1
BAB I PENGANTAR
A.
Latar Belakang Lampung memiliki hasil perkebunan seperti lada, kopi,
kapuk, dan gambir.1 Walaupun tanaman lada sudah dibudidayakan oleh masyarakat pada abad ke-17, namun lada mulai berkembang ketika masa kejayaan Sultan Banten hingga saat pemerintah Hindia-Belanda
di
Lampung.
Selain
lada,
Lampung
juga
membudidayakan tanaman kopi sejak akhir pertengahan abad ke19. Perkembangan tanaman kopi pada saat itu diuraikan oleh Probonegoro, seperti yang dikutip di bawah ini: Ing taon 1856 sasampoenipoen tanah Lampoeng tentrem, poenika ing tanah Djawi taksih rame tijang doesoen kaparentahan nanem kopi dateng Nagari. Sampoen mesti kemawon pangageng Lampoeng inggih ladjeng parentah dateng tijang-tijang Lampoeng soepados nanem kopi. Parentah waoe inggih dipoen tindakaken, kalampahan ing taoen 1857 residen Lampoeng saged nglapoeraken jen ing bawahipoen sampoen wonten wit kopi 200.000, ing tahun 1862 mindak dados 4 joeta. Nanging sarehning tijang Lampoeng poenika boten remen nanem kopi, dados tanemanipoen ladjeng katah ingkang pedjah, woesananipoen ing taoen 1888 ing tanah Lampoeng kalapoeraken bilih sampoen boten wonten taneman kopi, kadjawi ing pager-pager oetawi satoenggal kalih ing pakawisan preloe dipoen teda pijambak.2
1
Probonegoro, Lampoeng Tanah Lan Tijangipoen, (Batavia: Bale Poestaka, 1940), hlm. 12; J. W. J. Wellan, Zuid Sumatera Economische Overzicht, (Wegeningen: H. Veenman & Zonnen, 1923), hlm. 29. 2
Probonegoro, op. cit., hlm. 95.
2
(Di tahun 1856, setelah tanah Lampung damai, di Pulau Jawa orang-orang desa diperintah oleh negara untuk menanam kopi. Pada saat itu pula, pemerintah Lampung kemudian memerintahkan orang-orang Lampung untuk menanam kopi. Perintah tersebut kemudian dilaksanakan dan dapat berjalan baik, hingga di tahun 1857 residen Lampung dapat melaporkan 200.000 pohon kopi, di tahun 1862 kopi mengalami peningkatan menjadi 4 juta. Namun mengingat orang Lampung itu tidak suka menanam kopi, sehingga tanamannya (kopi) kemudian banyak yang mati, dan pada akhirnya yakni, tahun 1888 Lampung dilaporkan bahwa sudah tidak ada tanaman kopi, selain yang tumbuh di pagar-pagar atau satu dua pohon yang digunakan untuk konsumsi sendiri.)
Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa kopi mulai ditanam masyarakat atas perintah penguasa setempat pada tahun 1850an. Akan tetapi, akhir tahun 1880an jumlah tanaman kopi sudah sangat menurun. Apabila dikaitkan dengan tanaman kopi di Jawa yang gagal panen akibat terserang penyakit,3 maka kopi di Lampung tahun 1888 diuraikan oleh Probonegoro mengalami pembiaran yang tak terurus. Penurunan jumlah tanaman kopi tersebut, tidak dapat dipisahkan dengan kondisi alam Lampung yang saat itu terkena dampak dari letusan Gunung Krakatau 1883.4
3
Pada tahun 1880, tanaman kopi arabika di Jawa diserang penyakit. Hampir sebagian besar kopi tidak dapat dipanen karena penyakit sudah menghancurkan pohon kopi arabika. Hal ini menambah deretan alasan mengapa kopi sulit ditemukan. Pieter Creutzberg dan J. T. M. van Laanen a. b. Kustiniyati Mochtar, dkk., Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, (Jakarta: YOI, 1987), hlm. 157. 4
Ketebalan abu berkisar 1-5 cm di Pantai Jawa, dan kurang dari 0.5 cm di Jakarta (Batavia) dan Bogor, sedangkan ketebalan
3
Pada akhir abad ke-19, seiring dengan kebijakan ekonomi liberal telah mendorong pertumbuhan modal swasta Barat untuk kembali mengembangkan tanaman kopi. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya produksi kopi swasta Barat di Jawa pada tahun 1885.5 Pertumbuhan perkebunan kopi milik swasta Barat di Jawa membangkitkan kembali minat untuk menanam kopi dalam jumlah yang besar di Lampung. Berbeda dengan periode sebelumnya, ketika tanaman kopi banyak ditanam masyarakat, maka pada akhir abad ke-19, kopi mulai dikembangkan pemodal swasta Barat. Pada tahun 1890an, daerah di Lampung yang dibuka untuk perkebunan swasta Barat adalah Way Lima.6 Sama halnya dengan
abu di Lampung mencapai 20 cm. Produk letusan didominasi oleh batuapung dimana pada pulau-pulau sekitar kompleks Krakatau, ketebalannya mencapai 60-80 m. Partikel abu vulkanik halus mencapai atmosfir dan tertiup ke arah barat dengan kecepatan sekitar 121 km/jam, sehingga dalam waktu 14 hari mampu mengelilingi daerah yang luas sepanjang khatulistiwa. Yasa Suparman, Krakatau 1883; Pembelajaran di balik Letusan Katastropik, (Bandung: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-Badan Geologi, 2013); Simon Winchester, Krakatoa (The Day The World Exploded: August 27, 1883), (London: The Penguin Group, 2003), hlm. 38. 5
Produksi kopi swasta di Jawa meningkat dari 153.000 pikul tahun 1870 menjadi 412.000 pada 1900. J. S. Furnivall a. b. Samsudin Berlian, Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hlm. 213. 6
Dirk Janse, Het Koloniale Album Als Verhaal: Beeldvorming in foto albums uit Sumatera, 1860-1900, skripsi, (Dutch: Universiteit Utrecht), hlm. 44. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2013.
