BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Syariat Islam memerintahkan umatnya supaya tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu.1 Sebagaimana kita ketahui juga bahwa Islam mengenal adanya dua macam akad, yaitu akad yang menitik beratkan dalam hal sosial tanpa menonjolkan unsur mencari keuntungan, pun ada pula akad yang ditujukan memang untuk mencari keuntungan. Yang pertama dikenal dengan istilah tabarru’, sedang yang kedua dikenal dengan istilah mu’awadah.2 Salah satu contoh dari akad tabarru’ itu adalah akad pinjam meminjam. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan minta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Sehingga apabila debitur tidak mampu melunasi pinjamannya, barang jaminan dapat dijual oleh kreditur. Konsep tersebut adalah Fiqh Islam dikenal dengan istilah rahn. Rahn mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Namun pada kenyataannya dalam masyarakat konsep tersebut “tidak adil”. Dilihat dari segi
1
Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: LSIK, t.t. ), 59. 2 Abdul Ghafur Anshari, Pokok-Pokok HukumPerjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta: Citra Media, 2006), 123.
1
2
komersil, yang meminjamkan uang merasa dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan berlarut-larut, sementara barang jaminan tidak laku.3 Dewasa ini di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo, banyak terjadi transaksi pinjam meminjam yang kemudian sebagai jaminannya adalah sepeda motor. Biasanya motor yang dijadikan sebagai jaminan adalah motor keluaran 2000 keatas, yang masih mempunyai harga jual tinggi. Misalnya saja motor Honda Supra X 125 keluaran 2005 dipinjamkan uang sebanyak tiga juta rupiah dengan batas waktu tiga bulan, dengan ketentuan selama tiga bulan tersebut, maka sepeda motor berada di tangan kreditur dan semua biaya perawatan dan pajak ditanggung debitur. Misalnya lagi motor Jupiter Z keluaran 2004 dipinjamkan uang sebanyak dua juta rupiah dengan ketentuan yang sama. Pada mulanya transaksi gadai di desa Mojorejo tersebut berjalan dengan lancar tanpa ada masalah artinya jika debitur yang bersangkutan menjanjikan akan mengembalikan pinjamannya dalam batas waktu yang telah ditentukan maka debitur tersebut juga tepat waktu, kalaupun ada keterlambatan paling-paling hanya tiga minggu dan paling lama satu bulan. Namun ada kasus menarik pada akhir-akhir ini sesuai dengan pengamatan penulis dan wawancara penulis dengan Bapak Tukul Yadi Hastoro yaitu sering terjadinya pengembalian yang terlambat dan juga berlarur-larut sampai berbulanbulan, bahkan ada juga râhin yang karena tidak bisa melunasi hutangnya melarikan diri. Hal ini banyak terjadi disebabkan karena sepeda motor yang 3
Yanggo, Problematika, 59.
3
dijadikan sebagai jaminan tersebut BPKBnya telah terlebih dahulu dijadikan jaminan pada sebuah bank atau koperasi, sehingga meskipun pada jatuh tempo râhin tidak bisa membayar hutangnya, murtahin tersebut tidak bisa menjual motor tersebut karena tanpa adanya BPKB motor yang dijadikan jaminan tadi tidak akan laku dijual. Sebagaimana kasus yang terjadi pada Bapak Sugiyono, ia menggadaikan sepeda motor Suzuki Smash tahun rakitan 2003 dengan jumlah pinjaman Rp.3.000.000,00 kepada Bapak Tukul Yadi Hastoro dengan jangka waktu 5 bulan. Namun pada saat jatuh tempo yakni 5 bulan kemudian ia tidak bisa mengembalikan hutangnya, meskipun sudah diberi perpanjangan waktu dan mendapat peringatan namun tetap saja tidak bisa melunasi, dan yang lebih parah lagi ketika murtahin meminta izin untuk menjual barang jaminannya ternyata BPKB motor tersebut juga telah digadaikan pada koperasi lain dengan nominal Rp.1.500.000,00, sehingga jika murtahin ingin mendapatkan uangnya kembali dan bisa menjual barang gadaian tersebut maka ia lebih dulu harus melunasi hutang râhin pada koperasi tersebut, baru kemudian ia bisa menjual barang gadaian tersebut.4 Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pelaksanaan gadai sepeda motor di desa Mojorejo dalam sebuah skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Gadai Sepeda Motor” (Studi Kasus di Desa Mojorejo Kec. Jetis Kab. Ponorogo). 4
Hasil Wawancara dengan Bapak Tukul Yadi Hastoro pada tanggal 27 Maret 2008
4
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap akad gadai di desa Mojorejo kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penyelesaian kasus ketika penggadai tidak bisa mengembalikan uang gadai? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap akad gadai di desa Mojorejo kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo. 2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap penyelesaian kasus ketika penggadai tidak bisa mengembalikan uang gadai. D. Kegunaan Penelitian Penulis sangat berharap sekali agar penelitian berguan: 1. Untuk kepentingan ilmiah, studi ini diharapakan bisa memberikan sumbangan ilmiah yang berguna untuk penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan gadai. 2. Untuk kepentingan terapan, studi ini diharapakan agar pelaku gadai mengerti dan melaksanakan transaksi yang benar sesuai dengan syariat Islam.
5
E. Metodologi Penelitian Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat kualitatif, yaitu metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.5 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah termasuk penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan memahami makna fenomena-fenomena yang terjadi di dalam masyarakat maupun institusi keislaman, baik memahami secara apa adanya maupun memahami dengan cara membandingkannya dengan norma-norma agama yang diyakininya.6 2. Pendekatan Penelitian Penelitian dalam skripsi ini adalah termasuk jenis penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif
5
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2006), 15. 6 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Jurusan Syari’ah (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2002), 16.
6
berrupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.7 3. Lokasi Penelitian Adapun lokasi yang dijadikan obyek penelian dalam skripsi ini adalah desa Mojorejo, kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo. 4. Subyek Penelitian Yang menjadi subyek penelitian ini adalah orang-orang yang melakukan transaksi pinjam meminjam uang yang menggunakan jaminanj sepeda motor di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo. 5. Data Penelitian a. Data penelitian yang diperlukan adalah: 1) Data tentang akad gadai di desa Mojorejo kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo. 2) Data tentang penyelesaian kasus ketika penggadai tidak bisa mengembalikan uang pinjamannya. b. Sumber data 1) Sumber data primer: rahin dan murtahin 2) Sumber data sekunder: buku-buku yang berkaitan dengan rahn
7
2000), 40.
Lexi. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Banmdung: PT. Remaja Rosydakarya,
7
6. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah: 1) Metode Interview Metode Interview adalah pengumpulan sejumlah informasi dengan mengajukan pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari interview adalah kontak langsung dan tatap muka antara pencari informasi dan pemberi informasi.8 Dalam penelitian ini metode interview dipergunakan untuk mengumpulkan data tentang: 1) Pelaksanaan akad gadai sepeda motor di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo. 2) Penyelesaian kasus ketika penggadai tidak bisa mengembalikan uang gadai. 2) Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah mencari data mengnai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapot, legger, agenda, dan sebagainya.9 Dalam penelitian ini metode doumentasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang: 8
Margono, Metodologi Penelitian untuk Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 165. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 149. 9
8
1) Letak geografis 2) Struktur organisasi desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo 3) Jumlah debitur 4) Jumlah kreditur 7. Teknik Analisa Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa data kualitatif,yang mana teknik analisis datanya lebih banyak dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Adapun teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a. Data Reduction (Reduksi Data) Yaitu proses berfikir sensitif yang memerlukan kecerdasan dan keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi. Langkah dalam reduksi data ini adalah dengan merangkum dan memilih hal-hal yang pokok serta memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. b. Data Display (Penyajian Data) Dalam display data, data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian singkat, yaitu dalam bentuk teks yang bersifat naratif. c. Conclusin Drawing/Verification Conclusin Drawing merupakan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Apabila kesimpulan yang dikemukakan didukung oleh buktibukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan
9
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.10 F. Sistematika Pembahasan Agar diperoleh bentuk tulisan ilmiah yang efektif dan kronologis, susunan skripsi ini dalam pembahasannya dibagi dalam lima bab dan masing-masing bab terdiri atas sub-sub bab. Bab kesatu adalah pendahuluan. Bab ini merupakan pola dasar dari keseluruhan isi skripsi yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, kegunaan penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian. Yang meliputi jenis penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian, subyek penelitian, metode pengumpulan data, teknik analisa data. Bab kedua landasan teori tentang Norma-norma Rahn yang terdiri dari pengertian Rahn, Dasar hukum Rahn, Syarat dan Rukun Rahn, Manfaat Rahn, Pelaksanaan Rahn, Pendapat para ulama’ tentang manfaat barang gadaian, Waktu diperbolehkan menggadaikan barang, Nasib barang gadaian setelah jatuh tempo. Bab ketiga berisi data tentang pelaksanaan gadai sepeda motor di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo, yang terdiri dari data umum dan data khusus. Adapun data umum tentang desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo terdiri dari: Letak geografis desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo, Struktur Organisasi desa Mojorejo kecamatan Jetis
10
Sugiyono, Metode Penelitian., 345
10
kabupaten Ponorogo. Sedangkan data khusus tentang pelaksanaan gadai sepeda motor meliputi: Jumlah debitur dan jumlah kreditur. Pelaksanaan akad gadai sepeda motor di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo, Penyelesaian kasus ketika penggadai tidak bisa mengembalikan uang gadai, Bab keempat adalah analisis hukum islam terhadap pelaksanaan gadai sepeda motor di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo, yang terdiri dari: analisis Pelaksanaan akad gadai sepeda motor di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo, dan analisis Penyelesaian kasus ketika penggadai tidak bisa mengembalikan uang gadai. Bab kelima adalah penutup, yang berisikan kesimpulan dan saran.
