BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Bencana alam 1 adalah kejadian-kejadian yang ditimbulkan oleh bahaya-bahaya alam yang tak bisa diatasi oleh kemampuan lokal dan mempengaruhi dengan serius pembangunan sosial dan ekonomi sebuah wilayah. Bencana alam secara tradisional dipandang sebagai situasisituasi yang menimbulkan berbagai tantangan dan masalah, terutama yang bersifat kemanusiaan. Hanya sedikit perhatian diberikan kepada para pengungsi jangka panjang terkait kebutuhan dan hak-hak mereka di lokasi pengungsian. Masalah-masalah yang sering dihadapi orang-orang yang terkena dampak-dampak bencana alam diantaranya adalah akses yang tidak setara terhadap bantuan; diskriminasi dalam pemberian bantuan; relokasi yang dipaksakan; kekerasan berbasis seksual dan gender; hilangnya dokumentasi; pemulangan atau pemukiman kembali yang tidak aman atau dipaksakan; hal-hal yang berkaitan dengan ganti rugi properti; sulitnya penyaluran kebutuhan biologis pengungsi. Biasanya situasi-situasi yang mempengaruhi kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang terkena dampak bencana-bencana alam tidak dirancang dan diterapkan dengan sengaja, tetapi merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang kurang tepat atau hasil dari kelalaian semata-mata. 1
Istilah bencana “alam” digunakan untuk mempermudah saja. Namun penting dimengerti bahwa derajat konsekuensi dari berbagai bahaya alam yang datang tiba-tiba merupakan akibat langsung dari cara-cara berbagai individu dan masyarakat menghadapi ancaman-ancaman yang berasal dari bahaya-bahaya alam. Jadi derajat konsekuensi ditentukan oleh tindakan manusia atau malahan oleh ketiadaan tindakan manusia
Universitas Sumatera Utara
Kerentanan para korban seringkali terjadi akibat perencanaan dan kesiagaan menanggapi bencana yang kurang memadai. Seperti dikatakan Sekretaris Jenderal PBB, “ . . . Risiko dan potensi terjadinya bencana yang berkaitan dengan bahaya-bahaya alam sebagian besar ditentukan oleh tingkat kerentanan yang sudah ada sebelumnya dan oleh efektivitas langkah-langkah yang diambil untuk mencegah, mengurangi, dan bersiaga menghadapi bencana . . .” 2
Namun, begitu orang-orang sudah terkena dampak sebuah bencana, mereka seringkali menghadapi pula tantangan-tantangan yang lebih berat untuk mendapatkan hak-hak mereka secara utuh. Tantangan-tantangan ini dapat dihadapi jika jaminan-jaminan atas kebutuhankebutuhan dan hak-hak mereka yang relevan diperhitungkan sejak awal oleh para pelaku bantuan kemanusiaan nasional maupun internasional. Namun, titik pentingnya yang juga harus diperhitungkan oleh pembuat kebijakan adalah dengan memperhatikan aspek kultural masyarakat pengungsi ketika akan membuat suatu kebijakan pemenuhan kebutuhan pengungsi. Indonesia merupakan negara yang rawan mengalami bencana alam. Hal ini disebabkan karena pergerakan dan tumbukan tiga lempeng dunia yakni lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik yang terletak di negara ini. Selain disebabkan oleh pergerakan dan tumbukan lempeng, pemicu bencana alam juga disebabkan karena Indonesia dikelilingi oleh serangkaian gunung berapi yang berjumlah sekitar 240 buah (Tanjung & Kamtini, 2005). Akibatnya, bencana alam pun datang silih berganti, saling menyusul dari daerah satu ke daerah lain, baik itu bencana gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.
