BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Undang-undang kepailitan saat ini mengatur bagaimana cara terbaik untuk pembayaran utang debitur harus dilakukan manakala aset lebih kecil dari pada utang yang ada, artinya kekayaan yang ada tidak mencukupi untuk membayar semua utang para kreditor. Kehadiran undang-undang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk memberikan perlindungan terhadap debitor dari maksud kreditor kuat untuk memaksa agar seluruh utangnya terbayar tanpa memikirkan kreditor lainnya. Salah satu unsur yang penting untuk berjalannya hukum kepailitan adalah peranan lembaga yudikatif, di mana terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh lembaga peradilan kita adalah: sebagai negara yang menganut sistem hukum kontinental (civil law tradition) pengadilan tak terikat kepada yurisprudensi sehingga sangat sering kita menemukan putusan yang berbeda dan bertolak belakang untuk kasus-kasus yang kurang lebih serupa. Jadi pengadilan di sini sulit untuk diprediksi (lack of predictability) padahal semua orang menginginkan suatu predictability kalau akan berperkara di pengadilan; para hakim kita tidak terlalu berani membuat penafsiran hukum atau penemuan hukum, padahal tidak semua pasal-pasal dalam kodifikasi hukum perdata maupun pidana mampu menjajwab semua persoalan yang datang ke hadapan para hakim.
1
Undang-undang kepailitan dianggap belum memberikan jaminan kepastian hukum yang dibuktikan dengan ketidak percayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia, khususnya Pengadilan Niaga yang menangani masalah kepailitan. Perkara-perkara kepailitan yang diperiksa oleh Pengadilan Niaga dalam setiap tahunnya menunjukan penurunan. Hampir semua hubungan keperdataan yang dahulu diselesaikan melalui Pengadilan Negeri sekarang mulai dikonstruksikan sebagai perkara tidak terpenuhinya suatu tagihan (utang) dan diajukan ke Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga telah dianggap sebagai senjata pamungkas untuk mengatasi berbagai permasalahan berupa masalah kemacetan dan kerumitan proses peradilan di pengadilan negeri serta pelbagai masalah perekonomian nasional. Untuk mempailitkan debitor, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak mensyaratkan agar debitor berada dalam keadaan insolven. Hal ini tentu melindungi kepentingan kreditor. Tidak diterapkannya insolvensi test ini mengakibatkan banyak perusahaan di Indonesia dinyatakan bangkrut secara hukum. Padahal dalam kondisi krisis seperti yang dialami oleh Indonesia saat itu bila persyaratan insolvensi diterapkan maka akan sulit untuk membuat debitor Indonesia dinyatakan pailit. Logikanya adalah krisis moneter sebenarnya tidak membuat debitor Indonesia dalam keadaan insolven karena kehilangan pangsa pasar (market share) atau pendapatan dalam bentuk rupiah. Krisis moneter menyebabkan debitor tidak lagi mampu membayar utang karena adanya perbedaan kurs yang mengakibatkan utang dalam mata uang
2
asing tidak terbayarkan dengan pendapatan dalam mata uang rupiah. Namun sayangnya kondisi masih solvennya debitor Indonesia ini tidak diperhatikan oleh para penyusun undang-undang kepailitan. Faktor emosional untuk menghukum pihak yang bersalah mendominasi penyusunan Perpu. Tidak adanya insolvensi test dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jelas menunjukan bahwa hukum kepailitan lebih melindungi kepentingan kreditor dibandingkan debitor. Untuk itu yang harus diperhatikan adalah bagaimana penerapan PKPU, diberikan kewenangan untuk dapat menanggulangi debitor sehingga persoalan tidak harus di "PAILIT”. Pengundangan Undang-Undang Kepailitan telah membawa perubahan signifikan dalam prosedur beracara untuk perkara kepailitan. Berbagai ketentuan baru yang dimuat dalam Undang-Undang Kepailitan telah meletakkan dasar-dasar baru dalam proses beracara yang selama ini berlaku bagi pemeriksaan perkara kepailitan. Namun sayangnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 inipun banyak mengalami kelemahan sehingga masih memerlukan beberapa penyempurnaan. Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa amandemen atas UndangUndang Kepailitan sangat dominan melindungi kepentingan kreditor. Hal ini bisa dilihat dari syarat untuk dinyatakan pailit sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu adanya dua atau lebih utang dan salah satunya telah jatuh tempo. Anehnya dalam amandemen terhadap Undang-Undang Kepailitan tersebut tidak satu ketentuanpun yang mensyaratkan bahwa debitor harus dalam keadaan tidak lagi mampu membayar (insolvent). Ini tentunya
3
bertentangan dengan filosofi universal dari Undang-Undang Kepailitan yaitu untuk memberikan jalan keluar bagi debitor dan kreditor bilamana debitor sudah
berada
dalam
keaadaan
tidak
lagi
mampu
membayar
