RAGAM TEKNOLOGI BUDIDAYA LADA M. Syakir Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK Tanaman lada (Piper nigrum L) merupakan salah satu tanaman rempah-rempah dimana negara produsen terbesar di dunia adalah Indonesia, India, Malaysia dan Brasil. Secara tradisional tanaman lada diperbanyak dari sulur panjat, sehingga dalam budidaya memerlukan tiang panjat yang dapat berupa tegakan mati atau tegakan hidup. Dari hasil manipulasi teknologi agronomi tanaman lada dapat dikembangkan dari cabang buah yang menghasilkan lada perdu. Tanaman lada yang dibudidayakan dengan menggunakan tiang panjat mati ada kecenderungan memperlihatkan pertumbuhan dan produksi lebih tinggi, namun umur produktif lebih pendek dan biaya investasi awal usaha tani lebih mahal, karena tiang panjat mati yang tahan lama harganya lebih mahal dan ketersediannya semakin sulit. Budidaya lada yang menggunakan tiang panjat hidup, manakala tidak dilakukan pemilihan tiang panjat hidup yang tepat dan tidak dilakukan pemangkasan tiang panjat hidup secara teratur dapat menyebabkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman ladanya lebih rendah akibat dari terjadinya kompetisi dalam hal sinar matahari, unsur hara, air, CO2, dan ruang bahkan dapat menyebabkan efek alelopati tiang panjat hidup terhadap tanaman ladanya. Dari pengamatan di lapangan tanaman lada yang menggunakan tiang panjat hidup memiliki umur produktif lebih lama dan manakala dilakukan pemeliharaan yang intensif, maka tanaman lada yang dibudidayakan dengan tiang panjat hidup memiliki tingkat produktivitas yang sama dengan lada yang dibudidayakan dengan menggunakan tiang panjat mati. Tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan potensi dari
berbagai ragam teknologi budidaya tanaman lada sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memilih jenis teknologi budidaya yang tepat dalam pengembangan tanaman lada. Kata kunci : Piper nigrum L, lada, lada perdu, tiang panjat mati, tiang panjat hidup, potensi, budidaya
ABSTRACT Technology of Black Pepper Cultivation Black pepper plant (Piper nigrum L.) is one of spice plants. The largest producing countries in the world are Indonesia, India, Malaysia and Brazil. Black pepper plants are tradionally multiplied from climbing shoots, so that in cultivation they require climbing poles in the form of dead or alive poles. From the results of agronomy technological manipulation, black pepper plants can be developed from fruit branches which produce clump black pepper. The use of dead climbing poles tend to show the higher growth and production, however, the productive age is shorter and the cost is more expensive. The use of alive climbing poles need proper selection of plant poles. This is due to competition in terms of sunshine, nutrients, water, CO2 and space. Unproper poles will decrease growth and productivity as well as side effect of alive climbing poles, moreover can cause allelopaty effect of alive climbing pole on black pepper plants. From observation in the field, black pepper plants use alive climbing poles have longer productive age. Intensive maintenance of black pepper plant cultivated with alive climbing poles have the same productivity with black pepper plants which are cultivated by using dead climbing poles. This
13
pepper aims to show the potency of various kinds of black pepper plant cultivation technology, so that it will be useful in selecting the kind of exact cultivation technology in development of black pepper plants. Keywords : Black pepper, clump black pepper, cultivation, alive climbing poles, dead climbing poles, Piper nigrum L., potency
