BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Human trafficking atau perdagangan manusia adalah sebuah bentuk perbudakan modern yang sulit dideteksi. Data statistik yang ada sekarang tidak menggambarkan secara valid kondisi sesungguhnya. Dewasa ini tidak ada satu negara pun yang bebas dari human trafficking1 sekalipun negaranegara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa. Hal itu disebabkan karena jaringan human trafficking telah menyebar hampir ke setiap negara di seluruh penjuru dunia. Salah satu alasan mengapa hampir setiap negara terlibat dalam jaringan human trafficking adalah bahwa negara tersebut dapat berfungsi sebagai negara asal, yaitu negara dimana orangorangnya diperdagangkan ke luar, sebagai negara tujuan, yaitu negara tersebut menjadi tujuan praktek human trafficking, dan atau sebagai negara transit, yaitu negara tersebut menjadi persinggahan sementara dalam rute human trafficking.2 India adalah sumber, tujuan, dan negara transit bagi pria, wanita, dan anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan kerja paksa dan eksploitasi seks komersial. Kerja paksa internal mungkin merupakan masalah trafficking
1
UNODC [United Nations Office on Drugs and Crime] (2012). Human trafficking. Lihat dalam http://www.unodc.org/ unodc/en/ human-trafficking/what-is-human-trafBcking.html Diunduh, 10 Agustus 2014 2 Winterdyk, J & Reichel, P. Introduction to Special Issue: Human Trafficking: Issues and Prespectives. p.6. European Journal of Criminology. Lihat dalam http://euc.sagepub.eom/ content/7/l/5 Diunduh, 10 Agustus 2014
1
terbesar India. Pria, wanita, dan anak-anak diikat secara sitemik dalam jerat hutang yang menyebabkan mereka
menghadapi kerja paksa di berbagai
usaha seperti pembakaran batubata, penggilingan padi, pertanian, dan pabrikpabrik bordir. NGOs memperkirakan kondisi ini telah mempengaruhi 20-65 juta orang India. Perempuan dan anak-anak perempuan diperdagangkan dalam negeri untuk tujuan eksploitasi seksual komersial dan pernikahan paksa terutama di daerah-daerah di mana rasio jenis kelamin pria lebih dominan. Anak-anak menjadi sasaran kerja paksa sebagai buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pengemis, pekerja pertanian, dan bahkan digunakan sebagai pejuang bersenjata oleh kelompok teroris dan pemberontak.3 India juga menjadi tujuan bagi
perdagangan perempuan dan anak
perempuan dari Nepal dan Bangladesh yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seks komersial. Anak-anak Nepal diperdagangkan ke India untuk kerja paksa di acara sirkus. Perempuan India diperdagangkan ke Timur Tengah untuk eksploitasi seks komersial. Ada juga korban perdagangan tenaga kerja di antara ribuan orang India yang bermigrasi secara suka rela setiap tahun ke Timur Tengah dan Eropa untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh berketrampilan rendah. Dalam beberapa kasus, para pekerja tersebut adalah korban dari praktek-praktek perekrutan penipuan yang menjerumuskan mereka secara langsung ke dalam kerja paksa. Dalam praktek perekrutan, korban human trafficking secara sengaja dijebak dalam jerat hutang sehingga memaksa mereka masuk ke dalam situasi 3
Human Trafficking in India, 2008. dalam http://en.wikipedia.org/wiki/ Human_ trafficking_ in_India Diunduh, 10 Agustus 2014
2
kerja paksa. Hutang yang dikaitkan dengan biaya operasional perekrutan membuat para korban rentan terhadap eksploitasi para majikan, di mana banyak di antaranya beberapa orang mengalami kondisi kerja paksa, termasuk kerja tanpa pembayaran upah, pembatasan gerak, penahanan paspor, dan pelecehan fisik atau seksual4. Meskipun sulit untuk mendapatkan data yang komprehensif tentang tingkat perdagangan manusia di India, namun secara umum diakui bahwa India adalah negara sumber, negara tujuan, sekaligus negara transit bagi perdagangan manusia, termasuk anak-anak dan para gadis. Sebuah penelitian tahun 2006 menemukan bahwa 378 dari yang 593 kabupaten di India terpengaruh oleh perdagangan manusia. Diperkirakan sembilan puluh persen perdagangan di negara ini bersifat internal, dengan korban perdagangan manusia sebagian besar digunakan untuk kerja paksa. Korban perdagangan anak di India dieksploitasi dalam berbagai cara termasuk sebagai pekerja pabrik, pekerja pertanian, pembantu rumah tangga dan pengemis. Anak gadis secara khusus rentan terhadap tujuan perkawinan paksa dan eksploitasi seks komersial5. Perbatasan berpori di wilayah ini sering disebut sebagai faktor penyumbang terhadap perdagangan manusia lintas-perbatasan, termasuk perdagangan anak perempuan dari Nepal dan Bangladesh ke India. ECPAT Internasional
