BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Leukemia merupakan suatu penyakit keganasan yang terjadi pada sel darah putih, yang ditandai dengan proliferasi dini yang berlebihan (Handayani, 2008). Di negara Barat insidensi leukemia adalah 13 per 100.000 penduduk per tahun (Tim Cancer Helps, 2010). Data di Eropa pada tahun 1988 dan 1997 telah memperkirakan lima tahun pertama kehidupan untuk anak-anak didiagnosis 80%, anak-anak usia antara 5-9 tahun didiagnosis 75%, usia antara 10-14 tahun didiagnosis 62%, dan tingkat kelangsungan hidup pada bayi didiagnosis dengan leukemia lebih rendah yaitu sebesar 44% (Coebergh et al., 2006). Leukemia limfoblastik akut mencatat lebih dari 75% terjadi pada masa kanak-kanak dan merupakan kanker anak yang paling umum terjadi (Coebergh et al., 2006). Di negara berkembang terdapat 83% leukemia limfoblastik akut (LLA) yang dimana angka kejadian anak kulit putih lebih tinggi persentasenya dibanding anak kulit hitam (Permono et al., 2010). Di Jepang terdapat kasus 4 per 100.000 anak dan diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru (Permono et al., 2010). Di Indonesia tepatnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 19982009 angka kejadian leukemia pada anak usia 0-14 tahun sebanyak 711,691 (lakilaki 387,525 dan perempuan 324,166), rata-rata kejadian leukemia sejak tahun 1998-2009 sebesar 28,8 (LLA 20,8 dan LMA 8,0). Di RSUP Dr. Sardjito pada tahun 1998-2009 jumlah pasien anak yang didiagnosis leukemia mencapai 720 anak (Supriyadi et al., 2011). Jumlah pasien anak yang didiagnosis leukemia 1
2
limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut (LMA) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 1998-2009 sebanyak 666 (LLA 496 dan LMA 170 pasien anak) Supriyadi et al., 2011. Jenis kanker yang paling umum ditemukan pada anak-anak di RSUP Dr. Sardjito pada tahun 2000-2009 adalah leukemia limfoblastik akut sebanyak 456 (Ali et al., 2010). Deteksi dini suatu penyakit merupakan harapan yang terbaik bagi pasien untuk penyembuhan dengan intervensi yang minimal (Davey, 2005). Diagnosis leukemia akut menjadi suatu hal yang menyedihkan bagi pasien maupun pihak keluarga. Situasi ini dapat dipersulit karena, setelah diagnosis ditegakkan pengobatanharus dimulai sesegera mungkin (Brooker, 2008). Pengobatan awal leukemia limfoblastik akut memiliki efek samping seperti mual, muntah, mukositis, kelelahan, perdarahan, dan infeksi (Viele, 2003). Sedangkan kemoterapi mempunyai beberapa efek samping seperti rambut rontok, mual, muntah, dan diare (Pandey et al., 2006). Efek samping pengobatan mungkin juga akan berpengaruh pada masalah perilaku dan emosional anak (Eiser et al., 2005). Pengobatan yang dijalani dapat memiliki efek samping yang buruk pada anakanak. Efek samping yang dialami antara lain gangguan fungsi intelektual, kelainan neuroendokrin, kardiotoksisitas, gangguan kemampuan reproduksi, dan keganasan sekunder yang bersifat jangka panjang (Bhatia, 2003). Siklus pertama pengobatan (kemoterapi) adalah tahap dimana pasien mengalami tingkat kelelahan yang lebih tinggi dari pada pengobatan berikutnya. Hasil penelitian (Gedaly-Duff et al., 2006; Langeveld et al., 2000; Meeske et al., 2004) memaparkan bahwa tingkat kelelahan bisa juga mengubah kemampuan anak dan energi untuk berpartisipasi
3
dalam kegiatan sosial, kehidupan sekolah, menjaga hubungan antarpribadi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup anak tersebut. Kualitas hidup pada anak dengan kanker merupakan dampak potensial dari penyakit atau pengobatan yang mempengaruhi fungsi atau aspek kehidupan dilihat dari persepsi pasien (Varni et al., 1997). Kualitas hidup pada anak dengan kanker adalah dampak potensial dari lamanya pengobatan, adanya gangguan kesempatan untuk beraktivitas seperti biasanya sesuai dengan usia, dan adanya hubungan emosional dengan pengobatan penyakitnya (Umiati et al., 2010). Kualitas hidup merupakan tingkat dimana seseorang menikmati kebutuhankebutuhan yang penting dalam hidupnya. Konsep kualitas hidup terkadang disamakan dengan konsep global seperti kepuasan hidup, kebahagiaan, moral dan keadaan sehat, meskipun kualitas hidup dianggap lebih luas dari konsep-konsep tersebut (Renwick & Brown, 1996). Tawa merupakan alat yang penting dalam interaksi sosial. Tertawa merupakan ungkapan dari kebahagiaan manusia (Kataria, 2004). Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa tawa memiliki dua nilai penting yaitu untuk pencegahan dan terapi. Terapi tertawa dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang pada umumnya saat menjalani perawatan (Ripoll, 2011). Terapi tertawa memiliki beberapa manfaat antara lain untuk meningkatkan suasana hati, harga diri, harapan, dan semangat; meningkatkan memori, kreatif dalam berpikir, dan membantu dalam pemecahan masalah; meningkatkan interaksi antarpribadi, hubungan, daya tarik, dan kedekatan; meningkatkan keramahan, menolong, identitas membangun kelompok, solidaritas, dan