4
pola perkebunan pada umumnya, Way Lima merupakan daerah frontier yang secara sosial, ekologis, dan historis terpisah dari pusat yang saat itu berada di Teluk Betung.7 Awal berdirinya perkebunan kopi di Way Lima, tenaga kerja atau buruh didapatkan dari penduduk lokal setempat yang sebelumnya bekerja di salah satu daerah yang dekat dengan Way Lima, bernama Way Layap. Perkembangan perkebunan kopi di Way Lima yang semakin pesat tidak diimbangi dengan ketersediaan buruh lokal di Lampung.8 Kebutuhan tenaga buruh yang semakin meningkat membuat pihak perkebunan untuk merekrut buruh dari berbagai daerah, seperti Cina, India dan Jawa.9
http://issuu.com/bintphotobooks/docs/scriptie_0034223_het_kol oniale_album_als_verhaal 7
Tembok-tembok pemisah dari daerah disekitar perkebunan, menurut Ann Laura Stoler sebagai cara untuk mengontrol buruh secara total. Hal ini tergambarkan di Deli yang awalnya daerah frontier kemudian menjadi sebuah lokalitas perkebunan yang di dalamnya juga terdapat suatu sistem. Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979, (Yogyakarta: KARSA, 2005), hlm. 4. 8
Ketersediaan buruh bagi perkebunan di Sumatera dinilai penting sebagai penunjang hasil ekspor yang akan didapat. Agar hasil ekspor melonjak, maka dibutuhkan tenaga buruh murah untuk menunjang kelanjutan perkebunan. Thee Kian-Wie, Plantation Agriculture and Export Growth an Economic History of East Sumatera, 1863-1942, (Jakarta: LIPI, 1997), hlm. 34. 9
Muhammad Said, Koeli Kontrak Tempo Doeloe; Dengan Derita dan Kemarahannya, (Medan: Waspada, 1977), hlm. 24-25; Jan Breman, Taming the Coolie Beast: Plantation Society and
5
Dalam perkembangan selanjutnya muncul problematika, buruh migran yang datang ke Way Lima harus mengikuti aturan perkebunan. Seperti halnya dengan peraturan di Deli, buruh di Way Lima diikat dengan suatu kontrak berdasarkan koelie ordonnantie, 1880, yang didalamnya termasuk poenale sanctie. Aturan yang menempatkan staf kulit putih sebagai prioritas utama dan buruh berada di strata paling bawah menjadikan buruh hidup dalam kemiskinan.10 Menurut Ann Laura Stoler, kemiskinan yang tercipta dari buruh perkebunan bukan sekedar upah rendah dan fasilitas yang tidak memadai, namun ada suatu paksaan yang secara jelas dikontrol dan kemudian membentuk wacana kekuatan, ketakutan, dan ancaman dari kekerasan.11 Kondisi ini dapat dikatakan sebagai ciri khas dari perkebunan dimana terdapat keterkaitan antara struktur dan agensi manusia di dalam proses perubahan sosial.12
Colonial Order, (New Delhi: Oxford University Press and Calcuta Bombay Madras, 1989) hlm. 52-60. 10
Hal ini tidak terlepas dari tujuan perkebunan itu sendiri yang diorganisir untuk suatu tujuan keuntungan dengan didasari pada buruh lokal yang murah dan buta politik. Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 2. 11
12
Ibid, hlm. iii.
Beckford menyebut ini sebagai norma kehidupan komunitas perkebunan. Perkebunan merupakan sebuah masyarakat total, dimana status pekerjaan seseorang berkaitan dengan status sosial dalam masyarakat yang telah terpengaruh oleh gerak lembaga ekonomi yang ada. Keadaan ini kemudian menciptakan tumpang tindihnya berbagai aspek kehidupan seperti,
6
Melihat buruh sebagai realitas sosial dari perkebunan, beserta dengan segala aspek yang mengikat, maka kajian ini menjadi sangat menarik untuk dibahas. B.