utangnya.(Juwana, 2004:1) Mencermati putusan-putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, tampak jelas situasi ideal yaitu keseimbangan terukur antara tuntutan keadilan hukum dengan kepastian hukum dalam pertimbangan hakim masih jauh dari harapan.(Garuda Nusantara, 2000:XII). Terbukti sistem hukum dan konseptualisasi hukum kita lebih memilih jalan pragmatis, untuk menjawab tuntutan keadaan yang lebih mendesak. Deregulasi dengan instrumen yang parsial dan terbatas itu hanya menyembuhkan sementara berbagai persoalan ekonomi yang ada.(Rachbini, 1997:8) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dirasa tidak mampu mengatasi kemacetan upaya-upaya penyelesaian utang perusahaan, sehingga pengadilan dipergunakan sebagai upaya untuk menghindari kewajiban pembayaran utang baik dengan cara-cara legal (memanfaatkan kelemahan aturan substantif maupun prosedural), maupun dengan extra dan kontra legal. Hukum kepailitan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melalui hukum kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum (eksekusi massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitor, yang selanjutnya akan dibagikan kepada para kreditor secara seimbang dan adil di bawah pengawasan petugas yang berwenang. (Azikin, 1991:24). Ada dua tujuan klasik kepailitan yaitu pembagian yang adil kekayaan debitor untuk kemanfaatan seluruh kreditor
4
dan “fresh start" bagi debitor. Instrumen hukum kepailitan sangat penting, karena jika instrumen ini tidak ada, kesemrawutan setidak-tidaknya yang menyangkut pelaksanaan hak-hak ganti kerugian akan timbul. (Huizink, 1995:1) Prinsip yang mendasari pembagian pari passu adalah untuk menjamin bahwa seorang kreditor konkuren tidak memperoleh prioritas lebih dari kreditor lainnya secara tidak adil. Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU bertujuan agar debitur dapat mengajukan rencana perdamaian yang isinya meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada para krediturnya. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewaj iban Pembayaran Utang, pada dasarnya mengandung dua aspek. Pertama, debitur tidak dapat dipaksa secara langsung oleh kreditur untuk membayar utang dan atau pelaksanaan eksekusi atas harta Debitur ditunda (morotorium). Kedua, debitur melakukan restrukturisasi utangnya dengan cara mengajukan rencana perdamaian. PKPU terdiri dari PKPU Sementara dan PKPU Tetap. PKPU Sementara dapat diberikan selama jangka waktu 45 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sedangkan PKPU Tetap diberikan selama jangka waktu maksimal 270 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 228 ayat (6) Undang-Undang yang sama. Berbeda dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara
5
yang wajib diberikan oleh pengadilan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap serta perpanjangannya, hanya dapat diberikan setelah mendapat persetujuan dari Kreditur konkuren maupun oleh kreditur pemegang hak tanggungan dalam rapat kreditur. Penelitian mengenai penyelesaian utang melalui PKPU Tetap menjadi penting atas dasar alasan-alasan berikut ini: Pertama, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap dapat dipergunakan agar Debitur tidak dipailitkan. Menurut Fred B.G. Tumbuan pemberian PKPU dimaksudkan untuk mencegah diputuskannya pailit secara tergesa-gesa tanpa mengetahui keadaan usaha debitur, dan hal ini merupakan suatu reaksi terhadap diajukannya permohonan pailit. Demikian juga, PKPU dapat dilihat sebagai suatu reaksi dalam menghadapi permohonan pailit yang diajukan oleh pihak kreditur sebagimana dikatakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, (2002:322) "... upaya yang dilakukan oleh debitur untuk dapat menghindari kepailitan ialah dengan melakukan upaya yang disebut penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) atau surseance van betaling atau suspention of payment. Upaya tersebut hanya dapat diajukan oleh Debitur sebelum putusan pemyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, karena berdasarkan Pasal 217 ayat 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan". Sementara itu Jerry Hoff (1999:181) menyatakan sebagai berikut: The purpose of suspention of payments (penundaan kewajiban pembayaran utang) is to prevent the bankruptcy of a debtor who is unable to pay but who may be able to pay in the (near) future. The debtor merely faces temporary liquidity problems. In such cases, a bankruptcy would inevitably lead to erosion of capital value. This is clearly not in the interest of creditors. Suspension of payments gives
6
the debtor temporary relief (or a "breathing space') against pressing creditors in order to reorganize and continue in business, and ultimately to satisfy creditor's claims. If the reorganization of the business is not successful, suspension of payments can be easily converted into bankruptcy.
Perdamaian merupakan salah satu upaya hukum untuk menolak dilakukannya kepailitan terhadap Debitor. Perdamaian dalam proses kepailitan ini sering juga disebut dengan istilah “akkoord” (bahasa Belanda) atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah “Composition”. Berbicara tentang perdamaian dalam kepailitan tidak hanya ada dalam proses kepailitan, tetapi terdapat juga dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Perdamaian dalam proses PKPU pada prinsipnya sama dengan perdamaian dalam pengertiannya yang umum, yang intinya terdapatnya “kata sepakat”. Untuk perdamaian dalam proses PKPU, kata sepakat tersebut diharapkan terjadi antara pihak Debitor dengan para Kreditor-kreditornya terhadap rencana perdamaian (composition plan) yang diusulkan oleh Debitor. Rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitor adalah merupakan suatu hak dan dapat diajukan pada waktu mengajukan permohonan PKPU atau setelah menawarkan suatu perdamaian kepada Kreditor sebagaimana diatur dalam pasal 265 dan 266 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Perdamaian yang dilakukan dalam proses PKPU lebih formal dan dengan mengikuti tata cara dan time frame yang ketat yang diatur dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004.