memperkirakan
bahwa
4
150.000
perempuan
dan
anak
Kevin Bales (2004). New slavery: a reference handbook. ABC-CLIO. pp. 15–18. Diunduh 15 Agustus 2014 dalam http://books.google. com/books?id= 8Cw6 Es O59aYC 5 IDLO, 2010. Preventing and Combating the trafficking of Girl in India Using Legal Empowerment Strategy. Roma: International Development Law Organization dalam http://idlo.int.public .publication/FinalReportGirl Project. Di unduh, 15 Agustus 2014
3
diperdagangkan setiap tahunnya dari Asia Selatan, sebagian besar dari, melalui atau ke India. Perkiraan gabungan untuk Nepal dan Bangladesh berkisar 500 sampai 10.000 anak perempuan yang diperdagangkan ke India setiap tahunnya, perkiraan lain menempatkan angka lebih dari 200.000 selama periode tujuh tahun. Saat ini, tidak ada hukum yang mengatur pemulangan korban perdagangan manusia dari India ke Bangladesh dan Nepal, dan organisasi terkait berusaha untuk membantu perempuan kembali ke rumah mereka dengan penghubung organisasi mitra di negara-negara tersebut6. The National Crime Bureau melaporkan bahwa pada tahun 2009 tercatat 160 kasus perdagangan manusia di Bengali Barat, meskipun demikian laporan dari pemerintah dan pelaku lain menunjukkan bahwa angka kasus perdagangan manusia yang sebenarnya jauh lebih tinggi. Dua pertiga dari anak-anak yang diperdagangkan di Bengali Barat adalah anak perempuan. Hampir 90 persen anak-anak perempuan tersebut putus sekolah dasar atau tidak pernah bersekolah, sehingga membuktikan hubungan yang kuat antara kurangnya pendidikan dan risiko diperdagangkan7. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa Kolkata menjadi kota tujuan dan pusat perdagangan manusia untuk tujuan prostitusi, bersama Mumbai dan Delhi. Kota Jalpaiguri berperan sebagai rute transit anak perempuan yang diperdagangkan dari Bhutan dan Assam, sementara Jalpaiguri dan Darjeeling menjadi jalur masuk anak-anak dari negara-negara tetangga dan negara-negara India terdekat.
6 7
Ibid Ibid
4
Penelitian lain yang dilakukan sebelumnya di Madhusudanpur, sebuah desa di Parganas selatan, menemukan bahwa setiap dua sampai tiga rumah tangga di desa tersebut hidup dari pendapatan anak gadis yang diperdagangkan di usia 13 dan 15 tahun. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh SANLAAP tentang interkoneksi antara migrasi, pernikahan anak-anak dan perdagangan manusia, menyingkap bahwa di 4 desa Parganas, lebih dari 100 anak perempuan di bawah 18 tahun telah diperdagangkan ke Mumbai untuk dipaksa bekerja di tempat prostitusi. Menurut laporan yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri AS. Lebih dari 1.2 juta setiap tahun anak-anak di India terperangkap dalam perdagangan manusia sebagai prostitusi anak. Yang paling mengenaskan sebanyak 100 juta orang India diaksa bekerja dalam kondisi mirip perbudakan. Pariwisata seks menjadi komoditas yang sangat menguntungkan. Seorang anak gadis kulit putih usia delapan tahun bisa mendapat bayaran US $ 2.500 semalam. Sementara anak gadis berkulit gelap dihargai US $ 2.000 semalam. Prostitusi anak gadis di bawah umur di India menjadi industri miliaran dolar yang menggiurkan dan selalu mengalami kenaikan setiap tahun8. Tabel berikut ini menggambarkan sejumlah kejahatan trafficking yang dilaporkan terjadi di India selama kurun waktu 2005-2009. Kejahatan ini umumnya diakui jauh lebih rendah daripada jumlah kasus trafficking yang sebenarnya terjadi di negara ini. 8
Santosh, Digal. 2010.India, World Hub in Human Trafficking doiakses 10 Septeber 2012 dalam http:www.asieannews.it /news-en. India.
