1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Komunikasi merupakan suatu sarana yang digunakan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan sesamanya sebagai suatu kegiatan untuk menyampaikan gagasan dalam dirinya. Wilbur Schramm (dalam Suranto, 2010: 2) menyebutkan komunikasi merupakan tindakan melaksanakan kontak antara pengirim dan penerima, dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima memiliki beberapa pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan dan simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima. Sedangkan Onong Uchjana Effendy (2006: 46) menyebutkan bahwa komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain yang dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Pada dasarnya, komunikasi terbagi menjadi dua bagian, yaitu komunikasi verbal yang dilakukan dengan menggunakan lisan dan komunikasi non verbal dengan menggunakan gerak-gerik badan atau dengan menunjukkan sikap tertentu. Komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Larry A. Samovar dan Richard E. Porter dalam Mulyana, 2010: 343). Jurgen Rush dan Weldon Kess (dalam
1
2
Hanafi, 1984: 223) membagi dunia nonverbal menjadi 3 bagian, yaitu bahasa isyarat, bahasa gerak, dan bahasa objek. Kebanyakan isyarat nonverbal tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan (Mulyana, 2010: 343). Mark L. Knap (dalam Mulyana, 2010: 347) memberikan gambaran mengenai komunikasi nonverbal sebagai berikut: Istilah nonverbal digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama disadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal. Salah satu bentuk komunikasi nonverbal adalah simbol. Simbol berupa artefak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum (Cangara, 1998: 109). Salah satu karakteristik simbol yang harus diingat yaitu bahwa simbol itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah (Effendy, 2006: 46). Simbol disini diartikan sebagai salah satu media dalam komunikasi yang mempunyai pesan atau makna di dalamnya yang harus dimengerti oleh seorang yang sedang berkomunikasi. Simbol atau lambang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berkomunikasi. Semua perilaku manusia pasti disertai dengan simbol-simbol yang digunakan sebagai media dalam berkomunikasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Riswandi (2009: 6) bahwa komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau
3
perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media (Effendy, 1995: 11). Riswandi (2009: 6) dalam bukunya juga menyebutkan: Lambang yang paling umum digunakan dalam komunikasi antar manusia adalah bahasa verbal dalam bentuk kata-kata, kalimat, angkaangka, atau tanda-tanda lainnya. Selain bahasa verbal, lambanglambang yang bersifat nonverbal yang dapat digunakan dalam komunikasi seperti gesture (gerak tangan, kaki atau bagian tubuh lainnya), warna, sikap duduk, berdiri dan berbagai bentuk lambang lainnya. Simbol merupakan salah satu bagian penting dari sebuah kebudayaan yang ada, termasuk pada masyarakat Jawa. Hampir dalam setiap kebudayaan Jawa terdapat simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri yang telah disepakati. Kebudayaan Jawa merupakan pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa, yang mencakup kemauan, cita-cita, ide, maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan lahir dan batin (Subiyantoro, dkk, 2011: 117). Sejak zaman dahulu, suku bangsa Jawa merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang diketahui memiliki kebudayaan yang tinggi. J. Brandes (dalam Slamet Ds, dkk, 1990: 18) menyebutkan bahwa masyarakat Jawa Kuno telah memiliki 10 unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan tersebut yaitu seni wayang, seni gamelan, bentuk-bentuk metrik, memandai logam, sistim mata uang, pengetahuan berlayar, pengetahuan astronomi, bertani dengan irigasi, dan susunan pemerintahan kenegaraan. Budaya pada dasarnya sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan,
4
pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan (Mulyana dan Rakhmat, 2010: 17-18). Pada masyarakat Jawa, keraton merupakan pusat dan sumber (punjer) kebudayaan Jawa, budaya lahir dan batin Kebudayaan Jawa dikenal budaya yang adiluhung yang penuh keindahan dan keluhuran budi pekerti, kemudian menjadi tolak ukur tinggi rendahnya seorang Jawa dalam merasuk dan mengejawantahkan nilai-nilai luhur budaya Jawa (Subiyantoro, dkk, 2011: 117). Hingga era globalisasi dan perkembangan iptek sekarang ini banyak upacara tradisional ritual Jawa yang masih hidup dan dilakukan oleh keluarga dan kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat juga masyarakat pada umumnya (Subiyantoro, dkk, 2011: 118). Salah satu kebudayaan tradisional dalam masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih dilaksanakan yaitu upacara perkawinan. Upacara perkawinan adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilazimkan dalam usaha mematangkan, melaksanakan dan menetapkan suatu perkawinan (Surjanto, Djojomartono dan Oemar, 1986: 10). Upacara adat perkawinan merupakan serangkaian kegiatan tradisional turun-temurun yang mempunyai maksud dan tujuan agar sebuah
5
perkawinan selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan di kemudian hari (Kamal, 2014: 35). Bahkan Subiyantoro (2011: 129) menyebutkan bahwa upacara pengantin Jawa dianggap sebagai salah satu simbol dari identitas budaya Jawa. Upacara adat perkawinan merupakan unsur budaya yang terus dihayati dan dilakukan dari dari masa ke masa, dimana di dalamnya terkandung nilainilai dan norma-norma yang mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam suatu masyarakat. Dalam upacara pengantin Jawa terjadi berbagai wacana tutur yang merefleksikan berbagai budaya Jawa seperti budaya ide, pegangan hidup, idiom, prinsip hidup orang Jawa, prinsip perjodohan, dan sebagainya (Subiyantoro, 2011: 129). Upacara perkawinan adat Jawa pada dasarnya terdiri dari dua gaya, yaitu gaya yang berasal dari Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta. “Wedding ritual in Javanese culture has two typical sources coming from Yogyakarta and Surakarta palaces, particularly for the western part of East Java” (Hamidin dalam Rohman dan Ismail, 2013: 25). Selain itu, Hamidin (dalam Rohman dan Ismail, 2013: 25) juga memberikan gambaran mengenai perbedaan prosesi pernikahan gaya Yogyakarta dan Surakarta sebagai berikut: “In the wedding ceremony, the chronological order of the ritual that uses Surakarta model is as follow: ijab, tukar cincin, panggih, balangan suruh, wiji dadi, dahar kembul, sungkeman, and wa’limahan; meanwhile, Yogyakarta’s ritual is arranged as follow: pasrah tampi, ijab, liru kembar mayang, panggih (balang suruh, mecah wiji dadi, pupuk, sindurbinayang, timbang, tanem, tukar kalpika, kacar-kucur, dahar kembul, rujak, degan, bubak kawah, tumplak punjen, mertui, and sungkeman), and reception (welcoming party).”
