BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Umumnya eksistensi suatu masyarakat akan dengan mudah dikenali melalui kebudayaan dan kode-kode sosial yang hidup di tengah-tengahnya. Ia berlaku sebagai rujukan dari nilai-nilai, sekaligus juga aturan main yang akan diikuti oleh kelompok masyarakat tersebut. Pada saat bersamaan ia berlaku pula sebagai identitas kolektif masyarakat yang bersangkutan, yang membedakan diri dengan kelompok masyarakat lainnya. Menurut Sokefeld (Irianto dkk., 2011 : 140) identitas ini menjadi suatu label yang dipergunakan atau diberikan untuk mengelompokkan serta membedakan diri dengan kelompok lain, siapa kami dan mereka (self vs others). Akan tetapi terdapat kenyataan menarik pada masyarakat asli Lampung Tulang Bawang Barat. Apa yang didefinisikan oleh Sokefeld di atas tidak terjadi pada mereka dan justru bertolak belakang dengan teorinya. Mereka mengalami apa yang disebut dengan “kegelisahan identitas” yakni berkaitan dengan situasi keterpinggiran dan keterdesakan oleh populasi pendatang-transmigran Jawa yang jumlahnya diperkirakan mencapai angka 70 % sedangkan mereka 20 % dan etnik lain sekitar 10 % (BPS, Tulang Bawang Barat, 2011). Perihal komposisi yang tidak berimbang ini dapat dirunut akarnya pada sejarah panjang proyek kolonisasi era Belanda pada tahun 1905 yang dilanjutkan kemudian dengan program transmigrasi masa Soekarno dan Orde Baru Soeharto.
1
2
Bagi masyarakat asli Lampung keberadaan pendatang-transmigran Jawa yang disokong oleh kebijakan pemerintah Orde Baru menyebabkan apa yang oleh Oommen (1997) disebut dengan etnifikasi, yakni situasi dimana mereka tidak lagi berkuasa atas tanahnya sendiri padahal mereka lahir dan besar disana. Transmigrasi telah menjadikan etnis lokal menjadi minoritas di tanah miliknya (Irianto dkk., 2011 : 141). Diamati dengan seksama, memang sejatinya Tulang Bawang Barat secara khusus dan provinsi Lampung secara umum memiliki keunikan tersendiri ketika diteropong melalui sudut pandang budaya dan komposisi penduduknya. Ia adalah bagian dari bumi Sumatera dengan karakter serta budaya penduduk khasnya tetapi sirkumstasi yang melingkungi beraroma cita rasa Jawa. Mayoritas etnis Jawa menjadi dominan pada banyak arena pertarungan sosial baik bahasa, nilai-nilai, tata pergaulan sosial dan terutamanya pada lini ekonomi. Catatan pemerintah daerah menunjukkan bahwa pendatang-transmigran Jawa, Bali, Madura dan Sunda dimulai sejak awal 1970-an dan berlanjut terus hingga pertengahan pemerintahan Soeharto (DISNAKERTRANS. Kab. Tulang Bawang Barat : 2011). Dalam perkembangannya selanjutnya, diakui oleh banyak pihak bahwa keberadaan kelompok pendatang ini telah memberikan kemakmuran nyata sekaligus tanpa disadari mengguratkan konflik dan pertarungan identitas dengan penduduk asli. Jika masa Orde Baru konflik antar dua komunitas kelompok ini tidak pernah mencuat ke permukaan karena otoritarianisme rezim saat itu maka sejak diberlakukan otonomi daerah masyarakat asli Lampung menemukan momentum untuk mempersoalkan
posisi mereka berhadap-hadapan dengan
3
pendatang, menggugat apa yang “terambil” dari mereka dan lantas mengusahakan untuk direbut kembali. Pendatang-transmigran Jawa telah memberikan gambaran kemajuan yang tercermin melalui dinamika pasar, keberadaan beberapa stasiun pompa bensin, kantor-kantor bank, sekolahan dan masjid yang berdiri secara megah, beberapa rumah sakit, banyaknya toko ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart serta lalu-lalang kendaraan roda dua atau empat. Dari Delapan kecamatan yang masuk wilayah Tulang Bawang Barat, Tujuh diantaranya adalah daerah eks-UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) yang kini berubah menjadi kota kecamatan yang dinamis. Dapat dikatakan, bahwa cikal bakal pendirian kota-kota kecamatan yang menjadi sokongan akan pendirian kabupaten ini adalah basis-basis kantong transmigrasi di tujuh kecamatan tersebut yang secara faktual memiliki fondasi perekonomian yang kuat serta jumlah penduduk memadai. Ketujuh kecamatan ini ibarat bulatan-bulatan sarang tawon dan taman sari dimana banyak lebah memproduksi madu, beraktifitas dan berkumpul di tengah belantara dan rawa. Malam hari menjadi waktu istimewa bagi pedagang kaki lima untuk berjualan di sepanjang jalan. Rata-rata orang Jawa. Biasanya mereka buka jam 17.00 WIB sore dan tutup jam 24 atau 01.00 malam. Rutinitas demikian berjalan terus dari hari ke hari. Orang-orang Jawa banyak berprofesi sebagai birokrat, guru, pendakwah agama, pedagang, petani, mekanik bengkel atau operator traktor perkebunan dan banyak diantaranya pemilik lahan karet atau sawit dengan jumlah terbatas. Mereka bermukim di pinggiran kota kecamatan yang ramai dan kantongkantong desa yang masih dalam lingkungan kota kecamatan.
4
Sepanjang jalan yang dapat disebut sebagai jalan utama dari Tulang Bawang hingga ke Kota Bumi merupakan tempat favorit mereka untuk bermukim tidak terkecuali jalan utama dari tujuh kecamatan eks-UPT yakni Tulang Bawang Tengah, Tulang Bawang Udik, Lembu Kibang, Tumijajar, Gunung Terang, Gunung Agung dan Way Kenanga, kesemuanya merupakan titik episentrum dari geliat ekonomi baik siang maupun malam hari. Orang Jawa menunjukkan jati dirinya sebagai pekerja ulet dengan menghidupkan perekonomian lokal sehari-hari, tanpa kenal lelah mencari nafkah sebagai tujuan utama dengan tanpa disadari telah berimplikasi pada kemajuan ekonomi-sosial yang maju pada daerah yang klaim kelompok pribumi sebagai “bukan miliknya”. Beberapa kelompok atau kepala keluarga orang Jawa bermukim di perkebunan-perkebunan yang mereka kuasai yang jaraknya tidak begitu jauh dari kota. Mereka menanam karet, kelapa sawit dan padi. Tiga jenis tanaman inilah yang menjadi andalan mereka dan pemerintah daerah Tulang Bawang Barat. Dominasi pada wilayah ekonomi sebagaimana digambarkan di atas bukanlah satu-satunya pokok krusial pemicu ketegangan psikologis antara pendatang versus penduduk asli Lampung. Terdapat persoalan lain yang berlangsung selama puluhan tahun dari generasi orang tua ke generasi berikutnya. Semenjak kedatangannya kelompok transmigran berdiam di pemukiman enclave atau koloni yang disebut dengan UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) yang tidak terintegrasi dengan penduduk asli lokal bahkan dalam titik tekan tertentu terdapat UPT yang jauh dari perkampungan mereka. Pengelompokan demikian rupa tidak
5
mendorong proses akulturasi dengan cepat seperti biasa terjadi pada dua atau lebih kelompok sosial yang bertemu dan hidup berdampingan. Orang asli Lampung hidup mengelompok dengan komunitas kecilnya sementara pendatang transmigran Jawa hidup dalam koloninya. Anak-anak Lampung lahir dan belajar kode-kode sosial serta bahasa Lampung sehari-hari hanya seputar keluarga dan kelompok sosial terbatasnya. Sementara keluar dari rumah dan lingkungan kecilnya mereka akan menjumpai kelompok pendatang yang lebih besar lagi dengan bahasa dan tradisi budaya dominan berbeda. Pada kesempatan yang sama, anak-anak Jawa terlahir sebagai orang Jawa, berbahasa Jawa sejak kanak-kanak dan bertingkah-laku ala orang Jawa. Dalam internal keluarga, mereka bersosialisasi dengan saudara-saudarinya yang Jawa sementara itu pula, di luaran mereka berinteraksi dengan teman-temannya yang Jawa baik di sekolahan maupun di arena perkumpulan. Nilai-nilai Jawa hidup subur di Tanah Lampung sementara kebalikannya, tradisi dan kebudayaan Lampung hanya hidup pada komunitas terbatas mereka, terpinggirkan dan terkepung oleh tradisi budaya dominan pendatang sehingga lambat laun “mengecil” dan terabsorbsi oleh budaya Jawa. Ketimpangan budaya dan ekonomi pada banyak kasus kerap melahirkan konflik antar etnik seperti orang Lampung versus transmigran Bali dan orang Lampung versus transmigran Jawa. Memang, konflik antara masyarakat lokal dengan pendatang transmigran belum mengakibatkan amuk massa sebesar apa yang pernah terjadi di Malaysia tanggal 13 Mei 1969 antara etnis Melayu versus Cina dan India atau antara etnis Dayak dengan Madura di Sampit pada awal era
