BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tantangan yang dihadapi sekolah di Indonesia dalam menunaikan perannya setidaknya terakumulasi dalam tiga masalah penting, yaitu bagaimana budaya
menjadi
akar
dan
sumber
bagi
pendidikan,
pendidikan
bagi
pembangunan, dan pendidikan menghadapi kehidupan global (Tilaar, 2000 : 145, Johnson, 1969 : 262-364). Proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari budaya yang berkembang dalam masyarakat. Karena pendidikan sendiri lahir sebagai refleksi budaya dan secara timbal balik mempengaruhi perkembangan budaya itu sendiri (Brameld, 1950 : 12). Demikian juga pendidikan berperan secara dinamis dalam pembangunan. Sutisna (1977 :38-40) berpendapat bahwa pendidikan berfungsi mengubah sikap mental tradisional dan menggalakkan inovasi serta penyebaran kebudayaan seluas mungkin. Fungsi ini menjadi faktor yang sanggup mempengaruhi secara kreatif pola dan perilaku masyarakat ke arah perubahan positif sebagai bekal pembangunan. Sehingga pendidikan dalam pembangunan diyakini sebagai lembaga investasi sumber daya manusia (Investment of human capital) (Tilaar : 1995). Konsekuensi dari kehidupan global bagi pendidikan adalah kemampuan sekolah untuk memberikan kepada anak didik kesiapan dan kesadaran tentang dunia yang mereka huni. Konsep saling ketergantungan, wawasan global, dan kerjasama antar bangsa merupakan keterampilan yang perlu dikembangkan oleh sekolah dalam memasuki era global (Buchori, 1995 : 140-144). Ketika pendidikan berhubungan dengan tujuan pembangunan, maka pendidikan menjadi alat strategis memicu kesiapan pelaksana pembangunan
1
khususnya generasi muda sebagai tulang punggung. Generasi muda selayaknya dibekali dengan pengalaman belajar yang akan mempersiapkan dirinya menjadi warga negara dengan wawasan dan sikap yang benar terhadap pembangunan. Pendidikan juga perlu menciptakan kondisi yang kondusif agar nation and
character building betul-betul tercapai. Untuk menuju arah ini dalam konsep pembelajarannya, pendidikan berusaha mengembangkan kompetensi individu peserta didik sehingga mereka mampu menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan dan berpartisipasi aktif di dalamnya. Keberhasilan sebagai individu akan membentuk citra diri yang berkarakter, sumber daya manusia berkualitas, serta mempunyai pandangan yang luas dalam berbagai ilmu dan teknologi (Setjoatmodjo : 1983). Keberhasilan sebagai bangsa adalah memberikan citra positif dalam pembentukan sumber daya manusia seutuhnya serta identitas bangsa yang cerdas sehingga mampu sejajar dan berkembang dengan bangsabangsa lain (Yoshida : 2003). Selain itu pendidikan juga berhadapan dengan persoalan-persoalan yang terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada abad ke-21 kita berhadapan dengan
era pasca industri yaitu
abad
informasi dan pengetahuan (Trilling & Hood : 1999). Era informasi dan pengetahuan berpengaruh besar terhadap paradigma pendidikan. Percepatan dan perkembangan informasi dan teknologi menuntut spesifikasi khusus terutama dalam lapangan kehidupan dan berimbas pada sikap dunia pendidikan menjawab tantangan ini. Menurut Ani (2003) perkembangan ini berdampak pada cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan,
2
perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka. Fungsi dan peran sekolah di abad pengetahuan tentunya harus lebih dari sekedar transmisi budaya atau kebutuhan kekinian. Menurut Count (1978) sekolah sebagai lembaga formal dalam sistem pendidikan harus menjadi “agent
of change” dan dapat menggerakkan aturan sosial baru menuju masyarakat yang madani. Menurut Buchori (2001) pendidikan saat ini haruslah bersifat antisipatoris, yaitu mempersiapkan peserta didik untuk hidup di masa depan. Pendidikan juga menurut Suryadi (2000) tidak hanya sebagai sektor pelayanan publik tetapi menuju perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produktif yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang. Pendidikan harus mampu mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan, dan bahkan pendidikan menjadi faktor yang dapat menggerakkan atau mengarahkan perubahan. Pembelajaran sejarah sebagai proses tak terpisahkan dari proses pendidikan perlu melakukan antisipasi untuk mengimbangi tuntutan tersebut. Pendidikan sejarah menghadapi tantangan yang tidak mudah di tengah-tengah percepatan teknologi dan informasi terkini. Pendidikan sejarah sebenarnya memiliki posisi yang sangat penting untuk menangkis setiap persoalan yang muncul akibat percepatan ini. Jika penulis mencermati posisi pendidikan sejarah kaitannya dengan hakekat dari tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan sejarah berada pada posisi dan peran yang strategis.
