1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, semakin terbukanya kesempatan untuk berkomunikasi secara internasional, dan pelaksanaan pasar bebas menuntut bangsa Indonesia memiliki kompetensi yang kompetitif dalam segala bidang. Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan sumber daya alam dan kemampuan fisik untuk mencapai kesejahteraan bangsanya tetapi harus lebih mengandalkan sumber daya manusia yang profesional. Salah satu syarat untuk mencapainya adalah kemampuan berbahasa Inggris, khususnya untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Penguasaan bahasa Inggris sangat penting karena hampir semua sumber informasi global dalam berbagai aspek kehidupan menggunakan bahasa ini (Durand, 2006:7). Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa internasional yang diajarkan secara luas di berbagai negara di dunia ini. Banyak penduduk di berbagai negara memakai bahasa Inggris sebagai alat komunikasi dalam berbagai pertemuan penting pada tingkat internasional (Richards and Rodgers, 1986:1). Dalam bidang pendidikan, bahasa Inggris mempunyai andil besar karena hampir semua buku teks dalam berbagai disiplin ilmu ditulis dalam bahasa Inggris, yakni dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Bahasa Inggris mempunyai peranan yang sangat penting dalam memasuki era globalisasi. Fungsinya tidak hanya sebagai alat atau media untuk 1
2
berkomunikasi antarbangsa tetapi semakin luas dan penting, yaitu sebagai bahasa ilmu pengetahuan, teknologi, sosial-ekonomi, budaya, bahkan seni. Sebagai bahasa global, bahasa Inggris memegang fungsi dan peran yang sangat besar. Implikasinya adalah semakin banyak orang berusaha belajar agar mampu berbahasa Inggris dengan baik. Agar mampu berbahasa Inggris dengan baik dalam menghadapi persaingan global, banyak siswa, bahkan siswa sekolah dasar (SD) mempelajari bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal (local content). Hal ini menjadi fenomena baru bagi beberapa negara di Eropa dan Asia dalam kurun waktu dua puluh tahun belakangan ini. Situasi ini pula yang mendorong sejumlah sekolah dasar sesuai dengan kebijakan pemerintah Indonesia menyelenggarakan pendidikan bahasa Inggris sejak usia dini. Pemakaian bahasa Inggris yang sangat luas juga menyebabkan produksi barang Amerika menjadi lebih dikenal seperti McDonald, Coca Cola, KFC, Nike, Ford, dan yang lainnya. Beberapa negara seperti Jepang, Cina, Korea Selatan, Jerman, Perancis, dan Belanda menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua sehingga mampu menjalin kerja sama perdagangan dengan negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Akibatnya, semua dokumen perdagangan ekspor dan impor menggunakan bahasa Inggris. Hal ini berarti bahasa Inggris mempunyai peran internasional dalam era globalisasi ini (Crystal, 2003). Kenyataan ini mendorong banyak negara untuk memasukkan bahasa Inggris dalam kurikulum sekolah formal yang diajarkan mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
3
Pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar di Indonesia belum maksimal (Atsuyama, 2008). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pendidikan bahasa Inggris untuk pembelajar muda hanya bisa diberikan di beberapa sekolah swasta yang ada di kota-kota besar. Demikian pula hanya sekolah dasar yang bergengsi saja mampu memberikan pelajaran bahasa Inggris dengan guru penutur asli yang dapat memberikan pendidikan bahasa Inggris dengan baik. Hal sebaliknya terjadi di daerah pedalaman seperti Kalimantan dan Papua serta daerah terpencil lainnya sangat sulit didapatkan pendidikan bahasa Inggris. Bahkan di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, bahasa Inggris hanya sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan. Dalam berbagai level, bahasa Inggris diberikan mulai kelas empat, lima, dan enam oleh guru bahasa Inggris yang tidak mempunyai kemampuan pedagogis bahasa Inggris untuk pembelajar muda. Jikalau kondisi ini berlanjut, generasi muda Indonesia tidak akan mampu bersaing dalam tataran global. Oleh karena itu, tindakan nyata harus diambil oleh pemerintah. Dalam hal ini pengajaran bahasa Inggris usia muda harus dilaksanakan untuk memberikan kesempatan kepada mereka untuk mempersiapkan diri bersaing dalam dunia global ini (Rixon, 1992; Kubanek-German, 1998). Pendidikan bahasa Inggris di Indonesia mendapat perhatian dari pemerintah cukup besar, yakni dengan ditetapkannya sebagai salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Perhatian pemerintah lebih besar lagi tatkala kebanyakan hasil ujian nasional para siswa gagal dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Dalam hal ini, banyak kegiatan yang semuanya bertujuan meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Inggris, baik berupa peningkatan
4
kemampuan guru lewat penataran maupun pelatihan di dalam dan luar negeri. Dari fenomena ini muncul pemikiran dari kalangan pendidik, khususnya dari kalangan guru dan dosen bahasa Inggris agar memberikan porsi pelajaran bahasa Inggris yang lebih banyak di tingkat SMP sampai perguruan tinggi. Bahkan belakangan ini banyak sekolah dasar memberikan mata pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib. Kenyataan menunjukkan bahwa penguasaan bahasa Inggris tamatan pendidikan dasar di Indonesia tidak berhasil dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Kegagalan penguasaan bahasa Inggris di Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik, seperti: lingkungan, budaya, ekonomi, latar belakang keluarga, fasilitas pendidikan, sikap siswa, serta orangtua. Semua faktor ini sangat berpengaruh terhadap prestasi siswa dalam mata pelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Posisi bahasa Inggris sebagai bahasa asing bagi masyarakat Indonesia membuat bahasa ini tidak banyak dikuasai oleh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, tidak sedikit siswa ataupun mahasiswa mengalami kesulitan berkomunikasi dengan bahasa ini. Mereka menganggapnya sebagai bahasa yang sulit dipelajari karena beberapa alasan, misalnya, sistem bunyi verbal bahasa Inggris yang tampak sangat berbeda dengan tanda tulisannya. Hal ini berbeda dengan bunyi verbal bahasa Indonesia yang tidak banyak berbeda dengan tanda tulisannya. Penguasaan kosa kata bahasa Inggris oleh siswa sangat terbatas di samping penguasaan grammar yang terbatas pula. Alasan lain yang sangat krusial adalah bahwa strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan bahasa ini (desain
5
pembelajaran dan metode mengajar) terkesan monoton dan kurang memberi tantangan bagi siswa untuk bisa menguasai bahasa Inggris ini dengan baik. Guru kurang memahami karakteristik siswa karena lemahnya kemampuan psikologis guru dalam mengidentifikasi kebutuhan siswa dalam belajar bahasa, khususnya bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Dalam era informasi dan globalisasi ini, pemerintah menyadari pentingnya peran bahasa Inggris dan sumber daya manusia yang memiliki keandalan berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Pemerintah telah menerbitkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pengembangan sumber daya manusia dalam dunia pendidikan, yakni dalam bentuk pengembangan dan peningkatan kualitas kemampuan (kompetensi) dan keterampilan guru, siswa, serta tenaga kependidikan yang terkait. Selain itu, terdapat kebijakan mengenai mata pelajaran muatan lokal di sekolah dasar, yaitu Kebijakan Depdikbud Republik Indonesia Nomor 0487/14/1992 Bab VIII yang menyatakan bahwa sekolah dasar dapat menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, dengan syarat pelajaran itu tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Mata pelajaran tambahan biasanya merupakan mata pelajaran yang memang dibutuhkan oleh sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, mata pelajaran muatan lokal sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Hal ini terlihat, yakni adanya mata pelajaran bahasa daerah dan mata pelajaran kesenian.
6
Setahun kemudian, kebijakan ini disusul oleh Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 Tanggal 25 Februari 1993 tentang Dimungkinkannya Program Bahasa Inggris Diajarkan Lebih Dini sebagai Satu Mata Pelajaran Muatan Lokal. Mata pelajaran ini dapat dimulai pada kelas empat sekolah dasar sesuai anjuran pemerintah. Munculnya muatan lokal ini berawal dari pertimbangan bagaimana cara mengatasi anak-anak yang putus sekolah. Anak-anak yang putus sekolah di Indonesia cukup tinggi. Setiap tahun sekitar empat juta lulusan sekolah dasar tidak bisa melanjutkan ke tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan sekitar sembilan ratus ribu tamatan SLTP tidak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) (Ngadiman, 2005). Dengan adanya program muatan lokal, diharapkan anak-anak tamatan sekolah dasar ataupun SLTP yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dapat mencari nafkah berbekal keterampilan yang mereka dapatkan dari muatan lokal tersebut. Alasan lain dimunculkannya muatan lokal di sekolah dasar adalah bahwa kegiatan pendidikan di mana pun selalu berlangsung dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan ini dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak didik. Dengan muatan lokal ini pula di Bali banyak sekolah dasar memberikan pelajaran bahasa Inggris, yakni dengan harapan para siswa mempunyai keterampilan dalam berbahasa Inggris. Oleh karena hal ini sangat diperlukan dalam lingkungannya yang merupakan daerah tujuan wisata terkenal di dunia dengan pariwisata budayanya.
7
Di Indonesia, bahasa Inggris tidak dipakai sebagai alat komunikasi seharihari. Di daerah-daerah tertentu yang merupakan daerah kunjungan wisata, seperti: Bali, Lombok, dan Yogyakarta yang menjadi daerah tujuan wisata budaya untuk wisatawan mancanegara, dalam hal ini bahasa Inggris sangat tepat untuk diajarkan sebagai mata pelajaran muatan lokal. Pembelajaran bahasa Inggris sangat bermanfaat, terutama terkait dengan penyediaan sumber daya manusia yang mampu berkomunikasi dengan para wisatawan sekaligus untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja seperti menjual cenderamata, bekerja di hotel atau menjadi pemandu wisata. Di samping itu, dengan keterampilan berbahasa Inggris anakanak di daerah dapat memperkenalkan kebudayaan daerahnya kepada wisatawan asing. Mata pelajaran muatan lokal sebenarnya ditetapkan sebagai kebijakan daerah dengan memperhatikan beberapa hal, seperti keterlibatan pemerintah daerah, para pakar pendidikan, penyusunan bahan ajar, dan anggota masyarakat lainnya. Di samping itu, perlu dipertimbangkan kondisi lingkungan alam, sosial, dan budaya serta tersedianya tenaga pengajar bahasa Inggris yang kompeten. Kebijakan tentang program bahasa Inggris sekolah dasar ini selanjutnya ditindaklanjuti oleh beberapa provinsi yang ditanggapi dalam bentuk kebijakan juga, misalnya: Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat mengeluarkan surat keputusan dan mengembangkan kurikulum muatan lokal (Kasihani, 2007:2). Dalam rangka pelaksanaan kurikulum muatan lokal 2004 yang berbasis kompetensi, Dinas Pendidikan Provinsi Bali, melalui dana DASK tahun anggaran
8
2004, menerbitkan standar kompetensi muatan lokal wajib dan standar kompetensi muatan lokal pilihan. Mata pelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di wilayah Provinsi Bali ditetapkan menjadi mata pelajaran muatan lokal pilihan. Kebijakan ini ditanggapi secara positif oleh masyarakat luas, terutama oleh sekolah-sekolah dasar yang merasa memerlukan dan mampu menyelenggarakan pembelajaran bahasa Inggris. Kurikulum bahasa Inggris sebagai muatan lokal yang ada di lapangan, berdasarkan pengamatan awal, masih memiliki banyak kelemahan. Tujuan yang merupakan salah satu komponen penting dalam pengajaran bahasa Inggris kurang sesuai dengan perkembangan anak usia 6-12 tahun. Kurikulum muatan lokal bahasa Inggris yang pernah dikaji pada empat provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, menunjukkan adanya perbedaan dalam pendekatan pengembangan, tujuan, dan topiknya (Kasihani, 2003). Isi atau bahan ajar bisa berbeda sesuai dengan apa yang ada di lingkungannya, tetapi tujuan secara nasional perlu dipertimbangkan sesuai dengan kebijakan, situasi, dan kondisi yang ada. Oleh karena kenyataan menunjukkan bahwa pada saat kebijakan diberlakukan, para pembuat kebijakan terkesan kurang atau tidak melakukan analisis kebutuhan secara cermat sebelumnya. Seharusnya sebelum kebijakan berlaku sudah diperkirakan hal-hal, seperti: apakah tenaga di lapangan sudah siap, apakah kurikulum atau silabus sudah ada, serta apakah sarana dan media pembelajaran yang sesuai sudah ada. Walaupun disebutkan bahwa bahasa Inggris di sekolah dasar bukan merupakan mata pelajaran wajib dan tidak harus diajarkan apabila memang belum
9
siap, tetapi banyak sekolah yang memaksakan diri untuk melaksanakan program ini. Permintaan masyarakat, terutama orangtua murid, menginginkan agar anaknya juga belajar bahasa Inggris seperti yang ada di sekolah lain. Di samping itu, perintah atau keputusan dari Dinas Pendidikan setempat yang mewajibkan sekolah untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris sebagai pelajaran muatan lokal wajib. Hal ini membuat pelajaran bahasa Inggris terkesan dilaksanakan seadanya. Dalam kenyataannya, pengembangan suatu program baru (dalam hal ini program pengajaran bahasa Inggris) tidaklah mudah. Sebenarnya, perlu ada alasan yang tepat untuk melandasi program tersebut dengan dasar pemikiran yang kuat, yakni mengapa program bahasa Inggris perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar. Pemikiran ini harus beranjak dari kebutuhan pedagogis dan pasar kerja saat ini, kemudian dikembangkan, misalnya, apakah memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bidang tertentu agar sejajar dengan sekolah lain. Atas dasar beberapa pandangan yang positif dan rasional tentang pengajaran bahasa Inggris, ada masuknya pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar dapat diterima. Namun, dalam praktik di lapangan banyak masalah yang timbul, baik yang berkaitan dengan kurikulum, materi pengajaran, pengadaan guru yang terlatih ataupun sarana dan prasarana penunjang yang lain, metode pengajaran yang tepat, serta motivasi siswa dalam belajar. Masalah tersebut pada umumnya timbul dalam pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Hal tersebut diuraikan secara singkat berikut ini. Kurikulum dan materi pengajaran merupakan faktor utama dalam proses belajar-mengajar.
Kurikulum
merupakan kunci
dalam pemilihan
materi
10
pengajaran. Sampai saat ini, kurikulum bahasa Inggris untuk sekolah dasar yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional hanya untuk kelas empat sampai kelas enam, sedangkan kurikulum bahasa Inggris dari kelas satu sampai kelas tiga belum ada, apalagi pedoman pelaksanaannya. Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan kurikulum ini adalah siapa yang menentukan dan merancang kurikulum muatan lokal ini, apakah pusat atau daerah. Apabila setiap daerah boleh menyusun kurikulum, harus ada banyak kurikulum bahasa Inggris untuk sekolah dasar mengingat tujuan pengajaran bahasa Inggris antara daerah satu berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini membawa konsekuensi
terhadap penyusunan materi pengajaran. Materi
pengajaran juga harus berbeda. Oleh karena itu, diperlukan petunjuk teknis mengenai pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, baik dalam pengembangan kurikulum maupun penyusunan materi pengajaran. Tanpa adanya pedoman pelaksanaan dan garis-garis besar, program pengajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal di sekolah dasar akan mengalami masalah besar, misalnya: berapa jam bahasa Inggris harus diajarkan, keterampilan mana yang harus diajarkan dan dicapai atau dituntaskan, serta apakah pengajaran bahasa Inggris harus berlangsung secara improvisasi. Guru bahasa Inggris yang mempunyai kualifikasi sebagai pengajar pemula untuk sekolah dasar, masih menjadi kendala. Selama ini tujuan pendidikan guru bahasa Inggris di IKIP dan FKIP adalah menciptakan guru bahasa Inggris untuk sekolah tingkat pertama dan sekolah menengah atas, sedangkan sampai saat ini belum ada LPTK yang mendidik guru bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar.
11
Padahal di sekolah dasar guru merupakan figur yang sangat menentukan dalam mengelola proses belajar-mengajar di kelas. Dengan kata lain, guru merupakan model dalam kelas saat berlangsungnya pelajaran. Oleh karena itu, guru bahasa Inggris di sekolah dasar harus mempunyai keterampilan bahasa Inggris yang baik serta wawasan psikologis dan pedagogis yang baik pula. Strategi pengajaran merupakan aspek penting dalam proses belajarmengajar. Medode pengajaran adalah strategi yang dipakai oleh guru dalam menyampaikan materi pengajaran. Banyak strategi atau teknik pengajaran yang dikembangkan oleh para ahli bahasa dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Namun, tidak semua strategi atau teknik pengajaran cocok untuk setiap tujuan atau kelompok umur pembelajar. Strategi pengajaran yang cocok untuk SMP dan SMA belum tentu cocok diterapkan pada siswa sekolah dasar. Penelitian mengenai teknik atau strategi pengajaran bahasa Inggris untuk sekolah dasar belum ada sehingga dapat dipastikan strategi dan teknik mengajar yang dipakai bersifat spontan dan intuitif serta dilakukan dengan cara trial and error. Hal ini terjadi karena ketidaksiapan guru dengan teknik atau strategi pengajaran yang harus dipilih. Motivasi adalah kunci yang paling utama dalam suatu proses belajarmengajar. Walaupun guru mempunyai keterampilan berbahasa yang baik, cara mengajar yang baik, sarana pengajaran yang baik dan lengkap, tetapi jika siswa tidak mempunyai motivasi belajar, maka semuanya akan sia-sia. Guru, sekolah, sarana lain seperti alat peraga hanyalah berfungsi sebagai alat bantu. Dalam hal ini, yang belajar, yang mencerna, dan yang memproses input adalah
12
siswa/pembelajar itu sendiri. Masalahnya sekarang adalah apakah semua siswa sekolah dasar mempunyai motivasi atau minat yang tinggi untuk belajar bahasa Inggris. Tugas guru adalah menciptakan iklim yang kondusif dengan membangkitkan pandangan positif pada diri siswa terhadap manfaat bahasa Inggris sebagai sarana untuk memeroleh lapangan kerja. Dalam kaitan ini, hal yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan sikap positif pada diri siswa bahwa bahasa Inggris tidak perlu ditakuti atau sesuatu yang sukar untuk dipelajari. Oleh karena pengalaman menunjukkan bahwa mata pelajaran bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang tidak disukai oleh kebanyakan siswa SMP dan SMA, termasuk mahasiswa jurusan nonbahasa Inggris. Mereka menganggap bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang sulit dan sangat sukar untuk dipelajari. Pengadaan buku-buku teks masih menjadi kendala dalam pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Sampai saat ini belum banyak buku teks bahasa Inggris yang dapat menunjang pengajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal di sekolah dasar. Buku teks yang beredar saat ini, meskipun dirancang untuk pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, masih bersifat umum dan belum menunjang pengajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Dengan demikian pengadaan buku teks merupakan masalah serius yang harus segera dipecahkan. Oleh karena tujuan pengajaran bahasa Inggris bersifat lokal, maka harus disusun berbagai ragam buku yang berisi materi pengajaran yang disesuaikan dengan muatan lokal daerah tertentu. Kesiapan sarana belajar-mengajar untuk mengajarkan bahasa Inggris di sekolah dasar dirasakan masih belum memadai. Oleh karena pelajaran bahasa
13
Inggris merupakan sesuatu yang baru di sekolah dasar sehingga dapat diramalkan bahwa banyak sekolah dasar yang memerlukan pengajaran bahasa Inggris belum siap dengan sarana penunjang, seperti: alat peraga dan yang lainnya. Hal ini perlu mendapat perhatian dari sekolah yang akan memasukkan bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Munculnya pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar memungkinkan terjadinya interferensi. Dalam waktu bersamaan anak sekolah dasar harus mempelajari tiga bahasa sekaligus, yaitu bahasa daerah, bahasa nasional (bahasa Indonesia), dan bahasa Inggris. Dalam situasi semacam ini, kemungkinan terjadinya interferensi antara ketiga bahasa tersebut sangat besar, apalagi bila jadwal jam pengajarannya sangat berdekatan. Misalnya, pada jam pertama mereka harus belajar bahasa Indonesia, pada jam kedua atau ketiga mereka harus belajar bahasa Inggris atau bahasa daerah. Pengaturan jam pelajaran semacam ini sangat tidak bijaksana. Oleh karena itu, jadwal jam pelajaran harus ditata secara bijaksana. Di samping itu, strategi dan teknik pengajaran harus dipilih secara tepat untuk menghindari terjadi saling interferensi di antara ketiga bahasa tersebut. Pemerolehan bahasa terjadi karena adanya input yang memadai dan cukup terpahami. Pada hakikatnya bahasa Inggris di Indonesia bukan merupakan alat komunikasi sehari-hari. Apabila dipakai sebagai alat komunikasi hal ini sudah tentu sangat terbatas. Padahal tanpa adanya input atau pajangan (expose), proses pemerolehan bahasa tidak terjadi. Dengan demikian, guru bahasa Inggris harus menjadi sumber input yang potensial. Konsekuensinya, guru harus mempunyai
14
keterampilan bahasa Inggris yang baik, ucapannya harus baik, tata bahasanya juga harus baik. Menurut Krashen (1982: 62-67) input harus menjadi intake agar proses pemerolehan bahasa terjadi. Dalam hal ini, agar berfungsi menjadi intake, pertama, input harus terpahami (comprehensible). Ada beberapa kriteria yang memungkinkan input menjadi terpahami: (1) struktur dan kosa kata tidak sukar, artinya bahasa guru harus memakai struktur dan kosa kata yang sudah dimiliki oleh siswa; (2) berorientasi kini dan sekarang, artinya guru harus memakai konteks yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, agar bahasa guru dapat menjadi sumber input yang potensial, guru bahasa Inggris harus menggunakan struktur bahasa yang sederhana, tidak banyak kalimat majemuk, kosa kata yang sudah diketahui oleh siswa dan yang berkaitan dengan masalah di lingkungan anak, serta ia harus berbicara pelan dengan ucapan yang sangat jelas tetapi tepat. Kedua, agar input terpahami, input harus menarik dan relevan. Input yang menarik dan relevan akan membuat siswa mencurahkan perhatiannya kepada isi pesan dan motivasi mereka unuk belajar lebih banyak. Dalam kaitan ini, Krashen menyatakan bahwa pemerolehan bahasa akan terjadi secara maksimum apabila si pembelajar tidak sadar terhadap pesan yang disampaikan dalam bahasa asing. Dalam hal ini, tugas guru adalah mencari materi pengajaran yang menarik dan relevan bagi sekolah dasar dan dengan bahasa yang sederhana. Hal ini merupakan tugas yang tidak ringan, perlu kerja keras, keterampilan tinggi, dan biaya yang tidak murah.