6
reformasi. Di Tulang Bawang Barat letupan-letupan masih bersifat kecil dan sporadik, terjadi di banyak tempat dengan modus berbeda-beda dengan titik persoalan sama yakni kecemburuan sosial yang berangkat dari persoalan ketimpangan ekonomi. Misal, kejadian pertarungan antara kelompok etnik Lampung dengan transmigran Jawa karena perampokan kendaraan roda dua milik orang Jawa oleh orang Lampung. Ketika orang Lampung ditangkap dan lantas diserahkan kepada pihak kepolisian, maka esok harinya dapat dipastikan koloni orang Jawa yang menjadi korban tadi akan diserbu.1 Kasus lainnya yang seringkali terjadi adalah pengambilalihan lahan perkebunan atau rumah secara paksa dengan dalih bahwa dahulu tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka meskipun dalam kurun perjalanan waktu kemudian telah berpindah kepemilikan akibat transaksi jual beli. Jika ditelaah lebih lanjut, dominasi pendatang-transmigran Jawa yang digambarkan sesungguhnya hanya bersifat artifisial saja terutama pada simbolsimbol ekonomi dan tradisi serta bahasa Jawa yang masih hidup subur di tengahtengah mereka akan tetapi jika diselami lebih lanjut, mereka berada pada situasi tegangan sebagai “orang lain” ketika berhadap-hadapan dengan pribumi dan belum diakui sepenuhnya sebagai bagian dari mereka baik secara sosial maupun politik. Konteks perjumpaan pendatang dan pribumi sebagaimana digambarkan diatas didiskusikan secara baik oleh ilmu kajian budaya sebagai ruang diaspora yang dapat dimengerti dalam bentuk esensialnya sebagai komunitas minoritas 1
Sebagaimana diturkan oleh narasumber Suwarno, tanggal 12 September 2013
7
yang hidup dalam pengasingan dengan sejarah perjalanan melelahkan akibat kesulitan ekonomi atau politik seperti bangsa Yahudi di Eropa abad-abad terdahulu, Afro-Karibia di Inggris, dan yang paling mutakhir pengungsi Afganistan dan Irak di Australia. Meskipun transmigran Jawa adalah mayoritas dibanding dengan penduduk asli Lampung mereka tetaplah hidup dalam “ruang diaspora” yang mempersilahkan berbagai ketegangan bermain dalam wilayah psikologi sosial maupun personal seperti hasrat “pulang” yang senantiasa hadir, kerinduan akan kampung halaman, ketegangan mayoritas-minoritas mengenai kekuasaan dan penguasaan ekonomi, ketegangan mengenai identitas lama (sebagai orang Jawa) dan baru (sebagai orang Lampung). Di dalam suasana ini, bersaing batas antara inklusi dan eklusi, kecocokan dan keasingan, “kita” dan “mereka” ( Sardar dkk, 2001 : 133). Demikian pula, ketegangan-ketegangan dalam ruang diaspora ternyata dialami pula oleh masyarakat asli Lampung. Mereka mengalami etnifikasi atau keterpinggiran peran sosial, budaya dan ekonomi karena keterkepungan oleh pendatang transmigran yang jumlahnya tidak sebanding. Etnifikasi semakin terasa ketika pemerintahan Jakarta era Orde Baru lebih “melindungi” komunitas transmigran dan memberikan peran lebih pada tokoh-tokoh Jawa di berbagai jenjang birokrasi. Ketegangan dan marginalisasi atas mereka menumbuh suburkan kecurigaan dan “dendam” yang kemudian menemukan momentum tepat saat sistem otonomi daerah berlaku. Barangkali, kondisi demikian berkesesuaian dengan tesis Avtar Brah : “Diaspora sebagai suatu kategori konseptual tidak hanya didiami oleh pendatang, tetapi juga oleh mereka yang telah tinggal dan
8
dikonstruksi serta direpresentasi sebagai “pribumi”. Ruang diaspora adalah situs tempat pribumi sesungguhnya adalah seorang diasporian, sebaliknya diasporian adalah pribumi” (Avtar Brah dalam sardar dkk, 2001 : 134). Orang Lampung merasakan dirinya “terasing” di tanah sendiri. Ketegangan-ketegangan psikologis akan keterpinggiran, keterdesakkan dan “kalah” berkompetisi bermain pada wilayah psikologi kolektif yang mana pada masa-masa sebelum otonomi daerah melahirkan inferioritas ketika berhadaphadapan dengan kelompok pendatang-transmigran yang dominan (Irianto.,dkk : 2011). Orang asli lampung terasing di buminya sendiri dan tidak merasakan lagi bahwa dirinya sebagai pribumi pemilik atas tanah mereka karena ketiadaan daya ekonomi, sosial politik maupun budaya. Marginalisasi masyarakat asli Lampung dan keterpinggiran ekonomi orang-orang Melayu di Malaysia oleh etnis Cina dan India memiliki cara penyelesaian yang berbeda sama sekali (Dyah Ayu Intan Sari, 2012 : 1-2). Jika pada akhirnya pemerintahan Malaysia menempuh jalan politis dalam penyelesaian ketimpangan tadi dengan mengeluarkan regulasi yang bersifat top down maka masyarakat Tulang Bawang Barat melakukan perlawanan atas dominasi pendatang-transmigran Jawa secara mandiri melalui strategi budaya. Perdana Menteri saat itu, Tun Abdul Razak mengeluarkan kebijakan dengan istilah N.E.P atau New Economic Policy yang bertujuan untuk menyeimbangkan pendapatan serta menaikkan kesejahteraan ekonomi Bumiputera Melayu sedangkan masyarakat Lampung melakukan “perlawanan” budaya melalui revitalisasi nilai, konsepsi, slogan-slogan khas Lampung serta narasi-narasi putra daerah/tuan
9
rumah dengan segala privilege-nya versus pendatang atau “tamu” dengan hak-hak terbatasnya. Strategi pengkonstruksian identitas kolektif mereka dan identitas pendatang disandarkan pada filsafat tradisional yang berkembang dalam masyarakat Tulang Bawang Piil Pesenggiri. Filsafat Piil Pesenggiri ditafsir ulang dengan kontekstualisasi otonomi daerah atau dilakukannya “reinvensi tradisi”, menghidupkan kembali nilai-nilai lama tradisi local genius dengan interpretasi kekinian (Irianto., dkk : 2011). Menurut sudut pandang kajian budaya, pada pokok inilah sesungguhnya penelitian ini menarik untuk dilihat. Pada praktiknya, penemuan kembali nilai-nilai lama Piil Pesenggiri sebagai modal perlawanan budaya syarat dengan muatan politik dan tafsiran subjektif-kolektif (Irianto., dkk : 2011). Artinya, pemaknaan ulang yang dilakukan adalah kontekstualisasi menurut kebutuhan sosial politik kekinian
dengan
harapan dapat dijadikan modal budaya memenangi pertarungan dan merebut kembali apa-apa yang mereka anggap hilang dan terampas selama ini seperti melunturnya nilai budaya Lampung, hilangnya bahasa Lampung dalam rutinitas sosial sehari-hari, keterpinggiran ekonomi dan kekalahan dalam peran politik. Strategi diatas dijalankan bersamaan dengan strategi lain berupa mengakui secara simbolik beberapa sosok yang dianggab “tokoh”, atau memiliki massa dengan harapan menjadi “bagian” dari mereka ketika suara atau pengaruhnya dibutuhkan
di
bilik-bilik
suara.
Mereka
menyebutnya
dengan
istilah
“melampungkan” orang non-Lampung agar menjadi bagian dari diri mereka.
