1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Fenomena
long
distance
relationship
(LDRs)
mengalami
peningkatan pesat. Arus globalisasi yang berkembang dewasa ini, dimana teknologi komunikasi semakin canggih, serta alat transportasi yang semakin memadai, semakin memicu terjadinya LDRs. Di Amerika Serikat, LDRs meningkat sebanyak 23% dalam rentang waktu lima tahun (2000-2005) (Guldner, 2003; Jimenez, 2010). Hal tersebut diperkuat data yang dikemukakan The center for the study of long distance relationships dalam Jacobs (2012) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2005, 3,5 juta masyarakat Amerika menjalani pernikahan jarak jauh, selanjutnya pada tahun 2011, hubungan jarak jauh meningkat menjadi 7,2 juta orang. Pada individu yang masih berpacaran, dilaporkan pada tahun 2005 sebanyak 4,5 juta orang, dan meningkat pesat pada tahun 2011, yaitu menjadi 10 juta orang. LDRs dapat terjadi baik pada pasangan yang sudah menikah, maupun yang belum menikah, dimana hubungan semacam ini terjadi karena beberapa penyebab, salah satunya karena alasan pekerjaan. Di dunia industri/organisasi, LDRs tidak jarang menimpa karyawan. Hal ini dikarenakan perusahaan biasanya merotasi/menugaskan karyawannya, ke luar kota bahkan ke luar negeri, sehingga memaksa karyawan tersebut harus tinggal jauh dari orang-orang terdekat (istri/suami, pacar, anak).
2
Di Indonesia sendiri, banyak pekerja yang tidak mungkin membawa istri dan keluarga karena beberapa alasan, diantaranya lokasi bekerja yang tidak memungkinkan untuk membawa keluarga, beberapa fasilitas misalnya fasilitas pendidikan anak tidak tersedia di lokasi pekerjaan, atau salah satu pihak mendapatkan kesempatan kerja pada tempat yang berlainan. Hal ini menyebabkan waktu yang tersedia untuk bertemu dan berkumpul bersama keluarga inti menjadi sangat terbatas. Kondisi karyawan yang menjalani LDRs sendiri terbilang tidak mudah. Beberapa penelitian tentang LDRs menyebutkan, bahwa hubungan semacam ini sebenarnya bisa memberikan dampak negatif terhadap kondisi psikologis seseorang. Beberapa hasil penelitian menyebutkan, hubungan LDRs sangat rawan akan konflik, serta dapat memicu stres baik secara biologis maupun psikologis (Purba & Siregar 2006). LDRs juga menimbulkan kecemasan yang tinggi pada individu yang menjalaninya, dan terbukti dapat mengurangi kepuasan seksual, yang berdampak pada keharmonisan hubungan (Cameron & Ross, 2007). Khusus bagi orang yang bekerja, hubungan LDRs dapat memaksa pasangan menjalani dual-carrer yang pada akhirnya dapat berdampak negatif bagi hubungan itu sendiri, maka diperlukan alat komunikasi seperti Video chat untuk menjaga hubungan antar pasangan LDRs (Neustaedter & Greenberg, 2011). Bila melihat beberapa penelitian yang telah dijelaskan diatas, dapat dikatakan bahwa LDRs dapat menimbulkan stres pada individu yang menjalaninya. Namun sejauh ini, penelitian LDRs dalam konteks industri/organisasi belum banyak dilakukan. Padahal di sisi lain,
3
kurangnya
waktu
bersama
keluarga
sendiri
sebenarnya
dapat
menciptakan masalah dalam keluarga, seperti hubungan dengan pasangan kurang harmonis atau kesulitan mengasuh anak dapat memicu stres, yang sebenarnya dapat berlanjut pada stres kerja (Robbins, 1998). Berdasarkan hal tersebut, industri/organisasi dan karyawan seharusnya mempunyai strategi untuk menurunkan stres kerja bagi karyawan yang menjalani LDRs ini. Namun pada kenyataanya, belum banyak industri/organisasi di Indonesia yang memperhatikan masalah ini. Di Indonesia sendiri, masih banyak karyawan yang mengalami stres kerja dan mengeluhkan sulitnya membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Penelitian dari Regus dalam Sidakaton (2012) menunjukkan, 64% pekerja di Indonesia pada Tahun 2012 mengalami stres yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hasil penelitian lain, yang berlokasi di empat propinsi di Indonesia (Jawa Tengah, Jakarta, Jawa Timur, Papua Barat) terhadap 1.473 responden, ditemukan bahwa hanya 37.44 % yang merasa puas terkait waktu yang dimiliki dengan keluarga (Perinelli & Beker, 2011). Stres kerja sendiri dapat berdampak negatif jika terjadi secara terus menerus dan membuat seorang individu berada pada situasi tertekan (Nguok, 2011). Dampak negatif dari stres kerja sendiri, diantaranya
