umumnya. Apa yang masih kurang diungkapkan oleh Chang adalah bagaimana khalayak memaknai tayangan semacam itu, terutama terkait dengan konstruksi naratif yang ditampilkan. Celah lain yang belum diungkapkan oleh Chang adalah apakah ketionghoaan dapat dikonstruksi oleh narasi sinetron-sinetron tersebut. Kajian tentang identitas Tionghoa dalam kaitannya dengan media juga dilakukan oleh Aimee Dawis. Seiring dengan penelitian Chang, Aimee Dawis dalam penelitiannya tentang bagaimana menjadi orang Tionghoa di Indonesia, mengatakan bahwa ada titik balik dalam kesadaran orang Indonesia-Tionghoa. Menurut Dawis
21
perlu bagi orang Indonesia-Tionghoa sebagai penduduk yang heterogen menilai ulang masa lalu dan menempatkan diri mereka kembali secara budaya. Kejadian Mei 1998 memaksa mereka untuk menilai kembali kedudukan mereka (Dawis 2010: xiii). Artinya, terjadi kesadaran politik banyak orang Indonesia Tionghoa. Secara khusus Dawis tertarik menganalisa ingatan orang Indonesia-Tionghoa yang lahir setelah tahun 1966 tentang masa pertumbuhan mereka di tengah lingkungan media yang terkekang, yang secara khusus melarang menampilkan kebudayaan Tionghoa pada masa Orde Baru. Dawis mempertanyakan bagaimana kebijakan asimilasi berperan dalam pembentukan jati diri Indonesia-Tionghoa, lalu apa peran media elektronik, dalam hal ini film dan film seri Tionghoa impor dalam pembentukan jati diri budaya orang Indonesia-Tionghoa, dan sejauh mana media tersebut membantu memperkuat ketionghoaan mereka. Hasil penelitian Dawis menunjukkan bahwa program asimilasi tidak begitu berperan dalam memperkuat atau memperlemah jati diri ketionghoaan di kalangan informan, karena faktor keluarga, dan teman lebih berperan terutama dalam keinginan untuk belajar atau tidak belajar kebudayaan Tionghoa. Ada pergulatan proses jati diri di antara para informan. Mereka terperangkap antara keinginannya untuk mengalami rasa aman yang mereka bayangkan seperti yang nampak dalam film dan film seri Tionghoa yang ditontonnya dan kesadaran mereka bahwa mereka tidak pernah dapat meninggalkan Indonesia karena di negara inilah mereka berada. Lebih sulit lagi karena mereka juga tidak bisa berbahasa Tionghoa. Kekuatan media yang ditonton oleh para informan Dawis membuat mereka menginginkan hal dan tempat yang tidak
22
pernah secara langsung mereka alami. Hal ini menurut Dawis menggambarkan bentuk pelarian yang diperoleh dari media, dalam hal ini film-film impor (Dawis, 2010: 189). Namun, di sisi lain Dawis juga menemukan bahwa selain memberikan keamanan bayangan, media Tionghoa juga membantu mereka mengungkap dan menemukan kembali adat istiadat yang mereka tonton dan menerjemahkannya ke dalam pengalaman mereka sendiri sebagai orang Indonesia-Tionghoa. Karena terlalu memfokuskan kajian pada media yang dikekang pada pemerintahan Orde Baru, kajian ini sama sekali kurang menyentuh media pasca 1998. Dawis sama sekali tidak membahas bagaimana pengalaman hidup dalam 32 tahun terkekang di lingkungan media mungkin berperan di dalam menanggapi atau meresepsi media yang mengekspos kebudayaan Tionghoa di media pasca-Soeharto. Hal penting dalam penelitian Dawis yang perlu dicatat adalah bahwa dalam mengingat, menyusun kembali, dan menciptakan makna ketionghoaan dari masa lalu mereka selama masa pasca-reformasi di Indonesia ketika mereka menonton film kungfu, para informan ini mampu membuat hubungan langsung antara media dan hidup mereka sendiri. Bahkan media mampu menjadi ruang pelarian ketika mereka membayangkan hidup yang aman sebagaimana ditampilkan di film Tionghoa yang ditontonnya. Penemuan Dawis ini memberikan kontribusi bagi penelitian saya terutama ketika saya ingin melihat apakah tayangan-tayangan hiburan yang menandakan ketionghoaan di televisi juga dapat menjadi ruang pelarian walau pada era pasca-Soeharto penampilan ketionghoaan di televisi lebih banyak dibandingkan selama Orde Baru.
23
Penelitian Dawis ini, juga Chang, dapat menjadi
titik berangkat dalam
refleksi teoretik penelitian saya mengenai sikap tionghoa terhadap media. Ketionghoaan bukan lagi sesuatu yang jauh, di Hongkong, tapi sudah ada di sini, di depan mata, dan dalam jangkauan. Namun, trauma sejarah, terutama sejarah Orde Baru, tetap membayangi keberadaan itu hingga muncul sikap mendua. Terhadap kajian Chang, juga Zen, media tidak bisa mempengaruhi konstruksi identitas tionghoa sepenuhnya. Terhadap kajian Chang, kajian saya ini juga membuka kemungkinan adanya homogenitas cara penghayatan dan pengalaman terhadap ketionghoaan, sedangkan terhadap Ang tentu saja adanya kemungkinan identitas kolektif yang tidak secair Ang yang mengambang, kosmopolit, diasporik. Selain kajian tentang ketionghoaan, ada beberapa kajian yang khusus membahas tentang resepsi khalayak. Salah satunya adalah kajian khalayak yang mengeksplorasi hal-hal yang berkenaan dengan kajian-kajian diaspora dan imigran yang dilakukan oleh Gillespie (2001). Gillespie meneliti bagaimana televisi dan video dipakai untuk menghadirkan kembali tradisi-tradisi budaya kaum diaspora Asia Selatan di London dan bagaimana televisi dan video mempercepat perubahan budaya di komunitas lokal mereka. Kajian Gillespie ini sangat berguna bagi penelitian saya karena ia juga melakukan metode etnografi dalam upayanya melihat budaya komunitas diaspora dan kaum migran terutama anak-anak muda keluarga Punjabi yang tinggal di Southall, London bagian Barat. Hampir mirip dengan penelitian saya tentang sebuah komunitas Tionghoa di Pecinan kota Semarang, Gillespie meneliti komunitas yang homogen, sebuah komunitas yang sebagian besar mempunyai latar
24
belakang Punjabi Sikh. Salah satu temuan Gillepsie adalah bahwa anak-anak muda di Southall mendefinisikan kembali identitas mereka ketika meresepsi tayangan televisi. Anak-anak muda ini mendefinisikan sebuah ruang imaginatif, sebuah ruang untuk mengonstruksi identitas mereka. Kunjungan ke McDonald misalnya, merupakan tempat pelarian dimana mereka bisa meredefinisikan budaya mereka. Ketika melakukan redefinisi tersebut, mereka mengalami konflik-konflik seperti „Timur‟ dan „Barat‟, „tradisi dan modern‟, „relijius dan sekular‟, „kemiskinan dan kemakmuran‟ yang semuanya itu berakar dari sejarah imperialisme dan kolonialisme yang terus membelenggu pemahaman mereka tentang perubahan budaya ( Gillepsie, 2001: 206). Bila latar belakang kajian ini adalah sejarah imperialisme dan kolonialisme, maka kajian saya berbeda karena yang membelenggu orang Indonesia-Tionghoa adalah regim Orde Baru. Perbedaan lainnya adalah bahwa pada era kolonial, orang Indonesia-Tionghoa tidak mendapat tekanan politik sedemikian rupa seperti pada era Soeharto. Orang Tionghoa tidak berasal dari negeri jajahan Indonesia. Mereka juga bukan imigran pasca-kolonial sehingga lepas dari persoalan tersebut. Yang kedua, informan Gillepsie mengonstruksi sendiri identitas mereka, melalui media yang mereka ciptakan. Yang membelenggu mereka bisa dikatakan sebagai hegemoni, sedangkan di Indonesia masih tampak adanya dominasi (bayang-bayang kekerasan dan keterpaksaan). Kajian tentang konstruksi identitas etnis juga bersentuhan dengan disertasi saya mengingat bahwa resepsi orang Indonesia-Tionghoa terhadap media yang dalam hal ini televisi, memungkinkan mereka mengonstruksi identitas mereka, walau
25
mereka bukan komunitas diaspora karena sejak lahir hidup di Indonesia. Kajian konstruksi identitas etnis yang berhubungan dengan konsumsi media di ruang publik dilakukan oleh Myria Georgiou (2001) yang meneliti tentang orang Siprus Yunani yang tinggal di London dengan metode etnografi. Media yang diteliti adalah radio, dan saluran televisi yang menyiarkan dengan fokus tentang Yunani. Georgiou secara khusus meneliti proses konstruksi identitas lewat media lokal dan minoritas (Georgiou, 2001: 313). Temuan-temuan Georgiou sangat menarik karena identitas etnis di kalangan minoritas Siprus Yunani di London dibentuk dari relasi-relasi budaya di dalam dan di luar ruang publik. Artinya, identitas etnis mereka dikonstruksi lewat penggunaan media yang bertajuk lokal, dan lewat interaksi dan komunikasi dengan sesama orang Siprus Yunani (326). Berbeda dengan kajian ini, penelitian saya melihat bahwa ada dampak liberasi media nasional maupun lokal terhadap identitas orang Tionghoa di pecinan Semarang. Bila temuan Geogiou mengungkapkan bahwa identitas orang Siprus Yunani hilang secara perlahan-lahan bila mereka tidak berkomunikasi di ruang publik, penelitian saya menengarai adanya ikatan yang kuat di rumah-rumah mereka dan diinternalisasikan ke generasi yang lebih muda. Perbedaan lainnya adalah bahwa orang Indonesia-Tionghoa menghindari pameran di ruang publik dan bersikap pasif di ruang itu. Mereka lebih menyimpannya ke dalam rumah. Ini pun efek trauma di ruang publik, yang terkait dengan sejarah panjang ketegangan dan kerusuhan anti-cina di sepanjang sejarah. Kajian tentang resepsi khalayak yang lain dengan metode etnografi dilakukan oleh Kevin Smets (2012). Smets meneliti resepsi khalayak tentang film „Ar Risalah‟
