1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki sifat yang cenderung kepada kehidupan berkelompok, sehingga dengan sifatnya itu manusia membentuk suatu komunitas sebagai suatu kesatuan yang pada dasarnya tidak pernah berkeinginan merusak dirinya, melainkan untuk mendapatkan dan menikmati kesejahteraan hidup lahir batin baik di dunia dan di akhirat. Manusia dengan rasio dan akal budinya tetap berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan agar mampu mengolah dan memamfaatkan alam semesta beserta isinya untuk kepentingan hidup manusia. Demikian juga halnya dengan narkoba (narkotika, psikotropika dan bahan adiktif),
bahan-bahan
ini
pada awalnya
adalah merupakan
hasil
dari
pengembangan ilmu pengetahuan manusia terhadap berbagai jenis tumbuhan apakah dalam bentuk aslinya atau sudah diformulasi menjadi berbagai jenis zat kimia yang dipergunakan untuk kepentingan pengobatan, tetapi dalam perkembangan selanjutnya sebagian manusia
menyalahgunakan hasil temuan
tersebut untuk kepentingan sesaat tanpa memperhatikan indikasi medis dan dosis yang tepat. Diantara tujuannya adalah mendapatkan kenikmatan sesaat atau memperoleh keuntungan yang sangat besar dengan cara cepat. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui penyalahgunaan narkoba atau jalur lalu lintas perdagangan gelap narkoba, baik transaksi yang bersifat lokal, regional maupun internasional. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tersebutlah yang
2
merupakan problematika yang amat sangat kompleks dan rumit bagaikan benang kusut, dari bagian mana yang akan ditarik untuk dapat diluruskan. Permasalahan
penyalahgunaan
narkoba
merupakan
permasalahan
universal dalam arti setiap negara mengalami masalah serupa dan hampir pada setiap zaman permasalahan tersebut muncul, meskipun bahan dan jenis narkoba yang digunakan berbeda beda. Berdasarkan hal tersebut, pencegahan penyalahgunaan narkoba dan pemberantasan peredaran gelap narkoba menjadi dua hal yang signifikan untuk dikaji dan diteliti, mengingat kedua permasalahan tersebut bukan saja menyangkut kepentingan nasional – dimana generasi muda merupakan penerus kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara – tetapi juga permasalahan internasional bagi ummat manusia secara keseluruhan. Generasi muda di Indonesia “terpikat” oleh penyalahgunaan narkoba. Diantara sebabnya adalah adanya akulturasi–pengaruh kebudayaan asing – melalui komunikasi/kontak Hippies, film, internet dan kemungkinan latar belakang adanya usaha penjajahan atau subversi sebagaimana yang pernah dilaporkan kantor pusat Tentara Negara Indonesia berdasarkan pengamatan dan penelitian yg dilakukan. Bagi perkembangan masyarakat, kajian dan penelitian serta riset problematika narkoba dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif Indonesia cukup
signifikan
dilakukan,
apalagi
yang
berkaitan
langsung
dengan
penyalahgunaan atau penyalahguna itu sendiri. Hal ini didasari karena hukum memang difungsikan sebagai salah satu pendekatan untuk memberi efek jera dan
3
proses perbaikan prilaku manusia. Oleh karena itulah penelitian ini mencoba mendekati
kajian,
riset
dan
penelitian
mengenai
bagaimana
masalah
penyalahgunaan narkoba dikaji dan diteliti berdasarkan Hukum Islam dan bagimana signifikansinya di masa sekarang khususnya apabila bersentuhan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Selain itu, disertasi ini pada intinya adalah untuk memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat mendapatkan gelar Doktor dalam bidang Hukum Islam di Sekolah Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Medan. Selanjtnya masih ada lagi latar belakang