PENDAHULUAN Lada merupakan salah satu produk tertua dan terpenting dari produk rempah-rempah yang diperdagangkan di dunia. Theophratus yang hidup 372287 SM (sebelum masehi), menyebutkan dua jenis lada yang telah digunakan oleh bangsa Mesir dan Romawi pada waktu itu yaitu lada hitam (Black pepper) dan lada panjang (Pepper longum). Purseglove (1968) menyebutkan bahwa lada merupakan produk pertama yang diperdagangkan antara Barat dan Timur. Pada abad pertengahan tahun 1.100 – 1.500 M, perda-gangan lada memiliki kedudukan yang sangat penting. Pada waktu itu lada digunakan sebagai alat tukar dan mas kawin, selain untuk keperluan rempah-rempah. Tanaman lada (Piper nigrum. L) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peluang strategis dalam system usaha perkebunan, baik secara ekonomi maupun sosial. Secara ekonomi lada dapat menjadi salah satu sumber utama pendapatan petani dan devisa negara sektor non migas, sedangkan secara sosial merupakan komoditas tradisional yang telah dibudidayakan sejak lama dan keberadaannya merupakan penyedia lapangan
14
kerja yang cukup luas terutama di daerah sentra produksi. Usaha tani lada di Indonesia umumnya diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat. Pada dekade terakhir turunnya harga lada bukan hanya disebabkan persaingan antar negara-negara produsen, seperti Indonesia, Malaysia, India, dan Brazil, tetapi juga disebabkan oleh munculnya negara-negara baru penghasil lada seperti Thailand, Srilanka, dan Vietnam. Di sisi lain semakin kritisnya negara-negara konsumen terhadap mutu lada turut memperkuat terjadinya persaingan untuk merebut pangsa di pasaran internasional seperti kekhawatiran konsumen akan adanya residu pestisida dan kontaminasi mikroba seperti Escherichia coli, Salmonolla spp. dan jamur yang menghasilkan defatoksin. Untuk mempertahankan produk lada sebagai salah satu komoditas ekspor non migas andalan, upaya antisipatif yang dilakukan, tentunya tidak hanya pada peningkatan produktivitas, melainkan lebih difokuskan pada perbaikan teknologi budidaya dan mutu lada yang memiliki keunggulan dalam menekan biaya produksi dan meningkatkan kualitas hasil. BUDIDAYA LADA DENGAN TEGAKAN HIDUP Tegakan hidup pada umumnya digunakan pada budidaya tanaman lada secara ekstensif dan semi intensif. Penggunaan tegakan hidup pada budidaya lada yang intensif saat ini belum dilakukan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Tidak semua jenis tanaman dapat dipakai sebagai
tegakan lada. Wahid dan Yufdi (1989) menyarankan tegakan hidup hendaknya memiliki sifat : a) Berumur panjang b) Memungkinkan akar lada melekat dengan baik c) Efek negatif terhadap tanaman lada tidak begitu besar, seperti adanya kompetisi akan hara, air dan CO2, efek alelopati d) Mudah dan cepat tumbuh serta tahan pangkas e) Murah dan mudah diperoleh Zaubin (1992) menambahkan bahwa lingkar batang jangan terlalu besar, relatif tahan terhadap hama dan penyakit, tidak menjadi inang hama dan penyakit lada, dari famili leguminoseae dan mempunyai perakaran yang dalam. Tegakan hidup memberikan naungan sehingga kondisi iklim mikro dibawahnya ikut terpengaruh yang berakibat pada seluruh aspek agronomis tanaman dibawahnya. Oleh karena itu, budidaya lada dengan tegakan hidup sifatnya sangat kompleks dan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat. Pengenalan sifat-sifat dan kebutuhan tanaman lada perlu dikuasai untuk dijadikan sebagai acuan dalam memanipulasi tegakan hidup. Tegakan hidup yang populer adalah tanaman glirisidia atau gamal (Gliricidia maculata) dan dadap cangkring (Erythrina fusca). Kedua jenis tanaman ini termasuk famili leguminoseae yang toleran terhadap hama dan penyakit yang menyerang tanaman lada. Karena tanaman ini diperbanyak dengan setek, maka perakarannya dangkal sehingga menim-
