BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Studi ini mengangkat tema tentang strategi politik Hj. Sri Surya Widati sebagai kandidat kepala daerah perempuan pada pemilukada Bantul 2010. Penelitian ini didasari keinginan peneliti untuk mencari kerangka eksplanasi baru untuk menjelaskan kehadiran perempuan sebagai kontestan pemilukada. Dibandingkan di bawah rezim Orde Baru, di era pemilukada langsung partisipasi perempuan untuk menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah terbilang cukup menggembirakan. Ini bisa dilihat dari grafik partisipasinya yang telah membaik. Data menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2011 dari 333 pasang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, 39 orang diantaranya adalah perempuan. Calon perempuan ini terdiri dari satu Calon Gubernur perempuan, dua Calon Wakil Gubernur, dan 36 Calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota.1 Hingga di akhir 2012 ini telah tercatat tidak kurang dari dua belas Bupati/walikota dan satu gubernur berasal dari kalangan perempuan. Jika dibandingkan sebelum era reformasi, jumlah perempuan yang memimpin di provinsi maupun kabupaten/kota jumlahnya semakin meningkat. Fenomena ini tidak hanya menandakan kebangkitan gairah partisipasi perempuan dalam arena kompetisi elit politik lokal, tetapi sekaligus menyiratkan keberhasilan perempuan dalam menjalankan strategi politik untuk bisa bersaing dengan laki-laki. Tanpa adanya strategi politik, akan sangat sulit bagi perempuan 1
Data pemberitaan dapat lihat di www.tempo.co/read/news/2011/12/20
1
menembus dinamika politik kontestasi pemilukada yang masih kental dengan kultur patriarki. Hadirnya penelitian ini berupaya mempertegas pandangan bahwa di balik keberhasilan perempuan berkontestasi dalam pemilukada selalu terdapat strategi politik yang telah dipersiapkan dengan matang. Tanpa strategi politik yang tepat, peluang keberhasilan politik tentu akan sangat kecil. Walaupun perempuan memiliki kapabilitas, kredibilitas dan rekam jejak politik yang baik, namun hal itu tampaknya belum cukup memberikan garansi bagi perempuan untuk bisa menaiki panggung pemilukada. Sehingga bisa dikatakan bahwa kendala utama bagi perempuan yang berlaga di pemilukada bukanlah dari pengaruh kultur patriarki, maupun pengaruh daru kualitas sumber daya manusia (SDM) perempuan itu sendiri, namun sebenarnya terletak pada kemampuan menemukan strategi politik yang tepat. Contoh kasus dapat diamati dari kesuksesan Hj. Sri Surya Widati (Bu Idham) berkompetisi pada pemilukada Bantul 2010. Dari latar belakang pendidikan formal, dapat dikatakan Bu Idham hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dari sisi pengalaman berpolitik, Bu Idham belum memiliki rekam jejak yang menjanjikan jika dikaitkan dengan hasratnya untuk menjadi Bupati Bantul, selain hanya tercatat sebagai kader Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Bantul. Berbeda dengan Tustiyani SH misalnya, yang sudah menjadi anggota DPRD Bantul sejak tahun 1999 dan sekarang dipercaya sebagai Ketua DPRD Bantul, atau Rustriningsih yang sebelum menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013 sudah berpengalaman menjadi 2
Bupati Kebumen selama dua periode. Walaupun Tustiyani dan Rustriningsih masing-masing memiliki rekam jejak politik yang mumpuni, namun keduanya belum bisa membuktikan bahwa dengan segala kemampuan, pengalaman, dan keunggulan politik yang dimilikinya akan secara otomatis memberikan mereka kemudahan untuk menaiki panggung pemilukada. Buktinya hingga saat ini Tustiyani masih belum bisa unjuk gigi untuk berpartisipasi sebagai kontestan pemilukada. Begitu juga Rustriningsih yang harus merasakan pahitnya kenyataan tatkala dirinya gagal untuk menjadi calon gubernur pada pemilukada Jawa Tengah yang digelar pada 26 Mei 2013 lalu. Realita politik Tustiyani dan Rustriningsih di atas sangat berbanding terbalik dengan realita politik Bu Idham. Bu Idham telah membuktikan, walaupun dirinya masih minim pengalaman berpolitik, namun dengan strategi politik yang handal mampu menjadikannya sebagai calon kepala daerah hingga akhirnya berhasil terpilih menjadi Bupati pada pemilukada Bantul 2010. Dengan kata lain, tanpa memiliki strategi politik yang memadai, akan sangat sulit bagi perempuan untuk bisa terjun dalam kontestasi pemilukada, sekalipun mereka memiliki banyak prestasi, pengalaman dan kemampuan politik yang mumpuni. Pada prinsipnya strategi politik merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki bagi setiap perempuan yang secara serius ingin berkompetisi dalam pemilukada. Karena pemilukada bukanlah arena untuk sekadar bermain angka elektabilitas. Banyak komponen yang harus diperhitungkan, mengingat pemilukada merupakan kompetisi yang menyita banyak waktu, tenaga dan biaya dari kontestan.
3
Terkait dengan latar belakang penelitian, ada beberapa alasan mengapa isu ini dipilih, dianggap menarik dan perlu untuk diteliti. Pertama, tema mengenai strategi politik perempuan di pemilukada belum banyak mewarnai kajian perempuan dalam politik lokal di Indonesia. Sejauh ini pembahasan perempuan dalam politik lokal masih timpang, karena hanya didominasi oleh paradigma penguatan politik di level legislatif yang berkaitan hubungan antara perempuan dengan parlemen, maupun mengenai perjuangan perempuan untuk mengisi kuota keterwakilan perempuan di partai politik. Padahal di lain sisi, studi mengenai politik perempuan di ranah eksekutif juga sangat urgent untuk diteliti lebih dalam. Oleh sebab itu kehadiran penelitian ini sangat diharapkan mampu menambah warna dalam kajian perempuan dan politik pemilukada. Penelitian ini hadir dalam semangat untuk melakukan penyelidikan yang masih tergolong baru. Karena selama ini peneliti belum menemukan hasil penelitian dengan basis tema yang serupa. Kedua, semangat dari penelitian ini tidak terlepas dari upaya untuk membantah klaim yang terlanjur dikonsumsi publik bahwa munculnya Hj. Sri Surya Widati (Bu Idham) sebagai kontestan pemilukada Bantul 2010 merupakan sebuah kecelakaan politik. Peneliti menganggap dalih yang gencar dipublikasikan klik Idham Samawi ini merupakan jawaban yang mengada-ada, terlalu sederhana dan cenderung dipaksakan. Peneliti menilai Idham Samawi sendiri terlalu berspekulasi untuk mejawab pertanyaan mengapa Bu Idham mendadak bisa muncul sebagai peserta pemilukada Bantul 2010. Sebab selain dikenal sebagai nyonya Idham Samawi, selama ini Bu Idham dinilai hanyalah penggiat organisasi 4
sosial dan seorang ibu rumah tangga biasa, dan pengalaman politiknya sendiri masih tergolong minim. Bahkan peneliti sendiri mulai memunculkan kecurigaan bahwa berhasilnya Hj. Sri Surya Widati ambil bagian dalam pemilukada sebagai Calon Bupati Bantul bukanlah sebuah kecelakaan politik, melainkan sebuah permainan politik kelompok elit Idham Samawi. Peneliti meyakini bahwa keberhasilan politik Hj. Sri Surya Widati bukanlah suatu kebetulan/keberuntungan semata. Diperlukan proses perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi yang saksama mengingat pemilukada merupakan suatu rangkaian kompetisi politik yang kompleks. Tanpa menyiapkan strategi politik, kandidat yang akan bertarung di arena pemilukada hanya akan dihadapkan pada dua kemungkinan, yakni suatu percobaan “bunuh diri” yang sedikit konyol atau memang ditakdirkan sebagai “tumbal” politik. Oleh karenanya diperlukan penelitian yang lebih mendalam guna menjelaskan bagaimana strategi politik yang dilancarkan sehingga Bu Idham mampu tiba-tiba menjelma sebagai kandidat paling potensial untuk memenangi pemilukada Bantul 2010. Selanjutnya, hadirnya penelitian ini juga tidak terlepas dari keinginan untuk melihat bagaimana model strategi politik Bu Idhan yang menurut peneliti sangat menarik untuk ditelusuri. Karena tanpa memiliki kemampuan/penngalaman berpolitik yang memadai, Bu Idham ternyata mampu berdiri tegak di panggung pemilukada dan berhasil keluar sebagai pemenang. Model politik seperti apa yang mampu mengantarkan Bu Idham mencapai keberhasilan politiknya? Dalam kasus Bu Idham, peneliti belum menemukan jawaban teoritik dan hasil penelitian yang secara gamblang menjelaskan bagaimana strategi politik Bu 5