7
Dalam proses kepailitan rencana PKPU yang diajukan oleh Debitor selain harus disampaikan juga kepada Pengurus, Kreditor dan Panitera Kreditor apabila dibentuk panitia Kreditor, maka rencana perdamaian tersebut wajib diberikan tanggapan oleh Pengurus maupun panitia Kreditor sementara. Terhadap Kreditor yang tidak hadir ataupun tidak mengetahui rencana perdamaian tersebut, maka Pengurus segera dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari harus memberikan terhadap kreditor rencana perdamaian tersebut. Dalam praktik yang penulis hadapi, rencana perdamaian yang dilakukan oleh Debitor banyak juga yang hanya merupakan akal-akalan untuk menghindari Kepailitan. Beberapa hal yang mereka lakukan adalah antara lain mengajukan rencana perdamaian dengan konsep hair cut atau interest/bunga dan pembayaran utang pokok (principle) dengan pola penundaan pembayaran pokok (grace period) dalam jangka waktu di atas 1 sampai 2 tahun. Dasar argumentasi debitor pailit dalam pola ini adalah bahwa perusahaan sedang mencoba melakukan restrukturisasi utang dan perusahaan dalam kondisi berjalan. Dari segi solvabilitas perusahaan tidaklah mungkin untuk membayar kewajibannya pada jangka waktu terdekat, namun diharapkan dengan adanya restrukturisasi
tersebut
perusahaan
dapat
mengangsur
pembayaran
kewajibannya kelak apabila perusahaan tersebut telah sehat. Akal-akalan ini tidak lain hanyalah cara untuk menekan kreditor agar debitor nantinya hanya wajib membayar sebagian kecil dari kewajibannya kelak dengan menyatakan perusahaan dalam keadaan insolvency.
8
Sungguhpun misalnya suatu perdamaian dalam kepailitan sudah disetujui oleh Kreditor, akan tetapi perdamaian tersebut masih memerlukan pengesahan oleh pengadilan niaga (ratifikasi) dalam suatu sidang yang disebut dengan “Homologasi”. Sidang homologasi ini dapat mengesahkan atau menolak pengesahan perdamaian sesuai dengan alasan yang disebut dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, yaitu alasan-alasan seperti yang disebut dalam Pasal 285 ayat (2) yaitu sebagai berikut: Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila : a. Harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian; b. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin; c. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan/ atau d. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan Pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya. Ketentuan ini secara teoritis cukup melindungi para pihak dalam melaksanakan proses perdamaian secara benar, namun perlu diperhatikan lebih lanjut aspek penolakan perdamaian karena diduga adanya penipuan ataupun kolusi dalam proses perdamaian sangat sulit untuk dilacak. Sejauh pengalaman penulis dalam praktik pelaksanaan undang-undang
9
Nomor 37 Tahun 2004, proses kolusi dapat terjadi antara lain dengan adanya kesepakatan yang dilakukan antara para kreditor yang memiliki voting right dengan suara mayoritas dengan pihak debitor. Kreditorkreditor tersebut umumnya telah melakukan pendekatan terhadap debitor dengan skema penyelesaian yang lebih menguntungkan kepentingan pihak mereka saja, tanpa mempertimbangkan kreditor lain yang umumnya adalah kreditor konkuren. Dalam skema tersebut mereka mencoba memberikan suatu pola penyelesaian yang lebih melindungi kepentingan mereka saja di kemudian hari. Sebagai konsekuensinya mereka akan menyetujui composition plan yang diajukan debitor dalam rapat kreditor kelak. Hal lain yang juga umumnya dilakukan oleh debitor untuk mencegah ditolaknya perdamaian adalah dengan menciptakan kreditor fiktif. Debitor dengan berbagai cara berusaha untuk tidak dinyatakan pailit dengan mengajukan composition plan yang kadang kala tidak memberikan pola penyelesaian utang yang kongkrit. Hal ini tentunya akan menimbulkan penolakan oleh pihak Kreditor. Sebagaimana diketahui dalam Pasal 281 dinyatakan secara tegas: “Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan : a. persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditor sebagaimana
dimaksud
dalam
pasal
268
termasuk
kreditor
sebagaimana dimaksud dalam pasal 280, yang bersama-sama
10
mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; b. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fiducia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan dari kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. Untuk menyiasati hal ini maka Debitor dapat membentuk suatu transaksi pinjaman baik itu dalam bentuk utang piutang (loan agreement) atau menerbitkan surat utang (indebtedness agreement) yang berkarakteristik negotiable instrument. Pemilik dari surat utang tersebut (Noteholder) yang adalah merupakan kreditor fiktif nantinya akan menjadi kreditor yang mendukung rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor. Dalam penelitian Tesis ini, penelitian akan difokuskan pada beberapa putusan mengenai pengesahan perdamaian (Homologasi) dalam Penundaan Kewajiban
Pembayaran
Utang
(PKPU)
dalam
Perkara
No.