bulkan kompetisi unsur hara dan air dengan tanaman lada. Meskipun biomas yang dihasilkan tanaman dadap melalui pemangkasan tidak sebanyak yang dihasilkan oleh tanaman glirisidia, namun perakaran dadap disukai oleh jasad renik tanah yang bermanfaat, seperti rhizobium, mikoriza (Almeida, et al., 1984; Hasanah et al., 1990). Selain itu perakaran dadap mengeluarkan senyawa-senyawa yang mempunyai efek nematisida (Koshj et al., 1977). Selama ini budidaya tanaman lada dengan tegakan hidup dinilai kurang baik. Produktivitas tanaman lada relatif rendah akibat kompetisi akan hara, air dan CO2, serta efek alelopati dan naungan yang berlebih. Berbagai upaya telah dicoba untuk mengurangi efek negatif dari tegakan hidup melalui manajemen kebun yang baik. Menurut Wahid (1987) tanaman lada membutuhkan 5070 % intensitas sinar matahari. Pada intensitas sinar yang rendah laju fotosintesisnya akan rendah dan serapan unsur-unsur hara juga lambat, yang berakibat poduksi tanaman rendah. Karena itu disarankan agar tanaman penegak dipangkas 3 kali/ tahun selama musim penghujan. Pemangkasan ini hendaknya diatur agar sebaran dan ukuran percabangan dapat merata sehingga dapat diperoleh cahaya dengan intensitas yang cukup untuk fotosintesa. Disarankan agar tinggi tegakan hidup 1½ kali jarak tanamnya. Hasil pemangkasan, berupa biomas, dapat bermanfaat untuk menam-
15
bah bahan organik tanah, menghalangi permukaan tanah dari terpaan air hujan, mengurangi perkembangan dan penyebaran penyakit, mempengaruhi iklim mikro dalam kebun dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan pupuk anorganik (Zaubin, 1992). Intensitas pemangkasan tegakan hidup menunjukkan korelasi yang negatif dengan pemangkasan sulur lada selama fase vegetatif sampai umur 2 tahun. Wahid dan Daras (1988) membuktikan bahwa apabila tegakan hidup (glirisidia) dipangkas 3 kali/tahun, maka tanaman lada cukup dipangkas sekali saja yaitu pada umur 12 bulan setelah tanam. Apabila tegakan hidup dipangkas 2 kali/tahun, maka sulur tanaman lada perlu dipangkas secara intensif sebanyak 6 kali. Selain itu Zaubin (1992) menyarankan agar pemupukan tanaman lada dilakukan 2-3 minggu setelah pemangkasaan tegakan hidup, saat tegakan masih mengalami stress dan tidak menjadi saingan bagi tanaman lada. BUDIDAYA LADA DENGAN TEGAKAN MATI Ada kecenderungan bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman lada lebih baik apabila menggunakan tegakkan mati dari pada tegakan hidup. Pada budidaya lada dengan tegakan mati tidak ada persaingan akan unsur-unsur hara, air dan CO2, selain itu tanaman lada mendapat intensitas sinar matahari yang tinggi sehingga laju fotosintesisnya dipacu.
16
Beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh tegakan mati adalah : a) Tahan lama b) Permukaannya agak kasar c) Diameter tegakan tidak terlalu besar d) Relatif tahan terhadap hama dan penyakit e) Tidak menyerap panas matahari terlalu banyak f) Relatif murah dan mudah diperoleh Masalah pada penggunaan tegakkan mati adalah tingginya harga dan terbatasnya tegakan mati yang baik seperti kayu besi, mendaru dan melangir yang dapat bertahan sampai ± 15 tahun. Tegakan ini diambil dari bagian tengah pokok tanaman yang cukup tua sehingga kayu yang diperoleh sangat keras dan cukup tahan terhadap serangan hama, seperti rayap, ngengat, dan sebagainya. Tegakan yang relatif murah, seperti kayu pelawan, gelam, seru, hanya bertahan 2-4 tahun. Selain itu adanya larangan penebangan pohon-pohon dihutan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan hidup makin membatasi ketersediaan kayu untuk tegakan mati. Masalah keterbatasan akan tegakan mati ini dapat diatasi, antara lain dengan menggunakan bahan pengawet pada kayu yang relatif murah, menggunakan pipa paralon atau beton. Pemilihan jenis pengawet kayu hendaknya memperhatikan pengaruhnya terhadap peningkatan daya tahan kayu dan efek negatif yang mungkin ditimbulkan terhadap tanaman lada. Sedang tegakan dari pipa paralon dan beton perlu memperhatikan kekasaran permukaan dan