2
Laporan Sekretaris Jenderal untuk Majelis Umum “Tentang kerja sama internasional mengenai bantuan kemanusiaan di bidang bencana alam, dari bantuan darurat sampai pembangunan” (On International cooperation in humanitarian assistance in the field of natural disasters, from relief to development), A/60/227
Universitas Sumatera Utara
Di Sumatera Utara, bencana datang melalui peristiwa meletusnya Gunung Sinabung di dataran tinggi Kabupaten Karo pada tahun 2013 lalu.Meskipun sempat digolongkan kedalam gunung berstatus tipe B, karena tidak lagi menunjukkan aktivitasnya selama 400 tahun dan tidak mempunyai karakter meletus secara magmatik. Tetapi nyatanya Gunung Sinabung ini kembali menunjukkan aktivitasnya dan meletus pada tahun 2010 kemudian kembali meletus pada bulan September 2013 lalu (Arfa, 2013). Sejak dinyatakan darurat bencana dengan status gunung pada level tertinggi yaitu “Awas” oleh Pemerintah Kabupaten Karo, masyarakat yang berada di radius tiga sampai tujuh kilometer diharuskan untuk mengungsi ke posko-posko pengungsian yang telah disediakan (Arfa, 2013). Seiring dengan aktivitas gunung yang semakin meningkat dari hari ke hari, jumlah pengungsi juga terus mengalami peningkatan. Tercatat hingga bulan Januari 2014, sebanyak 28.536 jiwa harus diungsikan yang tersebar di 39 titik pengungsian. (Situs Resmi Pemerintah Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24 Juni 2015) Peristiwa erupsi Gunung Sinabung ini tentunya berdampak pada lingkungan fisik dan masyarakat yang tinggal di sekitar gunung. Selain masyarakat diharuskan mengungsi, debu vulkanik yang keluar akibat erupsi menyebabkan rusaknya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Debu vulkanik ini juga menyebabkan kerusakan tempat tinggal dan berbagai bangunan infrastruktur seperti sekolah, rumah ibadah, dan kantor desa. Selain debu vulkanik, guguran awan panas yang keluar sangat membahayakan dan mengancam kelangsungan hidup (Sudibyo, 2014). Dalam budaya Karo sendiri, yang merupakan suku mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung, terkandung sebuah nilai yang menggambarkan mengenai ketergantungan antara manusia dengan alam, karena relasi yang kuat dengan alam ini pula,
Universitas Sumatera Utara
terciptalah pola kehidupan masyarakat yaitu bercocok tanam. Masyarakat sangat bergantung pada alam, yang mana telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan mereka (Sitepu, 1996). Begitu juga halnya dengan Gunung Sinabung, menurut cerita lokal yang turun temurun telah ada di masyarakat, diceritakan bahwa sejak zaman nenek moyang orang Karo yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung, mereka sangat menggantungkan mata pencaharian mereka dari tanah subur yang berada di sekitar gunung ini. Akan tetapi, yang terjadi adalah bencana. Gunung Sinabung yang dibanggakan masyarakat Karo karena kesuburan dan keindahannya ini justru menunjukkan aktivitas dan erupsi secara terus menerus. Selain berimbas pada terganggunya perekonomian masyarakat (Sofyan, 2014). Erupsi ini juga mengakibatkan perubahan-perubahan baik sosial maupun psikologis masyarakat. Pengungsi Sinabung di daerah hunian sementara atau huntara harus beradaptasi dengan kondisi tempat hunian sementara yang sempit, kurang sehat, serba terbatas dan keadaan tidak nyaman lainnya. Penampungan atau hunian sementara menurut Peraturan Kepala BNPB No. 7 tahun 2008, adalah tempat tinggal sementara selama korban bencana mengungsi baik berupa penampungan massal, maupun keluarga, atau individual. Hunian sementara menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2001), harus memenuhi syarat: berukuran 3 (tiga) meter persegi per orang, memiliki persyaratan keamanan dan kesehatan, serta menjamin privasi antar jenis kelamin berbagai kelompok usia. Namun dalam penyediaan rumah hunian sementara sering tidak memenuhi syarat minimal tersebut. Seperti halnya hunian sementara di bekas Kampus Quality Karo di Kecamatan Kabanjahe, dengan ukuran kamar yang terbatas satu keluarga harus tinggal bersama dua atau tiga
Universitas Sumatera Utara