27/
PKPU/2011/PN.Niaga. Jkt.Pst jo. No. 67/Pailit/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst dan Perkara No. 04/Pdt.Sus/PKPU/2010/PN.Niaga. Smg. Berdasarkan hal tersebut dalam pembahasan latar belakang maka Tesis penulis adalah sebagai berikut: “Tinjauan Yuridis Atas Putusan Pengesahan Perdamaian Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Yang Berkuatan Hukum Tetap Terhadap Para Kreditor
11
Konkuren Yang Tidak Mengajukan Dan Atau Tidak Dicocokkan Tagihannya Oleh Pengurus Berdasarkan Undang Undang Nomor 37 Tahun
2004
Tentang
Kepailitan
Dan
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang” 1) Pokok Permasalahan Adapun rumusan masalah dalam penulisan Tesis ini adalah sebagai berikut: a. Apakah Kreditor konkuren yang tidak mengajukan tagihan dan atau tidak dicocokkan tagihannya oleh Pengurus dapat melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali atas Putusan tersebut? b. Apakah putusan pengesahan perdamaian tersebut mengikat terhadap Kreditor Konkuren yang tidak mengajukan tagihan dan atau tagihan yang tidak dicocokkan oleh Pengurus? c. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh Kreditor konkuren tersebut jika Kreditor konkuren tersebut tidak setuju dengan skema pembayarannya dalam Putusan Pengesahan Perdamaian tersebut?
2) Keaslian Penelitian Menurut pengetahuan peneliti, bahwa penelitian tentang mengenai putusan pengesahan perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berkekuatan hukum tetap terhadap kreditor konkuren yang tidak mengajukan tagihan dan atau tidak dicocokkan tagihannya oleh Pengurus berdasarkan undang
12
undang nomor 37 tahun 2004 belum pernah ada yang membahas. Apabila ternyata pernah dilakukan penelitian serupa, maka hasil penelitian ini dapat melengkapi dengan tidak mengurangi materi penelitian yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini. 3) Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian dalam penulisan Tesis ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan praktis, bahwa bagi penulis akan menambah wawasan di bidang hukum, khususnya hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). b. Hasil penelitian ini akan disumbangkan kepada Fakultas Hukum Universitas Gadjahmada, agar dapat digunakan oleh pihak-pihak yang membutuhkan. B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam penulisan Tesis ini adalah sebagai berikut: a) Untuk mengetahui apakah Kreditor konkuren yang tidak mengajukan tagihan dan atau tidak dicocokkan tagihannya oleh Pengurus dapat melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali atau Putusan tersebut b) Untuk mengetahui apakah putusan pengesahan perdamaian tersebut mengikat terhadap Kreditor Konkuren yang tidak mengajukan tagihan dan atau tagihan yang tidak dicocokkan oleh Pengurus c) Untuk mengetahui upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh Kreditor
13
konkuren tersebut jika Kreditor konkuren tersebut tidak setuju dengan skema pembayarannya dalam Putusan Pengesahan Perdamaian tersebut
C. Landasan Teori Teori yang dipergunakan dalam penelitian adalah economics analysis of law menurut Richard Posner, (1980:3) Economics Analysis Of Law adalah penerapan prinsip-prinsip ekonomi sebagai pilihan-pilihan rasional untuk menganalisa persoalan hukum. Teori tersebut berasal dari aliran utilitarianism yang mengutamakan asas manfaat, yang dikembangkan oleh filosof Jeremy Benthem (1748-1832) dan filosof John Stuart Mill (1806-1872). Seperti ekonomi, sistim hukum juga adalah mengenai tingkah laku yang rasional. Hukum ingin mempengaruhi prilaku melalui sanksi, seperti hukuman penjara atau ganti rugi. Aspek yang memaksa dari hukum mengansumsikan bahwa orang tahu mengenai konsekuensinya. (Easterbrook, 1989:3-4) Selanjutnya
bagaimana
konsep-konsep
mikro
ekonomi
tersebut
diterapkan terhadap masalah-masalah hukum. Pendekatan analisa ekonomi dalam hukum ini lahir di Amerika Serikat yang menganut system Common Law di mana hakim memegang peranan penting dalam menetapkan apa yang merupakan hukum.(Crespi, vol. 25: 715-717) Analisis Ekonomi adalah menentukan pilihan dalam kondisi kelengkapan (scarcity). Dalam kelengkaan ekonomi diasumsikan bahwa individu atau masyarakat akan atau harus berusaha untuk memaksimalkan apa yang mereka
14
ingin capai dengan melakukan sesuatu sebaik mungkin dalam keterbatasan sumber. Dalam hubungannya dengan positive analysis dari hukum, analis akan bertanya bila kebijaksanaan (hukum) tersebut dilaksanakan, prediksi apa yang dapat kita buat yang mempunyai akibat ekonomi. Orang akan memberikan reaksi terhadap insentif atau disinsentif dari kebijaksanaan (hukum) tersebut. Normative analysis yang secara konvensional diartikan sebagai welfare economics cenderung akan bertanya apakah kebijaksanaan (hukum) yang diusulkan atau perubahan hukum yang dilakukan akan berpengaruh terhadap cara orang untuk mencapai apa yang dinginkannya? Dalam hubungan ini dua konsep efisiensi menjadi penting: Pareto Effeciency (nama seorang ahli ekonomi Italia abad yang lalu) dan "Kaldor Hicks Efficiency" (nama dua ahli ekonomi Inggris). Pareto Efficiency akan bertanya apakah kebijaksanaan atau perubahan hukum tersebut membuat seseorang lebih baik dengan tidak mengakibatkan seseorang lainnya bertambah buruk?. Sebaliknya Kaldor-Hicks Efficiency akan mengajukan pertanyaan apakah kebijaksanaan atau perubahan hukum tersebut akan menghasilkan keuntungan yang cukup bagi mereka yang mengalami perubahan itu, sehingga ia secara hipotetis dapat memberikan kompensasi kepada mereka yang dirugikan akibat kebijaksanaan atau perubahan hukum tersebut. Pendekatan yang terakhir ini adalah cost-benefitanalysis (Trebilock, 1993:361-363). Pendekatan analisis ekonomi dalam hukum, menekankan kepada costbenefit,