10
Caranya, dengan memberikan gelar adat yang diserahkan oleh lembaga adat MPAL dan biasanya diiringi dengan upacara begawe secara besar-besaran. Strategi resistensi menghadapi dominasi pendatang-transmigran dan pola dominasi/marginalisasi baru oleh mereka terhadap pendatang-transmigran Jawa pada era otonomi daerah dapat digambarkan dengan sederhana sebagai berikut :
Reinvensi tradisi (filsafat Piil Pesenggiri) Nilai-nilai Piil Pesenggiri dijadikan modal pembentukan identitas kolektif ↓ Konstruksi identitas kolektif •Siapa kami orang asli Lampung dan siapa pendatangtransmigran, •Apa hak-hak kami dan apa hak-hak mereka ↓ Penguasaan pimpinan utama birokrasi dan sel-sel dibawahnya •“Melampungkan” tokoh-tokoh pendatang dengan gelar adat •Lampungisasi simbol-simbol birokrasi dan daerah •Lampungisasi simbol budaya dan sosial •Menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa utama setelah bahasa Indonesia
Strategi budaya ini dengan secara cepat menemukan hasil nyata pada kontestasi PILKADA. Pada pelaksanaan PILKADA yang pertamakali diadakan posisi bupati dan wakil bupati mereka menangkan yakni Bachtiar Nasri dan Umar Ahmad. Sedangkan perolehan kursi anggota DPRD adalah mereka yang mayoritas “putra daerah” baik melalui organisasi partai politik lama semisal GOLKAR, PPP,
11
PDI-P maupun partai-partai baru seperti PKS, GERINDRA, Demokrat, Pelopor, PKPI dan lain-lain. Secara otomatis, kemenangan di jalur struktural birokrasi dan legislatif memberikan peluang kongkrit bagi terbentuknya gerbong baru birokrasi. Jabatan-jabatan setingkat SEKDA, KADIS, KABAG, KAUR dan bahkan camatcamat diklaim sebagai jatah mereka karena doktrin sosial “tuan rumah”. Dari delapan kecamatan yang ada, hanya satu camat yang dijabat orang Jawa, tujuh sisanya adalah kelompok mereka. Berikut gambaran distribusi Camat di 8 kecamatan berdasarkan etnik sejak tahun 2010/2011 : Tabel 1. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kecamatan Tulang Bawang Udik Tulang Bawang Tengah Tumijajar Pagar Dewa Lambu Kibang Gunung Terang Gunung Agung Way Kenanga
Lampung Jawa Lain X X X X X X X X
Kemenangan politik era otonomi daerah ini merupakan pengalaman baru bagi masyarakat asli Lampung setelah sekian lama sejak era Orde Lama dan Orde Baru mereka umumnya diperintah oleh orang-orang Jawa. Saat ini, mereka merasakan dorongan kuat dan kepercayaan diri yang tinggi bahwa ternyata orang Lampung mampu menampilkan diri menjadi pemimpin dan dapat berkompetisi dengan kelompok masyarakat lain.
12
Kemenangan tersebut pada periode berikutnya melahirkan residu birokrasi berupa nepotisme etnik. Bagi masyarakat Lampung dengan mengikuti doktrin kontekstual Piil Pesenggiri (sakai sambaiyan/tolong-menolong) menjadi seorang pegawai negeri sipil atau PNS atau birokrat diyakini sebagai wujud dari elevasi status sosial mereka dari warga biasa menuju kelompok terhormat dengan piilnya. Maka tidak heran, kemenangan politis putra daerah berdampak pada penarikan anggota keluarga besar mereka pada gerbong-gerbong birokrasi atas prinsip dasar tolong menolong. Beroperasi pola patron client seperti pada era Soaharto dahulu. Penguasaan jalur-jalur penting birokrasi PEMDA dan kursikursi DPRD memungkinkan terjadinya praktik pesan-memesan dan pengaturan jabatan untuk anggota keluarga besar. Berikut ini gambaran distribusi jabatan kepala-kepala di PEMKAB Tulang Bawang Barat menurut etnisitas tahun 2012 : Tabel 2. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Satuan Kerja Bagian Administrasi Pembangunan Badan Hukum dan Organisasi Bagian Tata Pemerintahan Bagian Perekonomian Bagian Kesejahteraan Rakyat Bagian Perlengkapan Bagian HUMAS Bagian Umum & Protokol Bagian Keuangan Inspektorat Dinas Pendidikan Dinas Kesehatan Dinas Kependudukan & C. Sipil Dinas Pendapatan Daerah Dinas PERINDAG
Lampung X X X X X
Jawa
Lain
X X X X X X X X X
13
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Dinas Perhub. & Komunikasi Dinas Pertanian & Perkebunan Dinas Peternakan & Perikanan Dinas Pekerjaan Umum DISNAKERTRANS DINPARBUD & Pemuda Badan Perc. Pembangunan Daerah Badan Pemberdayaan Masyarakat Badan Kepegawaian & DIKLAT SATPOL PP Badan KESBANG Kantor Pengelolaan Lingkungan Hdp Kantor Pem. Perempuan & KB Badan Penyl. Pertanian & Perikanan Kantor Penanaman Modal
X X X X X X X X X X X X X X X
Tampilnya elit baru politik asli orang Lampung sejak otonomi daerah ditambah dengan kuatnya jaringan anggota DPRD, pada tahap praksis pemerintahan mendorong mereka untuk mengkreasi kebijakan-kebijakan yang memperkuat identitas kelampungan dan pada saat bersamaan didorong untuk dipraktikkan secara sosial keseharian. Adat, tradisi, bahasa bahkan simbol-simbol kelampungan sebagai bagian dari pengkonstruksian identitas kolektif menjadi butir-butir kesepakatan
bersama antara
PEMDA dengan DPRD untuk
diberlakukan secara serentak dan masif pada denyut nadi kehidupan masyarakat Tulang Bawang Barat baik asli dan terutamanya pendatang sebagai bentuk pengakuan akan jati diri mereka. Secara sosial, masyarakat asli Lampung memandang kelompok pendatangtransmigran Jawa menjadi dua golongan yakni warga kelas satu dan kelas dua. Memang secara verbal label “kelas satu” dan “kelas dua” tidak umum dinyatakan akan tetapi secara tersirat dua jenis pengelompokan ini umum dipahami untuk
14
menunjukkan derajat ketokohan orang Jawa yang bersangkutan. Termasuk dalam kelompok kelas satu biasanya terdiri dari tokoh birokrat, tokoh masyarakat, pengusaha atau politisi terutama yang kelihatan memiliki massa, jaringan luas apalagi termasuk dalam kelas golongan kaya sedangkan kelas dua seperti golongan buruh, petani dan pedagang kecil dan sejenisnya. Ideologi Piil Pesenggiri yang ditafsirkan sebagai “keharusan menjadi orang besar” dan memandang jabatan sebagai sebuah kehormatan membentuk cara pandang terhadap orang lain seperti mereka memandang diri sendiri. Mengikuti alur strategi budaya mereka dalam rangka hegemoni, transmigran Jawa yang terkategorikan sebagai warga Jawa kelas satu
“dilampungkan” atau
dianggab sebagai keluarga mereka sendiri melalui pemberian gelar. Banyak tokoh-tokoh Jawa kiranya yang telah dilampungkan. Bagi orang Jawa sendiri yang telah mendapat gelar, pengakuan itu kadang disikapi dengan biasa saja tanpa ngegede mongso tetapi ada pula yang “tidak kuat iman” lantas menjadi orang Lampung melebihi mereka yang asli Lampung. Pembacaan kritis para tokoh Jawa sebenarnya dapat dibaca dari setiap kontestasi PILKADA, bahwa mereka-mereka akan senantiasa didekati politisi-politisi Lampung agar menarik “gerbong” Jawanya untuk mendukungnya. Meskipun demikian terdapat pula pandangan anomali bahwa walaupun sudah “dilampungkan” akan tetapi hak kepemimpinan tetaplah milik tuan rumah yang adalah putra daerah.2
2
Lihat wawancara dengan Stan Sahmin
15
Cara pandang terhadap pendatang-transmigran : Warga kelas I
:
Warga kelas II :
Politisi
Tani
Birokrat
Pedagang/buruh/
Tokoh masyarakat
dll
Secara internal, orang Jawa hidup dibawah bayang-bayang narasi-narasi “kaum pinggiran”, “tamu”, “pendatang” dan lantas menyikapinya dengan bentuk pertahanan pragmatis ala etika Jawa. Bagi mereka tidak perlu berkonfrontasi, yang penting aman, selamat dan bisa bekerja dengan baik dibawah terang prinsip etika
Jawa
yang
mengedepankan
keselarasan/harmoni
“jagad
gede”
(makrokosmos) yakni lingkungan sekitar dimana mereka berpijak. Sedangkan secara eksternal, kampanye narasi-narasi “tanah Lampung milik orang Lampung”, otonomi daerah adalah hak kekuasaan konstitutif “putra daerah” menjadi bantal sandaran beroperasinya marginalisasi. Menilik uraian di atas dapat ditarik asumsi sementara, bahwa marginalisasi politik yang terjadi di Tulang Bawang menemukan momentum semenjak diberlakukannya otonomi daerah. Otonomi daerah yang diyakini sebagai konsep ideal percepatan pembangunan dan kemakmuran ternyata berakibat lain yakni lahirnya raja-raja kecil dan menguatnya politik identitas berdasarkan pada primodialisme etnik. Meskipun fenomena demikian sesungguhnya terjadi pula di daerah-daerah lain seperti di Papua, Banten, Palembang, Kalimantan dan lain-lain yang hampir setiap PILKADA memunculkan isu putra daerah sebagai pemimpin paling sah akan tetapi apa yang terjadi di kabupaten Tulang Bawang Barat
16
menarik jika diteliti menurut sudut pandang kajian budaya. Gerakan “putra daerah” memiliki modus operasi khas yang membedakan diri dengan yang terjadi di tempat lain.