5
Tabel 1.1 Kejahatan Human Trafficking di India, Tahun 2005-2009 Tahun No 1
2
3
4
5
Kejahatan
2005
2006
2007
2008
Perekrutan anak 145 231 253 224 perempuan (Sec. 366-A IPC) Importasi anak 149 67 61 67 perempuan (Sec, 366-B IPC) Menjual anak perempuan 50 123 69 49 untuk prostitusi (Sec. 372 IPC) Membeli anak 28 35 40 30 perempuan untuk prostitusi (Sec. 373 IPC) Perdagangan manusia 5.908 4.541 3.568 2.659 amoral (Pencegahan) Act 1956 Total 6.402 5.096 4.087 3.133 Sumber: National Crime Records Bureau (NCRB), 2010
Persentase Tahun 2009 2008-2009 237 5.8
48
-28.3
57
16.3
32
6.7
2.474
-6.9
2.851
-9.0
Data resmi terbaru di India menyatakan 35 ribu anak-anak dilaporkan hilang sepanjang
tahun
2012. Perdagangan anak di India semakin tinggi dan
memprihatinkan lantaran kemiskinan di negara tersebut. Seperti dilaporkan BBC, sekitar 11 ribu anak hilang berasal dari Bengal Barat. Polisi setempat memperkirakan kasus yang dilaporkan hanya sekitar 30 persen. Perdagangan anak meningkat
signifikan
di
wilayah
Sunderbans
setelah
angin
kencang
menghancurkan sawah lima tahun lalu. Buruh tani lokal, Bimal Singh mengatakan tidak memiliki penghasilan. Karena itu, dia menerima tawaran tetangganya yang akan memberi pekerjaan putrinya, Bisanti di Delhi. Di sebuah perkampungan
6
kumuh di Kalkuta, seorang sumber yang tidak mau menyebutkan namanya mengatakan telah menjual hingga 200 anak per tahun9. Kondisi human trafficing di India telah begitu memprihatinkan. Kerangka hukum India dalam hubungannya dengan traffiking masih lemah dan cacat. Meskipun terdapat banyak aturan perundang-undangan, konvensi internasional dan nasional, dan proses hukum yang jelas yang didesain menjamin para pelanggar dituntut dan para korban trafficking dilindungi atau diberi kompensasi, namun kerangka hukum tersebut terkendala oleh beberapa kelemahan, termasuk tingkat korupsi yang sangat besar, sektor penegakan hukum yang kelebihan beban dan layanan perlindungan yang lemah Sementara
terdapat
banyak
hukum
nasional
India
yang
dapat
mengkriminalkan para pembeli, pedagang dan pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari perdagangan ini, namun kegagalan selalu menjadi bagian dari upaya penyelesaian ini. Bagaimanapun, persoalan yang terbesar adalah pada pelaksanaan hukum. Ketika hukum diimplementasikan, hukumannya tidak cukup menghalangi trafficking atau memberikan hukuman yang setimpal. Di tingkat pemerintah pusat, terdapat perbedaan usaha karena beragamnya kepentingan dalam TIP pada beberapa departemen dan kementrian.10 Pemerintah India belum benar-benar memanfaatkan ketentuan-ketentuan dalam ITPA (The Immoral Trafficking Prevention Act) untuk membangun
9
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/01/09/mgcdd1-kasus-perdagangan-anak-di-india-memprihatinkan 10 Sadika hameed, Sandile Hlatshwayo, Evan Tanner, Meltem Turker, and Jungwon Yang. “Human Trafficking in India: Dynamic, Current Effort, and Intervention Opportunities for the Asia Foundation”. Diakses tanggal 10 Desember 2012 dalam http://ips. stanford.edu sites/default. files.