yang
kadang-kadang
oleh
sebagian
orang
dianggap
tidak
mendatangkan keadilan. Konsentrasi ahli ekonomi yang tertuju kepada
15
efisiensi, tidak terlalu merasakan perlunya unsur keadilan (justice). Hal ini tentu dibantah oleh penganut-penganut pendekatan analisis ekonomi dalam hukum. Pertama dikatakan, bahwa tidak benar ekonom tidak memikirkan keadilan. Dalam usaha menentukan klaim normative mengenai pembagian pendapatan dan kesejahteraan, seseorang mesti memiliki philosofi politik melebihi pertimbangan ekonomi semata-mata. Kedua, ekonomi menyediakan kerangka di dalam mana pembahasan mengenai keadilan dapat dilakukan. Para ekonom telah memperlihatkan bahwa jika kondisi-kondisi untuk adanya pasar yang kompetitif memuaskan, hasil yang diperoleh adalah efisiensi pareto. Sama juga, tiap hasil dari effisiensi pareto dapat dikembangkan dari distribusi asset lebih dulu yang menimbulkan kondisi kompetetif. (Rose Ackerman, 1996:3) Mengacu pada usaha bersama dengan asas kekeluargaan dan prinsip demokrasi ekonomi berkeadilan ini, maka terjadinya perselisihan antar sesama pelaku usaha idealnya tidak diselesaikan dengan mematikan usaha pihak lain. Apabila prinsip demokrasi ekonomi ini dikaitkan dengan hukum kepailitan, bahwa ketidakmampuan debitor dalam membayar utang-utangnya kepada kreditor selayaknya tidak serta merta dipailitkan, namun terlebih dahulu dibina atau dibantu untuk direstrukturisasi dan dilakukan penyehatan sepanjang debitor masih memiliki potensi usaha dan iktikad baik, sebagaimana hal ini sesuai juga dengan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yaitu : keseimbangan, kelangsungan usaha, keadilan dan integrasi.
16
Untuk pembahasan tentang tema penelitian yang berkaitan dengan keadilan akan digunakan Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja dan prinsip creditors' bargain dari Thomas H. Jackson. Teori Hukum
Pembangunan
digunakan
untuk
menggambarkan
bagaimana
sebaiknya penerapan hukum terhadap kreditor maupun debitor, selain didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku menyangkut kepailitan dan PKPU juga hal ini dapat digunakan sebagai pembangunan hukum, khusunya dibidang hukum ekonomi. Sementara itu untuk prinsip creditors' bargain dari Thomas H. Jockson akan digunakan untuk menganalisa keseimbangan antara debitor dan kreditor dalam ikut serta bersama-sama menentukan apakah debitor dapat diberikan kesempatan untuk melaksanakan PKPU atau tidak. Filsuf Aristoteles berpendapat bahwa negara itu lahir dimaksudkan untuk kepentingan warganya, supaya mereka dapat hidup dengan baik dan dengan bahagia, hal ini sama artinya dengan suatu keinginan untuk mencapai keadilan yang merupakan suatu dasar semua pemerintahan. (Soetiksno, 2002:51) Keadilan adalah suatu kebijakan politik, sehingga dengan aturanaturannya negara diperintah dan aturan-aturan ini merupakan ukuran apa yang adil. Aristoteles memberikan pilihan pada keadilan menurut hukum atau keadilan positif di atas Prinsip-Prinsip abadi tentang kebenaran. Keadilan menghendaki perlakuan yang sama terhadap mereka yang menurut hukum adalah sama, akan tetapi siapa yang harus diperlakukan sama atau sebaiknya harus ditentukan oleh masing-masing ketertiban politik.(Soetiksno, 2002:17)
17
Menurut Aristoteles keadilan itu terdiri dari keadilan yang membagi (distributive justice "keadilan distributif') dan keadilan yang memperbaiki (corrective justice atau remedial justice "keadilan korektif') (Seotiksno, 2002:14-15) Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang bagiannya menurut jasanya. Keadilan ini juga membagi dan memberi petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang, menurut tempatnya di masyarakat. Keadilan ini menghendaki perlakuan yang sama terhadap mereka yang sama menurut hukum. Tidak ada suatu cita-cita mengenai keadilan yang benar, berlaku rnenurut teori dan pada waktu itu juga mempunyai isi yang tertentu. Keadilan distributif tidak menuntut orang supaya tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan akan tetapi kesebandingan atau proporsionalitas yang harus diperhatikan. Hukum positive-lah yang dijadikan dasar sebagai prinsipprinsip kesusilaan dan politik yang menentukan siapa yang sama menurut hukum. Keadilan korektif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan. Keadilan ini lebih menguasai hubungan antara perorangan, berbeda dengan keadilan-keadilan distributif yang terfokus mengenai hubungan antara masyarakat, khusunya negara dan perseorangan tertentu. Keadilan korektif (keadilan yang memperbaiki vergeldende rechtvaardigheid) terutama dilakukan terhadap ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum.