Idham hingga berhasil menaiki panggung pemilukada. Peneliti meyakini walaupun fenomena tampilnya perempuan di pentas pemilukada juga terdapat di berbagai daerah di Indonesia, namun setiap daerah tentu memiliki ciri khas tersendiri. Karena konstelasi politiknya di tiap-tiap daerah sangat bervariasi, maka strategi politik yang dijalankan juga akan beragam. Sangat memungkinkan jika strategi politik yang digunakan Bu Idham sama sekali berbeda dengan strategi politik yang digunakan oleh kontestan perempuan di daerah lain. Sehingga pendekatan teoritik soal strategi politik yang ditawarkan juga belum tentu sama. Bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan banyak jawabanjawaban yang cenderung dipaksakan dan spekulatif tanpa didukung oleh temuan penelitian riil di lapangan. Ketiga, mengingat kajian tentang topik ini masih sangat terbatas, maka referensi teoritik mengenai strategi politik perempuan dalam pemilukada masih sangat minim, bahkan masih terbelenggu pada sudut pandang tertentu. Tulisan Astuti (2008) misalnya menjelaskan bahwa keberhasilan perempuan untuk memegang tampuk politik/pemerintahan (berkompetisi dalam pemilukada) akan lebih besar apabila perempuan tersebut memiliki hubungan keluarga dengan seorang pemimpin politik/pemerintahan laki-laki terkemuka. Tesis tersebut dapat diterima, namun masih memiliki kelemahan. Sebab, tidak semua perempuan yang memiliki hubungan keluarga dengan pemimpin politik/pemerintahan laki-laki terkemuka selalu berhasil menjadi kepala daerah. Tidak hanya itu, tesis Astuti tersebut tidak mampu menjelaskan mengapa Hj. Ratu Atut Chosiah berhasil menjadi Wakil Gubernur Banten dan kemudian kembali terpilih sebagai Gubernur
6
Banten, padahal saat itu Hj. Ratu Atut tidak memiliki keluarga laki-laki yang menjadi pemimpin politik/pemerintahan di Banten. Hj. Ratu Atut hanya diketahui sebagai putri sulung dari TB Hasan Schohib yang dikenal sebagai jawara di Banten. Di sisi lain juga mengemuka argumentasi yang menjelaskan bahwa tingginya angka keberhasilan perempuan berkontestasi dalam pemilikada, dikarenakan telah berubahnya sistem pemilihan perwakilan yang dipilih oleh DPRD menjadi sistem pemilihan kepala daerah langsung pasca dikeluarkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun peneliti menilai eksplanasi tersebut belum memiliki landasan argumen yang kuat. Bila dianalisis lebih seksama, model pemilihan langsung ini bisa saja berpotensi menghambat dan mungkin saja akan membebani perempuan untuk berkompetisi memperebutkan kursi kepala daerah. Pasalnya sistem pemilukada tidak hanya dianggap menguras energi kontestan karena prosesnya yang cukup panjang, tetapi juga memaksa para kandidat untuk bekerja keras mencari dukungan politik dan dukungan suara di level akar rumput. Kondisi ini mengharuskan kandidat tidak hanya memiliki kapabilitas dan kompetensi mumpuni sebagai calon kepala daerah (cakada), tetapi juga harus memiliki modal politik yang besar. Seperti yang pernah disampaikan oleh Mendagri Gamawan Fauzi, bahwa para kandidat kepala daerah bisa saja memerlukan dana 60 (enam puluh) miliar rupiah hingga 100 (seratus) miliar rupiah untuk biaya pencalonan, tim pemenangan, survei, atribut kampanye, biaya iklan politik, hingga menyiapkan saksi di TPS-TPS pada hari pemilihan, Kompas (18/1). Tingginya biaya politik inilah yang membuat kaum perempuan harus
7
mempertimbangkan secara
matang terkait
keinginannya
untuk bersaing
memperebutkan kursi kepala daerah. Tidak hanya itu, calon kepala daerah juga dituntut untuk mengantongi dukungan dari partai politik yang ada di DPRD maupun dukungan dari massa yang jumlahnya telah diatur oleh peraturan perundang-undangan jika melalui jalur independen. Melalui ketatnya persyaratan formal tersebut, tentu tidaklah mudah bagi seorang kontestan untuk memenuhinya. Apalagi jika kontestan tersebut adalah perempuan yang notabene juga memiliki tanggung jawab lain seperti mengurus rumah tangga dan sebagai pendamping suami. Hal ini memunculkan keraguan, apakah kaum perempuan benar-benar mampu memenuhi segala persyaratan tersebut? Apakah ketika melihat begitu ketatnya persyaratan tersebut justru makin menyurutkan semangat perempuan dan mendorong mereka untuk menarik diri dari gegap gempita kepemimpinan pemerintahan daerah pasca reformasi? Akan sangat riskan jika hingga kini kajian ilmu politik masih belum banyak menjangkau perhatiannya tentang strategi politik perempuan dalam pemilukada. Padahal sampai sejauh ini kalangan perempuan telah banyak ambil bagian dalam persaingan memperebutkan kursi kepala daerah yang dulunya hanya didominasi laki-laki. Idealnya, semakin tinggi angka keterlibatan perempuan dalam kontestasi pemilukada, selalu diiringi dengan meningkatnya jumlah penelitian tentang tema tersebut. Oleh sebab itu diperlukan upaya penggalian tema ini lebih dalam guna memperbaiki pemahaman kita tentang proses politik yang kompleks, khususnya yang berkaitan dengan konstelasi politik lokal seperti pemilukada. 8
Penjelasan-penjelasan yang saling bertolak belakang ini tentunya telah melahirkan kondisi yang sangat problematik. Dalam menjelaskan fenomena ini, diperlukan sebuah kerangka eksplanasi tentang strategi politik yang dijalankan Bu Idham yang tidak hanya menghindari penjelasan parsial, tetapi juga mampu hadir dalam memberikan jawaban yang lebih detil namun tetap komprehensif. Oleh karenanya diperlukan segera upaya untuk mencari tahu kondisi riil yang mampu menjelaskan bagaimana strategi politik yang dijalankan Bu Idham dalam pemilukada. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana strategi politik Hj. Sri Surya Widati untuk menjadi calon kepala daerah pada pemilukada Bantul 2010? 2. Apa yang melatari munculnya strategi politik Hj. Sri Surya Widati dalam Pemilukada Bantul 2010?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan teoritis dan juga tujuan praktis. Secara teoritis tujuan dari penelitian ini untuk menjelaskan keberhasilan Hj. Sri Surya Widati menaiki panggung pemilukada Bantul 2010, sebagai calon kepala daerah dengan memberikan kerangka analisis baru melalui pendekatan konsep strategi politik. Harapannya, penelitian ini mampu lebih fokus memotret strategi politik yang telah digunakan Hj. Sri Surya Widati sebagai landasan utama untuk menjelaskan
9
keberhasilan perempuan dalam berkompetisi dalam pemilukada. Sehingga penelitian ini akan membantu memberikan pandangan alternatif terkait keberhasilan perempuan berkompetisi
dalam pemilukada. Disamping itu,
penelitian ini juga diharapkan mampu melengkapi studi tentang elit politik lokal, khususnya peran elit dalam menciptakan strategi politik bagi perempuan untuk menaiki panggung pemilukada. Akhirnya kehadiran penelitian ini tidak hanya mampu untuk menambah perbendaharaan studi tentang strategi politik calon kepala
daerah
perempuan
dalam
pemilukada,
melainkan
juga
mengkorelasikannyaa dengan kajian elit lokal yang semakin menguat seiring berakhirnya rezim Orde Baru. Tujuan praktis dari penelitian ini berupaya untuk memberikan kontribusi dan referensi bagi pembaca yang tertarik pada tema strategi politik, khususnya bagi perempuan yang ingin menjadi calon kepala daerah. D. Signifikansi Penelitian Signifikansi dalam penelitian ini tercermin dari upaya peneliti untuk menampilkan eksplanasi mengenai strategi politik yang mampu mengantarkan perempuan untuk maju dalam pentas pemilukada serta kaitannya dengan eksistensi elit kekuasaan. Inilah yang peneliti anggap sebagai sebuah upaya baru dalam memperkaya kajian partisipasi politik perempuan, khususnya dalam konsentrasi stategi politik yang dijalankan perempuan dalam pemilukada sebagai bagian dari konstelasi politik lokal pasca reformasi, dan ini berbeda dari penelitian dan kajian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya.