Permasalahan dan Ruang Lingkup Berdasarkan latar belakang tersebut muncul permasalahan
pokok yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu pengaruh kondisi sosial ekonomi buruh perkebunan di Way Lima dalam kaitannya dengan tingkat eksploitasi dan perubahan struktur pengelolaan perkebunan tempat mereka bekerja antara tahun 1892-1932. Dalam upaya menjawab permasalahan pokok di atas maka terdapat 3 hal yang ada dalam penelitian ini antara lain; (1) proses rekuitmen, (2) hubungan kerja berdasarkan koelie ordonnantie, (3) dan upah beserta fasilitas yang diterima buruh. Dari permasalahan pokok di atas muncul pertanyaanpertanyaan sebagai berikut ini. Pertama, tentang pencarian buruh hingga ke Pulau Jawa telah membantu perkebunan dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Pilihan buruh Jawa yang murah merangsang pemerintah untuk terus melakukan pengiriman buruh dengan berbagai jalan, salah satunya yakni pemberlakuan program kolonisasi. Bagaimana pola perekrutan buruh Jawa ke
sulitnya membedakan tugas perusahaan atau tugas pribadi majikan. George L. Beckford, Persistent Poverty: Under -development in Plantation Economies of the Third World, (New York: Oxford University Press, 1972), hlm. 61.
7
Lampung sebelum pemberlakuan kolonisasi? Bagaimana proses mendatangkan buruh dari Jawa sewaktu program kolonisasi berlangsung di Lampung? Kedua, buruh-buruh perkebunan yang datang ke Way Lima menjadi bagian penting dalam jalannya roda perekonomian perkebunan. Oleh karenanya, bagaimanakah kehidupan buruh pada masa perkebunan di Way Lima antara tahun 1892-1932? Bagaimana tingkat kemampuan adaptasi ekonomi maupun sosial buruh migran terhadap sistem kapitalisme perkebunan di Way Lima? Buruh sebagai suatu kelompok minoritas mempunyai keterikatan kuat antara satu dengan lainnya, namun apakah ikatan ini dipahami oleh buruh di Way Lima? Apa saja peristiwa yang dialami buruh sewaktu bekerja? Bagaimana tingkat kemiskinan buruh di perkebunan yang diukur dari upah? Apakah keadaan ekonomi buruh yang buruk merupakan akibat tekanan dari sistem kapitalisme perkebunan sangat keras sehingga buruh tidak mempunyai pilihan? Ketiga, tentang masa saat terjadi depresi ekonomi terhadap keadaan buruh-buruh perkebunan. Depresi ekonomi yang terjadi antara tahun 1920an hingga 1930an tersebut, apakah membuat kehidupan buruh semakin terpuruk? Apa dan bagaimana dampak depresi ekonomi terhadap buruh di Way Lima? Bagaimana cara buruh menghadapi tahun-tahun saat terjadi depresi ekonomi?
8
Adakah langkah-langkah penanganan dari pemerintah untuk kepentingan buruh dalam menghadapi depresi ekonomi? Subjek studi ini adalah buruh perkebunan di daerah Way Lima, onderdistrik Tanjung Karang, distrik Teluk Betung. Cakupan waktu dalam studi ini dibatasi dari akhir abad ke-19 sampai terjadinya depresi ekonomi 1932. Dipilihnya akhir abad ke-19 sebagai batasan awal karena pada periode ini buruh migran dari Jawa didatangkan dalam jumlah besar guna memenuhi kebutuhan tenaga kerja perkebunan di Way Lima. Pemilihan tahun 1892 berkaitan
dengan
permasalahan
yang
diambil
yakni
awal
perekrutan buruh dari Jawa telah memunculkan masyarakat baru di Lampung. Migrasi buruh ke Lampung ini juga menyebabkan peningkatan terhadap populasi penduduk yang mencapai hampir sepertiga dari jumlah keseluruhan penduduk pada tahun 1930an. Perkembangan perkebunan di Way Lima berkaitan juga dengan keadaan pasar internasional yang menjadi tempat untuk menjual barang hasil produksi. Oleh sebab itu, keadaan pasar tahun
1932
yang
mengalami
depresi,
berdampak
terhadap
perkebunan di Way Lima beserta buruhnya. Depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1932 menjadi batasan yang dipilih dalam penelitian ini karena berkaitan dengan kehidupan ekonomi dan sosial buruh untuk bertahan hidup. Terjadinya depresi ekonomi pada tahun 1932 telah mendorong buruh untuk bergerak ke luar
9
perkebunan dan masuk ke kebun-kebun kopi maupun karet rakyat karena perkebunan sebagai lahan mata pencaharian tidak mampu memberikan kehidupan buruh lebih baik. C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian tentang buruh di wilayah Sumatera dan sekitarnya
bukanlah hal baru dalam historiografi, tetapi keberadaannya sebagai hasil kolonisasi belum diungkap. Maka penelitian yang berfokus di Way Lima ini berupaya untuk menjelaskan tentang awal kedatangan buruh migran. Perekrutan buruh yang berada di Way Lima merupakan bagian dari objek ekploitasi kolonial. Berkaitan dengan
hal
tersebut,
penelitian
ini
bertujuan
untuk
memformulasikan pola-pola perekrutan dengan upah dan fasilitas yang diberikan perkebunan. Hasil dari tujuan tersebut dapat menunjukkan kemiskinan buruh merupakan akibat dari peraturan ketat perkebunan atau ketidakmampuan buruh dalam beradaptasi dengan sistem kapitalisme. Mengingat kajian sejarah tentang buruh perkebunan di Lampung, khusunya Way Lima belum mendapat tempat dalam historiografi Indonesia, maka penelitian ini bermanfaat untuk mengisi kekurangan itu dengan menghadirkan sejarah sosial buruh dengan melihat tatanan ekonomi berdasar pada ruang perkebunan di Way Lima. Sampai saat ini sebagian besar kajian sejarah buruh masih didominasi oleh kuli-kuli di Deli, Bangka, Belitung, dan Aceh.
