1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekian banyak para cendekia dan pengamat memandang bahwa persoalan penegakan hukum khususnya dalam penanganan perkara yang lemah menjadi penyebab utama keterpurukan negara Indonesia dewasa ini. Hal ini tidak dapat dipungkiri apabila melihat fenomena yang terjadi seperti isu penanganan perkara yang bersifat tebang pilih, kurangnya political will dan moral hazard dari pemegang kekuasaan serta belum harmonisasinya seluruh ketentuan perundangundangan yang ada. Lebih dari itu, maka mudah ditebak bahwa akhir dari penegakan hukum tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Dampak dari semua itu tentu membawa keterpurukan negara yang berkepanjangan dalam berbagai segi, diantaranya rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan meningkatnya pengangguran, dan kemiskinan yang pada akhirnya memicu peningkatan angka kriminalitas. Di samping itu, dampak lainnya antara lain adalah relatifnya rendahnya tingkat kompetisi perdagangan, dan kurangnya insentif yang menyebabkan iklim berusaha tidak dapat berjalan secara kondusif. Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap perkembangan hukum terutama hukum dagang yang merupakan roda penggerak perekonomian. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan Negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang perekonomian lainnya mendekati Negara-
2
negara maju. (Convergency). Dalam rangka menyesuaikan dengan perekonomian global, Indonesia melakukan revisi terhadap seluruh hukum ekonominya. Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa perubahan terhadap hukum ekonomi Indonesia dilakukan juga karena tekanan dari badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan Worl Bank. Bidang hukum yang mengalami revisi antara lain adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan sendiri merupakan warisan dari pemerintahan Kolonial Belanda yang notabenenya bercorak sistem hukum Eropa Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam hukum ekonomi mendapat pengaruh yang cukup kuat dari sistem hukum Anglo Saxon. Pada
dasarnya
Kepailitan
dapat
terjadi
karena
makin
pesatnya
perkembangan perekonomian dan perdagangan dimana muncul berbagai macam permasalahan utang piutang yang timbul dalam masyarakat. Begitu juga dengan krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitas besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatan usahanya. Mempelajari perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari kondisi perekonomian nasional khususnya yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga Konsultan (think tank) Econit Advisory Group, yang menyatakan bahwa tahun 1997 merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A Year of Uncertainty). Sementara itu, Tahun 1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of Correction).
3
Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US $ dari sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5000,00 per US $ pada akhir tahun 1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00 per US $. Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6 – 7 % telah terkontraksi menjadi minus 13 – 14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami kebangkrutan (Pailit). Pada umumnya, secara teoritik debitor yang memiliki masalah utang piutang berkaitan dengan kemampuan membayar utang, menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Mereka dapat merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian atau seluruhnya. Mereka dapat pula menjual sebagian aset atau bahkan usahanya, serta dapat pula mengubah pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Selain kemungkinan tadi, debitor dapat pula merundingkan permintaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebagai upaya terakhir barulah ditempuh melalui proses kepailitan.1 Permohonan pernyataan pailit terhadap debitur baik badan usaha asing maupun badan uasaha Indonesia dapat dipandang sebagai alat penagih utang yang 1
Bambang Koeswoyo, Perpu No. 1 Tahun 1998, Latar Belakang dan Arahnya dalam: Rudhy A. Lontoh, S.H, Et.al, hlm 101
4
efektif oleh kreditur, karena debitur baik badan usaha asing maupun badan usaha Indonesia sebagai subjek Termohon Pailit, akan lebih cenderung untuk membayar utangnya terhadap krediturnya guna menghindarkan diri dari ancaman permohonan penyataan pailit yang diajukan oleh kreditur ke Pengadilan Niaga yang berwenang.2 Di Indonesia, pengaturan kepailitan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda tahun 1905 dengan diberlakukannya S.1905-217 juncto S.1906-348. kemudian pada tanggal 22 April 1998 dikeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan, Perpu ini mulai berlaku setelah 120 hari diundangkan. Perpu Kepailitan tersebut kemudian telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.3 Dalam perkembangan saat ini Undang-Undang Kepailitan masih dirasa belum memenuhi tuntutan perkembangan kasus-kasus yang terjadi, atas dasar hal tersebut kemudian diadakan perubahan lagi terhadap Undang-Undang Kepailitan menjadi UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Diundangkannya Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tanggal 18 Oktober 2004, diharapkan dapat memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum 2
Daniel Suryana, Hukum Kepailitan, Kepailitan Terhadap Badan Usaha Asing Oleh Pengadilan Niaga Indonesia, (Bandung: Pustaka Sutra, 2007), hlm. 8 3 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, 1998, hlm. 5-6
5
masyarakat, Namun ternyata masih terdapat hal-hal penting yang belum mampu diselesaikan dari Undang-Undang ini, misalnya mengenai persinggungan kewenangan antara pengadilan negeri dan pengadilan niaga. Sebab UndangUndang Kepailitan dan PKPU menegaskan dalam Pasal 300 ayat (1): “Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang.” Kemudian dalam Pasal 31 ayat (1) disebutkan: ”Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor. ” Kedua Pasal tersebut dapat diketahui pengadilan niaga berwenang menangani perkara kepailitan. Kepailitan adalah sebagai jalan terakhir atau seharusnya hanya menjadi ultimo remedium yang dalam buku karya Sutan Remy Sjahdeini, dimana suatu kepailitan hanya dpat dijatuhkan apabila tidak ada lagi cara lain untuk membereskan kewajiban Debitor kepada Kreditor, dan bahwa kepailitan hanya merupakan satu-satunya cara untuk membereskan kewajiban pembayaran
6
tersebut.4 Oleh sebabitu pailitnya atau dipailitnya suatu perusahaan merupakan ultimum remedium. Dalam Undang-Undang Kepailitan tidak ditemukan dengan jelas ukuran atau batasan-batasan
bentuk kerugian terhadap harta pailit atas tindakan kurator.