daya serapnya terhadap suhu yang dapat mempersulit sulur tanaman lada untuk memanjat. Upaya untuk menjawab permasalahan tegakan mati tersebut telah dimulai di Bangka tahun 1974 dengan cara membandingkan tegakan kayu, beton, tanaman dadap dan kapok terhadap pertumbuhan dan produksi beberapa varietas lada. Ternyata tegakan lada mulai yang terbaik adalah tegakan kayu yang tidak berbeda nyata dengan tegakan pohon dadap, tegakan pohon kapok dan tegakan beton (Zaubin et al., 1990). Disini diperoleh petunjuk bahwa pengaruh penggunaan tegakan hidup pohon dadap sama baiknya seperti kayu mati. Selanjutnya Wahid dan Yufdi (1989) melaporkan bahwa untuk menghemat penggunaan tegakan kayu dapat dilakukan kombinasi 58 % tegakkan kayu (mendaru) dengan 42 % tegakan hidup (glirisidia). Selain itu penggunaan bahan pengawet pada tegakan kayu yang relatif murah dan masih dalam taraf penelitian awal. Hasil sementara menunjukkan adanya harapan untuk menggunakan bahan pengawet tertentu asalkan asalkan tidak mengandung senyawa-senyawa yang dapat merugikan pertumbuhan tanaman lada (Dhalimi dan Ray, 1995). Pipa paralon PVC sebesar tegakan tanaman lada pernah dicoba di PTP XXIII, tetapi karena permukaannya yang licin akar tidak dapat melekat dengan baik (Wahid dan Yufdi, 1989). Pengunaan tegakan beton di perkebunan lada yang dikelola oleh Missie-Bangka sudah dimulai sejak 1949, namun perkembangannya kurang baik karena mem-
butuhkan waktu dan tenaga yang relatif banyak. Di Lampung Selatan penggunaan tegakan beton menunjukkan hasil yang cukup baik apabila disekitar tegakan ditanami tanaman yang dapat memberi naungan kepada tegakan beton. Dengan pola tanam campur lada dengan pepaya (Carica papaya), pisang (Musa. sp) dan tanaman hortikultura lainnya tegakan beton tampaknya memberti harapan baik. BUDIDAYA LADA PERDU Sebagai alternatif dalam budidaya lada, budidaya lada perdu mampu menekan biaya produksi sehingga meningkatkan efisiensi usaha tani lada. Keunggulan-keunggulan komparatif budidaya lada perdu terhadap budidaya lada dengan tiang panjat antara lain : 1) Lebih efisien dalam penggunaan bahan tanaman untuk perbanyakan 2) Tidak memerlukan tiang panjat 3) Populasi tanaman per satuan luas (4.000 – 4.500 tanaman/ha) lebih banyak, sehingga penggunaan lahan lebih efisien. 4) Pemeliharaan dan panen lebih mudah 5) Dapat berproduksi lebih awal (umur 2 tahun), dan 6) Dapat ditanam dengan pola tanam campuran atau tumpang sari dengan tanaman tahunan lainnya (Syakir dan Zaubin, 1994; Dhalimi et al., 1998). Syakir et al. (1998) dan Wahid et al. (1999) melaporkan bahwa berdasarkan analisis keuntungan sosial bersih pada beberapa komoditas perkebunan,
17
lada perdu menghasilkan manfaat ekonomi paling besar, dibandingkan lada tiang panjat mati, kelapa sawit, kakao, kopi, dan karet. Di samping itu telah dilakukan pula analisis sumber daya dalam negeri (BSD) dan keunggulan komparatif lada perdu terhadap komoditas-komoditas perkebunan tersebut di atas. Analisis BSD merupakan variabel yang dapat digunakan untuk mengukur besarnya biaya sumber daya dalam negeri yang harus dikorbankan (dalam rupiah) untuk memperoleh satu satuan devisa. Apabila lebih kecil daripada nilai tukar bayangan atau rasio keduanya kurang dari 1, maka investasi tersebut dikatakan efisien. Semakin kecil rasionya menunjukkan komoditas tersebut makin memiliki keunggulan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lada perdu memiliki nilai BSD dan rasio yang paling kecil dibandingkan komoditas perkebunan lainnya. Dengan demikian dari korbanan dalam negeri, lada perdu merupakan usaha tani yang paling efisien dan memiliki keunggulan komparatif paling besar. Hasil penelitian Rosmeilisa et al. (1999) di Kabupaten Bangka juga menunjukkan bahwa usaha tani lada perdu memiliki tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan lada tiang panjat mati. Walaupun produksinya lebih rendah, tetapi biaya produksi lada perdu jauh lebih rendah dibandingkan biaya produksi lada tiang panjat mati.