6
Seperti yang telah diketahui, dalam upacara perkawinan adat Jawa gaya Yogyakarta ataupun Surakarta terdapat beberapa prosesi upacara adat, dimana salah satunya yaitu upacara dhaup temanten atau orang sering menyebutnya dengan upacara panggih. Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si, dkk (2011 : 122) menyebutkan: “Urutan perkawinan adat Jawa, yaitu: nontoni; utusan (congkok); paningset (bakuning paningset, abon-abon paningset, pangiring paningset); nglamar; pasang tarub (berbagai tumbuh-tumbuhan); siraman dan midodareni (tumuring kembar mayang, mejemukan); akad nikah dan panggih; ngabekten; kirab; ngundhuh penganten (sepasaran); bubak kawah, tumpak punjen, plangkahan.” Dhaup dalam Kamus Istilah Perkawinan Adat Jawa Gaya Surakarta (Dwirahardjo, dkk, 2006: 26) berarti kawin, menikah. Sedangkan Yosodipuro (1996: 43) menjelaskan bahwa pengertian dhaup lebih tertuju pada pelaksanaan upacara panggih. Dalam perkawinan adat Jawa upacara panggih merupakan puncak dari rangkaian upacara adat yang mendahuluinya. Upacara panggih dalam Bahasa Jawa berarti bertemu, maksud bertemu di sini adalah bertemunya sepasang pengantin putra dan putri untuk melaksanakan prosesi perkawinan secara adat. Prosesi temu pengantin sekaligus menjadi ajang publikasi bagi kedua mempelai bahwa dirinya adalah sepasang suami istri. Ini juga dimaksudkan untuk memohon doa restu bagi hadirin. Namun caranya lewat simbolis (Purwadi dan Niken, 2007: 106). Dalam upacara adat ini banyak sekali simbolisasi dan sakralisasi pada setiap prosesi upacaranya, dimana semuanya bertujuan untuk kebaikan bersama kedua keluarga mempelai serta membentuk masa depan yang cerah bagi kedua mempelai. Dalam upacara pangih digunakan pula kembar mayang
7
sebagai salah satu alat upacara, demikian pula digunakan sirih dalam upacara mbalang sirih (Purwadi dan Niken, 2007: 45). Sumarsono (dalam www.liputan6.com, diakses pada 5 Maret 2016; 09.30 WIB) menyebutkan setidaknya ada 12 bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten atau upacara panggih pada masyarakat Jawa, yakni: liron kembar mayang, gantal, ngidhak endhog, pengantin putri mencuci kaki pengantin putra, minum air degan (kelapa muda), kepyokan, masuk ke pasangan, sindur, timbangan atau bobot timbang, kacar-kucur, dulangan atau dhahar kembul, dan sungkeman. Sedangkan Fahmi (2014: 44-45) menyebutkan upacara panggih secara lengkap terdiri atas 16 tahapan dan setiap tahapan mengandung makna filosofis yang satu dengan yang lain berkaitan erat, yaitu: upacara balangan sirih, upacara wiji dadi, sindur binayang, upacara nimbang, upacara nandur, upacara kacar-kucur, upacara kembul dhahar, upacara rujak degan, upacara mertui, upacara sungkeman, upacara tutur kalpika, upacara sambutan, upacara pemberian doa restu, upacara kirab pengantin, jamuan santap bersama, dan upacara bubaran. Walaupun sampai saat ini upacara perkawinan dalam budaya Jawa masih tetap dilakukan, namun seiring dengan perkembangan zaman juga terjadi pergeseran pandangan masyarakat mengenai nilai-nilai upacara perkawinan, khususnya pada pesan yang disampaikan melalui media yang berupa simbol-simbol adat. Nilai sakral dalam upacara perkawinan adat, yang dalam hal ini adalah upacara dhaup temanten semakin luntur. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah simbol-simbol tersebut hanya sekedar menjadi sebuah
8
tradisi yang harus dilaksanakan oleh pasangan pengantin sebagai warisan dari nenek moyang tanpa mengetahui pesan dan makna yang terkandung di dalam simbol pada upacara dhaup temanten tersebut. Penulis telah melakukan wawancara awal kepada pasangan suami-istri yang menikah pada bulan Desember 2015, dan ditemukan hasil bahwa pasangan suami istri tersebut sebenarnya tidak mengetahui makna yang terkandung dalam simbol-simbol yang dilaksanakan pada upacara dhaup temanten yang mereka laksanakan. Pasangan tersebut hanya secara sepintas mengetahui makna simbol tersebut dari penjelasan seorang pranata acara atau pembawa acara atau dalang manten saat upacara perkawinannya berlangsung. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam upacara perkawinan adat Jawa, peran seorang pranata acara atau pembawa acara atau dalang manten sangat dominan. Dialah yang menjadi komunikator dalam upacara dhaup temanten yang bertugas untuk memandu dan menjelaskan semua tindakan yang harus dilakukan oleh temanten beserta makna yang terkandung dalam setiap prosesi yang ada. Seperti halnya yang dikatakan oleh Sukarno yang dikutip dari jurnalnya (2008: 204) yaitu “A pranatacara functions as a director of the activities. Especially when Panggih is being conducted.” Dengan satu kalimat itu saja, dapat diketahui bahwa peran pranata acara atau pembawa acara atau dalang manten dalam upacara perkawinan adat Jawa sangat penting. Bahkan disebutkan bahwa seorang pranata acara merupakan sutradara atau seseorang yang memimpin berjalannya setiap aktivitas yang dilaksanakan pada upacara perkawinan adat Jawa.
9
Penelitian ini menarik untuk dilakukan mengingat masyarakat Jawa merupakan masyarakat dengan keberagaman budayanya yang banyak menggunakan simbol-simbol dalam melaksanakan aktifitas adat, salah satunya pada upacara perkawinan. Simbol-simbol yang berupa benda ataupun gerakgerik tersebut merupakan bentuk dari komunikasi simbolik yang mengandung makna tertentu yang perlu untuk dipahami. Dengan adanya kenyataan tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat Jawa yaitu pasangan suami-istri yang menikah menggunakan upacara dhaup temanten mengenai bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri. Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat Judul “PERSEPSI MASYARAKAT JAWA TERHADAP BENTUK KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM UPACARA “DHAUP TEMANTEN (Studi Deskriptif Kualitatif Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Bentuk Komunikasi Simbolik dalam Upacara “Dhaup Temanten” pada Masyarakat Jawa di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri)”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten pada masyarakat Jawa di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri?
10
1.3 Batasan Masalah Dalam sebuah penelitian, batasan masalah diperlukan untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas dan agar masalah yang ada dapat diteliti dengan lebih maksmal. Dalam penelitian ini, peneliti dalam melakukan penelitian menentukan batasan masalah sebagai berikut: a.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri.
b.
Penelitian bersifat deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik dalam upacara adat Jawa dhaup temanten.
c.
Subyek yang diteliti yaitu pasangan suami-istri yang menikah dengan menggunakan prosesi upacara adat Jawa dhaup temanten dengan usia perkawinan di bawah satu tahun.
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, peneliti menarik beberapa tujuan penelitian ini yaitu: a.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi simbolik dalam upacara perkawinan adat Jawa dhaup temanten.
b.
Untuk mengetahui persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang digunakan dalam upacara dhaup temanten pada masyarakat Jawa.
11
1.5 Manfaat Penelitian Sebuah penelitian dilaksanakan agar dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut: a.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan melengkapi ilmu pengetahuan khususnya mengenai bentuk komunikasi simbolik pada upacara perkawinan adat Jawa dhaup temanten.
b.
Manfaat Metodologis Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan referensi apabila akan dilakukan penelitian sedemikian rupa di lain hari.
c.
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan literatur bagi masyarakat Jawa agar lebih memahami makna dari setiap simbol yang ada dalam upacara dhaup temanten dan untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai bentuk komunikasi simbolik pada upacara perkawinan adat Jawa dhaup temanten.
1.6 Tinjauan Pustaka 1.6.1
Komunikasi Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari bahasa latin atau communicatio dan bersumber dari kata
12
communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah satu makna. Jadi, jika dua orang terlibat dalam komunikasi maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang di komunikasikan, yakni baik si penerima maupun si pengirim sepaham dari suatu pesan tertentu (Effendy, 2006: 9). Everett M. Rogers (dalam Suranto, 2010: 3) memberikan definisi komunikasi yaitu proses yang di dalamnya terdapat suatu gagasan yang dikirimkan dari sumber kepada penerima dengan tujuan untuk mengubah perilakunya. Berbicara tentang definisi komunikasi tidak ada yang salah ataupun benar. Definisi harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan mengevaluasinya. Pendapat lain mengatakan mengenai definisi komunikasi yang lain misalnya, komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal (Effendy, 2006: 46). Littlejohn (dalam Mulyana, 2010: 63) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat tiga pandangan yang dapat dipertahankan.