10
Oleh karena itu, studi ini barang kali dapat menjadi gambaran baru dari sejarah tentang buruh yang mengambil ruang di Way Lima. D.
Tinjauan Pustaka Sampai saat ini, kajian ilmiah tentang buruh perkebunan di
Sumatera banyak membahas buruh di Sumatera Timur, Padang, Palembang dan Aceh. Karya mengenai buruh di Sumatera Timur banyak ditemukan di tulisan Jan Breman tentang migrasi buruh Cina, India, dan Jawa dengan sistem dan struktur perkebunan yang memaksa buruh untuk dikontrol.13 Kajian lain mengenai buruh di Sumatera Timur terdapat juga pada karya Ann Laura Stoler yang berjudul Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870-1979,14 buku Mohammad Said yang berjudul Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya, menyinggung tentang konflik dan kesewenang-wenangan terhadap buruh. Di dalam Buku berjudul Coolie Labour in Colonial Indonesia: A Study of Labour Relations in the Outer Island, c. 1900-194015 dan The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942, Vincent J. H. Houben banyak
13
Jan Breman, Labour Migration and Rural Transformation in Colonial Asia, (Amsterdam, 1990). 14
15
Ann Laura Stoler, loc. cit.
Vincent J. H. Houben, J. Thomas Lindblad, et al., Coolie Labour in Colonial Indonesia; A Study of Labour Relations in the Outer Island, c. 1900-1940, (Weisbaden: Harrassowitz Verlag, 1999).
11
membahas tentang upah, kesehatan, rumah, dan segala aspek pada buruh Di Sumatera Timur maupun di Ombilin, Sumatera Barat.16 Karya lain dari Vincent J. H. Houben, di dalam Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, juga memberikan informasi tentang pola-pola rekuitmen buruh di perkebunan khususnya di Luar Jawa.17 Karya lain yang berupa novel karangan H. H. Szekely Lulofs berjudul Berpacu Nasib di Kebun Karet mampu menggambarkan kehidupan buruh yang bertahan dalam sistem kolonial.18 Karya akademis Keizerina Devi Azwar yang berjudul Poanale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur makin melengkapi karya-karya buruh di Sumatera Timur.19 Karya ilmiah mengenai buruh di daerah lain, didapati juga dari Erwiza Erman berjudul Menguak Sejarah Timah Bangka
16
Vincent J. H. Houben, “Profit versus Ethics: Government Enterprises in the Late Colonial State,” Robert Cribb (ed.), The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942, (Leiden: KITLV, 1994). 17
Vincent J. H. Houben, “Inspektorat Tenaga Kerja dan Kondisi Tenaga Kerja di Luar Jawa, 1900-1940,” J. Thomas Lindblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). 18
M. H. Szekely-Lulofs, Berpacu Nasib di Kebun Karet, (Jakarta: Grafiti Press, 1985). 19
T. Keizerina Devi, “Poenale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi Dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur, 1870-1950,” disertasi, (Medan: USU, 2004).
12
Belitung: Dari Pembentukan Kampung Ke Perkara Gelap.20 Erwiza berbicara tentang buruh, khususnya dari Cina yang bekerja di pertambangan di Belitung. Karya Ratna Saptari berjudul Bangsa dan Politik Perburuhan Dalam Proses Dekolonisasi, memberikan konsep berbeda tentang buruh dimana buruh bukan hanya orang yang bekerja di pabrik dan industri namun buruh dilihat secara luas sebagai pekerja berat, seperti buruh becak, buruh bangunan.21 Penelitian mengenai buruh juga dilakukan Zaiyardam Zubir, yang berjudul Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai: Eksploitasi Buruh Tambang Batubara Ombilin oleh Kolonial Belanda 1891-1927. 22 Aspek-aspek
pergerakan
buruh
di
Ombilin
dimulai
dari
kesenjangan sosial maupun ekonomi yang terjadi di perkebunan. Sementara itu, gambaran mengenai perkembangan perkebunan milik para pemodal swasta Barat di Sumatera Timur dibahas dalam dan karya akademis Thee Kian-Wie yang berjudul Plantation
20
Erwiza Erman, Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung: Dari Pembentukan Kampung Ke Perkara Gelap, (Yogyakarta: Ombak, 2009). 21
Ratna Saptari, Bangsa dan Politik Perburuhan Dalam Proses Dekolonisasi, (Jakarta: YOI, 2013). 22
Zaiyardam Zubir, Pertempuran Nan Tak Kunjung Usai: Eksploitasi Buruh Tambang Batubara Ombilin oleh Kolonial Belanda 1891-1927, (Yogyakarta: Insist, 2006).