7
pengadilan khusus bagi trafficking. Lebih jauh, tekanan utama terhadap usaha mereka hanyalah pada pencegahan dan perlindungan dengan dukungan penuntutan yang sangat minimal. Pengadilan menghadapi dua persoalan: Pertama, umumnya pengadilan kelebihan muatan kasus dan dengan demikian kasus trafficking sering berada pada acara pengadilan selama bertahun-tahun; kedua mereka kurang hati-hati dalam penilaian terhadap kasus trafficking dan seringkali justru menuntut dan menghukum korban bukan orang yang memperdagangkan korban. Demikian juga polisi kurang sensitif dan sering tidak memprioritaskan kasus trafficking sebagai sebuah pelanggaran. Mereka lebih sering mencatat kejahatan terhadap korban dibanding orang-orang yang melakukan trafficking itu sendiri.11 Situasi penegakan hukum dan peran pemerintah India yang kurang kondusif ini tentu tidak akan dapat menyelesaikan persoalan human trafficking yang semakin besar di India. Jalan satu-satunya adalah bagaimana pemerintah India menunjukkan good will nya dalam memerangi human trafficking yang jelas-jelas merupakan suatu bentuk pelanggaran yang telah diatur dalam undang-undang.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagaiu berikut: 1. Mengapa terjadi peningkatan human trafficking di India? 2. Bagaimana upaya pemerintah India dalam mengatasi human trafficking ?
11
Ibid.
8
C. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kondisi praktek human trafficking yang terjadi di India pada saat ini; menemukan faktor-faktor yang mendukung perkembangan kasus human trafficking di India; mengetahui upaya yang telah dilakukan dan kendala yang dihadapi pemerintah India dalam memerangi human trafficking dalam penegakan keamanan nasional
D. Kerangka Teori Beberapa teori
yang diambil
di bawah ini
merupakan kerangka
terpadu untuk menjelaskan human trafficking atas perempuan, dan gadisgadis dan anak-anak untuk prostitusi dan kerja paksa. Konsep human trafficking, konsep stratifikasi social, konsep pilihan rasional,
konsep
keamanan kontemporer, konsep sekuritisasi dipilih untuk menggambarkan rangkaian peristiwa human trafficking dan penyelesaiannya. Menurut Lanier dan Henry seperti dikutip Thozama & Lanier12 bahwa ketika kejahatan adalah hasil dari beberapa penyebab yang berbeda, suatu kerangka terpadu atau pendekatan penyerapan konseptual diperlukan untuk menganalisis rantai urutan peristiwa. Tujuannya adalah untuk menyajikan interaksi probabilitas
12
Lanier, M., & Henry, S. 2004. Essential Criminology. 2nd edition. United States of America: Westview Publishers. P. 343 dalam Thozama Mandisa Lutya & Lanier, Mark (TT) “An Integrated Theoretical Framework to Describe Human Trafficking of Young Women and Girls for Involuntary Prostitution” Public Health – Social and Behavioral Health www.intechopen.com. Diunduh, 15 Agustus 2014, hal. 555-557
9
dari perspektif teoritis yang berbeda yang bisa menjelaskan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pelaku kejahatan. 1. Konsep human trafficking Pasal 3
dari Protokol Palermo PBB,13 mendefinisikan human
trafficking sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan, penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau keuntungan untuk mencapai persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Definisi ini menjelaskan bahwa proses human trafficking dapat dibagi menjadi tiga komponen
yang berhubungan:
pererakan orang,
cara pengendalian
orang, dan tujuan eksploitasi. Pertama, pergerakan orang
mencakup “perkrutan, transportasi,
pemindahan, penampungan atau penerimaan orang.”
Kedua,
cara
pengendalian korban meliputi “ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk pemaksaan lain, penculikan, kecurangan, penipuan, peyalahgunaan kekuasaan atau
posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan
pembayaran atau keuntungan
untuk mencapai kesepakatan seseorang
yang memeiliki kendali atas orang lain.” Terakhir, tujuan trafficking in persons – eksploitasi– meliputi, minimal “eksploitasi prostitusi orang lain
13
United Nations. 2002. “Protocol to prevent, suppress and punish trafficking in persons, especiallywomen and children, supplementing the United Nations convention against transnational organized crime”. p.2. http://www.un.org.za Diunduh, 26/08/2014.
10
atau bentuk eksploitasi seksual lain, buruh atau kerja paksa, perbudakan ataupraktek yag sama dengan perbudakan, persembahan atau pengambilan organ.”