yang mendorong penulis
menulis disertasi yang berjudul “PENYALAHGUNAAN NARKOBA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA . Latar belakang masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Penyalahgunaan narkoba (narkotika, psikotropika dan bahan adiktif) yang mewabah di awal millennium ketiga ini merupakan problematika sosial yang sangat memperihatinkan bagaikan senjata pemusnah massal yang meledak. Fakta dan data telah menunjukkan bahwa narkoba telah merebak kemana-mana, disalahgunakan oleh siapa saja tanpa memandang bulu terutama generasi muda yang diharapkan sebagai generasi penerus bangsa dalam membangun negara dimasa yang akan dating, ternyata banyak sekali yang terjerumus menyalahgunakan narkoba atau mengedarkan narkoba secara gelap. Diketahui pula, sasaran narkoba bisa siapa saja, anak orang kaya atau anak orang miskin, keluarga baik baik atau keluarga yang berantakan, anak muda atau orang tua, orang kota atau orang desa, dengan
4
kalimat lain narkoba sudah menembus batas. Memang sangatlah sulit mendata jumlah korban penyalahguna narkoba mengingat sangat sulitnya mendeteksi kondisi faktual mereka karena mereka berusaha menutupinya supaya jangan orang lain mengetahui bahwa mereka penyalahguna narkoba – penyalahguna narkoba tergolong kepada hidden group. Tetapi paling tidak menjadi acuan, bahwa menurut hasil penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional dengan Universitas Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia mencapai 2,8% dari jumlah penduduk Indonesia (sekitar 4,2 juta orang dari total populasi penduduk )1. Korban penyalahgunaan narkoba bukan hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar. Namun tidak juga bergelombang opini publik yang bangkit serta berdampak efektif untuk pencegahan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba serta bagaimana cara menanggulangi korban penyalahguna narkoba. Mengapa ini biasa terjadi? Apakah karena pada umumnya, korban penyalahguna narkoba berusaha menutupi dirinya, keluarga juga berusaha diam dan menutupinya karena mereka itu masih menganggap “aib keluarga”. Tambahnya lagi bahwa
pengedar, dan
produsen narkoba di Indonesia tetap kelihatan tidak jera walaupun sudah mendapatkan hukuman berat yang dijatuhkan pengadilan kepada mereka berdasarkan undang-undang yang berlaku.
1
Badan Narkotika Nasional, Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) tahun 2015, (Jakarta: BNN, 2015), h. 3.
5
2. Situasi dan kondisi yang menyebabkan semakin luasnya penyalahgunaan narkoba dengan korban yang semakin banyak, selain disebabkan oleh semakin banyaknya penyeludupan, produksi, perdagangan atau peredaran gelap narkoba, juga disebabkan oleh ketahanan kita dibidang mental dan moral dari seluruh lapisan masyarakat semakin merosot. Kemerosotan moral meliputi aparat penegak hukum, aparat keamanan dan birokrasi dan lain lain, menyebabkan penanggulangan penyalahgunaan narkoba tidak bisa diselesaikan secara tuntas, bahkan prilaku mereka memicu semakin hebatnya penyalahgunaan narkoba di Indonesia.2 Dengan semakin meningkatnya jumlah kasus, tersangka dan barang bukti narkoba yang diungkap lembaga kepolisian setiap tahunnya serta semakin beragamnya modus operandi yang dilakukan bandar narkoba dalam menjalankan peredaran gelapnya, menunjukkan bahwa Indonesia dijadikan tempat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, bahkan juga sebagai tempat produksi dan kultivasi, khususnya ganja. Justru itu jelas dilihat bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba kini sudah merambah ke seluruh lapisan masyarakat, bahkan lembaga pemasyaraktan pun dijadikan sarang dan dianggap tempat “aman” penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. 3. Permasalahan penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang sangat luas dan kompleks; baik dari sudut medik, psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psikososial (ekonomi, politik, sosial-budaya, kriminalitas, dan lain 2