10
Penelitian terdahulu dengan tema sejenis dapat ditelusuri misalnya dari penelitian Mukhlis, yang mengkaji strategi pasangan Munawar Liza Zainal dan Islamuddin, ST dalam pemilukada Sabang tahun 2009.2 Temuan penelitian ini menggambarkan
bahwa
pasangan
Munawar
dan
Islamuddin
ternyata
menggunakan pola strategi politik ofensif (memperluas pasar) dan defensif (mempertahankan pasar) secara sekaligus. Selanjutnya dapat diamati dari Tesis Joko Pratomo, yang mengangkat judul tentang strategi calon kepala daerah, dengan studi kasus kemengan Ratna Ani Lestari dalam pilkada Banyuwangi tahun 2005. 3 Dijelaskannya bahwa walaupun Ratna Ani Lestari dikenal sebagai calon kepala daerah perempuan, namanya kurang begitu dikenal di masyarakat Banyuwangi, serta masih kentalnya pemahaman sempit tentang ajaran Islam yang menolak kehadiran perempuan sebagai pemimpin, namun ternyata Ratna Ani Lestari mampu terpilih sebagai Bupati Banyuwangi. Keberhasilan politik Ratna Ani Lestari ini tidak terlepas dari strategi politik yang diterapkannya seperti lobby-lobby politik dan bargaining politik di level partai politik, serta marketing politik di level akar rumput. Tesis Ishak Supatriot Dalo, yang mengungkap modalitas dalam kompetisi elektoral yang difokuskan pada studi kemenangan Hartini pada pemilu legislatif 2009 di Kabupaten Manggarai. Dimana disebutkan bahwa kepemilikan modalitas merupakan salah satu permasalahan yang utama yang dialami kandidat atau calon legislatif perempuan. Namun, dengan kemampuan untuk mengkapitalisasi 2
Lihat Tesis atas nama Mukhlis (Mahasiswa Pascasarjana FISIPOL UGM), yang berjudul “Strategi Pemenangan Kepala Daerah”. 3 Tesis atas nama Joko Pratomo (Mahasiswa Pascasarjana FISIPOL UGM), yang berjudul “Strategi Calon Kepala Daerah (Studi Kemenangan Ratna Ani Lestari Pada Pilkada Banyuwangi 2005).
11
modalitas, permasalahan keterbatasan modalitas bukan menjadi penghambat guna memenangi kompetisi elektoral. Di sisi lain, kebanyakan dari hasil penelitian hanya berkutat sebatas faktor-faktor yang menghambat peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Azzan Karam (1991), di sejumlah negara untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat keterwakilan perempuan dalam politik. Dalam penelitiannya, Karam menyimpulkan bahwa bukan hanya faktor-faktor seperti kemiskinan, tingkat pendidikan, dan kesanggupan logistik yang menghambat perempuan terjun dalam dunia politik, tetapi juga ada faktor ideologis yakni patriarkhi (dominasi laki-laki dalam berbagai hal). E. Kerangka Teori Di bagian ini peneliti telah membangun kerangka analisis untuk menjelaskan kunci keberhasilan perempuan menaiki panggung pemilukada melalui paradigma konsep strategi politik. Selain itu peneliti telah mengaitkan konsep elit untuk membantu menjelaskan bagaimana strategi politik tersebut mampu diciptakan oleh kelompok elit, sebagai upaya untuk membajak proses sirkulasi elit agar kekuasaan tetap berada dalam genggaman kelompoknya. 1. Strategi Politik Bila dilacak dari asal-usul sejarah, penggunaan istilah strategi berasal dari bidang militer, yang secara etimologis akar kata strategi tersebut dapat dilacak dari istilah bahasa Yunani, yakni “Strat-egia” yang berarti “kepemimpinan 12
pasukan/seni memimpin pasukan”.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,istilah strategi memiliki dua macam pengertian. Pertama, strategi diartikan sebagai ilmu dan seni untuk menggunakan segala sumber daya untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam kondisi perang maupun damai, dan kedua, strategi dimaknai sebagai ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam kondisi perang untuk mendapatkan kondisi yang menguntungkan. 5 Bagi Schroder, apa yang dikenal sebagai strategi tidak bisa dilepaskan dari setiap pemikiran dan perencanaan yang terfokus pada tujuan akhir, yang kemudian diimplementasikan secara konkret.6 Walaupun pada awalnya istilah strategi sangat kental ditemukan pada bidang militer, namun seiring perkembangan zaman istilah strategi juga terus diadopsi di berbagai bidang kehidupan. Misalnya dalam bidang ekonomi/manajemen dan bisnis, bidang olahraga, hingga termasuk dalam dunia politik. Sehingga tidak jarang pendefinisian istilah strategi juga beragam, tergantung dari bidang penggunaannya. Dalam bidang organisasi misalnya, Bryson menjelaskan bahwa strategi adalah seperangkat metode untuk membantu organisasi dalam memecahkan masalah terpenting yang mereka hadapi dalam kondisi lingkungan organisasi yang selalu berubah.7
4
Peter Schroder, Strategi Politik. Friedrich-Naumann-Stiftung. Jakarta.2003. (Edisi Terjemahan). hlm.4 5 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, cetakan ke-3, Jakarta, 1990. 6 Ibid 7 Bryson, John M. “Strategic Planning for Public and Nonprofit Organization : A Guide to Strengthening and Sustaining Organizational Achievement”, Jossey-Bass Publishers, San Fransisco, 1995. Hlm 24.
13
Tepatnya pasca era industrialisasi, penggunaan istilah strategi semakin diperluas sehingga mulai diserap dan digunakan sebagai salah satu istilah dalam dunia politik, yang diartikan sebagai bentuk perjuangan/pertarungan untuk memperoleh kekuasaan, termasuk upaya untuk mencapai kemenangan dalam pemilihan umum.8 Berangkat dari fenomena ini kemudian muncul istilah strategi politik, yang diterjemahkan sebagai segala tindakan terencana yang digunakan untuk mewujudkan cita-cita politik. Oleh sebab itu merupakan sebuah keharusan bagi politisi untuk memiliki strategi politik jika ingin mewujudkan cita-cita politik, karena tanpa strategi, pencapaian tujuan utama dalam merebut maupun mempertahankan kekuasaan akan sulit terwujud.9 Dalam implementasinya di dunia politik, para politisi akan menggunakan strategi politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.10 Hal ini menandakan bahwa Schoder sangat memahami jika pada praktiknya, strategi politik yang dijalankan politisi untuk mencapai tujuan politiknya tidaklah kaku dan seragam. Dalam menjalankan suatu strategi, politisi akan melakukan apapun sepanjang sebuah perencanaan yang diimplementasikan untuk mencapai tujuan politik itu tidak melanggar aturan hukum. Inilah yang menyebabkan strategi politik yang digunakan oleh para politisi tersebut bisa jadi bervariasi, tergantung dari situasi dan kondisi yang dihadapi.
8
Peter Schroder, Strategi Politik. Friedrich-Naumann-Stiftung. Jakarta.2003. (Edisi Terjemahan). hlm.4 9 Ibid, hlm. 5 10 Ibid
14
Walaupun dalam praktiknya penggunaan strategi politik sangat beragam, namun pada hakikatnya para politisi yang sedang merancang sebuah strategi tetap mengacu pada dua pola dasar, yakni pola ofensif (menyerang) dan defensif (bertahan).11 Pola strategi ofensif (menyerang) akan diperlukan bilamana seorang kandidat/partai politik ingin menarik pendukung baru maupun memperluas jumlah dukungan
masyarakat.