13
Pertama, komunikasi hanya terbatas pada pesan yang secara sengaja diarahkan kepada orang lain dan diterima oleh mereka. Kedua, komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima, apakah disengaja ataupun tidak. Ketiga, komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang dikirimkan secara sengaja, namun sengaja ini sulit ditentukan. Harrold Laswell menyatakan bahwa “(Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaanpertanyaan berikut) Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?” Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana? Berdasarkan definisi Lasswell diatas dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu (Mulyana, 2010: 69-71): a) Sumber (source), sering disebut juga pengirim (sender), penyandi
(encoder),
komunikator
(communicator),
pembicara (speaker) atau originator. Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber boleh jadi seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan suatu negara. b) Pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal
14
dan/atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai tiga komponen: makna, simbol yang digunakan, dan bentuk atau organisasi pesan. c) Saluran atau media, yakni alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. Saluran boleh jadi merujuk pada bentuk pesan yang disampaikan kepada penerima, apakah saluran verbal atau saluran nonverbal. Saluran juga merujuk pada acara penyajian pesan: apakah langsung (tatap-muka) atau lewat media cetak (surat kabar, majalah) atau media elektronik (radio, televisi). d) Penerima (receiver), sering juga disebut sasaran/ tujuan (destination), komunikate (communicate), penyandi-balik (decoder), atau khalayak (audience), pendengar (listener), penafsir (interpreter), yakni orang yang menerima pesan dari sumber. e) Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima
pesan
tersebut,
misalnya
penambahan
pengetahuan (dari yang tidak tahu menjadi tahu), terhibur, perubahan sikap (dari tidak setuju menjadi setuju), perubahan keyakinan, perubahan perilaku (dari tidak bersedia membeli barang yang ditawarkan menjadi bersedia
15
membelinya, atau dari tidak bersedia memilih partai politik tertentu menjadi bersedia memilihnya dalam pemilu), dan sebagainya. Model komunikasi Lasswell apabila diubah ke dalam sebuah skema dapat dilihat dalam bagan berikut:
Who
Say what message
In which channel
To Whom
Effect
Bagan 1. Model Komunikasi Lasswell (dalam Suranto, 2010: 9) Kegiatan berkomunikasi dapat dikatakan sentral dalam kehidupan manusia bahkan mungkin sejak awal keberadaan manusia sendiri.
Nyaris
semua
kegiatan
dalam
kehidupan
manusia
membutuhkan atau setidaknya disertai komunikasi. Oleh karena itu, kajian secara ilmiah tentang gejala atau realitas komunikasi mencakup bidang yang sangat luas, meliputi segala bentuk hubungan antar manusia dan mengunakan lambang-lambang, misalnya bahasa verbal (lisan atau tertulis) dan bahasa non verbal yang meliputi bentuk-bentuk ekspresi simbolik lainnya. Secara lebih konkrit hal ini mencakup bidang-bidang seperti (a) komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), (b) komunikasi kelompok (group communication), (c) komunikasi organisasi/ institusi (organizational communication), (d) komunikasi massa (mass communication), dan (e) komunikasi budaya (cultural communication) (Pawito, 2007: 1).
16
a) Komunikasi Antarpribadi (Interpersonal Communication) Komunikasi
antarpribadi
(interpersonal
communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal
ataupun non verbal
(Mulyana, 2010: 81).
Komunikasi antarpribadi pada dasarnya merupakan jalinan hubungan interaktif antara seorang individu dan individu lain, di mana lambang-lambang pesan secara efektif digunakan, terutama lambang-lambang bahasa. Konsep jalinan “hubungan” (relationship) sangat penting dalam kajian komunikasi antar pribadi. “Jalinan hubungan” merupakan seperangkat harapan yang ada pada partisipan yang dengan itu mereka menunjukan perilaku tertentu didalam berkomunikasi (Pawito, 2007: 2). b) Komunikasi Kelompok (Group Communication) Bidang kajian ini pada dasarnya mempelajari polapola interaksi antar individu dalam suatu kelompok sosial (biasanya kelompok kecil dan bukan kelompok massa), dengan
titik
keputusan.
berat Dalam
tertentu,
misalnya
komunikasi
pengambilan
kelompok,
istilah
kepemimpinan (leadership) sangat penting (Pawito, 2007: 6-7).
17
Komunikasi kelompok biasanya merujuk pada komunikasi yang dilakukan kelompok kecil (small group communication), jadi bersifat tatap muka. Komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan juga komunikasi antarpribadi (Mulyana, 2010: 82). c) Komunikasi Organisasional/ Institusional (organizational/ institutional communication) Komunikasi organisasi atau institusional berkenaan dengan komunikasi yang berlangsung dalam jaringan kerjasama antar pribadi dan/atau antar kelompok dalam suatu organisasi atau institusi (Pawito, 2007: 10). Komunikasi organisasi terjadi di dalam suatu organisasi, bersifat formal dan juga informal, dan berlangsung dalam jaringan yang lebih besar daripada komunikasi kelompok (Mulyana, 2010: 83). d) Komunikasi Massa (Mass Communication) Komunikasi massa pada dasarnya merupakan suatu bentuk komunikasi dengan melibatkan khalayak yang luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Hadirnya media baru seperti internet memberikan perspektif pandangan yang baru terhadap komunikasi massa. Kenyataan menunjukan bahwa penggunaan internet memiliki peluang
18
untuk memberikan tanggapan atau umpan balik (feedback) secara segera (Pawito, 2007: 16). Komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi publik, dan komunikasi organisasi berlangsung juga dalam proses untuk mempersiapkan pesan yang disampaikan dalam media massa (Mulyana, 2010: 84). e) Komunikasi Budaya (Cultural Communication) Bidang kajian komunikasi budaya mencakup bentuk-bentuk ekspresi simbolik baik yang bersifat artefak, seperti lukisan, wayang, patung, gapura, candi, bangunan arsitektur, dan museum maupun yang bersifat nonartefak seperti tari, tembang, nyanyian, pentas teather/drama, music dan puisi. Kata “cultural” dalam hubungan ini digunakan untuk menunjuk sifat dari wujud ekspresi simbolik yang ada untuk mengekspresikan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dalam berbagai bentuk lambanglambang pesan (Pawito, 2007: 18).
1.6.2
Komunikasi Simbolik dalam Upacara Dhaup Temanten Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang (Langer dalam Mulyana, 2010: 92). Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang.