Hal ini juga
dinyatakan bahwa perekrutan, transportasi,
pemindahan, penampungan atau penerimaan anak child eksploitasi disebut
“trafficking in persons”
untuk tujuan
sekalipun
tidak
menggunakan cara-cara apapun yang dijelaskan di atas.14 Human Trafficking merupakan
bentuk pelanggaran hak asasi
manusia terburuk, dengan dampak yang sangat dalam. Hampir 95% korban trafficking mengalami kekerasan pisik dan seksual. Banyak korban mengalami
gangguan stress paska trauma, kecemasan, depresi
kehilangan tujuan.
dan
Perundang-undangan dan penegakan hukum yang
tidak memadai, kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang perundangundangan menjadi
tantangan dalam
menghadapi persoalan human
trafficking .15 Human trafficking bukan hanya kejadian yang mudah dibedakan dan dikenali. Sebuah proses yang komplek dan tersembunyi yang bekerja dengan sistem dan struktur illegal sehingga sulit ditelusuri dan dituntut.16 Sementara trafficker adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam proses perdagangan manusia. Seseorang dapat dianggap sebagai trafficker jika ikut ambil bagian dalam setiap proses perdagangan manusia, termasuk
14
Ibid Mishra, Eira. 2013. “Combating Human Trafficking: A Legal Perspective with Special Reference to India “ Sociology and Anthropology 1(4): 172-179, 2013 16 Elizabeth Ivana Yuko Theories, 2009. Practices and Promises: Human Trafficking Laws and Policies in Destination States of the Council of Europe. Page 5 Diunduh dari www. doras.dcu.ie/14880/2/Elizabeth_Yuko_LLM, 22 May 2015 15
11
perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang. Menurut Dewan Sidang Eropa tentang Aksi Melawan Perdagangan Manusia yang disahkan 25 negara anggota dan ditanda tangani 16 negara anggota, proses human trafficking dapat dibagi menjadi tiga komponen yakni:
pergerakan orang,
cara pengendalian orang dan
tujuan
eksploitasi.17 Pertama, pergerakan orang mencakup rekrutmen, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan orang18 pengendalian
orang/korban
mencakp
kekuasaan atau bentuk paksaan,
“ancaman
penculikan,
penyalahgunaan kekuasaan, posisi yang rentan,
Kedua,
atau
cara
penggunaan
penipuan, muslihat, pemberian atau
penerimaan pembayaran atau manfaat untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang mempunyai kendali atas orang lain.19 Terakhir, tujuan perdagangan manusia -- eksploitasi -- mencakup, minimal eksploitasi prostitusi orang lain, atau bentuk eksploitasi seksual orang lain, kerja paksa, perbudakan atau praktek yang sama dengan perbudakan, penghambaan atau pencopotan organ.20 Dalam penelitian ini digunakan beberapa pendekatan teori untuk melihat bagaimana
human trafficking bekerja dan berpengaruh pada
kehidupan manusia :
17
Ibid United Nations Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000, in Elizabeth Ivana Yuko Theories, 2009. Ibid. 19 Ibid 20 Ibid 18
12
2. Konsep pilihan rasional Menurut
Lanier & Henry (2004)21
teori pilihan rasional
mendalilkan bahwa penjahat adalah makhluk rasional yang membuat keputusan untuk melakukan kejahatan berdasarkan biaya dan manfaat yang terkait dalam proses tindakan kejahatan. Proses pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan kejahatan didasarkan pada kehendak bebas, yang memerlukan pengamatan adanya peluang, keadaan dan situasi yang dapat mempengaruhi tindakan kejahatan yang direncanakan secara sukses. Sedangkan
menurut
Brown,
Esbensen
dan
Geis,
(2008)22
pengambilan keputusan rasional terkait kejahatan melibatkan pilihan korban yang ditentukan oleh jenis kejahatan, modus operandi, di mana dan kapan melakukan itu dan apa yang dilakukan setelah itu. Itu berarti pelaku kejahatan pertama kami mungkin mengamati aksesibilitas calon korban, lokasi, waktu yang paling rentan bagi korban, metode yang tepat yang dapat memberikan jalan masuk yang mudah dan bagaimana melindungi perbuatan kriminal mereka dari otoritas peradilan pidana dan pemberi perlindungan lain yang memiliki kapasitas. Namun, beberapa ahli teori rasional berpendapat bahwa pelaku kejahatan berbeda dalam pilihan yang mereka ambil berdasarkan persepsi, motif, keterampilan dan kemampuan mereka untuk membaca peluang 21