18
Menurut Aristoteles, hukum itu bisa keras dan oleh karena itu mengandung kemungkinan untuk tidak mendatangkan keadilan. Kerena itu ia harus dilunakkan dan didekatkan kepada keadilan dengan cara-cara equity, yaitu meluruskan jalannya hukum yang telah menjadi salah disebabkan oleh sifat keumumannya. Eksistensi equity sebagai pelengkap keadilan, tidak bermaksud untuk mengubah atau mengurangi keadilan, melainkan sebatas memberikan koreksi dan atau melengkapi dalam keadaan individu tertentu, kondisi serta kasus tertentu (Hermoko, 2008:54). Hukum berbicara yang umum tetapi tidak bisa semua perkara bisa dimasukkan dalam pengaturan yang bersifat umum, tanpa risiko menimbulkan ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian hakim hendaknya memperlakukannya sebagai suatu kasus yang unik dan akan memberikan keputusan seperti apabila berada pada kursi pembuat hukum.(Hermoko, 2008:257) Terdapat perbedaan antara keadilan abstrak dan kepatutan (equity). Segala pembicaraan tentang masalah kepatutan, mengenai penafsiran yang benar tentang suatu undang-undang atau suatu putusan hakim merupakan sumber keterangan yang fundamental. Hal ini semuanya ditujukan untuk mencapai tujuan hukum, yang menurut Aristoteles adalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan dengan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.( Muchsin, 2006:12) Jika kesenjangan antara das Sollen dengan das Sein dalam penelitian ini dikaitkan dengan pendapat Aristoteles di atas dapat dikemukakan, bahwa PKPU sebagai sarana untuk mengajukan rencana perdamaian adalah solusi
19
yang terbaik untuk menyelesaikan utangnya sebelum debitor tersebut dinyatakan pailit oleh pengadilan. PKPU yang semestinya mendahului dari kepailitan dapat berperan secara maksimal bukan saja untuk kepentingan debitor namun juga untuk kepentingan kreditor dan stakeholders dengan berkeadilan, hal ini semua tidak terlepas dari peran PKPU sendiri yang selama ini diatur oleh negara untuk kepentingan debitor dan kreditor dalam mencapai keadilan, yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya. Pengadilan hendaknya tidak hanya terpaku dalam area normatif dan positivistik untuk menuju keadilan tetapi harus melakukan penafsiran tentang suatu undang-undang secara benar karena itu merupakan sumber keterangan yang sangat fundamental. Peran keadilan distributif harus lebih ditonjolkan mengingat keadilan ini berperan untuk menghubungkan antara negara dan perseorangan tertentu. Dihadapan hukum, diantara peringkat kreditor sendiri harus diberikan keadilan dengan ukuran-ukuran yang umum, hukum tidak menuntut agar setiap orang diberikan bagian yang sama, bukan persamaan yang dimaksud dalam keadilan ini tetapi kesebandingan atau proporsionalitas diantara kreditor. Pemikiran ini sebenarnya sejalan dengan prinsip-prinsip kreditor yaitu pari pasu prorata parte dalam pembagian harta pailit. Hukum kepailitan dan PKPU memang bisa bersifat keras, seperti memberikan jangka waktu yang ketat terhadap proses pemeriksaan di pengadilan, membatasi waktu untuk PKPU, mempermudah kreditor dalam mengajukan permohonan pailit debitor, lebih menonjolkan kepailitan
20
daripada PKPU, karenanya akan mengandung kemungkinan untuk tidak mendatangkan keadilan apalagi kesejahteraan. Untuk mencapai tujuan itu hukum harus didekatkan dengan keadilan menggunakan cara-cara yang bersifat umum tanpa risiko menimbulkan ketidakadilan. Pengadilan hendaknya memperlakukan sebagai suatu kasus yang unik dan memberikan keputusan seolah-olah berada pada posisi pembuat hukum. Sementara itu kepailitan merupakan solusi untuk memecahkan masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kesulitan keuangan, bukan pranata semata-mata untuk membangkrutkan perusahaan. Oleh karena itu perlu pengaturan yang baik khususnya tentang PKPU agar terdapat keseimbangan diantara debitor dan kreditor serta terjaminnya rasa aman dari tindakan
eksekusi
yang
dilakukan
dengan
melanggar
hukum
(unlawfullexecution) dari para kreditor dengan mematuhi prinsip-prinsip kepailitan dalam pembagian harta kekayaan debitor. Secara filosofi, lahirnya undang-undang atau peraturan tentang kepailitan dan PKPU merupakan aktualisasi penguasa dalam bentuk formal melalui hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan khusunya antara kreditor dan debitor. Namun demikian, munculnya kesenjangan dalam pelaksanaannya menandakan bahwa undang-undang tersebut belum dapat menciptakan suatu masyarakat yang tertata baik, padahal suatu keadilan akan dapat mengatur masyarakat secara efektif jika konsep tersebut dapat diterima secara umum. Undang-Undang Kepailitan yang bertujuan menciptakan keadilan secara formal cenderung dipaksakan oleh penguasa karenanya telah