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN NOTA PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN MOTTO HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAKSI TRANSLITERASI DAFTAR ISI BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masala C. Tujuan Penelitian D. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian 2. Pendekatan penelitian 3. Lokasi penelitian 4. Subyek penelitian 5. Data penelitian 6. Metode pengumpulan data
12
7. Teknik analisa data BAB II: NORMA-NORMA RAHN A. Pengertian Rahn B. Dasar Hukum Rahn C. Syarat dan Rukun Rahn D. Manfaat Rahn E. Pelaksanaan Rahn F. Pendapat para Ulama’ tentang Menggadaikan Barang G. Nasib Barang Gadaian Setelah Jatuh Tempo BAB III:
DATA TENTANG PELAKSANAAN GADAI SEPEDA MOTOR di DESA MOJOREJO KECAMATAN JETIS KABUPATEN PONOROGO A. Keadaan Umum Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo 1. Letak Geografis Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo 2. Struktur Organsasi Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo B. Data Khusus Tentang Pelaksanaan Gadai Sepeda Motor 1. Jumlah Debitur 2. Jumlah Kreditur 3. Pelaksanaan Akad Gadai Sepeda Motor di Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo
13
4. Penyelesaian Kasus Ketika Penggadai Tidak Bisa Mengembalikan Uang Gadai BAB IV: ANALISIS HUKUN ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN GADAI SEPEDA MOTOR DI DESA MOJOREJO KECAMATAN JETIS KABUPATEN PONOROGO A. Analisis Pelaksanaan Akad Gadai Sepeda Motor di Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo. B. Analisis
Penyelesaian
Kasus
Mengembalikan Uang Gadai BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN BIODATA
Ketika
Penggadai
Tidak
Bisa
14
BAB II RAHN DALAM ISLAM
A. Pengertian Rahn Secara etimologi, rahn berarti وَا ُمPO Qت وَا ُ ْTUُWVQ( اtetap dan lama) yakni tetap atau berarti
و ُمVXYVQ وَاZ ُ Uُ [ َ Q( اpengekangan dan keharusan). Menurut terminologi
syara’ rahn berarti:
eُ fْ gِ hُ ُؤjَklِ m ْ ِاn ُ oِ pْ qُ ] \[ َ _ِ ْ ٍءbc َ Z ُ Uْ d َ Artinya: penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.11 Ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn: 1. Menurut Ulama Shâfi‘iyyâh
eِ {ِ jَ|~ ِر َوV yَ َ Pَ fْ w ِ jَ ْfgِ َ|ْTlَ ْ qَ n ٍ qْ َP_ِ sً tَ uْ vِ َوn ٍ uْ w َ x ُ yْ z َ Artinya: menjadikan suatu benda sebagai jaminan uatang yang dapat 12 dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang. 2. Menurut Ulama Hanâbilah
eُ QَTَ ْ ُهnpO gَ hُ ُؤjَklِ m ْ َر ِإPO yَ َ ْ ِإنeِ fِ pَ َv ْngِ َ|ْTlَ ْ uَ Qِ n ٍ qْ PO Qِj_ sً tَ uْ vِ َوx ُ yَ ْ qَ ~
يQل ا ُ jَpQْ َا Artinya: Harta yang dijadikan jaminan uatang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi jaminan.13 3. Menurut Ulama Mâlikiyah
11
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004), 159. Ibn Qudâmah, al-Mughnî, Juz IV (Riyadh: Mahtobaturriyah al-Hadtîsah, tt), 361. 13 Ibid, 361 12
15
Ulama’ madhhab Mâliki mendifinisikan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya dijadikan jaminan uatang yang bersifat mengikat.14 4. Menurut A’A Basyir Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhûn bih sehingga dengan adanya tanggungan itu seluruh atau sebagian uatang dapat diterima.15 5. Menurut Abu Zakariya al-Anshari Rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhûn bih yang dapat dibayarkan dari (harga) benda marhûn itu apabila marhûn bih tidak dibayar.16 6. Menurut Syafi’i Antonio Rahn adalah menahan salah satu harta marhûn atas hutang/ pinjaman atau marhûn bih yang diterimanya.17 Perlu diketahui juga bahwa rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti halnya hibah, pinjam meminjam, titipan dan qirad. Kesemuanya itu termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al14
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, 43. 15 A’A Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang Gadai (Bandung: Al-Ma’arif, 1983), 50. 16 Sasli Rais, Pegadaian Syariah, Konsep dan Sistem Operasional (Jakarta: UI Press, 2005), 38. 17 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 128.
16
qabdu) sesuai kaidah
ِ Uْ tَ Qْ jِ_ O ع ِا ِ XV Uَ lOQ اV lِ qَ َ
(tidak sempurna tabarru, kecuali
setelah pemegangan).
B. Dasar Hukum Rahn Pada dasarnya gadai menurut islam, hukumnya boleh (jaiz), seperti yang tercantum baik dalam al-qur’an, al-sunnah maupun ijma’. 1. Landasan al-qur’an, yaitu dalam surat al-Baqarah ayat 283:
jًyْ _َ ْoُ ُ yْ _َ n َ gِ نْ َاjِ |َ sٌ َ ْTUُ tْ gO ٌnِهX|َ jًUِ jَوْا آPُ ِ َ ْQَوO Xٍ kَ m َ َYw َ ْlُ fْ َوِانْ ُآ ‘eOjِ |َ jَpْ lُ oْ qَ ْngَ َد َة َوjَ O Qا اTُplُ oْ َ َ‘ َوe_O َر َ ]ا ِ lOuَ Qْ وَاeُ lَ َ jَg َاn َ pِ ُ ْ~ِىQOَ
د اuُ Yْ |َ .ٌuْ Yِw َ ن َ ْTYُpَ yْ َ jَp_ِ ُ ‘ وَاeُUYْ َ ٌvِ ا Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagaian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.18
18
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Mahkota Surabaya, 1990), 71.
17
2. Landasan Hadits
jَXَ Uَ ْ َاb َ[ ْ qَ ل َ jَ ِء O yَ Qْ اn ُ _ْ Pُ pO [ َ gُ َوsَ Uَ uْ c َ bِ_ َأn ِ _ْ Xِ oْ _َ Tُ_ َوَأb َ[ ْ qَ n ُ _ْ b َ ْ[qَ jَfvَ PO d َ ْnw َ ِدTَ m ْ jَ Qْ اn ِw َ َ uْ َا ِهX_ْ ْ ِإnw َ ¡ ِ pَ w ْ َ ْاn ِw َ sَ qَ ِوjَygُ Tُ_ َاjَfvَ PO d َ ن ِ َاX َ jَ Qْ ل ا َ jََو eُ fَ َو َر َهjً gjَy£ َ ي ٍ ْ ِدTُ qَ nِg َ YOm َ َوeِ uْ Yَw َ ُ اOY¤ َ ل ا ُ ْTm ُ َى َرXlَ c ْ ْ ِإ¢Qَjَ sَ َ {ِ jَw 19 .(Yg h )رواPٍ qْ Pِ d َ ْngِ jً wَْدر Artinya: Telah bercerita kepada kami Yahya Ibn Yahya dan Abu Bakr Ibn Abî Syaybah dan Muhammad Ibn al-Alla’ telah berkata Yahya, telah memberi khabar kepada kami, dan juga yang lainnya. Telah bercerita kepada kami Abu Muâwiyah dari al-A’masy dari Ibrâhîm dari al-Aswad dari ‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besinya. 3. Ijma’ Ulama’ Berdasarkan al-qur’an dan al-hadits di atas, menunjukkan bahwa transaksi gadai pada dasarnya dibolehkan dalam islam, bahkan Nabi saw pernah melakukannya. Demikian juga jumhur ulama’ telah sepakat akan dibolehkan gadai itu.20
C. Syarat dan Rukun Rahn Ulama’ fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn, menurut jumhur ulama’ rukun rahn itu ada 4 (empat) yaitu: 1. Shighat (lafadz ijab dan qabul) 2. Orang yang berakad (râhin dan murtahin) 3. Harta yang dijadikan jaminan (marhûn)
19 20
Muslim, Shahîh Muslim, Juz III ( Semarang: Thaha Putra, tt), 55. Rais, Pegadaian Syariah, 41.
18
4. Utang (marhûn bih)21 Ulama’ Hanafiyah berpendapat rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu).22 Sedangkan syarat rahn ulama’ fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu: 1. Persyaratan aqid Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut ulama’ Shâfi’iyyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jualbeli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz, dan oraang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn. Menurut ulama’ selain Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam jual-beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan orang yang mabuk, gila, bodoh ataua anak kecil yang belum baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh m,enggadaikan barang orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan darurat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.23 Menurut Hendi Suhendi, syarat bagi yang berakad adalah
21
Ibid., 42. Syafei, Fiqh, 162. 23 Syafei, Fiqh, 162. 22
19
ahli tasarruf, artinya mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan yang berkaitan dengan rahn.24 2. Syarat sighat Ulama’ Hanafiyyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena akad rahn sama dengan akad jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.25 Dalam bukunya Sasli Rais memberikan contoh, misalnya râhin mensyaratkan apabila tengah waktu marhûn bih telah habis dan marhûn bih belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang satu bulan, mensyaratkan marhûn itu boleh murtahin manfaatkan. Ulama’ Malikiyah, Shafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu , maka syarat itu diperbolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh tersebut termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu misalnya, untuk sahnya rahn itu pihak murtahin minta agar akad itu disaksikan 2 orang saksi, sedangkan syarat yang batal, misalnya disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu jatuh tempo, dan râhin tidak mampu membayarnya.26
24
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 254. 25 Syafei, Fiqh, 163. 26 Rais, Pegadaian, 43-44.
20
Adapun menurut ulama’ selain Hanafiyyah, syarat dalam rahn ada yang shahih dan ada yang rusak. a. Menurut Shâfi’iyyah Syarat dalam rahn dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Syarat shahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita. 2) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberi makanan tertentu, syarat seperti itu batal, tetapi akadnya tetap sah. 3) Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin. b. Menurut Ulama’ Mâlikiyah Ulama’ Mâlikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi jadi dua yaitu rahn shahîh
dan rahn fâsid. Rahn fasid adalah rahn yang di
dalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada di bawah tanggung jawab râhin.27
27
Syafei, Fiqh, 163.
21
c. Ulama’ Hanâbilah Ulama’ Hanâbilah berpendapat seperti ulama’ Mâlikiyah di atas, yakni rahn terbagi dua, shahih dan fasid, rahn shahih adalah rahn yang mengandung unsure kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan.28 3. Syarat marhûn bih (utang) Marhûn bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama’ Hanâfiyah memberikan beberapa syarat yaitu: a. Marhûn bih hendaklah barang yang wajib diserahkan. Menurut ulama’ selain Hanâfiyyah, marhûn bih hendaklah berupa hutang yang wajib diberikan kepada orang yang mengadaikan barang, baik berupa utang maupun berbentuk benda. b. Marhûn bih memungkinkan dapat dibayarkan jika marhûn bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi maksud dan tujuan dari disyaratkannya rahn. c. Hak atas marhûn bih harus jelas. Ulama’ Hanâbilah dan Shâfi’iyyah memberikan tiga syarat bagi marhûn bih: 1) Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan 2) Hutang harus lazim pada waktu akad 3) Hutang harus jelas dan diketahui oleh râhin dan murtahin. 29
28 29
Ibid. Ibid., 163-164
22
4. Syarat marhûn, menurut jumhur adalah: a. Marhûn itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhûn bih b. Marhûn itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal) c. Marhûn itu jelas dan tertentu. d. Marhûn itu tidak terkait dengan hak orang lain. e. Marhûn itu merupakan harta yang utuh. f. Bisa diserahkan.30 5. Syarat kesempurnaan rahn (memegang barang) Secara umum, ulama fiqh sepakat bahwa memegang barang adalah syarat dalam rahn yang didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat alBaqarah ayat 283:
jًyْ _َ ْoُ ُ yْ _َ n َ gِ ط َ| ِ§نْ َأsٌ َ ْTUُ tْ gَ ٌnِهX|َ jًUِ jَُوا آP¥ ِ َ ْQَ َوXٍ kَ َm َYw َ ْlُ fْ َوِإنْ ُآ ط ط َ ]ا ِ lOuَ Qْ َوeُ lُ َ jَg َأn َ pِ ُ ْْ اؤq~ِ QO َ
د اuُ Yْ |َ eُ O§ِ |َ jَpْ lُ oْ qَ ْngَ َد َة َوjَ O Qا اTُplُ tْ َ َ َوeُ _O َر ٌuْ Yِw َ ن َ ْTYُpَ yْ َ jَp_ِ ُ ط َواeُ Uُ Yْ َ ٌvِ أ Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Namun demikian, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat apakah memegang barang (rahn) termasuk syarat lazim atau syarat kesempurnaan. 30
Rais, Penggadaian, 44.