15
Permasalahan lain yang perlu menjadi perhatian adalah kemampuan berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia siswa SD, siswa SMP, dan siswa SMTA, bahkan mahasiswa masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena sikap negatif mereka terhadap kedua bahasa tersebut, terlebih terhadap bahasa daerah. Dengan masuknya bahasa Inggris di sekolah dasar, dikhawatirkan sikap mereka terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia semakin negatif dalam arti bahasa tersebut diremehkan dan dipinggirkan. Minat mereka untuk belajar bahasa daerah dan bahasa Indonesia akan berkurang. Padahal secara kultural, baik bahasa daerah maupun bahasa Indonesia menjadi ciri jati diri dan kepribadian manusia dan bangsa Indonesia. Bangga terhadap bahasa Inggris akan memotivasi mereka untuk belajar bahasa Inggris, tetapi apabila hal ini terjadi berlebihan akibatnya tidak baik. Mereka tidak akan mencintai bahasa daerah dan bahasa Indonesia yang mengakibatkan
penguasaan
bahasa
tersebut
dirasakan
sangat
rendah.
Kenyataannya bahasa Indonesia yang sekarang dipelajari oleh orang Australia sebagai bahasa asing justru tidak dinikmati oleh siswa Indonesia. Oleh karena itu, tugas guru bahasa daerah dan bahasa Indonesia menjadi lebih berat. Mereka harus bekerja lebih keras untuk membuat pelajaran bahasa daerah dan bahasa Indonesia menarik sehingga peserta didik termotivasi dan tidak memandang kedua bahasa tersebut lebih rendah daripada bahasa Inggris. Di samping itu, guru bahasa Inggris sendiri harus mempunyai pandangan positif terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Menurut Curtain dan Pesola (1994), dewan sekolah atau komite sekolah dan persatuan orangtua murid perlu memberikan alasan kuat dan bukti nyata
16
sebelum sekolah membuat keputusan atau kebijakan. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan tentang waktu yang tersedia, dana, dan jenis program ini. Selain itu, program bahasa Inggris ini perlu mengetengahkan manfaat pembelajaran bahasa, pilihan bahasa yang harus diajarkan, jenis kegiatan pembelajaran yang akan dipakai, dan sebagainya. Dasar pemikiran yang meyakinkan dan perencanaan yang mantap akan membantu perlunya keberadaan pelajaran bahasa asing di sekolah dasar. Kebijakan lain yang perlu dipahami adalah adanya pengelompokan mata pelajaran, khususnya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu diketahui bagaimana posisi mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Dari kerangka dasar dan struktur kurikulum yang ada saat ini dapat dilihat Pasal 7 Ayat 7 bahwa pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar termasuk kelompok mata pelajaran estetika. Mata pelajaran bahasa Inggris yang termasuk mata pelajaran muatan lokal memerlukan kegiatan bahasa yang relevan dengan tingkat pembelajarannya. Kebijakan-kebijakan yang telah dituangkan dalam bentuk surat keputusan atau peraturan pemerintah merupakan pegangan yang dapat dipakai sebagai dasar untuk mengembangkan mata pelajaran bahasa Inggris, terutama di sekolah dasar. Landasan seperti ini penting untuk diketahui, terutama bagi pengembang dan pengelola program mata pelajaran bahasa Inggris untuk usia muda atau siswa sekolah dasar.
17
Kebijakan tahun 2006 yang perlu diketahui berkaitan dengan mata pelajaran muatan lokal adalah Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 Tanggal 23 Mei 2006. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Menurut kebijakan ini, substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan dan jam mata pelajaran muatan lokal yang dialokasikan dua jam, yaitu berarti 2 x 35 menit. Selain itu, dalam peraturan menteri, mata pelajaran muatan lokal diprogramkan di kelas empat, lima, dan enam sekolah dasar. Selain kebijakan yang sifatnya nasional seperti yang disebutkan di atas, ada pula kebijakan yang bersifat regional dan institusional. Kebijakan semacam ini biasanya diambil oleh pimpinan atau kepala sekolah setelah dirapatkan dengan staf guru atau komite sekolah. Mata pelajaran muatan lokal seperti pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar merupakan wewenang sekolah untuk menentukan apakah mata pelajaran bahasa Inggris perlu diberikan di sekolahnya. Jika diperlukan dimulai pada kelas berapa dan seminggu berapa jam. Apabila sudah ada keputusan, maka diperlukan persiapan yang cermat, yaitu berkaitan dengan tenaga pengajar dan bahan ajarnya. Sebenarnya, tujuan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia berbeda dengan tujuan pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di negara tempat bahasa Inggris sebagai media komunikasi. Bahasa Inggris merupakan bahasa asing pertama yang wajib diajarkan di SMP dan SMA. Akan tetapi, di sekolah dasar merupakan salah satu pelajaran muatan lokal pilihan dan belum merupakan mata
18
pelajaran wajib. Tujuan pengajaran bahasa Inggris mencakup semua kompetensi bahasa, yaitu menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Bahasa Inggris sangat berbeda dengan bahasa pertama anakanak di Indonesia (bahasa Indonesia, Bali, Sunda, Jawa, dan bahasa daerah lainnya di Indonesia). Beberapa perbedaan kebahasaan ini penting untuk dipahami oleh guru agar pembelajaran dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal-hal tersebut berupa ucapan, ejaan, struktur bahasa, tekanan dan intonasi, kosa kata, serta nilai kultur bahasa asing. Kebijakan berikutnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKLSP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan. Mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar mencakup tujuan sebagai berikut. (1) Mendengarkan, yaitu memahami instruksi, informasi, dan cerita yang sangat sederhana yang disampaikan secara lisan dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar. (2) Berbicara, yaitu mengungkapkan makna secara lisan dalam wacana interpersonal dan transaksional yang sangat sederhana dalam bentuk instruksi dan informasi dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar. (3) Membaca, yaitu membaca nyaring dan memahami makna dalam instruksi, informasi, teks fungsional pendek, dan teks deskriptif bergambar sangat sederhana yang disampaikan secara tertulis dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar. (4) Menulis, yaitu menuliskan kata, ungkapan, dan teks fungsional pendek yang sangat sederhana dengan ejaan dan tanda baca yang tepat.
19
Dalam hal ini, dimasukkannya bahasa Inggris sebagai muatan lokal di sekolah dasar, sampai saat ini masih mengundang pro dan kontra di antara pakar pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia. Ada banyak pakar yang mengatakan bahwa pengajaran bahasa Inggris akan berhasil apabila diberikan sedini mungkin. Akan tetapi banyak juga yang mengatakan bahwa apabila bahasa Inggris diajarkan mulai di sekolah dasar, hal ini justru menambah beban siswa, mengingat siswa sekolah dasar mempunyai beban berat dalam tugas mereka. Pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar akan menimbulkan banyak masalah dan dikhawatirkan akan memperpanjang kegagalan pengajarannya di Indonesia. Kota Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali dan dikenal dengan paradigma
“berwawasan
budaya”
sangat
berkaitan
dengan
kebijakan
pembelajaran bahasa Inggris dalam keberadaannya sebagai kota pendidikan, kota bisnis, kota pariwisata, dan kota budaya. Sekolah-sekolah dasar yang ada, baik negeri maupun swasta, mengedepankan proses pembelajaran bahasa Inggris. Hal ini berkenaan dengan persoalan ekologi bahasa karena bahasa yang memberikan kehidupan dan kesejahteraanlah yang akan hidup dan dihidupkan. Pemerolehan kemampuan awal atau permulaan bahasa Inggris yang baik dan benar sejak dini akan memungkinkan pembelajar mendapatkan kehidupan yang lebih baik pada masa depan. Sebagai bagian dari kajian budaya kritis (critical cultural studies), penelitian ini berfokus pada kebijakan pemerintah yang menyangkut pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar di Kota Denpasar. Dengan
20
demikian, kebijakan tersebut akan dilihat secara kritis, termasuk kaitannya dengan kekuasaan di baliknya, sampai pelaksanaannya secara nyata di lapangan dalam rangka emansipasi masyarakat yang terlibat dalam proses pendidikan tersebut. Dalam hal ini adalah murid-murid sekolah dasar di Kota Denpasar yang menjadi sasaran pembelajaran basasa Inggris. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam fenomena yang dialami terkait dengan implementasi kebijakan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam pertanyaanpertanyaan seperti berikut ini. 1) Bagaimanakah implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada sekolah dasar di Kota Denpasar? 2) Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar? 3) Bagaimanakah makna implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini dilakukan untuk memahami secara mendalam dan kritis berbagai input, proses, dan output implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris di tingkat pendidikan dasar, yaitu sekolah dasar negeri dan swasta, khususnya di Kota Denpasar. Sebagai ibu kota provinsi, Kota Denpasar memiliki
21
sirkumstansi lokal-global, terutama keberadaannya sebagai kota budaya di satu sisi dan kota bisnis dan pariwisata di sisi lain. Hal ini menyebabkan dalam banyak aspek cukup beralasan untuk diterapkan kebijakan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah dasarnya. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui bentuk implementasi kebijakan pemerintah kota dalam penyelelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar. 2) Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar. 3) Untuk
menginterpretasi
makna
terbentuknya
implementasi
kebijakan
pemerintah dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar bagi sekolah, siswa, dan masyarakat di Kota Denpasar. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan wawasan keilmuan dan kerangka teoretis-konseptual yang lebih jelas dan komprehensif mengenai fenomena implementasi kebijakan pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar dan pelaksanaannya di Kota Denpasar sebagai sebuah penelitian kritis kajian budaya (critical cultural studies). Kajian budaya dalam keberadaannya
22
sebagai disiplin ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin berupaya mengkaji dan mengkritisi efektivitas kebijakan dan pelaksanaan pendidikan bahasa Inggris serta melihat hubungan-hubungan kuasa politik, ekonomi, dan budaya yang melingkupinya. Dengan demikian, kebijakan tersebut akan dilihat secara kritis, termasuk kaitan kekuasaan di baliknya, sampai pelaksanaannya secara nyata di lapangan dalam rangka emansipasi masyarakat yang terlibat dalam proses pendidikan tersebut dalam hal ini siswa-siswa sekolah dasar di Kota Denpasar. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kota Denpasar, terutama dalam mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendidikan bahasa Inggris sekolah dasar di wilayah pemerintahannya. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memerkaya khazanah pengetahuan/kepustakaan dalam penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris yang selama ini diasumsikan tidak terkoordinasi secara baik di antara sekolah-sekolah dasar yang telah mengajarkan bahasa Inggris. Di samping itu, perbaikan dan penyempurnaan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar dapat memperkuat jati diri dan sikap positif terhadap bahasa daerah dan bahasa nasionalnya. Akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemberdayaan dan emansipasi bagi masyarakat pada umumnya dan murid-murid sekolah dasar pada khususnya sebagai pihakpihak yang menjadi sasaran (pasar) bagi kebijakan pembelajaran yang dimaksud.
23
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Mata pelajaran muatan lokal merupakan mata pelajaran yang menyangkut kebijakan tersendiri yang ditentukan oleh setiap provinsi. Dalam kebijakan itu, bahasa Inggris dijadikan sebagi mata pelajaran muatan lokal pada sekolah dasar di Kota Denpasar. Bahasa Inggris dinyatakan sebagai muatan lokal Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 Tanggal 25 Februari 1993. Sebenarnya pengertian lokal atau daerah dapat berarti pada tingkat provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, bahkan sekolah. Dalam kaitan ini, pelajaran muatan lokal ini dapat ditetapkan dengan memperhatikan kondisi lingkungan alam, sosial dan budaya. Selain itu, diharapkan adanya keterlibatan pemerintah daerah, pakar pendidikan serta pakar bahan ajar (Suyanto, 2001). Beberapa penelitian tentang pembelajaran bahasa asing untuk anak-anak yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Rachmajanti dkk, (2000) dalam penelitiannya tentang penyelenggaraan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar Kabupaten Malang, Jawa Timur menemukan fakta tentang belum memadainya kompetensi guru sesuai dengan tuntutan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Hampir semua guru yang mengajarkan bahasa Inggris di sekolah dasar bukanlah guru yang dipersiapkan secara akademis untuk keperluan tersebut. Kondisi yang kurang menguntungkan ini berdampak negatif dalam proses belajar23
24
mengajar di kelas karena guru cenderung menerapkan cara yang sama dengan pendekatan pengajaran orang dewasa. Curtain dan Pesola (1994), dalam hasil penelitian dan observasinya menemukan bahwa sebagian besar guru bahasa Inggris belum memiliki keterampilan berbahasa dan metodologi mengajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Dalam hal ini direkomendasikan bahwa dalam mempersiapkan guru untuk mengajar di sekolah dasar perlu mengacu pada tiga hal, yaitu (1) keterampilan berbahasa dan pemahaman budaya, terutama tentang anak-anak tempat bahasa tersebut dipakai; (2) metodologi dan pengalaman pengajaran bahasa untuk anakanak; serta (3) latar belakang pengetahuan dalam kurikulum dan filsafat sekolah. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru yang mengajar di sekolah dasar bukanlah guru yang dipersiapkan untuk mengajarkan bahasa Inggris, apalagi mengajari anak-anak. Hampir semua guru yang mengajarkan muatan lokal bahasa Inggris terpaksa melakukannya karena diberi tugas oleh kepala sekolahnya. Padahal bekal guru untuk mengajarkan bahasa Inggris bagi siswa sekolah dasar sangat minim. Siswa sekolah dasar akan senang apabila pelajaran bahasa asing ini menarik. Mereka akan berhasil apabila belajar hal baru, yakni dilakukan dengan cara learning by doing, learning by playing, dan learning by singing (Philips, 1995). Oleh karena itu, guru sekolah dasar seharusnya terampil dalam memperkenalkan bahasa Inggris kepada siswanya melalui berbagai kegiatan berupa games, song, dan story telling. Hal ini sudah terbukti dari penelitian terdahulu, Di samping ditunjang oleh beberapa teori yang sudah ditetapkan (Vale dan Feuntuen, 1996).
