BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi yang terkenal memiliki keistimewaan luar biasa dalam seluruh dimensi kehidupannya. Beliau adalah Khalifah kedua yang masuk Islam pada tahun keenam setelah kenabian Ketika berumur 27 tahun.1 Umar tidak saja dikenal karena kemampuannya memperluas daerah kekuasaan umat Islam dan menjalankan manajemen pemerintahan yang teratur, namun pokok-pokok pikiran Umar di bidang keilmuan memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam perkembangan hukum Islam. Terkait dengan keberadaannya sebagai seorang mujtahid, Umar memiliki visi dan orientasi pada kemaslahatan umum serta mau berfikir untuk memenuhi tujuan tashri', yaitu suatu pemikiran yang dalam satu waktu dapat mensinergikan antara memegang teguh tashri' dan usaha untuk mencapai sebuah kamaslahatan.2 Kepakaran Umar ini juga diakui oleh Nabi Muhammad sendiri. Hal ini dibuktikan dalam berbagai kesempatan Umar tercatat sering diajak berunding oleh Rasulullah. Tidak jarang apa yang disarankan Umar disetujui oleh Rasulullah, bahkan lebih jauh ada pula pendapatnya yang mendapat konfirmasi dari Al-Qur'an di antaranya adalah: 1
Syibli Nu’mani, Umar yang Agung “Sejarah dan Analisa Kepemimpinan Khalifah II” (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), 34. 2 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin khattab, terjemah H. Masturi Irham. (Jakarta: Khalifa, 2005), 3.
1
2
1. Usulan kepada Nabi agar Muslimah berhijab ketika berhadapan dengan orang laki-laki, kemudian turun surat al-Ahzab 53. 2. Usulan agar Maqam Ibrahim dijadikan tempat sembahyang yang kemudian turun surat al-Baqarah 125. 3. Permohonan penjelasan dari Umar atas keharaman arak kemudian dijawab oleh Allah dalam surat al-Maidah 90.3 Secara moral Umar menampakkan suatu gambaran yang sejati dari nabinabi. Dalam ketakutan kepada Allah dan kesalihan, kerendahan hati, sopan santun, dan kehidupan sederhana. Namun di sisi lain pemikiran Umar banyak menimbulkan selisih pendapat di antara para ulama. Seperti dalam beberapa kasus dimana Umar mencoba melakukan ijtihad pemahaman ulang atas ketetapan hukum dalam Al-Qur'an dan hadith yang selama ini dipahami masyarakat terutama para sahabat. Perselisihan ini timbul karena sepintas lalu apa yang dihasilkan dari interprestasi umar seakan menyimpang dari teks dasar Al-Qur'an ataupun hadith dan lebih mengedepankan rasio. Beberapa masalah yang dirumuskan Umar kemudian menimbulkan kontroversi di antaranya adalah :
3
Ibid, 32.
3
1. Masalah talak tiga sekaligus, Umar berpendapat bahwa talak yang diucapkan tigakali berturut-turut, jatuh tiga sekaligus, padahal ada riwayat yang menyatakan pada masa Rasulullah dan Abu Bakar masih dihitung satu4 2. Masaah menikahi wanita ahli kitab, dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5 dijelaskan bahwa di perbolehkanya menikahi wanita ahli kitab. Akan tetapi dalam suatu riwayat dikatakan, bahwa Umar bin Khattab memerintahkan Thalkah dan Hudzaifah untuk menceraikan istri-istri mereka dari ahli kitab. Menerima perintah itu, mereka berkata , "Kita akan menceraikanya wahai Amirul mukmminin dan janganlah kamu marah.” Umar lalu berkata, “jika perceraian mereka itu diperbolehkan. Akan tetapi saya menceraikan mereka berdua sejak kecil.” dari sini berati Umar mengharamkan seorang Muslim untuk menijkah wanita ahli kitab "5 Salah satu contoh anggapan bahwa Umar telah menyimpang dari AlQur'an dan Hadith adalah komentar yang diberikan oleh A. Hasan terhadapnya mengenai kasus rampasan perang: "Umar tampaknya meninggalkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung suruhan agar membagi harta rampasan di kalangan kaum Muslim"6 Bahkan dari hasil pemikiran Umar itu, Amiur Nuruddin mengutip pernyataan Ibn Qayyim dalam kitabnya I’lamu al-Muwâaqqi’în ‘an Rab al2323232 4
Muhammad Abdul Aziz Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab dalam Berijtihad, terjemah Wasmukan (Surabaya: Risalah Gusti,1999),193. 5 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad, 325. 6 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), 108.
4
‘alâmîn, Umar termasuk rangking pertama dalam tujuh besar sahabat Nabi yang banyak memberi fatwa,dan orang yang terdepan membawa panji ra’yu4 Kalau praduga kepada Umar kerena beliau telah meninggalkan aturan yang telah tertuang dalam Al-Qur'an ataupun hadith itu benar, maka kita akan mendapatkan kejanggalan dari latar belakang Umar itu sendiri. Kejanggalan ini akan nampak ketika menelaah bukti-bukti lain, perilaku penyimpangan ini akan terasa mustahil dilakukan oleh Umar bin Khattab meskipun dengan dalil kemaslahatan. Hal ini mengingatkan beliau terkenal sebagai seorang yang sangat patuh tidak saja kepada nash Al-Qur'an tetapi bahkan apa yang telah disampaikan Rasulullah. Sebagai ilustrasi akan kepatuhan Umar atas petunjuk Al-Qur'an dan Hadith adalah pengakuan Umar ketika bertawaf dan mencium Hajar Aswad: "Demi Allah, sesunguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau adalah batu. Engkau tidak akan mendatangkan bahaya dan manfaat. Jikalau aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu". dalam kesempatan yang lain Umar marah besar ketika melihat kaum muslim mengkramatkan dan shalat di petilasan para Nabi.5 Ketika Umar bin Khattab terkena musibah ditikam oleh musuhnya yang kemudian mengakibatkan meninggal, ada yang bertanya padanya ia akan menunjuk penggantinya? Umar bin Khattab menjawab " Jika aku akan menunjuk
4
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab ”Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam (Jakarta: Rajawali Perss, 1987), 136. 5 Muhammad Baltaji, Metodelogi Ijtihad Umar bin khattab, terjemah H. Masturi Irham. (Jakarta: Khalifa, 2005), 488.
5
penggantiku, memang hal itu sudah dilakukan oleh seorang yang lebih utama dari pada aku yakni Abu Bakar as-Shidiq, jika aku meninggalkan kalian. Tanpa menunjuk penggantiku, maka sesungguhnya hal itu juga telah dicontohkan oleh orang yang lebih utama lagi dari aku, yaitu Rasulullah SAW. Beliau telah meninggalkan kalian tanpa menunjuk siapa penggantinya". Mendengar jawaban ini Abdullah ibn Umar mengerti bahwa ayahnya tidak akan menunjuk penggantinya.6 Peristiwa ini menunjukkan bahwa Umar bin Khattab berpegang teguh kepada apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW meskipun sebenarnya apa yang telah dilakukan Abu Bakar as-Shidiq yaitu menunjuk penggantinya sebelum meninggal, sah untuk ditiru. Keraguan akan keberanian Umar menyimpang al-Qur’an ini juga diperkuat dengan pernyatan Syeh Muhammad Ali as-Sayis: “Ketiga, Ra’yu sebagaimana diterangkan, bahwa para sahabat menggunakan ra’yu bilaman tidak menemukan nash dalam kitab (al-Q ur’an) dan Sunnah”.7 Terkait dengan hal ini, Muhammad Hashim Kamali menyatakan: "Biasanya Mujtahid tidak akan melakukan interprestasi jika nash itu sendiri sudah merupakan dalil yang jelas".8
6
Muhamad Husain Haekal, Umar bin Khattab, 780. Syeh Muhammad Ali as-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh Hasil Refleksi Ijtihad, Terjemah M Ali Hasan (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1995), 78. 8 Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1991), 109. 7
6
Kalau kemudian masih ditemukan dall-dalil yang konkrit dalam Al-Qur'an dan Hadith, mungkinkah Umar lebih mengedepankan ra'yu di atas teks Al-Qur'an dan Hadith dalam berijtihad ? Berangkat dari permasalahan di atas dan untuk menguak kebenaran bahwa Umar bin Khattab seakan menyimpang dari teks Al-Qur'an ataupun Hadith dan lebih mengedepankan ra'yu (akal) dalam berijtihad, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang tertuang dalam sebuah skripsi yang berjudul "KAJIAN TERHADAP PRODUK HUKUM AL-AHWAL SYAKHSIYYAH DAN CORAK PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB DALAM BERIJTIHAD" B. Penegasan Istilah Ijtihad
: Mengerahkan segenap kemampuan berfikir untuk mencari dan menetapkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya yang tafshili (terinci).9
Umar bin Khattab : Salah satu sahabat Nabi, Khalifah kedua, ia masuk Islam pada tahun keenam setelah masa kenabian ketika berumur 27 tahun.10 Produk
: Hasil,11 yang dimaksud di sini adalah hasil dari ijtihad Umar bin Khattab.
9
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: CV haji Masagung, 1987), 127. Syibli, Umar yang Agung, 34. 11 Trisno Yuwono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, (Surabaya: Penerbit Arkola: 1994), 336. 10
7
C. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ijtihad Umar bin Khattab dalam hukum Al-Ahwal syakhsiyyah ? 2. Bagaimana corak pemikiian Umar bin Khattab dalam berijtihad ? D. Tujuan Studi Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui ijtihad Umar bin Khattab dalam hukum Al-ahwal syakhsiyyah. 2. Untuk mengetahui corak pemikiran Umar bin Khattab dalam berijtihad. E. Kegunaan Kegunaan yang dapat diambil dari studi ini adalah: 1. Memberikan sumbangsih data ilmiah dari sebuah karakter kepribadian Umar bin Khattab terkait dengan metodologi ijtihad yang digunakannya. 2. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat, pembaca dan orang-orang yang bermaksud mengadakan penelitian lebih lanjut. 3. Diharapkan dapat menambah dan memperdalam khasanah keilmuan bagi penulis dan pembaca umumnya tentang ijtihad Umar bin Khattab. F. Telaah Pustaka Penelitian ini mengkaji Terhadap Produk Hukum Al-ahwal Shakhsiyyah dan Corak Pemikiran Umar bin Khattab dalam Berijtihad. Sedangkan referensi yang
8
relevan dengan konteks penelitian ini dan dapat digunakan sebagai acuan pembahasan diantaranya sebagai berikut: 1. Menurut Muhammad Husain Haekal dalam bukunya, Umar bin Khattab "Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu", yang diterjemahkan oleh Ali Audah, kepemimpinan Umar bin Khattab selama sepuluh tahun sebagai amirul mukminin, sebagai pemimpin dan kepala pemerintahan, dengan prestasi yang telah dicapainya memang terasa unik, jika membaca langkah demi langkah perjalanan hidupnya itu, dan cukup mengesankan. Umar sebagai khalifah tak sekedar kepala negara dan kepala pemerintahan, lebih-lebih dia sebagai pemimpin umat. 2. Menurut Muhammad Baltaji dalam bukunya. Metodologi Ijtihad Umar bin Khattab yang diterjemahkan oleh Masturi Irham, Umar memiliki visi orientasi pada kemaslahatan umum, mau berfikir untuk memenuhi tujuan tashri' (bukan dhahirnya), yaitu suatu pemikiran yang dalam suatu waktu dapat mensinergikan antara memegang teguh tashri' dan usaha untuk mencapai kemaslahatan umum, yang pada hakekatnya hal inilah tujuan luhur adanya tashri', dari sinilah kenapa Umar berseberangan dengan orang-orang yang mempunyai pandangan sempit terhadap dhahir Al-Qur'an dan sunnah. 3. Menurut Amiur Nuruddin dalam bukunya, Ijtihad Umar Ibn Khattab "Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam" tata cara yang ditempuh oleh Umar dalam menyelesaikan berbagai persoalan adalah sederhana dan masuk akal. Kadang-kadang memang tampaknya menyimpang dari nash (teks ayat al-
9
Qur'an dan sunnah), tetapi sesungguhnya tidaklah demikian, sebab sebagai salah seorang sahabat yang akrab dengan al-Qur'an, tentu ia tidak akan melanggar dan meninggalkan al-Qur'an. Adapun laporan hasil penelitian atau skripsi yang telah dilakukan terkait dengan Ijtihad Umar bin Khattab adalah karya Nurul Anisyah, yang merupakan skripsi Jurusan Syariah STAIN Ponorogo yang berjudul "Ijtihad Umar bin Khattab dalam Kasus Pembatalan Had (hukuman) Potong Tangan Bagi Pencuri di Masa Paceklik". Di mana dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa alasan-alasan yang digunakan Umar bin Khattab membatalkan hukum potong tangan pada pencuri di masa paceklik, yaitu keadaan kelaparan yang dapat menimbulkan bahaya pada umat masa itu.12 Bedasarkan pada hal-hal tersebut atas, maka penelitian terhadap "Ijtihad Umar bin Khattah (Kajian Terhadap Produk dan Corak Pemikirannya dalam Berijtihad)" layak untuk dikaji karena nampaknya masih cukup orisinil dan belum pernah diungkap dalam kajian seperti ini. F.
