BAB I PENDAHULUAN
Sebagai pendahuluan, maka pada bab ini penulis akan memberikan pengantar terkait dengan keseluruhan tulisan dalam skripsi ini. Penulis membagi bab I menjadi beberapa bagian, yaitu Latar Belakang, Permasalahan Penelitian, Judul Skripsi, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Diharapkan melalui bab ini pembaca mendapatkan gambaran sekilas mengenai apa yang akan dibahas dalam skripsi ini.
W D K U
A. Latar Belakang
1. Persoalan Lansia secara Umum
Usia lanjut merupakan tahapan akhir pada perkembangan kehidupan manusia yang dialami oleh seseorang yang dapat mencapai tahapan ini. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia no. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pasal 1 ayat (2), (3), dan (4), usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.1 Di Indonesia, istilah untuk kelompok usia ini belum baku dan memiliki penyebutan yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah manusia usia lanjut (manula), namun ada pula yang menggunakan istilah manusia lanjut usia (lansia). Dalam uraian selanjutnya, penulis akan menggunakan istilah lansia
©
untuk menyebutkan orang-orang yang berusia lanjut. Sebab, walaupun perkumpulan orang-orang berusia lanjut di GKI Kayu Putih disebut Komisi Senior, tetapi penyebutan yang biasa dipakai, baik dalam komunikasi verbal di gereja2, ataupun dalam Buku Kehidupan Jemaat tetap lansia.
Setiap manusia akan bertambah tua, dan hal ini merupakan sesuatu yang alamiah. Bahkan, usia yang panjang dinilai sebagai anugerah pemberian tanda kemurahan hati Allah.3 Saat ini, usia harapan hidup semakin bertambah tinggi. Untuk tahun 2010-2015, usia harapan hidup di Indonesia adalah 70,1 tahun.4 Usia ini sudah memasuki masa usia lanjut. Akan tetapi, walaupun umur panjang disyukuri sebagai sebuah berkat, perlu dilihat juga secara realistis bahwa masa 1
R. Siti Maryam, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya (Jakarta : Penerbit Salemba Medika, 2008), hlm. 32. Berdasarkan penelitian penulis melalui proses wawancara dengan beberapa anggota Komisi Senior, sebagian besar mereka menyebut diri sebagai lansia. Pertimbangan lain adalah dengan keberadaan HOG yang berbeda dengan Komisi Senior, istilah lansia ini dapat mencakup individu-individu yang berada dalam dua kegiatan ini. 3 Hanna Santoso dan Andar Ismail, Memahami Krisis Lanjut Usia:Uraian Medis & Pedagogis-Pastoral (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 11. 4 Badan Pusat Statistik, “Angka Harapan Hidup Penduduk Beberapa Negara (tahun) 1995-2015”, (diakses pada 25 Mei 2016). 2
1
usia lanjut dapat menjadi masa yang kurang menyenangkan. Alkitab memberikan beberapa contoh terkait dengan hal ini, seperti penglihatan menjadi kabur (lih. Kejadian 48:10), kekuatan tubuh menurun (lih. Mazmur 71:9), bahkan masa usia lanjut pun digambarkan sebagai “hari-hari yang malang” (lih. Pengkhotbah 12:1). Memang, penurunan fisik yang terjadi pada lansia tidak bisa dihindari. Apabila melihat dari segi medis, maka menjadi tua atau menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas5 dan memperbaiki kerusakan yang diderita.6 Berdasarkan definisi ini, jelaslah bahwa lansia akan mengalami penurunan fisik dan lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit.