23
Jumhur ulama selain Mâlikiyah berpendapat bahwa memegang (alqabdhu) bukan syarat sah rahn, tetapi syarat lazim. Dengan demikian, jika barang belum dipegang oleh murtahin, akad bisa dikembangkan lagi. Sebaliknya jika rahin sudah menyerahkan barang, maka akad menjadi lazim, dan rahin tidak boleh menbatalkannya secara sepihak. Golongan ini mendasarkan pendapat mereka pada ayat di atas. Mereka berpendapat, jika rahn sempurna tanpa memegang, maka adanya taqyid (penguat) dengan sٌ َ ْTUُ tْ gَ
ٌنjَهXِ |َ tidak berfaedah. Selain itu rahn adalah akad
yang membutuhkan qabul, yang otomatis harus memegang marhûn. Ulama Mâlikiyah, berpendapat bahwa memegang marhun adalah syarat kesempurnaan, tetapi bukan syarat sah atau lazim. Menurut ulama Mâlikiyah, akad dipandang, akad dipandang lazim dengan adanya ijab dan qabul. Akan tetapi, murtahin harus meminta kepada rahin barang yang digadaikan, jika tidak memintanya atau merelakan borg ditangan rahin, rahn menjadi batal. Ulama Mâlikiyah mendasarkan pendapat mereka pada ayat
ْ ِدTtُ yُ Qْ jِ_ ْاT|ُ َْاو
24
a. Cara memegang marhûn Adalah penyerahan marhun secara nyata atau dengan wasilah yang intinya memberikan keamanan kepada yang memberian utang (murtahin), adapun syaratnya adalah: 1) Atas seizing rahin 2) Rahin dan murtahin harus ahli dalam akad 3) Murtahin harus tetap memegang rahin. Menurut ulama Hanâfiyyah, Malikiyyah dan Hanâbilah murtahin harus tetap atau lama memegang borg. Dengan demikian, menurut ulama Mâlikiyah dan Hanâfiyyah, rahn batal jika murtahin meminjamkan atau menitipkan borg kepada rahn. Adapun menurut Hanâbilah akad rahn tidak batal, tetapi hilang kelazimannya dan akad menjadi lazim kembali apabila rahin mengembalikannya kepada murtahin. Ulama Shâfi'iyyah berpendapat akad rahn tidak batal jika murtahin menitipkan atau meminjamkan borg kepada rahin, misalnya untuk memanfaatkannya. Hal itu didasarkan pada hadits riwayat Daruquthni: ”Rahn dikendarai dan diperah”, serta hadita al-Bukhari “Punggung dikendarai dengan memberikan nafkahnya jika digadaikan”. b.
Orang yang berkuasa atas borg Borg boleh dititipkan kepada seseorang yang disepakati oleh rahin dan murtahin, dan orang tersebut disebut adl.
25
1) Syarat-syarat adl Syarat yang harus dimiliki oleh adl adalah amanah dan bertanggung jawab, selain itu harus orang yang sah dijadikan wakil bagi rahin dan murtahin. Rahin dan murtahin tidak boleh mempercayakan pada dua orang adl. 2) Borg terlepas dari adl, dengan alasan sebagai berikut: a) Habis masa rahn b) Rhn meninggal. Menurut ulama Hanâbilah dan Shâfi'iyyah, borg tidak lepas jika yang meningal adalah murtahin. c) Adl meninggal, ahli waris tidak berhak memegang borg , kecuali atas izin rahin dan murtahin. d) Adl gila. e) Rahin melepaskan atau membatalkan borg. Akan tetapi,adl tidak lepas jika membatlakan adalah murtahin, sebab yang menjadi wakilnya adalah rahin. Menurut ulama Mâlikiyah, adl tidak lepas dengan pembatalan dari rahin sebab perwakilan bagian dari gadai. 3) Hukum adl Adl memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut: a) Adl harus menjaga borg sebagaimana ia menjaga barang miliknya. b) Adl harus tetap memegang borg sebelum ada izin dari yang melakukan akad untuk menyerahkan kepada orang lain. c) Adl tidak boleh memanfaatkan borg.
26
d) Jika borg rusak tanpa disengaja, kerusakan ditanggung murtahin. e) Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa adl tidak boleh melepaskan atau
membatalkan
(menyerahkan)
borg,
sedang
menurut
Shâfi'iyyah dan Hanâbilah adl bebasa melapaskannya.31 D. Manfaat Rahn Dalam al-qur’an surat al-Baqarah ayat 283 dijelaskan bahwa rahn pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah, dimana sikap menolong dan amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam hadits Rasulullah saw, dari Ummul Mu’minin Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, disana nampak sikap menolong antara Rasulullah dengan orang Yahudi saat Rasululah saw menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi tersebut. Maka pada dasarnya fungsi rahn adalah semata-mata memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dengan bentuk marhun sebagai jaminan dan bukan bentuk komersil dengan mengambil keuntungan yang sebesarbesarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.32 Kemudian lebih lanjut Syafi’i Antonio juga memberikan penjelasan mengenai manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn anatara lain: a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan
31 32
Rahmat Syafi’ey, Fiqh, 168. Ibid., 41-42.
27
b. Memberi keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhûn) yang dipegang oleh bank. c. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerahdaerah.33 Darai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari pada rahn adalah sikap tolong menolong dan sikap amanah bagi kedua belah pihak.
E. Pelaksaan Rahn 1. Mengenai akad Setelah syarat dan rukun rahn terpenuhi maka untuk selanjutnya rahn baru bisa dilaksanakan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda: a. Menurut Imam Mâlik Menurut pendapat Imam Mâlik jaminan dengan akad (janji) saja telah dianggap cukup, meski barang yang dijadikan jaminan tidak diserahkan pada pihak pemberi hutang, hal ini khusus untuk orang-orang tertentu yang bisa dipercaya kata-kata dan janjinya. b. Menurut Abu Hanîfah, Shafi'i dan Ahmad
33
Antonio, Bank, 130.
28
Menurut pendapat kedua ini, akad jaminan atau gadai tidak sah tanpa adanya penyerahan barangnya. Hal ini untuk masyarakat kebanyakan yang biasanya sering berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diucapkan, yang mana mereka biasanya hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan orang lain.34 2. Berakhirnya Rahn Rahn dipandang habis atau berakhir dengan beberapa keadaan, adalah sebagai berikut: a. Borg diserahkan kepada pemiliknya Jumhur ulama selain Shâfi'iyyah memandang habis rahn jika murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya (rahin) sebab borg merupakan jaminan utang. Jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain itu dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan borg kepada rahn atau kepada orang lain atas seizin rahin. b. Dipaksa menjual borg Rahn habis jika hakim memaksa rahin untuk menjual borg, atau hakim menjualnya jika rahin menolak. c. Rahin melunasi semua utang d. Pembebasan utang
34
41.
Khudori Soleh, Fiqh Konekstual, Perspektif Sufi-Falsafi, Jilid 5 (Jakarta: PT. Pertja, 1990),
29
Pembebasan utang dalam bentuk apapun, menandakan habisnya rahn meskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain. e. Pembatalan rahn dari pihak murtahin Rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin rahin. Sebaliknya dipadang tidak batal jika rahin membatalkannya. Menurut
ulam
Hanâfiyyah,
mutahin
diharuskan
untuk
mengatakan pembatalan borg kepada rahin. Hal ini karena rahn tdak terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalknnya adalah dengan tidak memegang. Ulama Hanâfiyyah berpendapat bahwa rahn dipandang batal jika murtahin membiarkan borg pada rahin sampai dijual. f. Rahin meninggal Menurut ulama Mâlikiyyah, rahn habis jika rahin meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg kepada rahin. g. Borg rusak h. Tasarruf dan borg35 Rahn dipandang habis apabila borg ditasharrufkan seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas seizing pemiliknya. Mengenai tasarruf (mengusahakan) rahn ini ada dua pendapat: 35
Rachmat Syafe’I, Fiqh, 178.
30
1) Tasarruf rahn a) Rahin dibolehkan mengusahakan borg, seperti meminjamkan, menjual, hibah, sedekah, dan sebagainya sebelum diserahkan kepada murtahin. b) Rahin tidak boleh mengusahakan borg setelah diserahkan kepada murtahin, kecuali atas seizing murtahin. 2) Tasarruf murtahin Murtahin tidak dibolehkan untuk tasarruf (mengusahakan) borg tanpa seizing murtahin. Hal ini karena perbuatannya itu dapat diartikan bahwa ia telah mengusahakan barang yang bukan miliknya.36 3. Penambahan borg Ulama fiqh sepakat bahwa tambahan yang ada pada borg adalah milik rahin, sebab dialah pemilik aslinya, berikut pendapat ulama: a. Ulama Hanâfiyyah, berpendapat bahwa tambahan yang terjadi pada borg yang temasuk rahn, baik yang berkaitan dengan rahn, seperti buah, susu, dan lain-lain atau yang terpisah, seperti anak hewan adalah tambahan yang tidak berkaitan dengan rahn, seperti upah merupakan milik rahin. b. Ulama Mâlikiyyah, berpendapat bahwa termasuk pada rahn adalah sesuatu yang dihasilkannya, berkaitan dan tidak terpisah, seperti lemak, atau yang berpisah, atau yang berkaitan, seperti anak dan lain-lain.
36
Ibid., 174.
31
Adapun yang bukan asli dari penciptaan borg atau gambarannya tidaklah termauk borg, seperti buah yang dihasilkan pohon atau yang tidak dihasilkan, seperti sewa rumah atau penghasilannya. c. Menurut ulama Shâfi'iyyah segala tambahan dari rahn, baik yang dilahirka dari borg atau bukan, berkaitan dengan borg ataupun tidak, semuanya termasuk rahn. Dengan demikian, hukuman untuk benda-benda tersebut adalah sebagaimana hukum atas rahn itu sendiri. 4. Penambahan utang Jumhur ulama membolehkan rahin untuk menambah borg. Misalnya rahin meminjam uang Rp. 100.000,00, dengan menggadaikan baju, kemudian ia menambah satu baju lagi untuk gadai tersebut. Namun demikian, diantara ulam fiqh terjadi perbedaan pendapat apabila rahin meminta tambahan utang, seperti rahin meminjam uang Rp.100.000,00 dengan menggadaikan sepeda, kemudian rahin meminjam uang lagi Rp.100.000,00 dengan menjadikan sepeda sebagai gadai ata uang Rp.200.000,00. Menanggapi hal tersebut, pendapat ulama fiqh terbagi dua: a. Ulama Hanâfiyyah, Muhammad, Hanâbilah, dan satu pendapat dari Imam Shafi’i menyatakan tidak sah menambah utang sebab dapat dianggap akan ahn kedua, pada hal borg berkaitan dengan rahn pertama secara sempurna. b. Imam Mâlik, Abu Yusuf, Abu Tusr, Al-Majani, dan Ibn Al-Mundzir membolehkan tambahan tersebut sebab rahn kedua membatalkan rahn
32
yang pertama. Dengan demikian, sama dengan menggadaikan satu borg untuk dua utang.
F. Pendapat Para Ulama’ Tentang Kedudukan Manfaat Barang Gadai Seperti telah dijelaskan bahwa dalam Fiqh Islam, barang gadaian dipandang sebagai amanat pada tangan murtahin, sama dengan amanat lain, dia tidak harus membayar kalau barang itu rusak, kecuali jika karena tindakannya.37 Penerima gadai hanya bertanggung jawab untuk menjaga, memelihara dan berusaha semaksimal mungkin agar barang itu tidak rusak. Barang jaminan yang rusak di luar kemampuan-kemampuan murtahin tidak harus diganti. Adapun kedudukan manfaat barang gadai pada dasarnya tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh râhin maupun murtahin, kecuali apabila mendapat izin masing-masing pihak yang bersanagkutan. Hak murtahin terhadap marhun hanya sebatas menahan dan tidak berhak menggunakan atau mengambil hasilnya, dan selama marhun berada ditangan murtahin sebagai jaminan Marhûn bih, rahin tidak berhak menggunakan marhun, terkecuali apabila kedua râhin dan murtahin ada kesepakatan.38 Dintara para ulama’ terdapat dua pendapat, yaitu: 1. Pemanfaatan râhin atas borg a. Ulama’ Hanâfiyyah
37 38
Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 376. Rais, Penggadaian, 53.
