BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Situs Sangiran (Sangiran Early Man Site) adalah salah satu Kawasan
Warisan Budaya Dunia yang ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 1996 dengan nomor register C.593. Kawasan ini terletak di perbatasan antara Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar dengan luas area sekitar 59,21 Km2. Lokasi situs yang diantara dua kabupaten tersebut dipisahkan oleh Kali Cemoro yang mengalir ke Sungai Bengawan Solo. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 019/M/2015 tentang Satuan Ruang Geografis Sangiran Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional, Kawasan Sangiran secara geomorfologis berupa kubah yang terbentuk karena proses geologi yang berlangsung pada Kala Pleistosen. Kubah Sangiran dilalui oleh Kali Cemoro dan Kali Ngrejeng yang sering menyingkap tinggalan arkeologi di satuan ruang geografis tersebut. Pada satuan ruang geografis tersebut terdapat singkapan lapisan-lapisan tanah berumur mulai dua juta tahun yang lalu sampai sekarang tanpa terputus. Area situs di sisi utara Kali Cemoro masuk ke dalam wilayah Kabupaten Sragen yang mencakup 16 desa dan 118 dusun yang berada di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Plupuh, dan Kecamatan Gemolong. Sedangkan area situs di sisi selatan Kali Cemoro masuk ke wilayah Kabupaten Karanganyar yang mencakup 7 desa dan 48 dusun yang berada di Kecamatan Gondangrejo.
1
2
Menurut Hidayat (2008), Sangiran merupakan nama kembar dari dua pedukuhan kecil yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar, di Jawa Tengah. Kedua pedukuhan ini dipisahkan oleh Kali Cemoro yang mengalir dari kaki Gunung Merapi menuju ke arah timur, ke Sungai Bengawan Solo. Dukuh Sangiran di sisi utara terletak di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, dan Dukuh Sangiran sisi selatan berada di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Namun saat ini, nama kembar dua pedukuhan tersebut yaitu “Sangiran” telah menjadi sebutan bagi nama sebuah kawasan situs hunian manusia purba yang cukup penting di antara jajaran situs-situs hunian manusia purba lain di dunia yang jumlahnya sangat terbatas. Kawasan Sangiran terdiri dari beberapa situs yang digolongkan menjadi klaster temuan arkeologis yang berdekatan yakni Klaster Krikilan, Klaster Bukuran, Klaster Ngebung, Klaster Manyarejo dan Klaster Dayu. Pada proses perencanaan ruang Kawasan Sangiran oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, awalnya menetapkan batas-batas Kawasan Sangiran sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 070/O/1977 tanggal 15 Maret 1977 tentang Penetapan Daerah Sangiran Sebagai Cagar Budaya dengan luas sekitar 47 Km2 . Peraturan inilah yang menjadi dasar penetapan Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO no. 593 dengan nama “Sangiran Early Man Site” pada bulan Desember 1996 sehingga Situs Sangiran diakui pula sebagai Kawasan Warisan Budaya Dunia Sangiran.