26
(The Message) di antara orang diaspora Moroko di Belgia. Temuan menarik dari kajian ini adalah bahwa setelah melihat film ini, orang Moroko di Belgia merasa tersentuh dan mengakui peran penting agama Islam dalam kehidupan mereka. Keislaman harus diturunkan dari generasi tua ke generasi muda. Selain itu, orang tua menggunakan film ini untuk mengajar anak-anak mereka tentang Quran. Smets menyimpulkan
bahwa
ketika
generasi
muda
mengalami
kesulitan
dalam
mempraktikkan, mengekspresikan, dan mengidentifikasikan iman mereka dalam konteks diaspora, film “Ar Risalah‟ ini sepertinya tidak kehilangan sentuhan budaya mereka. Kajian ini membantu saya dalam melihat bagaimana sebuah tayangan yang sangat kuat unsur budayanya akan mampu menyegarkan kehidupan relijius seseorang. Kajian lain yang menyangkut penelitian saya tentang media, khususnya televisi dilakukan oleh Morley (1986). Lewat wawancara yang mendalam terhadap keluarga dari latar belakang yang berbeda, Morley (1986) mengungkap kegunaan sosial televisi. Televisi merupakan kegiatan di waktu senggang. Menonton televisi menstruktur dan distruktur oleh kegiatan-kegiatan lain di waktu senggang, dengan cara yang berbeda bagi penonton yang mempunyai posisi sosial yang berbeda-beda. Lebih lanjut dikatakan oleh Morley bahwa menonton lebih merupakan kegiatan sosial dalam konteks keluarga sebagai suatu relasi sosial, daripada kegiatan individu atau sekelompok individu yang hidup seatap (Morley, 1986: 7). Kajian Morley ini didukung oleh Lull (1990) yang meneliti tentang hubungan antara televisi dan keluarga. Televisi berperan penting dalam interaksi anggota-anggota keluarga dalam
27
realita sehari-hari. Lebih dari sekedar hiburan, televisi digunakan sebagai fokus untuk mengikat interaksi sosial dalam keluarga. Kajian-kajian mutakhir memperlihatkan betapa respon diaspora terhadap media, resepsi mereka, sangat beraneka sesuai dengan konteks sosial-historisnya masing-masing. Karena itu, biarpun sudah ada kajian mengenai diaspora dan media khususnya televisi, kajian itu tidak bisa digunakan sebagai model bagi kajian diaspora yang ada dalam konteks sosial-historis yang lain, termasuk diaspora Tionghoa di Indonesia. Memang, seperti sudah dikemukakan sebelumnya, sudah banyak kajian mengenai orang Tionghoa di Indonesia. Namun, kajian itu belum menyentuh resepsi khalayak terhadap media.
1.2.2. Landasan Teori Pembahasan tentang konstruksi narratif ketionghoaan dalam tayangantayangan hiburan dalam penelitian ini akan menggunakan teori tentang khalayak, identitas, dan media. Teori-teori stereotipe ada di bawah bahasan Lippman (1922) yang disempurnakan oleh Perkins (1979), sedangkan teori tentang media dan khalayak diteorikan oleh Alasuutari(1999) dan Ien Ang (1991), sedangkan teori identitas diteorikan oleh Ang (2000), Hall (1991), dan Barth (1996).
1.2.2.1. Stereotipe Stereotipe dibahas di sini dengan maksud untuk melihat apakah teori stereotipe orang Tionghoa masih berlaku ketika media mengekspos acara Imlek.
28
Berkenaan dengan resepsi orang Tionghoa terhadap tayangan ketionghoaan itu saya mengacu pada apa yang dikatakan oleh Schweinitz (2011) bahwa stereotipe menjadi faktor kognitif untuk resepsi karena berakar pada memori budaya khalayak. Dalam hal film yang dibahas Schweinitz, stereotipe berada di antara teks (film) dan khalayak (Schweinitz, 2011: 67). Karena tayangan ketionghoaan di televisi tidak lepas dari stereotipe orang Tionghoa dengan ciri-ciri fisiknya, saya akan sedikit mengupas apa sebenarnya stereotipe itu. Media menyediakan gambar orang-orang dari berbagai kelompok sosial dengan deskripsi perbedaannya serta identitas sosial mereka. Apabila seseorang belum pernah melihat seseorang dari kelompok tertentu, misalnya, seorang Tionghoa, maka mungkin apa yang mereka pikirkan tentang orang Tionghoa merupakan hasil dari apa yang mereka lihat, dengar, atau baca tentang mereka di media. Gambaran atau identitas seseorang yang ada di kepala kita disebut stereotipe. Menurut Walter Lippman, yang dikutip oleh Grossberg (2006), stereotipe mendefinisikan ekspektasiekspektasi orang, misalnya, bagaimana orang Tionghoa di masyarakat berperilaku. Stereotipe tersebut tidak dapat dihindari dan juga tidak harus jelek (Grossberg, 2006:235). Stereotipe secara psikologis merupakan alat untuk menghadapi keberagaman dunia dengan cara mengategorisasikan9 dunia ke dalam tipe-tipe dan mempelajari
9
Kategorisasi merupakan pengelompokan yang kriteria dan sifatnya ditentukan dari luar, “collective external ldefinition”, misalnya kategorisasi menurut kelompok sosial ekonomi, menurut garis keturunan biologis orang tua/ras, buruh kasar dll. Dalam kategorisasi mungkin saja individu yang dimasukkan dalam kategorisasi tidak menyadari sepenuhnya mengapa digolongkan dalam kategorisasi
29
bagaimana memberi respon terhadap tipe-tipe tersebut, bukan merespon individu. Di dunia modern, media secara gamblang merupakan sumber utama di dalam melihat stereotipe. Pembahasan tentang bagaimana media merepresentasikan berbagai identitas sosial di dunia ini sebagai stereotipe, menimbulkan pemahaman bahwa ada citra yang “benar” dari identitas kelompok sosial tertentu yang tampaknya sudah dibangun di dalam penyajian media tentang kelompok tersebut. Misalnya, berbagai etnis dan kelompok sosial tertentu telah direpresentasikan secara negatif di media masa, dan citra dari etnis maupun kelompok-kelompok sosial tersebut telah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan posisi yang terus berubah dari kelompok tersebut di dalam budaya. Citra media tentang etnis Tionghoa, misalnya, mungkin menimbulkan ekspektasi-ekspektasi tertentu yang terus berubah karena waktu, dalam hal bagaimana kelompok ini berperilaku. Bagaimana kelompok sosial digambarkan dan dicitrakan di dalam media masa entah itu film, TV atau iklan telah menimbulkan pemahaman bahwa mereka telah salah direpresentasikan atau telah disterotipekan.
tersebut, sementara dalam kelompok, individu sadar bahwa ia memang anggauta kelompok tertentu. Kategorisasi dalam masyarakat merupakan praktik birokrasi pemerintahan, sehingga memudahkan pengaturan dalam masyarakat. Dalam kategorisasi individu hanya merupakan objek, Mengategorisasikan seseorang selalu akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupannya, karena perlakuan pemerintah dan juga masyarakat akan didasarkan pada kategorisasi tadi, meskipun individu tersebut tidak sadar dan tidak mengerti mengapa ia dikategorisasikan seperti itu. Keanggautaan dalam kategori tertentu tidak memerlukan suatu hubungan antar anggauta kategori tersebut. Kategorisasi lebih penting bagi yang mengkategorisasikan dari pada yang dikategorisasikan. (Richards Jenkins, 2008. Social Identity, 3rdEd. Routledge).
30
Konsep stereoptipe dikembangkan oleh Walter Lippman (1922) yang memperkenalkan istilah ini ke ranah ilmu sosial.10. Seorang individu tidak selalu bisa secara personal mempunyai pengalaman tentang hal-hal yang mereka minati. Oleh karena itu mereka harus mengandalkan pada peta mental mereka untuk memahami situasi yang mereka hadapi karena peta mental menurut Lippman merupakan gambar di kepala kita tentang dunia luar, yang tersusun dari macam-macam kategori yang berbeda, dan kita membutuhkan kategori-kategori untuk mengelompokkan hal-hal yang mirip, untuk mempelajarinya dan mengomunikasikannya. Jadi stereotipe merupakan proses pengategorisasian. Kita mempunyai banyak kategori seperti, ayah, ibu, guru, dosen, petani, orang Jawa, orang Madura atau orang Tionghoa. Lippman menyadari bahwa dalam proses komunikasi, stereotipe mempunyai keterbatasan. Ia melihat stereotipe sebagai sesuatu yang terbatas dan bias, sebagai sesuatu yang menjustifikasi keinginan orang-orang yang menggunakannya, sebagai suatu rintangan untuk penilaian yang rasional, dan sebagai sesuatu yang resisten terhadap perubahan sosial (Pickering 2001:18). Setiap anggota dari kategori apapun akan mempunyai banyak ciri yang didefinisikan oleh stereotipe dan mungkin mempunyai ciri-ciri yang berlawanan dengan stereotipe tersebut. Jadi stereotipe tidak netral dan tidak masuk akal. Oleh karena itu, stereotipe menghalangi kita untuk mempelajari perbedaan-perbedaan dalam kelompok-kelompok. Maka yang mungkin terjadi adalah timbulnya kontradiksi antara kebutuhan untuk menggunakan stereotipe 10
Lippman menggunakan konsep stereotipe untuk menjelaskan bagaimana media telah “misleading” dan secara manipulatif merepresentasikan dunia. Stereotipe penting untuk memproses arus besar informasi di masyarakat.