13
Agriculture and Export Growth an Economies History of East Sumatra, 1863-1942.23 Kehidupan buruh karet di Aceh Timur dibahas dalam karya ilmiah milik Mawardi, dengan judul Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh Perkebunan Karet di Aceh Timur, 1907-1939. Tesis ini menjelaskan keadaan ekonomi sosial buruh Jawa maupun Cina dari jumlah upah per hari sampai kepada fasilitas yang diterima buruh, seperti rumah dan sekolah.24 Tesis
Mawardi
tersebut,
sangat
membantu
penulis
untuk
mengetahui keadaan buruh di daerah Aceh Timur, sehingga dapat menjadi perbandingan dengan keadaan buruh di Way Lima. Sebelum membahas buruh di Lampung, terlebih dahulu harus melewati gerbang pencarian perekonomian dengan latar belakang perpindahan penduduk atau saat masa kolonial dikenal dengan kolonisasi. Karya-karya yang berbicara mengenai kolonisasi seperti, Karl J. Pelzer, H. J. Heeren, Kampto Utomo memberikan informasi mengenai pendorong terjadinya migrasi dari Jawa.25
23
Thee Kian-Wie, loc. cit.
24
Mawardi, “Menyadap Getah untuk Onderneming: Dinamika Sosial Ekonomi Buruh Perkebunan Karet di Aceh Timur, 19071939,” tesis, (Yogyakarta: UGM, 2005). 25
Karl J. Pelzer, Pioneer Settlement In the Asiatic Tropics, (New York: American Geographical Society, 1945); H. J. Heeren a. b. Masri Singarimbun, Transmigrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan
14
Karya
Probonegoro
menggambarkan
kehidupan
masyarakat
Lampung dari sebelum terjadi kolonisasi sampai dengan tahap kolonisasi berakhir.26 Keadaan sosial maupun ekonomi Lampung juga dibahas J. W. J. Wellan dalam Zuid Sumatera Economische Overzicht, (Wegeningen: H. Veenman & Zonnen, 1923).27 Wellan berbicara tentang segi perekonomian Sumatera Selatan secara keseluruhan dan dengan berbagai aspek masyarakat, serta jalurjalur transportasi. Adat istiadat masyarakat juga mata pencaharian penduduk Lampung dibahas oleh Edwin M. Loeb, berjudul Sumatera: Sejarah dan Masyarakatnya.28 Beberapa
pembahasan
yang
menjadi
gambaran
awal
Lampung di atas, kemudian lebih mengerucut pada suatu topik kebutuhan tenaga kerja di Lampung melalui jalan kolonisasi. Adapun karya ilmiah dari Lindayanti yang berjudul Kebutuhan Tenaga Kerja dan Kebijakan Kependudukan: Migrasi orang dari Jawa ke Bengkulu 1908-1941, memaparkan tentang sejarah kolonisasi awal masa kolonial di pulau Sumatera, yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai Lampung dan Sumatera Timur.
Obor, 1979); Kampto Utomo, Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah Way Sekampung, (Yogyakarta: UGM Press, 1975). 26
Probonegoro, loc. cit.
27
J. W. J. Wellan, loc. cit.
28
Edwin M. Loeb, loc. cit.
15
Selanjutnya, dipaparkan juga tentang keterkaitan migrasi orangorang Jawa ke Sumatera tersebut berhubungan dengan kebutuhan tenaga kerja.29 Karya ilmiah yang membahas tentang Lampung lebih khusus Way Lima ditulis oleh Dirk Janse, yang berjudul Het Hindiae Album Als Verhaal: Beeldvorming in fotoalbums uit Sumatera, 1860-1900. 30 Karya ini memberikan beberapa foto mengenai keadaan daerah Sumatera,
diantaranya;
Aceh,
Sumatera
Barat,
Batak,
dan
Lampung. Kawasan Lampung yang menjadi kajian dari Janse diambil dari Omslag van het album Naar en te Way-Lima en Kedongdong, pada tahun 1898. Karya ini merupakan suatu kajian tentang beberapa foto di daerah Sumatera, di mana Way Lima tergambar dalam beberapa foto para buruh yang bekerja di perkebunan kopi. Adapun pembukaan pertama perkebunan di Way Lima sampai akhir abad ke-20 di analisis secara singkat dengan foto-foto yang berhubungan pada kejadian saat itu. Effendi dengan judul Pialang Adat di Bumi Ruwa Jurai Penyimbang di Karesidenan Lampung 1928-1942.31 Tesis ini
29
Lindayanti, “Kebutuhan Tenaga Kerja dan Kebijakan Kependudukan: Migrasi orang dari Jawa ke Bengkulu 1908-1941,” disertasi, (Yogyakarta: UGM, 2007). 30
31
Dirk Janse, loc. cit.
Effendi, Pialang Adat di Bumi Rua Jurai: Penyimbang di Karesidenan Lampung (1928-1942), tesis, (Yogyakarta: UGM, 2007).
16
meneliti perubahan dalam berbagai aspek kehidupan elit lokal di Lampung yang bergelar Penyimbang. Perubahan tersebut terkait dengan intervensi pemerintah Hindia-Belanda yang menerapkan undang-undang otonomi tahun 1903 dan keputusan desentralisasi pada 1905; yang pada akhirnya di tahun 1928 telah melahirkan Marga Stelsel di Karesidenan Lampung. Hal ini sangat besar pengaruhnya
terhadap
dinamika
kehidupan
Penyimbang
khususnya, dan masyarakat Bumi Ruwa Jurai pada umumnya hingga akhir pemerintahan Hindia Belanda 1942. Disertasi yang di tulis oleh Bambang Purwanto dengan judul From Dusun to The Market: Native Rubber Cultivation in Southern Sumatera 1890-1940.32 Disertasi ini memaparkan perubahan perekonomian kampung menjadi pasar ekspor yang terjadi di Sumatera Selatan, seperti; Palembang, Bengkulu, Jambi, dan Lampung. Disertasi ini berfokus pada perubahan hasil tanaman penduduk masyarakat dari lada dan kopi ke karet. Disertasi yang juga membahas Lampung sangat membantu penelitian ini, karena struktur geografis maupun bentuk perekonomian pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Lampung menjadi gambaran dan perbandingan peneliti untuk melihat keadaan Lampung.