Op.cit. hal. 557 Brown, S.E., Esbensen, F., & Geis, G. 2007. Criminology: Explaining crime and its context. Sixth Edition. Cincinnati: Anderson Publishing. p. 213, Ibid hal. 557 22
13
sebagai situasi yang memandu keputusan mereka menjalani proses. Teori pilihan rasional
yang
mendasari pengambilan keputusan rasional,
kehendak bebas, biaya dan manfaat membantu membangun kerangka terpadu untuk menjelaskan human trafficking terhadap perempuan, anak perempuan dan anak-anak untuk tujuan prostitusi dan kerja paksa.23
3. Konsep Stratifikasi Masyarakat Menurut Soerjono Soekanto24, dilihat dari sifatnya, stratifikasi sosial dibedakan menjadi sistem stratifikasi sosial tertutup, sistem stratifikasi sosial terbuka, dan sistem stratifikasi sosial campuran. a. Stratifikasi sosial terbuka Stratifikasi ini bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Setiap orang memiliki kesempatan berusaha untuk menaikkan, menurunkan, maupun menstabilkan statusnya. Sebagai contoh,
seorang miskin karena usahanya bisa
menjadi kaya, atau sebaliknya. Seorang yang rendah tingkat pendidikannya dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dengan usaha yang gigih. b. Stratifikasi sosial tertutup 23
24
Ibid Soekanto, Soerjono 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers. hal. 202.
14
Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas (perpindahan) dari satu lapisan ke lapisan sosial yang lain. Dalam sistem ini, satu-satunya kemungkinan untuk masuk pada status tinggi dan terhormat dalam masyarakat adalah karena kelahiran atau keturunan. Sebagai contoh,
sistem kasta di
India. Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana. Rasialis. Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih. 4. Konsep keamanan kontemporer Paska berakhirnya perang dingin, studi keamanan internasional mengalami banyak perkembangan. Salah satu paramaternya adalah subjek studi keamanan internasional sekarang mengalami pergeseran yang awalnya hanya seputar isu-isu militer dan keamanan nasional, kini bergeser keisu-isu yang lebih luas yang selama ini jarang tersentuh seperti keamanan
manusia,
keamanan
lingkungan,
dan
struktur
snsial
(perekonomian dunia dan berbagai jenis identitas kolektif)25. Studi keamanan dengan pilihan objek yang luas inilah banyak disumbang oleh pemikir-pemikir mahzab Copenhagen dimana sangat kental dipengaruhi pendekatan konstruktivis. Dalam hal ini penulis mencoba menggunakan salah satu karya mereka sebagai referensi dalam melihat permasalahan human trafficking yang terjadi di Asia Tenggara.
25
Buzan, Barry and Lene Hansen. The Evolution of International Security Studies.
Hal 384
15
Salah satu karya Buzan, Weaver, dan Wilde, Security, A New Framework for Analysis (1998) penulis jadikan salah satu rujukan pemahaman tentang konsep keamanan baru. Buku ini secara umum melihat studi keamanan dari sudut pandang lain yaitu dengan melihat bahwa semakin kompleksnya permasalahan keamanan26 serta perlunya sekuritisasi27 terhadap permasalahan keamanan kontemporer. Selanjutnya dalam buku ini memaparkan dinamika keamanan yang dilihat dari berbagai sektor seperti militer, ekonomi, politik, lingkungan, dan sosial. Secara umum dijelaskan bahwa sektor-sektor tersebut menunjukkan lokasi dimana dinamika keamanan terjadi, apakah di tingkat lokal, regional atau global. Sebagai gambarannya adalah isu-isu di sektor sosial, politik dan militer banyak dipengaruhi kompleksitas keamanan di tingkat regional, isu ekonomi di tingkat global dan isu lingkungan terangkum dalam isu keamanan lokal dan global28. Beragamnya sektor yang ditunjukkan oleh Buzan langsung mempertanyakan kembali pendefinisian tentang konsep keamanan itu sendiri. Keamanan menurut Buzan dilihat sebagai permasalahan yang kompleks, atau dikenal sebagai security complex. Secara umum security complex didefinisikan sebagai, “a set of states whose mayor security preemptions and concerns are so interlinked that their national security
26
Buzan, Barry. People, States & Fear an Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Area 2nd. Hal 187-202 27 Buzan, Waever, Wilde. Securitization A New Framework for Analysis. Hal 23-29 28 Ibid . hal 166
16