Peran
tersebut akan
bermanfaat jika pendidikan sejarah memusatkan perhatian pada pendidikan
3
karakter dan mampu membentuk siswa menjadi manusia yang peduli pada pembangunan dan penataan masyarakat yang lebih baik. Perubahan sosial yang begitu cepat pada abad pengetahuan dan informasi menjadi perhatian penuh bagi lahirnya inovasi pembelajaran sejarah yang bermakna. Pembelajaran sejarah harusnya diperbaharui agar mampu menyiapkan para peserta didik mengantisipasi dan beradaptasi dengan lincah ke masa depan (Ismaun, 2001 : 97). Menurut Rochiati (2002 : 296), konsekuensi dari tuntutan tersebut cara-cara belajar sejarah pun perlu didesain sedemikian rupa agar hidup dan berjiwa. Namun
persepsi
yang
berkembang
dalam
masyarakat
tidaklah
menggembirakan. Fungsi dan tujuan pendidikan sejarah mulai dipertanyakan. Pendidikan sejarah dianggap tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai pembelajaran untuk menumbuhkan memori kolektif bangsa dan membentuk generasi muda kita menjadi warga negara yang baik. Dalam pengertian tertentu, pendidikan sejarah telah kehilangan “jati dirinya” dan hanya sebagai pelengkap pembelajaran yang lainnya ( Angkasa : 2003). Kenyataan di lapangan, pendidikan sejarah tidak pernah lepas dari berbagai kritik yang menggugat bahwa studi sejarah tidak cukup tangguh menghadapi berbagai kepentingan eksternal (politik) sehingga menyebabkan pelajaran sejarah selalu diakomodasi bukan untuk kemajuan masyarakat tetapi dimanfaatkan secara instrumental untuk kepentingan ideologi kekuasaan secara berlebihan (Widja : 2002). Sejumlah fakta tentang pembelajaran sejarah juga turut menempatkan pendidikan sejarah pada posisi yang tidak menyenangkan. Siswa misalnya memiliki kemampuan rendah dalam mengapresiasi pengalaman
4
berharga yang terjadi pada masa lampau . Kondisi ini terjadi karena beberapa alasan. Menurut Hasan (1996 : 129-131) selama ini pendidikan sejarah sebagai bagian dari pendidikan ilmu-ilmu sosial lebih menitikberatkan pada pemahaman konsep-konsep belaka berdasarkan teori keilmuan. Pendidikan sejarah sebagai pembentuk pribadi siswa, agar siswa betulbetul memahami dan mengerti dirinya sebagai manusia, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai bagian dari komunitas sosial dunia, tidak akan cukup hanya dengan mempelajari sejarah semata-mata dari segi disiplin ilmu. Pengajaran sejarah yang lebih mementingkan keilmuan saja akan mereduksi hakekat peristiwa sejarah sebagai masa yang tidak berdiri sendiri. Kesadaran dan pemahaman siswa tidaklah sebatas peristiwa sejarah dalam arti perubahan, keberlangsungan, dan kausalitas semata, tetapi bagaimana agar