Metodologi Penelitian Dalam sebuah penelitian memerlukan sebuah metode yang sesuai dengan obyek yang dibicarakan, hal ini karena kegiatan ilmiah haruslah terarah dan rasional, di samping metode sebagai sebuah cara mengerjakan sesuatu untuk
12
Nurul Anisyah, "Ijtihad Umar bin Khattab dalam Kasus Pembatalan Had (Hukuman) Potong Tangan Bagi Pencuri di Masa Paceklik", (Skripsi Jurusan Syariah STAIN Ponorogo, 2005)
10
mendapatkan hasil yang optimal dan memuaskan. Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam pembahasan ini adalah penelitian pustaka (Library Research), yaitu menelusuri atau mengkaji berbagai buku atau karya ilmiah yang berkaitan dengan judul skripsi.13 2. Pendekatan Penelitian Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu data yang disajikan dalam bentuk kata-kata atau gambar, bukan dalam bentuk angka.14 3. Metode Pengumpulan Data Karena jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka, maka metode pengumpulan
data
yang
lebih
tepat
adalah
menggunakan
metode
dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang berupa catatan atau tulisan, surat kabar, majalah atau jurnal dan sebagainya yang diperoleh dari data primer dan sekunder.15
13
Sutrisno Hadi, Metodelogi Riserch, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1980), 3. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2001), 56. 15 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Reneka Cipta, 1992), 244 14
11
4. Sumber Data Usaha awal untuk mengumpukan data dalam skripsi ini adalah dengan mengadakan penelitian dengan sejumlah literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas yang terbagi atas: a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah sumber data yang berhubungan langsung dengan pembahasan penelitian ini di antaranya adalah: 1. Muhammad Baltaji, Metodologi ijtihad Umar bin Khattab, terjemah H. Masturi Irham, (Jakarta: Khalifa, 2005). 2. Muhammad Abdul Aziz al-Halawi, Fatwa dan Ijtihad umar Ibn Khattab, terjemah oleh Wasmukan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999). 3. Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab; Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu, terjemah oleh Ali Audah, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2003). 4. Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn Khattab "Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam," (Jakarta: Rajawali Pers, 1987). b. Sumber Data Sekunder Selain sumber data primer juga ada sumber data sekunder sebagai pendukung dan penunjang dari sumber data primer di antaranya adalah:
12
1. Amir Syaifuddin, Usul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos, 1997). 2. Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984). 3. Yusdani. Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum Kajian Konsep Hukum Islam Najmuddin At-Tufi, (Yogyakarta: UII Press, 2000). 4. Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1991). 5. Wahbah Zuhailli, Ushûl al-Fiqh Islamy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986). 5. Tehnik Pengolahan Data Dalam pengolahan data penelitian, penulis menggunakan tehnik sebagai berikut: a. Editing, ialah pemeriksaan kembali terhadap semua data yang terkumpul terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, kesesuaian dan keragaman antara masing-masing data. b. Organizing, ialah menyusun dan mensistemasikan yang diperoleh dalam rangka paparan yang sudah direncanakan sesuai dengan rumusan masalah. c. Penemuan hasil, ialah
menggunakan
analisis
terhadap
hasil
pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah, dalil dan sebagainya.
13
6. Tehnik Analisa Data Untuk menganalisa data yang telah terkumpul dalam rangka mempermudah pembahasan skripsi, penulis menggunakan analisa data sebagai berikut: a. Deduktif; yakni analisa data yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum yang bertitik tolak pada pengetahuan umum itu hendak menilai kejadian yang khusus. b. Induktif; yakni analisa data yang berpedoman pada cara berfikir induktif dan berangkat dari fakta yang khusus, peristiwa yang kognitif. Kemudian dari fakta yang konkrit ditarik generalisasi yang mempunyai sifaf umum.12 G. Sistematika Pembahasan Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi lima bab, pada setiap bab masih terbagi lagi dalam beberapa sub bab. Hal ini dimaksudkan agar penulisan skripsi ini sistematis. Adapun secara keseluruhan bab-bab itu sebagaimana yang tertuang dalam kerangka penulisan sebaga berikut ini: Bab I pendahuluan. Bab ini merupakan deskripsi global mengenai keseluruhan skripsi yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya, meliputi latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan studi, kegunaan studi, telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Bab II dalam bab ini akan mengkaji tentang pengertian, sejarah dan konsep ijtihad ahl-al-ra'yi dan ahl-al-hadith yang mana pada bab ini akan 12
Sudarto, Metodelogi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1996),57.
14
menjadi pisau analisis dalam pembahasan skripsi ini. Bab III bab ini akan memaparkan tentang biografi Umar bin Khattab dan produk ijtihad Umar bin Khattab dalam hukum al-ahwal sykhsiyyah yang dibahas di dalamnya adalah mengenai masalah talak tiga dalam satu majlis, menikahi wanita ahli kitab. Bab IV bab ini menjelaskan tentang corak pemikiran Umar bin Khattab dalam berijtihad dengan menganalisis produk-produk ijtihad Umar yang dipaparkan pada bab ketiga dan bab kedua sebagai pisau analisisnya. Bab V penutup, bab ini merupakan akhir penulisan skripsi yang berisi kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari pembuktian dan saran-saran.
15
BAB II KONSEP IJTIHAD AHL AL- HADITH DAN AHL AL- RA'YI
A. Pengertian Ahl al-Hadith dan ahl al-Ra'yi Hadith menurut bahasa al-Jadid yang artinya sesuatu yang baru lawan dari al-Qadim (lama). Hadith juga sering disebut dengan al-Khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.13 Sedangkan menurut istilah (terminology), ahli hadith mendefinisikan, hadith ialah:
M َ Oْ Q ِ ُأTَU VَW ِإV Y Zِ \[W اV[^_ َ ` ُ َ^ اa َ bِ Oْ cَ ^[َd َوg ً ْhiَ j ً kْ lِ ًْا َاوmnِْ mْopَ َْأو qً rَ _ ِ َْأو Artinya: sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat beliau.14 Sebagian muhadthisîn berpendapat bahwa pengertian hadith di atas merupakan pengertian yang sempit, menurut mereka, hadith mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas; tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi S.A.W. (hadith marfû') saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada 13
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 1. Muhammad Zuhri, Hadith Nabi "Tela'ah Historis dan Metodologis"(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 1. 14
16
para sahabat (hadith mauqûf), dan tabi'in (hadith maqtû'), sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Mahfudz bin Abdillah al-Tirmisi:
ن ّ[ َأu َ nْ vِ wَxWْ اVyzwَ{| ْ nُ g َ ْْعhlُ ْm~َ Wْ Twِ bِ wْOWَ ِإ [ wَ_` ى ُ اbِ wْO^َa َ cَ ^[wَdْ َوwَ َءTwَ ف ِ ْhiُ ْh~َ Wْ Twِ hَ wُ َوهM َ Oْ wِQُأTَU VwَW ِإVِTَxz [ wWع ا ِ ْhwُoْ ~َ Wْ وَاhَ wَُوه M َ Oْ Q ِ ُاTَU Vِkِ T[{Wِ Artinya : bahwasannya hadith itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfû', yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi S.A.W.; melaikan bias juga untuk sesuatu yang mauqûf, yaitu yang disandarkan kepada tâbi'în.15 Kata ra'yu (ُ )رَأيadalah masdar (akar kata) dari fi'il madli (kata kerja bentuk lampau) ra'a ( ) َرأَىyang secara etimologi, berarti melihat. Kata ra'yu atau seakar dengan itu terdapat 328 ayat yang tersebar dalam al-Qur'an dengan pengertian yang beragam sesuai dengan objek yang dikenai dengan kata ra'yu. Dalam al-Qur'an secara garis besar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; objek yang kongkrit (berupa) dan objek yang abstrak (tidak berupa).16 Terhadap objek yang kongkrit, kata ra'yu berarti melihat dengan mata kepala, sebagaimana contoh dalam surat al-An'am ayat 78:
T[~^َlَ َراَى َ ~ْ [ W اqً َ ِزTَ ل َ Tَi َهَا رَ ِّْ هََاmُ Zَ َا ْآ Artinya : kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata : inilah tuhanku ini yang lebih besar.
15 16
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 2. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: Logos, 1997), 102.
17
Terhadap objek yang abstrak, kata ra'yu berarti melihat dengan mata hati atau dengan arti memikirkan. Pengertian seperti ini bisa kita lihat dalam surat Luqman ayat 20:
óΟs9r& (#÷ρts? ¨βr& ©!$# t¤‚y™ Νä3s9 $¨Β ’Îû ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# $tΒuρ ’Îû ÇÚö‘F{$# Artinya : Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi. Kata ra'yu yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah dalam arti memikirkan, juga berarti hasil pemikiran atau rasio. Untuk artian berfikir, dalam al-Qur'an juga digunakan kata fakara (mَ wَlَ ) atau kata lain yang berakar pada kata itu. Kata fakara ini terdapat dalam 18 ayat al-Qur'an yang pada umumnya bersamaan arti dengan arti kata ra'yu tersebut, firman Allah dalam surat ar-Rûm ayat 8:
öΝs9uρr& (#ρã©3xtGtƒ þ’Îû ΝÍκŦàΡr& Artinya : Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?17 Adapun ra'yu secara terminology adalah:
'ُ )( +َ -, .َ ا0ُ 2ْ 4ِ 5ْ -, . وَا8ٍ 9َ 2ْ : ِ ;َ <ِ = َ >ِ 'ِ ?ِ @َ:;َ .ْ ْ اA-ِ ., اBَ C َ ْع َأر ُ ْ0G , . اH َ .َِا ِء إB-ِ ْهLِ َ@ اM<ِ AِN ط ِ @َP-ْ Qِ : ْ Lِ اR ُ 2ْ S َ T , Uَ Lَ . Artinya : (pengarahan) akal dan pemikiran dengan satu atau beberapa media yang shri’at mengantarkannya pada petunjuk (Allah) dalam menggali hukum (istimbath)
17
Ibid., 103.
18
terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam nash.18 Sedangkan ahl al-ra'yi yaitu kelompok ulama yang memberikan peluang adanya intervensi akal dalam memahami otoritas wahyu, sedangkan ahl-hadith adalah kelompok ulama yang lebih cenderung mempertahankan idialisme wahyu tanpa memberi acomodative thinking. Artinya , apa yang tersurat dalam al-qur’an adalah final, sakral, permanen dan tak dapat diubah.19 Dalam berbagai pembahasan, istilah ahl al-hadith atau ahl al-ra'yi juga sering disebut mujtahid bi al-hadith atau mujtahid bi al-ra'yi adalah seorang mujtahid yang berijtihat dengan hadith atau ra'yu. Hanya saja penggunaan istilah ahl al-hadith atau ahl al-ra'yi bersifat umum bidang bahasan aqidah atau fiqih dibanding dengan istilah mujtahid bi al-hadith atau mujtahid bi al-ra'yi, yang sering kali lebih cenderung pada bidang bahasan fiqih.
B. Sejarah Perkembangan Ahl Al-Hadith dan Ahl Al-Ra'yi Secara garis besar sejarah periode awal, setelah wafatnya Rasulullah para ulama telah merumuskan sumber hukum Islam yaitu al-Qur'an dan hadith. Namun dalam perkembangan selanjutnya terjadi semacam perbedaan dalam merumuskan dua sumber hukum di atas. Sehingga muncul dua aliran besar yaitu ahl al-hadith
18
Abd al-wahab Khalaf, Mashadir Al-Tashri’ Al-Islam Firma La Nsashshafih (t.t: Dar alQalam t.th), 7. 19 Sumanto al-Qurtubi, Era Baru Fiqh Indunesia Yogyakarta: Penerbit Cermin, 1999 ), V.