18
Secara teknis perbedaan antara budidaya lada perdu dengan lada tiang panjat terletak pada aspek agronomi yang meliputi : penyiapan dan perbanyakan bahan tanaman, pendederan dan pembibitan, pemeliharaan, dan panen. Sedangkan untuk aspek pengendalian dan penyakit serta pasca panen lada perdu, pada dasarnya sama dengan yang diterapkan pada lada tiang panjat. Untuk itu penjelasan budidaya lada perdu akan lebih ditekankan pada aspek agronominya. Lada perdu diperoleh dari perbanyakan secara vegetatif (setek) cabang buah tanaman lada. Pengambilan setek pada kondisi yang cocok untuk akumulasi fotosintat akan menghasilkan setek dengan perakaran yang baik. Hasil penelitian Syakir et al. (1994) menunjukkan bahwa pengambilan setek antara pukul 11.00 – 12.00 merupakan waktu yang paling baik untuk pertumbuhan akar dan tunas setek lada perdu mengingat pada saat kandungan karbohidrat tanaman paling tinggi. Bahan tanaman yang dipilih tersebut sebaiknya tidak terlalu tua. Setek bahan tanaman dapat disiapkan dengan dua cara yaitu; setek cabang bertapak dan setek cabang buah. Pada setek cabang bertapak bahan tanaman berasal dari cabang primer dengan 3-4 daun dengan menyertakan satu buku sulur panjat haus dibuang agar tidak terbentuk kembali sulur panjat. Sementara itu setek cabang buah berasal dari cabang buah primer, sekunder, dan tersier (Syakir, 1996). Namun demikian untuk setek cabang buah sebaiknya berasal dari cabang buah sekunder (2-3 buku)
dengan 2 – 4 tahun karena menghasilkan persentase tumbuh yang lebih baik (Suparman dan Sopandi, 1988). Untuk mamacu pertumbuhan dan memperkecil tingkat kematian setek lada di pembibitan, perlu dilakukan perlakuan pendahuluan. Bagian basal setek (± 5 cm) diberi 3-4 keratan melingkar dan bagian pangkal setek dipotong tepat diatas buku atau bagian interkalari. Selanjutnya bagian setek yang dikerat dicelupkan ke dalam larutan H2SO4 2 % selama 30 – 60 detik, kemudian setek direndam dalam larutan IBA 2 % - sukrosa 2 % selama 4 jam (Zaubin et al., 1992). Perlakuan pendahuluan dapat pula dilakukan dengan cara merendam setek dalam larutan air kelapa 25 % selama 12 jam (Syakir et al., 1993). Lama setek di pembibitan 6 – 9 bulan dan bunga/buah yang berbentuk harus dibuang/dirompes. Selama setek di pendederan dan pembibitan perlu di beri naungan/sungkup warna merah (Syakir, 1996; Zaubin dan Supardijono, 1994). Sebelum dilakukan penanaman perlu dibuat lubang tanam dengan jarak 1,5 x 1,5 m. Hasil penelitian Barus (1998) menunjukkan bahwa ukuran lubang tanam hanya berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan vegetatif lada perdu, sedangkan terhadap produksi tidak berpengaruh nyata. Ukuran lubang tanam yang dianjurkan yaitu panjang 40 cm, lebar 40 cm, dalam 40 – 60 cm, dan bagian atas tanah dicampur dengan pupuk kandang 5 – 10 kg/lubang tanam. Untuk menekan tingkat kematian bibit, penanaman
sebaiknya dilakukan saat musim hujan dan perlu diberikan naungan secukupnya. Naungan dapat dikurangi secara bertahap sampai tanaman dapat tumbuh baik. Pemeliharaan lada perdu meliputi : penyiangan dan peggemburan tanah, perompesan bunga, pemupukan, pemberian mulsa, pembuatan parapara, dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan dilakukan secara terbatas, yaitu hanya di sekitar tajuk tanaman dan dilakukan bersamaan dengan penggemburan tanah. Wahid et al. (1999) melaporkan bahwa budidaya lada perdu pada intensitas radiasi 100 % (cahaya penuh) dan/atau jenis tanah dengan kesuburan sedang dan/atau curah hujan 2.500 – 3.000 mm/tahun, dianjurkan menggunakan varietas Petaling 1 dengan taraf pemberian hara 400 gr NPK Mg/ tanaman/tahun. Sedangkan pada intensitas radiasi 50 –75 % dan/atau jenis tanah dengan kesuburan ≥ sedang dengan taraf pemberian 600 g NPK Mg/ tanaman/tahun. Pada tahun pertama pupuk diberikan setengah rekomendasi, sedangkan pada tahun kedua dan selanjutnya pupuk diberikan dengan dosis penuh. Pemupukan dilakukan selama musim hujan dan dibagi dalam 3 kali agihan degnan perbandingan 2:3:5 pada tahun pertama, 5:3:2 pada tahun kedua dan selanjutnya. Pemupukan untuk setiap agihan dilakukan dengan selang pemberian 40 hari. Untuk tanaman muda pupuk diberikan dengan cara alur (melingkar), sedangkan pada tanaman berumur lebih dari 2 tahun diberikan dengan cara larikan sesuai