ketiga hal yang esensial dalam sejarah tersebut menyadarkan siswa sebagai pribadi yang hidup dalam lingkungannya, mampu menata masyarakat sekarang secara lebih baik berdasarkan empati dan apresiasinya terhadap pengalaman sejarah (Sjamsuddin, 1999 : 14-16). Perkembangan masyarakat kini membutuhkan generasi muda yang mampu berpikir kritis, analisis, dan memiliki kepekaan sosial, sikap mandiri dan bertanggungjawab, serta kemampuan inovatif untuk memperbaiki tatanan lama dan membentuk tatanan masyarakat baru. Karenanya Hasan (2002) menjelaskan perlu penerapan filsafat rekonstruksi sosial dalam kurikulum pembelajaran sejarah agar tercipta harapan untuk merubah masyarakat dan memenuhi kebutuhan life skill dalam diri siswa. Masalah lain yang menyebabkan sejarah kurang diminati oleh peserta didik adalah adanya kultur yang tidak memberi peluang bagi siswa untuk
5
berkreasi dan berapresiasi. Menurut Wiriaatmadja (2002 : 158) selama ini “budaya diam” dan dominasi guru dalam kelas menyebabkan siswa tidak terlatih dan bergairah untuk mengekspresikan penghayatannya secara vokal. Situasi belajar yang terpusat pada guru diperparah oleh luasnya cakupan materi belajar, tumpang tindihnya bahan dengan pengajaran lain yang sejenis, dan ketersediaan buku teks yang hanya bersifat informatif. Pandangan bahwa pembelajaran sejarah adalah “nothing but facts” menghasilkan kondisi kelas sejarah yang pasif dan membosankan. Kegiatan siswa hanyalah duduk, mendengarkan dan kemudian mengulang informasi jadi yang disampaikan guru. Memorisasi sejarah seperti ini dikarenakan materi sejarah yang dipelajari adalah materi yang sudah jadi. Informasi tentang faktafakta sejarah dan interpretasinya bukanlah merupakan hasil dari aktivitas siswa tetapi lebih sebagai sesuatu yang “diberikan”. Namun tantangan utama yang dihadapi dalam pendidikan sejarah adalah bagaimana agar pembelajaran sejarah dapat menjembatani makna yang terjadi pada masa lalu untuk kepentingan masa sekarang dan nanti. Menurut Mansilla (2000, 390-393) hubungan antara masa lalu dengan peristiwa sekarang dalam pendidikan sejarah seringkali diabaikan. Kesenjangan makna antara masa lalu sebagai sejarah yang dipelajari oleh siswa dengan persoalan masa kini menyebabkan “keterasingan” dan “keterpaksaan” siswa belajar sejarah. Kesadaran sejarah tentang perubahan dan perkembangan dalam garis waktu yang linier dan berkelanjutan antara masa lalu, sekarang, dan yang akan datang sangat penting dipahami siswa. Kesadaran ini memungkinkan siswa
6
belajar berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan sekarang dengan merujuk pada pemahaman dan wawasan historis.
