BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Profesi keperawatan memiliki dasar pendidikan yang spesifik, sehingga dapat dikembangkan setinggi-tingginya. Hal ini menyebabkan profesi keperawatan di Indonesia selalu dituntut untuk mengembangkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalam Sistem Pelayanan Kesehatan di Indonesia dalam upaya meningkatakan profesionalisme keperawatan agar dapat memajukan pelayanan masyarakat akan kesehatan di negeri ini. Ada beberapa kategori tingkat pendidikan seperti perawat program Diploma 3 Keperawatan dan seseorang yang lulus dari pendidikan tinggi keperawatan, terdiri dari ners generalis, ners spesialis dan ners konsultan. Untuk menjadi perawat yang yang profesional harus menempuh pendidikan baik pendidikan formal seperti Program Studi S1 Ilmu (S.Kep) dan ners, program magister (M.Kep), maupun spesialis (Dr. Kep) (PPNI, 2011). Selain itu juga didapat dari pendidikan informal, seperti pembelajaran klinik, pelatihan khusus, seminar dan di dalam dunia kerja itu sendiri. Melalui pembelajaran tersebut baik formal maupun informal perawat seharusnya mempunyai dasar pengetahuan yang kuat sehingga dapat mampu bekerja sama 1
2
berkolaborasi dan sepadan dengan tenaga kesehatan lainnya. Perawat dituntut untuk dapat melakukan segala bentuk tindakan keperawatan berdasar pada pengetahuan yang didapatkan, termasuk dalam tindakan tindakan invasif seperti pemasangan terapi intravena. Tindakan terapi intra vena adalah terapi yang bertujuan untuk mensuplai cairan melalui vena ketika pasien tidak mampu mendapatkan makanan, cairan elektrolit lewat mulut, untuk
menyediakan
kebutuhan
garam
untuk
menjaga
keseimbangan cairan, untuk menyediakan kebutuhan gula (glukosa/dekstrosa) sebagai bahan bakar untuk metabolisme, dan untuk menyediakan beberapa jenis vitamin yang mudah larut melalui intravena serta untuk menyediakan medium untuk pemberian obat secara intravena (Smeltzer, 2002). Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka
waktu
tertentu
tentunya
akan
meningkatkan
kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah flebitis (Perry & Potter, 2005). Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena, edema, panas, dan keras. Menurut Smith (2008), menyatakan bahwa faktor-faktor yang
3
berhubungan dengan flebitis adalah bahan dasar kateter, ukuran kateter, tempat insersi kateter, pengalaman dan pengetahuan personal/perawat yang menginsersi kateter atau melakukan prosedur tindakan terapi intravena, lamanya waktu pemakaian
kateter,
frekuensi
penggantian
balutan,
dan
perawatan kulit. Faktor yang paling berkaitan erat dengan keperawatan
adalah
pengetahuan
perawat
karena
berpengaruh terhadap angka kejadian flebitis di rumah sakit. Penelitian di Negara maju seperti Amerika terdapat angka kejadian 20.000 kematian per tahun akibat dari infeksi nosokomial. Sedangkan di negara Asia Tenggara infeksi nosokomial sebanyak 10,0%. Dari data tersebut infeksi nosokomial tertinggi terdapat di negara Malaysia sebesar 12,7% dan Taiwan sebesar 13,8%. Sedangkan di Indonesia, penelitian yang dilakukan pada tahun 2004 di sebelas rumah sakit di Indonesia, menunjukkan bahwa 9,8% pasien terjadi infeksi selama dirawat dirumah sakit (Marwoto, 2007). Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Mokopido Tolitoli pada tahun 2008, ditemukan angka kejadian flebitis sebesar 46,6% (dari 112 responden). Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir 50% dari pasien yang ada mengalami flebitis. Angka tersebut cukup tinggi dibandingkan dari studi yang dilakukan sebelumnya yaitu 42,4%. Selama
4
selang beberapa tahun, sudah terjadi peningkatan angka yang cukup signifikan. Peningkatan angka ini diasumsikan bahwa masih belum ketatnya pengawasan dan tindakan pencegahan flebitis dirumah sakit (Fitria, 2008). Penelitian yang lain yang dilakukan di RS. Dr. Sardjito
Yogyakarta tahun 2002
didapatkan 31 orang dari 114 pasien yang terpasang infus (27,19%) terjadi Flebitis pasca pemasangan infus (Batticaca, 2002). Hasil-hasil penelitian diatas, disimpulkan bahwa angka kejadian infeksi di rumah sakit dibeberapa kota di Indonesia masih tinggi, sehingga hal ini masih menjadi permasalahan yang sama di beberapa rumah sakit di Indonesia. Fenomena yang terjadi selama ini yang dapat peneliti observasi saat menjalani praktik klinik di beberapa rumah sakit, banyak perawat yang belum sepenuhnya menggunakan pengetahuan dan ketrampilannya dalam memberikan terapi intravena seperti penanganan infus macet dengan “menggulung-gulung” atau “memencet-mencet” infus agar dapat menetes kembali atau dengan menyuntik dengan paksa menggunakan spuit berisi cairan aquabides. Fenomena lain dalam kasus thrombosis (selang
infus
menghilangkannya
terdapat dengan
bekuan
darah)
“memencet-mencet”
perawat kembali.