W D K U
Tidak hanya persoalan fisik, lansia pun juga menghadapi keadaan lain yang kurang menyenangkan, yaitu pengasingan, kesepian, dan yang paling buruk adalah kehilangan diri. 7 Para lansia yang sudah pensiun dari pekerjaan mereka merasa ditempatkan di luar lingkungan orang yang identitasnya ditentukan oleh pekerjaan, penghasilan, dan hak milik. Inilah yang membedakan kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Kebudayaan tradisional menempatkan lansia di tempat yang tinggi, dihormati, diperhatikan, dan dikasihi.8 Hal ini dikarenakan lansia dianggap memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kebijaksanaan yang dapat dipelajari oleh generasi muda. Tidak jarang dalam satu masyarakat yang masih memegang teguh
©
kebudayaan tradisional, pendapat dari para lansia selalu didengar dan dihargai. Namun, sepertinya penghargaan terhadap lansia luntur seiring dengan berkembangnya zaman menuju kebudayaan modern. Kebudayaan modern saat ini cenderung menyamakan keberhasilan dengan banyaknya harta yang dimiliki, sehingga orang senantiasa berlomba-lomba untuk membangun karier dan mengumpulkan harta benda sebanyak mungkin dan memberi tempat yang sedikit bagi orang-orang berusia lanjut.9 Lansia sudah dianggap tidak bisa lagi menghasilkan sesuatu dan mengikuti persaingan pengumpulan harta, sehingga akhirnya dimarjinalisasikan dan dianggap tidak berguna. Bahkan, ada kecenderungan menganggap lansia sebagai beban bagi keluarga,
5
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jejas adalah lecet (tergores, luka sedikit, dan sebagainya) di bagian kulit. Santoso dan Ismail, hlm. 2. 7 Henry J.M.Nouwen dan Walter J. Gaffney, Meniti Roda Kehidupan : Tambah Usia Menuju Kepenuhan Hidup (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1989), hlm. 24. 8 Wahjudi Nugroho, Komunikasi dalam Keperawatan Gerontik (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009), hlm. 2. 9 Sharon R. Curtin, Nobody Ever Died of Old Age (Boston : Brown and Company, 1972), hlm. 195-196. 6
2
sebab anggota keluarga lain harus merawat dan juga membiayai kebutuhan hidup lansia, sementara membiayai kehidupan sendiri saja sudah sulit.
Selain itu, pengalaman kesepian juga merupakan pengalaman yang sangat mungkin dirasakan oleh lansia. Kesepian merupakan salah satu pengalaman yang memilukan karena ditinggalkan orang-orang yang selama ini begitu dekat dan menyayangi lansia dan juga kesadaran bahwa lingkaran relasi mereka dengan yang lain tidak akan pernah bertambah. Dalam menghadapi perjalanan kehidupan selanjutnya, lansia menyadari bahwa semakin sedikit sahabat seperjalanan yang senantiasa berbagi dalam suka dan duka, dan pada akhirnya mereka harus berjalan sendiri. Tidak hanya dikarenakan pasangan atau sahabat-sahabat yang pergi meninggalkan mereka, tetapi
W D K U
kesepian dapat juga dirasakan oleh para lansia yang tinggal bersama dengan anak-cucu mereka. Apabila masing-masing anggota keluarga sibuk dengan kegiatannya dan hampir tidak memiliki waktu bersama para lansia, maka tentu rasa kesepian ini akan semakin merasuk.
Pengalaman pengasingan dan kesepian pada akhirnya menimbulkan perasaan penolakan terhadap diri lansia. Jika pengalaman pengasingan merupakan penolakan yang dialami dari masyarakat, maka kesepian merupakan “penolakan” dari sahabat dan keluarga. Namun, pengalaman yang paling menghancurkan dan merusak adalah kehilangan diri. Lansia merasa kehilangan harga diri karena keberadaannya ditolak oleh masyarakat secara umum dan orang-
©
orang terdekat secara khusus sehingga merasa tidak ada lagi gunanya mereka hidup. Mungkin hilangnya diri menjadi paling tampak dalam diri orang-orang yang seluruh identitasnya diserap oleh masa lampau, yang hampir tidak pernah merasa puas dengan masa kini dan yang melihat ke depan seolah-olah ia memandang kegelapan yang semakin pekat.10 Masa usia lanjut seakan dianggap sebagai masa yang suram, gelap, tidak berpengharapan dan tidak menyenangkan sama sekali.
Sebenarnya, masa usia lanjut sebagai saat-saat kehidupan terakhir manusia tidak serta-merta berisi hal-hal yang gelap, suram, ataupun menyeramkan. Yang menjadikan masa usia lanjut seakan suram adalah stigma dari masyarakat dan kurangnya perhatian dari orang-orang terdekat. Penurunan kondisi fisik memang dapat menjadi permasalahan, namun bukan berarti lansia tidak bisa melakukan apa-apa sehingga ditolak oleh masyarakat dan dipandang sebagai beban. Masa usia lanjut dapat menjadi masa yang penuh dengan harapan dan menyenangkan apabila lansia 10
Nouwen dan Gaffney, hlm. 33.