Biasanya
kandidat
maupun
partai
politik
yang
menggunakan pola strategi ofensif ini lebih dikenal sebagai pihak penantang maupun “pendatang baru” yang akan berkompetisi untuk mengincar kursi kekuasaan. Pola ofensif inilah yang disebut Schroder sebagai strategi memperluas pasar dan strategi menembus pasar, sebab pola strategi ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut :12 Selalu berusaha menampilkan perbedaan yang jelas dan menarik terhadap pihak pesaing yang ingin diambil alih pemilihnya. Senantiasa
menampilkan
keuntungan-keuntungan
yang
akan
didapatkan masyarakat bila mendukung pihaknya, yang tidak terdapat pada pihak pesaing. Berusaha menawarkan keunggulan-keunggulan yang dimilikinya yang tidak ditemukan pada pihak pesaing. Selalu berupaya menjadi penyempurna dari program-program yang dimiliki pesaing. Selalu menjanjikan perubahan.
11 12
Ibid, hlm. 104. Ibid, hlm. 105
15
Pola kedua yakni strategi defensif (bertahan), sangat ideal digunakan bagi politisi pemegang kekuasaan maupun partai politik penguasa yang ingin terus berupaya mempertahankan kekuasaannya atau tetap menjaga dominasinya, dengan melakukan berbagai tindakan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :13
Berusaha memelihara pemilih tetap mereka dan memperkokoh soliditas pemilih agar tidak mudah diambil kompetitor lain.
Memperkuat pemahaman kepada para pemilih terhadap programprogram yang telah mereka anggap berhasil.
Berupaya menjalankan operasi disinformasi, dengan mengaburkan perbedaan yang ada dengan pesaing, hingga membuat perbedaan tersebut tidak dapat dikenali lagi.
Cenderung untuk mengambil sikap yang bertentangan dengan pihak yang menggunakan strategi ofensif.
Selain dari dua pola dasar strategi di atas, Schroder juga menambahkan bahwa dalam keadaan tertentu, politisi maupun partai politik bisa saja menerapkan pola ofensif dan defensif sekaligus yang sering disebut sebagai pola strategi campuran/kombinasi. Satu hal yang juga perlu disadari bahwa walaupun pola ini relatif lebih berisiko, namun pola campuran/kombinasi ini terkadang sangat menjanjikan untuk diimplementasikan demi mencapai keberhasilan.14 Berbagai pola dasar dalam merancang sebuah strategi di atas diharapkan mampu menjadi acuan bagi politisi untuk mewujudkan cita-cita/tujuan politiknya. 13 14
Ibid, hlm. 107 Ibid, hlm.110
16
Kendatipun dalam menjalankan sebuah strategi, tidak ada aturan baku ataupun sebuah keterikatan bagi politisi/partai politik (ketika dihadapkan pada kondisi tertentu), untuk selalu terikat kepada pola strategi yang harus dijalankannya. Politisi dan partai politik berhak memilih dan menentukan sendiri pola strategi yang mereka anggap ideal untuk diterapkan. Sebab strategi tidak bisa dilepaskan dari aktifitas seni. Artinya dalam memilih, menentukan, merancang dan menjalankan suatu strategi politik diperlukan sebuah keahlian/keterampilan tingkat tinggi yang tidak setiap orang mampu melakukannya. Oleh karenanya, tidak jarang dalam merancang dan menjalankan suatu strategi politik dianggap sebagai wilayahnya kelompok elit politik. Untuk menjelaskan mengapa kelompok elit politik-lah yang memiliki kemampuan dalam membuat strategi politik, akan dipaparkan pada sub-bab selanjutnya. 2. Elit Politik dan Strategi Politik Perempuan dalam Pemilukada Sub-bab ini akan menjabarkan bagaimana kelompok elit politik dengan berbagai keunggulannya mampu menciptakan strategi politik kepada perempuan untuk bisa bersaing di pemilukada. Tujuannya agar perempuan yang selama ini dianggap kurang memiliki kemampuan dan daya saing politik dapat berhasil bertarung dalam pemilukada. Hadirnya strategi politik ini tidak bisa dilihat sebagai faktor independent, bebas nilai dan nir-kepentingan. Ketika menyangkut soal politik, maka akan selalu ada kepentingan yang beroperasi di dalamnya, minimal pergulatan kepentingan para aktor dan elit politik itu sendiri. Benarlah apa yang pernah digambarkan Adam Smith bahwa sudah menjadi perilaku
17
mendasar para politisi dan negarawan yang senantiasa meletakkan segala sesuatu dalam fungsi kepentingan mereka. Secara sederhana peneliti ingin menekankan bahwa pihak elit politik-lah yang bertanggung jawab atas munculnya strategi politik bagi perempuan yang mampu mengantarkannya sebagai kontestan pemilukada. Sehingga, kerangka teori ini diharapkan mampu menjadi alat bantu guna mengungkap apakah keberhasilan perempuan selama ini ambil bagian dalam pemilukada sebagai Calon Kepala Daerah merupakan sebuah strategi politik kelompok elit untuk membajak proses sirkulasi elit agar berjalan sesuai dengan keinginannya. Terkait siapakah yang dimaksud dengan elit, Pareto menyebutkan bahwa elite merupakan suatu kelas manusia yang memiliki indeks-indeks tertinggi di setiap cabang kegiatan mereka, namun sebenarnya Pareto tidak terlalu kaku dalam mendefinisikan konsep elit karena bisa pula kelas manusia tersebut memiliki indeks tertinggi pada berbagai cabang kegiatan.15 Lebih lanjut, Pareto memilah kelompok elit menjadi dua kelas, yakni : a. elit yang memerintah (governing elite), terdiri dari individu-individu yang memainkan peranan besar dalam pemerintahan, baik secara langsung maupun tak langsung. b. elit yang tak memerintah (non-governing elite), yang terdiri dari individuindividu yang tidak termasuk di dalam kelompok elit yang memerintah.16
15 16
T. B. Bottomore. Elite dan Masyarakat. Akbar Tandjung Institute, Jakarta. 2006. Hal. 2 Ibid., Hal. 2
18
Secara garis besar, kelompok elit mempunyai beberapa karakter khas yang dapat memudahkan pengidentifikasiannya. Merujuk pada analisa kalangan “Elite Theorist”, dapat diketahui bagaimana pengkategorian kelompok elit dari sudut karakter internalnya, yakni sebagai berikut :17 1. Elit bersifat homogen 2. Elit memiliki kesadaran kelompok 3. Elit bersifat menyatu Karakter-karakter golongan elit tersebut coba dikonklusikan oleh Haryanto sebagai prasyarat sifat yang harus dimiliki golongan elit. Prasyarat tersebut dapat disingkat menjadi “Tiga K”, yang terdiri dari kesadaran, keutuhan, dan kebulatan tujuan kelompok.18 Senada dengan apa yang telah dipaparkan Haryanto di atas, J.S. Mills dalam pengamatannya mengenai pranata masyarakat di Amerika juga mengatakan bahwa individu-individu yang tergabung dalam kelompok elit merupakan golongan yang relatif sangat terpadu, homogen, dan memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Mereka cenderung berasal dari latar belakang sosial yang sama serta pandangan hidup yang relatif serupa hingga memiliki konsensus bersama untuk mewujudkan kepentingan mereka. Bahkan Mills juga melangkapi pengamatannya bahwa kalangan elit ini juga menganut agama yang sama, dan memiliki intensitas pertemuan yang cukup tinggi dalam perkumpulanperkumpulan yang diselenggarakan oleh berbagai kelompok sosial yang sama.