19
dan ahl al-ra'yi.20 Kelompok pertama lebih mempertahankan idealisme wahyu dan kurang memberi akomodasi pemikiran dalam pengambilan hukum. Sedangkan kelompok yang kedua ini cenderung lebih memberi peluang terhadap akal dalam memahami otoritas wahyu. Madzhab ahl al-hadith mulanya berkembang di Hijaz utamanya Madinah karena penduduk Hijaz lebih banyak mengetahui hadith dan tradisi Rasulullah dibanding dengan penduduk luar Hijaz. Hijaz adalah daerah yang perkembangan budayanya dalam pantauan Rasulullah hingga beliau wafat. Di Madinah sebagai sebagai ibu kota Islam, beredar hadith Nabi jauh lebih banyak dan lengkap dibanding dengan daerah lain manapun. Semua persoalan hukum dan budaya sudah terjawab oleh teks al-Qur'an dan hadith. Disana tidak banyak varian mata pen caharian penduduk seperti yang terdapat di Irak. Ulamanya pun sudah mapan dengan tradisi menyelesaikan masalah hukum dengan teks wahyu, tidak memerlukan memeras otak, sehingga pada masa itu Hijaz dikenal sebagai pusat hadith.21 Panutan ahl al-hadith tersebut adalah Sya'id bin al-Musayyab, yang wafat tahun 93 Hijriah. Beliau terkenal seorang ahli qira'at atau fuqaha' tujuh di Madinah, di samping itu juga seorang pemimpin golongan tabi'in. banyak ulama yang serius mempelajari bagaimana Musyayab berfikir tentang hukum. Secara berurutan Imam Malik, al-Shafi'i, Ahmad bin Hanbal, Dawud adalah perawi 20
Noor Ahmad, Epistemologi Syara "Mencari Format Baru Fiqh Indonesia" (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 7. 21 Muhammad Zuhri, Hukum Islam, 67.
20
aliran ahl al-hadith. Namun demikian, ulama yang terkenal berpendirian keras berpegang metode berfikir ahl al-hadith adalah Ahmad bin Hambal dan Daud azhahiri.22 Sebenarnya ahl al-hadith tidak saja diyakini dan dipelihara oleh FuqahaFuqaha di negeri Hijaz, tetapi juga terdapat di daerah lainnya, seperti: 1. Di Kuffah, seorang fuqaha terkenal Amir Asy Syaibi, beliau berpegang teguh kepada athar dan beliau tidak melampuinya, Sufyan Alth Thaury, seorang tabi'in juga tidak berani mengikuti ra'yu. 2. Di Syam, seorang ulama ahl al-hadith yang bernama al-Auzâ'y, yang selalu berpegang kepada al-Qur'an dan hadith. 3. Di Mesir, seorang ulama terkenal bernama Yazid bin Habib, adalah penganut ahl al-hadith dan tetap berpegang kepadanya.23 Sebagai lawan dari aliran ahl al-hadith adalah ahl al-ra'yi. Bagi kelompok ahl al-ra'yi merasa bahwa keberhasilan ijtihat dengan ra'yu dapat menyelamatkan umat Islam dari persoalan hukum Islam, karenanya metode ini terus dikembangkan, lebih dari itu mereka kemudian mengandalkan hal-hal yang kemungkinan terjadi amat jauh. Ini disebabkan karena mereka memperkirakan bahwa wilayah Islam akan bertambah luas terus sehingga persoalan hukum yang mungkin terjadi harus diantisipasi 24
22
Ibid., 69. TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 97. 24 Muhammad Zuhri, Hukum Islam, 71. 23
21
Ahl al-ra'yi muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan berkembang pesat di Irak disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: 1. Dibanding dengan Hijaz, sejumlah hadith yang dapat dipegangi di Irak jauh lebih kecil. Bukan rahasia bahwa pertikaian politik dikalangan umat Islam telah menimbulkan minat orang membuat hadith palsu. Beredarnya hadithhadith palsu menyebabkan persyaratan penerimaan hadith di Irak lebih ketat. Maka penolakan mereka atas sebuah berita yang dinyatakan dari Nabi bukan dimaksud menolak hadith Nabi. Tetapi dimaksudkan adalah untuk menjaga ajaran Nabi itu sendiri dari riwayat yang palsu. Bahkan, ulama Irak menganjurkan bahwa hadith yang dijadikan Hujah adalah yang diriwayatkan dari orang banyak kepada orang, paling tidak hadith masyhur. Itupun diperlukan syarat, suatu hadith tidak bertentangan dengan dalil al-Qur'an, maka dapat terjadi bahwa sebuah hadith yang dijadikan dasar hukum di suatu daerah, tidak dijadikan dasar hukum diderah Irak. 2. Irak merupakan daerah dinamis dibanding Hijaz karena kesuburan tanah di sana menimbulkan kontak efektif antara berbagai peradaban, seperti, Yunani, Persia, Arab. Kondisi ini menimbulkan varian mata pencaharian yang banyak. Persoalan yang dihadapi di sana tentunya lebih komplek dibanding Hijaz. 25 Sebagaimana ahl al-hadith yang tidak hanya dipimpin oleh Fuqaha Madinah, demikian pula halnya ahl al-ra'yi tidak hanya dipimpin oleh fuqaha Irak, tetapi sebagai pemimpinnya ialah Abdullah bin Mas'ud. 25
Ibid., 73.
22
Para sahabat yang terkenal di Kufah ialah al-Qamah bin Qais, Syuraih bin al-Ajda al-Hamdani, al Aswad bin Yazid, sesudah itu aliran ini dilanjutkan oleh Ibrahim al Nakha'i. Nakha'i yang sempat bertemu dengan sebagian para sahabat, seperti dengan Abu Said al-Khudry. Ibrahim al-Nakha'I belajar dari Abu Said dalam masalah fiqh. Kemudian madhab ini dipimpin oleh Abu Hanifah26 Keberadaan dua aliran ini bukan tanpa pertentangan. Mereka tidak hanya berdiskusi membahas masalah kepahaman mereka, tetapi bahkan telah menjurus pada tindak kekerasan yang membuat mereka menjadi saling membenci. Ahl alhadith mengeklaim bahwa pendapat-pendapat ahl ra'yi hanya berdasar pikiran yang membuat mereka kurang berhati-hati pada masalah-masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui sumber-sumber nash. Sementara ahl ra'yi sering mengkritik ahl al-hadith karena sedikit menggunakan daya pikir. Menurut Taha Jabir al-Wani, sebenarnya ahl al-ra'yi sepakat dengan seluruh Muslim bahwa ketika seseorang memehami sunnah secara jelas, dia tidak boleh menolak bahwa sunnah lebih baik dari pada pendapat seseorang. Pada kasus-kasus yang
ahl al-ra’yu
dikritik karena bertentangan dengan sunnah,
disebabkan oleh : a. Ketidaktahuan mereka akan al-hadith yang berkaitan dengan hal yang diperdebatkan
26
TM, Hasbi, Pengantar Ilmu, 98.
23
b. Mereka mengetahui al-hadithnya tetapi juga menemukan beberapa kelemahan pada sanad atau aspek lainya yang mungkin oleh pihak lain tidak dianggap lemah c. Mereka mengetahui al- hadith lainya yang mereka anggap kuat tetapi bertenangan dengan al- hadith yang diterima pihak lain 27 Sekalipun, ahl al-haditg sependapat dengan ahl al-ra'yi mengenai kebutuhan untuk mencari solusi atas persoalan yang terjadi jikatidak ada peraqturan khusus dalam sumber-sumber nash, tetapi pertentangan dan tekanan antara kedua aliran diwarisi secara akut. C. Metode Ijtihad Ahl al Hadith dan Ahl Ra'yi Dengan melihat metode ulama dalam melakukan istinbath hukum al ustadz al Hakim menjelaskan bahwa ada dua cara dalam berijtihad, yaitu: 1. Ijtihad al Aqly yaitu ijtihad yang dasar-dasar hukumnya dengan menggunakan akal semata dan hanya berpatokan pada kaidah kewajiban menolak bahaya dan buruknya sebuah hukum yang tanpa dan penjelasnya. 2. Ijtihad al Shar'i yaitu ijtihad yang mendasari hujjahnya dengan dalil shar'i termasuk di dalamnya ijmâ', Qiyâs, Istihsân, Istishlâh, Urf, Istishâb dan lainlain.28
27
Taha Jabir Al-wani, Metodologi Hukum Islam Kontenporer, Terjemah Yusdani (yogyakarta: UII Pess, 1994), 84. 28 Wahbah Zuhaili, Ushû al F iqh al Islamy Jilid (Beirut: Dar al Fikr, 1986), 1042.
24
Dari pembagian ijtihad di atas, cara yang pertama banyak digunakan oleh mujtahid bi al ra'yi karena mereka adalah mujtahid yang dalam menetapkan hukum hanya dengan mengandalkan akal dan kaidah umum da'fu al Mafâsid saja. Sementara cara yang kedua digunakan oleh Mujtahid Shar'i atau dikenal dengan istilah ahl al-hadith. Mereka dalam menetapkan hukum berpatokan pada dalil syhr'i. Namun ketentuan di atas bukanlah ketentuan pasti, karena dalam melakukan pengambilan hukum, masing-masing ahl al-ra'yi memiliki cara yang berbeda-beda, sebagian dari mereka menggunakan metode Qiyâs dan sebagian mengikuti metode maslahat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya mujtahid bi al ra'yi29 tidak meninggalkan dalil shar’i sama sekali. Ijmâ', Qiyâs, Istihsân, Urf, Istishâb, Istishlah, memang termasuk dalildalil hukum yang tidak disebutkan oleh Qur'an dan hadith. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran al-ra’yu
dengan
tidak meninggalkan Qur'an dan hadith sebagai patokan utama. Keberadaan dalildalil ini menimbulkan perbedaan di kalangan ulama terutama dalam menentukan sejauh mana porsi al-ra’yu dalam penerapan dalil tersebut, meskipun demikian mereka tetap bersepakat untuk tidak menggunakan dalil-dalil di atas kecuali bila suatu masalah tidak di temukan dalam Qur'an maupun hadith.30
29 30
Amir, Usûl Fiqh, 37. Amir Syarifuddin, Usûl Fiqh, Jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 304.
25
Abu Hanifah yang dikenal sebagai golongan ahl al-ra'yi dalam menetapkan hukum ia berpegang pada al-Qur'an sebagai sumber pokok dan apabila tidak menemukannya akan berpegang pada hadith, dan jika hadith tidak menjelaskan hal yang dicari maka akan mencarinya pada pendapat sahabat.31 Ketila Abu Hanifah dituduh lebih mendahulukan qiyas tas nash yang jelas dan tegas dalam la- Qur'an, dia menjawab : “demi Allah, siapa yang berkata bahwa kami lebih mengutamakan qiyas dari pada nash adalah bohong dan memfitnah kami, apakah masih membutuhkan qiyas sesudah menemukan suatu nash yang tegas dan jelas”.32 Begitu pula dengan ahl al-hadith, aliran ini bukanlah aliran yang sama sekali menghindari penggunaan akal. Dalam menetapkan hukum Islam mereka mempunyai langkah-langkah sebagai berikut: 1. Bila suatu masalah sudah disebut oleh al-Qur'an maka seorang ulama tidak boleh beranjak kepada yang lain. 2. Bila kandungan ayat al-Qur'an itu menunjukkan berbagai kemungkinan maka mereka merujuk hadith yang berbicara hal yang sama dalam ayat tersebut. 3. Bila ayat al Qur'an tidak menerangkannya, barulah mereka mencari petunjuk di dalam hadith, baik yang telah masyhur dipakai oleh ulama sebelumnya atau yang diriwayatkan oleh penduduk suatu daerah tertentu.
31 32
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: Logos, 1997), 37. Taha Jabir, Metodologi Hukum, 84.