19
Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama (Mulyana, 2010: 92). Gärdenfors (2002: 4) memberikan gambaran mengenai simbol yaitu “Symbols refering to something in one person's inner world can be used to communicate as soon as the listeners have, or are prepared to add, the corresponding references in their inner worlds.” Simbolik terkait dengan kecenderungan manusia untuk memberikan penafsiran dan menanamkan makna kepada berbagai lambang, tanda, kejadian yang tengah dialami, atau bahkan tindakan yang dilakukan manusia (Bormann dalam Suryadi, 2010: 431). Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media (Effendy, 1995: 11). Komunikasi merupakan simbol karena dalam komunikasi manusia, simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal lain. Salah satu karakteristik simbol yang harus diingat bahwa simbol itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah (Effendy, 2006: 46). Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang (Riswandi, 2009: 6). Dari sini dapat diketahui bahwa komunikasi adalah proses simbolik dimana proses komunikasi dilakukan dengan menggunakan simbol atau
20
lambang yang mengandung maksud tertentu yang telah disepakati oleh sekelompok orang. Dalam upacara pernikahan adat Jawa terdapat beberapa simbol yang dapat dilihat dan semua itu merupakan gambaran dan harapan bagi mempelai berdua agar dapat menjalani kehidupannya. Salah satunya seperti simbol yang digambarkan dalam upacara adat dhaup temanten. Dhaup dalam Kamus Istilah Perkawinan Adat Jawa Gaya Surakarta (Dwirahardjo, dkk, 2006: 26) berarti kawin, menikah. Pengertian dhaup sendiri lebih tertuju pada pelaksanaan upacara panggih. Dalam perkawinan adat Jawa upacara panggih merupakan puncak dari rangkaian upacara adat yang mendahuluinya (Yosodipuro, 1996: 43). Upacara panggih dalam Bahasa Jawa berarti bertemu, maksud bertemu di sini adalah bertemunya sepasang pengantin putra dan putri untuk melaksanakan prosesi perkawinan secara adat. Prosesi temu pengantin sekaligus menjadi ajang publikasi bagi kedua mempelai bahwa dirinya adalah sepasang suami istri. Ini juga dimaksudkan untuk memohon doa restu bagi hadirin. Namun caranya lewat simbolis (Purwadi dan Niken, 2007: 106). Dalam upacara panggih pengantin putra dan pengantin putri duduk bersanding yang disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak pengantin, dan para tamu undangan (Kamal, 2014: 44). Pelaksanaan panggihan ada yang dilaksanakan dengan cukup bersalaman antara kedua mempelai, namun ada juga yang dilaksanakan dengan cara
21
melangkahi daun kluwih, sebagai simbol permohonan agar kedua pengantin selalu mendapatkan kelebihan dalam segala hal (Sholikhin, 2010: 216). Pada dasarnya, perkawinan adat Jawa terdiri dari dua gaya, yaitu gaya Keraton Kasultanan Yogyakarta dan gaya Keraton Kasunanan Surakarta. Dalam gaya perkawinan adat Jawa dengan gaya Yogyakarta dan Surakarta terdapat sedikit perbedaan. Hal tersebut dapat trelihat dari tata urutan upacara perkawinan adat Jawa, khususnya pada upacara dhaup temanten. Hamidin (dalam Rohman dan Ismail, 2013: 25) menyebutkan tata urutan upacara perkawinan adat Jawa gaya Yogyakarta yaitu: “Yogyakarta’s ritual is arranged as follow: pasrah tampi, ijab, liru kembar mayang, panggih (balang suruh, mecah wiji dadi, pupuk, sindurbinayang, timbang, tanem, tukar kalpika, kacarkucur, dahar kembul, rujak, degan, bubak kawah, tumplak punjen, mertui, and sungkeman), and reception (welcoming party).” Selain itu, Yosodipuro (1996: 43-49) secara khusus menjelaskan dalam bukunya terkait rangkaian acara yang mewarnai upacara dhaup temanten (panggih) dalam gaya Yogyakarta, yaitu meliputi: a. Penyerahan sanggan yang lazim disebut tebusan. Pada prosesi penyerahan sanggan, rombongan pengantin pria didahului dengan pembawa sanggan yaitu dua orang ibu, yang satu membawa dan menyerahkan sanggan sebagai penebus kepada yang mangku damel (yang mempunyai hajatan) dan yang satu sebagai utusan yang
22
memberitahukan pengantin pria sudah datang dan siap menjalankan upacara panggih. b. Keluarnya mempelai wanita dari kamar pengantin yang didahui kembar mayang. Pengantin wanita keluar dengan didahului oleh pembawa kembar mayang, diikuti oleh sepasang patah dan didampingi oleh dua orang ibu sebagai penganthi di sisi kanan dan kiri pengantin wanita. c. Lempar sirih atau balang-balangan suruh. Pengantin pria dan wanita saling berhadapan, dan tanpa diberi aba-aba langsung dilaksanakan acara balangbalangan suruh. Lintingan sirih yang diikat dengan benang dan berjumlah tujuh ini dinamakan gantal. Pengantin putri melempar lebih dulu dengan tangan kiri disambut oleh pengantin putra dengan tangan kiri. d. Wijikan dan memecah telur. Kedua pengantin mendekat menuju arah ranupada atau tempat mencuci kaki dan perlengkapannya, kemudian pengantin pria melepas selop atau alas kaki. Pengantin putri berjongkok di depan pengantin putra dan mencuci kedua kakinya setidak-tidaknya tiga kali guyuran. Selanjutnya langsung dilaksanakan upacara memecah telur dengan posisi kedua mempelai berhadapan. Sebutir telur diambil
23
dan disentuhkan ke dahi pengantin pria dan wanita kemudian dibanting ke ranupada sampai pecah. e. Berjalan bergandengan kelingking menuju pelaminan. Pada saat berjalan bergandengan kelingking menuju pelaminan, patah berada di urutan paling depan. Di belakang patah adalah kedua mempelai dan diiringi oleh Bapak Ibu mempelai putri. f. Kacar-kucur atau tampa kaya. Pengantin wanita meletakkan tikar yang dibungkus kain mori di pangkuannya dan pengantin pria berdiri mengambil kaya dan menuangkan ke pangkuan pengantin putri seddikit demi sedikit. Selanjutnya pengantin putri mengikat kain mori yang berisi kaya tadi dan menitipkan kepada ibunya. g. Dhahar klimah. Pada prosesi ini pengantin pria dan wanita memakan nasi kuning dan pindang antep, prosesi ini diakhiri dengan minum bersama bagi anak sulung/ mantu pertama, kedua orang tua pengantin putri dan kedua mempelai harus minum rujak degan. h. Penjemputan orang tua mempelai pria atau besan. Orang tua pengantin putri menjemput orang tua pengantin putra karena pada saat upacara panggih sampai
24
dhahar
klimah
orang
tua
pengantin
putra
tidak
diperkenankan hadir. i. Sungkeman. Sungkeman yaitu bersembah sujud kepada orang tua kedua belah pihak untuk memohon doa restu, dimulai dari orang tua pengantin putri, dan selanjutnya orang tua pengantin putra. Sedangkan Sutadjo (2008: 81-82) menuliskan di dalam bukunya mengenai upacara dhaup temanten atau upacara panggih gaya Surakarta sebagai berikut: “Upacara dhaup (panggihipun) penganten jangkep manut tilaranipun tiyang sepuh (leluhur) ingkang tasih limrah katindakaken ing wewengkon Surakarta ngantos sapriki, inggih menika: (1) Panganten kakung putri sami balang-balangan gantal, godhang kasih, godhang tutur; (2) Panganten kakung putri sami mancik atau menginjak pasangan, ingkang sampun kelemekan roning pisang raja sapapah (perangan menika limrahipun manawi katindakaken wonten dhusun); (3) Panganten kekalih nyaketi tigan ayam, tumuli panganten kakung amidak tigan ayam ngantos pecah. Panganten putri lajeng sumembah saha mijiki sukunipun panganten kakung mawi toya ingkang dipunwadhahi ing bokor kencana (sekar setaman); (4) Panganten kekalih jumeneng jajar sumandhing saperlu kaunjukan toya wening ingkang dwinadhahan kendhi pratala; (5) Panganten kekalih kinepyok sekar mancawarna; (6) Panganten kekalih dipunsingepi sindur ingkang warninipun abrit pethak, ingkang nindakaken ibunipun panganten putri utawi dhukun penganten ingkang manggihaken; (7) Panganten kekalih tumuli kairing manjing sasana rinengga saha kalenggahaken, penganten kakung wonten sisih tengen utawi kanan, penganten putri wonten sisih kiwa utawi kering;” (Upacara bertemunya pengantin yang lengkap sesuai dengan peninggalan leluhur yang masih sering dilaksanakan pada daerah Surakarta sampai sekarang yaitu: (1) Pengantin putra dan putri saling melempar gantal, gondhang kasih, gondhang tutur; (2) Pengantin putra dan putri bersama-sama berdiri atau
25
menginjak pasangan dan daun pisang raja (prosesi ini masih sering dilakukan di desa); (3) Pengantin putra menginjak telur sampai pecah dan pengantin putri kemudian duduk menyembah diteruskan dengan mencuci kaki pengantin putra dengan menggunakan air bunga setaman; (4) Kedua pengantin berdiri berjajar dan diberikan air minum yang ditempatkan pada kendhi pratala; (5) Kedua pengantin diberikan air bunga dengan dikepyurkan ke arah pengantin; (6) Kedua pengantin dituntun dengan menggunakan kain sindur yang berwarna merah dan putih ke kursi pelaminan, dimana pengantin puta duduk di saming kanan dan pengantin putri di sebelah kiri). Seperti yang disebutkan di atas, dalam gaya Surakarta, upacara dhaup (panggih) temanten terdiri dari tujuh prosesi yaitu saling melempar daun sirih, menginjak pasangan, pengantin putra menginjak telur dan pengantin putri mencuci kaki pengantin putra, meminum air putih dari kendhi, kepyokan, sindur, dan duduk di sasana rinengga atau pelaminan. Dalam
gaya
Surakarta,
prosesi
kacar-kucur,
dulangan,
timbangan dan sungkeman termasuk dalam upacara adat setelah bertemunya pengantin (dhaup temanten), yaitu upacara adat krobongan. “Ingkang dipunwastani upacara adat krobongan tumraping penganten, inggih menika upacara ingkang katindakaken sabibaripun panganten dhaup (panggih). Dene cacahipun upacara adat krobongan menika wonten sekawan: kacar-kucur, dulangan, timbangan, lann sungkeman,” (Sutadjo, 2008: 82). (Yang dimaksud dengan upacara adat krobongan pada pengantin, yaitu upacara yang dilaksanakan setelah pengantin dipertemukan pada upacara dhaup. Yang merupakan upacara adat krobongan terdiri dari empat yaitu kacar-kucur, dulangan, timbangan, dan sungkeman.)