dapat
menyebabkan
gangguan
kesehatan
karyawan,
terganggunya relasi dengan teman-teman dan keluarga, dan dapat berdampak pada kurangnya produktivitas karyawan (Ingram & Pilla, 2007). Hasil penelitian tiga pusat kesehatan kerja di Swedia dengan menggunakan Hopkins Symptom Check List, didapatkan bahwa 33%
4
kasus stres kerja berakibat pada kecenderungan gejala gangguan mental dan emosional (KGGME) (Setyawan, Amri & Sosrosumiharjo, 2008). Di sisi lain, beberapa literatur dan penelitian menunjukkan bahwa quality work life, kepuasan kerja dapat berperan dalam menurunkan stres kerja.
Kepuasan
kerja
adalah
perasaan
seseorang
terhadap
pekerjaannya, dimana kepuasan kerja memiliki hubungan reflektif dengan stres kerja, karena kepuasan kerja sendiri merupakan persepsi dan pengalaman individu terhadap tempat kerja, dan saat kondisi/keadaan ini tidak sesuai, maka akan menimbulkan stres pada diri seorang karyawan. (As’ad, 2008; Wijono, 2010). Hal tersebut sejalan dengan beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan stres kerja, dimana untuk mengatasi masalah stres kerja, suatu perusahaan harus selalu menjaga dan memperhatikan kepuasan kerja setiap karyawannya (Manzoor, Usmar, Nassem & Shafiq, 2011; Nguok, 2011; Chen, Ling, Wang & Hao , 2009). Selain kepuasan kerja, variabel baru yang belakangan ini juga berhubungan dengan stres kerja karyawan yaitu kualitas hidup pekerja (quality work life). Quality work life ini telah menjadi perhatian organisasi khususnya bagian pengembangan sumber daya manusia (Lian, Lin, & Wu, 2007), hal tersebut dikarenakan semakin lama semakin banyak karyawan yang sangat memperhatikan kualitas hidupnya (Quality of life). Quality work life merupakan budaya organisasi yang berorientasi pada keseimbangan antara produktifitas dan kesejahteraan karyawan (Riyono, 2012b). Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara quality work life dan stres kerja, dimana
5
disebutkan bahwa jika karyawan mempunyai quality work life yang rendah, hal tersebut dapat berpotensi menimbulkan stres kerja karyawan. (Pisheh, 2012; Charu, 2012; Bolhari, Rezaeean, Bolhari & Zare, 2012). Namun, ditemukan pula penelitian yang tidak sejalan dengan hasil penelitian
tersebut.
Hasil
penelitian
Mohammadi,
et
al.
(2011),
menyimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara quality work life, stres dan depresi pada perawat. Selain variabel quality work life dan kepuasan kerja, terdapat variabel lain yang dapat menurunkan stres kerja yaitu kebermaknaan kerja (meaning of work). Morin (2004) memaparkan bahwa seorang karyawan yang menganggap pekerjaanya “bermakna”, akan selalu bahagia dan merasa enjoy saat bekerja. Lebih lanjut, Morin (2008) dalam hasil
penelitiannya
berhubungan
positif
juga
menjelaskan
terhadap
bahwa
kesejahteraan
meaning karyawan
of
work
dan
juga
berhubungan negatif dengan distres. Berdasarkan uraian di atas, quality work life, kepuasan kerja dan kebermaknaan kerja merupakan variabel yang dapat menurunkan stres kerja karayawan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mempredikisi peran quality work life, kepuasan kerja, kebermaknaa kerja terhadap stres kerja pada karyawan yang menjalani LDRs. Penelitian dilakukan pada dua organisasi yaitu organisasi X dan Y, dimana kedua organisasi tersebut memiliki beberapa karyawan yang menjalani long distance relationship. Dalam organisasi X dan Y sendiri, didapati bahwa terdapat perbedaan stres kerja pada karyawan yang menjalani LDRs dan tidak menjalani LDRs di kedua organisasi tersebut,
6
dimana karyawan yang menjalani LDRs memiliki stres kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan yang tidak menjalani LDRs.