keluarga lainnya karena tempat yang mereka tempati cukup terbatas. Kondisi ini menyebabkan penghuni hunian sementara merasa terganggu tidak hanya dari aspek fisik tetapi juga aspek psikologis. Pengungsi menjadi tidak betah tinggal di rumah, merasa tidak nyaman dan terganggu kesehatannya, padahal menurut tokoh masyarakat setempat, tujuan huntara adalah untuk menampung masyarakat selama 2 tahun. Akibat lain, hunian sementara yang tidak memenuhi standar kesehatan menurut Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretriat Jendral Departemen Kesehatan (2001), secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan daya tahan tubuh dan menimbulkan masalah kesehatan. Bencana Gunung Sinabung menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang sangat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan seksual dan memerlukan perhatian serius. Faktor psikologis yang berkontribusi terjadinya perubahan pemenuhan kebutuhan seksual tersebut dapat meliputi: stres emosional terutama karena berkaitan dengan hubungan dalam keluarga dalam memenuhi kehidupan sehari-hari, kurangnya harga diri, kurangnya privasi yang memadai dan kecemasan. Semua faktor ini dapat berkontribusi pada kurangnya libido atau kesulitan mengalami orgasme. Kebutuhan seksual akan semakin lebih sulit terpenuhi secara wajar pada pengungsi di huntara karena menghadapi kondisi yang serba terbatas baik kesehatan fisik maupun psikologis. Bencana Sinabung menimbulkan berbagai masalah kesehatan fisik pada pengungsi di huntara yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan seksual. Faktor kesehatan fisik yang dapat mempengaruhi respon seksual antara lain: kelelahan, efek obat, penggunaan alkohol, diabetes melitus, atau cedera pada sumsum tulang belakang (Regional Health Education, 1998). Sandfort, et al., (2001), menemukan bahwa orientasi seksual dikaitkan dengan kesehatan fisik.
Universitas Sumatera Utara
Namun diantara penyebab fisik maupun psikis tadi, ternyata ada faktor lain juga yang menyebabkan para pengungsi enggan untuk melakukan hubungan seksual di tempat pengungsian. Seperti yang diketahui ditempat pengungsian bekas Kampus Universitas Quality Karo pernah dibangun bilik asmara. Bilik asmara ini dibuat untuk tempat para pengungsi menyalurkan kebutuhan seksualnya dengan pasangannya. Namun, ketika peneliti melakukan observasi ke lokasi pengungsian tersebut, ternyata bilik asmara tersebut tidak dipakai, dan sudah beralih fungsi menjadi tempat menyimpan bahan makanan. Realitas dilapangan menunjukan ada faktor budaya dalam masyarakat Karo yang membuat mereka enggan untuk memakai bilik asmara tersebut. Tentu hal ini menarik dikaji, bahwa hasrat biologis bisa diredam oleh aspek kultural manusia. Hal itu pula yang melatarbelakangi peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengungsi, pemerintah, insan akademi dan masyarakat luas. 1.2.Tinjauan Pustaka 1.2.1. Bencana Alam Bencana alam digambarkan sebagai suatu kehendak Tuhan “acts of God” (Ursano & Norwood, 2003), sehingga pada dasarnya ini merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikontrol (Nickerson, 2008). Hadirnya bencana alam dapat mengancam kelangsungan hidup individu melalui kehancuran lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992). Bencana alam juga merupakan salah satu bentuk peristiwa negatif yang terjadi dalam kehidupan, yang dapat menyebabkan perubahan besar bagi suatu komunitas, daerah, bahkan negara (Dalton dkk., 2007), dan ini tentunya merupakan salah satu peristiwa hidup yang begitu menekan (Lahey, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Bencana dapat disebabkan oleh faktor alam
dan manusia. Faktor-faktor yang
menyebabkan bencana alam antara lain natural hazards, dan bahaya karena ulah manusia (manmade hazards), dan menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), faktor yang menyebabkan bencana dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation) 3 Langan dan James (2005), menyebutkan penyebab
bencana alam meliputi epidemi,
kelaparan, angin topan, tornado, badai, banjir, gempa bumi, hujan angin, gelombang pasang, letusan gunung berapi, tanah longsor, badai salju, dan kekeringan. Bencana alam buatan manusia
disebabkan karena:
perang (kimia, biologi, radiologi, dan nuklir oleh teroris),
kecelakaan transportasi, kekerasan kelompok/ kerusuhan, keracunan makanan atau air, penggundulan hutan, dan runtuhnya bangunan. Dalam hal bencana Gunung Sinabung, penyebab terjadinya adalah karena aktifitas alami Gunung Sinabung, dan bukan merupakan akibat manusia. 1.2.2. Antropology Disaster Kajian kebencanaan dalam perspektif antropologi baru dimulai sekitar tahun 1950-an, seperti disampaikan William I Torrey : “. . . Not until the 1950s, however, did cultural anthropologists begin to examine systematically and in depth the social consequences of natural disasters, to search for cross-site invariances in disaster related behaviours, and to codify these findings or to participate in hazard-control planning . . .”
