1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kepala keluarga memiliki peran sangat penting dalam kehidupan berumah tangga, selain dituntut untuk memberikan nafkah, perlindungan fisik yang efektif dan dukungan psikologis, kepala keluarga juga dituntut secara normanorma untuk mampu melakukan tugas rumah tangga. Kepala keluarga merupakan pemimpin bagi isteri dan anak-anaknya, pernyataan tersebut harus disertai bukti nyata dengan menafkahi keluarga melalui bekerja.Kepala keluarga yang menganggur akan selalu dihinggapi rasa ketidak mampuan untuk memenuhi tanggung jawab mensejahterkan keluarganya, sehingga akan selalu merasa bersalah. Sementara disatu sisi sang istri akan merasa tidak tenang, resah dan hilang kepercayaan kepada suaminya. Jika sudah demikian, maka akan mudah terjadi konflik dan ketidak harmonisian dalam keluarga dan puncaknya adalah perceraian Pada dasarnya masalah konflik keluarga yang diakibatkan kepala keluarga yang tidak bekerja dapat terjadi di semua keluarga. Meski demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa intensitas terjadi konflik pekerjaan keluarga pada wanita lebih besar dibandingkan pria (Apperson et al, 2002 dalam Hidayati 2008). Keterlibatan dan komitmen waktu perempuan pada keluarga yang didasari tanggung jawab mereka terhadap tugas rumah tangga, termasuk mengurus suami dan anak membuat para wanita bekerja lebih sering
1 1
2
mengalami konflik (Apperson et al, 2002 dalam Hidayati 2008) Tingkat konflik ini lebih parah pada wanita yang bekerja secara formal karena mereka umumnya terikat dengan aturan organisasi tentang jam kerja, penugasan atau target penyelesaian pekerjaan. Studi oleh Apperson et al (2002 dalam Hidayati 2008) menemukan bahwa karakteristik pekerjaan yang sifatnya lebih formal dan manajerial seperti jam kerja yang relatif panjang dan pekerjaan yang berlimpah lebih cenderung memunculkan konflik pekerjaan keluarga pada wanita bekerja. Fenomena konflik pekerjaan keluarga ini juga semakin menarik untuk diteliti mengingat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan, baik terhadap wanita bekerja itu sendiri, keluarganya maupun bagi organisasi tempat ia bekerja. Beberapa dampak negatif secara individual diantaranya adalah berkurangnya kepuasan baik dalam bekerja maupun dalam kehidupan rumah tangga, ketegangan dan stress pada diri wanita bekerja, gangguan kesehatan, dan ketidakharmonisan hubungan dengan anggota keluarga lain. Penelitian oleh Liana Sayer (2010) ini meneliti tentang hubungan status pekerjaan dengan kepuasan dalam pernikahan. Penelitian ini menemukan bahwa ketika pria tidak memiliki pekerjaan atau dipecat dari pekerjaannya maka risiko perceraian akan semakin tinggi. Penelitian dilakukan dengan metode pengumpulan data dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh National Survey of Families and Households pada tahun 2003-2009. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai 3600 pasangan di Amerika tentang kehidupan pernikahan mereka, hal apa yang terpenting dalam pernikahan, sejarah pekerjaan dan pendapatan mereka.
2
Ternyata hasilnya
3
cukup mengejutkan, ada berbagai alasan penyebab perceraian rumah tangga dan yang terbesar adalah karena suami dipecat atau tak punya pekerjaan. Menurut studi ini, 75 persen perempuan tidak mau menikah atau mempertahankan pernikahan dengan pria yang pengangguran. Ada tekanan sosial dalam keluarga dan masyarakat yang cukup besar ketika suami sudah tak punya pekerjaan lagi dalam waktu yang lama. Tekanan atau dukungan sosial baik dalam keluarga maupun masyarakat merupakan sumber-sumber yang mempengaruhi efikasi diri seseorang. Efikasi diri (self-efficacy) pertama kali diperkenalkan oleh Albert Bandura. Efikasi diri merupakan kemampuan yang dirasakan individu untuk mengatasi situasi khusus sehubungan dengan penilaian atas kemampuan untuk melakukan satu tindakan yang ada hubungannya dengan tugas khusus atau situasi tertentu. Efikasi
diri ini bersumber dari teori belajar sosial, yaitu
menekankan hubungan kasual timbal balik antara faktor lingkungan dengan faktor personal yang saling berkaitan. Luthans (2006:338) mengemukakan penekanan efikasi diri adalah mekanisme
psikologi sosial yang paling penting dari pengaruh diri (self
influence). Defenisi formal efikasi diri yang biasanya digunakan pernyatan Bandura mengenai penilaian
(jugment) atau keyakinan pribadi tentang
seberapa baik seseorang dapat melakukan tindakan yang diperlukan untuk berhubungan dengan situasi prosfektif. Defenisi yang lebih luas dan lebih tepat untuk perilaku organisasi positif diberikan Stajkovic dan Luthans (2006:338), bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan individu (atau
3
4
konfidensi) mengenai kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan tugas dalam konteks tertentu. Hal senada dikemukakan Wikipedia (2009) bahwa efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu untuk
berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki
komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (moore, 2002), efikasi
diri mempengaruhi tindakan
yang dipilih individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa lama individu bertahan dalam menghadapi rintangan, coping stress individu dalam menghadapi keadaan lingkungan dan tingkat pencapaian tugas. Efikasi diri membantu menentukan berapa besar usaha akan dilakukan dalam suatu aktivitas,
ketekunan menghadapi rintangan dan bagaimana keuletan jika