1.2 Rumusan Masalah Niat baik bersama untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan daerah melalui konsep otonomi telah memberikan beberapa hasil yang diharapkan dan pada sisi lain melahirkan problem baru seputar hak partisipasi politik publik, apakah otonomi daerah merupakan milik warga asli dan menegasi hak politik para pendatang, ataukah ini hanya tafsiran sepihak demi untuk melegitimasi peran kelompok mereka? Apapun perdebatan itu, narasi otonomi daerah telah berimplikasi pada marginalisasi kelompok pendatang-transmigran Jawa di arena perpolitikan dan birokrasi dengan tekanan isu “putra daerah”, “tanah Lampung milik orang Lampung”, “pendatang adalah tamu dan seterusnya”. Mayoritas suara asal Jawa hanyalah silent majority yang tidak bermakna apa-apa dalam kalkulasi demokrasi. Penelitian ini difokuskan pada telaah atas praktik otonomi daerah yang menjadi legitimasi proses terjadinya marginalisasi politik masyarakat pendatangtransmigran Jawa di Tulang Bawang. 1. Bagaimana marginalisasi politik atas pendatang-transmigran Jawa beroperasi dengan landasan narasi budaya? Bagaimana orang Lampung Tulang Bawang Barat mengkonstruksikan diri mereka serta pendatang dan
17
bagaimana mereka merumuskan hak kepemimpinan politik berdasarkan modal budaya filsafat Piil Pesenggiri? 2. Bagaimana pendatang-transmigran Jawa terkonstruksi sebagai kelompok marginal dalam tinjauan historisnya maupun sosial budaya yang berkembang di Tulang Bawang Barat? 3. Bagaimana pendatang transmigran Jawa bersikap/melakukan perlawanan terhadap marginalisasi politik ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Menjelaskan bagaimana marginalisasi politik beroperasi perspektif latar belakang praktik budaya dan menemukan jawaban atas rumusan dan kontruksi identitas kolektif orang Lampung berdasarkan filsafat Piil Pesengiri sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi pendatangtransmigran. 2. Menemukan konstruksi marginalitas pendatang-transmigran Jawa dalam tinjauan sejarah dan praktik sosial budaya yang mereka alami di dalam masyarakat Tulang Bawang Barat. 3. Menemukan jawaban/sikap pendatang-transmigran terhadap marginalisasi yang terjadi atas diri mereka dan bagaimana mereka melakukan perlawanan.
18
1.4. Tinjauan Pustaka Sampai dengan laporan penelitiaan ini ditulis saya belum menemukan riset akademik yang mengulas marginalisasi politik orang-orang Jawa perantauan apalagi dengan sudut pandang Kajian Budaya dan Media. Memang terdapat penelitian akademik yang dilakukan oleh Eny May, seorang dosen muda dari Universitas Andalas dengan fokus geliat pembangunan desa-desa koloni orang transmigran Jawa di Pasaman Sumatera Barat akan tetapi titik tekan lebih pada sudut pandang sosiologis. Oleh sebab itu, proyek penelitian ini dapat dikatakan sebagai satu-satunya dan untuk yang pertama kali meneropong problem pendatang-transmigran dari sisi pemarginalan politik perspektif Kajian Budaya dan Media. Eny May (2006) menemukan bahwa keberhasilan masyarakat transmigran asal Jawa yang berkoloni di daerah pasaman Sumatera Barat keluar dari garis kemiskinan ditentukan oleh aspek kepemilikan lahan dan kesiapan lahan untuk diolah menjadi persawahan. Tidak semua lahan yang dibagi-bagikan pemerintah subur dan menjanjikan. Hal lain yang diketemukan oleh May, bahwa orang-orang Jawa transmigran yang dasar pendidikannya tidak tinggi, kebanyakan tamatan SR atau Sekolah Dasar ternyata memiliki kesadaran pendidikan yang tinggi. Sudah banyak anak keturunan mereka atau yang telah tergolong sebagai generasi kedua, menyelesaikan pendidikan tinggi setingkat universitas. Herie Saksono (2011) mencatat bahwa ketransmigrasian memiliki potensi untuk
berperan
dalam
MP3EI
(Masterplan
Percepatan
dan
perluasan
Pembangunan Ekonomi Daerah) melalui perannya dalam mendistribusikan
19
komponen-komponen pembangunan terutama sumber daya manusia dan infrastruktur secara merata dan proporsional. Menurut Herie, hal yang sangat fundamental adalah keikutsertaan Gubernur dan Bupati dalam upaya menjamin penyelenggaraan ketransmigrasian secara professional di wilayahnya masingmasing. Tulisan menarik dilakukan oleh Sunu Pramono Budi (2007). Meskipun tidak mengulas khusus fenomena marginalisasi politik atas pendatang-transmigran Jawa di daerah-daerah transmigrasi seluruh Indonesia ia mencatat bahwa otonomi daerah telah menjadi eforia yang berlebihan. Segala hal yang bernuansa program pusat (sentralistik) berusaha ditolak oleh pemerintah dan masyarakat daerah. Dampak dari penolakan tersebut berimbas pada warga transmigran. Mereka, karena mengacu kepada peraturan yang berlaku , setelah lebih dari 5 tahun (T + 5 transmigrasi) dibina oleh penyelenggara Departemen Transmigrasi , diserahkan kepada pemerintahan daerah setempat. Namun, dalam kenyataannya, ada Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) bermasalah dan menjadi korban kebijakan. Pihak pemerintah daerah merasa terbebani oleh eks-UPT tersebut sementara departemen tenaga kerja sudah lepas tanggung jawab. Memang terdapat niat baik menyerahkan UPT dari pusat ke daerah demi untuk menghilangkan sekat-sekat sosial dan stigma “koloni trans” tetapi jika masyarakat pemukim eks-UPT yang bersangkutan tidak siap atau belum mandiri secara ekonomi dengan tunjangan infrsatruktur kurang menunjang maka dapat diapstikan UPT akan ditinggalkan peserta transmigran untuk kembali ke asal.