H. Hadiman, Masalah Narkotika Menyongsong Era Milenium III, dalam Menguak Misteri Maraknya Narkoba di Indonesia, (Jakarta: BERSAMA, 1999),h. 45
6
sebagainya). Dari sekian banyak permasalahan yang ditimbulkan sebagai dampak penyalahgunaan narkoba ini adalah antara lain: mengganggu dan bahkan dapat merusak pikiran atau otak manusia khususnya yang berkaitan dengan daya analisis, daya sintesa, daya analogi, logika berpikir, daya nalar, halusinasi pendengaran dan penglihatan, daya antisipasi dan daya memori, merusak hubungan kekeluargaan, meningkatkan angka kriminalitas, meningkatkan angka kecelakaan lalu lintas, tindakan kekerasan lainnya, menurunkan produktivitas dan nasionalisme generasi muda, merugikan negara dan bahkan negara dapat dijajah kembali walaupun bentuknya tidak dalam penjajahan fisik. Penyalahgunaan narkoba adalah penyakit endemik dalam masyarakat modern, merupakan penyakit kronik yang berulang kali kambuh, yang hingga sekarang belum ditemukan upaya penanggulangan secara universal memuaskan, baik dari sudut pencegahan, terapi dan rehabilitasi.3 4. Putusan putusan hukum terhadap para pelaku kriminal narkoba banyak yang tidak sebanding dengan dampak bencana yang ditimbulkan oleh para pelaku kriminal narkoba tersebut.4 Akibatnya mayoritas pengedar dan bandar narkoba sesudah keluar dari lembaga pemasyarakatan kembali menekuni bisnisnya dan kembali menjadi pengedar atau Bandar narkoba. Itu berarti hukuman yang dijatuhkan kepada mereka tidak memberikan efek jera. Lebih ironisnya, lembaga pemasyarakatan pun dijadikan tempat 3
Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif , (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991), h. xi. 4 Pokja Miras Narkoba YLKM, AWAS! MIRAS NARKOBA: Demi ini, Demi itu, Demi Duit, Demi Demit! (Demi Porak Poranda Generasi Muda), (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet. Ke-1, h.3.
7
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba bahkan tempat produksi dengan bantuan para tamu dan sipir lembaga pemasyarakatan tersebut. Sedangkan para pecandu dan penyalahguna narkoba mayoritasnya masih divonis dengan hukuman penjara walaupun dalam undang-undang narkotika nomor 35 tahun 2009 para hakim sudah dianjurkan memerintahkan para pecandu narkotika untuk menjalani rehabilitasi baik medis maupun sosial sebagai pengganti menjalani hukuman penjara. Ini semuanya adalah merupakan karena tidak adanya niat baik dari seluruh aparat penegak hukum untuk menjatuhkan hukuman berat kepada para pengedar dan bandar narkoba serta niat untuk merahabilitasi para pecandu dan penyalahguna narkoba sesuai dengan apa yang diamanatkan undang undang. Kalau hal ini dilakukan secara perlahan akan menurunkan angka permintaan terhadap narkoba dan akibatnya angka pasokan pun akan menurun secara berimbang. 5. Negara Indonesia cukup rawan terhadap ancaman bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang memengaruhi: a. Diantara penghasil utama narkoba terletak di benua Asia yang relatif dekat dengan Indonesia. b. Konfigurasi dan letak geografis Negara Indonesia sebagai Negara kepulauan yang terletak pada persimpangan jalan antara dua benua dan dua samudra.