25
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sebagai muatan lokal kurang menguntungkan. Dardiri (1994) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa teknik mengajar guru tidak bervariasi dan cenderung menggunakan teknik yang lazim dipakai guru untuk mengajari orang dewasa, seperti; tanya jawab, hafalan, dan menerangkan. Selain itu, kualitas dan kuantitas media pembelajaran dianggap kurang memadai. Temuan penelitian tersebut di atas mengisyaratkan antara lain bahwa lemahnya proses belajar-mengajar disebabkan karena faktor guru dan sarana penunjang, terutama keberadaan dan pemanfaatan media pembelajaran. Faktor guru memang penting dalam proses belajar-mengajar, tetapi keberadaan guru tanpa sarana penunjang tampaknya mengurangi kualitas proses belajar-mengajar. Artinya, pemanfaatan sarana pembelajaran seperti buku teks dan media sebenarnya dapat lebih mempertinggi kualitas pembelajaran (Ellington, 1985). Sejak tahun 1998, terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap semua aspek kehidupan bangsa Indonesia. Perubahan itu disebabkan oleh perubahan politik dan tata pemerintahan yang semula bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Dalam pemerintahan sentralistik, kebijakan penting dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota menjadi pelaksana kebijakan pemerintah pusat. Pada saat ini fungsi dan wewenang pemerintah daerah lebih besar dalam membuat kebijakan dan melaksanakannya sesuai dengan variasi potensi dan kepentingan pengembangan daerahnya masing-masing. Dalam hal ini, salah satu desentralisasi pendidikan adalah desentralisasi kurikulum. Pemerintah, dalam hal ini Kementrian
26
Pendidikan Nasional hanya menentukan standar-standar minimal yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan di tingkat daerah. Standar minimal itu berupa standar kompetensi lulusan, standar isi, standar evaluasi, dan standar sarana dan prasarana. Pengembangan lebih jauh terhadap standar-standar tersebut diserahkan kepada masing-masing daerah. Dengan adanya desentralisasi kebijakan itu, daerah dapat mengembangkan potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Salah satu kebijakan yang dapat dikembangkan adalah membuat kurikulum sekolah yang berbasis keunggulan lokal. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas sudah diatur pelaksanaan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat, tetapi harus dilakukan di daerah. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum sebagai salah satu substansi utama dalam pengembangan pendidikan perlu didesentralisasikan, terutama kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Dengan demikian, daerah atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan. Sehubungan dengan kondisi daerah dan potensi daerah di Indonesia yang cukup beragam, maka daerah perlu menggali, meningkatkan, dan mempromosikan potensinya melalui pendidikan di sekolah. Masing-masing daerah mempunyai keunggulan potensi daerah dan potensi itu perlu dikembangkan lebih baik lagi. Keunggulan yang dimiliki oleh masingmasing daerah sangat bervariasi. Dengan keberagaman potensi daerah ini, pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu mendapatkan perhatian secara khusus bagi pemerintah daerah. Dengan demikian, anak-anak daerah tidak
27
asing dengan daerahnya sendiri serta paham betul dengan potensi dan nilai-nilai serta
budaya
daerahnya
sendiri
sehingga
dapat
mengembangkan
dan
memberdayakan potensi daerahnya sesuai dengan tuntutan ekonomi global yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia. Dalam kaitan ini diharapkan dengan ekonomi global tersebut, masing-masing daerah mampu berlomba dan bersaing dengan negara lain untuk memasarkan keunggulan daerahnya sendiri. Muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya, serta kebutuhan pembangunan daerah yang perlu diajarkan kepada siswa. Lingkungan alam adalah lingkungan hidup dan tidak hidup yang mencakup komponen hewan dan tanaman beserta tempat tinggalnya, di samping hubungan timbal balik di antara komponen tersebut. Lingkungan budaya adalah lingkungan yang mencakup segenap unsur budaya yang dimiliki masyarakat di suatu daerah tertentu, termasuk di dalamnya adalah kepercayaan, kebiasaankebiasaan, adat istiadat, aturan-aturan umum yang tidak tertulis (misalnya: tata krama, cara pergaulan, dan etiket dengan orangtua, muda-mudi, serta tetangga), nilai-nilai serta penampilan perlambang-perlambang yang menyatakan perasaan, seperti yang terdapat dalam upacara adat/tradisional, bahasa daerah, dan kesenian daerah. Perpaduan antara lingkungan alam, sosial, dan budaya pada hakikatnya membentuk suatu kehidupan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang disebut dengan pola kehidupan. Jadi, pola kehidupan masyarakat mencakup interaksi antar anggota masyarakat tersebut yang meliputi interaksi antar individu, antara
28
individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok lainnya baik secara formal maupun informal. Dalam kenyataannya, pola kehidupan suatu masyarakat dapat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan alamnya dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Kebudayaan suatu masyarakat, yakni mencakup: gagasan, keyakinan, pengetahuan, aturan dan nilai, serta
perlambang
(simbol-simbol)
yang
digunakan
untuk
menanggapi
lingkungannya. Dengan demikian, pengembangan bahan pelajaran bermuatan lokal, yakni mengacu pada pola kehidupan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mengembangkan wawasan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Dengan memahami arti dan hakikat kurikulum muatan lokal, siswa tidak hanya mengetahui dunia global, tetapi budaya lokal perlu dipahami dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Mendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Bahasa Inggris untuk Sekolah Dasar yang Dikembangkan Berdasarkan Tujuan setiap Satuan Pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah sebuah acuan kompetensi yang harus dimiliki seorang anak jika ia lulus pada jenjang pendidikan tersebut. Berikut ini adalah SKL mata pelajaran bahasa Inggris untuk sekolah dasar. (1) Mendengarkan: memahami instruksi, informasi, dan cerita sangat sederhana yang disampaikan secara lisan dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar. (2) Berbicara; yakni mengungkapkan makna secara lisan dalam wacana interpersonal dan transaksional sangat sederhana dalam bentuk instruksi dan
29
informasi dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar. (3) Membaca; yakni membaca nyaring dan memahami makna dalam instruksi, informasi, teks fungsional pendek, dan teks deskriptif bergambar sangat sederhana yang disampaikan secara tertulis dalam konteks kelas, sekolah, dan lingkungan sekitar. (4) Menulis; yakni menuliskan kata, ungkapan, dan teks fungsional pendek sangat sederhana dengan ejaan dan tanda baca yang tepat. Berdasarkan asumsi hasil perbincangan dengan para praktisi, khususnya guru bahasa Inggris di SMP serta pengamatan di lapangan, bahwa siswa yang telah memiliki bekal pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar tidak akan mengalami kesulitan yang berarti ketika mengikuti pembelajaran bahasa Inggris di kelas tujuh. Mereka akan show of force atau menunjukkan apa yang telah mereka dapat dan mereka kuasai di sekolah dasar. Kemampuan kosakata dan ungkapanungkapan sederhana dalam konteks kelas yang mereka dapatkan di sekolah dasar cukup memberikan kontribusi dalam proses pembelajaran di SMP. Kondisi demikian biasanya terjadi di SMP perkotaan karena mereka memiliki bekal bahasa Inggris sejak kelas empat, bahkan ada beberapa sekolah dasar yang memberikan muatan lokal bahasa Inggris sejak kelas satu. Mereka tidak asing lagi terhadap ucapan-ucapan bahasa Inggris. Hal ini sangat membantu proses pembelajaran di SMP. Terlebih lagi jika guru yang mengajar di kelas tujuh mampu memberikan motivasi dan membantu siswa tersebut untuk memelihara kompetensinya. Sementara itu, SMP yang berada di daerah pinggiran atau pedesaan, pada umumnya memiliki input siswa yang tidak semuanya memiliki bekal bahasa Inggris ketika di sekolah dasar. Keadaan ini cukup menjadi kendala
30
karena guru kelas tujuh harus mengenalkan bahasa Inggris dari awal. Dalam hal ini siswa yang pernah mendapatkan sebelumnya akan merasa sedikit bosan karena materi itu terulang lagi. Oleh karena itu, guru harus mampu memberikan variasi pembelajaran untuk kondisi kelas yang demikian. Dalam pembelajaran bahasa Inggris, kematangan siswa di kelas tidak hanya ditentukan oleh usia atau jenjang pendidikan, tetapi juga oleh faktor utama yaitu guru, media pembelajaran, serta metode atau teknik yang digunakan. Selain itu, ada pula faktor pendukung lainnya, seperti: sekolah, lingkungan (perkotaan atau pedesaan), budaya setempat, minat, dan pengaruh orangtua. Oleh karena itu, maka dapat ditarik simpulan bahwa keberadaan muatan lokal bahasa Inggris di sekolah dasar sangat mendukung proses pembelajaran di SMP dan jenjang selanjutnya. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan bahasa Inggris sebagai muatan lokal di SD, yaitu: Pertama, apakah stakeholder (kepala sekolah, komite sekolah) benar-benar siap. Pihak sekolah dan orangtua murid seyogianya memiliki persepsi yang sama tentang pentingnya bahasa Inggris sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan dan ketercapaian program tersebut (penyediaan dana, sarana, media, dan yang lainnya). Kedua, apakah tersedia tenaga pengajar yang berkompeten atau mempunyai latar belakang pendidikan bahasa Inggris serta memiliki pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan bahasa. Ketiga, apakah warga sekolah juga mendukung pelaksanaan program bahasa Inggris, dalam hal ini guru-guru lain yang tidak mengajarkan bahasa Inggris. Hal ini dibutuhkan
karena
dalam
prosesnya
diperlukan
pembiasaan-pembiasaan
31
pemakaian bahasa bahasa Inggris dalam konteks sekolah. Pemikiran ini perlu dipertimbangkan secara matang sebelum memutuskan pelaksanaan program bahasa Inggris ini sehingga dapat berkesinambungan serta tidak terkesan seadanya. Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya, di samping merupakan aktivitas yang selalu dilakukan sepanjang hayatnya. Belajar juga merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui
pelatihan-pelatihan atau
pengalaman-pengalaman. Dengan demikian, belajar dapat membawa perubahan bagi si pembelajar, baik perubahan pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Dengan perubahan-perubahan tersebut, tentunya si pelaku juga akan terbantu dalam memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Baharuddin, 2007). Dalam hal ini belajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku. Hal ini berarti bahwa hasil belajar hanya dapat diamati dari tingkah laku, yaitu adanya perubahan tingkah laku, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil. Oleh karena tanpa mengamati tingkah laku hasil belajar, tidak akan dapat diketahui ada tidaknya hasil belajar.
2.2 Konsep Secara leksikal, “konsep” diartikan sebagai „objek, proses apa yang akan digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain‟ (Alam,2002:8). Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konsep diperlukan untuk memahami
32
suatu hal, keadaan, ataupun benda yang dijadikan objek penelitian. Dalam konteks implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar, beberapa konsep dijelaskan untuk memahami hal-hal yang bersifat khas tentang pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar. Konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah (1)
kebijakan pendidikan tentang
pembelajaran, (2) pembelajaran bahasa Inggris, (3) sekolah dasar, dan (4) kajian budaya.
2.2.1 Kebijakan Pendidikan tentang Pembelajaran Kebijakan pembelajaran merupakan kebijakan publik (public policy) dalam pendidikan yang menyangkut kepentingan publik (masyarakat) dalam pelaksanaan pendidikan. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Adanya entitas pembelajaran dan kebijakan (publik) tersebut di Indonesia, selalu terkait dengan proses pemerintahan di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), yakni di tingkat kabupaten/kota, dalam hal ini Kota Denpasar, ada di tangan Dinas Pendidikan (Diknas). Kebijakan adalah bentuk intervensi sosial, kemudian setelah isi dasar kebijakan (policy decision) diputuskan, persoalan yang segera menghadang perumus
kebijakan
adalah
memastikan
agar
keputusan
kebijakan
bisa
33
dilaksanakan serta dapat mengatasi masalah yang ingin diatasi. Kebijakan dirancang sebagai tawaran jawaban terhadap permasalahan yang terjadi untuk bisa menghasilkan efek sosial yang dikehendaki. Pandangan sebagai bentuk intervensi sosial dikembangkan dari pemikiran normatif yang menyepakati bahwa kebijakan bukan sekadar sebagai sistem tempat aspirasi (tuntunan dan dukungan) diartikulasikan oleh faktor-faktor kebijakan menjadi sebuah keputusan kebijakan tetapi sebagai bentuk aktivitas birokrasi pemerintahan. Kebijakan pembelajaran secara sistemik terdiri atas masukan, proses, dan output. Di dalamnya termasuk guru dan murid/pelajar serta proses belajar. Belajar memiliki arti berusaha untuk memeroleh kepandaian atau ilmu. Dengan kata lain, belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu. Usaha untuk mencapai kepandaian atau ilmu merupakan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya mendapatkan ilmu
atau kepandaian
yang
tidak dimiliki
sebelumnya. Ahmadi (2001: 9) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pendidikan memberikan batasan tentang pengertian dan definisi pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa yang dilaksanakan secara disengaja, bertanggung jawab, dan dilakukan secara terusmenerus. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dikatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya untuk
34
kepentingan masyarakat bangsa dan negara. Tugas utama seorang pengajar atau guru adalah memudahkan pembelajaran para pelajar. Untuk memenuhi tugas ini, pengajar atau guru bukan saja harus dapat menyediakan suasana pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, tetapi juga dapat menciptakan pengajaran yang berhasil dan berkesan. Di samping itu, seorang pengajar atau guru harus mampu mewujudkan suasana pembelajaran yang dapat merangsang minat pembelajar untuk belajar serta senantiasa memikirkan keadaan dan keperluan mereka. Dalam proses belajar-mengajar, guru sering berhadapan dengan pelajarpelajar yang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini memerlukan kemampuan guru dalam menentukan strategi pengajaran dan pembelajaran. Hal ini berarti, guru boleh menentukan pendekatan, memilih metode, serta menetapkan teknik-teknik tertentu yang sesuai dengan perkembangan dan kemampuan pelajar. Strategi yang dipilih itu, selain berpotensi dapat merangsang pelajar secara aktif, juga harus mampu menarik hati pelajar serta dapat menghasilkan pembelajaran yang bermakna. Dalam merancang bahan ajar yang berkesan dan bermakna untuk para pelajar, guru haruslah memikirkan terlebih dahulu metode dan teknik yang akan digunakan. Pemilihan strategi secara tepat akan mampu menjamin kelancaran serta keberhasilan penyampaian subjek atau bahan ajar. Penggunaan metode dan teknik mengajar yang bervariasi membuat pengajaran itu menarik dan memberikan ruang bagi pembelajar terlibat secara aktif sepanjang proses belajarmengajar tanpa merasa jemu dan bosan. Dalam pengajaran dan pembelajaran, terdapat beberapa metode dan teknik yang dapat digunakan oleh guru. Oleh
35
karena itu, pemilihan metode dan teknik perlu dilakukan secara hati-hati supaya cara-cara ini tidak menghalangi guru dalam melaksanakan proses pembentukan konsep-konsep secara mudah dan berkesan serta dapat mendorong pembelajar mempelajari sesuatu melalui pengalaman dan percobaan. Selanjutnya, dari segi penggunaan teknik mengajar, guru boleh menggunakan teknik yang dipikirkan seperti teknik menerangkan, teknik mengkaji, teknik menyelesaikan masalah, teknik bercerita, dan teknik berdiskusi. Penggunaan contoh-contoh yang bermakna akan membantu pembelajar dalam memahami materi pengajaran dan pembelajaran. Biasanya seorang guru menerangkan ide-ide yang kompleks kepada pembelajar melalui contoh-contoh dan ilustrasi. Ide yang abstrak dan konsepkonsep yang baru dan susah, lebih mudah dipahami apabila guru menggunakan contoh-contoh dengan ilutrasi yang mudah dan konkret. Misalnya, dalam bentuk lisan, yakni dengan mengemukakan analogi, bercerita, mengemukakan metafora, dan sebagainya. Contoh-contoh bisa juga ditunjukkan dalam bentuk visual. Pada saat ini, di sebagian besar negara di kawasan Asia, jutaan anak di tingkat sekolah dasar mengikuti pendidikan bahasa Inggris. Pengajaran bahasa Inggris pada tingkat ini telah terselenggara beberapa tahun dan berbagai usaha untuk perbaikan pengajarannya telah dilakukan agar tercapainya hasil yang maksimal (Grassick, 2007:8). Pengajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar cenderung berkembang dengan cepat. Hal ini merupakan fenomena baru sekaligus merupakan suatu tantangan dan harapan bagi jutaan pembelajar usia muda untuk mendapatkan suatu model pengajaran bahasa Inggris yang efektif dan
36
efisien sesuai dengan perkembangan informasi dan teknologi pada zaman posmodern ini. Dalam kaitan ini The British Council telah berbuat banyak dalam berbagai proyek untuk meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Inggris pada sekolah dasar di sembilan negara kawasan Asia Timur, seperti Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Pada Maret 2007, sekitar 55 ahli pengajaran bahasa Inggris dari kementerian pendidikan dan lembaga pendidikan lainnya berkumpul di Vietnam. Mereka mengadakan seminar dalam rangka memberikan kesempatan bagi peserta menyampaikan beberapa masalah berkenaan dengan pengajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar serta saling tukar pendapat mengenai berbagai masalah yang muncul dalam penyelenggaraan pengajaran bahasa Inggris. Pengajaran bahasa Inggris pada usia muda pada pendidikan formal merupakan fenomena baru pada era global ini. Sebuah survai yang dilakukan oleh kedutaan Inggris menunjukkan bahwa sebagian besar negara yang memberikan pengajaran bahasa Inggris pada usia muda dimulai pada awal 1900-an. Pada mulanya kebanyakan negara memberikan pendidikan bahasa Inggris sebagai suatu percobaan, tetapi kemudian pengajaran bahasa Inggris menjadi lebih luas di kebanyakan negara (Graddol, 2006:88). Hampir pada kebanyakan sekolah di kawasan Asia, penyelenggaraan pengajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar tidak hanya untuk mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, tetapi pengajaran bahasa Inggris juga merupakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk diajarkan sebagai
37
bahasa pengantar mata pelajaran lain, seperti: matematika, biologi, dan mata pelajaran lainnya. Dalam kaitan ini, Graddol (2006:89) mengatakan bahwa pengajaran bahasa Inggris pada usia muda (English for young learners) tidak hanya merupakan peroyek pendidikan, tetapi merupakan tujuan yang lebih luas, yakni mencakup kepentingan politik dan ekonomi seperti dikatakan oleh pejabat senior Korea pada Institut Kurikulum dan Evaluasi Pendidikan bahwa pendidikan bahasa Inggris akan memperbaiki daya saing bangsa. Banyak argumentasi para pendidik untuk memberikan pengajaran bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa mempelajari bahasa pada usia muda adalah lebih baik (the earlier the better). Prinsip ini didasarkan atas beberapa penelitian pada pemerolehan bahasa pertama (L1) oleh seorang anak bilingual yang belajar dua bahasa. 2.2.2 Pembelajaran Bahasa Inggris Perubahan status bahasa Inggris sebagai bahasa internasional sangat berpengaruh terhadap pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Fenomena kehidupan yang semakin mengglobal yang terjadi di kawasan Asia menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa yang dipakai oleh kebanyakan negara di kawasan ini. Bahkan bahasa Inggris mempunyai peran yang sangat besar dalam pengembangan budaya daerah (Herawati, 1998). Oleh karena menguasai lebih dari satu bahasa, terutama bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, sangat diperlukan dalam zaman posmodern ini. Demikian pula kemajuan di bidang ekonomi dan pendidikan memerlukan komunikasi yang lebih luas, terutama jika ingin bekerja sama dengan negara lain. Oleh karena semua hal ini memerlukan
38
bahasa yang mempunyai status internasional. Perpindahan penduduk dengan berbagai tujuan ke negara lain akan mempercepat keinginan seseorang untuk mempelajari lebih dari satu bahasa khususnya bahasa yang bertaraf internasional. Dalam menyikapi perkembangan pendidikan yang semakin luas dan kerja sama antara negara, khususnya kerja sama pendidikan di kawasan Asia, pemerintah telah mengantisipasinya dengan program sekolah internasional yakni dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab V Ayat 3 yang mengisyaratkan terbentuknya sekolah bertaraf internasional. Di sekolah bertaraf international itu siswa SMA belajar mata pelajaran tertentu dengan bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Kebijakan pemerintah ini sudah tentu membawa dampak terhadap kondisi proses belajarmengajar siswa, terutama dalam meningkatkan kemampuan siswa untuk menguasai bahasa Inggris. Dalam hal ini Mckay (2004) mengatakan bahwa bahasa Inggris sebagai bahasa internasional tidak disebabkan oleh jumlah pemakainya. Jikalau ukurannya jumlah pemakai, bahasa Cinalah yang pantas disebut bahasa internasional, tetapi kenyataannya tidak demikian. Walaupun digunakan oleh lebih dari satu milyar orang, bahasa Cina hanya dipakai sebagai bahasa pertama oleh penduduknya. Hal ini berarti sangat sedikit orang yang memakai bahasa Cina sebagai bahasa kedua ataupun sebagai bahasa asing. Namun, sangat berbeda dengan bahasa Inggris yang banyak dipakai oleh penduduk dunia sebagai bahasa kedua ataupun bahasa asing. Hal ini berarti bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang
39
digunakan oleh berbagai negara dalam berkomunikasi dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan (Smith, 1976:17). Pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak merupakan fenomena baru dalam dunia posmodern ini. Banyak negara di kawasan Eropa dan Amerika serta kawasan Asia memberikan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Pembelajaran bahasa Inggris untuk sekolah dasar didasari suatu pendapat bahwa belajar bahasa asing atau bahasa kedua akan lebih baik apabila dimulai lebih awal (Hammerly, 1982). Anggapan bahwa belajar bahasa asing pada usia muda lebih baik daripada pembelajar dewasa, mendorong para ahli pengajaran bahasa untuk memberikan bahasa Inggris lebih awal karena lebih mudah menarik perhatian dan minat anak-anak daripada orang dewasa. Dalam hal ini sebuah survai yang dilakukan oleh The British Council tahun 1999 menunjukkan bahwa kebanyakan negara yang memulai pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar telah memberikan inovasi serta memberikan perhatian khusus tentang pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar pada tahun 1990-an. Ada beberapa pendekatan yang tampaknya dijadikan pegangan oleh para pakar yang menyetujui bahasa Inggris menjadi muatan lokal di sekolah dasar, yakni (1) theory of language acquisition devices (LAD), (2) hipotesis umur kritis (critical age hypothesis), dan (3) teori afektif (affective filter hypothesis). Teori language acquisition device menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai sarana untuk belajar bahasa yang disebut ”language acquisition device” (LAD). Hal ini merupakan kemampuan alamiah yang dimiliki oleh setiap orang sejak lahir. Lingkungan atau pengajaran hanyalah pemicu yang mengaktifkan alat ini.