21
dirasakan sebagai ketidakadilan yang harus dihindari sebagaimana dinyatakan oleh John Rawls. Senada
dengan
prinsip
ini,
Sunaryati
Hartono
memberikan
pemikirannya tentang perspektif hukum nasional, salah satunya dikatakan bahwa untuk memelihara keseimbangan antara pemerintah dan rakyat, maka khususnya untuk hukum positif yang berlaku di Indonesia sumbernya tidak hanya berasal dari pemerintah saja, penyusunan kaidah-kaidah hukum acara yang
dibuat
harus
mampu
menjamin
perlakuan
tertuduh
secara
berperikemanusiaan dan menjamin pemeriksaan perkara yang obyektif. Penegakan hukum tidak hanya dilakukan secara harafiah saja atau hanya formalitas saja akan tetapi benar-benar untuk maksud menciptakan keadilan baik bagi pihak yang berperkara maupun masyarakat.(Sunaryati Hartono, 1991:22-27) Agar keadilan dalam perlindungan terhadap debitor dan kreditor dapat berjalan secara efektif, maka penerapan hukum pun harus dapat ditegakkan dengan melihat sistem hukum yang berlaku dimasyarakat sebagaimana dikatakan oleh Lawrence M. Friedman, yaitu struktur hukum, substansi, dan budaya hukum. (Sunaryati Hartono, 1991: 2-3) Selain itu Lawrence M. Friedman juga mengemukakan adanya 4 (empat) fungsi sistem hukum yaitu : pertama sebagai bagian dari sistem kontrol (social control) yang mengatur perilaku manusia, kedua sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa (dispute settlement), ketiga sistem hukum memiliki fungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering function), keempat sistem hukum sebagai
22
pemeliharaan sosial (social maintenance), yaitu sebagai fungsi yang menekankan peranan hukum sebagai pemelihara status quo yang tidak menginginkan perubahan.(Friedman, 2001: 11-14) Sunaryati Hartono berpendapat "bahwa hukum itu tidak hanya secara pasif menerima dan mengalami pengaruh dari nilai-nilai sosial budaya di dalam masyarakat akan tetapi secara aktif harus mempengaruhi pula timbulnya nilai-nilai sosial budaya baru. (Sunaryati Hartono, 1976:5) Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi berfungsinya hukum dengan baik adalah budaya hukum masyarakat. Budaya hukum masyarakat sangat berkaitan erat dengan kesadaran hukum masyarakat. Berkaitan dengan hal ini Sunaryati Hartono mengemukakan, bahwa kesadaran hukum merupakan suatu pengertian yang menjadi hasil ciptaan para sarjana hukum, yaitu tidak dapat dilihat secara langsung di dalam kehidupan masyarakat akan tetapi hanya dapat disimpulkan ada tidaknya dari pengalaman hidup sosial melalui suatu cara pemikiran dan cara penafsiran yang tertentu (Sunaryati Hartono, 1976: 12). Kelancaran proses pelaksanaan penegakan hukum di dalam masyarakat sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut dan berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan, bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari nilai yang berlaku disuatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat yang tentunya
23
sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Nilai-nilai itu tidak terlepas dari sikap dan sifat-sifat yang seharusnya dimiliki orang-orang yang menjadi anggota masyarakat yang sedang membangun (Kusumaatmadja, 1976:10). Tanpa perubahan sikapsikap dan sifat kearah yang diperlukan oleh suatu kehidupan yang modern, maka segala pembangunan dalam arti benda fisik akan sedikit sekali artinya, hal ini sudah dibuktikan oleh pemborosan-pemborosan yang terjadi di banyak negara yang sedang berkembang yang mengabaikan aspek ini, jadi hakekat dari masalah. Pembangunan nasional adalah masalah pembaharuan cara berfikir dan sikap hidup. Di dalam masyarakat yang modern atau pra-modern terdapat suatu kecenderungan untuk merumuskan kaidah-kaidah hukum dalam bentuk tertulis secara resmi dan pada umumnya disebut perundang-undangan, untuk selanjutnya akan dipergunakan istilah hukum secara bergantian yang berisi seperangkat peraturan dengan hirarki tertentu. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin kepastian hukum di dalam masyarakat dan bagi para penegak hukum merupakan suatu landasan yang kokoh untuk menerapkan atau melaksanakan tugasnya sebagai hamba hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perundang-undangan merupakan suatu hukum dalam arti tata hukum yaitu suatu struktur dan proses dari seperangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja menyatakan, bahwa dalam
24
menghadapi masalah pemulihan atau membangun bidang hukum untuk dikembangkan, maka perlu beberapa ukuran/kriteria sebagai acuannya, yaitu: (1) ukuran keperluan yang mendesak (urgent need), (2) feasibility, dan (3) perubahan yang pokok (fundamental change) (Kusumaatmadja, 2002:32-33).