32
Bambang Purwanto, From Dusun to The Market: Native Rubber Cultivation in Southern Sumatera 1890-1940, disertasi, (London: University of London, 1992).
17
Berdasarkan karya-karya di atas, dapat dikatakan bahwa studi ilmiah mengenai sejarah buruh di Lampung masih belum ditemukan. Oleh karena itu, tesis ini mencoba menghadirkan realitas
masa
lalu
dari
kehidupan
ekonomi
sosial
buruh
perkebunan di Way Lima dari tahun 1892-1932, sebuah kajian yang belum pernah dibahas oleh peneliti lain. E.
Pendekatan dan Kerangka Konseptual Penelitian ini merupakan sejarah sosial ekonomi dari
buruh perkebunan di Way Lima, Lampung. Pendekatan sosial dan ekonomi diperlukan untuk memperoleh penjelasan dalam suatu peristiwa sejarah yang terjadi secara kompleks, sehingga dapat membantu memperluas pemahaman dan kedalaman suatu permasalahan serta untuk menyusun kerangka konseptual.33 Dalam studi ini, perkebunan di Way Lima dipahami sebagai suatu sistem yang merupakan unit produksi komoditas ekspor. Oleh karenanya, studi ini lebih difokuskan pada proses pengungkapan hubungan antara unsur dari sistem produksi yang diperankan oleh buruh dengan dimensi ekonomi dalam unit perkebunan tersebut.34
33
Robert F. Berkhofer, JR., A Behavioral Approach to Hstorycal Analysis, (New York: The Free Press, 1969), hlm 1. 34
Perkebunan diikuti oleh unit agrikultural yang berskala besar dalam area tropis dan semi tropis. Perkebunan ini biasanya terikat pada hasil produksi yang berorientasi ekspor, dan berada
18
Penentuan Way Lima sebagai batasan spasial dalam penelitian ini didasarkan pada wilayah produksi perkebunan kopi dan karet.35 Penentuan batas spasial ini penting untuk melihat hubungan unsur-unsur ekonomi perkebunan tersebut dalam konteks Way Lima. Periode waktu 1892 – 1932 diambil karena didasari pada alasan praktis dari pada alasan metodologis. Tahun 1892 merupakan tahun pertama perekrutan buruh migran ke perkebunan, sedangkan tahun 1932 sebagai batas akhir karena terjadinya depresi ekonomi mengakibatkan buruh mencari pekerjaan di luar perkebunan. Hadirnya perkebunan menurut Stoler akan membawa suatu dampak serta problematika bagi daerah tersebut. Perkebunan dianggap membawa wacana mengenai rusaknya norma-norma sosial yang telah ada sebelumnya. Bahkan perkebunan menetapkan ketentuan-ketentuan sendiri, terkadang dengan cara membujuk, maupun paksaan. Hegemoni serba memaksa dan menjerumuskan secara implisit berakar atas penguasaan atas kuasa seksual,
dibawah kepemilikan manejemen swasta Barat dengan buruh berupah rendah sebagai tenaga kerja. Vincent J. H. Houben, “Introduction,” dalam Vincent J. H. Houben, J. Thomas Lindblad, et al., op. cit., hlm. 8. 35
J. Thomas Lindblad, “New Destinations: Conditions of Coolie Labor Outside East Sumatra, 1910-1938,” dalam Vincent J. H. Houben, J. Thomas Lindblad, et al., ibid, hlm. 93.
19
kekeluargaan, dan sosial secara menyeluruh.36 Guna membangun informasi tentang adanya perubahan struktur tersebut maka dibutuhkan risalah khusus yang membahas tentang kehidupan para buruh. Oleh karena itu, fokus dari penelitian ini adalah pengungkapan hubungan antara buruh dengan unsur lain yang ada di perkebunan, serta melihat hubungan buruh dengan dimensi ekonomi dalam perkebunan di Way Lima. Hadirnya perkebunan menandakan kapitalisme dengan adanya sistem pemasaran, investasi, dan manajemen perusahaan, sedangkan untuk penanda dari berlangsungnya feodalisme di dalam perkebunan terlihat dalam sendi pengorganisasian perburuhan, yang mana didalamnya terdapat perekrutan buruh dan kontrol tenaga kerja.37 Stoler melihat inti dari perkebunan yang terdiri dari pabrik, perkantoran, perumahan staf, dan pondok-pondok pekerja dapat disesuaikan berdasarkan ras.38 Ras Eropa akan menempati rumah beserta fasilitas mewah namun sebaliknya dengan ras pribumi yang hanya mendapatkan pondok dan fasilitas tidak layak. Sependapat dengan George L. Beckford yang menggolongkan tenaga kerja
36
Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 25.