31
untuk memahami dunia dan memproses arus informasi dan pemahaman yang membatasi tentang informasi itu. Theodore
Adorno
(2003)
mencatat,
bahwa
teknologi
televisi
dan
perkembangan pakem baku untuk drama TV dan acara-acara hiburan, memproduksi dan mengetengahkan karakter-karakter yang stereotipe di layar kaca. Adorno percaya bahwa pembakuan tersebut secara otomatis menghasilkan sejumlah stereotipe dan lebih-lebih lagi teknologi membuat hal ini tidak bisa dihindari. Dengan kata lain, stereotipe dilihat sebagai bagian dari representasi media. Dalam dunia yang semakin kompleks dan yang penuh dengan ambiguitas, stereotipe media mungkin bisa menyederhanakan dan membantu kita mengerti halhal tentang kehidupan sehari-hari yang membingungkan, namun stereotipe media juga dapat menimbulkan salah pengertian dan prasangka. Penelitian mengidentifikasi bahwa stereotipe di media terjadi dalam tiga bentuk (Williams, 2003: 131). Pertama, media memutarbalikkan (mendistorsi) kehadiran yang sesungguhnya atau kelaziman dari sebuah kelompok di masyarakat. Bisa dalam bentuk under-representation, overrepresentation, dan misrepresentation. Contoh, keberadaan etnis Tionghoa di TV sangat sedikit ditampilkan (under-representation); pengasosiasian etnis Tionghoa dengan konglomerat (over-representation); penyamarataan sebuah kelompok dengan aktivitas tertentu, misalnya seperti kelompok agama tertentu dengan terorisme (misrepresentation). Kedua, stereotipe di media menyempitkan representasi sebuah kelompok. Misalnya, peran, perilaku, dan karakteristik dari sebuah kelompok tertentu digambarkan dalam kebiasaan dan model yang sempit dan terbatas. Bentuk ketiga
32
dari stereotipe di media adalah pengingkaran untuk mengakui suatu kelompok dengan cara membandingkan kelompok tersebut dengan citra ideal bagaimana orang harus berkelakuan.
Jadi,
sebuah
kelompok
tertentu
dapat
dimarjinalisasi
oleh
penggambarannya sebagai minoritas yang tidak terwakili di media, atau diperburuk dengan cara ditampilkan abnormal dan aneh, atau meniadakan dengan cara memunculkan di media ketika mereka membawa masalah. Perkins (1979) mempunyai pandangan yang berbeda tentang stereotipe.11 Ia mengatakan bahwa setreotipe tidak selalu salah walau tidak selalu akurat. Jadi walau tidak semua etnis Tionghoa kaya, ciri-ciri semacam itu ada di dalam sebagian masyarakat etnis Tionghoa. Hal yang sama, bahwa stereotipe para pebisnis adalah memakai dasi dan berpakaian necis, para kuli memakai kaos oblong. Jadi ada kebenaran baik yang mendasar maupun parsial dalam stereotipe sebagai bentuk representasi. Perkins juga mencatat bahwa stereotipe tidak selalu negatif. Misalnya, peran dokter keluarga di TV selalu dilihat sebagai stereotipe yang positif. Orang Perancis distereotipekan sebagai koki yang hebat. Jadi konsep stereotipe berdasarkan pada apa yang tampak di media, yang berlawanan dengan ukuran realitas. Artinya, media belum tentu menyampaikan kebenaran atau secara akurat merefleksikan apa yang ada, atau menyajikan gambar 11
Stereotipe dapat dilihat dari dua sisi, positif dan negatif, tergantung pada siapa yang memberi pendapat. Hal ini membuat hal yang kompleks menjadi sederhana sebab proses tersebut berdasarkan pada penilaian yang kurang cerdas, yang mengalahkan penilaian yang rasional. Menurut pendapat saya, tetap dibutuhkan pengetahuan yang cukup. Pengetahuan yang cukup ini hanya bisa didapat lewat pengalaman langsung. Semakin banyak pengalaman kita, semakin banyak pula pengetahuan kita sehingga kita bisa terhindar dari proses pengkategorisasian yang kurang akurat (Perkins, 1979: 136).
33
yang realistis suatu kejadian. Drama, film, film kartun, misalnya, merupakan media yang membuat kita menghentikan akal sehat kita tentang sesuatu yang nyata, dan membuat kita masuk ke dunia khayal, walau mungkin bentuk-bentuk media semacam itu dipakai untuk mengomentari isu dan situasi kontemporer. Oleh karena itu, representasi dari realita belum pasti nyata. Semua representasi merupakan hasil dari proses seleksi, yang meliputi beberapa aspek realita dan mengabaikan realita yang lain. Karena realita merupakan konstruksi sosial, maka representasi seharusnya dilihat sebagai proses dimana realita dikonstruksi.
1.2.2.2. Identitas Dalam tulisannya berjudul “Identity Blues,” Ien Ang (2000) melihat identitas budaya sebagai sesuatu yang secara historis membumi, berdasar, berakar, tetapi juga dapat diubah (historically grounded but transformable). Ang berargumentasi bahwa identitas tidak esensial, kendati pada tingkat pengalaman, identitas sepertinya alami. Lebih lanjut dikatakannya bahwa ketika kita memfokuskan identitas sebagai konstruksi, kita mengalihkan perhatian kita dari realitas politik identitas. Hal ini menyebabkan adanya sebuah pandangan yang patologis terhadap identitas esensialis, ketika mengagungkan identitas yang konstruktif dan terbuka. Salah satu alasan mengapa beberapa orang tertentu mengagungkan identitas yang terbuka adalah karena pemikiran identitas terbuka ini dianggap berasal dari gerakan sosial baru dari feminisme sampai gerakan multikultural, yang dianggap sangat progresif dan berorientasi ke masa depan. Ang mengutip argumen Calhoun bahwa pemikiran ini
34
bermasalah karena lalu terjadi pengelompokan yang bagi para peneliti merupakan gerakan yang sangat atraktif karena agak mengarah secara samar ke kiri12, namun para peneliti ini melupakan gerakan kontemporer yang lain seperti misalnya gerakan kaum fundamentalis, atau misalnya resistensi komunitas kulit putih terhadap komunitas kaum berwarna dan lain sebagainya (Calhoun, 1994: 22), dikutip oleh Ang 2000: 3). Identitas budaya menurut Hall (1991) merupakan “a matter of „becoming‟ as well as being‟. It belongs to the future as much as to the past” (225). Artinya, identitas merupakan hal yang terus berubah, selalu berkembang dari masa lalu, saat ini, dan di kemudian hari. Berbeda dengan Hall, identitas menurut Barth merupakan proses self and other ascription (Barth, 1996; Phinney, 1992). Artinya, identitas merupakan proses yang berasal dari diri sendiri dan orang lain. Misalnya, dalam situasi atau konteks ada perbedaan antara dua kelompok, maka seorang individu cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok yang mereka lihat paling mirip dengan
dirinya
(Barth,
1996:
115).
Kemudian
terjadi
proses
komparasi
(membandingkan diri sendiri dengan kelompok tersebut) dan negosiasi yang terus menerus. Dalam proses tersebut individu membentuk perasaan memiliki, keterikatan emosional, dan kebanggaan. Lalu menerima norma, sikap, dan perilaku kelompok tersebut.
12
Istilah “kiri” dipakai oleh sejumlah gerakan, khususnya gerakan sosialisme, dan komunisme di abad 19 dan 20. Kemudian istilah tersebut diaplikasikan ke gerakan-gerakan yang lebih luas misalnya civil right movement, feminist movement, environmental movement (Baswedan, 2012).