20
Pada kesempatan lain, Sunu juga menenggarai otonomi daerah telah melahirkan raja-raja kecil dan kelas penguasa baru, haruslah “putra daerah”. Walaupun secara realistis raja-raja kecil asli daerah tersebut banyak pula yang lahir dan sejak lama tinggal di pulau Jawa dan baru pulang kampung sejak diberlakukannya otonomi daerah. Secara kapabilitas, orang tua dan anak-anak transmigran sebenarnya tidak kalah tetapi karena narasi “keturunan darah” alias “putra daerah” menguat maka penguasa baru putra asli daerah bersama kelompoknya merasa lebih berhak sebagai raja baru. Ketika PEMILUKADA warga yang tinggal di daerah eks-UPT hanya diminta dukungan suaranya dan bukan diakomodasikan atau dicarikan atas problem-problem yang sedang dihadapi. “ini adalah realitas yang menyedihkan dan sebuah tragedi terhadap hakhak politik”, tulis Sunu (2007). Penelitian terbatas berikutnya, dilakukan oleh Nurul Hasanah dkk., di Tulang Bawang Barat dengan objek desa Tirtakencana yang merupakan tempat pemukiman transmigrasi sejak tahun 1973/1974. Dalam laporan penelitian yang diberi judul Kajian Tentang Pemukiman Penyebab Transmigrasi Bertahan Tinggal di Desa Tirta Kencana Tulang Bawang Barat Tahun 2012 disebutkan bahwa sebanyak 329 kepala keluarga transmigrasi yang berdiam disana merasa betah dan tidak ingin berpindah atau kembali lagi ke daerah asal meskipun lahan semakin menyempit karena lingkungan yang habitable yakni dilingkungi oleh komunitas adat budaya yang sama yakni Jawa, dan telah merasakan diri sebagai orang Lampung-Jawa. Disamping alasan kekerabatan dan budaya yang masih lekat tersebut faktor-faktor lain adalah kepemilikan lahan yang cukup dibanding
21
ketika dahulu mereka di Jawa tidak memiliki sama sekali kepemilikan barang berharga seperti rumah dan kendaraan. Faktor lainnya adalah telah terbangunnya sarana prasanara transportasi yang memadai dan dapat menunjang lalu lintas perdagangan mereka (Nurul Hasanah dkk., 2012). Kustadi (1983), menemukan bahwa keresahan dan konflik di daerah transmigrasi sering ditemukan dan membuat proses pembangunan penduduk menjadi terhambat. Umumnya, disebabkan oleh perebutan sumber daya dan kesempatan ekonomi. Penduduk asli pun punya kepentingan yang sama bahkan merasa lebih berhak akan sumber daya alam yang ada, sementara materi yang diperebutkan dari objek ekonomi relatif sama. Dalam struktur perekonomian yang masih agraris, tanah menjadi sumber daya utama, objek yang diperebutkan dan lantas menjadi konflik. Sementara Cohen (1989), berpandangan bahwa sumber konflik lainnya yang lazim terjadi adalah perebutan hegemoni sistem sosial budaya yang berlaku di daerah transmigrasi yang berlangsung ketika suatu kelompok mencoba melegitimasi kekuasaanya terhadap satu kelompok lainnya. Arah legitimasi dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinat meskipun dalam beberapa hal menyangkut
jati
diri
sedangkan
kelompok
subordinatnya
berupaya
mempertahankan diri. Setiap sistem budaya mempunyai subsistem mekanisme pemeliharaan diri disamping mekanisme kontrol diri yang membuat satu kelompok tidak dapat begitu saja “ditelan” oleh kelompok lainnya sehingga mengakibatkan pola hubungan yang selalu kompetetif.
22
Sujarwo (1997) dalam Transformasi Nilai-Nilai Budaya Transmigran Sebagai alat pemersatu Bangsa mencatat dalam sebuah medan feducary, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Talcott Parson atau ruang pertemuan antara komunitas-komunitas transmigran yang beragam itu sesungguhnya terdapat nilainilai kearifan lokal yang memiliki titik singgung dan dapat dijadikan medium integrasi. Penelitian yang diambil sampelnya menurut etnik tertentu ditemukan bahwa masing-masing responden menjelaskan prinsip nilai-nilai budaya yang bermakna sama dengan nilai Piil Pesenggiri seperti nemui nyimah, sakai sambaiyan dan nengah nyapur. Misalnya : Responden Jawa terdapat ungkapan : “Nepakke awake dewe” atau pintar-pintar menempatkan diri sendiri di tengah lingkungan orang lain atau “jagad cilik jagad gede” dan isin atau malu jika berbuat tercela ; Responden Bali : “Salulung-subayantaka” atau selalu bersama walaupun dalam keadaan susah ; “Paras-Paros” atau sikap tenggang rasa dalam masyarakat ; “Matulung” atau memberikan bantuan kepada orang susah ; “Ngarombo” atau memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu ; Responden Sunda : “Batur salembur” atau menganggap orang lain sebagai teman sekampung ; “Rempuk cukung balarea, pindah caik pindaj tampian” atau harus mampu menyesuaikan diri ;
23
Responden Semendo : “seganti-setungguan” atau saling menyayangi dan menghormati ; Selanjutnya terdapat penelitian dengan tema Piil Pesenggiri : Modal Budaya dan strategi Identitas Ulun Lampung yang dikerjakan oleh Sulistyowati Irianto dan Risma Margaretha (2011) yang menyoroti persoalan etnifikasi orangorang Lampung secara global di bumi Lampung. Penelitian tidak spesifik membahas suatu wilayah kabupaten atau etnis tertentu seperti Tulang Bawang atau suku pendatang Jawa, Sunda dan lain sebagainya. Penelitian lebih menyoroti bagaimana orang-orang Lampung melakukan resistensi terhadap dominasi pendatang. Hal yang menarik dari tulisan ini adalah sumbangsih filsafat Piil Pesenggiri terhadap pembentukan identitas kolektif masyarakat asli Lampung. Secara jujur penulis akui, dalam perbincangan nanti banyak dilakukan perbandingan, kutipan dan inspirasi dari hasil penelitian oleh kedua peneliti ini. Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penelitian tentang problem marginalisasi atas pendatang transmigran khususnya yang terjadi di Tulang Bawang Barat belum ada sehingga melalui penelitian ini diharapkan akan menemukan pemahaman komprehensif menurut tilikan ilmu kajian budaya.
1.5 Kerangka Teori Demi memudahkan peneropongan problem marginalisasi politik yang terjadi atas masyarakat pendatang-transmigran di Tulang Bawang, penelitian ini mencoba menggunakan beberapa landasan teori yang relevan. Sebagai sebuah kajian lintas disipliner, menarik bahwa kajian budaya dan media mempersilahkan
24
penelitian untuk meminjam teori-teori yang berasal dari disiplin ilmu lain semisal filsafat, sosiologi atau bahkan ilmu pemerintahan.
1.5.1 Teori Marginalisasi Khazanah ilmu sosial memberikan beberapa penjelasan dan teori marginalisasi. Menurut Mullaly (2007 : 27) marginalisasi merupakan sebuah proses sosial yang membuat masyarakat menjadi marginal, baik terjadi secara alamiah maupun yang dikreasikan sehingga masyarakat memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan. Sedangkan Anupkumar mendefinisikan sebagai “marginalization is the social procces of becoming or being mode marginal (especially as a group within the larger society) (www.anupkumar.com) Menurut J. Yee dalam R. Pozuuto, marginalisasi dapat dipahami dalam tiga level yakni individu, masyarakat dan struktur global. Marginalisasi pada level individu biasanya terjadi dalam bentuk tercerabutnya individu dalam partisipasi aktifitas masyarakat misal keterpinggiran seseorang dalam suatu perusahaan. Marginalisasi pada level masyarakat beroperasi pada dimensi yang lebih luas. Hal ini salah satunya disebabkan karena program-program dan kebijakan pemerintah lebih memihak pada kalangan sosial tertentu : golongan elit kelas atas misalnya. Marginalisasi pada level struktur global memiliki bentuk yang lebih kompleks dan luas. Misalnya, sistem kapitalisme telah menciptakan ketimpangan antara negara kaya dan miskin serta menstrukturkan kelanggengan sistem tersebut melalui
25
penciptaan kebutuhan-kebutuhan semu lewat media iklan dan lain-lain (1964 : 64). Konsep marginalitas dalam topik ini merujuk pada diskursus politik yang kerap didiskusikan oleh agen-agen pelaku teori kajian budaya yakni untuk menunjukkan hilangnya hak-hak dalam mengekspresikan perasaan mereka dan akses terhadap kekuasaan dalam demokrasi. Kelompok tersebut menggunakan ide marginalitas untuk menggambarkan kelompok yang dianggap berada di luar arus utama. Istilah “pusat” dan “pinggiran atau marginal” adalah deskripsi sederhana tentang yang memiliki daya kekuatan politik sekaligus berkuasa berhadapan dengan kelompok yang tidak memiliki. sebagai
sebuah
kondisi
keterpinggiran
Marginalitas dapat pula dimengerti atau
terkucilkan.