33
Berpendapat bahwa râhin tidak boleh dimanfaatkan borg tanpa seizin murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Mereka beralasan bahwa borg harus tetap dikuasai oleh murtahin selamanya. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama’ Hanabilah, sebab manfaat yang ada dalam borg pada dasarnya termasuk rahn.39 b. Ulama Mâlikiyah Berpendapat bahwa jika murtahin mengizinkan rahin untuk memanfaatkan borg, akan menjadi batal. Adapun murtahin dibolehkan memanfaatkan borg sekedarnya itupun atas tanggungan râhin. Sebagian ulama Malikiyah berbendapat jika murtahin terlalu lama memanfaatkan borg, ia harus membayarnya, sebagian yang lainnya berpendapat tidak perlu membayar, pendapat lainnya diharuskan membayar, kecuali jika râhin mengetahui dan tidak mempermasalahkannya.40
39 40
Syafe’i, Fiqh, 172. Ibid., 173.
34
c. Ulama’ Shâfi'iyyah Berpendapat bahwa râhin dibolehkan untuk memanfaatkan borg, jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya,
menempatinya,
dan
lain-lain.
Akan
tetapi
jika
menyebabkan borg berkurang seperti sawah, kebun, râhin harus meminta izin kepada murtahin. d. Ulama’ Hanâbilah Ulama’ Hanâbilah lebih memperhatikan marhûn itu sendiri, yaitu hewan atau bukan hewan, sedangkan hewanpun dibedakan antara hewan yang dapat diperah atau dapat ditunggangi dan hewan yang tidak dapat diperah atau ditunggangi. Maka apabila marhûn berupa hewan yang dapat ditunggangi, maka pihak murtahin dapat mengambil manfaat marhûn tersebut dengan menungganginya dan memerah susunya tanpa seizin yang menggadaikan. Selanjutnya syarat bagi murtahin untuk mengambil manfaat marhûn yang bukan berupa hewan adalah sebagai berikut: 1) Ada izin dari penggadaian râhin 2) Adanya gadai bukan sebab mengutangkannya. Sedangkan apabila marhûn itu tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka barang tersebut dibagi menjadi dua bagian: 1) Apabila marhûn berupa hewan, maka boleh menjadikannya sebagai khadam.
35
2) Apabila marhûn bukan hewan, seperti rumah, kebun dan sebagainya, maka tidak boleh mengambil manfaatnya.41 2. Pemanfaatan murtahin atas borg Jumhur ulama’ selain Hanâbilah berpndapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg, kecuali jika râhin tidak mau membiayai borg. Dalam hal ini murtahin dibolehkan mengambil manfaat sekedar untuk mengganti ongkos pembiayaan. Ulama’ Hanâbilah berpendapat bahwa murtahin boleh memanfaatkan borg jika berupa hewan seperti dibolehkan untuk mengendarai atau mengambil susunya sekedar pengganti pembiayaan.42 Lebih jauh tentang pendapat para ulama’ tersebut adalah sebagai berikut: a. Ulama’
Hanâfiyyah:
berpendapat
bahwa
murtahin
tidak
boleh
memanfaatkan borg, sebab dia hanya berhak mengusainya dan tidak boleh memanfaatkannya. Sebagaian ulama’ Hanâfiyyah ada yang membolehkan untuk memanfaatknnya jika diizinkan oleh râhin, tetapi sebagian lainnya tidak membolehkannya sekalipun ada izin, bahkan mengkatagorikannya sebagai riba. Jika disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan borg, hukumnya haram sebab termasuk riba.43 b. Ulama’ Mâlikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh râhin atau disyaratkan ketika akad, dan borg tersebut
41
Rais, Pegadaian, 57. Syafe’I, Fiqh, 173. 43 Ibid., 174. 42
36
berupa barang yang dapat dijual belikan serta ditentukan waktunya secara jelas.44 c. Pendapat ulama’ Hanâbilah berbeda dengan jumhur, mereka berpendapat jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya, meskipun tidak diizinkan oleh râhin. Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin râhin.45
G. Nasib Barang Gadaian Setelah Jatuh Tempo 1. Menurut Abu Hanîfah, Mâlik dan Ahmad Barang gadaian yang jatuh tempo boleh langsung dijual oleh penerima gadai atau kreditur, jika ada perjanjian untuk itu. 2. Menurut Imam Shafi’i Barang jaminan tidak boleh dijual oleh râhin (penerima gadai), meski telah jatuh tempo dan utang belum dilunasi. Pemilik barang yang berhak untuk menjual barang tersebut dengan sepengetahuan sipenerima gadai (râhin) jika tidak mau maka hakim harus memaksa murtahin untuk melunasi utangnya atau menjual barangnya demi membayar hutang.46
44
Ibid. Ibid. 46 Soleh, Fiqh, 44. 45
37
BAB III DATA TENTANG PELAKSANAAN GADAI SEPEDA MOTOR DI DESA MOJOREJO KECAMATAN JETIS KABUPATEN PONOROGO
A. Keadaan Umum Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo 1. Jumlah penduduk, letak geografis, luas wilayah dan mata pencaharian penduduk Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo. Desa mojorejo merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo, yang mana pada saat ini terdiri dari 487 kepala keluarga yang terbagi menjadi 1093 orang laki-laki dan 995 orang perempuan.47 Dengan letak geografis, sebelah utara berbatasan dengan desa Gontor, Gandu dan Nglumpang. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Karang Gebang, Kradenan dan Mojopati. Sebelah barat berbatasan dengan desa Tegal Sari dan sebelah timur berbatasan dengan desa Joresan dan Coper.48 Adapun luasa wilayah desa Mojorejo yaitu: Permukan Umum
: 5,8 H
Sawah
: 101 H
Ladang
: 25 H
Perkantoran
: 0,35 Km
47 48
Inventaris Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo. Ibid.
38
Sekolah
: 0,35 Km
Luas Jalan
: 18 H
Lapangan
: 0,42 Km
Pemakaman
: 0,55 Km
Mata pencaharian penduduk desa Mojorejo sebagian besar/ mayoritas adalah bercocok tanam (bertani). Adapun kepemilikan pertanian tanam pangan yaitu: Tanah sawah
: 265
Tanah ladang
: 181
Penyewa/ penggarap
: 115
Buruh tani
: 300
Sedangkan mata pencaharian dalam bidang jasa adalah: Pegawai desa
:
14 orang
Warung
4 orang
PNS
:
4 orang
Kios
15 orang
ABRI
:
1 orang
Angkutan bermotor
7 orang
Guru
:
17 orang
Supir umum
15 orang
Dokter
:
---
Pengacara
1 orang
Bidan
:
1 orang
Tukang kayu
45 orang
Pensiunan
:
12 orang
Tukang batu
50 orang
Pegawai Swasta
:
1 orang
Penjahit
8 orang
Pensiunan Swasta
:
4 orang
Tukang cukur
1 orang
39
2. Struktur organisasi desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo Kepala Desa
Sekretaris
Petugas Teknis
Kep. Urusan Umumn Jogo Boyo
Sambong
Modin Kep. Urusan Pemerintah
Kep. Urusan Pembangunan Kep. Urusan Kesra
Kep. Urusan Keuangan
Kamituwo Dukuh Mojorejo I
Kamituwo Dukuh Mojorejo II
Kamituwo Dukuh Mojorejo III
40
Selain struktur organisasi di atas masih ada 4 struktur organisasinya. a. Struktur BPD yang terdiri dari Ketua Drs. Ubahil Islam Wakil Ketua Tukul Yudi Hastoro Sekretaris Kateni Gisri Anggota
Katmuji
St. Abidah
Rusan A.G
Slamet Abadi
b. Struktur IKD Ketua Drs. Suroso Wakil Ketua Drs. Dwi Ramalan Widodo
Sekretaris Sukamto
Bendahara Eko. S.
Anggota Maseri, Marsono,Lutfi, Sugiono, Suwito, Ismono, Sutrisno, Moh Muslim
41
c. Struktur Karang Taruna
Ketua Sutrisno
Wakil Ketua Sholihudin
Sekretaris
Bendahara
Bambang Hermawan
Sujanto
d. Struktur PKK Ketua Utik Budiarti
Anggota Sri Matun, Sumiati, Miatu Hasanah, Endang Sumiarsih, Umi Fadhilah, Siti Zulaikah, Sringatin, Haryuni, Tumiati, Sukatin, Mistiati, Sayuti, Sri Rejeki, Siti Abidah, Ismiatin.
42
B. Data Khusus Tentang Pelaksanaan Gadai Sepeda Motor Di Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo 1. latar Belakang Adanya Rahn Di Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo Di masyarakat pedesaan seperti di desa Mojorejo sering terjadi dalam menanggulangi kebutuhan-kebutuhan yang begitu mendesak dan diluar kemampuan perekonomian mereka pada saat membutuhkan uang seperti untuk biaya berobat kerumah sakit ataupun untuk melunasi hutang-hutang kepada orang lain terlebih dahulu, atau biasa disebut juga dengan istilah gali lubang tutup lubang m,erea sering kali menggunakan barang-barangnya yang berharga seperti sepeda motor, mobil ataupun yang lainnya sebagai jaminan atas hutangnya. Menurut mereka jaminan semacam itu adalah sebagai solusi terakhir untuk menanggulangi permasalahan mereka. Menurut mereka pengertian gadai adalah peminjaman uang oleh seseorang yang sedang dalam kesulitan keuangan kemudian mereka meminta pertolongan kepada tetangga, saudaranya atau bahkan kepada orang lain dengan konsekwensi ada jaminan atas pinjamannya.49 Kemudian dalam gadai, menggadai sepeda motor umumnya mereka mempunyai aturan-aturan yang berlaku secara umum dan dikenal luas oleh masyarakat tersebut. Adapun aturan tersebut antara lain adalah bila mana seseorang meminjam uang Rp. 1.000.000,00 sampai Rp. 5.000.000,00 maka 49
Hasil Wawancara dengan Bapak Nur amdi pada tanggal 14 Maret 2008.
43
pihak murtahin harus bisa melihat barang jaminannya apakah barang tersebut layak digadaikan dengan uang sebesar itu ataukah tidak, atau bisa juga dengan kesepakatan diantara mereka dalam jangka waktu yang telah mereka tentukan. Biasanya barang yang mereka gadaikan adalah sepeda motor keluaran tahun 2000 keatas. Untuk besar jumlahnya uang pinjaman itu dibedakan atas dasar motor yang akan digadaikan dengan mengambil perhitungan nilai harga sepeda motor tersebut, dan biasanya pinjaman uang tersebut separuh harga dari harga jual motor tersebut.50 Kemudian untuk tempat penggadainnya mayoritas adalah kepada Bapak Tukul Yadi Hastoro. Orang ini memang tergolong kaya dan suka membantu orang lain. Jika penduduk sempat kesulitan uang, tanpa ragu-ragu mereka langsung mencari solusinya kepada Bapak Tukul yadi Hastoro. 2. Jumlah Râhin Jumlah râhin yang ada di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo satu tahun terakhir, terhitung sejak 1 Januari 2007 sampai 1 Maret 2008 sebanyak 6 orang, masing-masing adalah sebagai berikut:
No 1
Miswadi
Jenis motor yang digadaikan Suzuki Smash
2
Nur Hamdi
Supra X
50
Nama
Tahun Rakitan
Jumlah Pinjaman
2004
Rp. 2.500.000
2001
Rp. 3.500.000
Hasil wawancara dengan Bapak Miswadi, pada tanggal 13 Maret 2008.