17
Haryanto. Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar. Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM. Yogyakarta. 2005.Hal. 31 18 Ibid,. Hal. 31
19
Inilah yang membuat adanya jalinan inter-koneksi yang cukup erat antar anggota kelompok elit melalui berbagai kesamaan latar belakang.19 Sedikit berbeda dari apa yang telah dikemukakan di atas bahwa elit cenderung bersifat homogen, Ramlan Surbakti mencoba mengkritisinya dengan mengkategorikan individu-individu yang tergabung dalam kelompok elit ke dalam 3 tipe.20 Pertama, elit bertipe liberal. Kelompok ini memiliki sifat : 1. Cenderung bersikap dan berperilaku mempertahankan suasana kondusif. 2. Relatif memberikan kesempatan kepada semua masyarakat untuk merubah status sosialnya. Artinya mereka menginginkan persaingan yang secara sehat kepada siapapun untuk menjadi elit. 3. Memiliki daya tanggap yang tinggi terhadap tuntutan dan aspirasi masyarakat. Kedua, kelompok pelawan elit (counter elite). Sifat khas dari kelompok ini yaitu : 1. Menentang segala bentuk kemapanan atau menentang segala bentuk perubahan 2. Memiliki sifat non-toleran, ekstrim, anti-intelektualisme 3. Beridentitaskan superioritas rasial tertentu 4. Lebih menyukai menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan aspirasinya. 5. Kelompok ini terbelah menjadi dua sayap, sayap kiri (left wing), yakni mereka selalu menuntut perubahan secara radikal dan revolusioner. 19 20
Ibid,. Hal. 130 Ibid,. Hal. 33
20
Sedangkan sayap kanan (right wing) cenderung menantang perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. 6. Mereka cenderung memperlihatkan diri sebagai kelompok yang membawa aspirasi masyarakat. Ketiga, tipe elit yang berorientasi pada kepentingan kelompok/pribadi. Kelompok ini bercirikan : 1. Selalu berupaya melakukan kolaborasi untuk mempertahankan keadaan yang tengah berlangsung. 2. Mereka bersifat konservatif karena selalu berusaha mempertahankan status quo. 3. Kurang memiliki daya tanggap terhadap aspirasi dan tuntutan masyarakat. 4. Lebih mengutamakan kepentingan golongannya. 5. Cenderung tertutup terhadap kelompok lain yang ingin memasuki kelompoknya. Sebagaimana yang dipaparkan Alfian, ketika berbicara tentang elit maka akan senantiasa terkait dengan konsep kepentingan, oleh sebab itu kajian-kajian tentang dinamika elite politik merupakan kajian tentang persinggungan dan persaingan kepentingan. Kepentingan para elit paling utama adalah bagaimana mereka berusaha mempertahankan posisi dan pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang senantiasa berubah.21
21
Alfan Alfian kata pengantar, dalam T.B. Bottomore, Elite dan Masyarakat, Akbar Tandjung Institute, Jakrta, 2006, hal V.
21
Tampilnya
perempuan
di
pentas
pemilukada
&
strategi
elit
mempertahankan kekuasaan Pergantian elit lama dengan elit baru merupakan hal yang tidak dapat terelakkan di masyarakat manapun juga, secara alamiah elit yang berkuasa tidak akan mungkin selamanya mampu memerintah karena dibatasi oleh usia.22 Begitu juga dengan elit yang memegang kekuasaan formal (governing elite) seperti Bupati, ketua DPRD dan ketua partai politik. Mereka juga tidak akan mungkin menduduki posisinya seumur hidup tanpa tergantikan, mengingat alam demokrasi yang memaksa pembatasan masa jabatan guna menghindari kekuasaan absolut. Bagi elit, kondisi ini tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus berkuasa. Kendatipun mereka menyadari adanya keterbatasan usia dan masa jabatan, namun mereka berusaha menemukan strategi untuk bertahan selama mungkin dalam lingkaran kekuasaan. Walaupun mereka tidak lagi berada pada posisi penguasa formal, minimal individu-individu ini berusaha agar tetap memiliki pengaruh kuat terhadap penguasa yang menggantikannya. Salah satu strategi yang mereka tempuh adalah dengan cara mengontrol proses sirkulasi elit. Pola sirkulasi elit dapat ditelaah dalam dua opsi. Pertama, mengacu pada Haryanto, untuk mempertahankan dominasinya sirkulasi elit dapat dilakukan dengan melakukan pertukaran posisi/jabatan antara elit yang satu dengan elit yang lain di dalam kelompoknya atau sesama anggota-anggota elit dalam kelompok tersebut. Kedua, menggantikan posisi elit lama dengan elit yang sama sekali baru (non-elite)
22
Haryanto. Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar. Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM. Yogyakarta. 2005. Hal. 88
22
dengan catatan bahwa elit pengganti tersebut merupakan orang yang didukung dan dikehendaki oleh kelompok elit lama sebagai regenerasi kelompoknya. 23 Sebelum bergulirnya proses sirkulasi, elit lama telah memastikan bahwa calon elit baru yang akan menggantikan posisinya kelak tetap tunduk pada kepentingan elit lama. Biasanya elit baru ini memiliki hubungan darah dengan anggota elit lama. Bentuk inilah yang disebut pewarisan tahta posisi elit. Elit lama menyerahkan kedudukannya kepada elit baru, dengan cara menyiapkan dan mengkondisikan generasi penerus untuk menempati posisinya. Argumentasi ini bukanlah tanpa alasan atau mungkin bersifat absurd bagi elit, karena mengutip pendapat Haryanto, individu-individu yang tergabung dalam kelompok elit ini memiliki kemampuan untuk memainkan peran dan pengaruhnya melalui segala keunggulan yang dimilikinya.24 Kelompok elit ini juga mampu mengatur sendiri kelangsungan hidupnya (self perpetuating), dan keanggotaannya berasal dari suatu lapisan masyarakat yang sangat terbatas karena pemimpinpemimpin selalu memilih sendiri penggantinya.25 Dari penjabaran di atas maka akan sampai pada sebuah pengerucutan bahwa eksistensi elit ditunjukkan dari sejauhmana mereka mampu mempertahankan posisi dan pengaruhnya dalam menghadapi proses sirkulasi elit. Untuk mempertahankan posisi dan pengaruhnya, elit selalu berupaya memilih sendiri penggantinya. Dengan keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, elit mampu
23
Haryanto. Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar. Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM. Yogyakarta. 2005. 24 Ibid,. Hal. 63 25 Ibid,. Hal. 31
23
menciptakan strategi guna mempengaruhi dan mengendalikan proses sirkulasi agar berjalan sesuai keinginannya. Dengan kata lain, melalui keunggulankeunggulan inilah kelompok elit mampu membajak proses sirkulasi elit dengan menciptakan strategi politik kepada perempuan yang telah mereka pilih sebagai calon elit pengganti, agar kendali kekuasaan tetap berada dalam genggaman mereka. F. Kerangka Pikir Penelitian Berdasarkan kerangka konseptual yang telah diulas sebelumnya, dapat dirumuskan kerangka pikir penelitian bahwa keberhasilan perempuan (Hj. Sri Surya Widati) memasuki arena pemilukada tidak terlepas dari strategi politik yang telah dirancang kelompok elit. Munculnya strategi politik yang telah didesain kelompok elit ini dilatari adanya kepentingan kelompok elit itu sendiri untuk mempertahankan posisinya dengan mempengaruhi proses sirkulasi elit agar berjalan sesuai dengan skenario mereka, sehingga calon elit yang akan menggantikan posisinya merupakan individu yang sebenarnya telah disiapkan kelompok elit untuk mengamankan kepentingannya. Alur kerangka pikir dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
24
Bagan 1 Model Kerangka Pikir Penelitian
Elit Politik
Merancang Strategi Politik bagi perempuan untuk tampil di pemilukada : Membuka Akses Kekuasaan Mendapatkan dukungan penguasa Mendapatkan dukungan sekutu berpengaruh Mendapatkan dukungan kelompok sosial Mendapatkan dukungan partai politik Membentuk opini umum
Perempuan berhasil mengikuti Pemilukada
Perempuan dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan elit
Secara garis besar, model dari kerangka penelitian di atas dapat dijabarkan dari adanya keinginan elit untuk bertahan selama mungkin dalam lingkaran kekuasaan politik dan pemerintahan. Keinginan elit tersebut ternyata harus menemui jalan terjal mengingat Indonesia saat ini tengah berada dalam alam demokrasi. Salah satu amanat demokrasi yang yang harus diimplementasikan adalah mengenai pembatasan periode kekuasaan. Prinsip demokrasi sangat alergi terhadap periode kekuasaan yang tak mengenal batas waktu. Karena Lord Acton pernah berujar bahwa kekuasaan cenderung korup, sehingga bila ada kekuasaan absolut maka hal itu merupakan tindakan yang benar-benar korup. Kondisi ini membuat elit kekuasaan tidak bisa lagi seumur hidup memegang sebuah jabatan
25
pimpinan formal baik di bidang politik maupun pemerintahan, misalnya jabatan Bupati. Akan tetapi elit kekuasaan tampaknya tidak begitu saja menerima kenyataan ini. Elit mencoba untuk beradaptasi dalam rezim demokrasi sembari mencari strategi politik baru untuk membajak proses demokratisasi di daerah. Melalui berbagai keunggulan yang dimiliki elit, mereka mampu menciptakan strategi politik untuk melestarikan kekuasaan mereka agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Sederhananya, kelompok elit berupaya “menggilir” jabatan kekuasaan yang mereka pegang, agar kekuasaan tetap berada di tangan mereka tanpa harus tergantikan dengan orang atau kelompok lain. Cara sejenis yang dapat ditempuh yakni dengan mendorong orang di luar kelompok mereka untuk memegang kekuasaan formal, dengan catatan orang tersebut harus mampu mereka kendalikan untuk menjamin kepentingankepentingan kelompok elit akan terus terpenuhi dalam wajah kekuasaan yang baru. Bahkan tidak jarang orang yang dipilih oleh kelompok elit adalah perempuan yang memang memiliki hubungan “darah” dengan elit lama. Elit berusaha mewariskan kekuasaan kepada generasi penerusnya agar tampuk kekuasaan dan kendali pemerintahan tetap berada dalam genggaman mereka. Oleh sebab itu tidak sedikit kita temukan perempuan-perempuan yang berhasil berkontestasi dalam pemilukada adalah mereka yang ternyata memiliki hubungan keluarga dengan elit politik dan pemerintahan sebelumnya.