26
4. Bila hadith sudah ditemukan maka tidak boleh mengambil keputusan hukum berdasarkan yurisprudensi atau pemikiran mujtahid 5. Bila hadith yang dimaksud tidak ditemukan, keputusan diambil berdasarkan pendapat umum (konsensus). Hasil konsensus harus dipatuhi. Bila masih juga terdapat diambil dari pendapat dalam upaya konsensus, maka keputusan diambil dari pendapat ulama yang paling wira' dan paling alim.33 Dari penjelasan di atas memberikan gambaran yang nyata bahwa pada periode awal madhab ahl al-hadith dan ahl al-ra'yi dibedakan oleh cara pandang mereka terhadap sumber hukum yang kedua yaitu hadith dan sarat-syarat dimungkinkannya sebuah hadith dijadikan landasan hukum. Pada hakekatnya antara ahl al-hadith dengan ahl al-ra'yi di samping al-Qur'an dalam mengambil hukum, hanya saja intensitasnya dan kriteria penggunaannya berbeda-beda. Hal ini juga bisa kita buktikan dengan melihat bahwa Imam Syafi'I dan Imam Malik yang terkenal dengan ahl al-hadith masih juga menggunakan ra'yu dalam berijtihad karena mereka masih mengakui qiyâs ataupun mashlahah alMursalah.34 Pada masa-masa awalnya dikotomi ahl al-hadith dan ahl al-ra'yi memiliki kesamaan dalam hal: 1. al-ra'yu dapat digunakan dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya sama sekali, sehingga apapun bentuk ijtihad tidak berbentuk dengan nash.
33 34
Muhammad Zuhri, Hukum Islam, 68. Amir, Ushul Fiqh, 38-39.
27
2. al-ra'yu dapat digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti. Karena nash yang seperti ini memberikan kemungkinan pemahaman.35 Ahl al-hadith dan ahl al-ra'yi berbeda padangan dalam hal: 1. Pemberian arti bahasa sebuah dalil 2. Penerimaan suatu hadith 3. Penyelesaian nash yang saling bertentangan 4. Penggunaan qiyâs 5. Penggunaan dalil tertentu seperti istihsân, istishâb dan istislâh.36 Pada masa setelah Imam madhab empat terjadi pembiasaan metode pengambilan hukum oleh mereka yang menamakan dirinya ahl al-ra'yu, kalau pada masa awal munculnya ahl al-hadith dan ahl al-ra'yu dalil-dalil selain alQur'an dan al-hadith tidak digunakan bila pada keduanya masih ditemukan, maka pada generasi setelah itu hukum-hukum yang sudah ada dalam al-Qur'an dan alHadith pun juga diijtihadi dan diinterpretasi ulang dengan berpegangan pada kepentingan umum. Najamuddin al-Tufi contohnya, dia memberikan wilayah kepentingan umum lebih tinggi dari ijma',37 bahkan bila kepentingan umum harus didahulukan dari pada dalil shara' dengan dalil al-hadith lâ darara wa lâ dirâra. Menurutnya,
35
Ibid., 108. Noor, Epistimologi Syara’, 7. 37 Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum Kajian Najmuddin atTufi, (Yogyakarta: UII Prees, 2000), 31. 36
28
makna al-hadith ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan madzarat, untuk memelihara kepentingan umum yang menjadi tujuan utama hukum shari'at, sehingga wajib didahulukan, sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi tujuan harus didahulukan dari pada sarana.38 Di samping Najamuddin, juga ada al-Syaitibi yang dikenal dengan kaum al-muta'amiqîn fi al-Qiyâs (sekelompok yang gemar melakukan analogi), kelompok ini lebih memprioritaskan makna lafadz dari pada lafadz itu sendiri. Jika ada pertentangan antara nash atau tekstual dan makna teks atas dasar penalaran, kelompok ini lebih mengutamakan makna hasil penalaran dengan alas an demi tegaknya kemaslahatan karena tidak ada kewajiban bagi mujtahid untuk bertahan pada pengambilan nash secara tekstual.39 Dengan kata lain, mereka berusaha menemukan makna kontekstualitasnya. Contoh hasil pemikiran yang demikian adalah penafsiran pada surat Maidah ayat 38:
ä−Í‘$¡¡9$#uρ èπs%Í‘$¡¡9$#uρ (#þθãèsÜø%$$sù $yϑßγtƒÏ‰÷ƒr& ... Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya … Secara lahiriyah pencuri harus dipotong tangannya sebagai hukuman kejahatan. Akan tetapi, bukan lahiriyah itu yang mereka maksud, melainkan supaya mereka berhenti mencuri. Tindakan preventif untuk mencegah munculnya pencurian bukan hanya menghukum potong tangan bagi pencuri, melainkan bisa ditempuh dengan dengan cara memenjarakannya atau menciptakan kondisi sosial 38 39
Ibid., 62. Ibid., 54.
29
yang mencegah timbulnya berbagai kesenjangan, khususnya ekonomi. Cara demikian ini menurut mereka dipandang lebih manusiawi atau lebih maslahat. Ada kemungkinan pencuri jera dan menyadarinya, sehingga tidak mengulangi mencuri dan ia bisa mencari alternatif lainnya untuk menopang kehidupan tanpa putus asa karena tidak kehilangan tangan.40 Para pendukung pola pikir al-muta'amiqin fi al-qiyâs berpendapat bahwa hukum Allah itu ditegakkan karena adanya illat (sebab) hukum atau sebab kemaslahatan bagi umat manusia (al-hukmu yadûru ma'a illatihi).41 Selain menggali maqâsid al-syâri'ah pada setiap dalil, ahl al-ra'yi juga berusaha melonggarkan pengertian qath'i. Qath'i yang biasanya diartikan sebagai ajaran yang dikemukakan dalam teks bahasa yang tegas, diredefinisikan menjadi ajaran yang bersifat universal dan mengatasi dimensi ruang dan waktu. Sedangkan dzanni yang menurut ulama salaf merupakan ajaran yang dikemukakan dalam bahasa yang tidak tegas sehingga masih mungkin untuk diijtihadi, diredefinisikan menjadi ajaran yang bersifat juz'iyyah (partikular dan teknis operasional) yang terkait dengan ruang dan waktu.42 Adapun ajaran yang bersifat universal, prinsif dan absolut itu seperti ajaran-ajaran tentang:
40
Ibid., 56. Abi Ishak Ibrahim al-Khaimi al-qarnathi al Syaitiby, Muafaqat fi ushûl al-Ahkam Jus I, (Bairut: Dâr al-Firk, 1341 H), 275-276. 42 Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan (Bandung: Mizan, 1997),29. 41
30
1. Kebebasan dan pertanggungjawaban individu. Firman Allah surat al-Zazalah ayat 7-8:
yϑsù ö≅yϑ÷ètƒ tΑ$s)÷WÏΒ >六sŒ #\ø‹yz …çνttƒ tΒuρ ö≅yϑ÷ètƒ tΑ$s)÷WÏΒ ;六sŒ #vx© …çνttƒ Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.43 2. Kesetaraan manusia (tanpa memandang perbedaan kelamin, warna kulit atau suku bangsa) dihadapan Allah. Firman Allah surat al-Hujurat ayat 13:
$pκš‰r'‾≈tƒ â¨$¨Ζ9$# $‾ΡÎ) /ä3≈oΨø)n=yz ÏiΒ 9x.sŒ 4s\Ρé&uρ öΝä3≈oΨù=yèy_uρ $\/θãèä© Ÿ≅Í←!$t7s%uρ (#þθèùu‘$yètGÏ9 4 ¨βÎ) ö/ä3tΒtò2r& y‰ΨÏã «!$# öΝä39s)ø?r& 4 ¨βÎ) ©!$# îΛÎ=tã ×Î7yz Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.44 3. Ajaran tentang keadilan. Firman Allah surat al-Maidah ayat 8:
(#θä9ωôã$# uθèδ Ü>tø%r& 3“uθø)−G=Ï9 Artinya : Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.45 4. Persamaan manusia didepan hukum. Firman Allah surat al-Maidah ayat 8:
28 Depag Ri, Al-Qur'an dan Terjamah ( Bandung: Gema Risalah Press, 1993), 1087. 44 Ibid., 847. 45 Ibid., 159.
31
Ÿωuρ öΝà6¨ΖtΒÌôftƒ ãβ$t↔oΨx© BΘöθs% #’n?tã āωr& (#θä9ω÷ès? Artinya : dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.46 5. Tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Firman Allah surat al-Baqarah ayat 279:
Ÿω šχθßϑÎ=ôàs? Ÿωuρ šχθßϑn=ôàè? 47
Artinya: kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
6. Kritik dan kontrol sosial. Firman Allah surat al-Ashr ayat 1-3:
ÎóÇyèø9$#uρ
¨βÎ) z≈|¡ΣM}$# ’Å∀s9 Aô£äz
āωÎ) tÏ%©!$# (#θãΖtΒ#u (#θè=Ïϑtãuρ ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# (#öθ|¹#uθs?uρ
Èd,ysø9$$Î/ (#öθ|¹#uθs?uρ Îö9¢Á9$$Î/ Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.48 7. Menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan. Firman Allah surat al-Isra' ayat 34:
4 (#θèù÷ρr&uρ ωôγyèø9$$Î/ ( ¨βÎ) y‰ôγyèø9$# šχ%x. Zωθä↔ó¡tΒ Artinya: dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.49 8. Yang kuat melindungi yang lemah. Firman Allah surat al-Nisa’ ayat 75:
46
Ibid. Ibid., 70. 48 Ibid., 1099. 49 Ibid., 429. 47
32
$tΒuρ ö/ä3s9 Ÿω tβθè=ÏG≈s)è? ’Îû È≅‹Î6y™ «!$# tÏyèôÒtFó¡ßϑø9$#uρ š∅ÏΒ ÉΑ%y`Ìh9$# Ï!$|¡ÏiΨ9$#uρ Èβ≡t$ø!Èθø9$#uρ Artinya: Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak50 9. Tolong menolong untuk kebaikan. Firman Allah surat al-Maidah ayat 2:
(#θçΡuρ$yès?uρ ’n?tã ÎhÉ9ø9$# 3“uθø)−G9$#uρ Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,51 10. Musyawarah dalam hal urusan bersama. Firman Allah surat as-Syura ayat 38:
öΝèδãøΒr&uρ 3“u‘θä© öΝæηuΖ÷t/ Artinya: urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka
52
Semua ayat-ayat di atas, merupakan contoh ajaran yang bersifat prinsipil dan fundamental; kebenaran dan keabsahannyapun tidak memerlukan argumen diluar teks itu sendiri. Nilai-nilai tersebut membenarkan dan mengabsahkan dirinya sendiri. Ajaran tentang keharusan menepati janji atau keadilan misalnya, secara moral semua orang terikat kepadanya, bukan karena alas an atau pertimbangan apapun, melainkan karena pada dasarnya akal budi manusia
50
Ibid., 131. Ibid., 157. 52 Ibid., 789. 51
33
memang ditakdirkan menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran sebagai prinsip hidup.53 Bentuk ajaran seperti inilah menurut ahl al-ra'yi dekade terakhir ini merupakan ajaran yang qath'i. Tak seorangpun perlu berijtihad untuk mengetahui hukum. Kebenaran ajaran yang bersifat kategoris ini sangat jelas bagi siapapun, dimanapun dan kapanpun. Sementara ajaran yang bersifat dzanni menurut ahl al-ra'yi, adalah ajaran atau petunjuk agama baik al-Qur'an atau hadith yang bersifat jabaran dan perinsip-prinsip yang qath'i dan universal tadi. Ajaran ini tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri. Karena itu dzanni terikat oleh ruang dan wkatu, oleh situasi dan kondisi. Implikasi dari pembahasan seperti ini adalah dalam menentukan sebuah dalil itu qath'i atau dzanni tidak perlu melihat lafadz dalil itu, apakah dhahir, mutasyabih, mufassar atau muhkam, muskil, mujmal. Karena untuk melihat dalil tersebut qath'I atau dzanni, cukup dengan melihat apakah dalil itu menunjukkan ajaran yang universal atau bersifat tekhnis. Dengan pandangan seperti ini ,maka tidak mustahil bagi mereka untuk reinterprestasi dalil-dalil secara lafadz termasuk nash tetapi membahas persoalan teknis Dari uraian di atas, maka sangat jelas bahwa ahl al-hadith dan ahl al-ra'yi pada awal kemunculannya, memiliki metode pengambilan hukum yang sama. Kedua kelompok ini tidak menggunakan dalil selain al-Qur'an dan al-hadith, 53
Masdar F, Islam dan Hak- Hak, 29.
34
selama dari kedua sumber ini masih ditemukan keputusan hukum, yang membedakan di antara keduanya adalah standar penilaian terhadap kelayakan hadith digunakan sebagai hujjah hukum. Abu Hanifah sebagai tokoh al-ra'yu menerapkan kriteria kesahihan sebuah hadith dengan ketat, maka pada masalah yang tidak ditemukannya, Abu Hanifah menggunakan ra'yu melalui metode qiyas atau yang lainnya.54 Sementara ahl alhadith seperti Ahmad bin Hanbal lebih mengutamakan hadith dha'if dari pada qiyas.55 Pada dekade terakhir ini, banyak ilmuan yang mencoba membongkar wacana pembaharuan hukum dengan tidak saja menggunakan ra'yu sebagai media setelah tidak ditemukan dalil dari al-Qur'an dan hadith, tetapi lebih dari itu apa yang tertuang dalam al-Qur'an dan hadith dikritisi dan diijtihadi kembali untuk mendapatkan hukum baru meskipun secara teks bertentangan dengan al-Qur'an maupun hadith.