40
Menurut teori ini, belajar bahasa asing tidak jauh berbeda dengan belajar bahasa pertama. Oleh karena kemampuan belajar alamiah atau LAD inilah menyebabkan setiap orang dapat belajar bahasa apa saja dan kapan saja tanpa mengalami kesukaran sehingga pengajaran bahasa Inggris dapat dilakukan mulai sekolah dasar. Dalam hipotesis umur kritis (critical age hypothesis), Krashen (1982: 72) mengatakan bahwa secara biologis elastisitas otak anak masih tinggi sehingga masih sangat mudah untuk menguasai bahasa apa pun. Akan tetapi, elastisitas ini akan berhenti setelah anak memasuki pubertas. Oleh karena sejak itu dalam otak anak terjadi proses leteralisasi (penyebelahan) fungsi, yakni saraf yang berkaitan dengan proses penguasaan bahasa ada di bagian kiri dan kanan otak. Kemudian, proses belajar bahasa dipusatkan di belahan kiri saja. Sejak proses ini terjadi perkembangan bahasa anak cenderung beku. Keterampilan dasar berbahasa yang belum dikuasai pada masa itu, terutama keterampilan mengucapkan akan cenderung tidak sempurna karena elastisitas alat ucap. Dengan kata lain, secara singkat, teori umur kritis ini mengatakan bahwa (1) penguasaan bahasa itu tumbuh sejajar dengan pertumbuhan, dan (2) sesudah masa puber penguasaan bahasa secara natural sudah tidak bisa lagi (Dardjowidjojo, 1986). Agar kemampuan alat ucap itu berkembang secara maksimal, teori Lennerbeg ini tampaknya dapat dijadikan dasar untuk mendukung dimulainya pengajaran bahasa Inggris pada usia muda, yakni sebelum terjadi penyebelahan otak. Dengan demikian, diputuskannya pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sebagai muatan lokal merupakan keputusan yang sangat tepat.
41
Teori lain yang mendukung pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar adalah teori afektif. Menurut Krashen (1982), proses belajar bahasa terjadi karena adanya input (masukan), baik tertulis maupun lisan. Namun, tidak semua input dapat diproses oleh otak. Agar input ini diproses oleh otak, input harus menjadi intake. Hal ini terjadi apabila kondisi afektif anak baik, artinya anak tidak takut, tidak gugup, atau tidak tegang. Pada usia muda anak pada umumnya tidak takut membuat kehilafan, tidak malu, tidak takut ditertawakan, dan tidak tegang. Dalam suasana semacam ini input yang terpahami dapat diterima dengan baik sehingga dapat dipahami dengan mudah. Faktor afektif ini tampaknya juga mendukung para pakar untuk menyetujui bahasa Inggris diajarkan sejak di sekolah dasar. Dalam psikologi pendidikan dikenal adanya teori perkembangan. Model pembelajaran yang cukup dikenal adalah pendekatan pengembangan yang sering dihubungkan dengan Jean Piaget (1896-1980). Dalam model Piaget (dalam Orlich dkk, 1998), dikenal adanya empat tahapan pengembangan, yaitu sensorimotor stage, (lahir sampai usia 2 tahun); preoperational stage (2-8 tahun); concrete operational stage (8-11 tahun); dan formal stage (11-15 tahun ke atas). Jadi apabila anak sekolah dasar belajar bahasa mulai kelas tiga atau empat mereka sedang dalam tahapan concrete operational stage. Oleh karena itu, mereka memerlukan banyak ilustrasi, model, gambar, dan kegiatan-kegiatan lain. Menurut Curtain dan Pesola (1994), anak-anak akan belajar bahasa asing dengan baik apabila proses belajar terjadi dalam konteks yang komunikatif dan bermakna baginya. Konteks ini meliputi situasi sosial dan kultural, permainan, nyanyian, dongeng, serta pengalaman-pengalaman kesenian, kerajinan, dan olah
42
raga. Dalam hal ini, tujuan orang mempelajari bahasa agar mampu menggunakan bahasa yang sedang dipelajari dalam berkomunikasi. Selanjutnya dalam mempelajari suatu bahasa, ada empat keterampilan, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang harus dikembangkan dalam mempelajari suatu bahasa. Oleh karena itu, dalam suatu proses belajar-mengajar guru dan siswa harus mengembangkan keterampilan tersebut secara efektif sehingga si pembelajar
dapat
menggunakan
bahasa
yang
mereka
pelajari
dalam
berkomunikasi. Media pembelajaran adalah semua alat bantu atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar, yakni dengan maksud menyampaikan pesan pembelajaran dari guru ataupun sumber lain kepada anak didik. Pesan yang disampaikan melalui media, dalam bentuk isi atau materi pengajaran itu harus dapat diterima oleh anak didik, yakni dengan menggunakan salah satu ataupun gabungan beberapa alat indera mereka. Pada umumnya keberadaan media muncul karena keterbatasan kata-kata, waktu, ruang, dan ukuran. Di samping itu, ditambahkan bahwa media pembelajaran berfungsi sebagai sarana yang mampu menyampaikan pesan sekaligus mempermudah penerima pesan dalam memahami isi pesan. Kehadiran media pembelajaran sebagai media antara guru sebagai pengirim informasi dan penerima informasi harus komunikatif, khususnya untuk objek secara visualisasi. Dalam hal ini masing-masing media mempunyai keistimewaan menurut karakteristik siswa. Pemilihan media yang sesuai dengan karakteristik siswa akan lebih membantu keberhasilan pengajar dalam pembelajaran.
43
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses belajar. Para guru dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang disediakan oleh sekolah. Oleh karena tidak tertutup kemungkinan bahwa alat-alat tersebut sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Guru sekurang-kurangnya dapat menggunakan alat yang murah dan efisien meskipun sederhana dan bersahaja, tetapi merupakan keharusan dalam upaya mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan. Di samping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, guru juga dituntut agar dapat mengembangkan keterampilan membuat media pengajaran yang akan digunakannya apabila media tersebut belum tersedia. Untuk itu, guru harus memiliki pengetahuan dan pemahamaan yang cukup tentang media pengajaran. Media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memeroleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar-mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Media sering diganti dengan istilah mediator yang berarti media menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar siswa dan isi pelajaran. Di samping itu, mediator dapat pula mencerminkan pengertian bahwa setiap sistem pengajaran yang melakukan peran mediasi, yakni dari guru sampai pada peralatan
44
paling canggih, dapat disebut media. Ringkasnya, media adalah alat-alat yang dapat menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pengajaran. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa media merupakan alat bantu, yakni sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Jadi, televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahanbahan cetakan, dan sejenisnya adalah media komunikasi. Pelajaran dapat menyenangkan apabila guru dapat memadukan antara kategori dan benda-benda yang ada (Halliwell, 1992). Dalam suatu proses belajar-mengajar, dua unsur yang amat penting adalah metode mengajar dan media pengajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah satu metode mengajar tertentu akan memengaruhi jenis media pengajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media, seperti tujuan pengajaran, jenis tugas, dan respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pengajaran berlangsung, dan konteks pembelajaran, termasuk karakteristik siswa. Manfaat positif penggunaan media sebagai bagian integral pengajaran di kelas adalah sebagai berikut. (1) Penyampaian pelajaran menjadi lebih baku. Setiap pembelajar yang melihat atau mendengar penyajian melalui media menerima pesan yang sama. (2) Pengajaran bisa lebih menarik. Media dapat diasosiasikan sebagai penarik perhatian dan membuat siswa tetap terjaga dan memerhatikan. (3) Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan diterapkannya teori belajar dan prinsip-prinsip psikologis yang diterima dalam hal partisipasi siswa, umpan balik, dan penguatan. (4) Lama waktu pengajaran yang diperlukan
45
dapat dipersingkat untuk mengantarkan pesan-pesan dan isi pelajaran dalam jumlah yang cukup banyak dan kemungkinannya dapat diserap oleh siswa. (5). Kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan (6) Pengajaran dapat diberikan kapan dan di mana diinginkan. (7) Sikap positif siswa terhadap apa yang mereka pelajari dan terhadap proses belajar dapat ditingkatkan. (8) Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dalam proses belajar-mengajar. 2.2.3 Sekolah Dasar Sekolah
dasar
dalam
Undang-undang
Nomor
20
Tahun
2003
dikategorikan pendidikan dasar. Pada Pasal 17 disebutkan bahwa (1) pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah; (2) pendidikan dasar dapat berbentuk sekolah dasar, madrasah ibtidayah, atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah atau bentuk lain yang sederajat; (3) ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dan 2 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan penjelasan tersebut, pendidikan dasar terutama adalah sekolah dasar merupakan lembaga pendidikan pertama bagi anak untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Selanjutnya yang disebut sebagai pembelajar muda usia di sini adalah siswa sekolah dasar, yakni berusia antara 6-12 tahun. Mereka dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu younger group (6-8 tahun) dan older group (9-12 tahun). Menurut jenjang kelasnya, mereka bisa disebut anak-anak lower classess, yaitu anak kelas satu, dua, dan tiga serta upper classess siswa kelas empat, lima, dan enam. Sementara itu, Scott dan Ytreberg (1990) membagi mereka dalam
46
kelompok level one atau tingkat pemula (5-7 tahun) dan level two (8-10 tahun), kelompok level two juga biasa disebut beginners jika mereka baru mulai belajar bahasa Inggris pada usia itu. Beberapa hal mengenai siswa usia muda yang belajar bahasa Inggris, yaitu yang berkaitan dengan pengelompokan berdasarkan usia, karakteristik siswa EYL, beberapa faktor yang memengaruhi pembelajaran EYL, dan kegiatan yang disenangi anak-anak. Dalam membicarakan pembelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak atau yang biasa disebut EYL (english for young learners), perlu dipahami siapa yang dimaksud dengan siswa EYL. Siswa EYL adalah pembelajar usia muda yang belajar bahasa Inggris. Mereka adalah anak-anak usia sekolah dasar yang mendapatkan pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolahnya. Secara umum mereka adalah pembelajar pemula, tetapi perlu diingat bahwa seorang guru EYL tidak dapat menyamaratakan mereka dengan memberikan tugas dan kegiatan belajar yang sama. Kemampuan dan keterampilan anak yang berbeda usia dalam pembelajaran bahasa Inggris tentu juga berbeda. Apa yang dapat diserap dan dilakukan oleh pemula berusia tujuh tahun berbeda dengan apa yang dilakukan oleh siswa berusia sebelas tahun. Selain perkembangan mereka tidak sama, beberapa dari mereka ada yang motivasi belajarnya sangat tinggi dan berkembang lebih cepat, di samping ada juga perkembangannya lebih lambat dibandingkan dengan temannya. Saat ini banyak anak pre-school atau siswa taman kanak-kanak yang juga belajar bahasa Inggris sehingga mereka dapat dikelompokkan dalam kelompok sendiri, yaitu kelompok very young learners. Dalam pembelajaran bahasa Inggris, kematangan siswa di
47
kelas tidak hanya ditentukan oleh usia atau jenjang kelas saja, tetapi juga oleh banyak faktor lain, seperti lingkungan (perkotaan atau pedesaan), budaya setempat, minat, dan pengaruh orangtua. Dengan demikian, program dan jenis kegiatan yang dilaksanakan oleh guru banyak ditentukan oleh pemahaman mereka terhadap lingkungan, sikap, minat, dan latar belakang anak. Jika banyak hal direkomendasikan untuk program EYL, maka guru dapat menggunakannya sebagai bahan pertimbangan atau pedoman dan bukan sebagai peraturan yang tidak bisa ditawar. Pada dasarnya, yang perlu diingat sebagai salah satu tujuan penting dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, yakni menumbuhkan minat anak dalam belajar bahasa tersebut. Untuk dapat mencapai tujuan itu, perlu dipahami karakteristik siswa sekolah dasar sehingga bisa memilih metode dan bahan pembelajaran yang tepat bagi mereka. Oleh karena itu, sebelum seorang masuk ke dalam kelas EYL, hendaknya sudah memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang siswa yang akan dihadapi serta memiliki keterampilan mengajar bahasa Inggris di sekolah dasar. Kelas EYL bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi anak, tetapi bisa juga menjadi pengalaman yang menakutkan bagi mereka. Sejalan dengan laju pembangunan, usaha belajar-mengajar bahasa asing memperoleh arti yang semakin penting. Mengingat bahasa asing, khususnya bahasa Inggris cenderung dipakai dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tantangan itu patut dijawab oleh para pengajar bahasa asing dengan memperbaharui dan memperluas wawasan di bidang didaktik dan metodik
48
sehingga anggapan bahwa bahasa asing hanya sebagai beban dan pelajaran yang ditakuti serta membosankan dapat diatasi. Masalah yang juga sering menghantui para pembelajar bahasa asing adalah rasa takut untuk membuat kesalahan sehingga menimbulkan rasa takut untuk berbicara dan mengemukakan pendapatnya dalam bahasa asing yang mereka pelajari. Untuk itu diperlukan metode yang dapat mengantisipasi masalah-masalah tersebut. Pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang diterapkan secara luas di Indonesia saat ini adalah pendekatan komunikatif. Pendekatan ini diharapkan dapat memotivasi pembelajar untuk mempraktikkan bahasa yang dipelajari. Misalnya, berdialog/berinteraksi dalam kelompok-kelompok kecil dengan memanfaatkan materi yang tersedia, baik dalam buku teks maupun dari sumber yang lain. Untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa asing yang komunikatif diperlukan perubahan didaktik metodik yang mengarah pada interaksi sosial serta mengajak pembelajar untuk terlibat dalam proses belajar-mengajar. Proses belajar-mengajar seperti di atas lebih mengarah pada pembelajaran yang bermakna (contextual teaching and learning) atau CBSA (cara belajar siswa aktif). Dalam kaitan ini Raka Joni (1984:17) mengemukan bahwa proses belajarmengajar yang mengarah pada CBSA memiliki indikator sebagai berikut. (1) Sejauh mana siswa berani memprakarsai untuk mengambil inisiatif tanpa secara eksplisit diminta oleh guru, misalnya dalam menentukan langkah langkah belajar, mencari sumber bacaan, dan yang lainnya. (2) Sejauh mana siswa melibatkan diri secara mental dalam kegiatan belajar yang sedang berlangsung. (3) Sejauh mana
49
guru dapat mengubah kedudukannya dari seorang yang memimpin dan mengatur segalanya menjadi seorang pendamping (fasilitator) yang siap membantu siswa, sejauh hal itu dibutuhkan. (4) Sejauh mana siswa dapat belajar langsung lewat pengalamannya dalam proses belajar-mengajar. (5) Sejauh mana bentuk dan alat kegiatan belajar-mengajar bervariasi, dan (6) Sejauh mana tingkat kualitas interaksi antarsiswa, baik intelektual maupun emosional. Keenam indikator di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menciptakan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa asing, sehingga tercipta proses belajar-mengajar yang efektif dan efisien sesuai dengan harapan pengajar dan pembelajar. Sejak tahun 80-an pengajaran bahasa asing yang mengutamakan interaksi semakin mendapat perhatian karena semua kegiatan belajar-mengajar mengarah kepada interaksi antarsiswa, termasuk interaksi siswa dengan guru sehingga mengarah pada komunikasi yang sesuai dengan minat dan keperluan siswa. Dengan menggunakan bentuk dan jenis kegiatan yang mengarah pada interaksi sosial, pembelajar bahasa asing akan belajar dengan perasaan senang dan gembira sehingga rasa takut dan bosan yang selama ini dirasakan para pembelajar bahasa asing akan hilang dengan sendirinya. Bagaimana kegiatan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa asing itu dapat dijalankan secara efektif sangat ditentukan oleh guru sebagai motivator dan fasilitatornya. Pengajar hendaknya dapat menciptakan iklim pengajaran bahasa dalam bentuk interaksi yang komunikatif dalam kelas. Selain itu, perlu diingat bahwa kelas tempat pengajaran bahasa itu disajikan, sudah merupakan konteks sosial (the classroom as a social context) yang harus dimanfaatkan dalam proses
50
interaksi belajar-mengajar bahasa asing tersebut. Misalnya, bahasa asing tersebut digunakan untuk memberikan salam kepada siswa, menyampaikan instruksiinstruksi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, ataupun menjawab pertanyaan. Pola kalimat yang digunakan tidak perlu terlalu kompleks, tetapi hendaknya mampu menyampaikan makna pesan yang terkandung di dalamnya (Metty, 1990:18). Dalam hal ini dengan menciptakan suasana hubungan interaksi sosial di dalam kelas, yakni mencerminkan sikap guru sebagai fasilitator proses belajarmengajar dan semakin jauh dari sikap guru yang mengarah pada tindakan otoriter sehingga perasaan takut dan malu untuk mengutarakan pendapat dan pertanyaan dengan menggunakan bahasa asing yang diajarkan secara spontanitas akan hilang. Mereka seolah-olah terlibat langsung kapan dan di mana bahasa asing itu digunakan. Guru menerangkan hanya hal-hal yang penting untuk diterangkan. Biasanya pembelajar akan berbicara atau belajar untuk berbicara kalau pengajar sedang tidak berbicara. Jadi, guru perlu berusaha menahan diri, menerangkan seperlunya saja, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih banyak berperan aktif. Hanya hal-hal yang mutlak diperlukan yang harus diterangkan. Dalam hal ini soal yang tersusun baik dan jelas tujuannya akan mudah dipahami apabila siswa bertanya dan meminta penjelasan terhadap soal tersebut, pada saat itu barulah guru menerangkannya. Jadi, pembelajaran bahasa asing akan berlangsung efektif jika para siswa tidak pasif dan tidak sekadar belajar menghafal. Akan tetapi mereka aktif dan kreatif dalam mencerna suatu materi pelajaran yang disajikan, di samping mampu
51
mengalihkannya ke dalam konteks sosial yang lain. Selain itu, guru hendaknya tidak selalu berharap bahwa pembelajar selalu siap dengan jawaban. Apabila soalsoal yang diajukan cukup jelas dan sesuai dengan tingkat kemampuan pembelajar, pasti pengajar akan mendapatkan jawaban walaupun terkadang agak lama. Oleh karena itu, perlu ditunggu sebentar, tidak langsung dialihkan kepada pembelajar yang lain jika ada pembelajar yang tidak lancar menjawab. Kebebasan berpikir mereka perlu dikembangkan untuk menemukan jawabannya. Apabila terjadi kesalahan di antara jawaban mereka perlu didiskusikan di dalam kelas sehingga mereka dapat mengoreksi kesalahannya sendiri dan menemukan jawabannya. Tindakan tersebut dimaksudkan agar guru tidak terkesan memonopoli adeganadegan di dalam kelas, di samping seorang siswa akan merasa bangga jika ia merasa mampu menemukan jawabannya sendiri. Oleh karena menemukan jawaban sendiri akan lebih mudah diingat daripada hasil di-drill oleh orang lain. Dalam hal ini, menoleransi kesalahan bukan berarti pengajar mendiamkan saja kesalahan yang dibuat oleh pembelajar, melainkan membicarakan dan mengoreksinya sesuai dengan tujuan latihan. Koreksi kesalahan hendaknya sesuai dengan tujuan latihan terkait (Ekadewi, 1993:24). Misalnya, pada saat siswa memberikan jawaban dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang saling terkait, sebaiknya guru tidak memotong untuk mengoreksi. Oleh karena hal ini akan mengacaukan konsentrasi siswa atas apa yang akan disampaikannya, dalam kaitan ini sebaiknya kesalahan tidak dikomentari. Kesalahan adalah normal, tidak seorang pun berniat membuatnya. Suatu jawaban walaupun salah adalah hasil suatu usaha. Di samping itu, kesalahan juga mempunyai arti diagnosis bagi guru.