3
www.bnpb.go.id (akses 15 Desember 2015)
Universitas Sumatera Utara
Bagaimanapun, antropolog mulai menguji secara sistematis dan dalam konsekuensi sosial bencana alam, untuk mencari-cari kaitan antara varian aspek-aspek dalam bencana yang berberhubungan perilaku-perilaku, dan untuk melakukan kodifikasi untuk menemukan atau untuk mengambil bagian di perencanaan pengendalian bahaya (Torrey, 1979). Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat di Tanah Karo mayoritas bekerja sebagai petani buah dan sayur mayur. Hal itu tidak terlepas dari suburnya tanah di daerah tersebut karena berdekatan dengan dua gunung berapi yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Pembentukan aktifitas ini dijelaskan Julian Steward dalam konsep dan metodologi ekologi kebudayaannya. “ . . .Cultural ecology differ from human and social ecology in seeking to explain the origin of particular cultural features and patterns which characterize different areas rather than to derive general principles apllicable to any culturalenvironmental situation (Steward, 1988) . . .”
Artinya ekologi budaya berbeda dengan manusia dan ekologi sosial dalam cara untuk menjelaskan asal-muasal dari fitur dan pola-pola budaya tertentu yang menandai bidang-bidang yang berbeda dibanding untuk memperoleh prinsip-prinsip umum yang dapat diaplikasikan kepada setiap situasi lingkungan budaya (Steward, 1988). Barangkali kontribusi Steward yang paling bermakna adalah ‘metode ekologi kebudayaan’ yang digagasnya, yakni lingkungan dan kebudayaan bukanlah dua lapangan yang terpisah melainkan keduanya terlibat dalam hubungan dialektik atau apa yang disebut umpan balik atau kausalitas resiprositas (Kaplan dan Robert A. Manners, 2005). Dalam proses
Universitas Sumatera Utara
hubungan manusia dan alam, paradigma ekologi kebudayaan melihat alam mempengaruhi kebudayaan yang ada di masyarakat. Dari sudut pandang ini, sebenarnya lingkungan dan manusia bisa saling mempengaruhi, misalnya berkenaan dengan kondisi masyarakat yang berada di sekitar gunung berapi. Kondisi alam pegunungan umumnya akan menciptakan kebudayaan masyarakat yang agraris. Kesuburan tanah sangat baik, terutama di kawasan gunung berapi sebab setiap kali terjadi letusan gunung terjadi pemupukan alamiah. Posisi gunung juga bisa ditangkap sebagai sesuatu yang agung, yang kemudian melahirkan bermacam ritual untuk menghormati keagungannya dan mencegah bencana yang mungkin dimunculkannya. Itulah yang kemudian dimanefestasikan dalam bentuk ritual masyarakat Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur, maupun ritual yang dilakukan Mbah Maridjan terhadap Gunung Merapi yang akhirnya meletus juga. Sementara pada sisi lain, perkembangan jumlah manusia, kebutuhan lahan yang meningkat menyebabkan terbukanya peluang perusakan lingkungan. Ketika banjir semakin sering terjadi akibat penggundulan hutan, maka masyarakat juga akan beradaptasi dengan kebudayaan yang baru, yakni mempersiapkan diri mengantisipasi banjir jika hujan turun. Maka paradigma ekologi kebudayaan menjadi tepat dalam konteks pembahasan yang berkenaan dengan kebencanaan ini, termasuk juga dalam kasus letusan Gunung Sinabung. Hanya saja, letusan Gunung Sinabung bukanlah bencana yang diakibatkan manusia, melainkan siklus gunung berapi itu sendiri sejak pembentukannya terjadi melalui proses di kerak bumi ratusan tahun yang lalu dan letusan itu yang terjadi sebagai mekanisme pelepasan energi bumi.