54 55
Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam (Surabaya: Elkaf, 2006), 78. Ibid., 87.
35
BAB III IJTIHAD UMAR BIN KHATTAB DALAM HUKUM AL-AHWAL SYAKHSIYYAH
A. Biografi Umar bin Khattab 1. Umar bin Kattab sebelum dan ketika masuk Islam Umar bin Khattab nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail. Umar dilahirkan di Makkah yaitu 13 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.56 Dalam beberapa sumber yang ditulis oleh sejarawan muslim, seperti al-asir, ibn Sa’adalah dan ibn Haji, garis keturunan Umar bertemu dengan Muhammad Rasulullah pada leluhurnya generasi kedelapan. Penelusuran garis keturunan ini bagi masyarakat Arab bukanlan merupakan hal yang sulit, karena sudah menjadi tradisi masyarakat tersebut untuk mengabadikan garis keturunan dalam syair dan hafalan. Bahkan lebih dari itu, orang-orang yangmempunyai ilmu dalam bidang nasab, yaitu suatu yang membicarakan garis keturunan (silsilah) seseorang atau kelompok masyarakat, dianggap sebagai orang yang mempunyai kedudukan istimewa dan terhormat dalam masyarakat.57
56
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi press, 2000), 19. 57 Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab tudi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam_ (Jakarta: Rajawali Press, 1987), 2.
36
Dalam berbagai sumber yang menguraikan garis keturunan Umar bin Khattab disebutkan bahwa Umar bin Khattab adalah putra al-Khattab, alKhattab putra al-Nufail, Nufail putra abd al-Uzza, abd al-Uzza putra riyah, riyah putra Abdullah, Abdullah putra Qurth, Qurth putra Rizah, Rizah puta 'Adi, dan 'Adi putra Ka'ab. Ka'ab mempunyai putra yang lain di samping 'Adi, bernama Murrah dan dari Murrah ini silsilahnya menurun sampai kepada Muhammad Rasulullah. Oleh sebab itu, garis keturunan Umat bin Khattab dan Muhammad rasulullah bertemu pada moyang mereka yang bernama Ka'ab. Dilihat dari garis ayah, maka secara geneologis, yaitu keterikatan satu sama lain karena keturunan yang sama, Umar bin Khattab berasal dari keluarga bani 'Adi. Sedangkan keturunan dari garis ibunya, ibunya berasal dari Bani al-Makhzumi yang bernama Hantamah putri Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumi.58 Ketika mencapai usia dewasa, Umat bin Khattab oleh ayahnya, Khattab mulai ditugaskan untuk memberikan makanan rumput kepada unta-unta. Pekerjaan ini tidak merupakan noda cela di Arab, sebaliknya hal itu menjadi panggilan nasional yang disayangi. Tetapi Khattab memperlakukan Umar bin Khattab tanpa belas kasihan. Sepanjang hari ia terus-menerus melakukan pekerjaan itu dan jika anak malang itu ingin istirahat sebentar karena lelah, tanpa kasihan ia dilabrak oleh Khattab. Tempat di padang pasir dimana adegan kerja yang menjemukan dari Umar bin Khattab itu belangsung disebut Djanan, terletak pada jarak kira-kira sepuluh mil dari Quda'id dekat Mekah. Dihari-hari 58
Ibid, 3.
37
kemudian, setelah menjadi khalifah, suatu kali kebetulan Umar bin Khattab melewati jalan ini ia sangat terharu dengan suara yang serak karena emosi karena ia berkata: "Allah Maha Pengampun! Ada suatu waktu ketika aku bisa berkelana di sekitar padang pasir ini sebagai seorang pengembala unta, berjaket, dan bilamana aku tertunduk karena letih, ayahku akan memukulku, sekarang adalah waktunya kalau aku mengakui, tiada yang menolongku melainkan Allah pelindungku".59 Sejak kecil Umar bin Khattab belajar membaca pada saat itu orang yang telah bisa membaca dan menulis tidak lebih dari 17 orang dikalangan orang Quraisy. Setelah menginjak umur dewasa, ia senang sekali membahas sesuatu masalah. Pada awal masa ia berdagang, menjelajahi penjuru jazirah Arab. Ia pandai memanfaatkan kesempatan, ia pergi ke Irak dan Syam bukan sematamata berdangang, tetapi juga berkenalan dengan tokoh-tokoh kabilah negerinegeri itu. Bagi kabilahnya, Umar bin Khattab adalah seorang kurir yang istimewa dalam menghubungkan Quraisy, fasih lidahnya, pandai menjelaskan sesuatu. Ia juga menghayati syair, menghafalkannya, bahkan membacanya bagi orang lain.60 Pada masa jahiliyyah Umar bin Khattab adalah seorang yang suka minum-minuman keras, seperti yang diakuinya sendiri, katanya: “Dulu saya
59
Syibli Nu’mani, Umar yang Agung Sejarah dan Analisa Kepemimpinan Khalifah II (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), 30. 60 Atho, Membaca Gelombang, 9.
38
jauh dari Islam, pada masa jahiliyyah saya adalah pemilik khomer, saya menggemarinya dan menenggkanya”. Umar bin Khattab adalah orang yang keras wataknya, dna kekerasannya itu telah diakui orang banyak, ketika dengan perantara Aisyah hendak mengawini Ummi Kalsum, kepada perantara itu Umi Kaltsum berkata, "Dia adalah orang yang kasar perhidupannya dan keras terhadap wanita", meskipun kemudian ternyata Umar bin Khattab berhasil mengawini juga.61 Maka tidak heran permohonan yang sering ia sampaikan kepada Allah, terutama ketika ia menjabat sebagai kholifah, yang sekarang dikenal percerminan sikap mawas diri kata al-Thamawi, ialah:
c[ ُ ^[Wَ أVY ِإ ٌ Oْ ^ِ َ Vِ\Oْ ^َlَ c[ ُ ^َ[Wَ اVYٌ ِإMOْ kِ Q َ ،VِhY oَ lَ c[ ُ ^َ[Wَ اVY ِإ َ Oْ | ِ َ Vِ\Y| َ lَ Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku orang yang keras, maka lembutlah aku, Ya Allah aku orang yang lemah, maka berikanlah aku kekuatan, Ya Allah aku ornag yang bakhil, maka jadikanlah orang pemurah.62 Namun dengan kekerasannya itu tidaklah berarti Umar bin Khattab seorang yang tamak dan rakus. Ia juga seorang yang tidak mau sewenangwenang dengan kekuasaan yang dimilikinya. Ia adalah yang kuat jiwanya. Ia adalah seorang yang adil, pandai yang kuat jiwanya. Ia juga orang tak mau sewenang-wenang dengan kekuasaan yang dimilikinya. Ia adalah seorang yang adil, pandai dan penyayang terhadap sesama. Sifat-sifat ini merupakan satu kesatuan dalam dirinya. Ia adalah seorang pribadi yang besar. 61
62
Ibid,., 20. Amiur, Ijtihad Umar, 6.
39
Umar memiliki watak keprajuritan, ia seorang pemberani, tangkas patuh kepada peraturan dan tekun dalam tanggung jawab. Ia seorang yang kuat daya pikirnya, cepat mengambil keputusan, jauh pendangannya dan tepat perhitungannya. Dalam hubungannya dengan Nabi Muhammad, sebelum masuk Islam Umar adalah seorang pemuda dan pemuka yang membenci Nabi Muhammad dan orang-orang yang menjadi pengikutnya.63 Sehingga kaum Muslim belum kuat di hati pengikutnya dan umat Islam dalam ancaman para musuhnya, Rasulullah pernah berdo'a "Ya Allah, tinggikanlah Islam dengan salah satu yang engkau cintai, Abu Jahal atau Umar bin Khattab". Dan ternyata yang paling dicintai oleh Allah adalah Umar bin Khattab.64 Riwayat tentang Islamnya Umar, yang diceritakan oleh Umar sendiri adalah seperti yang dikutip oleh Abbas Mahmud al-Aqqad: Diriwayati oleh Umar, bahwasanya dia berkata, "Dulu saya sangat jauh dari Islam, dimasa jahiliyyah saya adalah pemabuk, saya menyukai minuman keras saya meminumnya. Kini mempunyai majlis tempat berkumpul orang-orang Quraisy. Pada suatu hari saya datang kesana hendak kesana hendak berjumpa dengan teman-teman, tetapi saya tidak mendapati seorangpun. Lalu saya berkata dalam hati, saya akan pergi ketempat si Fulan saja, pemilik tuak itu. Saya pun pergi kesitu, tetapi juga tak seorangpun yang saya temui. Saya 63
64
Atho, Membaca Gelombang, 20. Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Al-Khattab (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003),vii.
40
pun berkata lagi dalam hati: kalau begitu saya akan pergi ke ka'bah untuk melakukan thawaf tujuh atau 70 kali. Saya lalu menuju masjidil haram. Tibaiba saat lihat Rasulullah sedang berdiri sembahyang dan beliau kalau bersembahyang menghadap arah syam yang menjadikan ka'bah di antara beliau dan syam, dan tempatnya adalah di antaranya rukun Aswad dan rukun Yamani. Saya lalu berkata lagi dalam hati: sungguh malam ini saya akan mendengarkan Muhammad agar saya mengetahui apa yang dikatannya. Saya menuruti kata hati saya. Tanpa sepengetahuan beliau, saya datang mendekatinya dari arah Hajar Aswad dan bersembunyi dibalik kelambu ka'bah. Ketika itu saya mendengar ayat-ayat al-Qur'an hati saya menjadi gemetar, saya menangis dan saya kemudian masuk Islam.65 2. Umar bin Khattab sebagai sahabat Nabi dan Khalifah Umar adalah sahabat Nabi yang patut dan setia. Kesetiaannya pada Rasul
melahirkan
sikap
selalu
bersedia
dan
berani
membela
serta
menyelamatkan Rasulnya dari segala marabahaya yang akan menimpa. Keberanian yang disegani orang, yang telah dimilkinya dan telah kenal orang sejak sebelum ia masuk Islam, bukan saja telah secara langsung memperkuat Islam tetapi juga telah menyebabakan orang mulai segan dengan Islam itu sendiri. Masuknya Umar kedalam Islam adalah faktor utama yang telah memperkuat posisi Nabi untuk melangkah dari fase berdakwah secara sembunyi-sembunyi dan terbatas kepada kaum kerabat kepada fase terang65
Atho, Membaca Gelombang, 22.
41
terangan yang terbuka terhadap segala orang dari segala penjuru dan lapisan masyarakat. Sebelum Umar masuk Islam, kaum Muslim melakukan ibadah secara sembunyi-sembunyi, akdang-kadang di balik-balik bukit. Setelah Umar masuk Islam, dengan kawal paman Nabi Hamzah, demikian pula ketika perintah berhijrah datang kaum muslimin yang lain berangkat dengan sembunyisembunyi. Tetapi Umar sebaliknya disiapkan busur panah ditangannya, dinaikkannya kudanya, kemudian berangkat dengan melewati ka'bah dan singgah pula disitu. Orang-orang kafir Quraisy sedang banyak berkerumun di tempat itu. Umar melakukan thawaf tujuh kali, shalat sunnah di Maqam Ibrahim, setelah ia berseru kepada orang Quraisy yang hadir, katanya dengan suara keras, "siapa yang ingin ibunya menangis atau anaknya menjadi yatim atau istrinya menjadi janda, majulah berhadapan denganku dibalik lembah ini".66 Pada waktu itulah Nabi memberi gelar sebagai al-faruq yang berarti pembeda atau pemisah. Maksudnya Allah telah memisahkan dalam dirinya antara yang hak dan yang batil.67 Selain dikenal sebagai seorang sahabat yang patuh dan pemberani Umar juga seorang sahabat Nabi yang kuat daya pikirnya, pandai, kreatif, cekatan, tinggi daya analisisnya dan jauh pandangnya. Kepandaian Umar telah dirintisnya sejak ia kanak-kanak, ketika belajar membaca dan menulis, yang 66
67
Ibid,., 25. Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1997), 13.