Lalu bagaimana guru merancang dan mempersiapkan pembelajaran sejarah yang menyenangkan dan bermakna tersebut ? bagaimana pendidik membangun pembelajaran sejarah yang berorientasi pada kemampuan siswa yang aktif dan kritis serta mampu memanfaatkan hakekat dan konsep sejarah dalam persoalan-persoalan nyata di masyarakat? Teori pendidikan memberikan peluang bagi guru untuk mencari alternatif pembelajaran yang representatif bagi tujuan tersebut. Teori pendidikan memberi arahan dan pedoman terhadap praktek, sehingga tindakan-tindakan guru dalam mendesain dan melaksanakan pembelajaran dapat dipertanggungjawabkan. Karena
alasan
inilah
penulis
mencoba
menerapkan
sebuah
alternatif
pembelajaran yang berbasis pada sebuah teori pendidikan khususnya teori belajar. Dalam penelitian ini penerapan learning by doing sebagai sebuah teori belajar menjadi pilihan penulis dengan sejumlah asumsi. Pertama, learning by
doing memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar. Konsep dasar learning by doing berakar pada persepsi pembelajaran berpusat pada siswa (child-centered education), belajar adalah berbuat sesuatu dan menghasilkan karya. Pandangan dasar ini menempatkan siswa sebagai subyek dan pelaku belajar. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing belajar. Kedua, prinsip-prinsip pembelajaran yang tersurat dari teori ini memberi
peluang bagi siswa mengaktualisasikan
kemampuan pikiran dan mentalnya secara maksimal melalui cara-cara belajar
7
yang bertanggungjawab berbasis pengalaman. Belajar adalah sesuatu yang bersifat real karena terhubung dengan kebutuhan siswa. Siswa belajar beradaptasi dengan lingkungan dan belajar menghadapi
persoalan-persoalan
yang timbul karenanya . Pada hakekatnya belajar adalah memberi kondisi pada siswa untuk mengembangkan keingintahuan dan rasa penasaran terhadap sesuatu sehingga memunculkan keinginan untuk menyelidiki. Guru berkewajiban menyediakan peluang dan kondisi untuk belajar dan berekspresi, agar siswa mampu melakukan hal itu. Ketiga, dengan teori ini, maka pembelajaran akan menuju pembentukan siswa yang berkarakter, mandiri dan bertanggung jawab, baik
sebagai
individu,
kelompok,
maupun
anggota
masyarakat.
Proses
pendidikan yang berlangsung di sekolah merupakan cermin aktivitas masyarakat. Kelas adalah masyarakat kecil yang mempersiapkan siswa menjadi individu yang peduli terhadap perkembangan lingkungannya. Segala sesuatu yang penting terjadi
di masyarakat haruslah menjadi bahan belajar bagi siswa. Belajar
ditujukan pada pembekalan siswa menjadi anggota masyarakat yang baik. Teori belajar learning by doing bersumber pada landasan filosofis pragmatis pendidikan John Dewey (1859-1952). Persepsi utama Dewey tentang belajar adalah pembelajaran berbasis pengalaman. Sebagai seorang filsuf dan pendidik, Dewey menolak metode pengajaran yang otoriter dan berpendapat bahwa pendidikan adalah sesuatu yang terintegrasi dengan pengalaman hidup (Emand & Fraser : 2000). Dalam karyanya yang terkenal “Democracy and
Education (1916)” Dewey mengatakan bahwa “education is life itself”. Dewey memberi arti yang besar pada pengalaman karena pengalaman dianggap penting bagi perjuangan hidup. Pengalaman dapat menghubungkan orang dengan masa
8
lalu dan masa datang (Iman, 2004 : 66). Demikian juga siswa akan mendapatkan pembelajaran terbaiknya melalui pengalaman dan aktivitas daripada kegiatan mengingat. Melalui pendapat inilah Dewey (1907 : 11) beranggapan bahwa proses belajar haruslah bertumpu pada apa yang dibutuhkan anak dan masyarakat. Belajar adalah pengalaman tentang hidup dan bagaimana
anak
beradaptasi
dengan
lingkungannya.