Sebuah
teori
marginalisasi atau marginalitas memberikan pengertian perihal ketimpangan antara pihak yang mendapatkan akses dan yang tidak (Bouman, 1982). Dalam wacana pasca kolonial, konsep marginalitas biasanya merujuk pada kelompok penjajah, Eropa atau Amerika dalam satu sisi, disebut sebagai “pusat” dan negara-negara terjajah pada sisi lain atau “pinggiran” (Sardar dkk., 2001). Persoalan yang dibahas menyangkut persoalan ketegangan-ketegangan pada sosial politik dan residu penjajahan yang masuk dalam kategori mental dan pola pikir. Misalnya, kelompok marginal yang mengalami subordinasi dikenal dengan istilah subaltern. Sebuah istilah yang dipinjam dari pemikir Italia Antonio Gramsci untuk menjelaskan kelompok sosial sub-ordinat yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi obyek hegemoni kelompok berkuasa. Sedangkan Gayatri Cakravorty Spivak menjelaskan bahwa kelompok subaltern tidak pernah
26
menempati posisi sebagai subjek karena keberadaan mereka selalu dibingkai dalam perspektif dan kepentingan kelompok penguasa atau dominan. Mereka selanjutnya tidak dapat bersuara sendiri untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka hanya bisa bersuara melalui mekanisme representasi atau perwakilan yang diharapkan dapat menyuarakan kepentingan mereka. Tetapi, representasi yang diharapkan belum tentu menyuarakan kepentingan mereka. Tidak terdapat garansi bahwa
ide mereka disampaikan meskipun telah didengar. Kondisi inilah yang
kemudian diistilahkan sebagai politik representasi dimana pihak yang telah ditunjuk sebagai “perwakilan” subaltern ternyata berbicara dengan perspektif dan kepentingan mereka sendiri (Morton, 2003 : 57, Sardar dkk., 2001 : 116). Kontekstualisasi konsep subaltern pada kelompok masyarakat transmigrasi sebagaimana disinggung oleh Sunu Pramono Hadi (2007) diatas yakni ketika tokoh-tokoh politik dari kelompok dominan mendatangi UPT-UPT untuk mengkoordinir suara mereka dan lantas digiring ke bilik-bilik suara. Selanjutnya, pasca pemilihan proses pendengaran dan penyerapan anspirasi tidak berjalan karena proses demokrasi sudah dianggap “selesai”. Para ahli ilmu politik telah mengembangkan ide marginalitas untuk menggambarkan kelompok yang dianggap berada di luar arus utama, maka mereka mendiskusikan sebuah cara baru untuk memahami istilah bahasa dan kekuasaan. Pandangan tentang apa yang membuat orang disebut “marginal” tergantung dengan apa yang dipahami sebagai “pusat”. Jika “pusat” adalah mereka yang memiliki sumber daya kekuatan ekonomi maka mereka yang tidak memiliki dapat disebut dengan “marginal”. Di sisi lain, jika kekuasaan politik
27
dianggap penting maka mereka yang tidak memiliki jalur kekuasaan itu disebut juga sebagai “marginal” meskipun memiliki uang. Dengan demikian marginalitas adalah sebuah definisi bebas, fleksibel tergantung bagaimana ketegangan tarik menarik merebutkan poin yang disebut sebagai “tengah”. Kontekstualisasinya dengan transmigran adalah mereka tidak memiliki kekuasaan kepemimpinan daerah sebagai pemeran utama meskipun memiliki keuangan.
1.5.2. Etika Harmoni Jawa Memasuki lingkungan masyarakat Jawa akan menemukan “atmosfer Jawa”, baik itu di tanah Jawa maupun di luar Jawa dimana orang-orang Jawa berkoloni. Cara berbicara, bersopan-santun, memandang diri, sekitar dan lingkungannya tidak terlepas dari nilai-nilai Jawa yang dibatinkan dalam diri orang Jawa. Dalam konteks penelitian ini, cara hidup orang Jawa saya maksudkan sebagai etika Jawa. Dan pada akhirnya nanti meneropong masyarakat pendatang transmigran Jawa di Tulang Bawang dengan menggunakan Etika Jawa sebagai perspektif akan dapat mengantarkan jawaban ala orang Jawa menyangkut pertanyaan atas marginalisasi politik yang terjadi atas diri mereka. Etika Jawa memuat “pandangan hidup orang Jawa”. Orang Jawa yang keyakinan Islamnya kuat atau biasa disebut santri, “sekedar Islam” atau abangan, Nasrani dan lain sebagainya tidak akan serta merta meninggalkan pandangan hidup Jawanya (Hardiman, 2011). Nilai-nilai Jawa akan selalu dihayati dan dikonstruksikan pada diri masing-masing sejak masa kanak-kanak melalui tutur, contoh praktik keseharian yang diwariskan oleh orang tua dalam keluarga maupun
28
lingkungannya. Orang Jawa yang tidak mempraktikkan nilai-nilai Jawa biasanya disebut “tidak njawani” atau “tidak seperti orang Jawa”. Ungkapan “orang Jawa tidak njawani/wong Jowo ora njawani” bagi telinga orang Jawa merupakan teguran halus yang keras. Jika
“etika
barat”
dipengaruhi
oleh
Immanuel
Kant
dengan
mendisposisikan asal dari suara hati nurani, mengikuti secara penuh tarikan subjektivitas, etika Jawa lebih menekankan tercapainya kompromi antara perintah-perintah subjektivitas dengan hasil faktual tindakan yang berkesesuaian dengan masyarakat (Hardiman, 2011 : 112). Oleh karena itu, etika Jawa disebut juga dengan etika harmoni. Etika harmoni dapat dianggap sebagai etika keutamaan yang mendasarkan diri pada pandangan dunia mistis bahwa jagad cilik (mikrokosmos) atau individu seharusnya berada dalam hubungan harmonis dengan jagad gede (makrokosmos) dan kesatuan mistis antara penguasa dengan rakyatnya, antara hamba dengan Tuhannya. Akibat pengedepanan prinsip harmoni antara dua kutub yang berhadap-hadapan, individu-masyarakat, jagad cilik-jagad gede, etika Jawa seringkali tidak menarik batas yang jelas antara “perilaku yang keliru’ dengan “kesalahan moral”. Seseorang tidak serta merta dikatakan “jahat” melainkan “keliru”, tidak “tolol” tetapi “durung ngerti” (Hardiman, 2011). Kebaikan tertinggi bagi orang Jawa yang tercermin dalam etika harmoni menyerupai konsep “eudaimonia” Aristoteles, yakni harmoni kosmis atau keadaan selamet/selamat yang di dalam pengalaman subjektif tercermin sebagai katentreming ati. Ketentraman hati hanya tercapai dan dapat dirasakan oleh
29
individu ketika mampu menempatkan diri di tengah orang lain, masyarakat atau lingkungannya : jagad cilik dan jagad gede. Bahkan, orang Jawa dianjurkan untuk menyimpan rasa tidak senang, ketidaksukaan dan cukup dirasakan dalam batin terhadap faktor eksternal seperti tindakan tetangga dan lain-lain demi menjaga harmoni kosmis (Hardiman, 2011). Sebagai sebuah prinsip etik yang komplit, etika Jawa tidak tertulis secara sistematis dan baku seperti sebuah buku pedoman. Nilai-nilai tersebut tersirat dalam tutur dan doktrin tuntutan yang menjadi bagian dari kewajiban sosial yang harus dipraktikkan orang jawa. Budi hardiman (2011 : 115) mencatat tuntutan kewajiban sosial ini pada dua arah : horizontal dan vertikal. Pertama, tuntutan dasariah horizontal adalah “rukun” dalam bahasa Jawa. Sebuah kata adjektif yang berarti “damai”, “tanpa pertentangan”, “harmonis” atau “serasi”.
Orang-orang
Jawa
berusaha
mengedepankan
keselarasan
dan
menghindari pertentangan dengan orang lain dalam pergaulan sosial. Cenderung untuk menghindari tegangan yang mengganggu sekalipun untuk itu dia harus menekan perasaan dan keinginannya. Segala yang mengusik keselarasan seperti konflik kepentingan, ambisi individu, ketamakan, agresi, emosi dan seterusnya harus disingkirkan (Budi Hardiman, 115-116). Para individu dituntut bertindak selaras dengan kelompoknya. Oleh sebab itu, damai di suatu lingkungan, bisa saja hanya merupakan kesan permukaan. Kedua, tuntutan dasariah yang vertikal adalah “urmat”, dalam bahasa Jawa atau “respek”, “penghargaan”, “hormat” dalam bahasa Indonesia. Kata ini bersifat substantif mengacu pada tata hubungan antara individu Jawa dengan otoritas,
30
orang-orang yang lebih tua atau yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Kedudukan tidak sekedar diterjemahkan sebagai suatu jabatan politis atau birokrasi tetapi pola hirarki semacam anak terhadap orang tua, adik-kakak, keponakan-paman, anak muda-orang tua dan seterusnya. Di dalam kebudayaan Jawa semua hubungan sosial tertata secara hirarkis. Masing-masing memiliki tempatnya sendiri yang cocok. Anak berperan sebagai anak dan harus cocok menjadi seorang anak, orang tua berperan sebagai orang tua dan harus cocok menjadi orang tua, pejabat harus menempati tempatnya dan mencocokkan sikapnya dengan jabatannya. “Setiap orang dalam bahasa dan ungkapan harus selalu mengungkapkan sikap hormat kepada orang lain sesuai dengan peringkatnya” (Budi Hardiman, 2011: 112). Tuntutan horizontal dan vertikal, rukun dan urmat dalam etika Jawa pada bahasannya nanti akan menjadi sangat berguna bagi peneropongan sikap balik orang-orang Jawa Tulang Bawang Barat dalam menyikapi marginalisasi politik atas diri mereka.