Universitas Sumatera Utara
1.2.3. Kebudayaan Sementara itu, masyarakat Karo sebagai pengungsi Gunung Sinabung juga memiliki aspek budaya yang harus diperhatikan bagi pihak pembuat keputusan. Tujuannya adalah agar sebuah kebijakan dapat diterima oleh masyarakat Karo dan tidak keluar dari nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat Karo. Bila suatu kebijakan dibuat tanpa mengindahkan aspek budaya yang ada dalam masyarakat maka suatu kebijakaan akan mentah pada tahap implementasi di lapangan. Menurut Parsudi Suparlan Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkunganlingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama. 1.2.4. Adaptasi Dalam kehidupannya di tempat pengungsian, pengungsi juga harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial yang baru. Para pengungsi harus bisa berusaha untuk menyesuaikan
Universitas Sumatera Utara
diri atau sering disebut adaptasi. Ada beberapa pengertian tentang penyesuaian diri (adaptasi), antara lain: a) W.A. Gerungan menyebutkan bahwa “Penyesuaian diri adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan diri)”. Mengubah diri sesuai dengan keadaanlingkungan sifatnya pasif (autoplastis), misalnya seorang bidan desa harus dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut masyarakat desa. Sebaliknya, apabila individu berusaha untuk mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan diri, sifatnya adalah aktif (alloplastis), misalnya seorang bidan desa ingin mengubah perilaku ibu-ibu di desa untuk menyusui bayi sesuai dengan manajemen laktasi. b) Menurut Parson fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan definisi ini Parson yakin bahwa ada empat fungsi penting yang diperlukan semua sistem yang dinamakan AGIL yang antara lain adalah: 1) Adaptasi (Adaptation) Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. 2) Pencapaian tujuan (Goal attainment) Sebuah sistem harus mendefinisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya. 3) Integrasi (Integration) Sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang
menjadi
komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).
Universitas Sumatera Utara
1.2.5. Kebutuhan Seksual Terkait dengan permasalahan penelitian yang ingin melihat kehidupan seksual pengungsi Gunung Sinabung, Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar yang penting untuk dipenuhi mencakup fisiologis yaitu kebutuhan seks dan psikologis yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai. Maslow dalam Goble (2010), menyatakan agar kebutuhan ini terpenuhi dibutuhkan suatu dorongan atau motivasi seksual. Dorongan ini harus dilakukan secara bergantian antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki akan merasa bergairah, kuat dan semangat apabila merasa perempuanmembutuhkannya, dan sebaliknya perempuan akan merasa bergairah, kuat, bersemangat dan tertarik pada laki-laki, ketika laki-laki menghormati dan menghargai dirinya (An-nu’aimi, 2011). Jika suami dan istri bisa saling mengerti dan memahami hal ini, maka perpaduan kebutuhan seksual laki-laki dan perempuan akan dapat terpenuhi. Sigmund Freud (1856-1939, dalam Setyawan, 2008), mendefinisikan kebutuhan seksual sebagai kebutuhan pelampiasan dorongan seksual bagi individu yang sudah matang fungsi biologisnya. Pemenuhan kebutuhan seksual ini membutuhkan respon seksual yang adaptif sehingga keluarga dapat menjalani rumah tangga secara bahagia dan sejahtera. Respon seksual adaptif menurut Stuart (2008), terlihat dari perilaku yang memenuhi kriteria sebagai berikut: terjadi antara dua orang dewasa, saling memuaskan individu yang terlibat, secara fisik atau psikologis tidak membahayakan kedua pihak, tidak terdapat paksaan atau kekerasan dan dilakukan di tempat tersendiri. Respon seksual adaptif dapat dicapai melalui pemahaman seksualitas dalam perspektif holistik yang meliputi dimensi sosiokultural, etika, dan psikologis (Potter & Perry, 2005). Dimensi sosiokultural, memandang peran masyarakat sangat kuat dalam membentuk nilai dan
Universitas Sumatera Utara
sikap seksual, juga dalam membentuk atau menghambat ekspresi seksual anggotanya. Seksualitas sering berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etik. Ide tentang pelaksanaan seksual etik dan emosi yang berhubungan dengan seksualitas merupakan dasar untuk pembuatan keputusan seksual. Apabila keputusan seksualitas ini melewati batas etik, misalnya aktifitas seksual dilakukan di tempat terbuka, maka akan dapat mengakibatkan konflik sosial. Pada dimensi psikologis, sering diyakini bahwa aspek psikologis akan berpengaruh terhadap seksualitas. Kepuasan seksual adalah hasil dari terpenuhinya kebutuhan seksual melalui aktivitas seksual. Menurut Pangkahila (2011), kepuasan seksual pada pasangan suami isteri menjadi ukuran kebahagiaan, tetapi umumnya suami isteri hanya memandang seks sekadar kebutuhan lelaki yang harus dipenuhi istri. Banyakakibat yang ditimbulkan dari minimnya pengetahuan dan kurangnya keterbukaan seputar hubungan seksual ini. Dampak semua ini adalah munculnya perasaan tidak bahagia dan tidak terpuaskan, terutama perempuan yang biasanya lebih sulit mengalami orgasme dibandingkan lelaki.