Karenanya
sumber
pembelajaran pun bersumber pada persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Sekolah menurut
Dewey
merupakan kehidupan mikrokosmis
dari
komunitas sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat (Eakin : 2000). Karenanya proses
pendidikan berlangsung atas dasar pengalaman-pengalaman yang
dicontohkan dan terjadi dalam masyarakat. Dewey menjelaskan bahwa siswa berkembang ketika dihadapkan pada tantangan untuk memperbaiki atau menyelesaikan masalah tertentu. Siswa melakukan pengamatan, mencoba berbagai solusi, dan belajar dari setiap usaha untuk memperbaiki lingkungan. Sebagai manusia, siswa adalah bagian dari masyarakat, dan keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Salah satu pendekatan belajar yang digunakan oleh Dewey dalam rangka
learning by doing adalah pembelajaran berbasis pemecahan masalah atau Problem solving learning (Dewey : 1933). Pendekatan belajar ini berasal dari konsep metode ilmiah yang kemudian diterapkan untuk tujuan belajar. Dewey sendiri menyebut pendekatan belajar ini sebagai “metode reflektif” (Dewey : 1933). Dalam metode ini, siswa pertama-tama mengenal masalah, dan kemudian merumuskan masalah dan hipotesis sebagai jawaban atau solusi sementara.
9
Setelah itu siswa melakukan investigasi. Melalui refleksi dan eksperimen, jawaban sementara ini kemudian diuji kebenarannya sehingga akhirnya siswa dapat membuat kesimpulan. Pendekatan problem solving merupakan cara belajar yang melatih siswa memiliki kepedulian sosial dengan cara mengembangkan kemampuan berpikir analitis dan kritis. Metode belajar tersebut melatih siswa bersikap aktif untuk menggali masalah, mencari solusi, dan melakukan kolaborasi kelompok untuk membangun
kesimpulan
dan
tindakan.
Cara
belajar
ini
membutuhkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi dan melibatkan berbagai kemampuan belajar lain
seperti
diskusi,
membaca
data,
menulis
laporan,
membuat
ikhtisar/rangkuman, kepekaan terhadap situasi sosial dan kemampuan kolaborasi (kerjasama kelompok) (Shepherd : 2000). Pendekatan belajar problem solving menurut Shepherd (2000) juga merupakan antisipasi dalam inovasi proses pendidikan untuk men-cover kecenderungan era teknologi informasi. Saat ini ledakan informasi yang begitu besar dan cepat menuntut kita terampil dan kritis memilih informasi mana yang layak dan berharga untuk dimanfaatkan. Perkembangan tersebut juga merubah paradigma pendidikan yang meliputi kurikulum, pembelajaran, dan assesmen. Dari aspek pembelajaran dan asessmen, model problem solving adalah alternatif pembelajaran yang bersifat inovatif-kreatif dan antisipatif terhadap perubahan paradigma pendidikan dan diharapkan dapat
memfasilitasi
siswa untuk
membangun melalui pengalaman belajar. Bagaimanapun problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki peserta didik ketika mereka
10
meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas dunia nyata, baik sebagai individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat. Walaupun berasal dari metode sains, namun pendekatan problem solving bisa dikembangkan dalam pembelajaran sejarah. Dalam perkembangan inovasi pendidikan sejarah di Amerika periode 1920-an, pendekatan pemecahan masalah mulai digunakan sebagai salah satu pilihan model belajar sejarah berdasarkan aplikasi teori belajar modern (Osborne : 1989). Kesadaran akan perlunya inovasi pendidikan sejarah bermula dari kenyataan kualitas pembelajaran sejarah di kelas. Para pendidik dan sejarawan disudutkan pada posisi pendidikan sejarah sebagai cabang dari humaniora dan kurangnya sejarah dari aktivitas intelektual. Pendidikan sejarah karenanya hanya membutuhkan latihan ingatan. Untuk merubah persepsi tersebut diperlukan usaha membuktikan bahwa studi sejarah juga menuntut kemampuan ilmiah-akademik dan intelektual, seperti subjek lainnya, yaitu matematika atau ilmu alam. Seperti yang diungkapkan oleh Martin (1917 : 225) :
The Student’s task is not merely to know the facts, but understand them. The study of a series of historical problems throughout a period – the writing of essay upon them based upon as wide a range of evidence as posibble – was designed to bring to history the methods long since taken for granted in scientific subjects. Books are the apparatus; varying or conflicting views are the reagents; the experiment supplied not by the awkward manipulation of the students but from the recorded experience of the past. Teori Dewey dalam proses belajar yang berorientasi proses dan pengalaman menjadi salah satu acuan untuk meningkatkan kualitas belajar sejarah dan pengalaman belajar sejarah siswa. Dewey memberikan solusi untuk menciptakan pembelajaran sejarah yang aktif dan bermakna dengan cara “doing
it”. Implementasinya dalam kelas sejarah adalah bahwa “new teaching history”
11
harus mampu merubah pembelajaran yang bersifat pasif dan hapalan ke arah pembelajaran bersifat aktif dengan model problem solving (Osborne : 2000). Melalui cara inilah diharapkan studi sejarah merupakan sebuah proses belajar yang menantang secara intelektual. Situasi pembelajaran berubah menjadi spontan,
bermakna,
dan
dipenuhi
oleh
aktivitas
yang
bervariasi.