19
ukuran tajuk tanaman. Selanjutnya pemberian pupuk kandang 5 – 10 kg/ tanaaman dan mulsa dapat dilakukan pada setiap awal musim kemarau. Pada tanaman lada perdu dewasa umumnya tajuk sampai ke permukaan tanah. Kondisi tersebut memudahkan terjadinya serangan penyakit busuk pangkal batang yang dapat menyebar melalui alirang air di permukaan tanah. Untuk mencegah hal tersebut dapat dibuatkan penyanhha berupa para-para. Penggunaan para-para cukup penting terutama pada daerah yang memiliki tipe iklim A dan B (curah hujan dan kelembaban udara cukup tinggi). Selama 12 bulan setelah tanam semua bunga/buah yang terbentuk harus dibuang/diromperss. Hal ini dimaksudkan agar pertumbuhan vegetatif tanaman tidak terganggu oleh fase generatif. Mulai tahun ke-2 perompesan bunga dihentikan dan bunga dipelihara sampai membentuk buah. Apabila hasil lada akan dijadikan lada hitam, buah dianggap masak petik jika butir-butir buah dalam tandannya sudah mencapai ukuran normal, cukup keras (sukar dihancurkan tangan), dan berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Waktu yang dibutuhkan sampai dengan masak petik tersebut biasanya mencpai 7 – 8 bulan setelah pembuangan (Syakir, 1996). Dari beberapa hasil penelitian dan pengamatan di lapangan, kisaran produksi yang dapat dicapai lada perdu adalah sebagai berikut : umur 1 tahun 0 g/tanaman, umur 2 tahun 80 – 160 g/ tanaman, umur 3 tahun 160 – 250 g/ tanaman, dan umur 4 tahun 250 – 320
20
g/tanaman. Sementara itu Yuhono et al. (1994) melaporkan bahwa di Kabupaten Ciamis lada perdu umur 15 tahun masih dapat menghasilkan 500 g/ tanaman. Berdasarkan karakter morfologi, fisiologi, dan lingkungan tumbuhnya, lada perdu sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk polatanam. Seperti di bawah tegakan tanaman tahunan atau dikombinasikan dengan tanaman pangan semusim. Disamping itu lada perdu dapat pula dikembangkan sebagai tanaman pekarangan. Pengembangan lada perdu dalam bentuk polatanam, khususnya di bawah tegakan tanaman tahunan memiliki beberapa keuntungan, diantaranya : 1. Dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan. 2. Mampu memberikan nilai tambah yang cukup signifikan 3. Risiko kematian tanaman akibat cekaman lingkungan relatif kecil dibandingkan penanaman secara monokultur (tanpa naungan). Berdasarkan kebutuhan intensitas radiasi surya, lada perdu sebaiknya dikembangkan di bawah tegakan tanaman tahunan yang dapat meloloskan radiasi surya 50 - 75 %. Di antara tanaman tahunan tersebut, kelapa merupakan tanaman yang sangat berpotensi dan sering dipolatanamkan dengan lada perdu. Pengembangan lada perdu di bawah tegakan tanaman tahunan juga dapat menekan tingkat kematian tanaman akibat cekaman lingkungan. Hasil penelitian Wahid et al. (1995)
menunjukkan bahwa akibat cekaman air tingkat kematian lada perdu yang ditanam di bawah tegakan kelapa mencapai 28,9 %, sedangkan secara monokultur 34,1 %. Tanaman kelapa merupakan salah satu tanaman yang potensial untuk dikembangkan pada tanaman lada. Struktur tajuk dan kanopi tanaman kelapa memungkinkan masih dapat meloloskan energi radiasi surya ke permukaan tanah. Darwis (1988), mengemukakan bahwa kemampuan melewatkan radiasi matahari 20 – 50% dapat terjadi pada tanaman kelapa sampai umur 45 tahun. Namun, biasanya radiasi yang lolos sampai ke permukaan tanah tergantung pada jarak tanam, varietas, pemeliharaan dan tinggi tanaman serta umur tanaman. Menurut Nair (1983) perakaran kelapa efektif terkonsentrasi tertinggi sampai sejauh 2 m dari pangkal batangnya dengan kedalaman 1,5 m. Tanaman lada memiliki struktur akar yang dangkal dengan perakaran 63,8% terkonsentrasi pada kedalaman 0-50 cm dari permukaan tanah (Ippor et al., 1993). Tanaman tahunan lainnya yang cukup berpotensi untuk dipola tanamkan dengan lada perdu yaitu tanaman sengon (Albazia falcataria). Disamping tanaman sengon memiliki bintil akar yang dapat mengikat nitrogen bebas. Lada perdu selain dipolatanamkan dengan tanaman tahunan, juga dapat dikombinasikan dengan tanaman pangan semusim, seperti jagung dan kacang tanah. Penanaman dapat dilakukan dalam bentuk tumpangsari