Fenomena-fenomena tersebut tidak semua terjadi pada
5
seluruh perawat, masih banyak juga perawat yang mampu menggunakan pengetahuannya dalam memberikan terapi intravena. Tetapi fenomena tersebut dapat memberi gambaran bahwa pengetahuan perawat dapat berpengaruh besar untuk terjadinya komplikasi terapi intravena. Di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang sendiri jumlah perawat perbangsal sebanyak 14 orang dimana seluruh perawat masih lulusan D3, dengan jumlah tempat tidur mulai dari 28 sampai 46 tempat tidur pasien per bangsal. Lama perawatan / Length Of Stay (LOS) di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang rata-rata adalah 4 hari. Merujuk kembali dari pernyataan Smith (2008), dimana salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian flebitis salah satunya adalah pengetahuan perawat. Melihat perawat yang bekerja di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang masih banyak lulusan D3, dengan beban kerja yang ada, serta melihat beberapa fenomena yang terjadi dimana masih banyak perawat
yang
pengetahuannya
belum dan
sepenuhnya
beragamnya
menggunakan
tingkat
pendidikan
keperawatan, oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemasangan terapi intravena dengan angka kejadian flebitis.
6
1.2. Identifikasi Masalah Terapi intravena merupakan salah satu terapi utama untuk pengobatan berbagai jenis penyakit di rumah sakit dengan dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang berlaku. Adapun didalam pelaksanaan standart oprasional prosedur pemasangan terapi intravena melalui penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan angka-angka kejadian infeksi flebitis yang cukup signifikan. Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena, edema, panas, dan keras. Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang di infuskan (terutama pH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan IV kateter yang tidak sesuai, dan
masuknya
mikroorganisme
pada
saat
penusukan
(Smeltzer, 2002). Menurut Smith (2008), salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian flebitis adalah pengetahuan perawat. Dari beberapa hasil penelitian tersebut maka perlu melihat lebih jauh dari segi pengetahuan perawat tentang terapi intravena. Peneliti tertarik meneliti adakah hubungan antara pengetahuan perawat tentang pemasangan terapi intravena
7
dengan angka kejadian flebitis di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang. 1.3. Batasan Masalah Agar masalah yang akan diteliti tidak menyimpang dari apa yang akan diteliti, maka penulis membatasi penelitian pada masalah pengetahuan perawat tentang pemasangan terapi intravena dan kejadian flebitis. 1.
Pengetahuan
perawat
tentang
pemasangan
terapi
intravena Pengetahuan perawat tentang terapi intravena dapat dijabarkan dari bagaimana seorang perawat mengetahui, memahami,
mengaplikasikan,
menganalisis,
dan
mengevaluasi dari setiap tahap-tahap tindakan terapi intravena. 2.
Kejadian flebitis Kejadian flebitis di definisikan sebagai angka yang menunjukkan kejadian inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik (Smeltzer, 2002).
8
1.4. Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
yang
telah
dikemukakan di atas maka dirumuskan persoalan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pengetahuan perawat tentang pemasangan dan terapi intravena? 2. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang pemasangan terapi intravena dengan angka kejadian flebitis?
1.5. Tujuan Penelitian 1. Untuk
mengetahui
pengetahuan
perawat
tentang
pemasangan terapi intravena. 2. Untuk mengetahui adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan
perawat
tentang
pemasangan
terapi
intravena dengan angka kejadian flebitis.
1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat Praktis a. Bagi Rumah Sakit Sebagai
bahan
masukan
untuk
perbaikan
kualitas pelayanan keperawatan dan tindakan-
9
tindakan
keperawatan
di
RS
Panti
Wilasa
Semarang. b. Bagi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW Hasil
penelitian
ini
dapat
menjadi
bahan
rekomendasi untuk pembelajaran akademik maupun klinik terkait standar operasional prosedur tindakantindakan keperawatan khususnya terapi intravena. c. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan
untuk
meneliti
aspek
lain
tentang
pemasangan terapi intravena di Rumah Sakit, sehingga dapat membuka wawasan dan ikut berperan dalam menekan angka kejadian-kejadian infeksi nosokomial di Rumah Sakit.
1.6.2. Manfaat Teoritis Sebagai
sumbangan
pengembangan
ilmu
pengetahuan khususnya keperawatan serta dapat menjadi referensi dan landasan penelitian selanjutnya untuk meneliti aspek lain tentang pemasangan terapi intravena.