Jika
pembelajaran sejarah berawal dari rumusan masalah yang harus diselesaikan, maka setiap masalah akan menuntun siswa untuk “berpikir, menghayati, dan
kemudian melakukan”. Inilah prinsip dasar yang ingin dinyatakan oleh John Dewey bahwa belajar adalah ketika siswa melakukan sesuatu, maka belajar sejarah adalah ketika siswa “doing history”. Siswa mengubah kelas seperti layaknya museum sejarah atau laboratorium sejarah yang dipenuhi oleh karya sejarah. Siswa belajar seperti layaknya seorang peneliti, yaitu menemukan, merumuskan, mendiskusikan, dan kemudian melaporkan. Dengan menggunakan pendekatan problem solving, siswa belajar menguasai teknik pemecahan masalah. Mereka akan menyadari bahwa menyelesaikan masalah merupakan sebuah proses belajar, membutuhkan keterampilan mengumpulkan dan menyeleksi informasi yang variatif, memahami fakta-fakta, dan berpikir kreatif. Siswa dapat termotivasi memecahkan masalah, baik masalah pribadi maupun masalah sosial. Mereka juga belajar menyadari bahwa bekerja secara kelompok dalam memecahkan masalah adalah sesuatu yang
bermanfaat
dan
berharga.
Pendekatan
problem solving memberi
kepercayaan kepada siswa untuk memilih dua hal : bersikap pasif dan apatis terhadap isu-isu sosial yang berpengaruh terhadap dirinya atau terlibat aktif mengambil kendali dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial (Stover :
12
1998). Jika siswa mempunyai pengalaman belajar untuk terampil menyelesaikan masalah, maka dia dapat belajar mengendalikan hidupnya, mampu tegar dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan. Karena dalam pendekatan problem
solving ini siswa tidak hanya terampil mencari solusi, tetapi mereka juga belajar menulis, membaca, memanfaatkan komputer, belajar pengetahuan dasar, dan mengambil keputusan yang diperlukan di masa datang. Apa sesungguhnya yang lebih penting yang dapat kita berikan kepada mereka selain kesuksesan, kepercayaan diri, kemandirian, dan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah
mereka?
Karena
alasan-alasan
inilah
maka
penulis
mencoba
menerapkan “Learning by Doing dalam Pembelajaran Sejarah Melalui Pendekatan
Belajar Problem Solving”.