52
Oleh karena dengan menganalisis suatu kesalahan guru dapat menemukan letak kelemahan dalam penguasaan materi. Pemberian pujian, bantuan, dan penghargaan atas usaha siswa biasanya mempertebal rasa percaya diri siswa, di samping meningkatkan saling percaya antara siswa dan guru. Sebaliknya, kritik dari pihak guru
yang berlebihan kadang-kadang lebih memungkinkan
mendatangkan rasa khawatir dan takut untuk membuat kesalahan ketika pembelajar akan mengemukakan pendapatnya sehingga kreativitas mereka terganggu. Sebaiknya kritik semacam ini dihindari oleh para pengajar. Apabila pada diri pembelajar terdapat rasa khawatir dan takut salah dalam mengemukakan pendapatnya yang akhirnya dapat mengganggu konsenterasi dan kreativitasnya, maka proses interaksi sosial di dalam kelas akan terganggu sehingga harapan untuk berinteraksi dengan bahasa yang diajarkan sulit tercapai. Pengajar dan pembelajar sebaiknya berusaha menggunakan bahasa asing yang dipelajari. Penggunaan bahasa asing yang diajarkan bertujuan agar siswa dapat merasakan bahwa keterbatasan kosa kata bukanlah hambatan untuk bekomunikasi. Di samping itu, agar siswa berlatih untuk berpikir dan berbicara dengan bahasa yang mereka pelajari. Hal ini akan mempersiapkan mereka agar dapat berinteraksi wajar dalam situasi komunikasi yang riil. Sehubungan dengan hal ini Littlewood (1983:17) menyatakan seperti di bawah ini. “The learner’s ultimate objective is to take part in communication with another. Their motivation to learn is more likely to be sustained if they can see how their classroom learning is reacted to his objective and helps to achieve it with increasing success”. Jadi motivasi belajar seseorang akan dapat dikembangkan dan dipertahankan apabila pengajaran dalam kelas itu benar-benar memenuhi kebutuhan mereka,
53
yakni kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajari. Dengan demikian mereka akan merasa bangga karena dapat berinteraksi dengan bahasa dipelajari, sehingga dorongan untuk belajar bahasa asing akan semakin meningkat. Dalam hal ini motivasi bahkan merupakan penentu untuk mencapai keberhasilan belajar. Oleh karena itu, siswa perlu dimotivasi, baik terhadap mata pelajaran maupun terhadap materinya. Dalam kaitan ini J.S. Bruner (1978) seorang ahli psikologi pendidikan dan ahli psikologi belajar, mengemukakan bahwa motivasi merupakan salah satu dari empat tema pendidikan, di samping stuktur pengetahuan kesiapan (readiness) dan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Selanjutnya, menurut Bruner (dalam Dahar, 1988:119), pengalamanpengalaman pendidikan yang merangsang motivasi adalah pengalamanpengalaman tempat para siswa berpartisipasi secara aktif dalam menghadapi alamnya. Dengan timbulnya kebutuhan timbul pula keinginan seseorang untuk memenuhinya atau merealisasikannya dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini motivasi merupakan bentuk-bentuk yang ada dalam otak manusia yang berfungsi sebagai alat pendorong untuk melakukan sesuatu guna memenuhi kebutuhannya. Seorang guru yang baik akan berusaha mengidentifikasi kebutuhan siswanya sebagai titik tolak dalam menciptakan proses belajar-mengajar yang dapat menimbulkan, bahkan memperkuat motivasi belajar siswanya. Motivasi pada hakikatnya sebagai modal dasar dalam mencapai keberhasilan belajar. Fungsi pengajaran itu hendaknya ditunjukkan dengan jelas oleh guru sehingga para siswa sungguh-sungguh menyadari pentingnya atau makna dari sesuatu yang
54
dipelajarinya. Apabila pembelajar mengetahui pentingnya menguasai materi pelajaran bahasa asing yang dipelajari, mereka akan berusaha untuk mencapai apa yang dinginkan. Guru sebaiknya tidak meremehkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang sudah dikuasi sebelumnya oleh siswa. Seorang siswa akan senang untuk aktif berbicara jika ia merasa dapat menceritakan hal-hal yang sudah diketahuinya dalam percakapan di dalam kelas sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Bahkan pada situasi interaksi yang tidak terlalu formal terkadang seorang siswa lebih banyak aktif sehingga terjadilah komunikasi dalam arti yang sebenarnya antara siswa dengan siswa atau juga antara siswa dengan guru. Apabila memulai dengan suatu tema baru, guru seharusnya mengetahui sampai sejauh mana siswa mempunyai pengetahuan di bidang itu. Pengetahuan awal siswa diakomodasikan dan diaktifkan kembali. Oleh karena akan sia-sia usaha guru menerangkan suatu tema
baru
apabila
siswa
tidak
mempunyai
pengetahuan
dasar
untuk
menguasainya. Sebaliknya siswa akan cepat merasa bosan jika tidak mendapat tambahan pengetahuan. Kemampuan dasar untuk menguasai materi yang akan diajarkan sangat penting diketahui oleh para pengajar agar para pembelajar dengan mudah menerima materi yang akan disajikan. Apabila pembelajar belum memiliki pengetahuan dasar tentang materi yang akan diajarkan, sebaiknya para pengajar memberikan pemanasan materi yang lalu atau materi dasar yang dapat menunjang materi yang akan diterangkan. Dengan demikian, pembelajar akan lebih mudah memahami materi yang akan disajikan.
55
Tujuan pembahasan suatu materi perlu diketahui oleh siswa. Untuk menigkatkan semangat belajar ada baiknya jika siswa mengetahui arti dan tujuan pembahasan suatu materi. Jika siswa mengetahui perlunya materi tersebut, tentu rasa ingin tahu mereka akan lebih besar karena adanya rasa ingin tahu itulah yang akan menimbulkan daya tarik yang kuat. Oleh karena siklus yang dikenal dalam psikologi belajar adalah daya tarik, motivasi, dan keberhasilan daya tarik. Dalam kaitannya dengan perhatian dan minat terhadap materi pelajaran, Hardjono (1980:3) menegaskan bahwa perhatian merupakan salah satu persyaratan dasar untuk keberhasilan belajar. Oleh karena tanpa menaruh perhatian, siswa tidak akan mampu menyerap materi pengajaran dan tidak akan bisa memproduksinya secara kreatif. Perhatian siswa di kelas sebagian besar tergantung dari besarnya minat terhadap materi pelajaran. Adapun minat dapat timbul disebabkan interaksi sosial dalam pembelajaran bahasa asing yang ditentukan oleh dua faktor, yaitu (1) dorongan untuk memeroleh pengetahuan, (2) sikap emosional positif terhadap sesuatu. Untuk itu, tujuan pembahasan suatu materi baru perlu diterangkan pada awal pembahasan suatu materi agar pembelajar mengetahui pentingnya materi yang akan dipelajari. Apabila mereka merasa membutuhkan materi yang akan dipelajari, maka dorongan untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan tersebut akan disikapi dengan emosional positif, yakni dengan aktivitas praktis dan efektif sehingga tujuan pembelajaran bahasa asing mudah tercapai. Dalam hal ini, sesekali guru perlu juga meminta umpan balik dari para siswa yang diperlukan sebagai bahan evaluasi atas pengajarannya yang sudah
56
diberikan. Namun, hal itu jangan sampai membuat siswa merasakan bahwa feedback itu tidak diperhatikan. Demikian pula hendaknya kritik-kritik yang relevan dapat dijadikan acuan dalam mengadakan perubahan ke arah perbaikan sehingga menimbulkan rasa saling percaya, saling membutuhkan, dan saling membantu yang tentunya akan menambah kesenangan belajar dan mengajar. Suatu
prasyarat
untuk
mencapai
keberhasilan
belajar-mengajar
adalah
keterbukaan antara pengajar sebagai sutradara dan pembelajar sebagai aktor. Apabila keterbukaan itu selalu dilakukan, maka masing-masing pihak, baik pengajar maupun pembelajar akan berusaha selalu meningkatkan kekurangankekurangan dan mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam proses pembelajaran bahasa asing. Aktivitas praktis dan efektif yang sesuai dengan harapan siswa adalah kegiatan yang melibatkan mereka secara langsung dalam pemakaian bahasa asing itu untuk berinteraksi sosial. Hal ini terlihat dari pengalaman sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya betapa bangganya seorang siswa yang baru memeroleh bahasa asing di sekolahnya apabila sudah mampu menyapa seorang turis asing serta berdialog singkat dengannya. Dari pengalaman itu terbukti betapa pentingnya kegiatan interaksi sosial dalam memotivasi seorang yang sedang belajar bahasa asing. Pengajaran bahasa asing tidak hanya menyangkut bahasa itu dan kemampuan menggunakannya, tetapi juga menyangkut sikap orang yang belajar dan mengajar, dalam arti sikap keterbukaan atau kesediaan berkomunikasi dengan orang lain yang bahasanya sedang dipelajari. Belajar bahasa secara komunikatif
57
berarti belajar menggunakan bahasa itu untuk berinteraksi dalam situasi yang nyata. Pengajaran bahasa asing yang memberikan kesempatan sebanyakbanyaknya dalam bentuk interaksi sosial dalam pengajaran bahasa akan lebih cepat mencapai tujuan akan hakikat bahasa itu sendiri, yakni sebagai alat komunikasi. 2.2.4 Kajian Budaya Konsep kajian budaya (cultural studies) di sini perlu dijelaskan karena secara umum keberadaan kajian budaya dalam penelitian ini terkait dengan studi kebijakan, penelitian pendidikan, dan studi lainnya, yakni paling tidak dari aspek judulnya potensial disalahartikan apabila tidak diberikan penegasan. Di samping itu, kajian budaya seharusnya ditekankan sebagai terjemahan dari kata bahwa Inggris cultural studies dan bukan dari study of culture atau kajian tentang (ke)budaya(an), lebih-lebih penelitian ini dilakukan di Bali yang dikenal memiliki sumber daya budaya yang signifikan. Kajian budaya, sebagaimana yang dikembangkan di Universitas Udayana, bersumber dari semangat yang dibangun di Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham, Inggris (Parimartha, 2007). Kajian budaya adalah suatu bidang studi yang memikat dan hangat di tengah-tengah kalangan progresif karena budaya telah menggantikan masyarakat dalam subjek telaahnya (Sardar dan Van Loon, 2001:3). Keberpihakan kajian budaya terhadap masyarakat terkait dengan upaya memperbaiki kondisi sosial budaya yang berkeadilan dan manusiawi sesuai dengan yang dirumuskan oleh Mazhab Frankfurt bahwa ilmu
58
pengetahuan dapat berfungsi sebagai pencerahan dan emansipatoris (Lubis, 2006:xi). Menurut Barker (2005: 515), kajian budaya mempelajari produksi dan penanaman peta-peta makna. Selanjutnya menurut Storey (2003:viii), kajian budaya adalah suatu formasi diskursif (language games). Istilah permainan bahasa ini diperkenalkan oleh Wittgenstein, yakni mengenai beberapa fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dalam kajiannya, kajian budaya mengadopsi hal-hal yang dibutuhkan dari semua disiplin ilmu, kemudian disesuaikan dengan tujuannya, bahkan melakukan hal yang dilarang oleh aturan-aturan ilmiah konvensional. Sehubungan dengan hal ini, Lubis (2006: 145) menjelaskan sebagai berikut. ”Karena itu, cultural studies bukan disiplin ilmiah, tetapi lebih merupakan upaya kolektif intelektual yang sungguh-sungguh dalam menggeluti banyak persoalan dari berbagai sudut pandang/perspektif teoretis, politik, dan kepentingan yang berbeda tentang budaya dalam arti yang luas. Di lingkungan universitas, cultural studies, sebagaimana Mazhab Frankfurt melakukan kajian transdisipliner/interdisipliner untuk mengkaji persilangan antara kebudayaan, masyarakat, politik, serta mengkritik fragmentasi akademik dan pendisiplinan yang sudah mapan. Cultural studies secara konsisten perhatiannya senantiasa berkaitan dengan masalah isu kekuasaan, politik, ideologi, serta kebutuhan akan perubahan sosial.” Fokus kajian budaya terletak pada persoalan bagaimana budaya dipraktikkan dan diciptakan atau bagaimana praktik budaya memungkinkan berbagai budaya dan kelas berjuang melawan dominasi kebudayaan. Selanjutnya, menurut Gray (Lubis, 2006:145), fokus kajian budaya adalah sebagai berikut. ”Cultural studies secara konsisten perhatiannya senantiasa berkaitan dengan masalah isu kekuasaan, politik, ideologi, serta kebutuhan akan perubahan sosial. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada keterkaitan cultural studies dengan jaringan dan kekuatan sosial politik di luar akademis. Bagi cultural studies, sebagaimana teori Kritis dan
59
Posmodernisme, pengetahuan bukan fenomena yang steril terhadap nilai, kepentingan, dan kuasa. Cultural studies mengakui sifat posisionalitasnya, yakni masalah ‟siapa yang mengatakan, tentang siapa, dengan cara apa dan untuk tujuan apa‟ menjadi perhatiannya.” Selanjutnya, mengacu pada pandangan Sardar dan Van Loon, beberapa karakteristik cultural studies menurut Lubis (2006:145-146) adalah sebagai berikut. 1) Cultural studies bertujuan meneliti/mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah mengungkapkan dimensi kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu memengaruhi berbagai bentuk kebudayaan (sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum, dan lain-lain) bandingkan dengan konsep kuasa dan pengetahuan, kuasa dan kebenaran pada Foucault, kuasa dan kepentingan pada Habermas). 2) Cultural studies tidak membahasakan kebudayaan yang terlepas dari konteks sosial dan politik, tetapi mengkaji masalah budaya dalam konteks sosial politik tempat masalah kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. 3) Dalam cultural studies, budaya dikaji baik dari aspek objek maupun lokasi tindakan yang selalu dalam tradisi kritis. Maksudnya, kajian itu tidak hanya bertujuan merumuskan teori-teori (intelektual), tetapi juga sebagai suatu tindakan (praksis) yang bersifat emansipatoris (bandingkan dengan teori Kritis Mazhab Frankfurt). 4) Cultural studies berupaya mendekonstruksi (membongkar, mendobrak) aturan-aturan dan pengotak-ngotakan ilmiah konvensional, lalu berupaya mendamaikan pengetahuan yang objektif dan subjektif (intuitif) serta yang universal dan lokal. Cultural studies bukan hanya memberikan penghargaan pada identitas bersama (yang plural), kepentingan bersama, tetapi mengakui saling keterkaitan antara dimensi subjek(tivitas) dan objek(tivitas) dalam penelitian. 5) Cultural studies tidak merasa harus steril dari nilai-nilai (tidak bebas nilai), tetapi melibatkan diri dengan nilai dan pertimbangan moral masyarakat modern dan tindakan politik dan konstruksi sosial. Dengan demikian, cultural studies bukan hanya bertujuan memahami realitas masyarakat atau budaya, tetapi mengubah struktur dominasi, struktur sosial budaya yang menindas, khususnya dalam masyarakat kapitalis industrial. Kajian budaya, yakni menurut Barker (2005: 6) sebagai suatu permainan bahasa, yaitu menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara kebudayaan dan
60
kajian budaya. Oleh karena itu, kajian budaya adalah sebuah formasi diskursif, yakni sekumpulan informasi atau gagasan, citra, dan praktik yang menyediakan tata cara untuk berbicara tentang bentuk-bentuk pengetahuan dan tingkah laku yang diasosiasikan dengan suatu topik. Kajian budaya terbentuk dari suatu cara berbicara yang teregulasi tentang objek-objek yang dibuatnya agar tampak dan menyatu di sekitar konsep, gagasan, dan persoalan-persoalan kunci. Kajian budaya juga memiliki momen untuk menampakkan dirinya meskipun gejala atau momen itu hanya bersifat sepotong atau keseluruhan sebagai gejala yang sedang berkembang. Kajian budaya sebagai ilmu yang bersifat multidisiplin tampaknya memiliki beberapa konsep, definisi, dan batasan keilmuan. Batasan yang dimaksud adalah sebagai berikut. (1) Kajian budaya adalah bidang interdisipliner yang secara selektif mengambil berbagai perspektif dari berbagai disiplin lain untuk meneliti hubungan-hubungan antara kebudayaan dan politik. (2) Kajian budaya tertarik pada segala macam praktik lembaga dan sistem klasifikasi yang memungkinkan ditanamkannya nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, kompetensi-kompetensi, rutinitas hidup, dan bentuk-bentuk perilaku khas yang menjadi kebiasaan pada suatu populasi. (3) Kajian budaya mengeksplorasi berbagai macam bentuk kekuasaan, termasuk gender, kelas, dan kolonialisme. (4) Kajian budaya bermaksud mempelajari bagaimana bentukbentuk kekuasaan itu saling berhubungan serta mengembangkan cara-cara untuk memahami budaya dan kekuasaan yang digunakan oleh mereka yang menjadi agen dalam upaya melakukan perubahan. (5) Wilayah institusional utama kajian budaya adalah lembaga pendidikan tinggi dan dalam hal ini kajian budaya
61
mempunyai kesamaan dengan bidang-bidang disiplin akademik lainnya. (6) kajian budaya berusaha menjalin koneksi-koneksi di luar wilayah akademik serta gerakan sosial politik dan para pekerja di lembaga-lembaga kebudayaan serta manajemen kebudayaan. Penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar sebagai muatan lokal berbasis budaya dapat dikatakan sebagai implementasi cultural studies di bidang pendidikan pada era Reformasi saat ini. Pada masa Orde Baru, pendidikan merupakan bagian dari indoktrinasi politik untuk mendukung rezim yang sedang berkuasa. Waktu itu hampir tidak ada ruang untuk mengungkapkan identitas lokal dalam sistem pendidikan. Dalm hal ini yang ada hanyalah kebudayaan nasional. Warna warni dianggap sebagai sesuatu yang sekunder. Padahal, lokalisme dalam pendidikan multikulutural merupakan bagian yang paling penting. Di situlah setiap orang dapat melihat dirinya serta bisa melihat keragaman orang lain. Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses yang di dalamnya setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Tentu saja untuk merancang pendidikan multikultural secara praktis tidaklah mudah. Namun paling tidak harus dicoba untuk dirancang suatu pendidikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan multikulturalisme yang memberikan peluang kebebasan bagi semua kebudayaan untuk berekspresi. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama.