3
dihargai, dilindungi, didengarkan. Dengan perhatian, menjadi tua dapat menjadi jalan menuju cahaya, memberi harapan serta kehidupan yang baru.11
2. Peranan Gereja dan Pendidikan Kristiani Antargenerasi (PKA) Henri Nouwen mengatakan bahwa memberi perhatian kepada orang-orang berusia lanjut menuntut sebuah gaya hidup yang memungkinkan terjadinya hubungan kreatif dan rekreatif antargenerasi.12 Relasi antargenerasi ini pada akhirnya menyentuh konsep Pendidikan Kristiani Antargenerasi. Pendidikan Kristiani Antargenerasi (selanjutnya disingkat menjadi PKA) adalah dua atau lebih kelompok usia yang berbeda yang berada dalam komunitas keagamaan dan bersama-sama belajar/bertumbuh/hidup dalam iman melalui pengalaman bersama, pembelajaran paralel, kesempatan untuk memberikan kontribusi, dan berbagi secara interaktif.13 Bertolak dari
W D K U
konsep PKA, pertemuan antargenerasi tidak hanya menghasilkan persahabatan dan cinta kasih, melainkan lebih dari itu, ada proses pembelajaran di mana kedua generasi semakin diperkaya melalui pembelajaran ini. Bahkan, setiap orang dalam PKA akan diperhitungkan atau berada dalam kedudukan yang setara, baik sebagai pemberi dan penerima. Setiap orang akan mengajar dan juga belajar dalam proses pertumbuhan iman bersama.
Gereja sebagai komunitas iman berisikan individu-individu dari seluruh tingkatan usia, baik yang baru saja lahir hingga lanjut usia. Apalagi dengan tingkat usia harapan hidup yang semakin
©
tinggi, hal ini menandakan bahwa semakin banyak lansia yang ada di dalam gereja dibandingkan dekade sebelumnya. Hal ini berarti, perbedaan usia di dalam gereja semakin besar. Para lansia bisa saja duduk bersebelahan dengan bayi yang baru saja lahir dan digendong oleh seorang ibu muda. Dengan demikian, gereja merupakan tempat yang sangat strategis dalam melakukan PKA dengan berkumpulnya setiap generasi dalam komunitas iman yang sama.
Selain itu, secara khusus gereja juga dapat berperan sebagai pihak yang memberi perhatian dan juga dukungan, baik secara moril, fisik, dan spiritual kepada para lansia. Peranan gereja sangat penting, khususnya dalam membangun serta memelihara mental dan rohani para lansia.14 Namun, berdasarkan pra-penelitian penulis di GKI Kayu Putih, setiap generasi memiliki kegiatan
11
Nouwen dan Gaffney., hlm. 60. Ibid., hlm. 80. 13 James W. White, Intergenerational Religious Education : Models, Theory, and Prescription for Interage Life and Learning in the Faith Community (Alabama : Religious Education Press, 1988), hlm. 19. 14 Santoso dan Ismail, hlm. 112. 12
4
masing-masing di gereja melalui setiap komisi (Komisi Anak, Remaja, Pemuda, Dewasa Muda, Dewasa, Senior) dan jarang terdapat kegiatan yang bersifat antargenerasi. Apalagi, relasi antar anak-anak muda dengan para lansia di gereja jarang sekali terlihat sejauh pengamatan penulis. Sebenarnya, GKI Kayu Putih telah merancang konsep Pelayanan Antargenerasi. Akan tetapi, konsep ini belum menyentuh pelayanan antargenerasi bagi Lansia, dan masih berhenti sampai tahap Dewasa.