8
c. Hukum
sebagai
perangkat
ketentuan,
maupun
alat
ataupun
pelaksanaannya sebagai alat pencegahan masih banyak kekurangan. d. Negara Indonesia merupakan sasaran pelbagai kegiatan subversi dan tidak mustahil bahwa dalam rangka itu menggunakan narkoba sebagai sasarannya. e. Terbatasnya fasilitas peralatan dan dana yang tersedia serta masih belum mantapnya aparat penegak hukum dalam penanggulangannya. 6. Sanksi dalam hukum positif yang dirasakan oleh masyarakat tidak setimpal dengan tindak pidana narkoba, sehingga selain kemungkinan tidak menjerakan pelaku tindak pidana narkoba. Juga memungkinkan mendorong anggota masyarakat lain untuk ikut-ikutan berbuat negatif melanggar hukum. Disamping itu, pelaksanaan hukuman terhadap penyalahguna dan pengedar gelap narkoba kurang memberikan kesan langsung kepada masyarakat, sehingga prevensi terhadap masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan yang sama kurang dirasakan oleh masyarakat umum. 7. Secara teoritis, ada dua hal dalam penegakan hukum. Pertama, bagaimana aturan hukumnya. Kedua, bagaimana penegakan hukum itu dijalankan secara baik dan benar. Dalam kasus narkoba, sebetulnya secara hukum sudah ada aturan dalam beberapa undang-uandang. Ada undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika dan undang-uandang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Belum lagi konvensi PBB tentang narkotika dan obat-obatan yang diratifikasi pada tahun 1971 dan 1988 oleh
9
pemerintah Republik Indonesia. Jadi, seharusnya, dari situ, secara extrim seharusnya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tidak ada. Setidak tidaknya harus berkurang. Namun kenyataannya lain. Kini, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba justru semakin “gila-gilaan”. Bukan hanya peredaran gelapnya yang makin meningkat, tetapi korbankorbannya pun semakin banyak. 8. Berdasarkan hal di atas, diperlukan adanya ketentuan sanksi yang lebih tegas dari hukum Islam sebagai solusi yang responsif dan antisipatif terhadap penyalahgunaan dan peredaran narkoba. Sebab, hukum Islam merupakan bagian integral dari hukum nasional yang diarahkan kepada pembaharuan hukum nasional tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pembinaan hukum nasional yang berakar dan berkembang dalam masyarakat, oleh karena itu perlu kajian mendalam agar hukum Islam dapat bereperan dalam menanggulangi permasalahan penyalahgunaan narkoba ini atau justru sebaliknya hukum Islam perlu mengadopsi hukum positif yang ada sekarang di Indonesia atau dibutuhkan perpaduan kedua hukum tersebut sehingga hukum itu dapat diterapkan dengan baik dan memberikan efek sangat signifikan.5 9. Secara etis, umat Islam haruslah berpedoman kepada nilai-nilai aksetoris Islam (Islami), bukan kepada ajaran hukum positif manusia yang semata mata hasil pemikiran manusia itu sendiri tanpa adanya keterkaitan dengan dimensi ketuhanan yang hakiki. Legalitas hukum yang bersifat sekular
5
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), cet. Ke 2, h.122.
10
semata akan berakibat kepada munculnya problem dehumanisasi materialistik. Namun yang selalu menjadi persoalan dalam proses sosialisasi fiqh (hukum Islam) bukan yang menyangkut tentang eksistensi hukum tersebut, tetapi yang sering menjadi ajang perdebatan dikalangan ulama dalam hal relevansi maupun aktualisasi hukum itu sendiri, terutama bila dikaitkan dengan keadaan tempat (lokal) maupun zaman (temporal).6 10. Sistem hukum Islam kadang kala, atau malahan sering kali dipandang sebelah mata, bahkan terlanjur diasumsikan negatif dengan julukan terbelakang, ketinggalan zaman, bahkan tidak adil, kejam dan lain sebagainya oleh sebagian masyarakat Islam sendiri di bumi pertiwi ini. Oleh karena itulah pengkajian hukum pidana Islam yang bersifat akademis-filosofis disamping ideologis-normatif, pada dasarnya akan mampu menepis image (citra) yang tidak sehat itu. Bahkan lebih dari itu, sistem hukum Islam termasuk hukum pidananya diharapkan akan mampu memposisikan diri sebagai salah satu sistem hukum yang berdiri sendiri sejajar dengan system-sistem hukum yang lainnya. Pada posisi ini, sistem hukum Islam bukan saja merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang bersifar teoritis, tetapi juga menjadi sumbangsih bagi kepentingan praktis di lapangan dalam rangka pembentukan, pembinaan dan pembaharuan hukum nasional yang berkesinambungan.7
6
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporerdalam Pandangan Aliran Neomodernisme Islam, (Yogyakarta:LESISKA, 1996), cet. Ke 1, h. 12. 7 Muhammad Amin Suma, Menepis Citra Negatif Hukum Pidana Islam, dalam Pidana Islam din Indonesia: Peluang, Prosfek dan Tantangan, editor: Jaenal Arifin, M. Arskal Salim GP, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2001), cet.ke 1, h. 13.