26
Secara teknis, dengan segala keunggulan yang dimilikinya, elit mampu menciptakan strategi politik yang handal kepada perempuan yang telah mereka siapkan. Strategi politik ini tidak hanya menjadikan perempuan memiliki kesempatan emas untuk berpartisipasi dalam pemilukada, melainkan juga memiliki kans yang besar untuk memenangi pemilukada. Tidak peduli bagaimanapun minimnya rekam jejak politik, kualitas dan kapabilitas perempuan tersebut, melalui strategi politik yang telah dirancang elit akan “menyulap” sosoknya menjadi perempuan yang siap “tempur” untuk berlaga dalam pemilukada. G. Definisi Konseptual Berikut beberapa definisi konseptual dalam penelitian ini. 1. Pemilihan Kepala Daerah. Proses pemilihan secara langsung oleh warga negara yang memiliki hak pilih dalam memilih pemimpin daerah, baik pada tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Pelaksanaan pemilukada ini tertuang dalam aturan UU No. 22 tahun 1999, lalu disempurnakan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004, dan kemudian disempurnakan kembali melalui UU No. 12 Tahun 2008. 2. Calon Kepala Daerah, adalah warga negara Republik Indonesia yang memiliki hak politik dan telah memenuhi persyaratan untuk bersaing dalam memperebutkan jabatan kepala daerah dalam pemilu kepala daerah. 3. Elit kekuasaan, adalah sekelompok kecil individu-individu yang memiliki berbagai keunggulan dan mampu memainkan peranan besar di level politik dan pemerintahan di suatu daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
27
4. Strategi Politik, adalah setiap pemikiran dan perencanaan yang diwujudkan secara nyata sebagai tindakan politik yang difokuskan untuk memenangkan pemilukada sebagai upaya mempertahankan kekuasaan politik dan kendali pemerintahan di daerah. Terdapat beberapa strategi politik yang saling berkelindan erat untuk mendorong perempuan menaiki panggung pemilukada. Strategi-strategi politik tersebut adalah : Membuka akses kekuasaan kepada perempuan, yakni aktivitas politik kekuasaan untuk menciptakan kondisi dimana perempuan yang telah mereka
siapkan
sebagai
kandidat
kepala
daerah
diberikan
jalan
masuk/saluran yang memungkinkan mereka untuk melakukan penetrasi di lingkaran kekuasaan politik dan pemerintahan. Mendapatkan keberpihakan penguasa, yakni upaya elit kekuasaan yang menggiring para pemimpin institusi politik dan pemerintahan (baik eksekutif dan legislatif) agar bersikap lebih memihak dengan memberikan keuntungan-keuntungan tertentu melalui berbagai kewenangannya kepada perempuan yang telah mereka siapkan sebagai kandidat kepala daerah. Mendapatkan dukungan dari sekutu berpengaruh, yakni upaya elit kekuasaan untuk memunculkan dukungan politis dari orang-orang yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat (baik dalam agama, bidang sosial kemasyarakatan & politik) kepada perempuan yang telah disiapkan untuk mengikuti pemilukada. Mendapatkan dukungan dari kelompok sosial, adalah upaya elit kekuasaan dalam rangka menggalang dukungan politis dari berbagai kelompok-
28
kelompok yang ada di masyarakat seperti kelompok petani, kelompok pedagang pasar, kelompok pengrajin, dan sebagainya untuk memberikan dukungan kepada perempuan yang telah mereka siapkan sebagai kandidat kepala daerah. Mendapatkan dukungan partai politik, merupakan aktivitas elit kekuasaan untuk menggalang dan mengkondisikan dukungan dari salah satu maupun gabungan partai politik yang memiliki kursi maupun yang tidak memiliki kursi di parlemen, agar bisa memberikan dukungan politiknya kepada kandidat perempuan yang telah mereka siapkan dalam pemilukada. Membentuk opini umum, yakni upaya elit kekuasaan untuk menciptakan dan mempengaruhi pendapat-pendapat khalayak terkait suatu isu yang mengemuka di masyarakat agar cenderung menguntungkan bagi perempuan yang telah mereka siapkan untuk berkompetisi dalam pemilukada. H. Definisi Operasional Kunci keberhasilan Hj. Sri Surya Widati (Bu Idham) dalam menaiki panggung pemilukada Bantul terletak dari strategi politik yang telah dimilikinya. Strategi politik adalah rangkaian aktivitas politik yang terencana untuk mencapai keberhasilan/kemenangan politik pada pemilukada Bantul 2010. Terdapat 6 (enam) rangkaian strategi politik yang saling bersinergi guna mendorong keberhasilan politik Hj. Sri Surya Widati pada pemilukada, yakni : a. Membuka akses kekuasaan dapat ditelaah dari dua aspek, yakni : 1. Akses kekuasaan formal, dapat diamati dari :
Kemampuan Bu Idham memasuki institusi partai politik,
29
Menjadi bagian stakeholder Pemerintah Kabupaten Bantul seperti menjadi Ketua Umum Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Bantul.
Kemampuan Bu Idham mengaktualisasikan dirinya sebagai pimpinan berbagai organisasi sosial.
Akses kekuasaan informal, dapat diamati dari :
Keberhasilan Hj. Sri Surya Widati mendapatkan privilige dalam lingkungan kekuasaan, baik di tubuh partai politik (PDIP) maupun di bidang pemerintahan.