44
3
Slamet
GL Pro
2000
Rp. 5.000.000
4
Muhammad Su’udi
Shogun R
2003
Rp. 4.000.000
5
Darno
Alfa
1996
Rp. 2.000.000
6
Sugiono
Suzuki Smash
2003
Rp. 3.000.000
Mengenai mekanisme akad gadai dari keenam orang di atas masingmasing berbeda: a. Bapak Miswadi Untuk
Bapak
Miswadi
dalam
tabel
di
atas
tercatat
menggadaikan motornya Suzuki Smash dengan tahun rakitan 2004 denga jumlah pinjaman sebesar Rp. 2.500.000,00. dengan ketentuan batas waktu jatuh tempo selama 6 bulan. Jadi setelah 6 bulan jika Bapak Miswadi tidak bisa mengembalikan pinjamannya ia akan mendapat penambahan waktu, dan jika pada penambahan waktu tersebut habis ia akan mendapat peringatan setelah itu baru pihak murtahin minta izin kepada râhin untuk menjual barang jaminan tersebut, dan setelah diambil hutangnya sisa dari penjualan tersebut dikembalikan kepada râhin.51 Kemudian menurut bapak Miswadi dalam pelaksanaannya ia menggunakan perjanjian secara tertulis yakni di atas materai yang bertujuan untuk memegang teguh dan memperkuat akad perjanjiannya. Dan setelah enam bulan kemudian jatuh tempo, Bapak Miswadi bisa mengembalikan pinjamannya sebesar Rp.
51
Hasil Wawancara dengan Bapak TukulYadi Hastoro pada tanggal 21 Maret 2008
45
2.500.000,00 tanpa ada penambahan waktu dan peringatan dari murtahin.52 b. Bapak Nur Hamdi Sesuai dengan tabel Bapak Nur Hamdi menggadaikan motornya dengan merek Supra X tahun rakitan 2001 dengan jumlah uang sebesar Rp. 3.500.000,00. waktu yang diminta dan disepakati adalah selama 4 bulan, seperti halnya râhin yang lain jika paa waktu yang diberikan râhin belum bisa mengembalikan pinjamannya maka pihak rahin memberikan tambahan waktu dan peringatan sebanyak dua kali. 53 Menurut penuturan Bapak Nur Hamdi uang tersebut digunakan untuk mengembalikan hutangnya kepada saudaranya. Kemudian perjanjian yang dilaksanakan oleh Bapak Nur Hamdi adalah secara tertulis dan bahkan ia juga mendatangkan dua orang saksi karena menurutnya hal ini adalah suatu kepercayaan yang harus dicatat dan disaksikan oleh dua orang saksi, agar jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan dikemudian masih ada bukti dan orang yang dapat dimintai penjelasan. Dan setelah waktu yang disepakati habis ternyata Bapak Nur Hamdi belum bisa mengambalikan pinjamannya, namun tanpa malu-malu ia meminta kepada râhin untuk diberi tambahan waktu selam satu bulan dan akhirnya ketika tambahan
52 53
Hasil Wawancara dengan bapak Miswadi pada tanggal 22 Maret 2008 Hasil wawancara dengan Bapak TukulYadi Hastoro pada tanggal 21 Maret 2008
46
waktu tersebut Bapak Nur Hamdi tanpa diberi peringatan ia bisa melunasi hutangnya.54 c. Bapak Slamet Berdasarkan tabel Bapak Slamet meminjam uang sebesar Rp.5.000.000,00 dengan barang jaminan sepeda motor GL Pro tahun rakitan 2000.
55
Sesuai dengan penuturan bapak Slamet uang tersebut
digunakan untuk membayar biaya rumah sakit. Sedangkan waktu yang diminta oleh Bapak Slamet adalah agak lam yaitu 8 bulan, karena menurutnya untuk mengembalika nominal sebesar itu ia tidak mungkin bisa kalau hanya dalam hitungan 4 atau 5 bulan, dari padasaat jatuh tempo ia tidak bisa mengembalikan hutangnya maka lebih baik ia meminta waktu yang panjang sekalian, toh pada kenyataannya pihak murtahin juga menyetujuinya.
Kemudian
tepat
8
bulan
Bapak
Nur
Hamdi
mengembalikan hutangnya, tanpa meminta tambahan waktu dan peringatan dari pihak murtahin.56
54
Hasil Wawancara dengan Bapak Nur Hamdi pada tanggal 22 Maret 2008 Hasil Wawancara dengan Bapak TukulYadi Hastoro pada tanggal 21 Maret 2008 56 Hasil Wawancara dengan Bapak Slamet pada tanggal 22 Maret 2008 55
47
d. Bapak Muhammad Su’udi Untuk Bapak Muhammad Su’udi ia menggadaikan motornya kepada Bapak Tukul dengan jenis Shogun R tahun rakitan 2003 dengan pinjaman sebesar Rp.4000.000,00. 57 Menurutnya bapak Su’udi ia terpaksa menggadaikan motornya karena untuk membayar hutangnya yang dulu dipakai untuk membangun rumah kemudian perjanjian dari akad ini juga secara tertulis tetapi tidak ada saksi karena menurutnya perjanjian di atas materai itu sudak kuat sekali. Sedangkan waktu yang mereka sepakati adalah 4 bulan, dengan artian jika dalam waktu empat bulan râhin tidak bisa mengambalikan hutangnya, tahap perama ia masih mendapat kelonggaran waktu, tahap kedua ia mendapatkan peringatan dan tahap ketiga baru barang jaminan tersebut akan dijual untuk melunasi hutangnya. Dan setelah waktu yang dijanjikan habis, tanpa meminta perpanjangan waktu ia telah mengambalikan hutangnya.58 e. Bapak Darno Jenis motor yang digadaikan Bapak Darno adalah Yamaha Alfa tahun rakitan 1996, dipinjamkan uang sebesar Rp.2.000.000,00.
59
Uang
tersebut oleh Bapak Darno digunakan untuk membayar uang sekolah anaknya. Adapun waktu yang mereka sepakati adalah adalah selama 4 bulan. 57
Untuk
pelaksanaan
akadnya
Pak
Darno
hanya
Hasil Wawancara dengan Bapak TukulYadi Hastoro pada tanggal 21 Maret 2008 Hasil Wawancara dengan Bapak Su’udi pada tanggal 22 Maret 2008 59 Hasil Wawancara dengan Bapak TukulYadi Hastoro pada tanggal 21 Maret 2008 58
dengan
48
menggunakan lesan karena ia yakin dapat memenuhi keperayaan yang diberikan kepadanya. Tepat pada waktu jatuh tempo Bapak Darno mengembalikan hutangnya.60 f. Bapak Sugiono Menurut Bapak Sugiono ia menggadaikan motornya Suzuki Smash rakitan tahun 2003, dipinjamkan uang sebesar Rp. 3.000.000,00, dengan jangka waktu 2 bulan. Untuk akad perjanjiannya ia menggunakan perjanjian secara tertulis dan disaksikan oleh dua orang saksi. Menurut penuturannya uang tersebut digunakan untuk menutup hutangnya kepada orang lain.61 Kemudian pada saat jatuh tempo yakni dua bulan kemudian, Bapak Sugiono belum bisa melunasi hutangnya, tapi ia juga meminta perpanjangan waktu satu bulan kepada murtahin, namun setelah waktu perpanjangan habis Sugiono juga belum bisa melunasi mengambalikan pinjamannya, ia meminta perpanjangan waktu lagi satu bulan. Dan tepat satu bulan kemudian ia juga belum bisa mengembalikan hutangnya sampai akhirnya Sugiono mendapat teguran dan peringatan. Walaupun sudah mendapat teguran dan peringatan ia tetap belum bisa mengambalikan hutangnya bahkan sampai enam bulan, bahkan terkesan ia tidak berani menampakkan dirinya di daerah tersebut. Dan ternyata ketika murtahin meminta izin kepada râhin ternyata BPKB motor tersebut telah terlebih
60 61
Hasil Wawancara dengan Bapak Darno pada tanggal 22 Maret 2008 Hasil Wawancara dengan Bapak Sugiono pada tanggal 22 Maret 2008
49
dahulu dipinjamkan dikoperasi dengan nominal dua juta. Dan karena kondisi Sugiono yang sangat sulit akhirnya Sugiono meminta kepada murtahin supaya mengambil BPKB tersebut sekalian melunasi hutangnya, dengan tujuan setelah BPKB motor tersebut diambil pihak murtahin bisa menjual barang jaminan tersebut, dan setelah itu baru Sugiono bisa mengembalikan hutangnya kepada murtahin.62 3. Jumlah Murtahin Sedangkan untuk kreditor hanya satu orang yaitu Bapak Tukul Yadi Hastoro. 4. Pelaksanaan akad gadai sepeda motor di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo. Mengenai pelaksanaan akad gadai sepeda motor di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo adal;ah ketika seseorang sangat butuh uang dalam kondisi yang mendesak dan dalam jumlah yang cukup banyak dan ia tidak bisa mendapatkan uang tersebut selain dengan menggadaikan sepeda motornya. Selain itu akad ini bisa terlaksana berasarkan atas kesepakatankesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, serta memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Untuk hak dan kewajiban râhin adalah: a. Mengajukan harga yang pantas yang sesuai dengan kondisi atas barang jaminannya. b. Menyetujui atau menolak tawaran harga yang diajukan oleh murtâhin. 62
Hasil Wawancara dengan Bapak Tukul Yadi Hastoro pada tanggal 21 Maret 2008.
50
c. Menerima uang pinjaman setelah transaksi disetujui. d. Mengambil kembali atas barang jaminan setelah melunasi uang pinjaman setelah jatuh tempo.63 Kemudian untuk kewajiban râhin antara lain: a. Menyerahkan barang jaminan b. Membayar hutang ketika jatuh tempo c. Mengadakan akad perjanjian lagi, jika belum mampu melunasi hutangnya. Sedangkan hak dan kewajiban murtâhin adalah: a. Menagih hutang râhin jika telah jatuh tempo b. Menerima uang pelunasan secara utuh dari pihak râhin c. Memelihara dan menjaga barang jaminan d. Mengembalikan barang jaminan setelah melunasi hutangnya.64 Sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan Bapak Slamet bahwa pelaksanaan akad gadai sepeda motor di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo itu terjadi ketika ia sedang dalam keadaan mendesak dan hal ini merupakan jalan satu-satunya yang mudah ditempuh bagi seseorang yang sangat membutuhkan uang karena dalam akad ini pihak murtâhin tidak meminta biaya atupun bunga, yang terpenting adalah terdapat barang jaminan, yang jaminan tersebut nilainya lebih tinggi dibanding dengan uang
63 64
Hasil Wawancara dengan Bapak Tukul Hastoro, tanggal 13 Maret 2007. Ibid.