B. Fokus dan Rumusan Masalah Fokus dari penelitian ini adalah penerapan “learning by doing” dalam proses pembelajaran sejarah di kelas melalui pendekatan belajar problem solving atau pemecahan masalah. Artinya penulis mencoba untuk menggunakan pendekatan pemecahan masalah berdasar pada teori belajar tersebut. Penerapan teori belajar learning by doing ini akan terlihat dalam kegiatan aktivitas belajarmengajar yang didesain sedemikian rupa dengan harapan terjadi peningkatan kualitas belajar siswa. Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana teori belajar “learning by doing” diterapkan dalam pembelajaran sejarah melalui pendekatan belajar problem solving ?” Adapun rumusan masalah tersebut diuraikan dalam sejumlah pertanyaan penelitian yaitu :
13
1. Bagaimana penerapan “learning by doing” dalam perencanaan belajar sejarah melalui pendekatan problem solving ? 2. Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran sejarah “learning by doing” melalui pendekatan problem solving ? 3. Bagaimanakah hasil belajar siswa dalam pembelajaran sejarah “learning by
doing” melalui pendekatan problem solving ? 4. Apa kesulitan-kesulitan yang dialami oleh guru ketika menerapkan “learning
by doing” dalam pembelajaran sejarah melalui pendekatan problem solving ? 5. Bagaimana persepsi siswa tentang pengalaman belajar yang mereka peroleh dalam “learning by doing” melalui pendekatan problem solving ? 6. Apakah “learning by doing” dalam pembelajaran sejarah melalui pendekatan belajar problem solving dapat meningkatkan kualitas belajar sejarah siswa ?
C. Klarifikasi Konsep Klarifikasi konsep ini digunakan sebagai penjelasan terhadap beberapa istilah yang dianggap penting. Tujuannya adalah memperjelas pokok-pokok masalah penelitian sehingga diperoleh pemahaman terhadap pengertian istilah tersebut.
a. “Learning By Doing” “Learning by doing” merupakan teori belajar untuk menjawab pertanyaan mendasar yaitu : bagaimana cara anak belajar dan bagaimana anak
mendapatkan pengetahuan melalui kegiatan belajarnya? Teori ini berangkat dari anggapan dasar tentang hakekat dan peran anak dalam pendidikan dan
14
bagaimana sebuah proses pendidikan memberikan tempat terhadap hakekat dan peran tersebut. John Dewey
adalah peletak dasar “learning by doing”. Istilah ini
kemudian berkembang menjadi “learning through experience” atau “experiental
learning” (Levine & Ornstein, 1985 : 131) yaitu pembelajaran berbasis pengalaman. Dalam tulisannya “The Child and Curriculum” Dewey membangun sebuah teori belajar dengan menempatkan anak didik sebagai “socially active
human being”. Dewey percaya bahwa anak didik kita memiliki keinginan untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungan dan kemudian mengontrolnya (Dewey
:
1902).
Keingintahuan
terhadap
lingkungannya
inilah
yang
mengharuskan pembelajaran bersifat aktif dan menantang. Pembelajaran menurut Dewey haruslah melibatkan kemampuan akal dan mental siswa dan juga gerak tubuh secara harmonis. Pembelajaran menurut Dewey akan bermakna jika siswa melakukan sesuatu ketika dia belajar. Artinya dikatakan belajar jika dia secara langsung terlibat ke dalam apa yang dia pelajari. Belajar artinya mengalami sesuatu. Anak menyelidiki
dan
mengamati
sendiri,
berpikir
dan
menarik
kesimpulan,
membangun teori sendiri, melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Siswa bekerja secara bersama-sama, berkelompok, dan bersosialisasi seperti layaknya sebuah sistem masyarakat yang berhubungan. Dengan cara seperti ini anak belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Salah satu proses belajar yang akan membawa siswa secara langsung bersentuhan
dengan
pengalaman
adalah
belajar
memecahkan
masalah.
Pemecahan masalah merupakan suatu proses berpikir reflektif dan terbuka
15
sekaligus juga metode mengajar dan belajar yang dianjurkan (Dewey, 1916 : 8990). Dewey sendiri mengatakan bahwa metode pemecahan masalah dalam belajar adalah metode belajar-mengajar yang cerdas.