62
Penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris di sekolah dasar diharapkan dapat mempercepat terwujudnya pendidikan multikultural yang mesti dapat terwujud di Indonesia. Materi atau bahan ajar yang dirancang oleh guru bahasa Inggris adalah materi yang bertemakan unsur-unsur budaya lokal dan budaya Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada orang asing. Jadi, penekanannya pada kemampuan membaca dalam bahasa Inggris, bukan mengajarkan kebudayaan Inggris, tetapi justru menjual kebudayaan sendiri agar dapat membuat orang luar menghormati kebudayaan yang dijual itu di luar negeri. Guru bahasa Inggris untuk sekolah dasar hendaknya mempergunakan buku-buku pelajaran yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Oleh karena siapa saja yang menulis bahasa Inggris dengan baik dan benar itu sudah authentic sehingga bisa dipakai sebagai materi pembelajaran, terutama pada pembelajar muda. 2.3 Landasan Teori Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang tersaji dalam rumusan masalah digunakan beberapa teori . Teori-teori tersebut digunakan secara eklektik karena permasalahan kajian budaya senantiasa kompleks dan tidak monolitik sehingga aspek teori dalam epistemologinya juga bersifat kompleks dan eklektik. 2.3.1 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan (Foucault) Teori Diskursus yang digunakan dalam penelitian ini mengetengahkan relasi antara (ke)kuasa(an) dan pengetahuan (yang merupakan penyederhanaan dari kata pouvoir dan savoir dalam bahasa Perancis dan power dan knowledge
63
dalam bahasa Inggris) dari pemikiran Michel Foucault (1926-1984). Nama Foucault perlu ditegaskan karena teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan pada dasarnya tidak semata-mata merupakan dominasinya. Sebenarnya terdapat sejumlah teori Diskursus, yakni dari Althusser, Pheceux, Hindess dan Hirst, sampai Foucault, sebagaimana yang dipaparkan dalam buku Macdonell Theories of Discourses: An Introduction (1986). Bahkan Francois Bacon pun, seperti yang diakui oleh Foucault dalam buku Power/Knowledge (2002), menulis pernyataan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Dalam hal ini Storey (2003: 135) menunjukkan bagaimana diskursus Barat tentang Timur (orientalisme) bisa dijadikan contoh suatu konstruk pengetahuan tentang Timur yang diciptakan oleh Barat dan suatu bentuk hubungan antara kekuasaan-pengetahuan yang mengartikulasikan kepentingan kekuasaan Barat. Said yang mengutip pernyataan Foucault menyebutkan bahwa kebenaran suatu diskursus tergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa yang menyatakan, kapan dan di mana ia menyatakannya (Ringkasnya, kebenaran suatu diskursus tergantung pada konteks). Sebagai salah satu tokoh terpenting teori Kritis (Mazhab Frankfurt), Habermas turut berjasa mengembangkan teori Diskursus saat ia mencoba mengaitkan antara ilmu pengetahuan dengan kepentingan meskipun tidak seanalitis dan seelaboratif Foucault. Selanjutnya Bleicher (2003:244-245) menjelaskan perdebatan Habermas dengan Gadamer yang membuat Habermas sendiri membangun sebuah prinsip yang dapat membantu membedakan konsensus yang benar dan yang keliru. Prinsip ini dapat dibuat setelah menjelaskan makna
64
diskursus. Sebuah diskursus berbeda dari interaksi karena di dalamnya normanorma dan opini-opini dipersoalkan, sementara dalam tindakan komunikatif diterima begitu saja. Hanya secara diskursiflah validitas norma-norma yang diterima secara naif dapat dipastikan melalui konsensus. Lebih lanjut dijelaskan pula, sebagaimana dalam sebuah interaksi, dalam diskursus pun terdapat praduga sejumlah elemen kontra-faktual. Dalam teori Konsensus Kebenaran, Habermas sampai pada pandangan bahwa setiap kebenaran tidak menyediakan kriteria apa pun untuk membedakan konsensus yang benar dan yang salah karena kebenaran itu sendiri hanya dapat dicapai melalui konsensus dalam suatu diskursus. Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan digolongkan ke dalam teori poststrukturalisme. Poststrukturalisme adalah salah satu poin terpenting dalam kajian budaya. Poststrukturalisme secara sederhana dapat dikatakan melawan strukturalisme yang begitu lama menguasai panggung pengetahuan sebelum munculnya
teori-teori
yang
melawannya,
seperti
postrukturalisme.
Postrukturalisme sendiri, menurut Foucault (2002:13), yakni gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap strukturalisme yang membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarki, dan validitas kebenaran universal, tetapi sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual. Foucault sendiri adalah seorang postrukturalis, sosiolog, dan sejarawan pengetahuan asal Perancis. Teori diskursusnya tersebar dan dapat ditemui pada beberapa bukunya, di antaranya The Archaelogy of Knowledge (1972), Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977), Seks dan Kekuasaan (1997a), dan
65
Power/Knowledge (1980). Mengingat Foucault adalah jenis filsuf postrukturalis yang relatif membingungkan, pandangannya tentang teorinya tersebut jauh lebih banyak ditemukan dan lebih mudah dipahami pada buku-buku yang dituliskan oleh orang lain, khususnya ahli-ahli mengenai pemikiran Foucault. Karya-karya Foucault dapat ditelusuri dari kekagumannya terhadap pemikiran-pemikiran Friedrich Nietszche. Bagi Nietszche, pengetahuan bukanlah sekumpulan informasi teoretis tentang dunia, melainkan suatu instrumen yang didesain dan dibatasi oleh kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan manusia (Hollingdale dalam Snook, 2005:205). Analisis genealogi Foucault, yang diadopsi dari Nietszche, membahas hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan serta bagaimana hubungan ini terjalin sehingga disebut formasi diskursif, yaitu sebuah kerangka kerja konseptual yang memungkinkan diterimanya beberapa mode pemikiran dan ditolaknya beberapa mode pemikiran lainnya. Apabila strukturalis memfokuskan kajiannya, yakni bagaimana sistem bahasa (dan sistem lain yang analog dengan bahasa) menentukan hakikat linguistik dan ekspresi budaya, postrukturalis seperti halnya Foucault, lebih tertarik pada kenyataan bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana penggunaan bahasa diartikulasikan dalam suatu praktik budaya dan praktik sosial. Penggunaan bahasa dan praktik bahasa secara umum lebih dilihat sebagai hal yang bersifat dialogis dan rawan konflik ketika satu mode penggunaan bahasa berhadapan dengan penggunaan bahasa yang lain ataupun teks dan praktik budaya yang lain.
66
Dalam hal ini, diskursus tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Diskursus adalah sarana dengan mana suatu institusi yang memeroleh kekuasaannya melalui proses definisi dan eksklusi. Maksudnya, diskursus atau formasi diskursif tertentu memiliki otoritas untuk mendefinisikan apa yang mungkin (boleh dan tidak boleh) untuk dikatakan orang untuk suatu topik. Suatu formasi diskursif terdiri atas sekelompok aturan tidak tertulis yang berusaha mengatur dan membatasi apa yang dapat (boleh dan tidak boleh) ditulis, dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang pembahasan tertentu (Storey, 2003:132-133). Dalam penelitian ini, untuk memudahkan pemahaman dan tidak menimbulkan kesalahpengertian, diskursus dibedakan dengan wacana. Dalam linguistik, wacana secara umum adalah ujaran-ujaran verbal yang besarnya lebih luas dari kalimat. Ungkapan bahasa Indonesia ”sekadar wacana”, misalnya, berarti sekadar pernyataan (baik kata-kata lisan ataupun tulisan), yang tidak bisa disamakan dengan diskursus karena diskursus mengandung praksis, sedangkan wacana tidak. Dengan kata lain, diskursus mengandung wacana sehingga wacana hanya sebagian kecil dari diskursus karena diskursus mencakup pernyataan, praksis, dan berbagai hal lainnya. Sehubungan dengan pembedaan tersebut, yakni mengacu pada pandangan James Paul Gee (dalam Hamad, 2004:34-35), discourse (d kecil) berbeda dengan Discourse (D kapital). ”Yang pertama (discourse) menjadi perhatian para ahli bahasa (linguis atau sosiolinguis) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (on site) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Maksudnya, penggunaan bahasa dilakukan atas dasar-dasar linguistik, sedangkan yang kedua
67
(Discourse) merangkaikan unsur linguistik tadi (discourse dengan d kecil) bersama-sama unsur nonlinguistik (nonlanguage stuff) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Nonlanguage stuff tadi adalah cara beraksi, interaksi, perasaan, kepercayaan, dan penilaian untuk mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain yang bermakna dan penuh arti dengan cara-cara tertentu. Jadi, Discourse (D kapital) melihat pemakaian bahasa dalam sebuah sistem sosial (sosiolinguistik).” Dari pernyataan Gee tersebut, yang dimaksud discourse (d kecil) sama dengan ”wacana” sedangkan Discourse (D kapital) sama dengan ”diskursus” dalam penelitian ini. Akibatnya, wacana hanya terkait dengan gejala kebahasaan, sedangkan diskursus menyangkut hubungan antara gejala bahasa dan persoalanpersoalan di luar bahasa. Di samping lebih luas dari wacana, diskursus (discourse) juga lebih luas dari teks (text) sehingga diskursus tidak harus bersifat tekstual. Berkaitan dengan hal ini, dalam Key Concepts in Communication and Cultural Studies, O‟Sullivan et al (1994: 94) memahami discourse sebagai berikut. “…though discourses may be traced in texts, and though texts may be the means by which discoursive knowledges are circulated, established or suppressed, discourses are not themselves textual ". Catherine Belsey (dalam Piliang, 1998:243) mengatakan discourse sebagai satu domain dari penggunaan bahasa, yakni satu cara tertentu dalam berbicara (menulis dan berpikir). Foucault, yang membawa istilah discourse sebagai satu kata kunci dalam filsafat postrukturalisme, melihat ketidakterpisahan antara discourse dan pembentukan subjektivitas serta beroperasinya berbagai bentuk
68
kekuasaan di dalamnya. Menurut Foucault, kekuasaan dan pengetahuan (dan cara tertentu penggunaan bahasa) saling berjalin antara satu dengan yang lain dalam discourse. Dalam hal ini penggunaan ruang sebagai satu fenomena bahasa dalam satu discourse, sehingga tidak terlepas dari bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi di baliknya. Apabila mengacu pada buku Foucault Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason (1976), diskursus memiliki isu utama yang dalam beberapa hal berkenaan dengan posisi dan sudut pandang dari mana orang berbicara serta pranata yang mendorong orang untuk berbicara dan yang menyimpan serta mendistribusikan hal-hal yang dikatakan. Menurut MacDonell (2005:xix-xx), sesungguhnya posisi ini dapat dipakai sebagai pijakan (standpoint) yang diambil oleh diskursus tersebut melalui hubungannya dengan diskursus lain sebagai oposisi. Setiap diskursus dengan sendirinya berkenaan dengan objek tertentu dengan mengorbankan diskursus lain. Dalam arti adanya keterlibatan subjektivitas, berbeda dengan diskursus, teks merupakan penuturan verbal yang telah lepas dari posisi penuturnya (Alam, 1998:6; Alam, 1999:7-8). Begitu sebuah teks diluncurkan, ia tidak memiliki keterhubungan apa pun dengan pembuatnya. Dengan demikian, pembuat teks melepaskan teks begitu saja dari dirinya. Hal ini berarti, dalam pembicaraan diskursus, antara penutur dan diskursus yang disampaikannya tetap terdapat ikatan tertentu. Ketidaklepasan diskursus dari posisi penuturnya karena pembuatnya memiliki kepentingan tertentu terhadap diskursusnya. Menurut Foucault (1980), diskursus adalah suatu bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan
69
kepentingan penutur sehingga dapat merupakan suatu akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga, dan berbagai macam modus penyebaran pengetahuan. Meskipun teks hanya bagian kecil dari diskursus, tetapi diskursus tidak bisa lepas dari bahasa. Menurut Escobar (1999: 60), postrukturalisme berfokus pada peran bahasa dalam mengonstruksi kenyataan sosial. Artinya, bahasa bukan cermin, melainkan unsur konstitutif kenyataan. Itulah sebabnya, mengacu pada pendapat Escobar tersebut, diskursus yang dipakai dalam penelitian ini diartikan sebagai artikulasi pengetahuan dan kuasa, pernyataan dan ketampakan, yang tampak dan yang terekspresikan. Oleh karena melalui proses diskursus, kenyataan sosial mendapat wujudnya. Diskursus biasanya terdiri atas elemen-elemen, seperti pernyataan, aturan, subjek, proses, praktik, dan gagasan. Menurut Barker (2005: 106), diskursus menyediakan cara-cara memperbincangkan suatu topik tertentu secara sama, yakni dengan motif atau bongkahan-bongkahan ide, praktik-praktik, dan bentukbentuk pengetahuan yang diulang-ulang pada beberapa wilayah aktivitas. Sebagai contoh, apabila mengacu pada studi Foucault dalam The Birth of the Clinic (1973), diskursus kegilaan mencakup pernyataan-pernyataan tentang kegilaan yang memberi pengetahuan mengenainya, aturan-aturan yang menentukan apa yang bisa diucapkan atau dapat dipikirkan tentang kegilaan, subjek-subjek yang merupakan personifikasi kegilaan alias si ”orang gila”, proses bagaimana diskursus tentang kegilaan memeroleh kewenangan atau status kebenaran pada suatu kurun sejarah tertentu, praktik-praktik dalam institusi yang menangani
70
kegilaan, dan gagasan bahwa diskursus yang berbeda tentang kegilaan akan muncul pada kurun sejarah yang akan datang sehingga memunculkan pengetahuan dan formasi diskursif baru. Analisis terhadap diskursus bukan sekadar suatu teori linguistik, tetapi teori sosial, yaitu suatu teori tentang produksi kenyataan sosial yang tidak terpisahkan dari sesuatu yang lazim dipandang sebagai kenyataan sosial (Escobar, 1999: 59). Hal ini, seperti dikatakan oleh Foucault (2002:9), karena discourse tidak lain adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek tersebut. Dialog merupakan syarat utama diskursus dan semua percakapan dan penulisan bersifat sosial. Dalam hal ini bersifat sosial karena pernyataan yang dibuat serta kata dan makna kata yang digunakan tergantung pada tempat dan kegunaan (di daerah mana dan untuk apa pernyataan tersebut dibuat). Diskursus berbeda dengan pranata-pranata dan praktik-praktik sosial semacam itu dalam menentukan situasi posisi mereka yang berbicara dan pada siapa pembicaraan itu disampaikan. Diskursus tidaklah bersifat homogen (MacDonnell, 2005: xviixviii). Dalam The Archaeology of Knowledge (1977) dan sebuah tulisan berjudul “The Order of Discourse” (1981), Foucault mendefinisikan diskursus secara lebih rinci, yaitu berdasarkan kekuasaan. Bentuk-bentuk kekuasaan tersebut terwujud
71
dalam bahasa-bahasa khusus dan resmi (Grenz, 1996: 211). Apabila dikaitkan dengan hal seperti itu, Foucault (1977: 27-28) menyatakan sebagai berikut. ”Kekuasaan menciptakan pengetahuan… Kekuasaan dan pengetahuan saling menghasilkan… Tidak ada kekuasaan tanpa hubungan dengan bidang pengetahuan tertentu. Tidak ada pengetahuan yang tidak memuat hubungan dengan kekuasaan. Hubungan ‟kekuasaan-pengetahuan‟ ini harus diteliti… bukan berdasarkan seorang peneliti yang bebas atau tidak dari kekuasaan. Sebaliknya, subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan bahan-bahan pengetahuan harus dipandang sebagai dampak implikasi dari hubungan kekuasaan-pengetahuan dan perubahanperubahannya dalam sejarah. Singkatnya, bukanlah tindakan subjek yang menghasilkan pengetahuan, tetapi kekuasaan-pengetahuan, proses dan pergulatan yang mewarnainya serta menciptakannya, yang menentukan bentuk dan bidang pengetahuan yang mungkin.” Selanjutnya menurut Storey (2003:132), analisis genealogi berkaitan dengan hubungan antara kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge) dan bagaimana hubungan tersebut beroperasi dalam hal yang disebutnya sebagai formasi-formasi diskursif, yaitu kerangka-kerangka konseptual yang mengajukan sejumlah cara (mode) berpikir dan menolak cara-cara berpikir lainnya. Lebih lanjut Macdonell menandaskan, bahwa ada dua jenis proses melalui apa diskursus dibentuk: diskursus muncul dan berfungsi sebagai alat perjuangan dan, pada saat yang sama, serangkaian kontrol menguasai dan membatasi diskursus (2005: 114). Dalam penelitian ini, jenis diskursus yang pertama dapat dihubungankan dengan kontrahegemoni, sedangkan yang kedua dengan hegemoni. Tidak seperti pemikir-pemikir lainnya, Foucault memaknai kuasa atau kekuasaan secara agak unik. Di sini, kuasa tidak dimaknai dalam konteks kepemilikan yang berkaitan dengan sumber-sumber kekuasaan tertentu karena ia tidak dimiliki, tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup yang ada banyak posisi dan secara strategis berkaitan antara satu dengan yang lain. Kekuasaan
72
menyebar dan merata dalam hubungan-hubungan kehidupan. Politik dalam tangkapan Foucault adalah mikropolitik. Di dalamnya, strategi kekuasaan tidak bekerja secara negatif dan represif, tetapi positif dan produktif. Dalam Seks dan Kekuasaan, Foucault (1997a: 32) memaparkan bagaimana kontrol seksualitas terjadi pada anak-anak seperti yang terjadi pada abad ke-18. Dengan hal itu, perilaku seksual dikontrol bukan dengan represi fisik tetapi mengategorikan antara yang baik dan yang tidak. Guru membuat anjuran dan petunjuk yang membimbing agar diikuti oleh murid-muridnya. Dengan dukungan kepustakaan yang berisi ajaran, nasihat, pengamatan, kasus, dan rencana sekolah mengenai seksualitas, hasilnya adalah bahwa anak-anak murid tersebut memeroleh diskursus seks yang masuk akal, terbatas, kanonis, dan benar. Dengan kata lain, bagi Foucault (1997), khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan diskursus dan mekanisme berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya. Teori Politik Kontemporer sebagian besar dipengaruhi oleh kerja Foucault yang membuat konsep negara sebagai pembuat potongan kekuasaan dalam bagian-bagian
masyarakat.