51
pinjamannya. Selain itu pihak râhin yang harus mampu melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan.65 Kemudian menurut bapak Slamet pada dasarnya pelaksanaan gadai yang ada di pedesaan, umumnya berbeda dengan gadai yang sesungguhnya. Gadai di pedesaan merupakan istilah dari pinjam uang dengan menyerahkan barang-barang berharga kepada pihak pemberi pinjaman. Sedangkan jumlah uang yang diterima sesuai dengan kesepakatan diantara mereka.66 Kemudian menurut Bapak Darno, akad gadai di desa Mojorejo dilaksanakan dengan akad lesan, transaksi ini biasanya hanya berdasarkan kepercayaan saja karena pihak yang meminjamkan uang (murtâhin) faham kebiasaan sehari-harinya dan yang bisa transaksi semacam ini hanya orangorang terdekat seperti tetangga atau teman akrab yang bisa dipercaya. Namun banyak juga yang melaksanakannya secara tertulis yakni dengan memakai surat perjanjian di atas materai serta mendatangkan saksi. Hal ini mereka lakukan untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya saja jika terjadi sengketa maka surat tersebut bisa dijadikan sebagai bukti untuk menuntut hak dan kewajiban mereka.67 Selain itu menurut Bapak Miswadi bahwa dalam pelaksanaan gadai sepeda motor di desa Mojorejo ini pada umumnya mereka mempunyai aturanaturan yang berlaku secara umum dan dikenal luas oleh masyarakat pedesaan. 65
Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad Saudi, pada tanggal 15 Maret 2007. Hasil Wawancara dengan Bapak Slamet, pada tanggal 10 Maret 2007. 67 Hasil Wawancara dengan Bapak Darno, pada tanggal 10 maret 2007. 66
52
Aturan-aturan itu antara lain: bilamana seseorang meminjam uang sejumlah Rp. 1.000.000 sampai dengan Rp. 5.000.000 maka pihak murtâhin harus bisa melihat barang jaminannya, apakah barang tersebut layak digadaikan dengan uang sebesar itu atau tidak, atau sesuai dengan kesepakatan diantara mereka untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Biasanya barang jaminan yang akan digadaikan adalah sepeda motor keluaran 2000 ke atas. Untuk jumlah uang pinjaman ditentukan atas dasarmotor yang digadaikan, dengan mengambil perhitungan nilai harga sepeda motor tersebut, yaitu separuh harga dari barang yang digadaikan atau menurut kebutuhan sesuai dengan jumlah minimal yang rendah sekitar satu juta rupiah.68 5. Penyelesaian kasus ketika penggadai tidak bisa mengembalikan uang gadai Sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan bapak Tukul Yudi Hastoro yakni satu-satunya murtâhin yang ada di desa Mojorejo, bahwa mengenai penyelesaian kasus ketika penggadai tidak bisa mengembalikan uang pada saat jatuh tempo pertama adalah memberi kebebasan dan menambah waktu satu minggu sampai satu bulan agar pihak râhin bisa melunasi hutangnya dan jika dalam jangka perpanjangan waktu tersebut belum bisa , maka cara yang keduaa adalah murtâhin memberi peringatan sebanyak 1 sampai 2 kali. Dan jika râhin masih tetap belum bisa mengambalikan hutangnya, maka pihak murtâhin memaksa agar râhin menjual barang jaminan tersebut dengan meminta izin atau membuat 68
Hasil Wawancara dengan Bapak Miswadi. Tanggal 13 Maret 2007.
53
perjanjian dengan râhin agar pihak murtâhin bisa menjual barang jaminan tersebut guna mendapatkan pembayaran atas piutangnya dari hasil penjualan serta meminta ganti atas biaya penjualan barang jaminan tersebut, kemudian jika masih ada sisa dari hasil penjualan barang jaminan, maka dikembalikan kepada pihak râhin.69 Kemudian menurut Bapak Tukul lagi, suatu ketika ia mengahadapi râhin yang sangat berbelit-belit ketika jatuh tempo, sudah diberi perpanjangan waktu namun râhin terssebut tidak segera melunasi hutangnya, bahkan sampai berbulan-bulan, dan yang lebih sulit lagi selain orang tersebut sulit ditemui ternyata tanpa sepengetahuan murtâhin BPKB sepeda motor yang dijadikan sebagai jaminan atas utang tersebut, ternyata juga digadaikan disebuah koperasi atau bank, yang akhirnya pihak murtâhin tidak bisa menjual barang jaminan tersebut sebelum ia bisa mengambil BPKB dari sepeda motor tersebut. Namun akhirnya karena murtâhin merasa dirugikan walaupun terpaksa ia juga harus mengeluarkan BPKB dari sepda motor tadi dari koperasi atau bank. Setelah itu baru sepeda motor tersebut bisa dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi hutang-hutang tadi.70 Menurut Bapak Slamet jika memang pada waktu jatuh tempo ia tidak bisa melunasi hutangnya, maka dengan senang hati merelakan sepeda
69 70
Hasil Wawancara denga Bapak Tukul Yudi Hastoro, pada tanggal 14 Maret 2007. Ibid.
54
motornya untuk dijual, karena memang sepeda motor tersebut merupakan jaminan yang harus dijual jika suatu saat ia tidak bisa melunasi hutangnya.71 Menurut Bapak Miswadi bahwa jika telah jatuh tempo dan ia belum bisa melunasi hutangnya maka ia meminta penambahan waktu sampai ia mendapatkan uang untuk melunasi hutangnya tetapi apabila ia belum sanggup melunasi hutangnya ia mengizinkan kepada murtahin untuk menjual sepeda motornya yang dijadikan sebagai jaminan. Kemudian setelah diambil hutangnya sisa dari penjualan motor tersebut supaya diserahkan pada râhin.72 Hal ini juga dituturkan oleh Bapak Darno, bahkan menurutnya sebelum jatuh tempo semaksimal mungkin ia berusaha untuk bisa mengembalikan hutang tersebut karena ia menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya, namun jika terpaksa pada saat jatuh tempo ternyata belum bisa melunasi hutangnya maka tanpa meminta perpanjangan waktu ia menjual barang yang telah digadaikannya demi terlunasi hutangnya tersebut.73 Adapun menurut Bapak Su’udi jika pada waktu jatuh tempo ia tidak bisa melunasi hutangnya, sebelum ada peringatan dari pihak murtâhin, ia telah terlebih dahulu memerintahkan agar sepeda motor dijual yang nantinya digunakan untuk melunasi hutang-hutang tersebut.74
71
Hasil Wawancara dengan Bapak Slamet, pada tanggal 14 Maret 2007. Hasil Wawancara dengan Bapak Miswadi, , pada tanggal 14 Maret 2007 73 Hasil Wawancara dengan Bapak Darno , pada tanggal 23 Maret 2008 74 Hasil Wawancara dengan Bapak Saudi, pada tanggal 27 Maret 2008 72
55
Sedang menurut Bapak Sugiono akad perjanjiannya menggunakan perjanjian secara tertulis dan disaksikan oleh dua orang saksi. Kemudian pada saat jatuh tempo dan belum bisa melunasi hutangnya ia meminta perpanjangan waktu satu bulan kepada murtahin, namun jika setelah waktu perpanjangan habis dan belum bisa mengambalikan pinjamannya, ia meminta perpanjangan waktu lagi.75
75
Hasil Wawancara dengan Bapak Sugiono, pada tanggal 27 Maret 2008
56
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN GADAI SEPEDA MOTOR DI DESA MOJOREJO KECAMATAN JETIS KABUPATEN PONOROGO
A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akad Gadai Sepeda Motor Di Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo Pada dasarnya akad rahn dikatakan sah menurut Islam apabila terpenuhi syarat dan rukunnya. Seperti disebutkan pada bab terdahulu. Diantara yang menjadi sah akad rahn adalah sighat (ijab qabul). Sighat ini menunjukkan adanya kerelaan kedua belah pihak, tidak dipaksa dan tidak ada yang terpaksa. Untuk mengetahui tentang sah tidaknya pelaksanaan akad gadai sepeda motor di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo, bila dianalisa dari hukum Islam maka akan penulis kemukakan sebagaimana berikut. Akad adalah perbuatan seseorang atau lebih dalam mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ijâb adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan. Sedangkan qabûl adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Jadi Ijâb dan qabûl itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya kerelaan terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan.
57
Agar suatu akad dipandang sah harus diperhatikan rukun-rukun dan syaratnya. Akad antara râhin dan murtâhin di desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo dipandang sah apabila memenuhi rukun dan syarat akad. Secara umum apabila dilihat darai segi syarat, subyek atau pelakunya adalah orang-orang yang sudah baligh atau berakal. Dan berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan bahwa tidak ada anak kecil, orang gila dan bodoh yang melakukan transaksi akad râhn tersebut. Disamping itu akad yang terjadi diantara kedua belah pihak merupakan kehendak sendiri, râhin adalah seorang yang sangat membutuhkan bantuan yakni berupa uang. Sedangkan murtâhin dalam akad ini merupakan seseorang yang bisa membantu kesulitan râhin, yakni memberikan pinjaman uang sesuai dengan jumlah uang yang dibutuhkan oleh râhin dan sesuai dengan barang jaminan yang diserahkan. Dalam akad tersebut pihak murtâhin juga tidak memungut biaya apapun dan juga tidak ada bunga. Namun, dalam akad tersebut pihak râhin mengizinkan terhadap murtâhin untuk memanfaatkan barang gadaiannya. Hal tersebut menurut ulama fiqh merupakan sesuatu yang mendukung lancarnya akad râhn tersebut dan bukanlah sesuatu yang merusak terhadap akad râhn. Kemudian jika dianalisa dari segi pelaksanaannya, akad râhn yang dilaksanakan oleh penduduk desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo tersebut juga dilaksanakan sebagian dengan cara tertulis, sebagian tidak yakni hanya mengandalkan sistem kepercayaan. Selain itu dalam transaksi tersebut juga dihadirkan saksi untuk menjaga adanya hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari.
58
Dalam transaksi antara kedua belah pihak jika dikaitkan hukum islam adalah sudah sangat sesuai, hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat alBaqarah ayat 283:
jًyْ _َ ْoُ ُ yْ _َ n َ gِ نْ َاjِ |َ sٌ َ ْTUُ tْ gO ٌnِهX|َ jًUِ jَوْا آPُ ِ َ ْQَوO Xٍ kَ m َ َYw َ ْlُ fْ َوِانْ ُآ ‘eOjِ |َ jَpْ lُ oْ qَ ْngَ َد َة َوjَ O Qا اTُplُ oْ َ َ‘ َوeO_ َر َ ]ا ِ lOuَ Qْ وَاeُ lَ َ jَg َاn َ pِ ُ ْ~ِىQO َ
د اuُ Yْ |َ .ٌuْ Yِw َ ن َ ْTYُpَ yْ َ jَp_ِ ُ ‘ وَاeُUYْ َ ٌvِ ا Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 76
Kemudian apabila dipandang dari segi sosial transaksi antar kedua belah pihak tersebut terdapat unsur tolong menolong yang sangat menguntungkan dan merupakan suatu kebaikan yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam, hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:
َ َوPَ {ِ َ tَ Q ا َ ي َو َ ْPَ Qْ ا َ َا َم َوX[ َ Q اXَ ْ O Q ا َ َو ِ اXَ {ِ jَyc َ اTVY[ ِ ُ َ اTُfgَ ª n َ qْ ~ِ OQ اjَqV«َ qَ ج
دُواjَ®¤ ْ jَ| ْlُ Yْ Yَd َ ج َوِإذَاjً َاT ْ ْ َر
_ ِْ َو ِرngِ ً ْ |َ ن َ ْT¬ُ lَ Uْ qَ َا َمX[ َ Q ا¢ َ uْ Uَ Q اn َ uْ g
ªَء
َ Yَw اTُ َوjَyَ ُوام َوPlَ yْ َ َْا ِم َأنX[ َ Q اPِ ِ ْ pَ Q اn ِw َ ْوْا ُآPV ¤ َ ْْ ٍم َأنTَ ن ُ jَ°fَ c َ ْoُ fO gَ Xِ ْ qَ َ َو Pُ qْ Pِ c َ َ ن ا O ِإ
Y¤
َ ا اTُtOنج وَا ِ ْوَاPyُ Q ِ وَاvْ ± ِ َ اYw َ اTُ َوjَyَ َ َو
Y¤
َىTtْ lOQ وَاX
Uِ Qا ب ِ jَtyِ Qا
76
DEPAG RI, Al-Quran dan Terjemahny (Surabaya: Mahkota Surabaya, 1990), 71.