26
Berikut penjelasan Drs. Imam Sutadjo, M. Hum. mengenai keempat prosesi tersebut: 1) Kacar kucur Dalam prosesi ini pengantin putra memberikan rejeki dengan simbol uang receh. Uang receh tersebut diberikan kepada sang istri (pengantin putri). Uang receh sebagai rejeki yang diberikan oleh pengatin putra tersebut sebagai simbol atau lambang tanggung jawab sang suami kepada keluarganya. 2) Dulangan (saling menyuapi) Dalam prosesi ini pengantin putra dan putri saling menyuapi nasi dan lauk. Prosesi ini sebagai simbol atau lambang agar pengantin selalu berdampingan dana pa yang diharapkan dapat menjadi kenyataan sesuai dengan yang diharapkan. Setelah itu dilanjutkan prosesi minum rujak degan (kelapa muda) yang diambil dari pohon kelapa yang baru berbuah sekali. 3) Timbangan Dalam prosesi ini dilakukan oleh ayah dari pengantin putri. Ayah pengantin putri duduk diapit oleh pengantin. Prosesi ini sebagai simbol atau lambang bahwa kasih sayang dari orang tua tidak berat sebelah. Rasa kasih sayang kepada anak dan menantu adalah sama.
27
4) Sungkeman Dalam prosesi ini, pengantin putra dan putri melakukan sungkeman kepada ayah dan ibu mereka, juga kepada kakek atau nenek yang masih sehat. Sungkeman ini sebagai simbol atau lambang sembah bakti anak kepada kedua orang tuanya. Terlepas dari perbedaan gaya Yogyakarta maupun Surakarta tersebut di atas, Sumarsono (dalam www.liputan6.com, diakses pada 5 Maret 2016; 09.30 WIB) memberikan penjelasan mengenai tata upacara pernikahan adat Jawa secara umum terdiri dari beberapa babak, dimana upacara panggih atau upacara dhaup temanten merupakan babak kelima yang merupakan puncak acara dalam pernikahan adat jawa. Secara umum dalam perkawinan adat Jawa, tata urutan dan bentuk komunikasi simbolik dalam upacara panggih menurut Sumarsono, yaitu: a) Liron kembar mayang Kembar mayang merupakan dua hiasan yang berbentuk sama (kembar), terbuat dari janur kuning yang dihias dengan berbagai macam susunan buah-buahan, sebagai salah satu syarat utama dalam upacara pernikahan adat Jawa (Dwiraharjo, dkk, 2006: 49). Dalam acara adat ini terjadi saling tukar-menukar kembar mayang antar pengantin, bermakna menyatukan cipta, rasa dan karsa
28
untuk bersama-sama mewujudkan kebahagiaan dan keselamatan. b) Gantal Gantal terbuat dari daun sirih digulung kecil diikat benang putih yang saling dilempar oleh masing-masing pengantin, dengan harapan semoga semua godaan akan hilang terkena lemparan gantal itu. Balangan gantal melambangkan tujuan suci perkawinan yakni keduanya telah bertekad menyatakan untuk melepaskan berbagai ikatan dengan keluarga masing-masing untuk kemudian memulai hidup baru (Dwiraharjo, dkk, 2006: 9). Pengantin putri melempar lebih dulu dengan tangan kiri disambut oleh pengantin putra juga dengan tangan kiri (Yosodipuro, 1996: 46). Gantal yang dilempar oleh mempelai wanita kepada mempelai pria disebut gondhang kasih, sedangkan yang dilemparkan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita disebut gondhang tutur (Dwiraharjo, dkk, 2006: 9). c) Ngidak endhog Acara ini juga disebut dengan istilah pecahih wiji dadi (Dwiraharjo, dkk, 2006: 83). Pengantin putra menginjak telur ayam sampai pecah sebagai simbol seksual kedua pengantin sudah pecah pamornya. Pecah
29
pamore berarti menginjak dewasa baik laki-laki maupun wanita, tumbuh menjadi dewasa (Suryakusuma, dkk, 2008:
x).
Memang
telur
mempunyai
maksud
menghilangkan kegadisan wanita, sehingga bukan gadis lagi (Surjanto, Djojomartono dan Oemar, 1986: 79). Sebagai seorang pria, dengan tekad yang bulat (telur) sekali sudah melangkah dengan itikad yang baik, maka pantang mundur, maju terus untuk meraih kebahagiaan hidup bersama (Purwadi dan Niken, 2007: 110). d) Pengantin putri mencuci kaki pengantin putra Dalam acara ini mempelai putri mencuci kaki dengan air bunga setaman dengan makna semoga benih yang diturunkan bersih dari segala perbuatan yang kotor. Pengantin
wanita
mecuci
kaki
pengantin
pria
mengandung makna kesetiaan istri terhadap suami (Surjanto, Djojomartono dan Oemar, 1986: 79). Sebagai seorang istri, yang setia berkewajiban mensucikan nama baik suami, supaya tetap harum, bila suami salah langkah atau salah tindak (Purwadi dan Niken, 2007: 110). Setelah pengantin putri mencuci kaki pengantin pria, pengantin pria mengenakan kembali selopnya,
30
selanjutnya mengulurkan kedua belah tangannya untuk membantu pengantin putri berdiri (Yosodipuro, 1996: 46). e) Minum air degan (kelapa muda) Air ini dianggap sebagai lambang air hidup, air suci, air mani (manikem). f)
Kepyokan Orang tua mempelai putri menaburi mempelai dengan bunga warna-warni yang mengandung harapan mudah-mudahan keluarga yang akan mereka bina dapat berkembang segala-galanya dan bahagia lahir batin.
g) Masuk ke pasangan Yang dimaksud dengan pasangan adalah alat untuk merangkai dua kerbau atau sapi untuk membajak sawah. Hal ini bermakna bahwa pengantin yang telah menjadi pasangan hidup siap berkarya melaksanakan kewajiban. h) Sindur Setelah acara dhaup atau panggih selesai, mempelai berdua diarak memakai sindur yang berwarna merah dan putih. Sindur adalah kain mori panjang yang berwarna merah dengan motif berkelok-kelok seperti sungai dan di bagian pinggit tetap berwarna putih (Yosodipuro, 1996: 45). Sindur (slindur) merupakan kain
31
berwarna merah dan putih yang diletakkan diatas pundak mempelai berdua setelah tata cara panggih. Warna merah merupakan simbol wanita dan warna putih merupakan lambang laki-laki (Dwiraharjo, dkk, 2006: 120). Sindur dalam Bahasa jawa dimaknai isin mundur (malu mundur), artinya pantang menyerah atau pantang mundur.