35
1.2.2.3. Khalayak yang Aktif Pandangan teoritis Ien Ang tentang khalayak bertolak dari filsafat pascamodernisme, dimana ia ingin secara empiris menunjukkan bagaimana hidup dalam suatu masyarakat postmodern, melalui pengamatan dan penelitian khalayak media televisi. Dalam pandangan Ien Ang, hidup dalam dunia pascamodern berarti hidup dalam suatu perasaan yang menyesakkan, bahwa kehidupan penuh kontradiksi budaya secara terus menerus, yang menembus setiap relung kehidupan. Pertanyaan Ien Ang adalah bagaimana kehidupan semacam ini nampak dalam kehidupan sehari hari. Tantangan intelektual yang dihadapi oleh pascamodernisme adalah kebutuhan untuk memahami akan sebuah kemunculan yang tiba tiba, suatu ruang budaya yang tidak lagi disekat oleh garis batas, hierarki dan identitas yang kaku, dan juga dibatasi oleh konsep modernitas mengenai kebenaran dan pengetahuan yang universal (Ang 1996: 4-6) yang memungkinkan terjadinya friksi. Sejak tahun 1980-an, berkembanglah wacana kajian budaya sebagai cara baru untuk memahami khalayak, tidak saja televisi tapi juga media lainnya. Wacana ini mengeksplorasi dampak/implikasi dari asumsi teoritis dari kajian budaya dan ciri ciri historis dari budaya pascamodern itu sendiri, bahwa budaya mewarnai setiap kehidupan sehari hari. Makna budaya tidak saja dikonstruksikan tapi juga selalu menjadi sasaran gugatan. Begitu kita berpindah dari pengertian modernitas menjadi pascamodernitas, dari suatu disiplin ilmu tertentu menjadi kajian budaya, maka status khalayak media mengalami perubahan yang signifikan. Khalayak bukan lagi hanya merupakan objek penelitian, sebuah realitas “di luar” tetapi harus didefinisikan yang
36
terutama dan terpenting sebagai discursive trope yang menandakan berbagai cara yang selalu berubah, di mana makna dikonstruksikan dan digugat dengan berbagai cara dalam konteks keseharian penggunaan dan konsumsi media. Mempelajari khalayak media hanya menjadi berguna dan menarik kalau hal itu menambah pengertian kritis mengenai kepelikan budaya kontemporer serta kepelikan diri kita sendiri. Kita juga harus mempertimbangkan bahwa kita hidup dalam dunia di mana kehadiran media dianggap sebagai suatu kewajaran. Siaran televisi merupakan media yang berpengaruh besar dalam modernitas. Sebagai media komunikasi massa, televisilah yang menggerakkan realitas sosial masyarakat Barat dan mengkomunikasikan nilai-nilai inti dari modernitas yang berkembang di Barat. Media ini mengomunikasikan dan menumbuhkan keyakinan akan keunggulan modernisasi yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang terus menerus meningkat, nilai-nilai barat seperti demokrasi, kebebasan individu dan kemakmuran untuk semua. Masyarakat modern merasa dapat berdiri sendiri karena serba lengkap, mampu menjaga keteraturan dan harmoni melalui kebersamaan majoritas penduduk. Ini merupakan modernitas ideal yang dibangun atas kesamaan budaya rakyat, di mana kehidupan pribadi mereka diorganisasikan dalam keluarga inti, bertempat tinggal dalam lingkungan pinggiran kota, di rumah yang nyaman. Televisi yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk penyiaran yang terpusat, dianggap memainkan peranan utama dalam pengaturan kehidupan jutaan keluarga dalam pola yang sama sebagai irama dan ritual kehidupan masyarakat. Melalui satu acara yang disiarkan secara nasional, semua keluarga khalayak akan menonton acara
37
yang sama dan mungkin akan menganut pola yang disiarkan karena keterbatasan jumlah stasiun televisi pada masa itu. Dalam situasi seperti ini, penyebaran spasial dan kehidupan pribadi, yang mendorong terbentuknya masyarakat suburban dalam kehidupan modern, direkatkan dengan penyiaran televisi secara nasional menjadi suatu “komunitas imaginer”, meskipun secara realita penyiaran tersebut bisa terbelah karena ada kepentingan-kepentingan politik dari perusahaan yang menaungi setasiun televisi tertentu, misalnya TV One dan Metro TV. Kondisi ini menyebabkan khalayak televisi dalam budaya modernitas memiliki signifikansi politis – setidak tidaknya secara retorik- dan sekaligus memiliki realitas sosial (Ang 1996: 5). Sebelum munculnya postmodernisme, penelitian mengenai komunikasi massa sangat terpengaruh oleh pendekatan fungsionalis sosiologi Amerika Serikat, terdorong oleh perhatian yang terus menerus terhadap dampak siaran televisi, tanpa memerhatikan ideologi tersembunyi yang ada dalam penyiaran tersebut. Pendekatan teoritis yang mendasari penelitian semacam ini berupa perspektif dimana perilaku khalayak menjadi masalah bila secara potensial akan mengganggu tatanan sosial, proses sosial yang normal dan keteraturan struktur sosial. Ada suatu kecemasan yang terus menerus terhadap timbulnya efek disfungsi dari televisi sebagai media komunikasi massa. Ada suatu bias intelektual terhadap kontrol yang rasional dalam paradigma yang dominan di sosiologi, yaitu suatu keinginan untuk melakukan kontrol agar terjaga keteraturan, kepastian dan harmoni. Selain itu, ada kecenderungan bahwa
38
penelitian ilmiah dalam paradigma ini memberikan pengetahuan ilmiah mengenai khalayak, yaitu apa yang dapat dilakukan untuk mengelola khalayak.13 Terjadi pengekangan epistemologis dalam paradigma fungsionalis, yaitu adanya mitos mengenai integrasi budaya, dimana ada sesuatu yang “dipaksakan” (imposed) terhadap khalayak oleh ideologi yang dominan. Khalayak hanya merupakan fungsi dalam suatu rancangan yang sistemik, tidak ada pilihan lain. Ini merupakan gambaran dari khalayak yang pasif. Pada tahun 1980-an timbullah minat baru dalam penelitian khalayak media yang dimaknai sebagai tumbuhnya pascamodernisme, yaitu berkaitan dengan membongkar dan menyoroti pentingnya perjuangan untuk pemaknaan dalam proses penerimaan media komunikasi. Penekanan lebih pada khalayak dan bagaimana khalayak menghasilkan dan membentuk makna yang aktif dari teks dan teknologi yang disajikan. Produksi makna ini tergantung pada hal-hal yang ruwet yang terdapat dalam
kehidupan
mengeksplorasi
sehari-hari,
konsumsi
sehingga
media
dalam
kemudian kehidupan
timbullah sehari
minat hari.
untuk
Tidaklah
mengherankan ketika penggunaan metode penelitian etnografi dalam bidang ini mula berkembang. Pendekatan new audience research yang menempatkan khalayak sebagai subjek aktif pembentuk makna, tidak lepas dari kelemahan. Pendekatan ini dianggap terlalu membesar-besarkan pengaruh khalayak dalam pembentukan makna,
13
Khalayak adalah sekumpulan orang yang menjadi pembaca, pendengar, dan pemirsa berbagai media. Khalayak berbeda dengan massa yang mempunyai arti sekumpulan orang yang banyak sekali.
39
mempromosikan yang disebut populisme kultural di mana khalayak “diangkat” sebagai hero kultural. Sementara itu menurut Ien Ang (1996) di dalam Living Rooms War, ia mengutip Fiske bahwa pengaruh yang tepat dari khalayak adalah pengaruh orang yang lemah, karena tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah atau memaksakan struktur tertentu, melainkan hanya menegosiasikan akibat-akibat potensial dari struktur yang menindas yang tak dapat digantinya, dimana mereka harus hidup dalam struktur tersebut (Ang, 1996: 7) Pendekatan khalayak aktif telah dipandang sebagai penolakan terhadap teori kritis klasik yang dipegang oleh Aliran Frankfurt (Frankfurt School) yang mengkritisi peningkatan komersialisasi dan komodifikasi dari industri media dan budaya. Penekanan pada khalayak aktif merupakan penolakan terhadap tesis aliran Frankfurt, di mana khalayak dipandang sebagai korban sistem. Dalam pendekatan khalayak aktif, keaktifan khalayak tampak dalam mendapatkan kesenangan (pleasure) dari menonton televisi, dan dalam menentukan pilihan dan makna. Khalayak merupakan produsen teks dan teknologi. Jadi televisi lebih merupakan tempat demokrasi budaya, bukan penindasan budaya (Ang, 1996: 8). Dalam proses pemaknaan aktif, maka suatu informasi TV yang disiarkan secara serentak ke seluruh penjuru dunia akan dimaknai secara berbeda oleh khalayak yang ada diberbagai belahan dunia. Penyiaran langsung Perang Teluk oleh Cable News Network (CNN) ke seluruh penjuru dunia, akan dimaknai secara berbeda oleh khalayak. Gambar yang tampil sama dalam layar TV dimaknai secara berbeda oleh khalayak di Arab Saudi, Iran ataupun Irak, meskipun kesemuanya memiliki latar
40
belakang keagamaan yang sama. Demikian juga terjadi perbedaan makna bagi khalayak lainnya, yang berada di belahan dunia lain. Khalayak aktif selalu merekonstruksi makna dalam sistem sosial budaya keseharian mereka, sehingga peristiwa tersebut dapat dikaitkan dengan peristiwa di tempatnya. Dalam pengertian di atas, maka pendekatan khalayak aktif dapat dipandang sebagai penanda peralihan dari era modernitas menuju era postmodernitas. Terjadi perubahan yang sangat cepat dalam dunia pertelivisian dalam dua dekade terakhir ini. Gejala yang tampak adalah melemahnya hegemoni siaran televisi nasional milik pemerintah karena peningkatan komersialisasi dan internasionalisasi siaran televisi, jaringan televisi nasional yang dikalahkan oleh jaringan TV yang lebih terspesialisasi, TV lokal, TV berlangganan. Secara ringkas, kelangkaan dalam media TV ini telah digantikan oleh kelimpahan, kontrol negara telah digantikan oleh inisiatif komersial. Ada tanda-tanda pascamodernisasi dalam media TV yang tak dapat dibatalkan, dengan bukti-bukti yang menguat, yang mengubah lanskap khalayak televisi. Industri TV menyadari bahwa khalayak bukan lagi konsumen yang mudah ditipu, yang secara pasif menyerap semua yang disajikan, melainkan mereka menjadi target usaha yang berkesinambungan, harus diperebutkan dan dirayu. Merupakan suatu pengetahuan umum dalam dunia pertelevisian, bahwa tidak mungkin memprediksikan kesuksesan atau kegagalan program tertentu meskipun telah melakukan penelitian pasar, menggunakan selebriti dan lain lain cara yang dianggap dapat meningkatkan kesuksesan suatu program. Di sini keaktifan khalayak selalu
41
dihubungkan dengan kegalauan yang timbul terhadap perubahan terus menerus selera khalayak, kebandelan khalayak yang membuat khalayak tak dapat diprediksi. Industri TV berusaha menarik minat khalayaknya dengan cara menciptakan keterlibatan dalam menonton (viewing). Melalui pengorganisasian secara diskursif, TV mampu memposisikan dirinya sebagai mata institusional, yang melihat dunia atas nama khalayaknya. TV tidak saja mengasumsikan bahwa mereka memiliki khalayak tertentu, tetapi juga berusaha mengikat khalayaknya dengan berpura pura berbicara demi kepentingan mereka. Khalayak aktif bukan lagi merupakan penemuan akademis, tapi merupakan tokoh mistis yang diskursif, yang intinya dikaitkan dengan postmodernisasi industri budaya yang kapitalistik. Khalayak lebih dipandang sebagai ceruk pasar (market niche) yang memiliki preferensi dan selera yang fleksibel. Bukan lagi dipahami sebagai satuan demografis yang kaku. Dalam hal ini, khalayak aktif merupakan ekspressi dan konsekuensi dari kapitalisme, di mana ketidakstabilan ekonomi pasar bebas merasuk pada sistem produksi itu sendiri. Pilihan sekarang dianggap sebagai daya tarik TV terhadap khalayaknya dan dipresentasikan sebagai realisasi dari kebebasan khalayak. Berkembangnya teknologi baru seperti satelit, fibre optic, dan lain-lain memungkinkan lebih banyak program khusus untuk khalayak yang memiliki kebutuhan khusus,yang menciptakan suatu citra bahwa selalu ada program yang dapat memenuhi selera yang berbeda beda bagi setiap khalayak, suatu “kegilaan” dari pilihan tak terbatas dan kedaulatan konsumen (Ang, 1996 : 11).
