BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kesehatan merupakan aspek penting dari Hak Asasi Manusia (HAM). Tanpa kesehatan, hidup manusia menjadi tidak sempurna didalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari. “Deklarasi Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 10 November 1948 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya”. 1 Disisi lain, kesehatan juga merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2 Tindak lanjut unsur “kesejahteraan umum” kemudian dipertegas dalam Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk hidup sehat. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Lebih lanjut perolehan pelayanan kesehatan tersebut juga didukung oleh aplikasi Pasal 34 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak. Dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diperlukan suatu pembangunan kesehatan. Pembangunan kesehatan ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat secara 1
http://m.antaranews.com/berita/287778/mewujudkan-hak-asasi-manusia-di-bidang-kesehatan, terkhir di akses pada tanggal 1 maret 2014 2 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Alinea ke 4
Universitas Sumatera Utara
optimal. 3 Sebab hal-hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara. Untuk itu, pembangunan kesehatan berskala nasional juga berarti investasi bagi pembangunan negara.4 Pasal 9 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan
bahwa
setiap
orang
berkewajiban
ikut
mewujudkan,
mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Dalam hal ini, termasuk juga pemerintah serta tenaga kesehatan. Secara eksplisit defenisi tenaga kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Contoh profesi yang termasuk kategori tenaga kesehatan yakni dokter, dokter gigi, bidan, perawat, apoteker, fisioterapis dll. Penyelenggara upaya kesehatan sesungguhnya dititikberatkan kepada penyelenggara praktik kedokteran. Penyelenggara praktik kedokteran tentu berisikan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran pada inti kegiatannya, hal ini sejalan dengan fokus bahasan penulis yang akan lebih dalam menyoroti dokter didalam menyelenggarakan praktik kedokteran. Praktik kedokteran harus dilakukan oleh para dokter yang telah memiliki etik dan moral yang tinggi, serta keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus ditingkatkan mutunya. Kompetensi tersebut dipertahankan dan ditingkatkan agar 3
Sunarto Ady Wibowo, Hukum Kontrak Terapeutik di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2009, hal.161 4 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
penyelenggaraan
praktik
kedokteran
sesuai
dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi.5 Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peran yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan, oleh karena memikul tanggung jawab dan memiliki kewenangan yang luas maka disitulah letak karakteristiknya yang khas. Karakteristik ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh pasien.6 Pelayanan medis akhir-akhir ini marak diberitakan dalam media massa, tidak sedikit ditemukan kesalahan atau kelalaian tindakan medis yang dilakukan oleh kalangan dokter di Indonesia. seperti yang terdengar pada pemberitaan belakangan ini didalam kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawa (38) atau kerap dipanggail dr. Ayu bersama dua rekannya. Ia diduga melakukan pembiaran selama 15 jam terhadap pasien, Julia Fransiska Makatey (25), hal ini mengakibatkan pasien meninggal dunia.7 Kejadian tersebut dikarenakan terlalu lambatnya penanganan yang dilakukan oleh para dokter terhadap korban menurut kesaksian dari ibu korban. Padahal pada saat itu air ketuban sudah pecah dan kondisi putrinya sudah sangat lemah. Kondisi tersebut tentu memerlukan penanganan yang cepat. Menurut ibu korban lamanya tindakan medis dikarenakan kurangnya dana untuk dapat
5
Sunarto Ady Wibowo, Op.Cit hal.161 Ibid. hal.193 7 http://m.aktualpost.com/2013/11/27/5870/inilah-kronologi-kasus-malpraktek-dr-ayuselengkapnya/, terakhir di akses pada tangga l 2 februari 2014 6
Universitas Sumatera Utara