Maksudnya
pengantin
siap
menghadapi
tantangan hidup dengan semangat berani karena benar, dan takut hanya karena salah. Setelah melalui tahap terakhir dalam upacara panggih, yaitu pengantin kemudian diantar untuk duduk di sasana rinengga atau pelaminan (prosesi sindur), dilangsungkan tata upacara adat pernikahan Jawa berikutnya yaitu: a) Timbangan/ bobot timbang Prosesi acara bobot timbang ini dilakukan dengan cara ayah dari pengantin putri duduk diantara pasangan pengantin, kaki kanan diduduki pengantin putra, kaki kiri diduduki pengantin putri. Dialog singkat antara Bapak dan Ibu pengantin putri berisi pernyataan bahwa masingmasing pengantin sudah seimbang tidak berat sebelah, makna yang terkandung adalah orang tua tidak membedakan antara anak kandung dan menantu semua dianggap sama.
32
Dwiraharjo, dkk (2006: 13-14) menjelaskan dalam bukunya sebagai berikut: “Upacara ini dilaksanakan setelah mempelai sampai di pelaminan, bapak (orang tua laki-laki dari mempelai wanita) duduk di kursi pelaminan dan kedua mempelai dipangku, yang pria di sebelah kanan dan yang wanita di sebelah kiri, kedua tangan bapak dirangkulkan pada bahu mempelai. Kemudian ibu (orang tua mempelai wanita) duduk di depan mempelai, kemudian ibu bertanya kepada suaminya (bapak) berat mana pak? Dan dijawab bapaknya: “Sama saja”. Biasanya pertanyaan tersebut menggunakan Bahasa Jawa.” Upacara nimbang atau menimbang mempunyai makna yang cukup mendalam, yaitu bahwa sang menantu sudah menjadi anaknya sendiri sama dengan pengantin wanita yang memang anaknya sendiri. Dengan demikian upacara ini ditujukan kepada orang tua pengantin wanita agar memperlakukan menantu sama seperti anak kandungnya sendiri (Kamal, 2011: 44). b) Kacar-kucur Upacara adat kacar-kucur dilakukan dengan cara pengantin putra mengucurkan uang receh beserta kelengkapannya ke pangkuan pengantin putri yang telah diberi alas kain atau tikar kecil, kemudian diserahkan kepada ibu pengantin putri. Mengandung makna pengantin putra akan bertanggung jawab memberi nafkah
33
kepada pengantin putri yang kemudian sebagian ditabung atau disimpan. Dalam upacara ini dilambangkan dengan hasil bumi, misalnya beras, bumbu dapur, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, dan lain – lain yang sejenis (Kamal, 2014: 44). Hal ini menjadi simbol dan lambang tanggungjawab suami kepada keluarga, dengan selalu rajin mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat (Sholikhin, 2010: 217). Demikian juga istri, harus mengelola kekayaan yang diberikan oleh suami secara baik agar semua kebutuhan rumah tangga dapat tercukupi (Dwiraharjo, dkk, 2006: 46). c) Dulangan atau dhahar kembul Pengantin putra dan putri saling menyuapi. Hal ini mengandung kiasan laku memadu kasih diantara keduanya dan saling merasakan pahit getirnya kehidupan. Kedua pengantin saling menyuapi nasi kepada pasangannya. Kedua wadah nasi kemudian dijadikan satu (ketangkeb) yang disebut gambuhan. Ini menjadi lambang agar kedua pengantin selalu menjadi satu, saling mengasihi, tercapai apa yang diinginkan (Sholikhin, 2010: 217).
34
d) Sungkeman Upacara sungkeman disebut juga upacara ngabekti yaitu tanda hormat dan bakti lahir dan batin dari anak kepada orang tua maupun kepada besan. Bila kakek dan nenek (eyang kakung dan eyang putri) masih hidup juga mendapat sungkem dari mempelai berdua (Kamal, 2014: 45). Pada saat duduk di sasana rinengga atau pelaminan, di sana dilangsungkan tata cara sungkeman yang merupakan ungkapan bakti kepada orang tua, serta mohon doa restu. Caranya, berjongkok dengan sikap seperti orang menyembah, menyentuh lutut orang tua pengantin putri, mulai dari pengantin putri diikuti pengantin putra, baru kemudian kepada bapak dan ibu pengantin putra. Pada acara ini keris yang dikenakan oleh pengantin pria dilepas oleh seseorang yang tugasnya khusus hanya melepas nglolosdhuwung ini saja. Acara ini sering diiringi dengan deskripsi baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (tembang) (Dwiraharjo, dkk, 2006: 126).
1.6.3
Teori Interaksi Simbolik H.B. Sutopo menjelaskan dasar pandangan atas interaksi simbolik adalah asumsi bahwa pengalaman manusia diperoleh lewat
35
interpretasi (Sutopo, 2006: 30). Muhamad Mufid (2009: 149) mendefinisikan
simbolis
interaksionisme
sebagai
cara
kita
menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran. Individu-individu berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata (Mead dan Cooley dalam Soeprapto, 2002: 69). Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto dalam Siregar, 2011: 103). Interaksi simbolik didefinisikan sebagai segala hal yang saling berhubungan dengan pembentukan makna dari suatu benda atau lambang atau simbol, baik benda mati, maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik sebagai pesan verbal maupun perilaku non verbal, dan tujuan akhirnya adalah memaknai lambang atau simbol (objek) tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di wilayah atau kelompok komunitas masyarakat tertentu (Siregar, 2011: 101). Paham interaksionisme simbolik membuat kita belajar untuk terus menerus memikirkan objek secara simbolik (Soeprapto, 2002:
36
70). George Herbert Blumer memberikan penjelasan mengenai teori interaksionisme-simbolis sebagai berikut: Teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka; (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”; dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung (Mufid, 2009: 148). Sedangkan Mazzotta dan Myers (2008: 22) menjelaskan mengenai teori interaksionisme simbolik sebagai berikut: “Symbolic interactionism is clearly a theory based upon communication, we need to recognize all of the times and ways in which we use communication in our culture. Communication is the basis of Mead’s symbolic interactionism and without the acknowledgment of “mind, self, and society,” we cannot evaluate this theory accurately.” Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa maknamakna (meanings) dicipta dan dilanggengkan melalui interaksi dalam kelompok-kelompok social (Pawito, 2007: 67). Morissan dkk dalam bukunya menyebutkan bahwa ide dasar teori interaksi simbolik menyatakan bahwa lambang atau simbol kebudayaan dipelajari melalui interaksi, orang memberi makna terhadap segala hal yang akan mengontrol sikap tindak mereka (Morissan dkk, 2010: 126). Interaksionisme simbolik merupakan gerakan cara pandang terhadap komunikasi dan masyarakat yang pada intinya berpendirian bahwa struktur sosial dan makna-makna dicipta dan dilanggengkan melalui interaksi sosial (Pawito, 2007: 67). Terdapat tiga konsep
37
penting dalam teori yang dikemukakan George Herbert Mead, yaitu (a) masyarakat, (b) diri, dan (c) pikiran (Morissan dkk, 2010: 125). Hal tersebut serupa dengan pernyataan Siregar (2011: 104) bahwa interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. a) Pikiran (Mind) Pikiran diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menggunakan simbol, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. b) Diri (Self) Diri
diartikan
sebagai
kemampuan
untuk
merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain. Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu teori yang mengemukakan tentang diri sendiri (The-Self) dan dunia luarnya. c) Masyarakat (Society) Masyarakat diartikan sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, yang pada akhirnya
38
mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. “Mind, Self and Society” merupakan karya George Herbert Mead yang paling terkenal, dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik (Mead dalam Siregar, 2011: 104). Barbara Ballis Lal (dalam Littlejohn dan Foss, 2009: 231) meringkaskan dasar-dasar pemikiran gerakan ini, yaitu: a) Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai pandangan subjektif mereka. b) Kehidupan sosial terdiri dari proses-proses interaksi. c) Manusia memahami pengalaman mereka melalui maknamakna yang ditemukan dalam simbol-simbol. d) Dunia terbentuk dari objek-objek sosial yang memiliki nama dan makna. e) Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka. f)
1.6.4
Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan.