problems cannot reasonable be analyzed or resolved apart from another”29. Dari pernyataan tersebut dapat difahami bahwa Buzan melihat permasalahan keamanan sesungguhnya merupakan persepsi negara terhadap isu keamanan yang oleh Buzan banyak digunakan untuk menjelaskan dinamika keamanan di tingkat regional. Dinamika keamanan tersebut dapat dilihat melalui pola hubungan saling ketergantungan antar negara dalam suatu kawasan. Pola hubungan ini yang digambarkan oleh Buzan sebagai pola amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) serta distribusi power diantara negara-negara utama (principle actors). Sedangkan menurut Waever bahwa, “security is about survival”30 terlihat jelas bahwa untuk mencapai survival negara dapat melakukan apa saja. Dalam artian Weaver meyakini bahwa, konsep mengenai keamanan merupakan bentukan negara yang dapat dipolitisasi oleh negara sehingga dapat mendefinisikan ancaman yang dihadapi. Bahwa setiap sektor (militer, politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan) memiliki problematika keamanan yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Lebih lanjut, Waever melihat bahwa dalam permasalahan keamanan perlu adanya sekuritisasi. Sekuritisasi dapat dimaknai sebagai politisasi secara ekstrim terhadap sebuah isu sehingga menjadi isu keamanan. Dalam proses sekuritisasi, negara memegang peranan penting untuk 29 30
Ibid hal 12 Ibid hal 21
17
mendefinisikan apakah suatu isu tergolong sebagai ancaman keamanan atau tidak. Unsur proses politik daJam tahapan sekuritisasi juga menunjukkan besarnya peran negara untuk campur tangan dalam permasalahan-permasalahan yang awalnya bukan urusan negara dan menjadikannya permasalahan keamanan negara. Melalui sekuritisasi sebuah isu dipindahkan dari realm normal politics kedalam real emergency politics yang memungkinkan isu tersebut untuk ditindakianjuti secara cepat tanpa peraturan normal (demokratis) dan tanpa aturan-aturan pembuatan keputusan lainnya31. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan tindakan sehubungan dengan suatu isu tertentu yang kemudian diartikan secara berbeda oleh securitizing actors. Masalah keamanan kemudian menjadi sebuah konstruksi sosial. 5. Konsep Sekuritisasi Sekuritisasi
dipahami
sebagai
sebuah
proses
politik
untuk
menjadikan suatu masalah/isu yang sebelumnya bukan masalah/isu militer menjadi masalah keamanan dengan melihat isu tersebut dari sudut pandang keamanan (security), sehingga isu tersebut dijadikan sebagai agenda nasional suatu negara (bahkan agenda global). Teori sekuritisasi dalam kajian hubungan ternasional tergolong konsep baru yang berkaitan dengan power of idea yang dipahami sebagai kemampuan untuk memproduksi dan menghasilkan sebuah discourse untuk mempengaruh pihak lain. Selain unsur power of idea, unsur yang juga berperan dalam 31
Rita, Taureek. Securitization Theory-The Story so far : Theoritical inheritance and what it means to be a post-structural realist. Paper for presentation at the at the 4th annual CEEISA convention University of Tartu, 25 -27 June 2006
18
sekuritisasi adalah speech act, yaitu kemampuan melakukan sosialisasi ide untuk menentukan tipologi ancaman suatu negara. Dalam pandangan Buzan dan Weaver, “A speech act is interesting because it holds the insurrecting potential to break the ordinary, to establish meaning that is not already in the context. It reworks or produces a context by the performative success of the act”32 Argumen utama dalam
teori
sekuritisasi adalah keamanan
merupakan produk speech act atau dalam istilah Weaver, “it is by Pessimistic Contructivist on labelling something a security that is becomes one”33 oleh pelaku sekuritisasi atau biasa disebut aktor sekuritisasi. Aktor sekuritisasi dapat menyatakan sebuah obyek tertentu (refferent object) dalam kondisi terancam sehingga dibutuhkan tindakan untuk menjamin kelangsungan hidup obyek tersebut. Kemudian isu tersebut bepindah dari isu biasa menjadi isu darurat yang harus segera ditangani secepatnya. Itu sebabnya speech act merupakan elemen terpenting dalam sekuritisasi sebuah isu. Dalam memahami speech act, terdapat tiga unit analisis, yaitu : a. Referent objects: things that are seen to be existentially threatened and that have a legitimate claim to survival b. Securitizing actors: actors who securitize issues by declaring something - a referent object - existentially threatened. c. Functional actors: actors who affect the dynamics of a sector. Without being the referent object or the actor calling for security on behalf of