Sementara itu, pada umumnya semua pihak yang berkepentingan terhadap harta pailit cenderung akan merasa merugi melalui penyelesaian permasalahan utangpiutang yang diakhiri dengan kepailitan. Hal ini disebabkan karena biasanya para kreditor itu memiliki hak yang berbeda-beda, sehingga kita mengenal adanya istilah-istilah seperti kreditor separatis, kreditor istimewa dan kreditor konkuren. Kreditor separatis adalah Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan5. Kreditor separatis ini selain memegang hak jaminan kebendaan juga dapat bertindak sendiri. Golongan ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit Debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan Debitor6. Tagihan mereka tidak jatuh pada boedel pailit tetapi mereka dapat langsung melakukan eksekusi atas benda-benda yang menjadi jaminan bagi mereka7 Ada sedikit perbedaan antara Kreditor separatis dalam kepailitan dan PKPU. Pada prinsipnya, kepailitan maupun PKPU tidak berlaku bagi Kreditor separatis 4
Sutan Remy Sjahdeini, H.H. Hukum Kepailitan : 2002, hlm. 59 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 99 6 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: PT Raja Grafindi Persada, 2005), hal. 48 7 Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal 91 5
7
(Pasal 55 untuk Kepailitan dan Pasal 244 ayat (1) huruf a untuk Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Meskipun terhadap keduanya dikenakan kewajiban penangguhan eksekusi jaminan utang. Demikian juga pihak Kreditor separatis (termasuk Kreditor yang di istimewakan ) tidak berhak untuk ikut voting dalam perdamaian PKPU (Pasal 162 dan Pasal 151 serta Pasal 281 dan Pasal 286 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Dalam kepailitan, Kreditor separatis harus mengajukan tagihannya untuk diverifikasi tanpa harus melepaskan kedudukannya
selaku
Kreditor
preferen
(termasuk
juga
Kreditor
yang
diistimewakan). Dia tidak mempunyai hak suara dalam perdamaian, kecuali dia melepaskan haknya sebagai Kreditor separatis sehingga menjadi Kreditor konkuren (Pasal 149 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Sementara dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, Kreditor separatis mempunyai hak suara dalam perdamaian8 Kreditor seperti ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan seolah-olah tidak ada kepailitan. Dari hasil penjualan tersebut, mereka mengambil piutangnya, sedang kalau ada sisanya maka dimasukkan dalam kas Kurator sebagai boedel pailit (harta pailit). Sebaliknya bila hasil penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi, Kreditor tersebut untuk tagihan yang belum terbayar
dapat
memasukkan
kekurangannya
sebagai
Kreditor
bersaing
(konkuren)9.
8
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal 178-179. 9 Imran Nating, Op.Cit, hal. 48
8
Berkaitan dengan tanggung jawab kurator dalam melaksanakan tugasnya, dapat atau tidak dikategorikan bahwa kurator telah merugikan harta pailit akibat dari tidak terpenuhinya seluruh tagihan para kreditor khususnya kreditor konkuren, atau ada kreditor konkuren yang tidak mendapatkan pembayaran sama sekali atau tidak penuh mendapatkan pembayaran sesuai dengan jumlah tagihannya, sementara itu harta pailit sudah sedemikian adanya. Atau sebaliknya, kerugian yang dialami kreditor seperti dimaksud di atas apakah dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan atau kelalaian dari kurator dalam melaksanakan tugasnya dan dapatkah hal tersebut dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, hal ini selalu menjadi perdebatan dan tidak jarang menjadi permasalahan-permasalahan yang menghambat. Untuk itu, diperlukan contoh kasus dalam penulisan ini berkaitan dengan Perlindungan Kreditor Atas Putusan Pembatalan Pailit PT. Golden Spike Energi Indonesia Menurut Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU PKPU), Kurator adalah profesional yang diangkat oleh Pengadilan Niaga untuk melakukan pengurusan dan pemberesan.