ataupun sistem jalur (Strip cropping). Tanaman jagung yang menghendaki intensitas cahaya penuh dan memiliki tajuk yang tinggi dapat berfungsi sebagai naungan bagi lada perdu, sementara itu kacang tanah dapat membantu ketersediaan unsur hara nitrogen. Pada polatanam tersebut biomass sisa panen jagung dan kacang tanah dapat dikembalikan sebagai sumber bahan organik, sehingga diharapkan pemberian hara dari pupuk anorganik dapat dikurangi (Syakir et al, 1999). KESIMPULAN Pengembangan tanaman lada dapat dilakukan dengan penerapan teknologi budidaya dengan menggunakan tiang panjat mati, tiang panjat hidup dan lada perdu. Tanaman lada yang dibudidayakan dengan menggunakan tiang panjat mati memperlihatkan produktivitas lebih tinggi, namun umur produktif lebih pendek dan biaya investasi awal usahatani lebih mahal. Budidaya lada dengan tiang panjat hidup, manakala dilakukan pemilihan tiang panjat hidup yang tepat, pemupukan, pemangkasan tiang panjat hidup dan tanaman ladanya secara teratur akan menghasilkan pertumbuhan dan produktivitas yang tinggi. Budidaya lada perdu memiliki potensi untuk dikembangkan dengan pola tanam campuran atau tumpangsari dengan tanaman tahunan.
21
DAFTAR PUSTAKA Almeida, R.T. de. I Vasconcelos, V.F. Freire, 1984. Occurence of V.A. mycorhizae in soils Ander legume trees in Ceara. Brazil. Pesquisa Agropecuaria Brasilieira 19 : 281282. Barus, J., 1998. Pengaruh usuran lubang tanam dan komposisi bahan organik terhadap pertumbuhan dan produksi lada perdu. Jornal Penelitian Tanaman Industri. Vol. 3 (56). Bogor : Puslitbangbun : 151158. Darwis, S.N., 1988. Tanaman sela diantara kelapa. Puslitbangtri Seri Pengembangan (2) : 117 h. Dhalimi, A. dan Amrizal Ray, 1995. Pengaruh tiang panjat dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan lada. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri No. 15 Jakarta : Balitbang Pertanian : 75-77. Dhalimi, A., M. Syakir dan E. Surmaini, 1998. Peningkatan efisiensi pemberian hara lada perdu dibawah tegakan kelapa melalui aplikasi ZPT. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21-23 April 1998 : 527 – 532. Puslitbangbtri. Bogor. Hasanah, Y. Pujiharti dan A. Sukawa, 1990. Penelitian pendahuluan minoriza pada tanaman lada (Piper nigrum L.). Makalah disampaikan pada seminar bulanan sub Balittro Natar. 10 h.
22
Ippor, I.B., A.S. Siti Hajijah dan K. Ahmad, 1993. Preliminary studies of root architecture of pepper (Pipper nigrum L.) dalam The Pepper Industry Problems and Prospect. Centre for Applied Sciences. University Agricultura Malaysia. Bintul. Koshy, P.K, V.K. Sosamma and P. Sundaraju, 1977. Screening of plant used pepper standarts against rootknot nematode. Indian Phytopathology 30:128-129. Nair, P.K.R., 1983. Agroforestry with coconuts and other tropical plantation crops plant research and Agroforestry. Inst. Coconut for Ris in Agroforestry. p. 79-102. Purseglove, J.W. et al., 1968. Spice Volume 1. London : Longman : 10-99. Rosmeilisa, P. M. Syakir, dan E. Surmaini, 1999. Rentabilitas budidaya lada perdu dan lada tiang panjat mati. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 5 (1): 18-24. Suparman, U. dan A. Sopandi, 1988. Pertumbuhan bibit lada dari cabang buah primer dan sekunder. Pemb. Littri XIV (1-2):65-68. Syakir, M., M. H. Bintoro, dan A.Y. Daulay, 1993. Pengaruh berbagai zat pengatur tumbuh dan bahan setek terhadap pertumbuhan setek cabang buah lada. Pemb. Littri. Vol XIX (3-4) : 59-65.