1.3.Rumusan Masalah Pemenuhan kebutuhan seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Kebutuhan seksual dibawa sejak lahir, dan memenuhinya dilakukan sampai seseorang meninggal dunia. Dalam situasi normal setiap pasangan suami isteri akan selalu berusaha agar kebutuhan seksualnya dapat terpenuhi. Namun tidak semua pasangan suami isteri yang mengalami situasi pasca bencana mampu memenuhi kebutuhan seksualnya. Pengungsi yang tinggal di huntara akan mengalami hambatan dalam memperoleh pemuasan kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
seksual karena masalah kesehatan fisik maupun psikologis akibat bencana, sehingga pasangan suami isteri di huntara akan melakukan cara-cara adaptasi dalam memenuhi kebutuhan seksualnya. Berbagai fenomena yang terjadi dapat diidentifikasi melalui pertanyaan penelitian: 1. Masalah apa saja yang dihadapi oleh Pasutri di tempat pengungsian ketika ingin melakukan hubungan seksual dan bagaimana cara Pasutri mengatasi masalah tersebut ? 3. Bagaimana aspek kultural mengatur hubungan seksual Pasutri di tempat pengungsian ? 1.4.Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian Tujuaan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjelaskan masalah yang dihadapi oleh para Pasutri yang berada di tempat pengungsian dalam melakukan hubungan seksual. Kemudian menjelaskan cara Pasutri tersebut mengatasi masalah terkait dengan kegiatan hubungan seksual tersebut. Kemudian mencari tahu aspek budaya yang ada di masyarakat Karo dapat mengatur pola hubungan seksual Pasutri tersebut. 1.4.2. Manfaat Penelitian Secara aplikatif, hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam pengembangan tempat pengungsian sementara yang mempertimbangkan kepentingan kebutuhan dasar manusia dan membantu mencarikan solusi terhadap bagaimana cara bijak mengatasi masalah kegiatan pemenuhan kebutuhan seksual Pasutri yang mengungsi. Kemudian manfaat keilmuan yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah dapat menjadi materi tambahan bagi ilmuan sosial dan kesehatan masyarakat dalam melihat kehidupan seksual masyarakat yang ada di tempat pengungsian bencana alam.
Universitas Sumatera Utara
Manfaat metodologi dari hasil penelitian ini adalah dapat dijadikan dasar dalam mengembangkan penelitian eksperimen intervensi model perilaku pemenuhan kebutuhan seksual pada pasangan suami isteri di hunian sementara atau pengungsian akibat bencana. 1.5.Metode Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat etnografi. Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat (Spredley, 1997:3). Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder maupun data primer melalui observasi dan wawancara. I.5.1. Observasi Observasi dalam hal ini merupakan suatu teknik penelitian yang dilakukan langsung di lapangan. Observasi dilakukan di awal penelitian untuk mengamati dan mencermati guna mendapatkan gambaran lokasi dan informasi awal. Pada saat observasi atau pengamatan ini juga peneliti mendapatkan informan pangkal yang akan mengarahkan peneliti kepada informaninforman lainnya guna memperoleh data-data yang dibutuhkan. Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian kualitatif, pengamatan dimanfaatkan sebesar-besarnya seperti dikemukakan oleh Guba dan Lincoln dalam Moleong (1989:137) sebagai berikut ini: 1.
Pertama, teknik pengamatan ini didasarkan atas pengamatan secara langsung. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik atau setelah melihat baru percaya.
Universitas Sumatera Utara
2.
Kedua, teknik pengamatan juga memungkinkan peneliti melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatan perilaku dan kejadian sebagaimana yangterjadi pada keadaan sebenarnya.
3.
Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.
4.