dihadapkan pada situasi yang kurang baik. Efikasi diri akan mempengaruhi pemilihan aktivitas individu sesuai dengan tuntutan lingkungan yang ada. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), perilaku yang muncul ketika karyawan memiliki efikasi diri yang tinggi meliputi karyawan menjadi aktif dalam memilih kesempatan yang baik, dapat mengelola situasi dengan menghindari atau menetralkan kesulitan, menetapkan tujuan dengan membangun standar, merencanakan sesuatu, mencoba dengan keras atau gigih,
4
memecahkan
5
persoalan dengan kreatif, belajar dari kegagalan, memperlihatkan keberhasilan, dan juga meminimalisir stres. Walaupun suami merupakan pemimpin dalam keluarga, kepemimpinan suami di sini tidak sampai memutlakkan seorang istri tunduk sepenuhnya. Istri tetap mempunyai hak untuk bermusyawarah dan melakukan tawar-menawar keinginan dengan suami berdasarkan argumen-argumen rasional-kondisional. Kepemimpinan suami atas keluarganya tidak menghilangkan hak-hak mereka dalam berbagai hal. Dengan dibebankannya kepemimpinan kepada suami itulah, maka empat sifat yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki yang membuatnya layak
menjadi pemimpin di dalam rumah tangga:
Berpengetahuan agama dan mengamalkannya secara sempurna yang akan dipercayai sebagai kepala rumah tangga ialah suami, oleh karena itu ia harus mempersiapkan dirinya dengan memperbanyak pengetahuan. Jika seorang itu ingin menjadi suami maka hendaklah ia berpikiran positif. Karena apabila telah berumah tangga, seorang suami harus memikirkan cara yang terbaik dalam memenuhi segala keperluan rumah tangganya, baik secara lahiriah maupun batiniah (Heri, 2012). Salah satu masalah utama yang sering dialami dalam sebuah hubungan yakni tidak adanya keseimbangan dari sisi keuangan. Parahnya,
hampir
semuanya menempatkan masalah ini sebagai masalah yang besar. Salah satu bentuk permasalahan yang terjadi adanya suami yang tidak bekerja (menganggur) dan istri yang bekerja mencari nafkah. Dalam kasus hubungan perkawinan yang hanya istri yang bekerja dan suami menganggur, konflik
5
6
akan lebih sering muncul. Tak jarang hal ini turut memicu adanya ketidaknyamanan yang dirasakan oleh istri (Elfarid, 2007). Penelitian Andriyani (2010) mengungkap, pria yang kehilangan pekerjaan mereka saat berumah tangga cenderung untuk bercerai dan diceraikan oleh istri mereka yang bekerja. Seperti dilansir dari halaman The Telegraph, studi ini dilakukan untuk mengetahui dampak emosi dari suami pengangguran. Sebuah studi tentang pekerjaan dan perceraian menunjukkan bahwa meski tekanan sosial yang 'mengecilkan' wanita bekerja telah melemah, namun, tekanan pada suami yang identik sebagai pencari nafkah semakin besar dan menetap. Selanjuntya pada penelitian Irawan (2011) menunjukkan bagaimana pengaruh status pekerjaan baik bagi pria maupun wanita dalam pernikahan, status pekerjaan seorang wanita tidak memiliki efek pada pria. Tak peduli wanita bekerja atau hanya menjadi seorang ibu rumah tangga. Status pekerjaan wanita tidak akan memengaruhi status pemikiran pria tentang kelanjutan hubungan pernikahan. Namun, seorang wanita bekerja lebih mungkin untuk cerai daripada wanita yang tidak bekerja. Tetapi, hanya ketika dia merasa sangat tidak puas dengan pernikahan. Sebaliknya, hasil untuk status pekerjaan pria di sisi lain jauh lebih mengejutkan. Bagi seorang pria, menganggur tidak hanya meningkatkan kemungkinan bahwa istrinya akan mengajukan perceraian, tetapi juga berisiko menyebabkan ia berpikir untuk meninggalkan keluarga. Bahkan, pria yang relatif bahagia dalam perkawinan, cenderung untuk pergi jika mereka kehilangan pekerjaan.
6
7
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti ingin meneliti mengenai gambaran efikasi diri kepala keluarga yang di PHK.
1.2 Perumusan Masalah Peneliti ingin meneliti tentang “Bagaimana Gambaran Efikasi Diri Kepala Keluarga Yang Di PHK?”.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran tentang efikasi diri kepala keluarga yang di PHK. 1.3.2 Tujuan Khusus Pada tujuan khusus disini akan melihat beberapa hal yaitu: a) Untuk mengetahui komponen apa saja yang berpengaruh dalamefikasi diri bagi subjek b) Untuk menggambarkan proses pencapaian efikasi diri dari subjek
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Teoritis a) Memperkaya referensi ilmiah dalam bidang psikologi mengenai efikasi kepala rumah tangga yang di PHK. b) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi bagi peneliti
selanjutnya yang tertarik dengan masalah efikasi diri.
7
8
1.4.2 Empiris a) Hasil penelitian ini dapat mengarahkan kepada kepala keluarga yang di PHK untuk tetap dapat memilki efikasi diri yang positif. b) Untuk profesi diharapkan dapat menambah pengetahuan berkaitan dengan penanganan kepala keluarga yang di PHK. c) Memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai pentingnya efikasi diri .
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah informasi psikologi sosial dan psikologi keluarga untuk memperoleh gambaran efikasi diri pria dewasa tengah dalam menghadapi masa-masa tidak bekerja karena situasi tertentu. 1.5.2 Praktis Dapat mengetahui bagaimana gambaran efikasi diri kepala keluarga yang tidak bekerja, sehingga peneliti selanjutnya dapat lebih memahami tentang gambaran efikasi diri dalam menghadapi pemecatan atau keadaan fisiologis yang membuat mereka tidak dapat bekerja.
8