B. Rumusan Permasalahan
Hubungan
long
distance
relationship
(LDRs)
merupakan
fenomena yang semakin banyak menimpa karyawan, dan hal tersebut dapat berpotensi menimbulkan stres yang dapat berlanjut pada stres kerja. Penelitian mengenai stres kerja sejauh ini belum ditemukan pada subjek dengan karyawan yang menjalani LDRs baik dengan status sudah menikah maupun belum menikah. Di sisi lain, quality work life, kepuasan kerja, dan kebermaknaan kerja dinyatakan dapat menurunkan stres kerja. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti mengajukan pertanyaan penelitian yaitu :
Apakah terdapat peran quality work life, kepuasan kerja dan kebermaknaan kerja terhadap stres kerja pada karyawan yang menjalani LDRs di organisasi X dan Y?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk memprediksi peran quality work life, kepuasan kerja dan kebermaknaan kerja terhadap stres kerja pada karyawan yang menjalani long distance relationship di organisasi X dan Y.
7
D. Manfaat Penelitian
Dengan memprediksi peran quality work life, kepuasaan kerja, dan kebermaknaan kerja terhadap stres kerja pada karyawan yang menjalani long distance relationship, maka ada beberapa manfaat yang diberikan dari penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat Teoritis Manfaat
dari
penelitian
ini
yaitu
memberikan
sumbangan
pengetahuan pada bidang psikologi, antara lain bidang Psikologi industri, Psikologi klinis dan Psikologi sosial. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya, khususnya yang tertarik melakukan penelitian mengenai quality work life, kepuasan kerja, kebermaknaan kerja, stres kerja, ataupun
long distance relationship
dalam konteks industri/organisasi.
2. Manfaat Praktis a. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi masyarakat, khususnya karyawan yang menjalani long distance relationship baik yang sudah menikah maupun yang masih berpacaran. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, karyawan yang menjalani LDRs dapat mengelola hubungan dengan pasangan secara lebih baik, agar situasi LDRs tidak menimbulkan stres yang berlanjut pada stres kerja. Selain itu, karyawan juga mengetahui pentingnya suatu quality work life,
8
kepuasan kerja, dan kebermaknaan kerja untuk mengurangi stres kerja pada karyawan yang menjalani LDRs. b. Sebagai rujukan bagi setiap perusahan ataupun organisasi yang banyak menempatkan karyawanya di luar pulau/bahkan diluar negeri, sehingga memaksa karyawan tersebut jauh dari pasangannya, penelitian ini memberikan informasi mengenai pentingnya peran quality work life, kepuasan kerja, dan kebermaknaan kerja bagi karyawan yang menjalani LDRs.
E. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya
Penelitian terkait quality work life dan stres kerja sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Charu (2012) dalam penelitian berjudul Occupational stres and its impact on QWL with specific reference to hotel industry mendapatkan hasil penelitian yang menunjukkan ada pengaruh stres kerja terhadap quality work life di industri hotel. Hasil uji regresi menunjukkan hasil yang signifikan, dimana Nilai R-square= 0,596 dengan p= 0,000. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah ANOVA, MANOVA dan regresi dengan subjek penelitian sebanyak 206 responden yang diambil dari Industri perhotelan, dimana terdiri dari 194 laki-laki dan 12 perempuan. Selanjutnya Mohammadi, etal.(2011) dalam hasil penelitian yang berjudul Relationship between psychological problems and quality of work life of intensive care units nurses. Penelitian ini menggunakan descriptive–correlation. Subjek penelitian merupakan 143 perawat yang
9
bekerja di intensive care unit di Rumah Sakit Tehran Tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan antara quality work life dan stres (p=0,07) dan depresi (p=0,05), namun ditemukan korelasi terbalik yang lemah dengan kecemasan yaitu (p = 0,002, r = -0/27). Penelitian mengenai hubungan kepuasan kerja dan stres kerja sebelumnya dilakukan oleh Sen (2008) dalam penelitiannya berjudul Relationship between job satisfaction and job stres amongst teachers and managers. Penelitian ini menggunakan kuesioner stres kerja dan kepuasan kerja yang diberikan pada 31 guru dan 34 manajer di India. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara stres kerja dan kepuasan kerja pada guru dan manajer. Namun pada guru, pengalaman kerja dan kepuasan kerja mempengaruhi cara mereka untuk menghadapi stres kerja, sedangkan dalam kasus manajer ampaknya hal tersebut tidak begitu terlihat. Penelitian lain terkait kepuasan kerja dan stres kerja dilakukan oleh Manzoor et al. (2011) dengan judul A study of job stres and job satisfaction among Universities Faculty in Lahore, Pakistan. Salah satu kesimpulan penelitian ini adalah adanya hubungan yang signifikan antara job stres dan job satisfaction. Penelitian mengenai variabel quality work life dan kepuasa kerja juga pernah dilakukan oleh Pratiwi (2010) dengan judul Quality work life (QWL) ditinjau dari kepuasan kerja dan persepsi terhadap kinerja. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey, dengan sampel sebanyak 129 orang. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif signifikan antara kepuasan kerja dan persepsi terhadap
10
kinerja secara bersama-sama terhadap QWL, dimana keduanya memberi sumbangan efektif sebesar 22,1%. Selanjutnya, penelitian mengenai long distance relationship juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Jimenez (2010) melakukan penelitian berjudul The regulation of psychological distance in long-distance relationships. Kuesioner online digunakan dalam penelitian ini, dengan subjek penelitian sebanyak 430 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan kecemasan yang terbilang tinggi pada individu yang menjalani LDRs, hal tersebut berdampak kurang baik terhadap
kepuasan
hubungan.
Adapun
prediktor
yang
paling
berpengaruh membuat kecemasan yaitu karena kurangnya kepuasan dalam hubungan seksual yang berdampak pada kepuasan hubungan pada pasangan yang menjalani LDRs. Neustaedter dan Greenberg (2011) dalam penelitian dengan judul Intimacy in long distance relationship over video chat, menjelaskan bahwa video-chat ternyata bisa sangat membantu hubungan pasangan yang menjalani LDRs, dimana menggunakan video-chat dapat menciptakan suatu keunikan tersendiri dalam menjalin hubungan. Video-chat dapat menjaga keintiman antar pasangan dan menghilangkan idealization. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara semi-structure, dengan subjek penelitian berjumlah 14 orang yang menjalani hubungan LDR, dan difokuskan pada individu yang menggunakan video-chat dalam menjalani hubungannya. Di Indonesia, ditemukan penelitian mengenai long distance relationship, dilakukan oleh Purba dan Siregar (2006) dengan judul
11
Gambaran stres pada mahasiswa yang menjalani hubungan jarak jauh. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan wawancara dan observasi, dengan subjek penelitian berjumlah tiga orang. Hasil penelitian menunjukkan, ketiga subjek dalam penelitian ini mengalami stres baik secara biologis maupun psikologis.
Komponen
keintiman dan komitmen menimbulkan stres yang paling besar pada ketiga subjek penelitian. Melihat penelitian-penelitain terdahulu yang sudah dipaparkan di atas, peneliti belum menemukan penelitian yang mempelajari peran quality work life, kepuasan kerja, dan kebermaknaan kerjaterhadap stres kerja. Selain itu, peneliti juga belum menemukan penelitian stres kerja yang menggunakan subjek karyawan yang menjalani long distance relationship.
Dengan
demikian,
peneliti
dapat
menjamin
dan
mempertanggung jawabkan keaslian penelitian berjudul Quality work life, kepuasan kerja, dan kebermaknaan kerja terhadap stres kerja pada karyawan yang menjalani hubungan LDRs.