42
kemudian ditopang dengan kegemaran untuk membahas beragam masalah ketika ia beranjak dewasa. Berbagai masalah yang ditugaskan kepadanya diselesaikan dengan gemilang. Ketiak Nabi wafat ia melarang mengumumkan kepada orang banyak, bahkan ia membantahnya dengan menyatakan Nabi tidak wafat, karena pandangannya yang jauh sehingga kalau diumumkan maka akan menggoncang keadaan kaum muslimin. Mengenai tawanan perang Badar, ketinggiann daya analisisnya mengatakan bahwa semangat perlawanan dalam hati pada tawanan itu tetap berkobar, karenanya, sebaiknya mereka dibunuh saja. Demikian tinggi kecerdasan Umar sampai menurut riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar Nabi pernah bersabda. "Aku tidak pernah melihat seorang cerdas di antara manusia yang menandingi Umar".68 Dalam kesempatan lain menurut riwayat Ibnu Majah, dari abu Zar, Nabi pernah besabda:
ن [ ` ِإ َ ا َ kَ َ [x َ Wْ اVَ^a َ ن ِ TَWِ mَ ~َ a ُ bِ Zِ ^ْ iَ َو Artinya: Bahwa sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan kebenaran melalui lidah dan hati Umar.69 Ketika khalifah Abu Bakar jatuh sakit dan ia merasa ajalnya sudah dekat, beliau berfikir bahwa akan lebih maslahat untuk menetapkan penggantinya sebelum wafat. Alasannya apabila tidak ditetapkan sekarang nanti akan banyak orang merasa bahwa dirinyalah yang paling berhak untuk
68
Atho, Membaca Gelombang, 26. 69 Amiur, Ijtihad Umar, 10.
43
menduduki jabatan kholifah itu, selain itu pengalaman pada waktu Nabi wafat dulu umat Islam manjadi goncang terutama Muhajirin dan Ansor disebabkan belum ada kepastian
penggantinya. Ketika itu Abu Bakar berfikir, bahwa
Umarlah orang yang paling tepat untuk menggantikannya, tetapi Abu Bakar tidak mau melaksanakan niatnya itu sebelum bermusyawarah. Abu Bakar memanggil sahabat-sahabat seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan lalu bermusyawarah. Ternyata mereka pun setuju dengan pencalonan diri Umar itu. Utsmanpun segera tampil kedepan atas nama Khalifah Abu Bakar membaiat Umar sebagai khalifah setelah Abu Bakar wafat nanti. Maka ketika tidak beberapa lama kemudian Abu Bakar wafat kaum muslimin terhindar dari krisis kepemimpinan umat. 22 Jumadil awal Hijriyah, bertepatan dengan 13 Agustus tahun 634 Masehi. Ibnu Mas'ud berkomentar, "Islamnya Umar adalah kemenangan,
Hijrahnya
adalah
pertolongan
dan
kekhalifahan
serta
pemerintahannya adalah rahmad.70 Dimasa umar wilayah kekuasaan Islam terus bertambah. Di antaranya sukses melaklukkan Mesir dengan gubernur pertamanya, Amru bin Ash. Amru dikenal dengan pembawa Islam pertama ke wilayah-wilayah Afrika Utara. Islam juga meluas ke Libia, Persia, Irak, Khurazan, Gaza dan beberapa daerah diwilayah timur tengah. Selain meneruskan kebijakan pendahulunya, khalifah Umar
juga
membuat
gebrakan-gebrakan
dalam
pemerintahan.
Untuk
kepentingan pertahanan, Umar mendirikan lembaga kepolisian, korps militer 70
Atho, Membaca Gelombang, 28.
44
dengan tentara terdaftar. Mereka digaji yang besarnya berbeda-beda. Umar juga mendirikan pos-pos militer ditempat-tempat strstegis. Di bidang hukum, Umar melakukan pembenahan peradilan Islam. Dialah orang pertama yang meletakkan prinsip peradilan dengan menyusun risalah yang dikirim kepada Abu Musa Asy'ary. Risalah uitu kemudian disebut dustur Umar (konstitusi Umar), atau risalah al-qadla (suarat peradilan). Untuk meningkatkat mekanisme pemerintahan di daerah, Umar melengkapi gubernurnya dengan beberapa staf, seperti sekretaris kepala, pejabat jawatan keagamaan. Selain itu Umar orang yang menyunahkan shalat terawih, membuat kalender Islam (Hijriyah), menciptakan uang logam dan lain sebagainya.71 Sebalum matahari terbit hari rabu tanggal empat Zulhijjah tahuh 23 Hijriyah Umar bin Khattab wafat ditikam Lu'lu'ah Fairuz, budak al-Muqirah. Umar telah mewariskan nilai-nilai yang berharga yang berkatnya menjadi modal utama menata sebuah masyarakat dari kondisi anarkis, tak beradab, menjadi masyarakat yang manusiawi dan sejahtera. Umar bahkan tak segansegan mengajak umat non muslim ikut berparsipasi dalam pemerintahan dan pembangunan, tanpa pandang bulu, sebuah teladan yang senantiasa menyejarah.72
B. Masalah Talak Tiga Dalam Satu Majlis. 71
Hery Sucipto, Ensklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi (Bandung: Hikmah, 2003), 41. 72 Ibid,., 42.
45
Dalam surat al-Baqarah ayat 229 mengenai masalah talak dijelaskan:
ß,≈n=©Ü9$# Èβ$s?§÷s∆ ( 88$|¡øΒÎ*sù >∃ρá÷èoÿÏ3 ÷ρr& 7xƒÎô£s? 9≈|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿωuρ ‘≅Ïts† öΝà6s9 βr& (#ρä‹è{ù's? !$£ϑÏΒ £èδθßϑçF÷s?#u $º↔ø‹x© HωÎ) βr& !$sù$sƒs† āωr& $yϑŠÉ)ムyŠρ߉ãm «!$# ( ÷βÎ*sù ÷ΛäøÅz āωr& $uΚ‹É)ムyŠρ߉ãn «!$# Ÿξsù yy$oΨã_ $yϑÍκön=tã $uΚ‹Ïù ôNy‰tGøù$# ϵÎ/ 3 y7ù=Ï? ߊρ߉ãn «!$# Ÿξsù $yδρ߉tG÷ès? 4 tΒuρ £‰yètGtƒ yŠρ߉ãn «!$# y7Í×‾≈s9'ρé'sù ãΝèδ tβθãΚÎ=≈©à9$# Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.18 Ayat di atas menjelaskan tentang aturan umum bagi seorang suami yang hendak menceraikan isterinya. Seorang suami mempunyai dua kesempatan untuk merujuk isterinya ketika telah menjatuhkan talak. Talak yang ketiga memutus kesempatan merujuk selamanya, Ketentuan ini digunakan bila talak tidak dijatuhkan sekaligus. Apabila tiga talak dijatuhkan sekaligus dalam satu majlis, terdapat silang pendapat dan riwayat yang berbeda-beda termasuk didalamnya ijtihad Umar yang menetapkan tiga talak yang dijatuhkan sekaligus jatuh tiga. Sementara riwayat lain hanya menyebutkan jatuh satu.
18
Depag Ri, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Bandung: Gema Risalah Press, 1993), 268.
46
Dari Ibnu Abbas meriwayakan:
ِa َ ِ ْ س َا ٍ T[Za َQ ِ للا َر ُ Tَ~ُ \ْ a َ ل َ Tَi:َنTَق آ ُj [ [ W اV َ ^َa vِ ْ a َ Y Zِ \[ Wا V َ ^ّ_ َ للا ُ bِ Oْ ^َa َ َ cَ ^[d َ َاِ َو وmٍ ْ َ ِ َوOْ {َ \َ d َ ْUِ qِ lَ Tَ^¢ ِ mَ ~َ a ُ ق ُ Tَ^£ َ ث ِ Tَ^¥َ Wا ًةvَ ¢ ِ ل وَا َ Tَolَ mُ ~َ a ُ ِ ْ ب ا ِ T[ َ¢ َ:ن [ س ِإ َ T[\W اvِ iَ ْاh^ُ¨ َ kْ {َ d ْ ِ اl mٍ Uْ ْ َأviَ ْ©َ Tَآ cُ َ Wْ bِ Oْ lِ ٌةTَْ َأh^َlَ ُ Tَ\Oْ ª َ Uْ ْ َأcِ Oْ َ^a َ َ ُ TَªUْ «َ l ْcِ Oْ ^َa َ Artinya: dari Ibn Abbas menceritakan bahwa pada masa Rasulullah dan Abu Bakar dan dua tahun dari pemerintahan Umar, talak tiga dianggap jatuh satu. Kemudian Umar bin Khattab berkomentar: "Sesungguhnya orang-orang pada masa sekarang ini, terlalu terburu-buru dalam menentukan perkara, di mana mereka seharusnya diperintahkan untuk bersabar. Sehinga kalau masalah ini kami biarkan berlarut-larut, tentu kejadian ini akan terus berlanjut pada mereka.19
ْa َ ِْ ِء َأTَZْ z [ W ا َQ ِ ` َر ُ اbُ \ْ a َ bُ ّ[ لَ َأTَi ِ ْ TِW T[Za َ س ٍ : cُ ^[kَ pَ َأTَ~[ َ©ْ ِإTَآ ث ُ j َ ¥[ W ا ُ kَ ¨ ْ pُ ًةvَ ¬ ِ وَاVَ^a َ vِ ْ a َ [ Zِ \[ W_^[ ا َ ` ُ اbِ Oْ ^َa َ cَ ^[d َ َوَأ ِْ َوmٍ ْ َ Tًj َ َ ْ َوUِ mَ ~َ a ُ lَ ل َ Tَo ا ُ ْ ٍ Zَ a َ : ْckَ َ . Artinya: Dari Ibn Shahba', pernah bertanya kepada Ibn Abbas: "Apakah engkau tidak tahu bahwa menjatuhkan talak tiga sekaligus tetap dihitung satu kali pada masa Rasulullah saw, Abu Bakar dan permulaan pemerintahan Umar?" Ibn Abbas menjawab: "Ya, betul!".20 Ketetapan Umar ini juga berlawanan dengan ketetapan Nabi. Hadith yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibn Abbas, yang berkata: Seorang laki-
19 20
Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim jilid II ( Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 68
Muhammad abdul Aziz al-Halawi, Ijtihad Umar Bin Khattab"Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam", Terjemah Wasmukan (Yogyakarta: Rajawali Press, 1987), 194.