B. Permasalahan Penelitian GKI Kayu Putih memiliki dua wadah kegiatan bagi para lansia, yaitu House of Grace (selanjutnya disingkat menjadi HOG) dan juga Komisi Senior. Secara struktural, Komisi Senior
W D K U
berada di bawah Majelis Jemaat bidang Bina Kategorial. Bidang Bina Kategorial ini bertanggung jawab atas Komisi-Komisi yang pembagiannya didasarkan oleh usia, seperti Komisi Anak, Remaja, Pemuda, Dewasa Muda, Dewasa, dan Senior. Sedangkan HOG berada di bawah Majelis Jemaat bidang Oikumene dan Masyarakat (Selanjutnya dalam penulisan disingkat menjadi Oikmas). HOG adalah rumah singgah yang diperuntukkan bagi lansia wanita dan terbuka untuk umum, dalam arti tidak hanya dikhususkan bagi anggota jemaat GKI Kayu Putih saja. HOG dilaksanakan setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat pukul 09.30-16.30 WIB. Di HOG, para lansia mengikuti kegiatan seperti senam pagi, renungan bersama, bermain angklung, melukis, dan diberikan waktu bebas juga bagi para lansia. Pelaksanaan HOG dibantu oleh beberapa anggota
©
jemaat wanita yang menjadi volunteer (usia 55-70 tahun). Selain bertugas menjadi pengurus HOG, maka volunteer juga bertugas menyediakan makanan dan mengurus keuangan HOG. Lalu, Komisi Senior merupakan perkumpulan lansia pria dan wanita di GKI Kayu Putih. Sedikit berbeda dengan HOG yang pengurusnya adalah para volunteer, Komisi Senior memiliki pengurus yang berasal dari lansia GKI Kayu Putih sendiri. Ada beberapa program yang dilaksanakan secara rutin oleh Komisi Senior, seperti rapat rutin, pelawatan, persekutuan yang dilaksanakan setiap Sabtu minggu kedua dan keempat, ceramah kesehatan, dan kegiatankegiatan lainnya.
Berdasarkan informasi mengenai pelaksanaan kegiatan bagi para lansia, baik HOG dan juga Komisi Senior, dapat dilihat bahwa kegiatan tersebut dilakukan di luar hari Minggu. HOG dilaksanakan setiap hari Senin, Rabu, Jumat, sedangkan kegiatan rutin Komisi Senior, yaitu persekutuan dilaksanakan setiap hari Sabtu minggu kedua dan keempat. Apabila dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan komisi lainnya, seperti Komisi Anak, Remaja, dan Pemuda, maka 5
kegiatan-kegiatan gereja lainnya banyak dilaksanakan pada hari Minggu. Selain itu, terdapat pula pemisahan tempat dalam melakukan kegiatan. Ibadah Remaja dilaksanakan di gedung tersendiri, begitu pula dengan Ibadah Pemuda dan Sekolah Minggu yang dilaksanakan di gedung yang berlainan. Hal inilah yang menyebabkan minimnya relasi antargenerasi yang terjadi di dalam gereja.
Selain itu, penulis juga menemukan masalah yang terjadi di HOG. Asal mula pembentukan HOG yang dicetuskan oleh Tkt. Hilda Pelawi, S.Th15 berawal ketika Pelawi melihat kenyataan para lansia di GKI Kayu Putih yang masih membutuhkan semangat dan perhatian dalam menjalani masa usia lanjutnya. Namun, perhatian dan semangat ini tidak terlalu optimal diberikan oleh
W D K U
setiap keluarga dari para lansia mengingat kesibukan masing-masing anggota keluarga, baik dalam pekerjaan maupun studi. Dengan keyakinan bahwa gereja merupakan wadah dimana komunitas Kristiani saling memperhatikan dan membangun kasih, maka terbentuklah HOG ini.16 HOG sendiri mempunyai visi dan misi. Visi HOG adalah menjadikan masa tua sebagai anugerah Tuhan, sedangkan misi HOG adalah menyemangati kehidupan lanjut usia dengan kegembiraan, kreativitas, dan persahabatan.17 Tentunya, persahabatan yang diharapkan terjalin tidak hanya terjadi antara para lansia saja, tetapi juga antara lansia dan volunteer. Sebab, Pelawi juga mengatakan
bahwa
HOG
tidak
bisa
berjalan
sendiri
tanpa
volunteer
yang setia
mempersembahkan waktu, cinta kasih, talenta, dan persahabatan yang terus dibina.18
©
Namun, berdasarkan pra-penelitian yang dilakukan penulis dalam bentuk observasi langsung, relasi yang terjalin antara volunteer dan para peserta HOG cenderung renggang. Volunteer cenderung lebih sering berinteraksi dengan sesama volunteer lainnya. Memang bukan berarti tidak ada interaksi sama sekali antara volunteer dan peserta, akan tetapi interaksi yang ada pun hanya sebatas basa-basi semata, seperti pertanyaan apakah oma sudah makan?, atau oma sedang ngapain? Penulis jarang melihat peserta yang berbicara secara mendalam kepada volunteer. Jika demikian, maka persahabatan dan cinta kasih yang diharapkan hadir dalam HOG pun bisa jadi tidak terpenuhi secara optimal. Bahkan, mungkin saja masih ada perasaan kesepian yang
15
Tkt. Hilda Pelawi, S.Th. merupakan tenaga kategorial di GKI Kayu Putih yang menjadi pengerja pendamping HOG sekaligus pengagas berdirinya HOG. 16 Brosur House of Grace yang dikeluarkan GKI Kayu Putih dalam rangka mempromosikan kegiatan House of Grace, 2010. 17 Tulisan Hilda Pelawi mengenai House of Grace, 2015. 18 Ibid.