32
Weaver, Ole. The UE as a Security Actors: Reflection from Pessimistic contructivist on Post Sovereign Security Orders. Hal 286 33 Weaver dalam Taureck, Rita. Security Theory - The Story so far - Theoretical inheritance and what it means to be a post-structural realist. Hal 3
19
the referent object, this is an actor who significantly influences decisions in the field of security.34
Refferent object, adalah obyek yang akan dijadikan sebagai sebuah isu keamanan. Obyek tersebut dipandang sebagai obyek yang mendapat ancaman sehingga perlu untuk mendapat jaminan keamanan Securitizing actors, adalah aktor yang melakukan speech act terhadap refferent object yang di sekuritisasi. Aktor sekuritisasi membuat argumen atau pernyataan tentang ancaman terhadap suatu obyek. Aktor sekuritisasi biasanya kepala negara atau pemerintahan dan organisasiorganisasi regional maupun internasional. Functional actors, adalah aktor yang mempengaruhi dinamika tentang keamanan, dalam hal ini keberadaan aktor inilah yang sebenarnya sangat berpengaruh pada munculnya isu keamanan terhadap sebuah obyek. Dalam kasus human trafficking, functional actors-nya adalah individu-individu, NGO atau LSM yang concern terhadap permasalahan human trafficking seperti organisasi buruh, perlindungan anak, wanita, migrasi, dsb. Ketiga unit analisis diatas yang akan menjadi kerangka dasar dalam menjelaskan sekuritisasi human trafficking di Asia Tenggara. Dari ketiga komponen tersebut pula, penulis juga akan menganalisis perkembangan human trafficking setelah disekuritisasi.
34
Op.cit, hal 36
20
E. Metode Penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, artinya menggambarkan fakta (dari suatu fenomena) yang sebenarnya dengan berlandaskan pada data yang diperoleh. Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini menggunakan sistem teknik pengumpulan data sekunder melalui metode library research atau studi kepustakaan. Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan, menelaah, dan menganalisa berbagai tulisan dari internet, buku-buku, surat kabar dan majalah,- jurnal, artikel, web site maupun berita yang relevan dengan peran pemerintah dan NGOs dalam memerangi human trafficking di India. Peranan dari pemerintah India yang terus mengupayakan pemberantasan human trafficking memang belum menemukan titik terang, dan human traffcking di India terus menunjukan peningkatan yang sebagaimana diketahui bahwa India adalah negara asal, negara transit, dan negara tujuan dari human trafficking itu sendiri.
F. Jangkauan Penelitian Jangkauan penulisan skripsi ini adalah pada tahun 2002 yakni setelah disahkannya UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children, Suplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, sampai sekarang. Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah untuk mengetahui sejauh mana peran dan usaha yang dilakuakan pemerintah India dalam menjalankan
21
protokol PBB dalam memerangi human trafficking. Undang-undang yang sudah dibuat Pemerintah India sendiri dalam mendukung protocol PBB sekaligus untuk mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah India dalam memerangi human trafficking.
G. Sistematika Penulisan. Penyajian pembahasan dalam skripsi ini disusun dalam lima bagian, yaitu: BAB I
Merupakan uraian dari alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka pemikiran, metode penelitian, tujuan penulisan, jangkauan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
Mengulas kondisi human trafficking yang terjadi di India dan dampak yang ditimbulkan akibat praktek human trafficking
BAB III
Menguraikan faktor-faktor pendukung perkembangan kasus human trafficking di India.
BAB IV
Upaya-upaya dan kendala yang dihadapi pemerintah India dalam memerangi human trafficking
Bab V.
Penutup memuat kesimpulan penelitian
22