Kemampuan Bu Idham mendaya-gunakan jaringan-jaringan suaminya, khususnya di bidang politik dan pemerintahan.
b. Mendapatkan keberpihakan penguasa dapat dianalisis dari :
dukungan Megawati Soekarno Putri (Ketua Umum DPP PDIP)
dukungan Idham Samawi yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua DPD PDIP D.I.Y & Bupati Bantul.
dukungan Aryunadi, (Ketua DPC PDIP Bantul)
bagaimana tokoh-tokoh tersebut secara sadar menjalankan berbagai kebijakan dan kewenangannya yang menguntungkan Bu Idham.
c. Mendapatkan dukungan sekutu berpengaruh akan ditelisik dari :
bagaimana Bu Idham mendapatkan dukungan dari para kyai-kyai berpengaruh di organisasi keagamaan dan pengasuh pondok pesantren untuk diusung sebagai Calon Bupati Bantul.
bagaimana Bu Idham mendapatkan dukungan dari tokoh politik
30
bagaimana Bu Idham mendapatkan dukungan dari tokoh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
d. Mendapatkan dukungan dari kelompok sosial akan dicermati dari :
munculnya kelompok-kelompok sosial (kelompok petani, pedagang pasar, pengrajin, dan lain sebagainya) yang menginginkan Bu Idham melanjutkan kekemimpinan Idham Samawi sebagai Bupati Bantul.
bagaimana strategi kelompok sosial ini dalam memberikan dukungan politisnya kepada Bu Idham,
bagaimana implikasi keuntungan politis yang dituai Bu Idham dengan kehadiran kelompok sosial ini.
e. Mendapatkan dukungan partai politik akan ditelisik dari :
bagaimana upaya kader dan kelompok elit Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam mendorong Bu Idham sebagai Calon Bupati Bantul pada pemilukada 2010,
bagaimana manuver politik yang dilakuan DPC PDIP Bantul untuk memastikan pemilukada tetap berjalan sesuai waktu yang telah ditentukan dan menjaga kans Bu Idham untuk memenangi pemilukada.
f. Membentuk opini umum akan ditelusuri dari :
bagaimana proses kemunculan pendapat umum di masyarakat pada akhir periode jabatan Idham Samawi sebagai Bupati Bantul,
bagaimana
pendapat
umum
tersebut
bertransformasi
menjadi
keuntungan politis bagi Bu Idham.
31
I. Metodologi Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Alasan dipilihnya Kabupaten Bantul sebagai lokasi penelitian karena didasari atas beberapa pertimbangan. Pertama, karena secara geografis Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten yang berada dalam wilayah provinsi D.I.Yogyakarta, sehingga akan meringankan proses penelitian. Mengingat saat ini peneliti masih menjalani studi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kedua, Kabupaten Bantul juga dianggap peneliti relevan dan memenuhi kritera penelitian. Bupati Bantul saat ini adalah perempuan, sehingga akan lebih memungkinkan untuk meneliti peluang politik perempuan dalam pemilukada di daerah Bantul. Ketiga, peneliti bukan berasal dari Kabupaten Bantul ataupun wilayah D.I.Y., sehingga diharapkan mampu untuk lebih peka dan netral, serta objektif dalam menangkap fenomena untuk mencari data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Selain itu diharapkan juga agar peneliti tidak merasa seolah-olah sudah tahu tentang kondisi di kabupaten Bantul terkait konteks yang akan diteliti, sehingga rasa keinginan tahuan yang alamiah tetap terjaga dalam proses penelitian ini. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini bersifat deskriptif. Alasan dari penggunaan tipe deskriptif ini untuk memberikan gambaran rinci terhadap informasi yang telah digali dari
32
informan hingga menjadi narasi. Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan data dari keterangan informan baik secara lisan maupun tertulis, yang kemudian ditranskrip, dideskripsikan serta dianalisis dengan pendekatan metode kualitatif. Dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan metode kualitatif. Terdapat beberapa alasan mengapa pendekatan ini dipilih. Pertama, peneliti lebih menekankan pentingnya menjadi dekat dengan orang-orang dan situasi yang sedang diteliti. Melalui kedekatan antara peneliti dengan informan, maka diharapkan informasi-informasi yang diperoleh terkait pengalaman, opini, perasaan dan pengetahuan informan dapat tertangkap lebih baik dan mendalam, sehingga akan diperoleh pemahaman akan realitas dan hal-hal rinci tentang fenomena yang diteliti. Kedua, metode ini dianggap mampu untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang masih sangat sedikit diketahui. Oleh sebab itu melalui metode ini peneliti tidak memperlakukan semua orang menjadi informan penelitian, seperti halnya penelitian kuantitatif yang menganggap jawaban dari semua responden memiliki nilai yang sama. Hanya orang-orang tertentu yang akan dijadikan informan dalam penelitian ini, mengingat kadar informasi dari setiap orang sangat bervariasi. Ketiga, penelitian kualitatif memiliki sifat dinamis. Peneliti menyadari bahwa masalah yang diangkat dalam penelitian ini juga masih bersifat tentatif, dan sangat memungkinkan untuk berubah setelah memasuki lapangan penelitian. Karena saat memasuki lapangan penelitian, peneliti mencoba untuk tidak memaksakan apa yang telah difikirkan sebelumnya. Peneliti lebih berupaya melihat fenomena 33
secara lebih seksama sesuai dengan apa yang terjadi dan berkembang pada situasi di lapangan. Peneliti menyadari ketika apa yang difikirkan sebelumnya, bisa saja berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Seperti apa yang disampaikan Sugiyono, bahwa peneliti kualitatif yang merubah masalah penelitiannya setelah memasuki lapangan penelitian, atau setelah penelitian selesai merupakan peneliti kualitatif yang lebih baik.26 Dalam penelian ini, peneliti menggunakan studi kasus dalam melaksanakan proses penelitian. Alasan peneliti menggunakan studi kasus karena dinilai mampu dalam memberi nilai tambah pada pengetahuan yang secara unik tentang fenomena individual, organisasi, maupun sosial politik. Mengingat fokus kajian ini tentang peluang politik perempuan maka peneliti menganggap sangat relevan untuk penggunaan metode ini, karena meneliti tentang tema tersebut tentunya akan berhubungan dengan individu maupun kelompok/organisasi yang terkait dengan ranah politik. Alasan kedua karena studi kasus ini memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwaperistiwa kehidupan nyata. Alasan ketiga, studi kasus ini juga dinilai sangat ideal dan sering digunakan dalam metode penelitian tesis dan disertasi. Landasanlandasan inilah yang dinilai Yin, sebagai pembeda dari pendekatan-pendekatan penelitian sosial lainnya. Studi kasus di sini mengarah pada pendeskripsian secara
26
Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian Kualitataif, Kuantitatif, dan R &D. Alfabeta Bandung. 2004.
34
rinci dan mendalam mengenai potret kondisi pada suatu konteks yang terjadi secara apa adanya. 27 3. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data dalam penelitian ini ada dua bagian. Data primer, yang diperoleh secara langsung dari informan yang bisa berupa perkataan, perilaku maupun bahasa tubuh selama wawancara. Data primer ini bisa pula berupa hasil observasi secara langsung dari peneliti di lapangan. Data sekunder, akan diperoleh melalui dokumen-dokumen yang relevan dengan tema penelitian. Seperti surat kabar, kliping dan artikel di media massa, foto, arsip, laporan penelitian, dan catatan hasil diskusi-diskusi maupun catatan penting lainnya yang relevan dengan tema penelitian. Penggunaan dokumen ini diharapkan dapat mendukung dan menambah bukti untuk analisis data penelitian. Terdapat beberapa alasan mengapa dokumen dinilai memiliki arti penting dalam penelitian ini. Meminjam landasan Yin (2002), keuntungan penggunaan dokumen dalam proses penelitian kualitatif yakni dokumen dinilai dapat membantu dalam penverifikasian ejaan dan judul maupun nama-nama organisasi/informan dalam proses wawancara. Alasan lainnya dokumen dapat menambah rincian spesifik lainnya guna mendukung informasi dari sumbersumber lain. Apabila bukti dokumenter bertentangan dan bukannya mendukung, peneliti mempunyai alasan untuk meneliti lebih jauh topik yang diteliti.
27
Prof. Dr. Robert K. Yin. Studi Kasus : Desain dan Metode. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2002.