b. Pendekatan Belajar Problem Solving Pembelajaran problem solving merupakan sebuah pendekatan belajar yang berorientasi pada proses belajar. Shepherd (2000) mengemukakan bahwa
problem solving adalah pendekatan belajar dimana siswa dilatih memiliki kemampuan merumuskan permasalahan yang kompleks dan membuat sejumlah solusi untuk kemudian merefleksikan solusi tersebut dari berbagai sudut pandang. Dalam pengertian lain Burch (1995) menjelaskan bahwa
problem
solving adalah pendekatan belajar diawali dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai masalah yang ingin dijawab siswa. Siswa dihadapkan pada persoalanpersoalan yang kompleks dan kemudian bergabung dalam kelompok untuk berdiskusi mencari penyelesaiannya. Dalam pengertian yang luas pembelajaran berbasis masalah dikemukakan oleh Stover (1998) sebagai :
problem-based learning is a curriculum development and instructional system that simultaneously develops both problem-solving strategies and diciplinary knowledge bases and skill by placing students in the active role of problem-solver confronted with an ill structured problem that mirrors real-world problems. Pendekatan belajar pemecahan masalah (problem solving) dalam penelitian ini merujuk pada pengertian diatas. Pembelajaran diawali dengan pertanyaan-pertanyaan sekitar topik-topik sejarah yang sedang dipelajari dan kemudian dihubungkan dengan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat sekarang. Kemudian siswa melaksanakan tahap-tahap
16
pembelajaran
dengan
menggunakan
langkah-langkah
desain
pemecahan
masalah. Secara garis besar proses belajar berlangsung mulai dari mengenal masalah, perumusan masalah, mencari solusi/penyelesaian, mendiskusikan solusi, dan evaluasi (pembuatan keputusan) ( diadaptasi dari Beyer, 1987 : 27).
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah berusaha menerapkan “learning by
doing” melalui pendekatan problem solving agar terjadi perubahan dan peningkatan kualitas belajar siswa dalam pembelajaran sejarah. Teori belajar ini dikaji
sebagai
kasus
utama
yang
secara
teoritis-praktis
berguna
bagi
pengembangan pembelajaran yang bermakna dalam pendidikan sejarah di Indonesia. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah : (1) mengetahui bagaimana merencanakan pembelajaran sejarah sesuai dengan prinsip learning by doing dengan menggunakan pendekatan problem solving pada siswa kelas XI IPA 4 SMAN I Majalengka (2) mengembangkan proses belajar mengajar sejarah berdasar pada teori “learning by doing” melalui pendekatan problem solving. (3) memantau hasil belajar siswa dalam pembelajaran sejarah “learning by doing” melalui pendekatan problem solving. (4) meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah dengan peningkatan kinerja guru dalam kegiatan belajar mengajar (5) mengetahui tanggapan dan persepsi siswa tentang pengalaman belajarnya dengan penerapan “learning by doing” melalui pendekatan Problem Solving. Manfaat umum dari penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu teoritis dan praktis. Pada tingkat teori, penelitian ini memberikan kontribusi terhadap
17
pengembangan teori pendidikan khususnya teori belajar di Indonesia, sehingga kajian akademis ini merupakan bagian dari rujukan. Pada tataran praktis, penelitian ini bisa digunakan khususnya oleh guru, dinas pendidikan, dan pengembang kurikulum sebagai alternatif format atau model pembelajaran sejarah yang dapat membantu ke arah proses belajar yang berdaya guna dan tepat guna untuk mengarahkan sekolah sebagai agen perubah sesuai visi misi pendidikan kontemporer. Secara khusus manfaat penelitian ini adalah :
1. Memberikan pengalaman bermakna bagi guru dan siswa dalam proses pembelajaran sejarah di kelas dengan diperkenalkannya pendekatan belajar
problem solving. 2. Menjadi bahan acuan dan model bagi guru yang ingin menerapkan teori “learning by doing” melalui pendekatan problem solving dalam KBM di kelas. 3. Menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi kepala sekolah dan pejabat pendidikan dalam menentukan kebijakan tentang inovasi pembelajaran sejarah sekarang dan masa depan. 4. Menjadi sumber rujukan dan pedoman masalah untuk diadakannya penelitian lanjutan.
18