47
laki bernama Rakanah menceraikan isterinya tiga kali sekaligus dalam satu majlis (pertemuan). Atas tindakanya Rakanah menjadi sangat menyesal dan bersedih hati. Setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, beliau bertanya kepadanya: "bagaimana cara engkau menceraikannya?" Rakanah menjawab: "Tiga kali sekaligus!" "Dalam satu majlis?" tanya Rasul. "Ya!" Jawab Rakanah. Rasulullah kemudian berkata: "Talak seperti itu hanya dianggap satu. Rujukilah isterimu jika kamu ingin.21
C. MENIKAHI WANITA AHLI KITAB Pada dasarnya meningkahi perempuan Musyrik atau Kafir dilarang oleh agama. Tidak sah akad nikahnya bila dilakukan. Akan tetapi, kalau perempuan itu ahli kitab, umpamanya Kristen dan yahudi, dibolehkan menikahinya.22 Wanita keturunan ahli kitab ialah keturunan kitab dari Allah yang berupa Taurat untuk orang Yahudi dan Injil untuk orang Nasrani dan masih mengesakan Allah.23 Sesungguhnya wanita Islam juga tergolong ahli kitab yaitu kitab alQur'an. Akan tetapi keturuna kitab ( ahli kitab ) yang dinyatakan dalam al-Qur'an ialah orang-orang Yahudi, Kristen serta masih mengesakan Allah. Dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5 Allah Ta’ala berfirman:
21
Ibnu Qayyim Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub, I'lam Al-muwaqqi'in jilid III (Mesir: Almanar, tt), 46. 22 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid III (Beirud Dar al-Fikr, 1982), 138. 23 Ibnu Mas'ud, Fiqh Mazhab Syafi'I (Bandung: Pustaka Pelajar, 2000), 287
48
tΠöθu‹ø9$# ¨≅Ïmé& ãΝä3s9 àM≈t6Íh‹©Ü9$# ( ãΠ$yèsÛuρ tÏ%©!$# (#θè?ρé& |=≈tGÅ3ø9$# @≅Ïm ö/ä3©9 öΝä3ãΒ$yèsÛuρ @≅Ïm öΝçλ°; ( àM≈oΨ|ÁósçRùQ$#uρ zÏΒ ÏM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$# àM≈oΨ|ÁósçRùQ$#uρ zÏΒ tÏ%©!$# (#θè?ρé& |=≈tGÅ3ø9$# ÏΒ öΝä3Î=ö6s% Artinya: Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu24. Berdasarkan ayat di atas jelaslah diperbolehkan menikahi wanita-wanita keturunan ahli kitab, sebab umumnya mereka dapat dipengaruhi suaminya dengan pernikahan ini, karena besar sekali harapan bahwa mereka akan dapat mengikuti jejak suaminya yang Islam. Sebab ayat ini juga, banyak para sahabat yang menikah dengan wanita ahli kitab, seperti Ustman menikah dengan seorang wanita Nasrani yang bernama Nailah binti Qarafishah al-Kalbiyah. Thalhah bin Ubaidilah menikah dengan seorang wanita Yahudi dari Syam.25 Sebaliknya, kalau laki-laki yang kafir, baik dari golongan ahli kitab atau bukan, sedang wanitanya dari Islam, pernikahan antara keduanya dengan tegas dilarang agama.26 Hal ini karena mungkin sekali istri-istri itu dapat dibawa oleh suaminya kedalam agamanya atau kedalam kekafiran, oleh karena itu, tidak sah menikahkan laki-laki kafir dengan wanita Islam.27 Allah berfirman dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 221: 24
25
Depag Ri, Al-Qur'an, 258. Abi Bakar Ahmad bin Ali Razi al-jasshas, Ahkam Al-Qur'an Jiid III (Beirud: Dar al-Kitab Arabi, tt), 68. 26 Sayid, fiqh, 145. 27 Ibnu Mas'ud, Fiqh Mazhab, 28
49
g َ ا َوhُxِ \ْ pُ ْ َ Oْ ِآmِ ْ ~ُ W اV [ {َ¬ ْاh\ُ Uِ ْ®nُ ٌvZْ kَ Wٌَ َوUِ ْ®Uُ ٌmOْ ¢ َ ْwِU ك ٍ mِ ْ wُU ْhwَWو ْcُ Zَ ¨ َa ْ َأ Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.28 Dalam suatu riwayat dikatakan, bahwa Umar bin Khattab memerintahkan Thalkah dan Hudzaifiah untuk menceraikan istri-istri mereka yang berasal dari ahli kitab. Menerima perintah itu, mereka berkata, "kita akan menceraikanya wahai amirul Mukminin dan janganlah kamu marah". Umar lalu berkata, "jika perceraianya mereka diperbolehkan berarti penikahannya juga diperbolehkan. Akan tetapi saya menceraikan mereka berdua sejak kecil". Dari sini berarti Umar mengharamkan seorang Muslim untuk menikahi wanita ahli kitab.29 Pendapat umar ini jelas bertentangan dengan ketentuan al-Qur'an sural al-Maidah ayat 5 yang menghalalkan wanita-wanita ahli kitab untuk dinikahi kaum Muslimin.
28
29
Depag Ri, Al-Qur'an, 543 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Khattab, Terjemah Masturi Irham (Jakarta: khalifa,1997), 325.
50
BAB IV
ANALISIS TERHADAP CORAK PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB DALAM BERIJTIHAD
Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, dalam sejarah petumbuhan hukum Islam kita mengetahui terdapat dua aliran besar setelah priode wafatnya Rasulullah, dalam hal porsi penggunaan akal untuk mencoba memahami dan menjabarkan hukum Islam. Kelompok pertama adalah mereka yang mengutamakan penggunaan hadith dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan kelompok kedua adalah mereka yang mengutamakan pengunaan akal. Kelompok pertama kemudian dikenal dengan ahl al–hadith dan kelompok kedua disebut ahl al-ra’yi. Kedua aliran ini telah menghasilkan kitab-kitab fiqh yang berbeda-beda. Kitab fiqh hasil kelompok pertama lebih memberi tempat kepada al-hadith meskipun lemah, sedangkan lelompok ahl al-ra’yi menghasilkan kitab-kitab fiqh yang bersifat rasional. Pada bab ini akan di bahas beberapa ijtihad Umar bin Khattab terhadap hukum al-ahwal syaksiyah yang ada pada bab ketiga dengan menggunakan paparan bab ke dua sebagai pisau analisis, untuk membuktikan sejauhmana kebenaran dugaan bahwa ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab menyimpang dari teks dasar al-
51
Qur’an dan al-hadith dan lebih mengedepankan ra’yu yang secara tidak langsung menjadikan Umar sebagai seorang Mujtahid bi al-ra’yi
A. Masalah Talak Tiga Dalam Satu Majlis Mengenai masalah talak tiga yang dijatuhkan sekaligus, ijtihad Umar yang memutuskan jatuh tiga atau bain, menurut Jalaluddin Rahmat, Umar bukan saja melanggar Sunnah Rasul, tetapi juga ayat al-Qur'an (QS.2:229) yang disepakati para mufassirin untuk menunjukkan talak ruj`ah itu dua kali. Pendapat Jalaluddin ini merujuk pada pendapat Khalid Muhammad Khalid yang dikutipnya dalam kitab alMusawi: "Umar Ibn Khattab telah meninggalkan nash-nash agama yang suci dari alQur'an dan al-Sunnah ketika dituntut oleh kemaslahatan untuk itu. Bila alQur'an menetapkan bagian muallaf dari zakat, serta Rasulallah dan Abu Bakar melakukannya, Umar datang dan berkara: Kami tidak memberi kamu sedikitpun karena Islam. Ketika Rasul dan Abu Bakar membolehkan penjualan Ummahat al Awlad, Umar melarangnya. Ketika talak tiga dalam satu majlis dihitung satu menurut al-Sunnah dan Ijma', Umar meninggalkan al Sunnah dan menyingkirkan ljma'."1 Ibnu Qayim berpendapat; di antara kreasi Umar bin Khatab yang menunjang kaidah hukum berubah karena perubahan zaman ialah jatuhnya talak tiga dengan satu kalimat; sedangkan di zaman Rasul, Abu Bakar dan permulaan khilafah Umar, talak tiga pada sekali ucapan dijadikan satu seperti hadith sahih dari Ibnu Abbas:
1
Jalaluddin Rahmat, Kontrafersi Sekitar Ijtihad umar Ra ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988 ), 49-50.
52
ِa َ ِ ْ س َا ٍ T[Za َQ ِ للا َر ُ Tَ~ُ \ْ a َ ل َ Tَi:َنTَق آ ُj [ [ W اV َ ^َa vِ ْ a َ Y Zِ \[ Wا V َ ^ّ_ َ للا ُ bِ Oْ ^َa َ َ cَ ^[d َ َاِ َو وmٍ ْ َ ِ َوOْ {َ \َ d َ ْUِ lَ Tَ^¢ ِ qِ mَ ~َ a ُ ق ُ Tَ^£ َ ث ِ Tَ^¥َ W ًة اvَ ¢ ِ ل وَا َ Tَolَ mُ ~َ a ُ ِ ْ ب ا ِ T[ َ¢ َ:ن [ س ِإ َ T[\W اvِ iَ ْاh^ُ¨ َ kْ {َ d ْ ِ اl mٍ Uْ ْ َأviَ ْ©َ Tَ آcُ َ Wْ bِ Oْ lِ ٌةTَْ َأh^َlَ ُ Tَ\Oْ ª َ Uْ ْ َأcِ Oْ ^َa َ َ ُ TَªUْ «َl ْcِ Oْ ^َa َ Artinya: Dari Ibnu Abbas. Dia bercerita, pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan dua tahun pada masa Umar talak tiga itu satu, maka berkata Umar manusia suka berburu-buru pada uruasan mereka yang telah mereka putuskan. Kalau kita teruskan kehendak mereka, akan teruslah merugi mereka.2 Umar menganggap banyak orang telah melecehkan urusan talak, untuk itu Umar
ingin
menghukum
keteledoran
ini,
sehingga
para
sahabat
dapat
menahandirinya untuk tidak mudah menjatuhkan talak. Umar melihat ini untuk kemaslahatan ummat di zamannya. Ini adalah prinsip kaidah hukum taghayyarat bihi al fatwa litaghaur al- zaman (fatwa berubah dengan berubahnya zaman). Namun fakta lain menyebutkan bahwa Rasullulah sendiri pernah menjatuhkan talak, tiga tiganya diucapkan sekaligus dalam satu majlis. Riwayat ini kemudian dijadikan pegangan oleh beberapa sahabat dan imam madzhab empat. Diriwayatkan oleh al Daruquthni dari Abdullah bin Umar:
ْa َ ا ِ ْ mَ ~َ a ُ َQ ِ ` َر ُ ااcَ ُ \ْ a َ اbُ [ َأ َ [^£ َ bُ pَ َأmَ Uْ ِإ َ ٌ َو ِه°±ِ Tَ¬ V َ ^َa vِ ْ a َ ل ِ ْhd ُ ` ا َر ِ bِ Oْ ^َa َ َوcَ ^[d َ ل َ «َ َ lَ mُ ~َ a ُ ل َ ْhd ُ ` َر ِ _^[ ا َ ` ُ اbِ Oْ ^َa َ cَ ^[d َ ْ َوa َ ² َ Wِذ ل َ Tَoَl: ُ ْmUُ Tَkْ ِ َاmOُ ^ْ lَ c[ ُ Tَْ ِ ~ْ Oُ Wِ V[{¬ َ mَ ُ ْ pَ c[ ُ ° َ Oْ x ِ pَ c[ ُ mَ ُ ْ pَ c[ ُ ْ َء ِإنTَ´ ² َ َ Uْ َأvُ kْ َ َء ِإنْ َوTَ´ َ ^[£ َ َ Zْ iّ ْ َأن [ ~َ nَ ² َ ^ْ {ِ lَ ُةv[ kِ Wْ ا ِ {[W اmَ Uَ ` َأ ُ َأنْ ا َ ^[ َ pُ Tَ َ W ُءTَ\Y Wا. 2
Muhamad bin Ali Syaukani Al-Yamani, Nail AL-Authar jlid VII (Mesir: Ath-Thiba'ah), 15.
53
Artinya: sesungguhnya ia pernah menceraikan isterinya dengan satu kali talak pada saat isterinya sedang mengalami haid. Ketika isterinya telah menjalani masa tunggu dalam daur bersih yang kedua, Ibn Umar ingin menambahkan talaknya lagi dengan dua kali talak. Rupanya berita ini akhirnya didengar oleh Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabada; "wahai Ibn Umar, tidak begitu Allah memerintahkan, sesungguhnya engkau telah menyalahi sunnah. Karena sunnah menetapkan bahwa disaat perempuan menjelang masa bersih itu engkau boleh menjatuhkan talak untuk setiap masa bersih." Ibn Umar berkata; "kemudian Rasulullah SAW menyuruhku untuk merujuk Kembali. Setelah itu Rasulullah bersabda lagi; "apabila ia telah bersih, engkau boleh menceraikannya atau engkau biarkan ia tetap menjadi isterimu." Aku bertanya kepada Rasulullah; wahai Rasulullah, bagaimana pendapat tuan Seandainya aku mernceraikannya dengan talak tiga? bolehkah aku merujuknya kembali?" Rasulullah menjawab; " Tidak, karena engkau telah menceraikannya dengan talak bain, (dan kalau itu kaulakukan), berarti engkau telah berbuat durhaka.3 Menanggapi hal ini Sa'id Ramdlan al-Buti secara panjang lebar menjelaskan bahwa sebenarnya hukum talak tiga yang diucapkan dalam satu majlis, jatuh tiga sekaligus itu bukan ketetahan umar yang menyalahi al Qur'an. Adapun firman Allah:
()ناترم ق الطلا
itu sebenarnya tidak ada yang
menunjukkan dalalah yang qath'i dan jelas yang menunjukkan bahwa talak itu harus dilakukan secara bertahap. Dalam artian kalau talak itu tidak dilakukan secara bertahap maka talaknya tidak jatuh atau tidak jatuh tiga.4 Kalaupun kita menyepakati bahwa yang terkandung di dalam ayat tersebut menunjukkan indikasi seperti itu, maka terdapat banyak dalil dari al- Qur'an dan Sunnah Rasul yang membatalkannya. 3
Muhamad Abdul Aziz al- Halawi , Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab, Terjemah Wasmukan ( Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 194 4 Muhamad Sa'id Ramdlan Al-buti, Dlawabit Al-mashlahah fi As-shari'ah AL-islamiah (Beirud: Dar Al-muttakhidah, 1992), 102.