3
Sebagai upaya pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan Situs Sangiran maka pada tahun 1994 dan 1995 telah dilaksanakan Studi Perlindungan dan Pengembangan Situs Sangiran. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan Studi Pemintakatan Situs Sangiran dengan tujuan menetapkan batas-batas mintakat atau zonasi untuk keperluan pelestarian Situs Sangiran dengan mengacu pada hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini, maka dilakukan pemetaan terhadap potensi Situs Sangiran berdasarkan kajian geologi, paleontologi, dan arkeologi. Dari hasil pemetaan tersebut kemudian ditetapkan pembagian kawasan Sangiran ke dalam tiga wilayah mintakat yaitu Mintakat Inti/Zona I, Mintakat Penyangga/ Zona II, dan Mintakat Pengembangan/ Zona III. (Widianto et al, 1996 dalam Hidayat 2012). Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 173/M/1998 tentang Penetapan Benda dan Situs Cagar Budaya yang Dilindungi di Provinsi Jawa Tengah tanggal 16 Juli 1998 ditetapkan perluasan wilayah Situs Sangiran ke arah utara dan selatan menjadi 59,21 Km2 , yang meliputi zona inti (zona I) seluas 57,40 Km2, zona penyangga (zona II) seluas 100 m diluar batas Situs Sangiran serta zona pengembangan terbatas (zona III) yang berada di dalam zona inti seluas 1,81 Km2. Zonasi atau pemintakatan Kawasan Sangiran mulai digunakan dalam Kepmen ini yang mengacu pada Laporan Studi Pemintakatan Sangiran tahun 1996. Terakhir, Pemerintah menetapkan Sangiran sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 019/M/2015 tentang Satuan Ruang Geografis Sangiran Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional. Kementerian Pendidikan dan
4
Kebudayaan telah membentuk unit pelaksana teknis pada kawasan ini yakni Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMP) yang mempunyai tugas melaksanakan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan situs manusia purba. Perencanaan ruang Kawasan Sangiran juga direncanakan oleh pemerintah daerah. Masing-masing terdapat pada Perda No. 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah, Perda No. 11 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sragen Tahun 2011-2031 dan Perda No. 1 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karanganyar Tahun 2013-2032. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara rencana penataan ruang Kawasan Sangiran menurut Pemerintah Daerah terutama terlihat pada pola ruang RTRW Kabupaten Sragen dan pola ruang RTRW Kabupaten Karanganyar dengan rencana penataan ruang Kawasan Sangiran menurut Pemerintah Pusat berdasarkan Rencana Induk Pelestarian Kawasan Sangiran yang mengacu Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 019/M/2015 tentang Satuan Ruang Geografis Sangiran Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 173/M/1998 tentang Penetapan Benda dan Situs Cagar Budaya yang Dilindungi di Provinsi Jawa Tengah yang memuat batas wilayah dan Zonasi Sangiran. Perbedaan penafsiran kawasan antara UU Cagar Budaya yang digunakan oleh pihak Kemendikbud dalam hal ini BPSMP Sangiran dengan UU Penataan Ruang yang digunakan oleh Bappeda kabupaten dalam menyusun rencana ruang
5
dinilai turut mempengaruhi keterpaduan antar rencana di Kawasan Sangiran tersebut. Asas yang pertama kali disebut dalam UU Penataan Ruang adalah Keterpaduan.
Keterpaduan
penataan
ruang
diselenggarakan
dengan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Oleh karena itu, perlu diketahui keterpaduan antar rencana dari pemangku kepentingan di Kawasan Sangiran. 1.2
Rumusan Masalah Permasalahan yang menjadi topik dari penelitian ini dimulai dari adanya
beberapa pihak yang terlibat dalam perencanaan tata ruang di Kawasan Sangiran ini diantaranya Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menggunakan Rencana Induk Pelestarian Kawasan Situs Sangiran dengan Zonasi Sangiran (Master Plan 2013) berdasarkan Kepmendikbud 173/M/1998 serta Kepmendikbud No. 019/M/2015 tentang Satuan Ruang Geografis Sangiran Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional dan Pemerintah Daerah yakni Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang telah menetapkan Perda No. 6 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah (RTRW Jawa Tengah), Pemerintah Kabupaten Sragen yang telah menetapkan Perda No. 11 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Sragen (RTRW Sragen) dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar yang telah menetapkan Perda No. 1 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Karanganyar (RTRW Karanganyar). Beberapa pemangku kepentingan yang terdiri dari satu kementerian, satu provinsi, dan dua kabupaten ini memiliki rencana masing-masing atas Kawasan
6
Sangiran sehingga ada ketidakjelasan rencana-rencana yang diterapkan di kawasan tersebut. Sementara itu, selama ini belum pernah ada kajian atau evaluasi yang dilakukan terhadap keterpaduan rencana-rencana tersebut. Selain itu, belum ada upaya untuk menyatukan peraturan perencanaan penataan ruang di Kawasan Sangiran oleh pemangku kepentingan terkait dan terdapat perbedaan latar belakang proses penentuan tata ruang menurut versi masing-masing pemangku kepentingan, maka selanjutnya peneliti merumuskan masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apa saja produk perencanaan ruang yang selama ini diterapkan di Kawasan Sangiran ? 2. Bagaimana bentuk keterpaduan antar rencana dari para pihak di Kawasan Sangiran ? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keterpaduan perencanaan ruang di Kawasan Sangiran ? 1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui produk perencanaan ruang di Kawasan Sangiran. 2. Mengetahui keterpaduan antar rencana dari para pihak di Kawasan Sangiran. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keterpaduan perencanaan ruang di Kawasan Sangiran.