Dalam
hal
ini
kekuasaan,
sebagaimana
ditunjukkannya, bukan merupakan fenomena top-down, melainkan meresap dalam masyarakat secara keseluruhan. Foucault berargumen bahwa kekuasaan negara sama sekali tidak komplet, sedangkan penduduk dalam fungsi kehidupan seharihari sesuai dengan struktur kekuasaan lokal dan peraturan-peraturan mikrososial, yakni dalam berbagai instansi melawan peraturan dan batasan sikap yang dominan dalam masyarakat tersebut. Hal ini menghadirkan konsep primer dalam
73
pertanyaan politik yang digunakan dalam wilayah masyarakat sipil (Chandoke, 2001:25-26). Strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Seperti halnya setiap kebenaran memiliki efek kuasa. Menurut Eriyanto (2001:67), setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat diskursus yang dibentuk oleh kekuasaan. Terkait dengan hal itu, ada pernyataan Mills (1997: 18) yang menarik seperti berikut ini. “Truth is the world; it is produced there by virtue of multiple constrain. Each society has its regime of truth; its general politics of truth; that is the types of discourse it harbours and causes to functions as true; the mechanisms and instances which enable one to distinguish true from false statements, the way in which each is sanctioned; the techniques and procedures which are valorised for obtaining truth; the status of those who are charged with saying what count as true.” Menurut Foucault, diskursus adalah kerangka kerja yang ditentukan oleh yang berkuasa yang ditetapkan melalui hubungan-hubungan kekuasaan yang mendasarinya (Fakih, 1997:169). Setiap diskursus tentang kebudayaan tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan. Dalam suatu masyarakat dapat dijumpai berbagai diskursus tentang kebudayaan masyarakat bersangkutan yang bisa saja saling bertentangan, tetapi karena dukungan dari kekuasaan, maka diskursus tertentu akan menjadi diskursus dominan (Alam, 1998). Namun diskursusdiskursus lainnya akan terpinggirkan atau terpendam (Alam, 1999). 2.3.2 Teori Praktik Sosial (Bourdieu) Teori Praktik Sosial (theory of Social Pratice) Pierre Bourdieu secara umum mengedepankan penekanan ”keterlibatan subjek” dalam proses konstruksi budaya. Teori ini relevan dengan bidang kajian budaya karena bagi penganut
74
kajian budaya, (ke)budaya(an) adalah konstruksi budaya dan bukan warisan (given) dari atas semata. Artinya, masyarakat dianggap aktif membuat kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan merupakan arena perjuangan (perebutan kuasa) sehingga ia berubah secara terus-menerus, berproses, dan cair. Teori Praktik Sosial (bisa juga disebut teori Praktik) menggugat subjektivisme yang meletakkan subjek intelektual pada peran utama pembentukan dunia
tanpa
memperhitungkan
konteks
ruang
dan
waktu
yang
melatarbelakanginya dan objektivisme yang dianggap tidak memperhitungkan peran dan posisi subjek intelektual dalam pembentukan struktur dan praktik sosial. Bourdieu merumuskan praktik sosial sebagai hasil dinamika dialektik antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior atau dinamika dialektik antara internalisasi yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial. Apabila interior merupakan pelaku sosial dan semua yang melekat pada dirinya yang dibentuk oleh habitus, eksterior adalah struktur objektif yang ada di luar diri pelaku sosial, yaitu arena atau ranah atau medan (field). Praktik sosial dengan sendirinya tidak otonom karena merupakan produk interaksi antara pelaku sosial, produk interaksi dialektik antara habitus dan struktur (Harker, 2003: 3334). Bourdieu menunjukkan bagaimana tindakan (praktik) merupakan produk relasi antara habitus (yang merupakan produk sejarah) dan ranah (field), yang juga merupakan produk sejarah. Habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan
75
daya-daya yang ada dalam masyarakat. Habitus adalah struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual bendabenda dengan realitas hidup. Melalui skema-skema ini, individu memersepsi, memahami, menghargai, dan mengevaluasi realitas sosial. Itulah sebabnya, habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural. Habitus adalah kebiasaann-kebiasaan (Fshri, 2007:83), di samping merupakan hasil pembelajaran secara halus, tidak disadari, dan tampil sebagai hal yang wajar sehingga seolaholah merupakan sesuatu yang alamiah, seakan-akan diberi oleh alam atau ”sudah dari sananya” (Takwin, 1990:xviii-xix). Dalam suatu ranah, terdapat suatu pertaruhan, kekuatan-kekuatan, dan orang yang memiliki modal (capital) ataupun yang tidak memilikinya. Di sini, modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan (Fashri, 2007:96). Ranah adalah hubungan yang terstruktur sehingga tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Ranah merupakan metafora yang digunakan oleh Bourdieu untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya. Ide Bourdieu tentang modal berbeda pemahaman dengan tradisi Marxian dan konsep ekonomi. Modal adalah sesuatu kekuatan yang beroperasi dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya (Takwin, 1990:xx). Modal
76
mencakup kemampuan melakukan kontrol terhadap masa depan diri sendiri dan orang lain. Menurut Bourdieu, modal dapat digolongkan menjadi empat, yaitu modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang yang dengan mudah dapat digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutmya. Modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal ataupun warisan keluarga. Dalam hal ini, termasuk modal budaya, yakni kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan bendabenda budaya bernilai tinggi, pengetahuan serta keahlian tertentu dari hasil pendidikan, dan juga sertifikat (gelar kesarjanaan). Modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki oleh pelaku (baik individu maupun kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Modal simbolik adalah segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi (Fashri, 2007:98-99). Dari semua bentuk modal tersebut, modal ekonomi dan budaya memiliki daya besar untuk menentukan jenjang hierarki dalam masyarakat maju. Prinsip hierarki dan diferensiasi masyarakat tergantung pada jumlah modal yang diakumulasi dan struktur modal itu sendiri. Mereka yang memiliki keempat modal tersebut dalam jumlah yang besar akan memeroleh kekuasaan yang besar dan menempati posisi hierarki tertinggi (kelas dominan). Demikian sebaliknya, semakin kecil modal yang dimiliki, mereka memeroleh kekuasaan yang lebih kecil dan berada pada posisi hierarki yang lebih rendah (kelas bawah). Jadi, hubungan habitus, ranah, dan modal bertaut secara langsung dan bertujuan
77
menerangkan praktik sosial (Fashri, 2007:100). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa teorisasi Bourdieu ini dapat diformulasikan ke dalam: (habitus x modal) + ranah = praktik. 2.3.3 Teori Psikologi (Piaget dan Vygotsky) Penguasaan teori Psikologi yang baik oleh guru sangat membantu untuk bisa memahami aspek-aspek psikologis siswa dalam belajar. Peran teori Psikologi dalam pembelajaran bahasa ini lebih banyak dipelajari dalam bidang psikolinguistik. Cameron (dalam Helena, 2004) telah banyak mengulas teori Psikologi dari Piaget dan Vygotsky yang menjadi acuan dalam pendidikan bahasa masa kini. Teori Psikologi dari dua ahli ini ternyata mempunyai relevansi dan kontribusi yang sangat baik dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Secara singkat relevansi dan kontribusi kedua teori Psikologi ini dalam pembelajaran bahasa akan dibahas berikut ini.
1) Teori Psikologi Piaget Piaget dalam teorinya memandang anak sebagai individu (pembelajar) yang aktif. Perhatian utama Piaget tertuju kepada bagaimana anak-anak dapat mengambil peran dalam lingkungannya dan bagaimana lingkungan sekitar berpengaruh terhadap perkembangan mentalnya. Menurut Piaget (dalam Helena, 2004), anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya di lingkungan itu. Melalui kegiatan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah itulah pembelajaran terjadi. Piaget tidak memberikan penekanan terhadap pentingnya bahasa dalam perkembangan
78
kognitif anak. Menurut Piaget bukan perkembangan bahasa pertama yang paling fundamental dalam perkembangan kognitif melainkan aktivitas atau action. Dalam hal ini ada pendapat Piaget yang penting, yaitu membangun pengetahuannya dengan “bergulat” dengan benda-benda atau gagasan-gagasan. Jika kita mengambil gagasan Piaget bahwa anak beradaptasi dengan lingkungannya, kita dapat melihat bagaimana lingkungan dapat menjadi setting untuk perkembangan. Lingkungan menawarkan berbagai kesempatan kepada anak untuk bertindak. Oleh karena itu, lingkungan kelas, misalnya, dapat menjadi ajang kegiatan dan kreativitas yang menyebabkan pembelajaran terjadi. Berdasarkan pendapat ini, pembelajaran bahasa pun dapat terjadi jika lingkungan kelas ataupun sekitarnya dimanfaatkan sedemikian rupa agar menawarkan berbagai kesempatan bagi keterlibatan dan kreativitas siswa. Teori Psikologi Jean Piaget menyebutkan bahwa
setiap
individu
sejak
kecil
telah
memiliki
kemampuan
untuk
mengonstruksi pengetahuan. Selanjutnya, pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak tersebut merupakan subjek untuk dijadikan pengetahuan bermakna dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Selanjutnya, Piaget berpendapat bahwa ada dua proses yang terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak, yaitu (1) proses asimilasi dalam bentuk penyesuaian dan pencocokan informasi yang baru dengan sesuatu yang telah diterima oleh anak sebelumnya, (2) proses akomodasi, yaitu anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah sesuatu yang diketahui oleh anak sebelumnya. Oleh karena itu, pengetahuan dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu (1) pengetahuan fisik merupakan pengetahuan benda-benda yang berada di
79
luar dan dapat diamati dalam kenyataan oleh anak, (2) pengetahuan logika hubungan antara subjek adan objek, dan (3) pengetahuan sosial, yaitu fakta yang didasari perjanjian-perjanjian sosial. Menurut teori Psikologi Piaget, suatu perkembangan disebut asimilasi jika aktivitas terjadi tanpa menghasilkan perubahan terhadap anak, sedangkan akomodasi terjadi jika anak menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang ada di lingkungannya. Misalnya, menurut contoh Cameron (2001), ketika anak sudah bisa menggunakan sendok, kemudian diberi garpu dan ia menggunakan garpu (alat makan baru) sebagaimana ia menggunakan sendok yang berfungsi sebagai alat makan yang dikenal sebelumnya, berarti ia telah melakukan asimilasi. Namun, ketika ia sadar bahwa dengan garpu ia memiliki kesempatan untuk makan dengan cara menusukkan garpu ke makanan dan bukan cuma menyendoknya. Dengan demikian, anak itu telah melakukan akomodasi. Pada mulanya asimilasi dan akomodasi merupakan proses adaptasi perilaku yang kemudian menjadi proses berpikir. Akomodasi merupakan konsep penting yang kemudian dipertimbangkan dalam dunia pembelajaran bahasa yang dikenal dengan sebutan restructuring. Istilah ini mengacu pada reorganisasi representasi mental dalam sebuah bahasa (McLaughlin, 1992). Maksudnya, anak telah memiliki pola-pola bahasa dalam pikirannya, tetapi ketika dihadapkan kepada fakta bahasa (pola) baru dan fakta baru tersebut memiliki potensi untuk berkomunikasi dengan cara berbeda, maka anak melakukan penyesuaian dengan pola-pola baru.
80
Menurut pandangan Piaget, pikiran anak berkembang perlahan-lahan seiring dengan pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya hingga tahapan berpikir logis dan formal. Namun, pertumbuhan ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar tertentu yang menyebabkan anak mampu melampaui serangkaian tahapan yang dimaksud. Pada setiap tahapan, anak mampu memikirkan hal-hal tertentu tetapi tidak atau belum mampu memikirkan hal-hal yang lain. Jadi, menurut Piaget, berpikir melibatkan hal-hal yang abstrak dan menggunakan jalur logika atau belum mampu dilakukan anak sebelum ia berusia sebelas tahun atau lebih. Pengetahuan yang diperoleh dari tindakannya merupakan pengetahuan yang dikembangkan sendiri, bukan sekadar menirukan atau memang sudah dimiliki. Pengetahuan baru merupakan pengetahuan yang secara aktif disusun oleh anak itu sendiri. Pada awalnya, hal ini terjadi berkaitan dengan benda-benda konkret yang ada di sekitarnya, kemudian masuk dalam pikirannya dan diikuti dengan melakukan suatu tindakan, selanjutnya tindakan itu dicerna dan dipahami. Dengan cara itu apa yang ada di dalam “pikiran” terlihat sebagai sesuatu yang diperoleh dari tindakannya (action), lalu “pikiran” berkembang dan tindakan serta pengetahuan anak akan beradaptasi sehingga terjadilah sesuatu yang baru. Menurut Piaget (1963: 8), terdapat empat fase perkembangan anak, yaitu Sensorymotor, dari lahir sampai usia dua tahun; Preoperational stage, usia 2-8 tahun; concrete operational stage, usia 8-11 tahun; formal stage, usia 11-15 tahun atau lebih. Fase masa perkembangan tersebut tidak selalu sama bagi setiap anak, baik secara perorangan maupun kelompok. Fase-fase perkembangan dapat terjadi
81
bersamaan waktunya, tetapi perkembangan untuk setiap tingkat dapat dicapai dalam waktu yang bersamaan, apalagi untuk setiap jenis pengetahuan juga berbeda. Dengan memerhatikan keempat fase perkembangan tersebut, maka dapat dilihat berada pada fase mana anak-anak sekolah dasar di Indonesia, yaitu anakanak usia 6-12 tahun. Tentunya mereka berada pada akhir periode preoperational stage sampai dengan concrete operational stage, bahkan sampai awal dari formal stage. Hal ini berarti anak-anak usia sekolah dasar perlu mendapat perhatian sesuai dengan jenjang kelasnya. Dalam hal ini pikiran anak berkembang sedikit demi sedikit sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan keterampilan intelektual menuju ke tahapan cara berpikir yang lebih logis dan formal. Piaget (1963) berpendapat bahwa cara berpikir anak berkembang melalui keterlibatan langsung dengan benda dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Setiap mencapai fase perkembangan baru, kemampuan bertambah, kemudian menjadi satu dengan tingkat daya berpikir sebelumnya. Oleh karena dua dari empat masa peralihan dan masa perkembangan biasanya terjadi pada waktu anak-anak di sekolah dasar sehingga guru bahasa sebaiknya dapat bekerja sama dengan anakanak didiknya agar selalu dapat mengikuti ciri-ciri dan perubahan perkembangan fase kognitif mereka. Dalam kaitan ini, hingga usia dua tahun (sensorymotor intellegence stage), perilaku anak-anak masih bersifat motorik. Anak belum benar-benar memahami hal-hal yang terjadi dan belum berpikir secara konseptual. Dalam hal ini belajar bahasa terjadi karena adanya interaksi. Selanjutnya dengan bertambahnya usia,
82
maka terjadi perkembangan bahasa dan konsep dengan cepat. Namun, pada saat ini “akunya” juga tinggi atau mereka masih bersifat egosentris. Anak juga mulai menggunakan logika tetapi masih sering memfokuskan perhatian untuk satu hal saja pada saat tertentu. Misalnya, mereka dapat membedakan warna dan ukuran, tetapi masih sulit bagi mereka untuk membedakan warna dan ukuran sesuatu secara bersamaan.
2) Teori Psikologi Vygotsky Vygotsky adalah seorang ahli jiwa dari Rusia. Ia berpendpat bahawa anak merupakan pelajar yang aktif. Ia mempunyai pandangan yang berbeda dengan Piaget, terutama dalam proses belajar bahasa pada anak. Teori yang dikembangkannya dikenal sebagai teori yang berfokus pada aspek sosial. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain, terutama dengan orang
dewasa,
akan
munculkan
ide-ide
baru
sehingga
meningkatkan
perkembangan intelektual pelajar. Semakin bertambahnya usia, dalam hal ini apabila anak-anak berbicara suaranya semakin kurang keras. Dalam tingkat perkembangan ini, mereka mulai mampu membedakan antara social speech untuk orang lain dan private speech untuk dirinya sendiri (Cameron, 2001). Anak-anak yang baru mulai belajar berbicara pada umumnya mengucapkan satu kata. Sebenarnya, satu kata itu membawa arti atau pesan yang utuh. Ketika seorang anak menyebut “mama”, ia bermaksud mengatakan “saya mau ikut mama” atau “saya mau disuapi mama”. Bila masanya tiba, keterampilan berbahasa anak akan berkembang dan selanjutnya dalam berkomunikasi ia akan menggunakan bahasa dengan lebih dari
83
satu kata. Sejalan dengan perkembangan biologis dan pikiran serta keterampilan bahasa anak tersebut, mereka akan menggunakan beberapa kata atau kalimat pendek ketika menggunakan pikirannya. Vygotsky (1962), keterampilan berbicara seperti ini dibedakan antara berbicara yang diucapkan dan berbicara dalam hati atau hanya ada dalam pikiran anak tersebut. Bila teori Piaget digunakan, maka akan dipahami bahwa memang ada perbedaan antara kedua teori tersebut. Piaget berpendapat bahwa anak sebagai pembelajar aktif, sibuk dengan dunianya yang penuh dengan benda-benda di sekitarnya. Dalam hal ini apabila seorang anak tidak dapat melakukan sesuatu, berarti ia belum waktunya mencapai fase perkembangan untuk melakukan hal itu. Sebaliknya, Vygotsky lebih memfokuskan pada hubungan sosial yang dapat membantu anak untuk lebih cepat belajar menggunakan bahasa. Salah satu contoh yang diberikan Vygotsky, yaitu ketika seorang anak mengunakan sendok untuk mengambil makanannya. Anak itu mungkin dapat mengambil makanannya dengan sendok, kemudian memasukkan ke mulutnya, tetapi mungkin ia dapat benar-benar memenuhi sendoknya dengan makanan, mungkin hanya ada di ujung sendoknya. Dalam hal ini, bantuan orang dewasa sangat diperlukan, misalnya, dengan memegang tangan anak dan membimbing bagaimana cara menyendok makanan agar sendok bisa terisi penuh. Dengan cara ini, anak tersebut bersama-sama orang dewasa (mungkin ibu, kakak, atau gurunya) memeroleh suatu pengetahuan yang semula tidak dapat dilakukan oleh anak itu sendiri. Anak mendapat latihan bagaimana menyendok makanan dengan cara yang benar (Cameron, 2001:6).
84
Menurut Vygotsky, orang dewasa dapat membantu anak dengan berbagai cara. Dalam hal ini sambil mengajari melakukan sesuatu, juga bisa menghemat waktu anak yang sedang belajar, di samping untuk menghindari hal-hal yang kurang menyenangkan. Bantuan orang dewasa sebenarnya untuk mendorong memperlancar pencapaian daerah perkembangan anak yang dikenal sebagai zone of proximal development (ZPD). Orangtua lebih tahu bantuan apa yang seharusnya diberikan kepada anak untuk melakukan berbagai tindakan sebab merekalah yang paling banyak berinteraksi setiap hari. Oleh karena itu, guru bahasa Inggris yang terampil dan kreatif seharusnya dapat membantu siswanya dengan berbagai cara di kelasnya walaupun dengan jumlah siswa yang banyak dan dengan ZPD yang berbeda. Pokok pikiran dan konsep Vygotsky terhadap aspek sosial dalam proses belajar ini merupakan konsep ZPD. Dalam kaitan ini pembelajar memiliki dua fase perkembangan, yaitu fase perkembangan potensial (potential development) dan fase perkembangan sebenarnya (fase ketika kemampuan berpikir dan belajar sesuatu berhasil atas upaya sendiri). Namun, dalam kenyataannya setiap anak dapat mencapai tingkat perkembangan kemampuan tersebut dengan bantuan orang lain. Dalam hal ini, Vygotsky mengunakan istilah ZPD untuk memberi makna terhadap tingkat kecerdasan atau inteligensi tersebut. Menurutnya, intelegensi sebaiknya diukur dengan sesuatu yang dapat dilakukan seorang anak dan dengan bantuan yang tepat. Dalam hal belajar untuk melakukan sesuatu dan belajar untuk
85
berpikir dapat digalakkan dengan cara berinteraksi dengan orang yang lebih dewasa, seperti: orangtua, orang sekitar, guru, dan lainnya. Sebenarnya ada tiga hal pokok yang ditekankan oleh Vygotsky (dalam Arends, 1998). Ketiga hal ini adalah sebagai berikut. (1) Kemampuan berpikir (intelektual) berkembang ketika orang dihadapkan dengan pengalaman baru, ideide baru, dan permasalahan, yang kemudian dihubungkan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya (prior knowledge). (2) Interaksi dengan orang lain akan memacu perkembangan intelektual atau cara berpikir anak untuk menemukan sesuatu yang baru. (3) Peran utama seorang guru adalah sebagai pembantu yang baik untuk memberikan pertolongan kepada anak yang sedang dalam proses belajar. Sumbangan pendapat dari ahli ilmu jiwa perkembangan kognitif ini penting sekali untuk dipertimbangkan dalam mempersiapkan program EYL, terutama dalam hal bagaimana daya berpikir dan bekerja pembelajar dan bagaimana pembelajar memeroleh dan memproses informasi yang baru diperoleh. Pandangan Vygotsky dan ahli lainnya penting untuk dipahami oleh guru agar ia dapat memaksimalkan penggunaan berbagai strategi belajar. Pandanganpandangan mereka menekankan peran penting prior knowledge dalam proses belajar. Selain untuk membantu guru memahami apa yang disebut pengetahuan dan jenis-jenisnya, juga dapat membantu menjelaskan bagaimana orang memperoleh pengetahuan dan memprosesnya dalam sistem daya intelektual manusia.