42
Pada titik ini pula kita menemukan kontradiksi yang dibangun oleh pembentukan budaya pascamodernisme. Pilihan pada zaman sekarang merupakan suatu mekanisme yang diskursif. Artinya, pilihan dapat dimanipulasi, namun tak dapat dipaksakan. Tidak ada jaminan orang maupun khalayak akan melakukan pilihan yang “benar”, yang artinya pilihan yang menopang reproduksi sistem. Ketidakpastian, dengan
melekat dalam sistem kapitalisme pascamodern. Disini
pulalah khalayak aktif merupakan “subject” sekaligus “objek” budaya konsumerisme pascamodern. Tidak lagi terikat pada tradisi, pembatasan gender, kelompok sosial maupun ras, maka subjek dalam dunia pascamodernitas sekarang dipaksa untuk secara terus menerus merekonstruksi dan menemukan kembali dirinya sendiri. Dalam kerangka pencarian kenikmatan (pleasure), maka hidup diartikan sebagai kemampuan untuk terus menambah pilihan-pilihan. Dilihat dari kerangka ini, khalayak aktif merepresentasikan kondisi keberadaan yang salah (condemned) terhadap kebebasan memilih (Ang, 1996: 16). Pendekatan khalayak aktif bukan merupakan dekonstruksi terhadap khalayak pasif, melainkan merupakan suatu eksplorasi bagaimana orang hidup dalam budaya media yang bertambah jenuh, di mana mereka aktif (sebagai pemilih dan pembaca, sebagai pencari kenikmatan dan penafsir) dalam rangka menghasilkan makna dari berbagai informasi, citra yang dihempaskan kehadapan kita. Ang (1991) juga menjelaskan bahwa khalayak mengonstruksi makna yang ditawarkan oleh media. Makna itu bukan sesuatu yang tetap, dan tetap melekat, namun berubah. Makna mucul setiap ada peristiwa resepsi. Ia menengarai bahwa ada dua cara untuk
43
memahami khalayak. Pertama, khalayak konstruksi diskursif, yang artinya, khalayak dalam konteks sebagai pasar, dan sebagai gaya hidup. Kedua, khalayak yang sesungguhnya merupakan bagian dari dunia sosial (Ang, 1991:13). Pendekatan Ang tersebut di atas sebenarnya merupakan perkembangan dari paradigma baru yang diajukan oleh Hall (1974) jauh sebelumnya pada tahun 1970-an dengan model encoding/decoding. Hall mengusulkan sebuah proses di mana sebuah teks atau pesan dikirim oleh produsen, dan kemudian diterima oleh khalayak. Sebuah pesan tidak lagi dipahami sebagai sebuah bola yang dilempar oleh pengirim ke penerima. Sebaliknya, pesan yang dienkode oleh produsen dan kemudian didekode oleh khalayak tidak selalu identik, karena khalayak yang berbeda akan menerima dan mendekode pesan secara berbeda. Hall (1974) juga mengusulkan empat posisi khalayak yang ideal. Yang pertama disebut posisi hegemonik atau dominan, yaitu khalayak menerima/mendekode serta menyetujui pesan sesuai dengan keinginan produsen. Yang kedua adalah posisi profesional, yaitu ketika penyiar profesional menyampaikan pesan yang sudah ditandai secara hegemonik. Selanjutnya ada posisi yang dinegosiasikan, yaitu pesan sebagian diterima, sebagian ditolak atau disaring oleh khalayak. Yang terakhir disebut posisi oposisi, yaitu khalayak memahami makna harafiah dan konotasi pesan tetapi memutuskan untuk mendekode pesan itu secara berlawanan karena alasan ideologi, politik, dan budaya. James Lull (1990) mengaplikasikan etnografi ke praktik family-viewing dengan tujuan mendeskripsikan dan menjelaskan kegunaan televisi dalam hal bagaimana keluarga secara antar pribadi (interpersonal) mengonstruksi waktu mereka
44
dengan televisi, dan bagaimana medium merintangi dalam aspek aktifitas komunikasi di rumah (Lull, 1990:12). Penonton tidak hanya membuat interpretasi masing-masing tentang acara, tetapi mereka juga mengonstruksi situasi, cara menonton, dan isi acara, yang dilakukan pada waktu menonton dan pada saat aktifitas komunikasi berikutnya (Lull, 1990: 148). Berbeda dengan Lull di atas, Alasuutari (1999) mencoba mengategorisasikan studi tentang resepsi menjadi tiga. Generasi pertama adalah generasi resepsi seperti yang diteorikan oleh Stuart Hall dalam teorinya Encoding/Decoding. Resepsi generasi kedua disebut sebagai etnografi khalayak yang dipakai untuk meneliti kehidupan sehari-hari sebuah kelompok, dan menghubungkan manfaat sebuah acara terhadap mereka. Bukan tentang dampak atau makna kehidupan khalayak sehari-hari atas resepsi mereka terhadap sebuah acara. Resepsi generasi ketiga disebut sebagai pandangan konstruksionis, yang memfokuskan pada wacana yang mengangkat keterlibatan khalayak dengan media yang ditonton dan memberi makna menurut diri mereka sendiri. Menurut Alasuutari (1999) lebih lanjut, kita tidak perlu mengabaikan studi kasus etnografis terhadap khalayak dan tidak membatasi hanya pada resepsi atau pemaknaan dari sebuah program oleh khalayak tertentu, tetapi lebih pada bagaimana memahami budaya media kontemporer, terutama yang terlihat dalam peranan media sehari-hari, baik sebagai topik maupun sebagai sebuah aktivitas yang dibentuk dan membentuk wacana ketika hal ini didiskusikan. Khalayak mengonstruksi dan dikonstruksi oleh media dalam bermacam-macam wacana (Alasuutari, 1999: 7). Resepsi generasi ketiga ini yang menjadi bingkai dalam penelitian saya untuk melihat
45
bagaimana khalayak memaknai apa yang mereka maksudkan dengan tayangan ketionghoaan.
1.3. Metode Penelitian Bagian ini akan membahas tentang bagaimana penelitian saya telah melibatkan diri saya secara profesional, personal, dan akademis dengan melakukan pendekatan etnografi dalam meneliti tentang acara ketionghoaan, resepsi orang Tionghoa terhadap acara ketionghoaan di televisi, dan menekankan bagaimana teori dan pengalaman praktis berkelindan di dalam proses perolehan data. Bab ini menguraikan bagaimana proses penelitian ini mengungkap berbagai masalah tentang hubungan antara saya sebagai peneliti dengan para informan saya dalam hal relasi kuasa, kesulitan melepas keterikatan dengan informan, masalah gender, dan perbedaan etnis. Selain itu, saya akan membahas masalah penulisan yang saya lakukan di lapangan yang menyangkut otoritas etnografi dan tanggung jawab penelitian ini. Salah satu alasan mengapa etnografi digunakan dalam penelitian ini adalah karena televisi dikonsumsi di rumah (tidak di laboratorium atau di ruang kelompok). Jadi, penggunaan televisi tidak dapat dipisahkan dari apa yang ada di sekitarnya (Morley and Silverstone, 1990: 35). Karena aktivitas menonton televisi terbentuk dari praktik-praktik domestik, maka penelitian ini akan melibatkan orang-orang etnis Tionghoa di rumah-rumah yang menonton tayangan hiburan yang mengandung unsur ketionghoaan.
46
Dalam penelitian ini, saya akan melibatkan komunitas Tionghoa sebagai informan saya. Untuk ini, maka perlu saya bahas identitas Tionghoa yang mana yang merupakan representasi dari orang Tionghoa yang ada di Indonesia. Keragaman daerah
menyebabkan
sulit
mengatakan
bahwa
etnis
Tionghoa
tertentu
merepresentasikan identitas Tionghoa yang murni. Chang Yau Hoon (2008) mengatakan etnis Tionghoa “tidak pernah merupakan kelompok yang homogen” (Chang,
xxxvii).