1.5.3 Konsep Otonomi Daerah Otonomi daerah diberlakukan secara serentak di Indonesia pasca Soeharto lahir sebagai kritik terhadap model penyelenggaraan negara yang sentralistik eraOrde Baru. Dengan demikian, dapat dikatakan otonomi daerah merupakan fenomena politik yang mengusung misi partisipasi masyarakat lokal dari pola sentralistik-birokratis ke arah desentralisasi-partisipatoris. Dengan bahasa lain,
31
memberikan peluang seluas-luasnya bagi masyarakat daerah untuk terlibat aktif mendisain pembangunan secara sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Paradigma otonomi daerah dimuat dalam UU No. 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi UU no 32 tahun 2004 telah meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota demi peningkatan efektifitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan antara pusat dan daerah. Konsep otonomi daerah yang dimunculkan melalui UU No. 22/1999 sesungguhnya memiliki substansi otonomi yang lebih jelas di dalam kerangka negara yang demokratis dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut : a. Redistribusi kekuasaan. Mengembalikan kewenangan pemerintahan daerah yang dapat mengatur pemerintahannya sendiri dilakukan sebagai jawaban atas sentralisasi yang begitu kuat pada level pemerintahan pusat. b. Pemberdayaan komunitas dan pemerintahan daerah. Proses redistribusi kekuasaan diikuti secara nyata dengan penyerahan urusan-urusan kepada pemerintahan daerah seperti pengelolaan sumber daya alam serta urusan lain sebagaimana digariskan undang-undang. c. Efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan. Dengan dipenuhinya dua unsur di atas diharapkan mampu menciptakan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan.
32
Konsepsi teoretik otonomi daerah sengaja dijadikan sebagai landasan teori demi untuk melihat bahwa pada praktik di lapangan konsepsi ideal otonomi daerah telah melahirkan narasi-narasi baru tentang klaim keber-hak-an kuasa politik dan menjadi pintu masuk bagi lahirnya raja-raja lokal baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.
1.5.4 Konsep Konstruksi Identitas Stuart
Hall
mengindentifikasi
tiga
perbedaan
cara
yang
mengkonseptualisasikan identitas yakni subjek pencerahan, subjek sosiologi dan subjek posmodernisme. Subjek pencerahan dipahami sebagai subjek Cartesian merujuk pada Rene Descartes seorang filosof Perancis abad pencerahan yakni cara berpikir yang memilah dua kategori subjek dan objek secara berlawanan (Hall, 1992 : 275). Subjek AKU sebagai res cogitans, murni unsur psikologi dan akal budi dari si Subjek sedangkan apa yang dipikirkan atau OBJEK sebagai res extensa yakni alam material sekeliling bahkan manusia-manusia di luar kesadaran AKU. Implikasi pandangan Cartesian ini menjadikan definisi identitas bersifat otonom tidak dipengaruhi atau bertali-kelindan dengan unsur-unsur lain. Subjek sosiologis tidak dimengerti sebagai identitas keturunan atau primordial, given atau terbentuk dengan sendirinya melainkan merupakan fenomena kebudayaan akibat interaksi subjek dengan manusia dan kebudayaan lain di luar dirinya. Dalam proses persentuhan dengan apa di luar dirinya terjadi internalisasi eksternalitas berupa nilai-nilai, bahasa, budaya, cara berfikir dan seterusnya. Ketika subjek pertama kali dilahirkan maka keluarga adalah entitas
33
pertama yang memberikan pengaruh. Baru kemudian sosialitas dimana si anak melakukan perjumpaan sosial. Subjek posmodernisme adalah kritik akan subjek Cartesian maupun subjek sosiologi. Bagi pandangan ini definisi identitas seseorang atau kelompok tidaklah bersifat otonom seperti skema subjek-objek ataupun tidak melulu dipengaruhi oleh sosialitasnya. Subjek dilihat memiliki inti diri (core self) yang mampu mengkordinasikan diri secara reflektif ke dalam kesatuan. Bagi Hall, definisi diri mengalami desentralisasi, terpecah, bergeser bahkan kadang memiliki identitas ganda (1992 : 227). Identitas tidaklah dibentuk oleh hanya satu, tetapi beberapa identitas yang kadang menunjang atau saling bertentangan. Secara konseptual subjektivitas dan identitas mempunyai hubungan erat dan tidak dapat dipisahkan. Poros pertanyaan tetap berpusat pada apakah person itu ? Sementara eksplorasi tentang identitas adalah menanyakan bagaimana kita melihat diri kita dan orang lain melihat kita (Barker, 2000:165). Maynard
mencatat,
maraknya
pembahasan
konsep
identitas
dilatarbelakangi oleh perubahan fundamental dalam hubungan antar bangsa selama dekade 1990-an yakni sejak berakhirnya era perang dingin pasca ambruknya Uni Sovyet, terdapat pergeseran yang signifikan tentang karakter konflik international dari konflik yang bersifat ideologis bergeser menuju konflik identitas (identity conflict) yang terjadi dalam ruang-ruang sempit dan menembus kemana-mana hingga ke dalam arena rumah tangga (1993:34). Anthony
Giddens
berpendapat
bahwa
identitas
diri
merupakan
keterampilan seseorang atau kelompok orang tersebut dalam menarasikan diri. Ia
34
menyangkut perasaan yang konsisten tentang kontinuitas biografi dirinya. Pertanyaan-pertanyaan berupa apa yang dikerjakan ? Bagaimana melakukannya ? Siapa yang menjadi ? Dan lain-lain adalah sebentuk pertanyaan yang berusaha mengkonstruksi identitasnya dengan dasar cerita yang saling bertalian dari proses perjalanan masa lalu menuju masa depan (1991:53). Identitas diri adalah apa yang kita pikirkan tentang identitas diri tersebut dalam kapasitasnya sebagai “diri” atau person. Tetapi Gidden buru-buru menambahkan bahwa identitas diri bukan pula sekumpulan sifat-sifat yang kita miliki atau bukan sesuatu yang lekat dalam diri kita. Dengan demikian, ia merupakan sarana berpikir tentang diri kita sendiri. Hanya saja yang dipikirkan tersebut senantiasa berubah dari lingkungan satu ke lingkungan yang lain sesuai perkembangan gerak ruang dan waktu. Baginya, identitas adalah sebuah proyek yakni sesuatu yang diciptakan, berproses dan terus maju bergerak. Sedangkan Barker (2000) menjelaskan bahwa identitas merupakan gejala kultural dan sosial dengan argumen sebagai berikut : a. Setiap gagasan tentang bagaimana pribadi adalah pertanyaan kultural. Misal, bahwa individualisme adalah label yang disematkan oleh masyarakat modern secara spesifik. b. Sumber-sumber yang membentuk materi proyek identitas misalnya bahasa dan praktik kebudayaan adalah sesuai dengan watak sosialnya. Akibatnya apa yang kita artikan sebagai perempuan, anak-anak, orang tua, bangsa ini atau itu dibentuk secara berbeda menurut konteks kebudayaan yang berbeda pula.
35
Identitas dengan demikian adalah persoalan tentang kesamaan dan perbedaan, personal dan sosial tentang apa persamaan diri kita dengan lainnya serta apa yang membedakan diri kita dengan yang lainnya.