Maksud
pengurusan
di
sini
yaitu
mencatat,
menemukan,
mempertahankan nilai, mengamankan, dan membereskan harta dengan cara dijual melalui lelang. Meski ditunjuk oleh pengadilan, Kurator tetap diusulkan oleh pemohon pailit. Namun dalam bertugas, Kurator tidak bertindak untuk kepentingan pemohon melainkan untuk kepentingan budel pailit.
9
Menghitung aset perusahaan pailit adalah salah satu tugas Kurator. Untuk itu, Kurator harus memahami betul cara membaca laporan keuangan perusahaan agar bisa mendapatkan informasi tentang harta yang menjadi kewenangannya tersebut. Tapi ingat, Kurator tidak sama dengan Auditor. Dalam bertugas, Kurator justru bisa membutuhkan Auditor. Di sini jasa independen auditor sangat diperlukan jika Kurator tidak mampu membaca laporan keuangan perusahaan. Bahkan, Kurator bisa saja mengundang appraisal atau konsultan pajak bila memang dibutuhkan. Yang pasti, itu semua menambah biaya. Padahal, Kurator harus berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menambah beban ke budel pailit agar nilai harta untuk Kreditor tidak berkurang. Dalam menghadapi Debitor nakal, misalnya. Dalam hal ini Debitor tidak mau bekerjasama dengan Kurator dalam rangka pengurusan dan pemberesan harta pailit. Bila hal demikian yang terjadi, jelas, Debitor telah melanggar Pasal 41 UU PKPU. Pasal 41 UU tersebut menyatakan, Kurator mempunyai hak untuk membatalkan seluruh tindakan-tindakan dari Debitor yang tidak seharusnya dilakukan, tapi tindakan itu merugikan Kreditor. Masalah lainnya adalah dalam suatu perkara PKPU, PT Golden Spike Energy Indonesia memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih kepada PT. Global Pacifik Energy sebesar USD 644,099.18 (enam ratus empat puluh empat ribu sembilah puluh Sembilan koma delapan belas Dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan Rp. 6.272.237.814,84 (enam miliar dua ratus tujuh puluh dua juta dua ratus tiga puluh tujuh ribu delapan ratus empat belas koma delapaan puluh
10
empat rupiah). Selanjutnya PT Golden Spike Energy Indonesia di dalam proses PKPU mengajukan Proposal Rencana Perdamaian kepada PT. Global Pacifik Energy beserta Para Kreditor lain pada tanggal 23 Januari 2013 melalui Proposal Rencana Perdamaian (Composiloan Plan) Sementara PT Golden Spike Energy Indonesia.
Penandatanganan Perjanjian Perdamaian PT Golden Spike Energy
Indonesia selaku Debitor dan PT Golden Spike Energy Indonesia selaku kreditor kunkuren beserta konkuren lainnya pada tanggal 14 Mei 2013, yang intinya PT Golden Spike Energy Indonesia sepakat membayar utang kepada PT. Global Pacifik Energy serta kreditur lainnya yang hutangnya diakui oleh PT Golden Spike Energy Indonesia, dimana PT Golden Spike Energy Indonesia dalam Perjanjian Perdamaiannya menyatakan bahwa cara pembayaran utang tersebut dengan cara mencicil secara bertahap selama 4 bulan. Pada tahap pertama pembayaran dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam perjanjian walaupun pembayarannya telat dari yang dijadwalkan PT. Global Pacifik Energy menerima dengan baik. Lalu PT. Global Pacifik Energy meminta pembayaran tahap kedua, tetapi sampai dengan lebih dari waktu yang diperjanjikan dalam Perjanjian Perdamaian pun tidak dilakukan pembayaran utang tersebut oleh PT Golden Spike Energy Indonesia. PT Golden Spike Energy Indonesia telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi isi perdamaian sebagaimana diatur dalam Perjanjian perdamaian Tanggal 14 Mei 2013 sebagaimana telah disahkan melalui Putusan Homologasi tanggal 17 Mei 2013. PT. Global Pacifik Energy dan
11
Kreditor lain menuntut pembatalan perdamaian terhadap PT Golden Spike Energy Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 295 ayat (1) Jo. Pasal 170 ayat (1) Jo Pasal 171 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Dimana isi Pasal 291 ayat (1), berbunyi: “ (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan pasal 171 berlaku mutatis mutandi terhadap pembatalan perdamaian”. Pasal 170 berbunyi: “ (1) Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut”. Pasal 171 berbunyi:” Tuntutan pembatalan perdamaian wajib diajukan dan ditetapkan dengan cara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 untuk permohonan pernyataan pailit:. Oleh karena PT Golden Spike Energy Indonesia terbukti lalai untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Perdamaian 14 Mei 2013 dan telah disahkan dalam Putusan Homologasi 17 Mei 2013, maka PT. Global Pacifik Energy beserta kreditur lainnya mengajukan permohonon kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan Perjanjian Perdamaian tersebut, dan menyatakan PT Golden Spike Energy Indonesia pailit, dikarenakan tidak puas dengan putusan Pengadilan Niaga maka PT Golden Spike Energy Indonesia mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung atas Putusan pailit tersebut, sehingga Majelis Mahkamah Agung memutuskan bahwa PT. Golden Spike Energy Indonesia menjadi tidak pailit, serta menyatakan Perjanjian Perdamaian tanggal 14 Mei 2013 tetap sah dan mengikat para pihak.