Karena
keragaman
(heterogenitas)
ketionghoaan
tersebut,
representasi ketionghoaan yang akan saya bahas akan saya lihat dari aspek kelompok, gender, lokalitas, umur, dan pendidikan. Dari aspek budaya, seseorang bisa saja direpresentasikan di bawah identitas budaya yang belum tentu mencerminkan identitas orang tersebut. Bagi orang Tionghoa yang berbudaya Tionghoa, maka boleh dikatakan secara primordial ia “cukup” Tionghoa, sedangkan bagi orang Tionghoa yang tidak bisa berbahasa Tionghoa, orang ini mungkin bisa dikatakan “tidak cukup” Tionghoa. Dalam kelompok yang masih menjalankan budaya Tionghoa, setelah era Soeharto mereka tampil sebagai kelompok yang “menekankan solidaritas etnis, mendorong gerakan kembali ke „akar‟ dan primordialisme, mengklaim otentisitas dan mempromosikan resinifikasi – yang mungkin merepresentasikan ketionghoan sebagai sesuatu yang tak berubah, statis atau primordial” (Chang, 2008: 12). Akibatnya, identitas Tionghoa yang ditampilkan adalah identitas Tionghoa yang seperti keterangan di atas. Kelompok inilah yang mengkritik ketika ada kelompok Tionghoa yang menjadi
47
Kristen atau Katolik dengan alasan bahwa mereka dilarang oleh gereja mereka untuk merayakan Imlek sehingga mereka lebih condong ke Barat (Ibid, 66). Selain hal di atas, keragaman umur menjadi salah satu aspek yang patut dilihat. Di dalam penelitiannya, Chang (2008) menemukan bahwa kaum muda Jakarta keturunan Tionghoa mugkin mengidentifikasikan kaum muda Tionghoa yang ada di provinsi yang lain secara berbeda dengan diri mereka. Bahkan salah satu dari mereka yang bernama Hendra beranggapan bahwa “jika ketionghoaan sinonim dengan tradisi, hal ini bukan merupakan bagian dari hidupnya; ia menganggap identitas dirinya lebih internasional dan global” (Chang, 2008: 73). Identifikasi dirinya merupakan negosiasi antara modernitas dan tradisi, lokal dan global. Hal ini dikuatkan oleh Mely G. Tan yang dikutip oleh Chang bahwa ada “kultur Jakarta” yang membuat anak muda menganut gaya hidup yang khas dan mengarah ke bentuk internasional (Ibid, 74). Menurut Mely G.Tan lebih lanjut, identifikasi di kalangan kaum muda Tionghoa perkotaan lebih terfokus pada “budaya kelompok menengah urban dan global yang muncul dari kapitalisme postmodern daripada bertumpu pada etnisitas “(74). Saya memilih kota Semarang sebagai tempat penelitian saya karena beberapa alasan. Pertama, kota Semarang merupakan kelahiran saya. walau tidak ada sanak keluarga lagi yang tinggal di kota Semarang, ada teman yang bisa menghubungkan saya dengan komunitas orang Tionghoa di sana. Kedua, kota Semarang sudah lama menjadi objek penelitian ketionghoaan. D.E. Willmott (1960) pernah melakukan penelitian di Semarang dengan cara observasi partisipan selama 12 bulan. Menurut
48
Willmott, orang Tionghoa Semarang tetap mempertahankan identitasnya dan pada taraf tertentu mereka menguasai posisi ekonomi. Hal lainnya adalah bahwa Semarang sangat terpengaruh oleh apa yang disebut sebagai “budaya Tionghoa”, tidak hanya pada makanan, tetapi adat, seni, serta bahasanya. Misalnya, pertunjukan tradisional “Gambang Semarang” yang terdiri dari tarian dan musik, sedangkan komediannya secara budaya diadaptasi dari orang Tionghoa. Semarang juga mempunyai daerah yang disebut “Pecinan”. Di tempat inilah orang-orang Tionghoa bertempat tinggal. Mereka juga mempunyai pasar tradisional yang tiap pagi hari dikunjungi oleh orang Tionghoa maupun bukan Tionghoa. Di pasar ini mereka dan mengadakan pasar malam pada dua malam sebelum Imlek. Di pasar malam itulah mereka menjual pernik-pernik dan barang-barang keperluan perayaan Imlek. Hal lain yang sangat penting dalam penelitian ini adalah bahwa sebelum wawancara dilakukan, saya memilih informan. Pemilihan informan itu berdasarkan ciri-ciri fisik yang muncul di permukaan seperti kulit kuning, dan bermata sipit. Saya berangkat dari anggapan tentang ciri-ciri di atas, tapi saya tidak yakin semua yang bermata sipit dan berkulit kuning adalah Tionghoa. Jadi, saya harus mengkonfirmasi lebih dahulu, apakah mereka merasa diri mereka orang Tionghoa atau bukan. Keputusan subjektif dari informan ini yang menjadi patokan dasar untuk menjadikan mereka informan saya. Informan-informan saya tinggal di lokasi Pecinan ini. Salah satu informan saya memakai rumahnya sebagai tempat mata pencaharian juga. Lokasinya di sebuah
49
pasar dengan mayoritas pembelanja adalah orang Tionghoa. Observasi dan wawancara saya dengan informan saya kebanyakan dilakukan di rumah mereka di mana saya juga bisa mengamati pekerjaan mereka tiap hari sekaligus mengamati bagaimana mereka berinteraksi dengan para pekerja yang bekerja untuk mereka.
1.3.1. Etnografi dan Studi Khalayak Televisi Sejak tahun 1980, penelitian tentang khalayak secara kualitatif sudah sangat maju dan menyumbangkan pemahaman-pemahaman tentang proses resepsi khalayak terhadap televisi (Hobson, 1980; Morley, 1986; Gray, 1992). Dalam kajian budaya, etnografi sangat berguna dan membantu dalam penelitian khalayak (Ang, 1985; Lull, 1990; Morley, 1991). Kompleksitas televisi di dalam kehidupan sehari-hari menuntut para peneliti mempunyai teknik dan prosedur penelitian yang peka terhadap proses resepsi dari khalayak (audience). Argumentasi metodologis saya dalam studi ini adalah bahwa etnografi dapat menyampaikan pengetahuan mendasar tentang proses berkomunitas. Selain itu, metode penelitian terhadap khalayak televisi ini dapat menghasilkan pengetahuan etnografis tentang budaya lokal yang bisa memperkaya kemungkinan-kemungkinan pembahasan secara interdisiplin. Moore (1993) mengatakan bahwa studi resepsi yang menggunakan etnografi tidak hanya memunculkan berbagai perspektif yang ditandai dengan kekompleksan situasi, tetapi juga mempunyai tujuan yang sama dalam penelitian antropologi (Moore, 1993: 4). Dalam hal ini wawancara mendalam dan observasi partisipasi belum cukup. Etnografi memerlukan investigasi dan keterlibatan
50
jangka panjang untuk mendapatkan sudut pandang “emic” (involving analysis of cultural phenomena from the perspective of one who participates in the culture being studied) dan “native”(existing in/belonging to one by nature) (Pike, 1966: 35), di mana saya sebagai peneliti terlibat (Morley, 1980; Ang, 1985). Ada 3 tahapan yang saya lakukan sebagai peneliti di dalam melakukan penelitian ini yaitu persiapan dasar, keterlibatan, dan fokus penelitian.
1.3.2. Persiapan Dasar Pada tahap awal penelitian saya, tujuan utama saya adalah memahami konstruksi budaya orang Tionghoa dari tingkat remaja, dewasa, dan tua yang hidup di daerah Pecinan Semarang. Pengalaman bergaul dengan banyak orang Tionghoa di kampus tempat saya bekerja serta mahasiswa yang beretnis Tionghoa menuntut saya mempunyai pemahaman yang lebih tentang hal-hal yang berkenaan dengan ketionghoaan, serta istilah-istilah yang banyak dipakai oleh mereka atau yang ditujukan kepada mereka seperti misalnya “pendatang”, “Tionghoa”, Chung KuoRen”, „diskriminasi”. Saya mulai dengan apa yang disebut sebagai snowballing method. Saya menelpon seorang teman Tionghoa yang tinggal di sebuah komunitas pecinan, yang kemudian memperkenalkan kepada informan yang lain dan seterusnya. Para informan tersebut terdiri dari warga negara Indonesia yang beretnis Tionghoa yang secara sadar mengakui bahwa mereka adalah Tionghoa. Umur mereka bervariasi, muda antara 18
51
– 23 tahun, dewasa antara 30 – 40 tahun, dan tua antara 40 – 64 tahun. Terdiri dari wanita dan pria. Saya tinggal bersama mereka selama tujuh belas bulan.
1.3.3. Keterlibatan Pada tahap kedua ini, saya mulai melakukan penelitian secara intensif dengan metode observasi partisipasi (Adler dan Adler, 1994). Saya berpartisipasi dan berinteraksi dengan informan, dan mengikuti kehidupan serta keseharian para informan secara alami. Dengan cara ini, saya mengumpulkan data dari para informan saya. Walaupun menurut Lincoln dan Guba ada kelemahan dalam metode ini, yaitu bahwa keterlibatan saya dalam interaksi dengan para informan dapat menyebabkan saya mempunyai empati pada situasi dan kondisi informan, saya melihatnya sebagai sesuatu kekayaan kemanusiaan yang sangat berharga bagi saya pribadi. Selain itu, hal positif lainnya adalah bahwa keyakinan, perhatian, minat, perilaku, kebiasaan, dan sejenisnya dari informan dapat saya maksimalkan (Lincoln and Guba, 1985: 273). Ada tiga keluarga yang saya kunjungi dan bahkan saya tinggali secara teratur, sehingga hubungan saya dengan mereka sangat dekat dan resiprokal. Mereka sangat ramah, hangat, dan membantu dalam proses pengadaan waktu, baik dalam berbagi pengalaman, mengobrol atau wawancara. Dua informan muda beserta orang tua mereka menjadi key informants sekaligus menjadi teman yang sangat akrab karena selama tujuh belas bulan selalu bertemu dan berinteraksi. Selama waktu kebersamaan dengan mereka, saya melakukan wawancara dengan lebih fokus dan terstruktur tentang kegiatan mereka menonton televisi, khususnya tayangan ketionghoaan.