1.5.5. Teori Etnisitas Ragam pandangan menyangkut teori etnisitas mengalami perkembangan dinamis ketika diteropong sebagai gejala sosial. Awal mulanya hanya merupakan pandangan sederhana yang mengatakan bahwa etnisitas merupakan gejala biologis yang sebagian asumsinya menyatakan bahwa etnis merupakan kecenderungan alamiah. Menurut pemahaman ini suatu bangsa terkonfigurasi sebagai suatu bangsa atau etnik tertentu karena memang sacara alamiah atau natural demikian adanya. Oleh sebab itu, persoalan etnisitas tidak lebih dari ukuran karakteristik tubuh (Lipschutz, 1998 : 55). Konfigurasi suatu bangsa tertentu ditentukan oleh kesamaan anggota-anggotanya yang ukurannya adalah kesamaan ciri khas fisik. Mengacu pada pandangan Benedict Anderson (2001) dan kelompok intelektual lain yang sealiran, berkembang pengertian bahwa etnisitas merupakan proyek intektual kaum borjuis yang berupaya membedakan diri mereka dengan komunitas lain yakni kebudayaan tinggi dengan kebudayaan rendah (Ernest Gellner, 1983). Anderson menyebutnya sebagai komunitas yang terbayang atau imagined community. Budaya tinggi yang dimaksud adalah keterampilan kerja untuk posisi-posisi administratif
dan birokrasi sehingga memudahkan laju
perkembangan ekonomi dan modernisasi. Di luar komunitas ini adalah individuindividu yang ditempatkan di wilayah pinggiran dan tidak memiliki pengetahuan
36
kerja sipil sebagaimana dijelaskan dimuka. Pada perspektif ini, persoalan etnisitas muncul karena persoalan pembedaan, dikotomi kami dan mereka dan pembedaan atas klaim terhadap dasar, asal-usul dan karakteristik budaya. Etnisitas adalah hasil dari sebuah dinamika hubungan sosialitas bukan sekedar persoalan batasan teritori geografis (Dwyer, 1996 : 3). Pada pengertian ini jika tidak ada orang dalam atau orang luar maka tidak ada yang namanya etnisitas. Etnisitas oleh karenanya merupakan predikat seseorang atau kelompok individu yang terangkum dalam kesamaan kolektivitas. Mereka merasakan “perasaan yang sama”. Dalam identifikasinya, terdapat dua pandangan yakni (1), sebagai unit objektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang dan (2), hanya sekedar produk pemikiran seseorang yang kemudian menyatakan sebagai suatu kelompok etnis tertentu (Abdillah, 2002 : 14). Dengan
demikian
etnisitas
dapat
dimengerti
sebagai
fenomena
kebudayaan yang berangkat dari norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan simbol-simbol serta praktik kebudayaan. Perkembangan sosial politik pada suatu kawasan tertentu dapat membentuk rasa saling memiliki, minimal oleh keyakinan bahwa mereka berakar pada garis keturunan yang sama. Sedangkan berlawanan dengan itu adalah pandangan anti esensialis bahwa etnisitas tidak berangkat dari fakta primordial atau karakter kebudayaan universal
yang menjadikan
terbentuknya kelompok etnis tertentu secara khusus, tetapi terangkai oleh praktikpraktik yang tidak bertali-kelindan satu dengan yang lain. Etnisitas dalam pengertian ini, dibentuk oleh identitas kelompok dan diidentifikasi oleh tandatanda dan simbol-simbol yang disepakati.
37
Pengertian kaum kulturalis tentang definisi etnisitas merupakan lompatan jauh ke depan yakni ketika mereka lari dari konsep ras dan implikasi rasisnya. Hall (1996 : 446), menyatakan bahwa etnisitas mengakui peran sejarah, bahasa dan kebudayaan dalam pembentukan identitas dan subjektivitas seseorang. Semua pengetahuan
diskursus
tertentu
disituasikan
secara
kontekstual.
Berikut
dipaparkan ilustrasi alur pikir penelitian marginalisasi pendatang-transmigran Jawa di Tulang Bawang Barat dalam wilayah politik :
38
1.6. Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan kombinasi penelitian pustaka dan lapangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian lapangan dilakukan untuk menjaring pandangan, sikap dan pendirian masyarakat pendatang-transmigran Tulang Bawang Barat perihal topik penelitian sebagai bagian dari inventarisasi data yang pada tahapan selanjutnya diolah, dianalisis dan diinterpretasikan secara komprehensif dengan dukungan data pustaka. Penggalian data lapangan menjadi agenda utama kerja penelitian agar semaksimal mungkin didapat data objektif, aktual dan terpercaya.
1.6.2 Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian difokuskan pada kantong-kantong koloni Jawa, baik kelompok transmigran maupun non-transmigran atau pendatang Jawa yang tidak termasuk kelompok transmigran yang menyebar di beberapa titik kabupaten Tulang Bawang Barat. Di antara sekian titik koloni yang paling representatif adalah kawasan Wai Abung II, Tumijajar, Lembu Kibang, Tulang Bawang Tengah, Tulang Bawang Udik dan lain-lain. Meskipun demikian, lokasi penelitian dilakukan pula di daerah perkotaan dimana sebagian pendatang Jawa non-transmigran bermukim.
39
1.6.3 Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah orang-orang Jawa baik transmigran maupun bukan yang telah menjadi penduduk Tulang Bawang Barat. Orang Jawa tetapi masih berstatus pendatang non-penduduk tidak akan diambil kesaksiannya. Keterangan juga diambil dari masyarakat lokal. Masing-masing kelompok, pendatang Jawa-transmigran maupun lokal akan dipilih secara acak dengan kategori-kategori tertentu. Klasifikasi responden pendatang-transmigran Jawa : Pendatang Jawa:
Transmigran Jawa :
Pendatang etnik Jawa yang telah
Kelompok transmigran baik generasi
bertempat tinggal dalam kurun lama
pertama, kedua atau ketiga yang relevan
dan berKTP Tulang Bawang Barat.
dan tersebar di 8 kecamatan
Pada kelompok ini, mereka adalah
Pada kelompok ini mereka adalah resmi
pendatang asal Jawa yang semula
menjadi peserta tranmigrasi pemerintah
hanya bekerja atau ikut famili trasmigran
Penelitian kualitatif pada dasarnya tidak memberi batasan maksimum dan minimum berapa jumlah responden yang harus diambil. Prinsipnya, kualitas dari informasi responden dan data yang dihasilkan telah mampu memenuhi tujuan riset. Berkenaan dengan ciri khas penelitian kulitatif, Judistira K. Garna (1993 : 32) menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan peneliti yang berupaya memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa yang tidak memerlukan
40
kuantifikasi, atau tidak memungkinkan gejala-gejala tersebut untuk diukur secara tepat.
1.6.4 Teknik Pengumpulan data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi partisipan, wawancara dan dokumentasi (FGD) :
1.6.4.1 Teknik Observasi Observasi merupakan langkah pertama yang dilakukan. Sebagai orang yang terlibat, mengalami dan merasakan hidup di tengah-tengah masayarakat lokal, marginalisasi politik menjadi isu langsung yang dapat dirasakan pertama kali semenjak otonomi daerah diberlakukan. “Rasa” inilah yang pada akhirnya menjadi titik tolak untuk mengamati apakah, yang lain sedang merasakan dan mendapat persepsi yang sama atau hanya bersifat personal : “rasa saya” saja. Agar tidak menjadi bias dan apriori serta bersifat objektif maka pengamatan dilakukan secara menyeluruh : lingkungan sekolahan, perkantoran, kantor-kantor pelayanan publik, desa, kota, berita-berita koran-televisi dan lain sebagainya. Dengan tahapan observasi ini, pemilihan lokasi, aktor-aktor informan dapat ditentukan untuk digali informasinya.
1.6.4.2 Teknik Wawancara Wawancara merupakan langkah paripurna dalam penggalian informasi. Jika observasi lebih pada pengamatan bentuk benda dan kegiatan yang bersifat
41
fisik maka wawancara sesungguhnya pencarian “roh” yang bersembunyi dibalik “benda-benda fisik” tersebut. Teknik wawancara biasanya menggunakan dua jenis, berstruktur dan tidak berstruktur. Dalam tradisi penelitian kualitatif, terutama pada kegiatan wawancara awal biasanya sering tidak berstruktur agar mendapatkan gambaran awal pandangan responden tentang subjek yang diinginkan. Karena tidak terstruktur maka responden bisa secara bebas menjawab dan mengeksplorasi tanpa diarahkan secara ketat oleh peneliti. Peneliti dalam tahapan ini, adalah seorang pendengar yang baik. Tahap berikutnya, ketika wawancara tidak terstruktur memberikan hasil awal maka wawancara dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang pertanyaannya diatur oleh peneliti.
1.6.4.3 Teknik Dokumentasi Pendokumentasian dilakukan untuk mendukung data dan informasi yang telah terkumpul. Dapat digunakan sebagai komplemen, pembanding atau penunjang bagi informasi responden. Studi dokumentasi dimaksudkan untuk memperoleh data tekstual yang sudah berbentuk teks tertulis seperti kliping Koran, tulisan para partisipan dan lain sejenisnya.
42
Alur aktifitas pengumpulan data ↓ Menentukan lokasi ↓ Akses ke lokasi ↓ Sampel responden yang dituju (purposfully sampling) ↓ mengumpulkan data (collecting data) ↓ mencatat informasi data (recording information) ↓ Klasifikasi/analisa data (resolving field type) ↓ Penarasian data (storing data)
Diadabtasi dari Cresswell (1994 :125)