59
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaaid, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa77 Nya. Dari ayat di atas berisi anjuran untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan taqwa dan tidak untuk dalam hal dosa dan permusuhan. Hal ini adalah sangat tepat sekali karena berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan râhin tersebut menggadaikan barang berharganya jika dalam keadaan mendesak yakni biasanya untuk kepentingan kebaikan misalnya untuk biaya pengobatan atau hal lain yang bermanfaat dan bukan untuk hal-hal yang negatif. Kemudian tidak adanya pungutan biaya apapun dan juga tidak adanya riba dalam akad tersebut, hal ini menunjukkan bahwa murtâhin adalah merupakan orang yang benar-benar ingin menolong terhadap sesamanya dan riba juga termasuk sesuatu yang diharamkan oleh Islam. Hal ini terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi: 1. al-Qur’an. a) Surat al-Ruum ayat 39: 77
Ibid.,156.
60
ْngِ ْlُ uْ َ ءَاjَg َوY¤ ِ اPَ fْ w ِ اTُqْXqَ َ |َ س ِ jOfQل ا ٍ َاTgْ َأ ِ | اTَُ_ْXuَ Qِ jَ_ْ ِرngِ ْlُ uْ َ ءَاjَgَو ن َ ْTkُ yِ ْ pُ Q´ ُه ُ ا َ °ِ Qُ |َ«و ِ اeَ z ْ ن َو َ ْوPُ qْ ِXُ ٍةTََزآ Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan 78 (pahalanya). b) Surat al-Imran ayat 130
ن َ ْT[ ُ Yِkْ ُ ْoُ YOyَ Qَ َ ا اTُtlOQ وَاY¤sً kَ yَ ُgjً|jَy ْ ا َأTَ_X
Qا اTُY َ«ْ ُآ َ اTُfgَ ءاn َ qِ~QO اjَqV¶َq Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.79 c) Surat al-Nisa’ ayat 161
n َ qْ Xِ |ِ jَoYْ Qِ jَْPlَ w ْ ج َوَأx ِ£ ِ jَ UQjِ_ س ِ jOfQل ا َ َاTgْ ِْ َأYِ َوَأ ْآeُ fْ w َ اTُُ ْPَ ا َوT_
XQ ِ~ ِه ُ ا ْ َوَأ jًpuْ Qِ َأjً_~َاw َ ُْ fْ gِ Artinya:
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu 80 siksa yang pedih. d) Surat al-Baqarah ayat 275
n َ gِ n ُ ®ْu O Q اeُ ® ُ UO ¥ َ lَ qَ ~ِىQOْ ُم اTtُ qَ jَp َآ O ن ِإ َ ْTgُ ْTtُ qَ َ اTَ_!ِXQن ا َ ْTYُ«ْ ُآqَ n َ qِ ~ِ QOا ج Y ج اTَ_X
Q َم اXO d َ َ¸ َوuْ Uَ Q ا ُ اx Od َ ا َوَأTَ_X
Q اx ُ Wْ gِ ¸ُ uْ Uَ Q اjَpO ا ِإTُQjَ ُْ ّ«َ _ِ ´ َ Qِ ذZ
pQا Y¤ َدjَw ْngَ و ِ َ اQ ِإhُ Xُ gْ » َوَأ َ Yَm َ jَg eُ Yَ|َ َlَ ْ «َ | ىeِ _
ْ َرngِ sٌ º َw ِ ْTgَ hُ َ¶ َءd ْnpَ |َ Y¤ ن َ ْوPُ Yِ jَuْ |ِ ُْه ِرjOfQ¼ ا ُ [ َ¤ ْ ´ َأ َ °Qَ|«ُو Artinya:
78
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah
Ibid., 647. Ibid, .97. 80 Ibid, 150. 79
61
disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.81 e) Surat al-Baqarah ayat 278 – 279
n َ uْ fِ gِ ْgُ ْlُ fْ ا ِإنْ ُآTَ_X
Q اn َ gِ b َ tِ _َ jَg َو َذرُوا َ ا اTtOا َأTُfgَ ءَاn َ qْ ~ِ QO اjَqV«َ qَ Y¤ ْoُ QَِاTgْ س َأ ُ ْ ُرءُوoُ Yَ|َ ْlُ Uْ ُ َْوِإن eِ QِْTm ُ َو َر ِ اn َ gِ ب ٍ ْX[ َ _ِ اTُا َ|«ْ َذTُYyَ kْ َ ْQَ َْ| ِ§ن ن َ ْTpُ Yَºُ َ ن َو َ ْTpُ Yِº ْ َ َ Artinya: (278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orangorang yang beriman. (279) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. 82
2. Hadits Nabi Muhammad saw riwayat Imam Bukhari
ل َ ْTm ُ َرjَq TُQjَ :ت ِ jَt_ِ TُpQْ َ¸ اUْ َ Qْا اTUُ fِ lَ z ْ ل ِإ َ jَ ص مb
Uِ fO Q اn ِw َ َةXَ qْ Xَ ْ ُهb_ِ ¿ٌ َاqْ Pِ d َ ]
[ َ Qْ jِ_ O ِا ُ َم اXO d َ bِlQO اZ ِ kْ fO Q اx ُ lْ َ َوXُ [ ْ
Q وا ِ jِ_ ك ُ ْX O Qل ا َ jَ ؟On ُهjَg َو ِ ا ت ِ jَ fِgْpُ Qْ ت ا ِ jَf َ [ ْ pَ Qْ ف ا ُ ْ~َ » َو ِ d ْ XO Qْ َم اTqَ ْbQ
Tَ lOQ ِ وَاuْ lِ uَ Qْ ل ا َ jَg x ُ َوَا َآjَ_X
Q اx ُ َوَا َآ ت ِ َ |ِ jَ¬Qْ ا Artinya: Abu Hurayrah r.a berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan, sahabat bertanya, apakah itu wahai Rasulullah? Jawab NAbi (1) syirik (mempersekutukan Allah); (2) berbuat sihir (tenung); (3) membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali yang hak; (4) makan harta riba; (5) makan harta anak yatim; (6) melarikan diri dari perang 81 82
Ibid, 69. Ibid, 69-70
62
jihad pada saat berjuang; dan (7) menuduh wanita mukminat yang sopan (berkeluarga) dengan tuduhan melakukan zina83 Dari awal transaksi yang terjadi antara râhin dan murtâhin sudah dilandasi adanya unsure tolong menolong dan dilandasi saling percaya, maksudnya walaupun sebagian transaksi yang dilakukan tersebut tidak dilaksanakan secara tertulis namun pihak murtâhin tidak merasa hawatir kalau uangnya tidak dikembalikan. Karena selain adanya barang jaminan, râhin tersebut adalah merupakan orang-orang yang dipandang bisa dipercaya dan rumahnya berdekatan. Prinsip kejujuran atau saling percaya yang dilakukan antara râhin dan murtâhin tersebut tidak menyimpang dari syara’ sesuai dengan firman Allah surat al-Taubah ayat 119:
n َ uْ ِ Pِ Â ّ Q َ¸ اgَ اTُْT َو ُآ َ ا اTُtOا اTُfgَ ءَاnْq~ِ QO اjَqV«َ qَ Artinya: Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. Berdasarkan iraian tersebut bahwa transaksi râhn (gadai) yang dilaksanakan oleh penduduk desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo, bila dilihat dari segi syarat dan rukunnya adalh sesuai dengan syariat Islam, karena terdapat râhin dan murtâhin serta marhun bih. Selain râhin dan murtâhin juga merupakan orang-orang yang sudah ahliyah yakni orang yang sudah cukup melaksanakan suatu akad, dalam hal ini tidak gila, tidak bodoh dan juga bukan
83
Al-Buchori, Shoheh Bukhori, Juz III. Beirut: Dar al-Fikr 1992, 76
63
anak kecil. Dalam akad tersebut dalam unsur tolong menolong yang sangat dianjurkan oleh syariat Islam. Dari keterangan di atas penulis menyimpulkan bahwa tata cara pelaksanaan gadai di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo tidak bertentangan dengan hukum Islam.
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Penyelesaian Kasus Ketika Penggadai Tidak Bisa Mengembalikan Uang Gadai Islam mengajak untuk mengatur muamalah- muamalah diantara sesama manusia atas dasar amanat, jujur, dan memenuhi janji. Islam juga melarang terjadinya pengingkaran- pengingkaran dan pelanggaran- pelanggaran, laranganlarangan dan menganjurkan untuk memenuhi janji dan amanat. Apabila ijab dan qabûl telah dilaksanakan oleh râhin dan murtâhin maka selanjutnya antara râhin dan murtâhin keduanya mempunyai hak dan kewajiban sendiri- sendiri. Bagi penerima gadai ia harus bertanggung jawab menjaga, memelihara dan berusaha semaksimal mungkin agar barang tersebut tidak rusak, karena jika barang tersebut rusak karena kecerobohannya, maka ia harus bertanggung jawab atas kerusakan barang tersebut. Namun jika barang tersebut rusak diluar kemampuan murtâhin maka ia tidak harus menggantinya. Selain itu pada pelaksanaannya penduduk desa Mojorejo, juga menetapkan hak dan kewajiban murtâhin maka ia tidak harus menggantinya. Selain itu pada pelaksanaannya penduduk desa Mojorejo juga menetapkan hak dan kewajiban
64
murtâhin yaitu menagih hutang râhin jika telah jatuh tempo, menerima uang pelunasan secara utuh dari pihak râhin, mengembalikan barang jaminan setelah melunasi hutangnya. Dan bagi râhin juga terdapat kewajiban setelah ijab dan qabûl itu dilaksanakan antara lain menyerahkan barang jaminan, membayar hutangnya jika telah jatuh tempo, mengadakan akad perjanjian lagi dengan tujuan jika râhin belum mampu melunasi hutangnya. Dari adanya penetapan-penetapan hak dan kewajiban baik bagi râhin maupun murtâhin hal ini menunjukkan, bahwa akad gadai yang dilaksanakan sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing. Jika dilihat dari segi syariat Islam, hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh penduduk desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo, tidaklah menyimpang dengan syarat dan rukun serta hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh ulama-ulama fiqh. Kemudian tata cara yang dilakukan oleh murtâhin ketika waktu yang telah ditetapkan habis dan râhin belum bisa mengembalikan pada saat jatuh tempo tersebut, maka pihak murtâhin masih memberi keluasan waktu hingga satu minggu bahkan sampai satu bulan agar pihak râhin berusaha untuk melunasi hutangnya. Dan jika pada saat itu râhin juga belum bisa melunasinya maka pihak murtâhin masih memberi kesempatan lagi kepada râhin dengan memberi peringatan satu hingga dua kali. Apa yang telah dilakukan oleh murtâhin tersebut merupakan kebijakan yang mulia sekali, karena dalam hal ini ia memberi keluasan waktu kepada râhin
65
dengan tagihan hutang sampai ia sanggup. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 280:
ن َ ْTpُ Yَyْ َ ْlُ fْ ِإنْ َآY¤ْoَ Qَ ٌXuْ َ اTُPO Â َ َ ْ ٍةج َوَأنXَ َ uْ gَ َ Qِةٌ إXَ º ِ fَ |َ ٍةXَ ْw ُ ن ذُو َ jََوِإنْ آ Artinya: Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.84 Dalam ayat lain sebagai balasan seseorang yang mau meminjamkan hartanya kepada orang lain adalah pahala yang berlipat ganda sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hadid ayat 11:
ٌqْ Xِ ٌ َآXz ْ َأeُ Qَ َوeُ Qَ eُ kَ yِ َ uُ |َ jًf َd َ jًْXَ َ ضا ُ Xِ tْ qُ ~ِىQOْ ذَاngO Artinya: Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.85 Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dijelaskan bahwa seorang muslim yang meminjamkan sesuatu kepada muslim lainnya dua kali maka satu kali dicatat sebagai sedekah.