52
Saya menggunakan catatan harian (diary), catatan lapangan dan tape recorder ketika melakukan penelitian ini. Transkrip percakapan dan wawancara secara verbatim dibuat secara berkala. Tak jarang saya tidak membawa apapun ketika melakukan observasi partisipasi, melainkan hanya mengandalkan memori untuk melengkapi catatan-catatan saya. Pada awal keterlibatan saya dengan para informan saya, saya membedakan dan memisahkan catatan-catatan saya. Saya memakai catatan lapangan untuk mencatat pengalaman dan observasi khusus seperti misalnya komentar informan yang relevan maupun tidak relevan. Catatan harian saya isi dengan hal-hal yang saya ingat, sekaligus juga memuat kesulitan-kesulitan saya ketika saya melakukan penelitian ini. Misalnya, kesulitan menyeimbangkan antara keterlibatan saya dan usaha saya untuk menjaga jarak dengan informan saya. Perjumpaan-perjumpaan saya dengan informan membawa apa yang disebut oleh Atkinson dan Hammersley (1983) yang dikutip oleh Potter (1996: 188)) sebagai selfreflexivity. Mereka mengatakan bahwa seorang peneliti yang reflektif harus tetap sadar diri (self-conscious) bahwa tidak ada yang objektif secara total dan tidak ada bahasa yang alami, terutama ketika sedang merencanakan penelitian, mengumpulkan data, dan menganalisisnya. Oleh karena itu dalam proses penelitian yang self-reflexive ini hal-hal seperti frustrasi, depresi, tantangan, tetapi juga kegairahan serta pencerahan membuat saya sebagai peneliti mempunyai pemahaman akan diri sendiri dan akan diri para informan saya. Selanjutnya saya juga melihat kejadian-kejadian sejarah melalui beberapa data
53
observasi dan wawancara untuk mempertajam pemahaman saya tentang informan saya.
1.3.4. Fokus Penelitian Memasuki bulan ketiga, penelitian saya mulai terfokus pada ketiga keluarga Tionghoa, yakni keluarga Ibu Hastari, Keluarga Bapak Eko, dan keluarga Bapak Hientono. Ibu Hastari adalah orang Tionghoa keturunan Hokkian, Bapak Eko orang tionghoa keturunan orang Hokchia, sedangkan Bapak Hientono tidak bisa menerangkan dia dari suku apa, tetapi istrinya adalah orang Tionghoa dari suku Hokkian. Acara makan pagi dan makan malam bersama adalah lokasi interaksi dan observasi yang sangat efektif bagi saya untuk mengumpulkan data. Acara makan pagi merupakan waktu berbagi tentang acara televisi yang mereka lihat sebelum mereka tidur. Pembicaraan-pembicaraan semacam itu lebih banyak didominasi oleh informan muda saya, sedangkan lokasi dan waktu yang baik untuk berinteraksi dengan para orang tua mereka adalah saat mereka bekerja dan beraktivitas di tempat mereka bekerja. Keluarga Ibu Hastari adalah keluarga yang tidak mempunyai kepala keluarga. Ia berumur 64 tahun dan mempunyai seorang putera, Daniswara, mahasiswa semester 2 yang berumur 19 tahun. Ibu Hastari merepresentasikan orang Tionghoa wiraswasta (kelompok kelompok menengah), yang berpendidikan SMA, dengan golongan usia di atas 55 tahun. Keluarga Bapak Eko terdiri dari Bapak Eko sebagai kepala keluarga, Ibu Ling-Ling istri Bapak Eko, dan kedua putri mereka, yakni Vina dan Ella.
54
Keluarga Bapak Eko merepresentasikan orang Tionghoa kelompok bawah. Bapak Eko tidak mempunyai pekerjaan tetap sedangkan Ibu Ling-Ling adalah pegawai kecil. Usia Bapak Eko dan Ibu Ling-Ling adalah 38 tahun dengan latar pendidikan SMA. Keluarga ketiga yang menjadi informan saya adalah keluarga Bapak Hientono dengan istrinya Ibu Nio Lee Tjoe dan putera mereka, Rio, mahasiswa semester empat di dua perguruan tinggi di Semarang. Keluarga Bapak Hientono mewakili keluarga Tionghoa yang berpendidikan tinggi, cukup berada, dan termasuk mewakili orangtua yang berumur antara 45 – 55 tahun. Daniswara dan Rio mewakili remaja Tionghoa yang lahir di tahun antara 1993 – 1995. Semua informan berpendidikan dengan tingkat pendidikan paling rendah setara SMA, dan paling tinggi adalah Sarjana Strata 3. Karena mereka tinggal di daerah Pecinan sejak kecil, mereka memperoleh pengetahuan tentang ketionghoaan dari kehidupan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal mereka, sedangkan di sekolah mereka menerima pendidikan nasional yang sama dengan orang nonTionghoa. Untuk memastikan bahwa mereka juga memperoleh pengetahuan ketionghoaan dari televisi, maka wawancara tentang pengetahuan ketionghoaan dilakukan ketika menonton acara Imlek bersama-sama dengan saya. Pengetahuan tentang ketionghoaan yang diperoleh dari televisi hanya merupakan justifikasi apa yang sudah mereka pahami tentang ketionghoaan, misalnya dari simbol-simbol yang menjadi setting acara Imlek. Acara Imlek yang ditonton dan dikomentari oleh mereka dan didiskusikan bersama setelah acara itu berakhir di antaranya adalah sebagai berikut: “PSA Imlek
55
2013” (Paduan Suara Anak Imlek 2013) Kompas TV Semarang yang ditayangkan pada tanggal 11 Februari 2013 pada pukul 10 pagi, “Bukan 4 Mata Spesial Imlek” Trans 7 yang ditayangkan pada tanggal 10 Februari 2013 pada pukul 21.30, “Pesbukers Spesial Imlek” yang ditayangkan 31 Januari 2014 di ANTV (Andalas Televisi) pada pukul 18.00. “Acara Campur-Campur Spesial Imlek” di ANTV pada tanggal 1 Februari 2014 pada pukul 21.00, “Korslet Spesial Imlek” TransTV yang ditayangkan 31 Januari 2014 pada pukul 17.30, serta acara “Dahsyat Spesial Imlek” yang ditayangkan 31 Januari 2014 pada pukul 8 pagi oleh RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Sebagai peneliti, selain melakukan observasi dan partisipasi dalam kegiatankegiatan informan, saya juga mempunyai peran sebagai pendengar tanpa mengintervensi.
Saya
mengumpulkan
contoh-contoh
percakapan
mereka,
mencatatnya. Selain itu, ketika berinteraksi dengan informan, dengan tacit knowledge, saya mencatat apa yang tidak dikatakan, apa yang disembunyikan oleh informan saya. Pemahaman ini saya peroleh dari pengalaman, intuisi, observasi, dan informasi yang terinternalisasi.
1.3.5. Saya dan Informan Hubungan saya dan informan saya diwarnai dengan beberapa masalah seperti relasi kuasa antara saya dan informan saya, keterdekatan dan penjagaan jarak, perbedaan gender antara saya dan informan laki-laki, dan etnisitas informan saya yang sedikit berbeda dengan saya. Saya menyadari bahwa hal-hal yang menyangkut
56
persepsi serta asumsi yang sudah berpuluh tahun saya punyai terhadap orang Tionghoa telah membentuk suatu cara berpikir saya, common-sense, dan taken-forgranted saya terhadap informan saya. Oleh karena itu dalam menganalisis data saya tidak membiarkan diri saya sebagai peneliti menggunakan common-sense atau takenfor-granted. Sebagai contoh, dalam konsep binary tentang Indonesia-Tionghoa dan Tionghoa-Indonesia, saya
sebagai peneliti
sangat berhati-hati untuk tidak
menggunakan pemahaman taken-for-granted bahwa kedua konsep itu bukan masalah dan tidak perlu dibicarakan lebih lanjut, sementara konsep binary tersebut harus dipakai sebagai tanda akan adanya ambivalensi dan akan adanya wacana hubungan etnisitas. Selain hal di atas, hubungan saya sebagai peneliti dan informan saya secara tak terhindarkan melibatkan relasi kuasa. Dalam eseinya “The Subject and Power”, Foucault (1982: 790) mengatakan bahwa dimana ada relasi, disitu ada kekuasaan dan the exercise of power can be either positive or negative. Considered from a positive point of view, it involves the “governing”—understood in the broadest sense as training, shaping, or directing toward a goal or set of goals—of human beings. In these types of power relations, Foucault insists that we are dealing with relations among free subjects. Sebagai peneliti sekaligus seorang dosen dan mahasiswa program S3, saya harus secara konstan waspada terhadap sikap dan perilaku saya ketika berinteraksi dengan dua informan muda yang masih mahasiswa. Secara positif saya membangun suasana belajar dan perkawanan dengan mereka untuk mengatasi masalah binary, dosen dan mahasiswa, walau secara realita keduanya bukan mahasiswa di kelompok saya.