Persepsi Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada
39
stimulus inderawi (sensory stymuli) (Rakhmat, 2012: 50). Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken (dalam Mulyana, 2010: 180) memberikan definisi persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita. Joseph A. Devito (2003: 56) menjelaskan mengenai persepsi sebagai berikut: “Perception is the process by which you become aware of objects, events, and, especially, people through your senses: sight, smell, taste, touch, and hearing. Your perceptions result from what exist in the world and from your own experiences, desires, needs and wants, loves and hatreds. Among the reasons why perception is so important in communication choices.” Pdt. Dr. S.M. Siahaan dalam bukunya (1990: 131) memberikan definisi persepsi adalah suatu aksi pemikiran manusia secara keseluruhan untuk menambah kesadaran akan sesuatu objek. Persepsi juga reaksi dan opini dan pengolahan secara keseluruhannya terhadap suatu ide, kecakapan dan kelihaian mengamati sesuatu. Selain itu, John R. Wenburg dan William W. Wilmot (dalam Riswandi, 2009: 49) menyatakan bahwa persepsi dapat didefinisikan sebagai cara organisme memberi makna. Dari beberapa penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa persepsi merupakan proses seseorang dalam mengartikan atau memberi makna mengenai suatu objek yang mereka tangkap. Persepsi ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor fungsional dan faktor struktural. Namun, selain itu ada faktor lainnya yang sangat mempengaruhi persepsi, yakni perhatian (attention) (Rakhmat, 2012: 50-60).
40
a) Perhatian (Attention) Menurut Kenneth E. Andersen (1972) (dalam Rakhmat, 2012: 51), perhatian adalah proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus lainnya melemah. b) Faktor-Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi Faktor Fungsional merupakan faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal lain termasuk yang disebut faktor personal.
Krech dan
Crutchfield merumuskan dalil persepsi yang pertama yaitu: Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Hal ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Kebutuhan biologis seseorang menyebabkan persepsi yang berbeda diantara orang satu dengan yang lain. Kesiapan mental
atau
suasana mental
juga
mempengaruhi persepsi. Ada pula pengaruh suasana emosional terhadap persepsi. Suasana emosional secara hipnotis ada 3, yaitu: bahagia, kritis, dan gelisah. Pengaruh kebudayaan
terhadap
persepsi
merupakan
disiplin
tersendiri dalam psikologi antar budaya dan komunikasi antar budaya.
41
Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi lazim disebut sebagai kerangka rujukan. Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya. c) Faktor-Faktor struktural yang mempengaruhi persepsi Berasal dari sifat stimulus fisik dan efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Kohler, Wartheimer (1959), dan Koffka (dalam Rakhmat, 2012: 57) merumuskan
prinsip-prinsip
persepsi
yang
bersifat
struktural. Kemudian dikenal sebagai teori Gestalt. Menurut teori ini, bila kita memersepsi sesuatu, kita memersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunnya. Krech dan Crutchfield melahirkan dalil persepsi yang kedua: Medan Perseptual dan Kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita mengorganisasikan stimulus dengan melihat konteksnya. Walaupun stimulus yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang kita persepsi. Krech dan Crutchfield, menyebutkan dalil persepsi yang ketiga: Sifat-Sifat Perseptual dan Kognitif dari
42
substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Persepsi yang keempat: Objek atau Peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu. Bersifat struktural dalam mengelompokkan objek-objek fisik. Menurut Krech dan Crutchfield, kecenderungan untuk mengelompokkan stimulus berdasarkan kesamaan dan kedekatan adalah universal. Selain itu, Nia Kania Kurniawati (2014: 17-19) juga menyebutkan hal-hal yang mempengaruhi persepsi, yang meliputi aspek fisiologi, umur, budaya, peran sosial, dan kemampuan kognitif atau kemampuan berfikir seseorang. a) Fisiologi Persepsi antara orang per orang berbeda dilihat dalam kemampuan sensorik dan fisiologi. Masing-masing mempunyai bioritme sendiri yang mempengaruhi setiap waktu, setiap hari. b) Umur Umur menjadi salah satu hal yang mempengaruhi persepsi karena semakin seseorang tumbuh dan memiliki banyak pengalaman, maka sudut pandang mereka pun berubah pada banyak hal.
43
c) Budaya Budaya
terdiri
dari
keyakinan,
nilai-nilai,
pemahaman, praktek dan cara menafsirkan pengalaman yang dimiliki oleh sejumlah orang. Pengaruh budaya begitu menyebar sehingga sulit untuk menyadari betapa kuat itu membentuk persepsi kita. d) Peran Sosial Untuk memenuhi peran dan tuntutan sosial akan mempengaruhi apa yang orang perhatikan dan bagaimana mereka menafsirkan dan mengevaluasinya. Peran sosial juga
dapat
mempengaruhi
bagaimana
seseorang
berkomunikasi mengenai perasaannya. e) Kemampuan Kognitif Cara berfikir seseorang mengenai situasi dan orangorang melalui pengetahuan pribadi, akan mempengaruhi bagaimana ia memilih, mengatur dan menafsirkan pengalaman.
Kompleksitas
kognitig
tiap-tiap
orang
berbeda menafsirkan orang dan situasi. Dalam perspektif ilmu komunikasi, persepsi bisa dikatakan sebagai inti komunikasi. Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kia memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita (Mulyana, 2010: 179). Persepsi disebut inti komunikasi,
44
karena jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif (Mulyana, 2010: 180). Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken, juga Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson (dalam Mulyana, 2010: 180) menyebutkan bahwa persepsi terdiri dari tiga aktivitas, yaitu: seleksi, organisasi, dan interpretasi.
1.7 Kerangka Pemikiran Upacara Perkawinan Adat Jawa “Dhaup Temanten”
Simbol-simbol sebagai bentuk komunikasi simbolik yang bermakna dan harus dipahami masyarakat
Penelitian Deskriptif Kualitatif
Persepsi masyarakat Jawa terhadap makna dari simbol-simbol yang ada dalam upacara perkawinan adat Jawa Dhaup Temanten. Apakah pasangan suami istri yang menikah dengan adat tersebut memahami makna dari simbol yang ada.