Keempat, sering terjadi keraguan pada peneliti, jangan-jangan pada data yang dijaringnya ada yang “menceng” atau bias.
I.5.2. Wawancara Wawancara dilakukan guna memperoleh data secara langsung dari informan baik informan biasa maupun informan kunci. Setiap masyarakat yang berada di lokasi penelitian memiliki kemungkinan sebagai infoman biasa apabila dari segi waktu memiliki kesempatan untuk menjawab pertayaan-pertayaan yang diajukan. Informan biasa ini untuk melengkapi data yang bersifat umum. Wawancara secara mendalam dilakukan kepada informan-informan kunci yang mengetahui dan memahami pokok permasalahan yang sedang diteliti. Proses pencarian data di lapangan didukung oleh alat pendukung di lapangan yakni alat rekam dan kamera foto/video. Alat rekam membantu peneliti ketika melakukan wawancara sehingga data yang diperoleh ketika melakukan wawancara tersimpan dengan baik dimana informasi-informasi tidak akan hilang. Peneliti menyadari keterbatasan untuk dapat mengingat semua informasi yang diperoleh. Alat rekam ini tentu sangat membantu terutama ketika melengkapi catatan lapangan (fieldnote) sebagai dasar dalam pengolahan data yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
Kamera foto/video bermanfaat untuk merekam peristiwa di lapangan guna mendukung data dan bukti lapangan dan dapat juga memberikan gambaran penelitian ini secara visual. Melakukan rapport merupakan suatu hal yang mutlak di lapangan. Rapport bertujuan untuk memperoleh data yang akurat di lapangan. Terjalinnya rapport memudahkan peneliti dalam menggali data tertutama dengan informan-informan. Sehingga hubungan yang baik dilakukan terlebih dahulu agar peneliti tidak menemukan kesulitan karena tidak terjalinnya hubungan secara baik yang membuat informan tidak dengan mudah memberikan informasi. Rapport yang terjalin membuat informan tidak sungkan dan merasa curiga kepada peneliti yang dapat menghambat dalam perolehan data. Sebagai seorang peneliti, peneliti adalah orang yang sedang belajar yang memposisikan diri tidak tahu apa-apa terkait permasalahan penelitian sehingga informan merupakan guru untuk peneliti bertanya. I.6. Analisis Data Analisis data dilakukan setelah proses pencarian data dilapangan dianggap cukup. Proses pencarian data di lapangan dilakukan dengan sistem bola salju (snowball). Sedangkan pencarian data dianggap selesai ketika informasi yang diperoleh di lapangan telah berulang-ulang. Untuk keakuratan data juga dilakukan crosscheek (triangulasi) kepada informan untuk memastikan kebenaran data-data yang diperoleh. Analisis data dilakukan terhadap data hasil observasi, wawancara dan dari dokumentasi dengan mengklasifikasikan/mengkategorikan data yang diperoleh sesusai dengan perumusan masalah dalam penelitian ini dan menyingkirkan data yang tidak relevan. Sehingga memudahkan untuk dipahami dengan baik. Data yang terkumpul sudah dianggap menjawab permasalahan penelitian kemudiandilakukan analisis dan interpretasi data. Terakhir adalah melakukan
Universitas Sumatera Utara
rangkuman dari hasil interpretasi data-data yang telah dikumpulkan. Paparan dari temuantemuan ini disajikan dalam sistematika penulisan skripsi yang sudah standar. Setiap babnya akan memaparkan data yang sudah diklasifikasi atau dikategorikan sesuai dengan judul setiap bab. I.7. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di tempat pengungsian bekas kampus Universitas Quality Karo yang terletak di Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat yang beraktifitas di tempat pengungsian tersebut adalah masyarakat yang berasal dari desa-desa yang hancur terkena dampak Gunung Sinabung. Alasan peneliti memilih lokasi penelitian di bekas Universitas Quality Karo adalah karena ditempat ini masih banyak masyarakat yang mengungsi. Bila di tempat pengungsian lain biasanya jumlah pengungsinya sudah berkurang karena berbagai macam alasan. Tempat pengungsian bekas Universitas Quality Karo dipilih peneliti juga karena ditempat tersebut masih berdiri bilik asmara untuk pasutri, walaupun saat ini sudah tidak dipakai lagi.
Universitas Sumatera Utara