menjalankan tindakan operasi. 8 Kekecewaan yang mendalam atas kegagalan tindakan medis yang dilakukan para dokter berbarengan dengan dugaan atas perbuatan kelalaian, sehingga yang terjadi menuntun pihak keluarga korban mengajukan laporan ke polisi. Kasus dr. Ayu sebagaimana diuraikan tersebut diatas adalah segelintir dari sekian banyak kasus dugaan malpraktik yang dilakukan dokter terhadap pasien. Tingginya keluhan tentang standar pelayanan kedokteran dan banyaknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini atas kesalahan atau kelalaian tindakan medis oleh dokter, menunjukkan semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter. Disatu sisi, situasi ini menunjukkan pula adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Masyarakat telah lebih menyadari akan haknya sebagian pasien. Sesungguhnya ada banyak kasus dugaan malpraktik yang terjadi sebelum terungkapnya kasus dr.ayu salah satunya yaitu terjadi di kota kisaran. Kronologis peristiwa dugaan malpraktik berawal dari luka sayatan akibat benda tajam. Pasien mendapatkan pengobatan intensif dari salah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit umum di Asahan. Namun setelah kurun waktu tertentu pasien tak kunjung pulih. Mengetahui kegagalan upaya penyembuhan yang dialaminya, pasien lalu mengadukan dokter yang menanganinya untuk bertanggung jawab. Dokter tersebut kemudian dipanggil oleh pengadilan akan tetapi sampai sekarang pengusutan atas kasus dugaan malpraktik tersebut tidak juga menemui penyelesaian. Dari gambaran
8
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
umum kasus tersebut dapat dilihat betapa variatifnya perbuatan malpraktik itu dari sudut pandang masyarakat. Kedudukan dokter terhadap pasien telah mengalami perubahan yang drastis. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien berawal dari pola hubungan vertikal dimana seorang dokter dianggap lebih mengetahui dan memiliki peranan penting yang menjadikannya berkedudukan lebih tinggi daripada kedudukan pasien. Pola hubungan yang demikian itu lambat laun telah mengalami pergeseran kearah yang lebih demokratis yaitu horizontal kontraktual atau partisipasi bersama.9 Pergeseran kedudukan pasien terhadap dokter yang menyerahkan sepenuhnya dan lebih rendah dari posisi dokter yang dominan memegang kekuasaan, sekarang telah menjadi sederajat dan menjadi hubungan usaha dengan adanya perikatan antara pembeli jasa dan penjual jasa. Pasien tidak lagi dianggap objek hukum melainkan sudah sebagai subjek hukum. Dengan demikian, pasien ketika menerima jasa pelayanan kesehatan dari dokter dan rumah sakit. Dipandang sebagai subjek yang memiliki hak-hak yang harus dihormati dan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Segala sesuatunya dikomunikasikan diantara kedua belah pihak sehingga menghasilkan keputusan yang saling menguntungkan. Oleh sebab itu, bilamana pasien merasa dirugikan maka pasien dapat menggugat kepada yang bersangkutan. Sebelum dengan serta merta melayangkan gugatan atas tindakan medis yang telah merugikan pasien, perlu diketahui bahwa dokter juga memiliki hak didalam melaksanakan praktik kedokteran yakni memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi 9
http://fenantonisurbakti.blogspot.com.au/2013/08/hubungan-hukum-antara-dokter-danpasien.html?m=1, terakhir diakses pada tanggal 1 februari 2014
Universitas Sumatera Utara
dan standar prosedur operasi. Maka dari itu kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter tidak selalu identik dengan kegagalan penerapan ilmu kedokteran.10 Sejauh mana seorang dokter telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar prosedur yang telah diatur? Disini penulis berperan untuk mengkaji lebih dalam tanggung jawab dokter sebagai subjek hukum. Didalam menjalankan profesinya itu, para dokter memerlukan batasan mengenai perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang diperbolehkan untuk dilaksanakan. Tindakan medis seperti apa yang sepantasnya memang dilakukan dan yang tidak seharusnya dilakukan. Perbuatan yang bagaimana yang dikategorikan malpraktik serta sanksi seperti apa yang dapat dikenakan kepada dokter yang terbukti bersalah. Perkembanagan daya penalaran masyarakat dan euphoria kecanggihan teknologi yang menjadikan masyarakat menjadi semakin peka, para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dang tugas profesinya dengan lebih hati-hati dan bertanggung jawab, Tidak hanya memahami hak-haknya saja tetapi dengan waspada menjalankan kewajibannya dengan penuh ketaatan dan kesungguhan. Untuk mengetahui atau melakukan penilaian terahadap kemampuan objektif seorang dokter dalam memberikan pelayanan masyarakat, diperlukan Konsil Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia merupakan suatu badan yang independen yang akan menjalankan fungsi regulator, yang terkait dengan peningkatan kemampuan dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik
10
Sunarto Ady Wibowo Op.Cit, hal.193
Universitas Sumatera Utara