6
dirasakan oleh para lansia. Sebab, para lansia sama-sama membutuhkan dukungan dan cinta kasih dari generasi-generasi lainnya. Selain itu, program ini pun juga masih mengidentikkan lansia sebagai “objek” atau pihak yang diberikan pelayanan. Belum pernah diadakan kegiatan di HOG di mana lansia misalnya membagikan cerita kepada para volunteer atau kepada anak-anak remaja dan pemuda, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang menempatkan lansia sebagai subjek. Seharusnya lansia jangan hanya dilihat sebagai “penerima”, melainkan aktif juga sebagai “pemberi”.19 Hal ini pula yang belum ditonjolkan oleh HOG di mana lansia dilihat hanya sebagai pihak yang harus diberikan perhatian dan menjadi objek utama dari pelayanan. Padahal, mungkin saja ada kerinduan dari
W D K U
para lansia untuk tetap bisa berkarya dan memberikan sesuatu bagi generasi muda.
Melihat persoalan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belum ada relasi antargenerasi yang terjalin secara intens antara lansia di GKI Kayu Putih dengan generasi-generasi lainnya. Padahal, seperti yang telah dikatakan Nouwen di atas, relasi antargenerasi yang kreatif perlu sekali dibangun dalam rangka pemberian perhatian dan dukungan bagi lansia dalam menjalani masa usia lanjutnya yang tidak mudah. Pemisahan kegiatan berdasarkan generasi begitu terasa terjadi di dalam gereja ini. Padahal, pemisahan generasi dalam gereja membuat satu generasi menjadi tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh generasi lainnya dan apa persoalan yang dihadapi
©
mereka. Nouwen mengatakan demikian :
Kalau kita membiarkan dunia kita terbagi menjadi kelompok orang muda, tengah umur dan berusia lanjut, maka sebenarnya kita menyingkirkan daya yang terdapat dalam tindak memberi perhatian yang sesungguhnya; karena perkembangan dan pertumbuhan manusia pertama-pertama terjadi dengan interaksi kreatif antargenerasi.20
Untuk itu, dalam memaksimalkan peran gereja dalam rangka pemberian dukungan dan perhatian bagi para lansia, diperlukan sebuah relasi antargenerasi yang berkualitas. Diharapkan relasi yang ada juga dapat memberikan tempat bagi lansia untuk berkarya dan memberikan sesuatu bagi generasi muda, sehingga keberadaan mereka masih tetap diperhitungkan. Begitu pula sebaliknya, lansia juga mendapatkan sesuatu melalui relasi ini, yang tidak hanya berupa dukungan, tetapi pembelajaran dari generasi muda. PKA dapat menjadi salah satu wadah yang tidak hanya
19 20
Santoso dan Ismail, hlm. 112. Nouwen dan Gaffney, hlm. 79.
7
memberikan perhatian, tetapi juga dapat menjadi sarana bagi lansia untuk berkarya dan menjadi pemberi. Relasi antargenerasi yang terjalin dapat menjadi pembelajaran bagi setiap orang yang terlibat, serta mempererat persaudaraan dan persatuan di dalam komunitas iman yang penuh dengan cinta kasih.