57
Hal lain yang tidak kalah penting adalah hubungan saya dengan Bapak Eko yang relatif kurang berada sehingga ada beberapa kali kesempatan saya harus membantu keluarga mereka untuk membayar uang sekolah anak-anak mereka yang terlambat dibayarkan. Pengakuan mereka terhadap status saya sebagai keluarga (bibi dari anak-anak mereka), membuat saya terhindar dari aspek yang merusak dari relasi kuasa antara saya sebagai “pemberi dana” dan mereka sebagai “penerima dana”. Ketika ada pertengkaran dan perdebatan di antara mereka, maka saya menjadi penengah. Hal ini sangat menguntungkan saya sebagai peneliti karena saya mempunyai akses bebas ke privacy mereka, dan keberadaan saya diterima dengan baik. Selain relasi kuasa yang mewarnai hubungan saya dengan informan saya, masalah yang cukup potensial adalah masalah keterdekatan dan kesadaran saya untuk menjaga jarak dengan informan saya. Tedlock (1991) mengingatkan bahwa ketika saya sebagai peneliti berusaha terlibat secara emosional pada saat observasi partisipasi, maka akan ada bahaya yang disebut “going native”, dimana hubungan antara objektivitas dan subjektivitas saya sebagai peneliti, antara diri saya dan si liyan (“self and other”) tidak bisa dijembatani (Tedlock, 1991: 71). Oleh karena itu saya mencoba bersikap bijaksana ketika mengatur kedekatan, dan sebaliknya pengaturan jarak dengan informan saya. Catatan lapangan dan harian merupakan salah satu cara untuk menjaga jarak karena ketika menulis catatan tersebut saya tidak sedang berhadapan langsung dengan informan saya. Walau hal itu saya lakukan, konflik peran sering terjadi. Saya kadang-kadang masuk dalam masalah mereka sehari-hari
58
melebihi peran saya sebagai partisipan yang mengobservasi, sehingga timbul masalah bahwa mereka sangat tergantung pada keberadaan saya. Ini yang saya sebut sebagai detached problem, sebuah masalah dimana pada satu titik sangatlah sulit, bahkan hampir tidak mungkin menjadi peneliti yang berjarak. Misal, ketika informan saya mengeluh tentang kesulitannya memasukkan anaknya ke sekolah negeri mengingat kemampuan keuangan mereka, saya seharusnya dapat membantu menyuarakan hal ini ke Departemen Pendidikan, tetapi karena mereka tidak ingin dianggap orang Tionghoa yang mencari masalah, maka masalah ini tetap tinggal di relung hati saya yang paling dalam. Saya akui bahwa menjaga jarak merupakan hal yang tidak mudah karena sebagai peneliti dan sebagai informan, kami melakukan peran-peran yang berbeda dengan tanggung jawab masing-masing. Meskipun sulit, saya tetap harus berjarak dengan informan karena dua hal. Pertama, bila saya kehilangan jarak dengan informan, maka saya akan mendapat masalah going native, yaitu saya melibatkan diri sedemikian rupa dengan orang-orang yang sedang saya teliti. Akibatnya, saya bisa terjebak menjadi juru bicara misalnya. Kedua, ada kemungkinan partisipasi saya mempengaruhi aktivitas informan yang sedang saya teliti. Catatan lain yang tidak bisa dikesampingkan dalam hubungan saya dengan informan saya adalah masalah gender. Keberadaan saya sebagai peneliti perempuan sedikit banyak memengaruhi interaksi saya dengan informan saya terutama informan laki-laki dewasa dan tua. Saya tidak banyak mempunyai masalah dengan informan laki-laki remaja, tetapi untuk mendapat data dari informan laki-laki dewasa dan tua, dalam hal ini Bapak Eko dan Bapak Hientono, saya maupun mereka merasa agak
59
canggung walaupun saya sudah membangun hubungan baik dan dekat dengan istri dan anak-anak mereka. Oleh karena itu saya lebih sering harus ikut berpartisipasi di dalam outing mereka, ke gereja mereka, bahkan dalam persekutuan doa mereka. Di dalam setiap perjalanan itulah saya mencatat dalam memori saya tentang kedua Bapak tersebut. Dengan adanya pasangan masing-masing di samping mereka, kedua Bapak tersebut lebih terbuka dan leluasa mengobrol dan mengungkapkan isi hatinya. Selain gender, hal lain yang tidak kalah penting dalam hubungan saya dengan informan saya adalah latar belakang saya sebagai seseorang yang sebagian beretnis Tionghoa. Hal ini juga berkenaan dengan bagaimana saya dilihat oleh informan saya dan bagaimana saya melihat informan saya. Pada setiap pertemuan di mana saya bergabung, hampir dapat dikatakan khalayak yang ada di pertemuan tersebut memandang saya dengan penuh keingintahuan. Ciri-ciri fisik saya bukanlah seperti mereka yang mengaku orang Tionghoa. Oleh karena itu saya merasa mereka mempunyai sedikit kecurigaan atau bahkan merasa dianggap sebagai orang luar (outsider) walau tetap diperlakukan dengan sopan. Hubungan menjadi cair ketika mengetahui bahwa saya menikah dengan orang Indonesia yang beretnis Tionghoa. Beberapa dari mereka bertanya tentang latar belakang keluarga saya secara detail yang sangat menguntungkan saya karena dari pertanyaan-pertanyaan mereka saya mendapat sudut pandang yang berbeda, misalnya tentang perbedaan-perbedaan budaya. Dengan demikian saya berperan sebagai insider/outsider pada saat yang sama ketika interaksi ini bersenggolan dengan etnisitas.
60
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah, status mereka sebagai orang Indonesia-Tionghoa yang Kristen dan Katolik dan berpendidikan, dan strata ekonomi mereka yang terbagi dua, kelompok menengah dan kelompok bawah, berpengaruh pada perilaku menonton televisi. Dua keluarga beragama Kristen (keluarga Ibu Hastari dan keluarga Bapak Eko), sedangkan satu keluarga beragama Katolik (keluarga Bapak Hientono). Keluarga Ibu Hastari yang termasuk kelompok menengah mengalami konflik-konflik ketika berdiskusi setelah menonton acara Imlek. Misalnya, konflik antara ibu dan anak tentang perlu tidak menjalankan ritual budaya seperti mengatur sembayang sebelum Imlek. Konflik ini saya bahas pada bab analisa. Sementara itu, keluarga Bapak Eko yang termasuk golongan kelompok bawah, menonton acara Imlek menggugah perasaaan ketionghoaan, yang selama ini mereka tekan karena keadaan situasi politik Orde Baru. Keluarga Bapak Hientono yang berpendidikan tinggi dan termasuk kelompok menengah ke atas, lebih kritis ketika
menonton
acara
Imlek.
Misalnya,
mereka
mengkritisi
penampilan
ketionghoaan yang berlebihan yang memberi kesan glamor. Selain itu, Bapak Hientono mengkritisi sikap pemerintah terhadap acara Imlek yang dihadiri oleh para pejabat pemerintahan. Saya memperoleh kesan bahwa ia terbawa oleh pengetahuan politik yang sedang terjadi saat itu dari observasi partisipasi saya serta sedikit obrolan dengannya. Misalnya, ia mengkritisi sikap Presiden SBY yang “kurang tegas” ketika menghadapi koalisi dalam pemilu legislatif 2014. Hubungan saya dan para informan tidaklah cukup dengan melakukan observasi partisipasi, tetapi saya melakukan wawancara dengan mereka. Wawancara
61
saya lakukan memakai dua metode, yaitu dengan pertanyaan (Fontana dan Frey, 1994). Saya menyiapkan beberapa pertanyaan yang sudah saya siapkan untuk mendapat data yang tepat sedangkan pertanyaan di kepala yang tiba-tiba muncul, saya pakai kemudian ketika berusaha memahami perilaku yang kompleks dari situasisituasi yang muncul saat wawancara. Misalnya, ketika informan saya tiba-tiba berbicara tentang topik yang lain dan mengutarakan isi hatinya, saya memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeksplorasi pikiran-pikiran mereka dan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang muncul saat itu. Dua metode ini, observasi partisipasi dan wawancara, adalah metode utama saya dalam mengumpulkan data, tanpa mengingkari bahwa dalam melakukan pengumpulan data tersebut, banyak kendala dan tantangan seperti yang sudah saya bahas di atas.
1.3.6. Polivokalitas Untuk memperkaya etnografi di dalam penelitian ini, saya juga menggunakan metode polivokalitas seperti yang dibahas oleh Saukko (2003). Polivikalitas secara khusus memberi gambaran yang jelas ketika topik yang diteliti dihadapkan pada beberapa opini yang bertentangan (Saukko, 2003: 65). Artinya, peneliti dapat melihat perbedaan (contrasts) dari realita yang bertentangan (contradicting) sehingga tidak terjebak untuk berpikir bahwa pengalaman yang didapat merupakan kebenaran (the truth). Dengan demikian peneliti dapat berlaku jujur pada setiap pengalaman dengan melihat kekhususan dan keistimewaan masing-masing.
62
Menurut Atkinson dan Hammersley (1983) yang dikutip oleh Hatch (2002: 237) bahwa polivokalitas menghasilkan sebuah draft cerita dengan cara kembali ke data dan ke informan, lalu mengidentifikasinya, dan menyaringnya menjadi ceritacerita individu. Cerita-cerita itu menyajikan “multiple truth” (Hatch, 2002: 238), yang membiarkan informan bercerita menurut versi mereka. Oleh karena itu, saya menggunakan strategi polivokalitas untuk mendapatkan gambaran yang berbeda dari berbagai segi tentang kehidupan informan saya dengan cara meminta para informan membaca semua hasil dan interpretasi penelitian saya. Sebagai contoh ketika salah satu informan saya membaca temuan dan interpretasi hasil penelitian, informan ini memberi masukan dan komentar yang berbeda mengenai apa yang ia lihat di acara ketionghoaan tentang acara Imlek nasional yang ditayangkan oleh TVRI (Televisi Republik Indonesia) dan hampir seluruh TV swasta. Satu tahun setelah wawancara, informan ini menjadi sangat sinis terhadap acara tersebut. Informan saya mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda. Hal inilah manfaat dari polivokalitas. Saya melihat ada perkembangan yang terus terjadi ketika penelitian etnografi ini dilakukan. Komentar dan masukan serta perbedaan pendapat dari para informan akan menjadi sebuah konstruksi naratif yang berbicara tentang kompleksitas ketionghoaan di tingkat politik, interpersonal dan personal. Naratif ini akan menempatkan ketionghoaan dalam konteks yang lebih luas dalam kehidupan mereka di negara Indonesia.
63
1.4. Sistematika Penulisan Bab pertama merupakan bab pengantar yang menguraikan latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua menguraikan komunitas Tionghoa di Semarang, sejarah kota Semarang, dan proses historis interaksi komunitas Tionghoa dengan komunitas-komunitas lain di Semarang, relasi komunitas Tionghoa dengan penguasa pada masa kolonial hingga pasca-kolonial, dan terbentuknya komunitas Tionghoa di Semarang. Bab ketiga membahas tentang praktik orang Tionghoa menonton televisi, dan tentang tayangan ketionghoaan di televisi yang mengimplikasikan resepsi mereka. Bab keempat membahas bagaimana media, dalam hal ini televisi, mengungkap resepsi mereka lewat bahasa dalam tayangan dan merekonstruksi memori orang Tionghoa, serta membentuk identitas mereka. Bab kelima adalah bab penutup yang terdiri dari kesimpulan, dan implikasi teoristis dan praktis.