7
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk pengembangan
ilmu pengetahuan dalam perencanaan tata ruang dan integrasi antar peraturan penataan ruang, terutama kebijakan perencanaan tata ruang pada Kawasan Sangiran. Selain itu juga memperkaya kajian-kajian akademik mengenai proses perencanaan tata ruang khususnya kawasan cagar budaya atau tinggalan sejarah purbakala yang berlandaskan penataan ruang demi terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna, berdaya guna, dan berkelanjutan. 1.5
Keaslian Penelitian Penelitian terhadap penataan ruang khususnya perencanaan ruang suatu
kawasan warisan dunia di Indonesia telah banyak dilakukan, namun penelitian tersebut lebih banyak di Kawasan Borobudur atau Prambanan dibandingkan kawasan warisan dunia lainnya di Indonesia. Penelitian yang dilakukan ini berfokus pada keterpaduan rencana tata ruang di Kawasan Sangiran. Adapun beberapa penelitian terkait kebijakan penataan ruang pada kawasan warisan dunia khususnya di Situs Sangiran diantaranya dalam Tabel 1.1
Tabel 1.1 Penelitian terdahulu terkait dengan proses perencanaan ruang dan Kawasan Sangiran
No
1
Penulis
Sunyoto (MPAR UGM, 2006)
Judul
Analisis Dampak Sosial Dalam Pengembangan Obyek Dan Daya Tarik Wisata Kawasan Situs Sangiran Kabupaten Sragen Jawa Tengah
Fokus/Lokus Dampak sosial yang terjadi dalam pengembangan Pariwisata di kawasan wisata Situs Sangiran di Kabupaten Sragen
Menggunakan metode kualitatif
Meninjau pengelolaan kawasan Sangiran dalam kerangka Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi
Pendekatan ‘manajemen strategis’ menggunakan data kualitatif dan data kuantitatif Metode kualitatif naturalistik
2
Ikhlas Budi Prayogo (S2 Arkeologi UGM, 2006)
Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Situs Sangiran, Jawa Tengah
3
Wiendu Nuryanti dan Nindyo Suwarno (J. Manusia dan Lingkungan, 2008)
Kajian Zonasi Pengembangan Kawasan Pusaka Studi Kasus : Situs Sangiran, Sragen
Menyusun konsepsi dasar pelestarian; Menyusun arahan desain pelestarian Situs Sangiran
Konflik Dan Konsensus Pemanfaatan Ruang Subkawasan Pelestarian 1 (SP 1) Rencana Kawasan Strategis Nasional (RKSN) Prambanan
Mengetahui stakeholder yang terlibat, konflik, konsensus dalam pemanfaatan ruang Kawasan Candi Prambanan
4
Hakim Catur Yulianto (S2 MPKD UGM, 2015)
Metode
Menggunakan Metode Rasionalistik Eksploratif
Hasil dan Kesimpulan Faktor-faktor yang mempengaruhi dampak sosial di kawasan Sangiran Kabupaten Sragen : Faktor Kebijakan Pemerintah; Faktor peran serta masyarakat; Kunjungan wisatawan mempengaruhi dampak sosial positif dan negatif. Di dalam Kawasan Sangiran dapat diterapkan rencana zonasi dengan sistem blok melalui modifikasi pemintakatan sehingga yang dimasukkan ke blok-blok bukanlah situsnya yang luas, tetapi pemukiman penduduk Dalam merencanakan pelestarian Situs Sangiran, hal terpenting adalah mentaati zona dasar situs, dimana setiap zona akan memiliki guidelines tersendiri. Otonomi daerah dan keterbukaan menciptakan perubahan ruang dan konflik dalam pengelolaan Kawasan Candi Prambanan, dan adanya kebijakan yang tumpah tindih karena lembaga yang terikat kementerian yang berbeda-beda.
8