4
kekompakan (Ripoll, 2011). Tetapi sampai sekarang ini penelitian terkait kualitas hidup anak penderita leukemia limfoblastik akut masih sedikit. Terapi tertawa dapat menjadi teknik yang menarik dan inovasif baru yang digunakan untuk terapi pengobatan khususnya anak penderita leukemia limfoblastik akut yang memiliki kualitas hidup yang rendah. Berdasarkan data di atas, mendorong peneliti pengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh terapi tertawa terhadap kualitas hidup anak penderita leukemia limfoblastik akut”. Dikarenakan belum ada penelitian mengenai pengaruh terapi tertawa terhadap kualitas hidup anak penderita leukemia limfoblastik akut.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang ditegakkan penelitian adalah “Apakah ada pengaruh terapi tertawa terhadap kualitas hidup anak penderita leukemia limfoblastik akut usia 3-15 tahun di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.”
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap
kualitas hidup anak penderita leukemia limfoblastik akut usia 3-15 tahun di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2.
Tujuan Khusus a. Mengetahui kualitas hidup anak penderita leukemia limfoblastik akut usia 3-15 tahun sebelum dilakukan terapi tertawa.
5
b. Mengetahui kualitas hidup anak penderita leukemia limfoblastik akut usia 3-15 tahun sesudah dilakukan terapi tertawa.
D. Manfaat Penelitian 1.
Teoritis a. Bagi Keperawatan Terutama bagi keperawatan anak, diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan dan menambah khasanah pengetahuan. b. Bagi Institusi Kesehatan dan Dinas Sosial Memberikan masukan dan bahan pertimbangan dalam memilih terapi yang tepat untuk bisa meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak penderita leukemia limfoblastik akut.
2.
Praktis a. Bagi anak penderita leukemia limfoblastik akut Dengan adanya penelitian terapi tertawa ini diharapkan anak penderita leukemia limfoblastik akut bisa melakukan terapi ini sendiri untuk meningkatkan kualitas hidup. b. Bagi Masyarakat Memberikan masukan atau bahan pertimbangan dalam memilih terapi yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup. c. Bagi Peneliti Melatih kemampuan menulis dalam melakukan penelitian dalam bidang keperawatan.
6
E. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai “Pengaruh terapi tertawa terhadap kualitas hidup anak penderita leukemia limfoblastik akut usia 3-15 tahun di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta” belum pernah dilakukan. Berikut beberapa penelitian yang hampir serupa, diuraikan dalam tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Perbandingan Penelitian Peneliti dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian
Persamaan
Perbedaan
Nurgraheni (2005) Pengaruh terapi tertawa terhadap depresi pada usia lanjut di Wirosaban, RT XIV, Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta
Variabel bebas: terapi tertawa.
Variabel terikat: depresi. Subjek: usia lanjut di Wirosaban, RT XIV, Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta. Metode: eksperimen dengan rancangan control group pretest-postest.
Danuaji (2009) Nyeri sebelum kemoterapi sebagai prediktor rendahnya kualitas hidup penderita leukemia limfoblastik akut (LLA) anak-anak
Variabel terikat: kualitas hidup penderita leukemia limfoblastik akut anak-anak. Instrument: PedsQL TM versi 3.0 modul kanker.
Pratiwi (2012) Pengaruh terapi tawa permainan kearifan budaya lokal terhadap interaksi sosial pada lanjut usia di Huntara Gondang 1, Sleman, Yogyakarta
Variabel bebas: terapi tertawa.
Variabel bebas: nyeri sebelum kemoterapi. Subjek: Anak usia 5-16 tahun yang telah selesai menjalani kemoterapi fase induksi sesuai protokol Nasional atau protokol WK-ALL. Metode: kohort observasional retrospektif. Variabel terikat: Interaksi sosial. Subjek: lanjut usia yang menjadi korban erupsi Merapi 2010 dan tinggal di Huntara Gondang 1, Sleman, Yogyakarta. Metode: Quasiexperimental dengan rancangan pre-test and posttest control group design.