kedokteran.11 Dengan demikian, dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran selain tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, juga harus menaati ketentuan kode etik yang disusun oleh organisasi profesi dan disarakan pada disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Dalam praktik kesehatan pasien dan dokter mempunyai hubungan yang saling terkait. Hubungan tersebut tidak terlepas dari dari sebuah perjaanjian terapeutik. Secara yuridis Pernjanjian terapeutik diartikan sebagai hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medis secara professional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan ketrampilan tertentu bidang kedokteran atau upaya dokter untuk menyembuhkan pasien secara maksimal.12 Dalam hubungan antara pelayan kesehatan dengan pasien erat kaitanya dengan suatu tanggung jawab dikarenakan diantara keduanya mempunyai hak dan kewajiban. Menurut terminologi hukum, tanggung jawab berarti “ keterikatan”. Tiap manusia mulai saat ia dilahirkan sampai saat ia meninggal dunia mempunyai hak dan kewajiban yang disebut sebagai subjek hukum. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan. Dengan demikian berarti perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara “sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat suatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji 11 12
Ibid. Veronica Komalawati, Peranan informed consent dalam transakasi terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal 1
Universitas Sumatera Utara
mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela maka perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian. Pernyataan “sukarela” menunjukan pada kita semua bahwa perikatan yang bersumber dari perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Ini berbeda dari perikatan yang lahir dari undang-undang, yang menerbitkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam
perikatan
tersebut,
meskipun
sesungguhnya
para
pihak
tidak
menghendakinya.13 Dalam bidang hukum perdata, hukum perikatan merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam hubungan-hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang dilakukan sehari-hari sehingga hukum perikatan juga berlaku dalam hubungan antara pasien dengan dokter. Kaitan masalah kesehatan dengan hukum, hukum mempunyai peran dan fungsi yang penting sesuai dengan tujuan daripada hukum itu sendiri, yaitu untuk menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Pengertian menjaga ‘ketertiban dan ketentraman’ itu tersimpul dalam fungsi hukum sebagai alat pengontrol, apakah hukum sudah ditepati sesuai dengan tujuanya. Dalam fungsinya sebagai alat social engineering hukum dalam hubungangannya dengan menyelesaikan masalah medis (kesehatan) sangat erat kaitannya dengan kepentingan diadakannya hukum tersebut untuk merubah masyarakat sesuai dengan tujuannya. Dalam kaitanya dengan politik hukum negara Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam TAP MPR No. IV/MPR/1978, hukum harus dapat memenuhi fungsinya baik dari segi preventif maupun dari segi represif terhadap kesehatan dan kesejahteraan rakyat 13
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2003, Hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Indonesia melalui pendekatan pelayanan kesehatan kepada rakyat serta penyuluhan kesehatan rakyat. Disinilah hukum harus dapat berperan dan berfungsi sebagai alat (sarana) untuk menyelesaikan masalah medik (kesehatan).14 Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan akibat kesalahan atau kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan atau masyarakat terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian pada pasien. Untuk itu dalam memahami ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian tersebut, terlebih dahulu kesalahan atau kelalaian pelaksanaan profesi harus diletakkan berhadapan dengan kewajiban profesi. Disamping itu harus pula diperhatikan aspek hukum mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter dengan pasien yang bersumber pada transaksi terapeutik Tulisan ini bermaksud mengkaji lebih jauh tentang tanggung jawab dokter akibat kesalahan medis dan bagaimana penyelesaian hukumnya
B.
PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, berbagai persoalan yang muncul
yang hendak diteliti adalah : 1. Bagaiamana bentuk kesalahan medis ? 2. Apa akibat hukum dari kesalahan medis ? 3. Bagaimana proses pertanggung jawaban dokter terhadap kesalahan medis ?
14
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, airlangga university hal.12
Universitas Sumatera Utara
4. Apa kendala yang ada didalam penyelesaian kasus Kesalahan medis ?
C.