54
Adapun dalil-dalil dari al Qur'an menentang hal tersebut di antaranya adalah: Firman Allah surat At-Thalaq ayat 1 dan 2:
َ َو . ْU
v[ kَ {َ nَ َدvُ ¬ ُ ` ِ ْ اvoَ lَ cَ ^َ¹ َ bُ َ rْ َ Artinya: Dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri5
Tَn Tَny َا y Zِ\[ W ِاذَا اcُ {ُ oْ ^[£ َ َءTَ\ِّ Wْ اhoُ ^Y َ lَ [ ُهv[ kِ Wِ [ ِ pِ Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istri kamu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya ( yang wajar)6
ْUَ َو ِ {[ nَ ` َ ْ اkَ ¨ ْ nَ bُ Wَ ج َ mَ | ْ Uَ Artinya:Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengaakan baginya jalan keluar.7 Umar, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah dan sahabat yang lain menafsiri ayat di atas, bahwa jika suami mentalak isterinya tanpa iddah atau tanpa memisah di antara beberapa talak, maka dia telah berhuat aniaya terhadap dirinya. Dan Allah tidak memberikan jalan keluar baginya ketika dia melakukan hal itu, kemudian menemui penyesalan. Hal ini kebalikan dari jika seorang suami mengikuti sunnah ketika menjatuhkan talak. Allah memberikan jalan keluar dengan rujuk ketika terjadi penyesalan. 5
Depag Ri, Al-Qur'an, 65. 6 Ibid. 7 Depag Ri, Al-Qur'an, 66.
55
Adapun dalil sunnnah di antaranya hadith Uwaimir Ajalani yang telah dituturkan oleh Bukhari muslim dalam bab li'an. Setelah dia me-li'an isterinya dia berkata dihadapan Rasulullah: "saya berdusta padanya wahai Rasulullah! kalau saya masih menahan (isteri) saya, dia telah kutalak tiga kali.8 Tidak ada sedikitpun cacat dari dalalah Hadith ini, karena setelah Uwaimir menjatuhkan talak tiga, tidak ada reaksi atau pemberitahuan apapun dari Rasulullah apakah talak itu jatuh tiga atau hanya satu. Walaupun hal itu terjadi dihadapan Rasulullah. Ucapan Uwaimir dengan talak tiga ini merupakan dalil yang jelas bahwa ucapannya itu adalah berkekuatan hukum dan berlaku. Kalaupun ucapan Uwaimir ini bemasalah, kenapa hal itu tersebar pemakaiannya dikalangan para sahabat. Sedangkan mereka adalah generasi pertama yang menjadi tonggak hukum-hukum shar'i serta usulnya yang bersih. Kenapa pula mereka orang-orang Arab yang fasih yang sangat memahami tentang falsafah
ةرم
dalam firman Allah
ناترم قالطلاtidak menentang
hal ini semisal lbn Taimiyah. Bagaimana mungkin salah satu di antara mereka ada yang mengabaikan kefasihan mereka dan mengumpulkan tiga talak dengan satu lafadz dihadapan Rasulullah.? Hadith Fatimah binti Qais juga memperkuat kebijakan Umar yang memutuskan talak tiga jatuh tiga. Dalam Hadith Shahihain, Fatimah berkata: “suamiku mentalakku tiga dan Rasulullah tidak menjadikan untukku nafkah dan tempat tinggal.” lbn Majah dalam sunannya juga menjelaskan hadith Fatimah ini 8
Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim jilid II ( Beirut: Dar al-Fikr, 1992),
56
dalam bab orang yang menalak tiga dalam satu majlis. Diriwayatkan dari Amir alSya'by bahwa dia berkata: "aku bertanya pada Fatimah binti Qaisy, ceritakan padaku tentang talakmu, dia menjawab suamiku menalakku tiga kali sedang, dia pergi ke Yaman lantas Rasulullah memperbolehkannya."9
B. Menikahi Wanita Ahli Kitab Umar membenci seorang Muslim kawin degan perempuan Ahli Kitab baik dari Yahudi maupun Nasrani. Dalam kitab fatawanya Ibn Taimiyah Pendapat bahwa keputusan Umar ini tidak sesuai dengan pendapat jumhur ulama yang memperbolehkan menikahi wanita ahli kitab yang berpedoman dengan surat al-Maidah ayat 5:10 Dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5 Allah Ta’ala berfirman:
tΠöθu‹ø9$# ¨≅Ïmé& ãΝä3s9 àM≈t6Íh‹©Ü9$# ( ãΠ$yèsÛuρ tÏ%©!$# (#θè?ρé& |=≈tGÅ3ø9$# @≅Ïm ö/ä3©9 öΝä3ãΒ$yèsÛuρ @≅Ïm öΝçλ°; ( àM≈oΨ|ÁósçRùQ$#uρ zÏΒ ÏM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$# àM≈oΨ|ÁósçRùQ$#uρ zÏΒ tÏ%©!$# (#θè?ρé& |=≈tGÅ3ø9$# ÏΒ öΝä3Î=ö6s% Artinya: Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu11
9
, Muhamad Abdul , Fatwa dan Ijtihad, 202 10 Muhammad Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Al-Fatama Al-kubra jilid III (Beirud: Dar al-Kitab Arabi, tt), 664. 11 Depag Ri, Al-Qur'an, 258
57
Pendapat Ibn Taimiyah ini juga diperkuat dengan pandapat Ibn Rusy yang memperbolehka menikahi wanita ahli kitab. Ibn Rusy berhujjah bahwa surat alMaidah ayat 5 adalah mentakhshis surat al-Baqarah ayat 221 yang berisi tentang larangan menikahi wanita-wanita Musyrik.12 dari sini jelas bahwa diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab Dari beberapa pendapat di atas kita tidak bisa memfonis bahwa pendapat Umar bertentangan dengan ketentuan shariat, akan tetapi kita perlu mengetahui alasan-alasan Umar dalam mengambil keputusan terhadap pelarangan menikahi wanita ahli kitab. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq, bahwa pada masa khalifah Umar, Khudzaifah pernah kawin dengan perempuan Yahudi, maka Umar menegurnya denga berkata, “Ceraikan Dia, sesunguhnya dia adalah bara api.” Lalu Khudzaifah bertanya, “ apakah ia itu haram? “ Umar menjawab, “ tidak! “ karena jawaban Umar seperti itu, Khudzaifah tidak langsung menceraikanya, sampai pada suatu saat akhirnya Khudzaifah juga menceraikannya sendiri. Lalu Khudzaifah ditanya, "mengapa kamu tidak menceraikannya ketika kamu diperintahkan oleh Umar?” Khudzaifah menjawab, “aku tidak ingin orang banyak melihatku melakukan sesuatu yang tidak patut aku lakukan.”13 Dari sini kita bisa mengetahui alasan (illat) mengapa Umar memerintahkan Khudzaifah untuk menceraikan Istrinya yang beragama Yahudi adalah, Karena Ia 12
Muhammad Ibn Rusy, Bidayah Al-bidayah Wa Nihayah Al-hidayah (Beirud: Dar Al-Fikr, tt), 675. 13 Muhamad Abdul , Fatwa dan Ijtihad, 169.
58
(perempuan itu) akan menjadi bara api dalam rumah tangganya. seorang Muslim yang telah menikahi wanita Ahli Kitab, akan selalu was-was dan kuatir, ketika berkumpul dengan Ahli Kitab itu. Mereka juga akan kuatir dengan anak-anak mereka nanti, karena dalam keluarga terdapat anak-anak kecil yang dikhawatirkan akidahnya akan rusak. Disamping alasan tersebut, Umar memerintahkan kepada hudzaifah untuk menceraikan perempuan Yahudi itu, dengan alasan ia melihat, bahwa orang-orang Arab yang tinggal di negara-negara yang diekspansi (yang dikuasai) Islam, mau menikah dengan wanita asli itu, hanya karena kecantikan muka mereka. Dan karena nikah dengan orang non Arab, yaitu orang-orang yang baru dikenalnya, biasanya akan mendatangkan keterpesonaan yang luar biasa. Yang hal itu mendorong orangorang yang terposona ini mau menikahi mereka, meskipun sebenarnya wanita daerah asalnya yang lebih baik dari itu banyak sekali. Sehingga dengan perkawinan Orang Islam dengan perempuan non Muslimah bisa mengakibatkan komonitas perempuan-perempuan Muslimah yang belum menikah menigkat.14 Larangan Umar untuk agar tidak menikahi wanita ahli kitab menunjukkan kehati-hatian Umar untuk menjaga kemaslahatan masyarakat Muslim. Dan tidak diragukan lagi, sudah menjadi kewajiban seorang pemimpin untuk melarang perkaraperkara yang sebenarnya diperbolehkan, jika melakukannya itu ternyata dapat mendatangkan kepada masyarakat suatu bencana atau problem. Menjaga hal yang
14
Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtiad Umar bin Khatab, Terjemah Masturi Irham (Jakarta: Khalifah, 2005), 325.
59
tidak diinginkan, maka lebih baik menutup kemungkinan-kemungkinannya, agar masalah itu tidak sampai terjadi. Menurut Umar, mengorbankan personal dengan melarang mereka untuk tidak mengikuti nafsunya, lebih baik dari pada mengorbankan masyarakat yang jumlahnya lebih banyak. Jadi, dalam hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan nash. Ijtihad Umar itu hanya merupakan usahanya untuk menciptaka kemslahatan umum.15 Jadi tujuan pelarangan Umar terhadap pernikahan ini, adalah karena untuk kemaslahatan umum dan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Dan ini juga yang sekarang dilakukan oleh banyak Negara, yaitu demi tujuan maslahat, Negara melarang penduduknya yang bertugas sebagai diplomat, tentara, atau yang mempunyai jabatan penting lainya untuk tidak menikah dengan wanita luar negeri (non pribumi). Meskipun banyak dari pernikahan mereka dengan wanita luar negri tidak berdampak apa-apa, namun kemungkinan negative itu, maka dapat dijadikan dalil untuk melarang pernikahan seperti itu secara mutlak. Karena surfai membuktikan, bahawa menjaga kemungkinan-kemungkinan negative, lebih baik dari pada mempertuturkan nafsu belaka. Dengan pembahasan di atas terlihat jelas ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab memiliki visi dan orientasi kepada sebuah kemaslahatan serta mau memenuhi tujuan tashri' (bukan zhahirnya) sebagai dasar-dasar ijtihadnya. yaitu satu pemkiran yang satu waktu dapat mensinergikan antara memegang teguh tashri' dan usaha untuk
15
Ibid.,226.
60
mencapai kemaslahatan, yang pada hakikatnya hal inilah tujuan luhur dari adanya tashri' Dari beberapa data yang dikaji, yaitu beberapa produk ijtihad
yang
dilakukan Umar dalam hukum al-ahwal sakhsiyah. Pada ijtihad-ijtihad yang digunakan sebagai sempel, dapat ditarik kesimpulan bahwa corak pemikiran Umar bin Khattab dalam berijtihad adalah cenderung dengan ahl-al-ray’i karena ijtihad yang dilakukan umar dalam hukum al-ahwal syakhsiyyah terdapat peluang intervensi akal di dalamnya .
61
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan 1. Ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab terhadap hukum al-ahwal syakhsiah sekilas memang seakan bertentangan dengan al-Qur'an dan hadith, akan tetapi setelah dikaji, ijtihad yang dilakukan Umar memiliki visi dan orentasi kepada sebuah kemaslahatan serta mau memenuhi tujuan tashri'. Yaitu satu pemikiran yang satu waktu dapat mensinergikan antara memegang teguh tashri' dan usaha untuk mencapai kemaslahatan. 2. Corak pemikiran umar dalam berijtihad adalah cenderung kepada metode ijtihad ahl al-ra’yi, karena ijtihad yang dilakukan umar dalam hukum al-ahwal syakhsiyyah terdapat peluang intervensi akal di dalamnya.
B. Saran-Saran 1. Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap ijtihad-ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab perlu kiranya diadakan penelitian yang lebih mendalam terhadap ijtihad-ijtihad beliau. Terlebih lagi dalam membendung propaganda dan fitnah-fitnah dari kelompok-kelompok yang membenci keberadaan Umar bin Khattab sebagai salah satu sahabat yang mendapat jaminan Surga dari Rasulullah.
62
2 Bagi para pembaca pada umumnya diharapkan agar Skripsi ini bisa menjadi bahan acuan untuk meneliti permasalahan-permasalahan yang hubungannya dengan apa yang dibahas dalam Skripsi ini.
63