Syakir, M. J. Wiroatmodjo, dan E. Rasnasari, 1994. Pengaruh kondisi pohon induk dan waktu pengambilan setek terhadap pertumbuhan setek cabang buah. Tidak dipublikasi.
Wahid, P dan U. Daras, 1988. Pengaruh pemangkasan tajar dan tanaman lada terhadap pertumbuhan dan produksinya. Makalah disampaikan pada seminar bulanan Balitro, 2 Januari 1988. 10 h.
Syakir, M. dan R. Zaubin, 1994. Pengadaan bahan tanaman lada perdu. Prosiding Simposium II Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Puslitbang Tanaman Industri. Bogor 21 – 23 Nopember 1994 : 161 - 171.
Wahid, P. dan P. Yufdi, 1989. Masalah tiang panjat dalam pembudidayaan tanaman lada. Prosiding Simposium Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri di Caringin – Bogor, 25-27 Juli 1989. hal. 560-568.
Syakir, M., 1996. Budidaya lada perdu, Monograf Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman Rampah dan Obat. Bogor. (1): 93-104.
Wahid, P., R. Zaubin, M. Syakir, dan P. Rosmeilisa, 1995. Peningkatan produktivitas dan efisiensi teknik budidaya lada. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. (tidak dipublikasikan).
Syakir, M., P. Rosmeilisa, dan P. Wahid, 1998. Nilai tambah pengembangan lada perdu di antara tanaman kelapa. Konperensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Puslitbang Tanaman Industri Bogor. 462 – 472. Syakir, M., R. Zaubin, E. R. Pribadi, dan Hoerudin, 1999. Pengaruh berbagai kombinasi tanaman sela terhadap efisiensi pemberian hara, pertumbuhan, dan produksi lada perdu. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Tidak dipublikasi. Wahid P., 1987. Pengaruh Pemupukan dan Pemangkasan Tiang Panjat Hidup terhadap Produktifitas Tanaman Lada. Pemb. Littro XII (34). 58-66.
Wahid, P., M.H.B. Joefri, M. Syakir, P. Roesmelia, J. Potono, Hermanto, dan E. Surmaini, 1999. Tanggap beberapa varietas lada perdu terhadap serapan hara di bawah ragam intensitas radiasi surya. Dalam Manipulasi agronomic dalam upaya meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif lada perdu. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Menteri Riset dan Tekonologi. Jakarta. Wahid, P., M.H.B. Joefri, M. Syakir, P. Rosmelisa, J. Pitono, Hermanto, dan E. Surmaini, 1999. Analisis keunggulan komparatif budidaya lada dalam bentuk perdu. Dalam manipulasi agronomik dalam upaya meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif lada
23
perdu. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Menteri Riset dan Teknologi. Jakarta. Yuhono, JT., M. Syakir, S. Kemala dan R. Zaubin, 1994. Keragaan usahatani lada perdu di Desa Belatang, Kabupaten Ciamis. (tidak dipublikasikan). Zaubin, R., Y. Nuryani dan P. Wahid, 1990. Penggunaan berbagai jenis panjatan untuk tanaman lada di Bangka. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri XV (4) : 137141.
24
Zaubin, R., R.T. Sunarti, dan E. Sudiadi, 1992. Pengaruh perlukaan dan pemberian H2SO4 serta IBA terhadap pertumbuhan akar setek cabang buah lada. Bul. Littro VII (1): 10-14. Zaubin, R., 1992. Pemanfaatan pohon penegak pada usahatani lada (Piper nigrum L) Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 11:27-33. Zaubin, R. dan Supardijono, 1994. Pengaruh warna sungkup plastik dan konsentrasi perangsang tumbuh atonik terhadap pertumbuhan lada (Piper nigrum L. var. Belatung). Buletin LITTRO Vol. IX No. 2 : 115 – 120.