35
4. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan dua pendekatan utama yakni : 1. Wawancara, dilakukan kepada informan dengan menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan tema penelitian, terkecuali pertanyaan penelitian. Dalam kegiatan ini, peneliti akan berupaya sedetail mungkin untuk mengorek keterangan dari informan. Kegiatan ini akan terus dilakukan secara berulang hingga informasinya bisa dikatakan jenuh atau keterangan informan telah konsisten. Model wawancara yang dipilih adalah indepth interview dan mengikuti forum diskusi baik secara formal maupun informal yang berkaitan dengan tema kepemimpinan dan peluang politik perempuan. Indepth interview dilakukan dengan pedoman wawancara agar pertanyaan-pertanyaan dasar tetap fokus, sekalipun pengungkapannya akan disesuaikan secara fleksibel dengan konteks yang ada. Pertanyaan-pertanyaan awal dalam penelitian ini akan dapat berupa pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman informan, pendapat, perasaan, maupun pengetahuan tentang kondisi-kondisi yang terkait tema penelitian. 2. Dokumentasi, dilakukan dengan cara mengumpulkan serta memanfaatkan dokumen-dokumen yang relevan untuk diteliti, seperti tulisan ilmiah, jurnal, artikel maupun pemberitaan di media massa yang terkait konteks penelitian. 5. Penentuan Informan Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yang dipadukan dengan teknik snowball sampling. Teknik purposive
36
dan snowball akan dilakukan secara bersamaan. Melalui teknik ini dapat ditentukan siapa informan yang akan diwawancarai pertama kali, kemudian menanyakan siapa informan berikutnya yang dianggap layak untuk menggali informasi/keterangan yang berkaitan dengan penelitian. Selanjutnya informan yang kedua akan diminta untuk memberikan rekomendasi untuk memberikan siapa yang akan dijadikan informan penetian berikutnya. Informan ketiga juga akan mendapatkan pertanyaan tentang siapa yang menurutnya dapat dijadikan informan selanjutnya, dan informan selanjutnya akan dimintai rekomendasi yang serupa. Dalam penelitian ini, informan akan dikategorikan ke dalam dua bagian. Pertama, informan biasa. Informan ini ditujukan untuk mendapatkan data-data sekunder serta membantu peneliti untuk mengidentifikasi terhadap informan kunci yang akan diwawancarai. Kader/Pengurus Struktural Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Bantul, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bantul, Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Bantul, serta aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di daerah Bantul. Kedua, informan kunci. Informan ini lebih dititik beratkan kepada wawancara mendalam untuk memperoleh data primer seperti peluang-peluang politik apa saja yang berpengaruh dalam partisipasi Hj. Sri Surya Widati (Bu Idham) dalam pemilukada Bantul 2010 dan apa yang melatar-belakangi terbukanya peluangpeluang politik Bu Ida. Sasaran utama yang tergolong sebagai informan kunci ini seperti Hj. Sri Surya Widati, Drs. Idham Samawi, Ketua DPC PDIP Bantul, Ketua
37
DPRD Bantul, angggota DPRD Bantul dari berbagai fraksi, serta anggota Tim Pemenangan pasangan Hj. Sri Surya Widati dan Sumarno Prs, (Idaman). Pengumpulan data dianggap cukup apabila peneliti sudah menemukan berbagai informasi yang signifikan untuk menghasilkan kesimpulan dan menjawab pertanyaan penelitian. Pengumpulan data akan dianggap selesai bisa juga ketika keterangan yang diberikan oleh informan telah jenuh dan konsisten terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. 6. Pembatasan Penelitian Pembatasan penelitian tidak hanya akan berdampak terhadap waktu, tenaga dan hasil penelitian. Namun juga akan memberikan fokus dan konsentrasi yang mendalam terkait aktivitas penelitian yang akan dilakukan. Terdapat beberapa batasan dalam penelitian ini. Pertama dari segi fokus kajian. Peneliti hanya menggali strategi politik yang digunakan Hj. Sri Surya Widati untuk bisa tampil pada pemilukada Bantul 2010. Kedua, dari pembatasan lokasi penelitian. Peneliti hanya memfokuskan penelitian ini di kabupaten Bantul. Selain akan mempermudah pelaksanaan penelitian, juga diharapkan peneliti akan mampu mencurahkan konsentrasi penuh di wilayah penelitian tanpa harus terpecah ke wilayah lain. sehingga kedalaman data dapat dideskripsikan secara mendetil. 7. Teknik Analisis Data
38
Guna menjawab pertanyaan penelitian yang ada, maka metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif, dimana analisis data terus-menerus dilakukan pada saat pegumpulan data berlangsung. Analisis ini dilakukan dengan cara reduksi data, penyajian data, penafsiran data dan penarikan kesimpulan. Teknik analisis ini mengacu pada Model Miles & Huberman. 28 Reduksi data akan dilakukan melalui pemilihan dan transformasi data-data yang dikumpulkan di lapangan. Proses ini akan dilakukan terus-menerus sejak awal pengumpulan data berlangsung hingga akhir penelitian. Data mentah yang diperoleh dari lapangan akan disusun lebih sistematis agar terlihat data-data pokoknya. Hasil wawancara yang diperoleh kemudian dikelompokkan sesuai dengan target informasi yang ingin diperoleh dari setiap informan. Dalam aktifitas penyajian data, data mentah yang telah dikelompokkan sebelumnya akan dideskripsikan/dinarasikan dalam kesatuan bentuk yang sederhana sehingga mudah dimengerti. Aktifitas ini akan dilakukan dengan mensintesa jawaban setiap informan sesuai dengan indikator yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian jawaban setiap informan akan dimasukkan pada tabel yang menjabarkan indikator yang diteliti. Dari aktifitas ini diharapkan akan didapatkan kemudahan dalam melihat pola jawaban setiap informan yang nantinya akan ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan, merupakan bagian akhir dari analisis kualitatif yang merupakan penyusunan kesimpulan dari hasil analisis sebelumnya. Peneliti 28
Prof. Dr. Sugiyono. Metode Penelitian Kualitataif, Kuantitatif, dan R &D. Alfabeta Bandung. 2004.
39
mencoba mencari makna dari data yang telah dikumpulkan dan dianalisis dengan memahami pola penjelasan, hubungan hal-hal yang sering muncul yang diamati selama pengumpulan data dilapangan. Kecenderungan hasil yang muncul akan diidentifikasikan kembali dan diperjelas dengan pola-pola yang ada sehingga penarikan kesimpulan dapat dipertanggungjawabkan. 8. Karakteristik Informan Mengacu pada pendapat Spradley, kriteria informan yang ideal untuk diwawancarai yakni sebagai berikut :29 1. Orang yang menguasai dan memahami obyek penelitian melalui proses enkulturasi, sehingga tidak sekadar mengetahui, tapi juga menghayati. 2. Orang yang masih/pernah/sedang berkecimpung /terlibat pada kegiatan yang tengah diteliti 3. Orang yang memiliki waktu memadai untuk dimintai informasi 4. Orang yang cenderung tidak menyampaikan informasi hasi kemasannya sendiri 5. Orang yang pada awalnya tergolong cukup asing dengan peneliti, sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan narasumber. 6. Pihak-pihak yang mewakili berbagai tingkatan yang ada dalam obyek penelitian
29
Ibid,.
40
J. Sistematika Penulisan Penelitian ini menggunakan format yang terdiri dari lima bab dengan sub-bab sebagai berikut: Bab I berisikan tentang Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Signifikansi Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Pikir Penelitian, Definisi Konseptual, Definisi Operasional, dan Metodologi Penelitian. Bab II memuat tentang Profil Hj. Sri Surya Widati yang meliputi: Biografi Bu Idham, Riwayat Pendidikan, Kiprah Bu Idham di Bidang Sosial, dan Perjalanan Karir Politik Bu Idham menuju panggung Pemilukada. Bab III mengupas tentang Strategi Politik Hj. Sri Surya Widati yang mencakup : Membuka
Akses
Mendapatkan
Kekuasaan,
Dukungan
Sekutu
Mendapatkan Berpengaruh,
Keberpihakan
Penguasa,
Mendapatkan
Dukungan
Kelompok Sosial, Mendapatkan Dukungan Partai Politik, dan Membentuk Opini Umum. Bab IV akan mengemukakan tentang Kepentingan Elit Dibalik munculnya Strategi Politik Hj. Sri Surya Widati, yang meliputi: Elit Politik di Bantul, Mengapa Mereka dikategorikan Elit Kekuasaan?, Strategi Elit Mempertahankan Kekuasaan: Kontrolisasi Sirkulasi Elit, dan Kemampuan Elit Mempertahankan Kekuasaan. Bab V, yakni bagian terakhir merupakan bab Penutup yang terdiri dari Kesimpulan, Implikasi Teori dan Saran. 41