86
Pada
waktu
mempelajari
sesuatu
yang
baru,
terjadilah
proses
menghubungkan antara sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya dengan hal baru melalui berbagai pengalaman belajar. Dengan kata lain, seolah-olah ada sesuatu “jembatan pengalaman”, dalam hal ini pembelajar mulai dengan sesuatu yang sudah dikenal atau dimiliki (prior knowledge), kemudian ia melewati jembatan tersebut dengan berbagai pengalaman belajar, setapak demi setapak, akhirnya sampai pada ”belajar sesuatu yang baru” (new knowledge). Teori Psikologi dalam penelitian ini dapat membantu guru untuk bisa memahami aspek-aspek psikologis siswa dalam belajar. Peran teori Psikologi dalam pembelajaran bahasa lebih banyak dipelajari dalam bidang psikolinguistik. Cameron (dalam Helena, 2004:11) telah banyak mengulas teori Psikologi dari ahli terkemuka, yaitu Piaget dan Vygotsky yang menjadi acuan dalam pendidikan bahasa masa kini. Teori Psikologi dari kedua ahli ini ternyata mempunyai relevansi dan kontribusi yang sangat baik dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Selanjutnya, Vygotsky (1978:3) memberikan pandangan bahwa dalam proses belajar-mengajar, faktor sosial sangat penting dalam perkembangan anak. Vygotsky memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam dunia anak-anak. Meskipun Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan pandangan pada perkembangan sosial yang disebut sebagai sosiokultural, tetapi tidak mengabaikan individu atau perkembangan kognitif individu. Perkembangan bahasa pertama anak tahun kedua di dalam hidupnya dipercaya sebagai pendorong terjadinya pergeseran dalam perkembangan kognitifnya. Bahasa memberi anak sebuah alat baru sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan berbagai
87
hal untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol. Anak-anak sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika ia berbuat sesuatu atau bermain. Hal ini disebut sebagai private speech. Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih dan mulai membedakan mana kegiatan bicara yang ditujukan kepada orang lain dan mana yang ditujukan kepada dirinya sendiri. Perkembangan dan proses belajar bahasa terjadi dalam suatu konteks sosial, yaitu dalam komunitas yang penuh dengan orang berinteraksi dengan anak tersebut. Orang-orang yang ada di sekitar anak-anak penting perannya dalam membantu mereka untuk belajar menggunakan bahasa. Anak merupakan pembelajar aktif yang hidup di antara orang lain sejak masih bayi. Dalam hal ini melalui interaksi sosial, orang dewasa bertindak sebagai perantara dengan dunia sekitar anak. Dengan bantuan orang dewasa, anak-anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak daripada mereka belajar sendiri. Kemampuan belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi manusia. Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak hal dibandingkan apabila anak hanya belajar sendiri. Konsep ZPD memberi makna baru terhadap “kecerdasan”. Kecerdasan tidak diukur dari apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan yang semestinya. Belajar melakukan sesuatu dan belajar berpikir terbantu apabila berinteraksi dengan orang dewasa. Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks sosial dengan orang lain, dalam hal ini bahasa membantu proses ini dalam
88
banyak hal. Lambat laun anak semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya terhadap orang dewasa, kemudian menuju kemandirian dalam hal bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara nyaring sambil melakukan sesuatu ke tahapan berpikir dalam hati tanpa suara disebut internalisasi. Seperti telah disinggung di depan bahwa menurut teori Vygotsky, anakanak dibesarkan di dalam suatu setting kelompok sosial. Vygotsky memandang pentingnya kultur dan pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif. Menurut Vygotsky atau dengan cara pandang konstruktivisme ini, anak-anak atau siswa dengan pertolongan orang dewasa dapat menguasai konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang mereka tidak bisa pahami sendiri. Dalam kaitan ini, Annie (2002) menyatakan bahwa dalam visi konstruktivisme terdapat empat pandangan utama yang diyakini oleh para pendukungnya, yaitu ZPD, dalam hal ini merupakan suatu gagasan yang memandang bahwa potensi perkembangan kognitif seseorang terbatas pada suatu waktu tertentu saja. Dalam hal ini ZPD bisa dikembangkan secara terus-menerus dan memerlukan interaksi sosial. Di samping itu, ZPD menurut Vygotsky adalah jarak antara tingkat perkembangan dengan tingkat potensi perkembangan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan konsep ini, seorang guru bisa menawarkan suatu tujuan yang mungkin sulit dicapai oleh para siswa atau anak-anak, kemudian mereka berusaha untuk mencapainya sendiri atau dengan bantuan anak-anak lain yang lebih dewasa. Vigotsky memandang bermain sebagai faktor atau sarana yang sangat penting dalam belajar. Teori Psikologi mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu guru mendesain proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
89
Pemahaman guru terhadap berbagai teori Psikologi sangat diperlukan dalam rangka mendesain proses pembelajaran sehingga mereka mampu menciptakan proses pembelajaran yang bermakna (menarik, menyenangkan, dan menimbulkan motivasi) bagi siswa. Ketika hal ini bisa diwujudkan, maka tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan sebelumnya akan lebih mudah untuk diwujudkan. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam pendekatan konstruktivistik terdapat beberapa pokok pikiran yang menjadikannya berbeda dengan pendekatan pedagogik lainnya. Pendekatan konstruktivistik ini dapat dijabarkan dalam beberapa hal, yaitu memandang kultur sebagai sumber pengajaran; memandang pihak lain sebagai stakeholders dalam pengembangan pengetahuan; memandang siswa sebagai seseorang yang mempunyai potensi yang mesti dikembangkan; dan menempatkan ZPD, seperti dalam teori Vygotsky, yakni sebagai
komponen
vital
dalam
proses
belajar.
Oleh
karena
dengan
mengembangluaskan ZPD, siswa pada tingkat pendidikan apa pun akan bisa mengembangkan dirinya secara terus-menerus melalui lingkungannya. Teori Psikologi yang diuraikan di atas berimplikasi atau berdampak langsung terhadap apa yang selayaknya dilakukan oleh guru dalam mengajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di kelas. Dari teori Piaget ini, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran memang terjadi secara bertahap, tetapi hal ini bukan berarti bahwa pembelajaran yang holistik tidak dapat terjadi jika tahapantahapan pembelajaran tersebut tidak dilalui secara sistematis. Dengan kata lain, dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar guru bisa saja menyusun materi
90
dari yang paling mudah hingga yang paling sulit menurut versi atau pandangan guru. Teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development menekankan bahwa peran guru sangat dibutuhkan dalam rangka terjadinya pembelajaran yang optimal. Selanjutnya dikatakan bahwa anak atau siswa memiliki kapasitas atau potensi untuk belajar sendiri (seperti teori Piaget), tetapi belajar yang optimal terjadi karena anak mendapat pertolongan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini pembelajaran terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya. Teori Psikologi Piaget dan Vygotsky ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya guru merencanakan kegiatan belajar mengajar secara saksama. Rencana tersebut secara eksplisit perlu mencantumkan kegiatan apa yang akan dilakukan atau pengalaman pembelajaran apa yang akan diberikan dan untuk tujuan
apa.
Rencana
pengajaran
tersebut
diharapkan
secara
serius
mempertimbangkan jenis-jenis interaksi di dalam kelas yang menjadikan kelas sebagai ZPD.
2.4 Model Penelitian Secara umum, kebijakan Pemerintah Kota Denpasar dalam bidang pendidikan dibuat berdasarkan pertimbangan dua hal, yaitu kebijakan nasional dan keadaan politik, ekonomi, sosial budaya, serta lingkungan setempat. Proses strukturasinya melahirkan kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada sekolahsekolah dasar di wilayah Kota Denpasar.
91
Model penelitian digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.1).
Kebijakan pendidikan nasional
Kebijakan pendidikan di Kota Denpasar
Kondisi sekolah dasar Kota Denpasar
Politik, sosial, dan budaya
Relevansi bahasa Inggris sebagai muatan lokal
Politik, ekonomi dan lingkungan
Implementasi Kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada sekolah dasar di Kota Denpasar
Implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar
Faktor-faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan pembelajaran bahasa inggris sekolah dasar di Kota Denpasar
Implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris yang efektif menuju pendidikan bermutu
Gambar 2.1 Model Penelitian Catatan: menunjukkan kerja sama menunjukkan pengaruh
Makna Implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar
92
Kebijakan nasional, yaitu sistem pendidikan nasional merupakan penjabaran operasional bunyi Pasal 31, Undang-undang Dasar 1945, yakni pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional berdasarkan visi dan misinya. Penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai amanat tersebut, sehingga dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu sebagai berikut. (1) aspek politik dan hukum, yakni pendidikan nasional dengan berbagai perubahannya tidak dapat dipisahkan dengan sistem politik dan hukum. Hal ini tampak dalam setiap perubahan undang-undang pendidikan bahwa kepentingan politik sangat mendominasi; (2) aspek lingkungan alam, sosial dan budaya merupakan faktorfaktor yang menjadi suatu pertimbangan atau menjadi perhatian guru dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Lingkungan alam mencakup ekosistem, seperti: danau, tambak, sungai, hutan, tanah kebun, lapangan rumput, sawah, keindahan alam, dan sebagainya. Lingkungan sosial adalah lingkungan yang mencakup hubungan timbal balik (interaksi) antara manusia satu dengan yang lainnya sesuai dengan peraturanperaturan yang berlaku di lingkungan tersebut. Contoh-contoh lingkungan sosial, seperti interaksi antara manusia yang terdapat dalam lingkungan sekolah, lingkungan kelurahan desa, banjar, rukun tetangga, dan lembaga-lembaga formal serta informal lainnya. Lingkungan budaya adalah lingkungan yang mencakup segenap unsur budaya yang dimiliki masyarakat di suatu daerah tertentu. Hal yang termasuk di dalamnya, seperti: kepercayaan, kebiasaan, adat istiadat, aturanaturan yang umumnya tidak tertulis (misalnya tata krama, cara pergaulan, etiket
93
dengan orangtua, muda-mudi, dan tetangga), nilai-nilai, serta penampilan perlambang-perlambang yang menyatakan perasaan, yakni yang terdapat dalam upacara adat/tradisional, bahasa daerah, dan kesenian daerah. Pendidikan bahasa Inggris merupakan bagian dari pendidikan umum, yakni dalam operasionalnya juga dipengaruhi oleh hukum, politik, ekonomi, lingkungan alam, sosial, dan budaya setempat. Kondisi tersebut secara tidak langsung dapat memengaruhi proses penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris di sekolah. Struktur sosial masyarakat dan perilaku budaya sangat berpengaruh terhadap pendidikan bahasa Inggris di sekolah. Apalagi bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang tentunya mempunyai latar belakang budaya berbeda dari bahasa siswa yang sudah melekat dengan budayanya masing-masing serta budaya Indonesia pada umumnya. Perpaduan antara lingkungan alam, sosial, dan budaya pada hakikatnya membentuk suatu kehidupan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang disebut dengan pola kehidupan. Jadi pola kehidupan masyarakat mencakup interaksi antaranggota masyarakat tersebut yang meliputi interaksi antar individu, antara individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok lainnya baik secara formal maupun informal. Dalam kenyataannya, pola kehidupan suatu masyarakat dapat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan alamnya dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Kebudayaan suatu masyarakat mencakup gagasan, keyakinan, pengetahuan, aturan dan nilai, serta
perlambang
(simbol-simbol)
yang
digunakan
untuk
menanggapi
lingkungannya. Dengan demikian, pengembangan bahan pelajaran bermuatan
94
lokal yang mengacu pada pola kehidupan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mengembangkan wawasan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Di samping itu, dengan memahami arti dan hakikat kurikulum muatan lokal, maka kurikulum muatan lokal ini ditingkatkan dan dikembangkan untuk semua pihak. Dengan demikian, siswa tidak hanya mengetahui dunia global, tetapi budaya lokal perlu dipahami dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Kurikulum dalam pembelajaran bahasa Inggris memiliki posisi sangat strategis dalam pembentukan akhlak dan moral peserta didik. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya apabila bahwa proses pembelajaran tidak didukung oleh kurikulum yang memadai, maka penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Masyarakat menghendaki adanya keseimbangan antara materi yang dipelajari di sekolah dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Itulah sebabnya Pemerintah Kota Denpasar memberlakukan kebijakan pendidikan yang menstrukturasi antara kebijakan nasional dan keadaan politik, ekonomi, sosial budaya, serta lingkungan di wilayahnya dengan membuat kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar yang diterapkan di sekolah-sekolah dasar se-Kota Denpasar. Fokus kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar kemudian dirumuskan ke dalam pertanyaan-pertanyaan permasalahan sebagai berikut. (1) Bagaimanakah implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris pada sekolah dasar di Kota Denpasar? (2) Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi implementasi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar
95
di
Kota
Denpasar?
(3)
Bagaimanakah
makna
implementasi
pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar?
kebijakan
96
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan sebuah kajian budaya (cultural studies), yang berarti bahwa ia dengan sendirinya bersifat kualitatif. Ciri kualitatif dapat dikatakan sudah melekat dalam setiap penelitian kajian budaya. Hal ini, dinyatakan secara tegas oleh Stokes (2006: xii) dalam bukunya How to Do Media and Cultural Studies. Dalam pandangan Stokes (2006: xi), penelitian kualitatif merupakan nama yang diberikan kepada paradigma penelitian, terutama yang berkepentingan dengan makna dan penafsiran. Dalam hal ini kajian budaya tidak mengikuti metode konvensional yang monolitik, sehingga dianggap antidisiplin. Menurut Sardar dan Van Loon (2001: 8), kajian budaya adalah bidang penyelidikan yang sering digambarkan sebagai antidisiplin karena tidak mengikuti aturan keilmiahan konvensional. Kajian budaya dengan leluasa dan bebas bergerak dari satu teori ke teori lainnya, dari satu metode ke metode lainnya serta mengambil apa saja yang dibutuhkan dari bidang-bidang ilmu lain, kemudian disesuaikan dengan tujuannya. Selanjutnya, dalam penelitian ini perlu ditunjukkan subjek dan objek penelitian. Subjek penelitian tentang kebijakan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar ini adalah pejabat pemerintah yang membuat kebijakan tersebut, di samping murid, guru, kepala sekolah, dan pengamat pendidikan.
Sementara
objeknya
adalah
96
kebijakan
pemerintah
dalam
97
pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar serta penerapan pembelajaran tersebut di lapangan. 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar. Kota Denpasar saat ini terdiri atas empat kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Utara, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, dan Kecamatan Denpasar Barat. Wilayah Kota Denpasar berada relatif dekat dengan Kabupaten Badung yang memiliki beberapa kawasan wisata terkenal di pasar mancanegara, seperti Kuta, Jimbaran, dan Nusa Dua. Pembelajar sekolah dasar di Kota Denpasar berasal dari berbagai etnis, agama, adat-istiadat, tradisi, dan budaya serta latar belakang ekonomi yang berbeda-beda yang merupakan wujud pendidikan yang multikultural. Penelitian ini dilakukan di sekolah-sekolah dasar negeri dan swasta yang tersebar di seluruh kecamatan di Kota Denpasar yang memberikan pengajaran bahasa Inggris dari kelas empat sampai kelas enam. Jumlah sekolah dasar yang ada pada semua kecamatan tersebut, baik negeri maupun swasta, yakni 218 buah seperti terlihat pada Tabel 4.3. Sekolah yang dipilih sebagai tempat pelaksanaan penelitian ini adalah satu sekolah negeri dan satu sekolah swasta dari masingmasing kecamatan. Jumlah seluruh sekolah yang dipilih sebagai tempat penelitian ini adalah delapan sekolah.
98
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data penelitian ini terdiri atas data kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Data kualitatif tidak bisa dihitung seperti data kuantitatif yang mencakup jumlah dan penghitungan lainnya, seperti jumlah sekolah atau murid. Data kualitatif bisa berbentuk narasi, uraian, dan butir-butir yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Sementara itu, sumber data penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara serta observasi dan data sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi. Pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar merupakan bagian dari kebijakan sekolah yang bersangkutan dan telah diakui pelaksanaannya oleh pemerintah. Oleh karena itu, data yang diperoleh merupakan data primer yang berasal dari pemerintah Kota Denpasar dalam hubungan dengan proses pembuatan kebijakan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar dan yang bersumber dari pelaksanaan pembelajarannya di sekolah-sekolah dasar yang ada. Data yang terakhir diambil secara langsung dari siswa dan guru bahasa Inggris, kepala sekolah, serta orangtua murid yang memiliki kaitan dengan pembelajaran bahasa Inggris. Berbeda dengan data primer, data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan, literatur, hasil penelitian, dan jurnal yang terkait serta sumbersumber tercetak lainnya. 3.4 Instrumen Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif sehingga peneliti menjadi instrumen penelitian utama yang langsung mengambil data, baik di kantor pemerintah terkait maupun di sekolah yang menjadi subjek penelitian. Alat yang
99
dipakai dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (interview guide) yang dilengkapi dengan alat perekam serta alat pencatat lainnya yang diperlukan selama wawancara dan observasi berlangsung. 3.5 Teknik Penentuan Informan Informan ditentukan berdasarkan teknik purposif (bertujuan). Teknik ini dipilih karena penentuan informan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan peneliti, yakni dalam rangka pencarian informasi secara valid, efektif, dan efisien tentang pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar di Kota Denpasar. Informan diambil dari siswa, guru, kepala sekolah, orangtua siswa, pejabat Disdikpora serta dari pengamat pendidikan. Jumlah informan siswa sebanyak delapan orang, guru enam orang, kepala sekolah delapan orang, orangtua siswa empat orang, pejabat Disdikpora tiga orang dan satu orang dari pengamat pendidikan. 3.6 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga cara. (1) Observasi, yakni pengamatan secara langsung tentang pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar Kota Denpasar. (2) Wawancara yang mendalam dengan informan yang sudah ditentukan untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris di lapangan. (3) dokumentasi yang bertujuan mendapatkan data sekunder.
100
3.6.1 Observasi Observasi dalam penelitian ini dilakukan agar mendapatkan gambaran yang jelas tentang pembuatan kebijakan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar dan penyelenggaraannya di sekolah-sekolah dasar. Dalam hal ini peneliti tidak sekadar menggunakan pancaindera terhadap apa yang diamati, tetapi sebagai pengumpul informasi sebanyak-banyaknya terhadap berbagai hal dalam penelitian. Hal-hal yang diobservasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Pelaksanaan kebijakan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. (2) Kegiatan peserta didik dan guru bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar. (3) Sarana dan prasarana pendukung kegiatan pengajaran bahasa Inggris serta lingkungan sekolah yang ada. (4) Tanggapan orangtua siswa dan pengamat pendidikan terhadap pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar. 3.6.2 Wawancara Selain melakukan observasi, data primer juga diperoleh melalui hasil wawancara dengan para informan. Para informan terdiri atas pembuat kebijakan (pihak Pemerintah Kota Denpasar), pihak sekolah (baik guru maupun siswa), dan orangtua siswa. Seperti halnya dalam kegiatan observasi, dalam wawancara, data yang dicari terkait dengan (1) aspek pembuatan kebijakan proses pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar dalam birokrasi pemerintahan, (2) kegiatan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar, dan (3) berbagai hal yang menyangkut sarana dan prasarana pendukung kegiatan pengajaran bahasa Inggris serta lingkungan sekolah.
101
3.6.3 Dokumentasi Selain melakukan wawancara dalam pengumpulan data, peneliti juga menggunakan dokumentasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan kebijakan penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris sekolah dasar, seperti teks kebijakan pemerintah itu sendiri, arsip kegiatan belajar-mengajar di kelas, rencana pelaksanaan pembelajaran, kurikulum pendidikan, dan kalender pendidikan. Selanjutnya data kepustakaan lainnya berasal dari (1) literatur yang ada hubungannya dengan penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris sekolah dasar, (2) hasil-hasil penelitian tentang pengajaran bahasa Inggris yang memiliki relevansi dengan penyelenggaraan pendidikan bahasa Inggris sekolah dasar, dan (3) terbitan ilmiah yang terkait, terutama jurnal. 3.7 Teknik Analisis Data Analisis data merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam penelitian ini. Dalam kaitan ini, analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif. Pada tahapan ini, semua data dikelompokkan dan dianalisis hingga menghasilkan hasil penelitian yang sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data adalah sebagai berikut. (1) Deskripsi data, yakni memaparkan data asli yang diperoleh melalui kegiatan observasi dan wawancara pada sekolah dasar yang menjadi tempat penelitian ini. (2) Reduksi data yakni kegiatan penelitian yang bersifat menggambarkan data yang sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tentang implementasi pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar. (3) Interpretasi
102
data, yaitu pengolahan data dilakukan dalam bentuk analisis kualitatif, yakni data yang dikumpulkan diolah berdasarkan prosedur yang ada. 3.8 Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data penelitian ini disajikan secara informal, yaitu dengan deskripsi naratif dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, dan teks deskriptif yang dibantu dengan cara formal, seperti penggunaan tabel. Paduan kedua cara ini dianggap sangat dibutuhkan untuk mengungkapkan kebutuhan penyajian hasil penelitian kajian budaya yang kompleks dan multidisipliner serta berciri deskriptif-kualitatif seperti dalam penelitian ini.