37
J. Thomas Lindblad, “Coolies in Deli: Labour Conditions in Western Enterprises in East Sumatra, 1910-1938,” dalam Vincent J. H. Houben, J. Thomas Lindblad, et al., op. cit., hlm. 46. 38
Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 5.
20
berdasarkan status dan sistem upah.39 Tenaga kerja ini kemudian dikelompokkan atas perbedaan ras, warna kulit, dan bangsa yang mewarnai stratifikasi perkebunan. Stratifikasi berdasarkan ras dan warna kulit, menempatkan orang-orang Eropa pada tempat teratas, diikuti orang-orang Cina yang berada pada posisi tengah. Sebagian kecil orang pribumi menjadi mandor perkebunan menempati kelas diatas kelas buruh sedangkan buruh yang datang dari Jawa menempati posisi paling rendah dalam stratifikasi sosial.40 Berbeda dari Stoler dan Beckford, penelitian ini melihat buruh sebagai salah satu unsur dari jalannya roda perkebunan. 41 Buruh tidak hanya dilihat sebagai masyarakat perkebunan saja, namun buruh dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan unsurunsur
lain
pada
sistem
perkebunan
tersebut.
Houben
menguraikan bahwa masyarakat perkebunan menjadi objek
39
George L. Beckford, Persistent Poverty; Underdevelopment in Plantation Economies of the Third World, (New York: Oxford University Press, 1972), hlm. 61. 40
Mubyarto, Tanah Dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 115. 41
Van den Brand yang menulis buku Millioenen uit Deli memperlihatkan tentang gambaran betapa buruknya kondisi buruh di perkebunan Deli telah menyebabkan kegegeran di parlemen Belanda. Pendapat ini berada pada Ratna Saptari, op. cit., hlm 2.
21
teoritis untuk melihat migrasi dan studi tentang buruh di dalam historiografi kolonial.42 Houben melihat hubungan kondisi buruh dengan ekonomi perkebunan dengan cara kausal linier yang dibedakan atas 2 hal antara lain, kondisi material dan non-material. Kondisi material adalah upah, rumah, fasilitas kesehatan termasuk hal yang berhubungan dengan penyakit dan kematian; kondisi nonmaterial seperti hukuman, kekerasan, desersi dan keluhan dari buruh.43 Kedua kausal linier tersebut berhubungan erat dengan data dari laporan dari arbeidsinspectie yang digunakan dalam penelitian ini. Hubungan buruh yang dicerminkan dari kondisi material dan non-material dijelaskan lebih lanjut oleh Houben dengan 4 komponen yaitu: (1) Buruh meliputi: lamanya buruh tersebut berada di perkebunan, perubahan-perubahan dalam ukuran penduduk buruh dalam satu perusahaan, dan situasi di pasar tenaga kerja; (2) Kebijakan kolonial meliputi: Inspektorat Tenaga Kerja dan Hukum yang serba memaksa. Inspektorat Tenaga Kerja yakni mempelajari tentang laporan inspeksi terhadap buruh di perkebunan yang berhubungan dengan upah,
42
Vincent J. H. Houben, “Introduction,” dalam Vincent J. H. Houben, J. Thomas Lindblad, et al., op. cit., hlm. 9. 43
Vincent J. H. Houben, “The Quality of Coolie Life: An Assessment of the Labour Conditions, 1910-1938,” Vincent J. H. Houben, J. Thomas Lindblad, et al., op. cit., hlm. 113.
22
rumah, dan fasilitas kesehatan (kondisi material). Sedangkan, hukum yang serba memaksa berhubungan dengan kontrak buruh dengan pemilik perusahaan. Hukum ini berkaitan dengan koelie ordonnantie dan juga poenale sanctie; (3) Daerah yaitu situasi
umum
geografi
dan
kondisi
kesehatan;
dan
(4)
Perusahaan, meliputi: fase keberadaan perusahaan, posisi finansial atau profitabilitas perusahaan, jenis kegiatan ekonomi perusahaan, ukuran perusahaan, dan lokasi perusahaan.44 Model analisis dapat digambarkan sebagai berikut:
44
Vincent J. H. Houben, ibid, hlm. 114; Vincent J. H. Houben, “Inspektorat Tenaga Kerja dan Kondisi Tenaga Kerja di Luar Jawa dan Jawa, 1900-1940,” J. Thomas Linblad (ed.), op. cit., hlm. 226241.
23
Sumber: Vincent J. H. Houben, “The Quality of Coolie Life: An Assessment of the Labour Conditions, 1910-1938,” dalam Vincent J. H. Houben, J. Thomas Lindblad, et al., Coolie Labour in Colonial Indonesia; A Study of Labour Relations in the Outer Island, c. 19001940, (Weisbaden: Harrassowitz Verlag, 1999), hlm. 115.
Keempat kondisi
buruh
komponen di
tersebut
perkebunan.
dapat Kondisi
menggambarkan material
yang
berhubungan dengan buruh seperti; kesehatan, kematian, dan penerimaan upah, dapat menggambarkan lebih jauh tentang keadaan perumahan, fasilitas kesehatan, dan kualitas pangan buruh. Kondisi non-material yang berkaitan dengan desersi, kekerasan, dan hukuman berformulasi terhadap tingkah laku majikan
Eropa
dan
non-Eropa
seperti
mandor
dalam
memberikan dorongan untuk meningkatkan populasi buruh maupun perusahaan atau perkebunan. F.