1.8 Metodologi Penelitian 1.8.1
Pendekatan Penelitian Penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten merupakan penelitian
45
deskiptif kualitatif. Penelitian kualitatif diawali dengan pemilihan suatu proyek penelitian, merumuskan pertanyaan penelitian, pengumpulan data sesuai dengan pertanyaan penelitian sambil terus membuat catatan di lapangan, dan kemudian menganalisisnya (Slamet, 2006: 19). Penelitian kualitatif tidak menganalisis data hasil pengamatannya dengan
menggunakan
analisa
secara
statistik,
tetapi
dengan
menggunakan pola berfikir induktif terhadap peristiwa, gejala atau fenomena yang dijumpai di lapangan (Zuldafrial dan Lahir, 2012: 1-2). Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati. Isaac dan Michael (dalam Rakhmat, 2012: 22) menyebutkan bahwa penelitian deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. Penelitian deskriptif tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat deskripsi, melainkan hanya memaparkan situasi atau peristiwa (Rakhmat, 2012: 24).
1.8.2
Lokasi Penelitian Penelitian mengenai persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten dilakukan di wilayah Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri, dimana hampir seluruh masyarakatnya apabila mengadakan pesta perkawinan masih
46
menggunakan upacara tradisional dhaup temanten. Kecamatan Puhpelem merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Wonogiri yang terletak di ujung timur laut wilayah Kabupaten Wonogiri yang terdiri dari 5 desa dan 1 kelurahan.
1.8.3
Subyek Penelitian Subyek yang diteliti yaitu pasangan suami-istri yang menikah dengan menggunakan prosesi upacara adat Jawa dhaup temanten dengan usia perkawinan di bawah satu tahun. Subyek dipilih karena mereka yang melaksanakan dan berhubungan langsung dengan bentuk komunikasi simbolik yang dibahas dalam penelitian ini. Selain itu, informan juga dipilih dari tokoh adat yang merupakan penduduk Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri yang biasanya terlibat langsung dalam upacara adat Jawa dhaup temanten dan benarbenar mengetahui mengenai bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten.
1.8.4
Sumber Data a)
Data Primer Data primer (primary data) adalah segala informasi kunci atau data fokus penelitian yang di dapat dari informan sesuai dengan fokus penelitian dan data yang didapatkan secara langsung pada saat penelitian dilaksanakan. Sumber data primer
47
adalah suatu obyek atau dokumen original, atau materi mentah dari pelaku yang disebut first hand information (Silalahi, 2009: 289). b)
Data Sekunder Data sekunder (secondary data) adalah data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan (Silalahi, 2009: 291).
1.8.5
Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a)
Wawancara mendalam dengan informan Teknik wawancara adalah cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi sosial antara peneliti dengan yang diteliti (Slamet, 2006: 101). Wawancara dilakukan untuk menggali informasi mengenai pandangan dari masing-masing informan dalam penelitian. Interview (wawancara) merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting dalam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan manusia sebegai subjek (pelaku, actor) sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti (Pawito, 2007: 132).
48
Maksud mengadakan wawancara antara lain adalah untuk mendapatkan informasi mengenai orang, kejadian, kegiatan,
organisasi,
perasaan,
motivasi
tuntutan,
kepedulian, dan lain-lain (Zuldafrial dan Lahir, 2012: 68). Wawancara
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
berpegang pada interview guide. b)
Dokumentasi Teknik
dokumentasi
maksudnya
adalah
cara
pengumpulan data yang diperoleh dari catatan (data) yang telah tersedia atau telah dibuat oleh pihak lain (Hamidi, 2007: 140). Dokumentasi dengan foto-foto merupakan salah satu cara yang dirasa tepat karena dengan menggunakan foto, maka masyarakat luas lebih dapat mengetahui bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten yang dimaksud. c)
Analisis Pustaka Analisis pustaka dilakukan untuk mendapatkan tambahan informasi bagi penelitian yang sedang dilakukan.
1.8.6
Teknik Sampling Penelitian kualitatif tidak memilih sampling yang bersifat acak (random
sampling).
Dalam
penelitian
kualitatif,
cenderung
menggunakan purposive sampling karena dipandang lebih mampu
49
menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi realitas yang tidak tunggal (Sutopo, 2006: 45-46). Sampling dalam penelitian kualitatif bermaksud untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (construction). Tujuannya adalah untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Maksud kedua dari sampling ialah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (Moeleng, 20014: 224). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan criterion sampling atau teknik pengambilan sampling berdasar kriteria. Dasar pemikiran dari pengambilan sampel berkriteria ialah untuk meninjau kembali dan mempelajari seluruh kasus yang telah memenuhi kriteria penting yang telah ditentukan (Slamet, Y, 2006: 68). Dalam penelitian ini, yang dimaksud kriteria adalah dengan menentukan informan yang merupakan pasangan suami-istri yang menikah dengan usia pernikahan kurang dari satu tahun. Setelah menentukan kriteria yang pertama yaitu usia pernikahan dari pasangan suami-istri, kemudian peneliti menentukan informan dalam penelitian berdasarkan kriteria yang kedua yaitu pasangan suami-istri yang menikah dengan menggunakan upacara dhaup temanten.
50
1.8.7
Teknik Pengolahan Data Dalam penelitian kualitatif, proses analisis data harus dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data. Sehingga data akhir dari penelitian kualitatif tidak lagi berupa data mentah karena sudah melewati proses analisis yang berkelanjutan, menghasilkan beragam informasi yang sudah teruji kedalaman dan kemantapannya (Sutopo, 2006: 104). Miles dan Huberman (1994) menawarkan suatu teknik analisis yang lazim disebut dengan interactive model. Menurut Punch (dalam Pawito, 2007: 104) teknik analisis ini pada dasarnya terdiri dari tiga komponen: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan serta pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusion). Menurut Miles dan Huberman, ada tiga komponen utama analisis kualitatif (Sutopo, 2006: 113-116): a) Reduksi Data Reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga narasi sajian data dan simpulan-simpulan dari unit-unit permasalahan yang telah dikaji dalam penelitian dapat dilakukan. Proses ini berlangsung secara terus secara berkelanjutan sampai laporan akhir siap untuk disusun. Reduksi data dalam penelitian dilakukan karena
51
tidak semua data yang peneliti dapatkan dari wawancara tersebut digunakan dalam sajian data. b) Sajian Data Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi lengkap yang untuk selanjutnya memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data disusun berdasarkan pokokpokok yang terdapat dalam reduksi data, dan disajikan dengan narasi yang menggunakan kalimat dan bahasa peneliti. Sajian data juga dapat berupa matriks, gambar/ skema, jaringan kerja, dan tabel sebagai pendukung narasi. c) Penarikan simpulan dan verifikasi Penarikan simpulan terjadi pada waktu proses pengumpulan data sudah berakhir. Simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan benar-benar bisa dipertanggung jawabkan. Pada tahap akhir ini, peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau kecenderungan dari display data (sajian data) yang telah dibuat (Pawito, 2007: 106).
52
Miles dan Huberman juga menjelaskan penyajian dua model pokok analisis yaitu (Sutopo, 2006: 117-121): a) Model analisis jalinan Dalam model analisis jalinan, tiga komponen analisis (reduksi, sajian data, dan penarikan kesimpulan) dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data mengalir bersamaan. b) Model analisis interaktif Sedangkan
dalam
model
analisis
interaktif,
komponen reduksi data dan sajian data dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Sehingga, setelah data terkumpul maka tiga komponen analisis (reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan) berinteraksi. Dalam penelitian mengenai persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik dalam upacara adat Jawa dhaup temanten ini, model analisis yang digunakan oleh peneliti adalah model analisis interaktif. Model analisis interaktif ini terdiri dari tiga alur yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
53
Proses dari model analisis data interaktif dari Miles dan Huberman dapat dilihat sebagai berikut: Pengumpulan data Penyajian Data Reduksi Data Penarikan kesimpulan atau verivikasi Bagan 2. Model Analisis Interaktif Miles and Huberman (Silalahi, 2009: 339).