Dalam skripsi ini, pada akhirnya penulis mencoba menyusun sebuah konsep program PKA yang berangkat dari konteks lansia di GKI Kayu Putih. Konteks ini berhubungan dengan sejauh mana minat lansia dalam melakukan relasi antargenerasi yang juga diikuti dengan bagaimana tipe kepribadian lansia di GKI Kayu Putih, sebab tipe kepribadian lansia akan mempengaruhi konsep program PKA di GKI Kayu Putih.
W D K U
Setelah melihat permasalahan yang terjadi, maka penulis memunculkan pertanyaan permasalahan, yaitu :
1. Bagaimanakah tipe kepribadian lansia GKI Kayu Putih serta pandangan mereka terhadap masa usia lanjut yang sedang dijalani?
2. Sejauh manakah minat para lansia di GKI Kayu Putih untuk melakukan relasi antargenerasi?
3. Bentuk Pendidikan Kristiani Antargenerasi seperti apakah yang dapat dilakukan bagi lansia di GKI Kayu Putih?
C. Judul Skripsi
©
“PENDIDIKAN KRISTIANI ANTARGENERASI BAGI LANSIA DI GKI KAYU PUTIH JAKARTA”
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan skripsi ini terkait dengan rumusan masalah di atas adalah : 1. Mengetahui tipe kepribadian lansia di GKI Kayu Putih Jakarta 2. Menemukan bentuk Pendidikan Kristiani Antargenerasi seperti apa yang relevan untuk dilakukan di GKI Kayu Putih Jakarta 3. Pembaca dapat memahami isu mengenai Pendidikan Kristiani Antargenerasi, terkhusus manfaatnya bagi keberadaan lansia di gereja 8
E. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan melakukan penelitian terhadap para lansia di GKI Kayu Putih, baik yang mengikuti kegiatan HOG ataupun Komisi Senior. Ada dua metode yang digunakan penulis : studi literatur dan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif. Studi literatur digunakan guna memperkuat landasan teori terkait dengan PKA menurut James W. White dalam buku Intergenerational Religious Education:Models, Theory, and Prescription for Interage Life and Learning in the Faith Community dan tipe-tipe kepribadian lansia dalam rangka membantu pembentukan konsep program PKA. Kedua, dalam menggunakan metode kualitatif, penulis memilih pengumpulan data melalui wawancara mendalam terhadap beberapa lansia di GKI Kayu Putih.
W D K U
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini akan terdiri dari 5 bab dengan pembagian sebagai berikut :
BAB 1 : Pendahuluan
Pada bagian ini, penulis memaparkan latar belakang dan permasalahan serta rancangan penelitian yang akan dilakukan secara singkat.
©
BAB 2 : Pendidikan Kristiani Antargenerasi
Pada bagian ini, penulis memaparkan teori James W. White mengenai Pendidikan Kristiani Antargenerasi, serta Pendidikan Kristiani Antargenerasi bagi Lansia.
BAB 3 : Hasil Penelitian Konteks Lansia di GKI Kayu Putih
Pada bagian ini, penulis memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai relasi antargenerasi yang selama ini dihidupi oleh lansia dan seberapa besar minat lansia dalam melakukan relasi antargenerasi beserta analisanya. Selain itu, penulis juga memaparkan teori mengenai tipe-tipe kepribadian lansia, diikuti dengan memaparkan hasil penelitian mengenai tipe-tipe kepribadian lansia di GKI Kayu Putih beserta analisanya. Pada akhir bagian ini, akan dijelaskan korelasi antara tipe kepribadian lansia dan minat lansia dalam menjalankan PKA.
9
BAB 4 : Konsep Program Pendidikan Kristiani Antargenerasi di GKI Kayu Putih Pada bagian ini, penulis memberikan usulan konsep program Pendidikan Kristiani Antargenerasi yang dapat dilakukan sesuai dengan hasil penelitian di bab 3.
BAB 5 : Penutup Bagian ini berisi saran penelitian, serta kesimpulan atas seluruh bagian yang telah dipaparkan dan diakhiri dengan penutup atas keseluruhan proses penulisan skripsi ini.
W D K U
©
10