Metode Penelitian dan Sumber Langkah heuristik di dalam penelitian ini ialah menelusuri
beberapa sumber kepustakaan primer ataupun sekunder. Heuristik adalah
sebuah
kegiatan
mencari
sumber-sumber
untuk
mendapatkan data-data, atau materi sejarah, atau evidensi sejarah.45 Perjalanan heuristik bermula dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dimana terdapat arsip berkala seperti majalah,
45
Helius Sjamsuddin, Ombak, 2007), hlm. 86.
Metodologi
Sejarah,
(Yogyakarta:
24
koran, dan catatan perjalanan. Sumber-sumber elektronik berupa dokumen-dokumen tentang perkebunan di Way Lima menuntun peneliti
untuk
mencari sumber
dokumen
tertulis
di ANRI.
Perpustakaan lain yang menunjang adalah Perpustakaan Ignatius, di Kota Baru. Perpustakaan Ignatius terdapat banyak buku-buku kuno mengenai sejarah Sumatera, dan perpustakaan penunjang lainnya, terdapat di areal kampus, seperti Hatta Corner, Studi Pedesaan, dan perpustakaan Masri Singarimbun. Perjalanan penulis untuk mencari sumber kemudian berlanjut di KITLV Jakarta maupun Leiden, dan Nationaal Archief di Den Haag yang sebagian besar sumber perkebunan di Way Lima terdapat di sana. Sumber penelitian sejarah merupakan modal utama untuk menyusun peristiwa sejarah, karena dari sumber itu dapat ditarik fakta yang kemudian menjadi dasar usaha untuk menghidupkan masa lampau.46 Tanpa adanya sumber, sebuah karya sejarah hanyalah sebuah cerita rekaan. Helius Sjamsuddin menganggap sumber sejarah sebagai hal yang berkaitan langsung atau tidak, yang menceritakan kepada kita ikhwal suatu kenyataan atau kegiatan manusia.47 Sumber di dalam sejarah dapat dibedakan menjadi dua: sumber primer dan sumber sekunder.
35
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Historiografi, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 23. 47
Helius Sjamsuddin, op. cit., hlm. 80.
Perkembangan
25
Sumber-sumber yang terkumpul dalam tahap heuristik lalu menjalani tahap kritik, dimana terdapat kritik eksternal maupun internal.48 Tahap kritik Eksternal dilakukan untuk mencari keabsahan data dengan melakukan penyaringan secara kritis. Tujuan kritik ekstern untuk menilai keabsahan sumber, misalnya jenis kertas, tinta, gaya tulisan, bahasa, kalimat, untuk mengetahui otentitas sumber.49 Peneliti berusaha untuk melakukan kritik ekstern untuk mengetahui otentitas data berupa dokumendokumen ataupun foto-foto yang didapat mengenai perkebunan dan buruh pada masa Hindia-Belanda. Selain melakukan kritik ekstern peneliti juga melakukan kritik intern untuk mengetahui validitas isi sumber.50 Kritik ini merupakan pemeriksaan terhadap isi sumber yang bertujuan untuk membuktikan apakah kesaksian dan pernyataan sumber dapat diandalkan atau tidak.51 Dalam hal ini penulis sudah melakukan pembacaan arsip perkebunan dan membandingkannya dengan beberapa sumber yang di dapat dari surat kabar tahun 1920an.
48
R. Moh Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 246. 49
Kuntowijoyo, Pengantar Bentang, 2005), hlm. 101. 50
Ibid, hlm. 102.
51
Ibid, hlm. 135.
Ilmu
Sejarah,
(Yogyakarta:
26
G.
Sistematika Penulisan Setelah bab pengantar, penulisan tesis ini selanjutnya
memaparkan tentang kondisi alam maupun masyarakat Lampung, seperti yang akan diuraikan dalam bab II. Dalam bab II, penulis hendak menjelaskan tentang alam Lampung beserta pertumbuhan tanaman perkebunan beserta sosial ekonomi masyarakat sampai awal abad ke-20. Selanjutnya, bab III membahas proses masuk dan berkembangnya modal swasta Barat. Bab ini hendak menjelaskan pertumbuhan modal swasta Barat di Way Lima dan proses peralihan perkebunan kopi ke perkebunan karet. Selanjutnya di bab IV, dibahas pola ketenagakerjaan buruh di Way Lima. Bagian pada bab IV ini akan menjelaskan tentang pola perekrutan buruh dari Jawa ke Lampung serta sistem kesepakatan kerja buruh dengan perkebunan. Pada bab V diuraikan kehidupan buruh perkebunan kopi di Way Lima tahun 1892 - 1932. Bagian bab ini berisikan keadaan buruh di Way Lima dengan melihat beban kerja, upah buruh, dan masalah kesehatan maupun tempat tinggal para buruh migran di Way Lima. Selanjutnya, bab VI akan membahas tentang kehidupan buruh ketika masa depresi ekonomi. Keadaan buruh saat depresi ekonomi seperti mencari pekerjaan baru, dijelaskan di bab ini. Sebagai
penutup,
bab
VII
akan
memberi
permasalahan dan realisasi tujuan penelitian.
jawaban
dari