12
B. Perumusan Masalah Sehubungan dengan uraian di atas maka permasalahan yang penulis rumuskan dalam penulisan ini ialah sebagai berikut: a. Apakah putusan Majelis Mahkamah Agung Nomor 385 K/Pdt.SusPailit/2014 telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang kepailitan? b. Bagaimana penyelesaian dan tindakan dari para kreditor atas kewajibankewajiban debitor yang melakukan wanprestasi (dalam hal terdapat akta perdamaian tetapi tetap tidak dijalankan juga)?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan putusan Majelis Mahkamah Agung Nomor 385 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 telah sesuai dengan peraturan perundangundangan tentang kepailitan yang berlaku di Indonesia. 2. Untuk mengetahui prosedur penyelesaian kewajiban-kewajiban debitor yang melakukan wanprestasi dalam akta perdamaian tetapi tetap tidak dibayar juga.
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian tesis ini adalah 1. Untuk memperluas wawasan peneliti sendiri maupun para pembaca penelitian
13
ini, mengenai teori, peraturan, serta pertimbangan-pertimbangan hakim yang ada khususnya untuk Hukum Kepailitan 2. Memperoleh pengetahuan empirik mengenai penerapan-penerapan Hukum Kepailitan di Indonesia apakah dalam kasus yang serupa pertimbanganpertimbangan Majelis Hakim akan selalu sama atau sebaliknya. 3. Untuk para pihak terkait yang berkepentingan dengan penelitian ini penulis berharap bahwa penelitian ini dapat diterima dengan baik sertta diterima sebagai salah satu konstribusi untuk meningkatkan keadilan yang seadiladilnya dalam penerapan hukum di Indonesia. 4. Serta penelitian ini diharapkan dapat dijadikan panduan, rujukan, referensi, dan bacaan yang baik untuk melakukan kajian-kajian baik oleh mahasiswa maupun pihak-pihak terkait.
E. Keaslian Penelitian Penulis menyatakan secara jelas dan tegas bahwa hasil penelitian tesis ini, merupakan hasil pemikiran, penelitian, serta pemaparan asli penulis. Jika terdapat referensi terhadap karya orang lain atau pihak lain maka penulia secara jelas mencantumkan sumber referensi tersebut. Berdasarkan penelusuran kepustakaan di beberapa Universitas ditemukan penelitian, dimana diantaranya: a. Penelitian tentang “PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”, oleh mahasiswa bernama Susanti
14
dari Universitas Jenderal Soedirman Tahun 2013. Dimana penelitian tersebut mengenai Putusan Pengadilan Niaga pada PEngadilan Negeri Jakarta Pusat atas
perkara
Nomor
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst
03/Pembatalan tertanggal
28
Juli
Perjanjian 2010
tentang
“Kepailitan” antara Tomi Bungaran Cs sebagai pemohon pailit dan PT Interkon Kebon Jeruk sebagai termohon pailit yang isinya maengabulkan seluruh permohonan pemohon menyebabkan PT. Interkon Kebo Jeruk Cs merasa tidak puas PT. Intercon Kebon Jeruk kemudian mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Akan tetapi permohonan kasasi tersebut ditolak. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis membahas tentang Perlindungan Kreditor Atas Putusan Pembatalan Pailit PT. Golden Spike Energi Indonesia (Studi Kasus: Putusan Nomor: 385/K/PDT.SUS.PAILIT/2014).