jًpYِ ْ gُ ض ُ Xِ tْ qُ ٍ Yِ ْ gُ ْngِ jgَ ل َ jَ َ YOm َ َوeِ uْ Yَw َ ُ اbOY¤ َ b
Uِ fOQن ا O ْ ٍد َاTyُ ْ gَ n ُ _ْ n ِw َ 86 (ezjg n_ اh ًة )رواXO gَ jَlِ َ Pَ Â َ ن َآ َ jَ آ O ِإn ِ uْ َ XO gَ jًْXَ Artinya: Dari Ibn Mas’ûd sesungguhnya Nabi saw bersabda siapa saja dari orang muslim yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah. Sesuai dengan hadits di atas murtâhin yang memberikan kelonggaran waktu terhadap râhin atas ketidakmampuannya, sama halnya murtâhin tersebut
84
DEPAG, Al-Qur’an, 70. Ibid.,902. 86 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Majah (Beirut Dâr al-Fikr, 1995), 421. 85
66
memberikan pinjaman dua kali terhadap râhin dan sebagai pahalanya bagi murtahin maka yang satu kali dihitung sebagai shodaqoh. Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa keutamaan dari pada meminjamkan sesuatu lebih besar dari pada meminjamkan sesuatu lebih besar pahalanya dibanding dengan sedekah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah:
ب ِ jَ_ َYw َ ْb_ِ ي َ Xِ m ْ َأsَ Yَuْ Qَ ¢ ُ qْ م َرَأ. ص ِ لا ُ ْTm ُ ل َر َ jَ :ل َ jَ ´ ٍ Qِjَg n ِ _ْ Z ِ َ ْ َاnw َ ل ُ jَ_jَg x ُ qْ Xِ Uْ z ِ jَq ¢ ُ Yْ tَ |َ Xَ َw َ sَ uَ ِ jَpWَ _ِ ض ُ ْXtَ Qْ وَاjَQِjَWgْ َأXِ ْ yَ _ِ sُ َ Pَ Â O Q اjً_ْTlُ oْ gَ sِ fO َ Qْ ا ض ُ Xِ tْ lَ ْ qَ َ ض ُ Xِ tْ lَ ْ pُ Qْ وَاhُ Pَ fْ w ِ َوx ُ °َ ْ qَ x َ {ِ jOQن ا O jَ Qِ ل َ jَ sِ َ Pَ Â O Q اn َ gِ x ُ َ |ْ ض َأ ِ ْXtَ Qْ ا (ezjg n_ اh ٍ)رواsَd َ ْngِ jOQِا Artinya: Dari Anas Bin Malik berkata Rasulullah saw bersabda “Aku melihat pada awaktu malam diisra’kan, pada pintu tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qaradl delapan belas kali. Aku bertanya wahai Jibril, mengapa qaradl lebih utama dari sedekah? Maka ia menjawab, karena peminta-peminta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang 87 meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan. Kasus yang juga pernah terjadi dalam penyelesaian akad gadai di desa Mojorejo kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo adalah ketika jatuh tempo pihak râhin tidak mempunyai uang untuk melunasi hutangnya, walaupun pihak murtahin telah memberikan kelonggaran waktu dan memberikan peringatan sampai berkali-kali, pihak râhin tetap tidak bisa mengembalikan hutangnya, dan mungkin karena malu sampai pihak râhin tersebut melarikan diri sampai berbulan-bulan keluar kota. Tidak hanya itu saja pihak râhin juga tidak bisa 87
Ibid.
67
menjual barang jaminannya, lantaran sepeda motor yang digadaikan tersebut BPKBnya telah digadaikan disebuah koperasi. Akhirnya pihak râhin juga yang harus menebus BPKB tersebut dengan memberikan pinjaman uang guna mengambil, melunasi hutang râhin tersebut pada sebuah koperasi. Dengan jalan tersebut maka pihak murtahin baru bisa menjual barang jaminan tersebut dan setelah diambil semua hutang-hutangnya kemudian sisa dari hasil penjualan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada râhin. Jika dikaitkan dengan hukum Islam, apa yang telah dilakukan murtahin adalah perbuatan yang sangat mulia sekali, setelah memberikan pinjaman dan memberikan kelonggaran waktu ia juga masih memberikan pinjaman lagi guna menebus BPKB yang telah digadaikan disebuah koperasi. Sesuai dengan hadits Nabi bahwa siapa saja yang mau meringankan kesusahan seseorang, maka kelak Allah akan meringankan kesusahan orang tersebut dihari kiamat. Dalam hal ini râhin merupakan pihak yang kesusahan karena dililit hutang, dan pihak murtahin adalah seseorang yang oleh Allah diberi kelapangan harta. Dengan kemuliaan hatinya ia memberi pertolongan kepada sesamanya. Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Z َ kO َ jَuْ PV Qب ا ِ Xَ ْ ُآngِ sً _َ ْX ٍ ُآYِ ْ gُ ْnَw Z َ kO َ ْngَ ل َ jَ eُ fْ w َ ُ اb َ ِ َة َرXَ qْ Xَ ْ َا_ِ ُهnw َ jَuْ PV Q |ِ اeِ uْ Yَw َ ُ اXَ O qَ Xٍ ِ yْ gُ َYw َ َX O qَ ْngَ َوsِ gَ jَutِ Qْ ْ ِم اTqَ ب ِ Xَ ْ ُآngِ sً _َ ْXُ آeُ fْ w َ ُ ا (Yg h )رواeِ uْ ِ ن َأ ِ Tَw ِ| Pُ Uْ yَ Qْ دَا َم اjَg Pِ Uْ yَ Qْ ن ا ِ ْTw َ ِ| ُ ِة وَاXَ ِ jَ Qْ وَا Artinya: Dari abu Hurayrah Rasulullah saw bersabda: barang siapa menghilangkan satu kesulitan dunia dari orang muslim maka Allah akan menghilangkan darinya kesulitannya dihari kiamat. Dan barang siapa yang memudahkan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan memudahkan kesulitan orang tersebut di dunia dan di akhirat. Dan
68
Allah akan menolong hambanya selama hamba tersebut mau menolong terhadap saudaranya.88 Menurut analisa penulis kasus yang terjadi pada râhin Sugiono, dalam pelaksanaannya terdapat unsur tolong menolong sebagaimana yang dianjurkan syariat Islam. Terlebih lagi ketika Sugiono terlilit hutang, disisi lain ia mempunyai hutang disebuah koperasi dan disisi lain ia juga mempunyai hutang kepada bapak Tukul Yudi Hastoro. Dan meskipun ketika waktu yang dijanjikan habis, kemudian bapak Sugiono terpaksa belum bisa melunasi hutangnya kepada bapak Tukul, namun bapak Tukul masih memberi kelonggaran pada Sugiono satu bulan kemudian pada perpanjangan waktu yang diberikan tersebut ternyata Sugiono juga terpaksa belum bisa mengembalikan pinjamannya. Namun, bapak Tukul tetap memberikan kelonggaran lagi dengan cara memberi peringatan sampai dua kali. Jika dilihat dari segi syariat Islam apa yang dilakukan oleh bapak Tukul sesuai dengan firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 280. pada ayat tersebut dijelaskan bahwa bagi orang-orang yang menghutangkan dianjurkan supaya memberi keluasan waktu kepada pihak yang berhutang jika dalam kesukaran, sampai ia berkelapangan. Dan menurut surat al-Hadid ayat 11 sebagai balasan bagi orang yang mau meminjamkan hartanya kepada orang lain adalah diberiakan pahala yang berlipat ganda. Suatu kemuliaan lagi yang dilakukan bapak Tukul ketika ia mau menjual barang jaminan tersebut, yang ternyata barang jaminan itu tidak dapat dijual, seperti yang telah penulis sebutkan penyebabnya adalah BPKB dari motor 88
Muslim, Shahîh Muslim, Juz II (Semarang: Thaha Putra, tt), 212.
69
tersebut juga digunakan sebagai jaminan disebuah koperasi. Dan karena tidakmampuan Sugiono untuk melunasi hutangnya di koperasi sehingga BPKB bisa diambil, maka bapak Tukul sendiri yang memberi pinjaman lagi untuk menyelesaikan hutang Sugiono di koperasi tersebut. Sesuai hadith yang diriwayatkan oleh Ibn Majah bahwa siapa saja yang meminjamkan sesuatu kepada orang lain sebanyak dua kali maka yang satu kali dicatat sebagai sedekah. Dan dalam hadith yang lain Nabi juga menjelaskan bahwa keutamaan dari meminjamkan sesuatu lebih besar pahalanya disbanding dengan sedekah. Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa penyelesaian kasus ketika penggadai tidak bisa mengembalikan uang ketika jatuh tempo adalah sesuai dengan syari’at Islam, karena dalam pelaksanaannya terdapat unsur tolong menolong antara sesama muslim, hal tersebut sangat dianjurkan oleh syariat Islam.
70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian-uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Pelaksanaan akad gadai sepeda motor di Desa Mojorejo Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo sudah sesuai dengan syari’at Islam karena telah memenuhi syarat dan rukun rahn, serta ada kesepakatan pada saat akad. 2. Penyelesaian kasus ketika penggadai tidak bisa mengembalikan uang gadainya pada saat jatuh tempo juga sesuai dengan hukum Islam, karena dalam pelaksanaannya terdapat unsur tolong menolong dan juga tidak ada riba di dalamnya karena ada kesepakatan pada saat akad. B. Saran-Saran 1. Hendaknya para pelaku gadai memperhatikan syarat dan rukunnya. 2. Hendaknya mereka melaksanakan akad tersebut sesuai dengan syariat yang telah berlaku. 3. Bagi râhin hendaknya menjaga kepercayaan yang telah diberikan murtahin, jika telah jatuh tempo maka sebaiknya segera menyelesaikan hutangnya.
71
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Abdul Ghafur Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Yogyakarta: Citra Media, 2006. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1993. Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: LSIK, t.t Furhan, Arif Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, t.t Hadi, Sutrisno Metodologi Research I, Yogyakarta: Andi Offset, 1994 Lexi. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Banmdung: PT. Remaja Rosydakarya, 2000 Margono, Metodologi Penelitian untuk Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2006 Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta, 2003.