TUJUAN PENULISAN Untuk mengetahui tindakan kesalahan medis yang dilakukan oleh dokter
khususnya didalam hubungan antara dokter dengan pasien, serta bentuk pertanggung jawaban dokter terhadap pasien dalam pelayanan medis dan kendala yang ada didalam penyelesaian kasus kesalahan medis.
D.
MANFAAT PENULISAN Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian untuk penulisan skripsi ini
diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi penulis dan dapat pula bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya mahasiswa 2. Secara
praktis
diharapkan
dapat
berguna
dalam
memecahkan
permasalahan yang sama di hadapi pihak-pihak terkait.
E.
METODE PENULISAN Dalam skripsi ini , menggunakan 2 (dua) cara atau metode pengumpulan
data yang berkaitan dengan materi pokok . Metode pengumpulan data yang dimaksud adalah : 1. Penelitian kepustakaan ( penelitian data sekunder )
Universitas Sumatera Utara
Yaitu penelitian dengan mengumpulkan data menelaah bahan-bahan literature ataupun tulisan ilmiah mengenai pelayanan medis. Undangundang yang berkaitan dengan pelayanan medis . undang-undang yang berkaitan dengan dengan judul skripsi yaitu KUH Perdata, Undang-U No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang lainya . 2. Penelitian lapangan (field research) a. Jenis penelitian Dalam penelitian lapangan yang dilakukan penulis , pada awalnya penulis mendatangi IDI Cabang Asahan dan Pengadilan Negeri Medan guna mendapatkan data awal tentang kesalahan medis . b. Data Data yang diperoleh dari IDI dan Pengadilan Negeri Medan penulis sesuaikan dengan bahan-bahan yang bersumber dari literature ataupun tulisan-tulisan ilmiah berkaitan dengan judul skripsi . kemudian penulis rangkai satu dengan yang lain sehingga sistematis. c. Teknik pengumpulan data Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dengan data primer, dimana data sekunder tersebut diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan literature ataupun penulisan ilmiah serta undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan. Kemudian data primer diperoeh dari respon seperti
Universitas Sumatera Utara
dokter yang termasuk didalam IDI cabang Asahan dengan wawancara secara terstruktur dan selektif. d. Teknik Analisi Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan selanjutnya dilakukan pengolahan data. Hal ini dilakukan agar akurasi dapat diperiksa dan kesalahan dapat diperbaiki dengan cara menjajaki kembali sumber datanya
F. KEASLIAN PENULISAN Tanggung jawab dokter akibat terjadinya kesalahan medis dari sudut hukum perdata diangkat kepustakaan fakultas hukum universitas sumatera utara. Tema diatas didasarkan oleh ide , gagasan,pemikiran,refrensi,bukubuku dan pihak lain. Judul tersebut belum pernah ditulis di fakultas Hukum universitas sumatera utara sebelumnya . Sepengetahuan penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat . kalaupun ada, konteks dari penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan yang laiya, penulis yakin substansi pembahasanya berbeda . Sehingga keaslian dari skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.
G. SISTEMATIKA PENULISAN Adapun sistematika yang ada dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Bab I
: Dalam hal ini berisi tentang latar belakang penelitian , rumusan
masalah, tujuan penelitian , manfaat penelitian , metode penulisan , keaslian penelitian dan sistematika penulisan Bab II
: Dalam hal ini berisi tentang pengertian perjanjian/perikatan,
jenis jenis perjanjian, asas asas perjanjian , syarat sahnya perjanjian , wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedad) BAB III : Dalam hal ini berisi tentang pengertian pelayanan kesehatan pengertian perjanjian terapeutik medis, bentuk-bentuk dari perjanjian terapeutik medis, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian terapeutik medis Bab IV : Dalam hal ini berisi tentang pengertian kesalahan medis, akibat hukum dari kesalahan medis, proses pertanggung jawaban dokter idi cabang kisaran terhadap kesalahan medis dan kendala yang ada didalam penyelsaian kasus kesalahan medis Bab V
: Dalam hal ini berisi tentang kesimpulan dan saran
Universitas Sumatera Utara