D. Cara Penelitian a. Penelitian Kepustakaan 1. Data Penelitian kepustakaan data sekunder meliputi : a) Bahan-bahan hukum primer, terdiri dari : (1) Pancasila (2) Undang-Undang Dasar 1945 (hasil Amandemen ke IV) (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985) jo Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (8) Yurisprudensi
25
b) Bahan-bahan hukum sekunder, terdiri dari : (1) Berbagai kepustakaan mengenai pengesahan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang berdasarkan undang undang nomor 37 tahun 2004 (2) Berbagai karya ilmiah mengenai putusan pengadilan c) Bahan-bahan hukum tertier, terdiri dari : (1) Kamus Bahasa Indonesia (2) Kamus Hukum (3) Kamus Bahasa Inggris - Indonesia 2. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian kepustakaan adalah studi dokumen. Pertama-tama mempelajari peraturan dalam bidang hukum yang menjadi obyek penelitian, dipilih dan dihimpun. Kemudian dari bahan tersebut dipilih asas-asas hukum, kaedah-kaedah hukum dan ketentuanketentuan hukum positif yang mendasari hubungan hukum yang timbul dari kajian yuridis mengenai tinjauan yuridis atas putusan pengesahan perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang berkuatan hukum tetap terhadap para kreditor konkuren yang tidak mengajukan dan atau tidak dicocokkan tagihannya oleh pengurus berdasarkan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang
26
b. Penelitian Lapangan 1) Data Data yang diperoleh dari penelitian lapangan adalah data primer yaitu tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan pembahasan tesis ini, khususnya mengenai tinjauan yuridis atas putusan pengesahan perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang berkuatan hukum tetap terhadap para kreditor konkuren yang tidak mengajukan dan atau tidak dicocokkan tagihannya oleh pengurus berdasarkan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang Untuk memperoleh data primer tersebut telah ditentukan wilayah dan subyek penelitian, sebagai berikut : a) Wilayah penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada baik yang terdapat di Yogyakarta maupun di Jakarta. Wilayah penelitian ditentukan dengan purposive yaitu dengan pertimbangan bahwa Mahkamah Agung yang berwenang menangani masalah ini serta terdapat pula ahli hukum, khususnya di Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
27
b) Subyek Penelitian Yang menjadi subyek penelitian adalah mereka yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penanganan terhadap permasalahan tersebut: Hakim, Kurator, Pengurus dan Advokat. 2) Alat Penelitian Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah kuesioner dan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan/ pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Cara wawancara ini ditujukan kepada tim konsultan ahli, hukum bisnis yang terdapat di Kementerian Hukum dan HAM khususnya Badan Pembinaan
Hukum
Nasional.
Wawancara
dilakukan
dengan
mempergunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan secara bervariasi antara pedoman yang berstruktur dan tidak berstruktur atau semi terstruktur. Dalam hal ini mula-mula diadakan beberapa pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian dari beberapa pertanyaan diperdalam untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut, sehingga dapat diperoleh jawaban yang lebih lengkap dan mendalam guna melengkapi jawaban yang diperoleh dari kuesioner.
28
c. Jalannya Penelitian Dalam penelitian ini langkah-langkah yang ditempuh terdiri atas tiga tahap yaitu : 1) Tahap Persiapan Pada tahap ini, dimulai dengan pengumpulan bahan kepustakaan, dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan usulan penelitian kemudian
dikonsultasikan
untuk
penyempurnaan,
kemudian
penyusunan instrument penelitian dan pengurusan ijin penelitian. 2) Tahap Pelaksanaan Tahap pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam dua tahap pelaksanaan, yaitu : a) Pelaksanaan
dalam
penelitian
kepustakaan,
dilakukan
pengumpulan dan pengkajian data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tertier. b) Pelaksanaan dalam penelitian lapangan, dilakukan penentuan responden dan penelitian lapangan Disamping itu pengumpulan data sekunder pada instansi yang ada hubungannya dengan topik penelitian 3) Tahap Penyelesaian Pada tahap ini dilakukan berbagai kegiatan yaitu penulisan laporan awal hasil penelitian dan menganalisis, yang dilanjutkan dengan konsultasi dan perbaikan serta diakhiri dengan laporan akhir.
29
d. Analisis Data Seluruh data yang diperoleh, dianalisis secara normative, kualitatif, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini disajikan dengan maksud untuk memberikan gambaran secara garis besar di dalam tiap-tiap bab sebagai berikut : Bab I merupakan bab pendahuluan yang menjadi pengantar untuk babbab berikutnya. Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, keaslian penelitian, kegunaan penelitian, tujuan penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II adalah tinjauan pustaka, membahas mengenai mengenai hukum kepailitan dan PKPU, penundaan pembayaran utang sebagai pranata untuk mengajukan perdamaian, serta titik singgung kepailitan dan PKPU, karakteristik hakekat penyehatan perusahaan melalui PKPU, manfaat penundaan PKPU serta kemampuan dan itikad baik sebagai faktor utama dalam melakukan PKPU. Bab III adalah cara penelitian, membahas mengenai penelitian kepustakaan, penelitian lapangan, jalannya penelitian, analisis data, serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam penelitian.
30
Bab IV adalah analisis hasil pembahasan, bab ini akan membahas mengenai Kreditor konkuren yang tidak mengajukan tagihan dan atau tidak dicocokkan tagihannya oleh Pengurus dapat melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali atas Putusan tersebut; putusan pengesahan perdamaian tersebut mengikat terhadap Kreditor Konkuren yang tidak mengajukan tagihan dan atau tagihan yang tidak dicocokkan oleh Pengurus; dan Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Kreditor konkuren tersebut jika Kreditor konkuren tersebut tidak setuju dengan skema pembayarannya dalam Putusan Pengesahan Perdamaian tersebut Bab V adalah penutup yang berisikan kesimpulan yang merupakan intisari dari bab-bab yang dibahas, dan saran yang merupakan usulan atau rekomendasi yang tersirat dalam kesimpulan.
31