11
11. Penggunaan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional dapat dibenarkan secara filosofis, konstitusional, maupun dari segi kebijakan umum pembangunan Negara. Secara filosofis, sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan kuat bagi pengguna hukum agama dalam hukum nasional. Secara konstitusional ditegaskan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam kebijakan negara, pembangunan hukum agama bagi pembinaan nasional termuat dalam wawasan nusantara.8 Dalam alam Indonesia merdeka, Hukum Islam adalah bagian dari Hukum Nasional, sebagai pelaaksanaan sila pertama Pancasila dan pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945. Melalui jalur ini ketentuan hukum Islam yang memerlukan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya mendapat jaminan konstitusional.9 12. Oleh karena itulah, hukum pidana Islam perlu menjadi sumber materi hukum pidana Nasional. Disamping sumber lainnya, seperti hukum adat dan hukum Barat. Upaya mengakomodasi materi hukum pidana Islam merupakan bagian dari perjuangan membentuk hukum pidana nasional.10 Seperti diketahui, sebelum kedatangan penjajah Belanda, Hukum Islam merupakan Hukum Positif. Keberadaan Hukum Islam mulanya mendapat pengakuan sesuai teori Reception in Complexu, kemudian atas keperluan 8
A. Malik Fajar, Potret Hukum Pidana Islam: Deskripsi, AnalisisPerbandingan dan Kritik Konstruktif, dalam Pidana Islam di Indonesia; Peluang Prorsfek dan Tantangan, editor: Jaenal arifin, M. Arskal Salim GP, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2001), cet. Ke 1, h. 21. 9 Rifyal Ka‟bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU, (Jakarta:Univ. YARSI, 1998), cet.ke.1, h. 85. 10 Ahmad Sukarja, Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-undangan dan Konteks Politik Hukum Indonesia, dalam Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prosfek dan tantangan, editor:Jaenal arifin, M. Arskal salim GP, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2001), cet. Ke-1, h. 219.
12
imperialisme
Belanda
mengakibatkan
posisi
hukum
Islam
jadi
terpinggirkan dengan adanya teori Receptie Snock Hanronge11. Meski teori receptie sudah dipatahkan oleh teori receptie exit namun pengaruh ppemikiran Snock belum dapat dihilangkan. 13. Alasan lain yang melatarbelakangi penulisan disertasi ini adalah berdasarkan pengalaman penulis yang ikut aktif di berbagai lembaga anti narkoba, seperti Gerakan Anti Narkoba Indonesia, Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara, Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara, Badan Narkotika Kota Medan, Sibolangit Centre Rehabilitation for Drugs Addict, ditambah lagi seringnya mengukuti pertemuan-pertemuan tentang masalah narkoba baik ditingkat lokal, nasional, regional dan bahkan golobal dan juga sering menyampaikan materi tentang permasalahan narkoba dari berbagi perspektif baik dalam bentuk sosialisasi/penyuluhan, seminar, workshop dan pelatihan-pelatihan di berbagai daerah Sumatera Utara, Indonesia dan bahkan ASEAN. Atas dasar latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, penulisan disertasi ini diharapkan dapat memberikan solusi serta visi dan misi yang lebih kritis dan komprehensif tentang penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Peraturan Perundang-undangan (Hukum Positif) di Indonesia mengenai narkoba yang tertuang didalam undang-undang narkotika, psikotropika dan
11
Ka‟bah, Hukum Islam di Indonesia, h. 84.
13
Hukum Islam (dalam hal ini fiqh jinayah) mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu menciptakan masyarakat Indonesia yang tertib dan sejahtera serta bebas dari berbagai tindak kejahatan terutama narkoba. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum positif Indonesia dan hukum Islam harus mempunyai pandangan yang sama terhadap penyalahgunaan narkoba dan penyalahguna narkoba sehingga ketika merumuskan penanggulanagannya baik dalam bentuk pencegahan dan sanksi yang diterapkan dapat memberikan pendidikan dan perubahan perilaku baik selama menjalankannya maupun ketika kembali ke masyarakat. Hukum Islam menawarkan “solusi signifikan” untuk perbaikan kondisi umat manusia, melindungi dan menyelamatkan mereka dari kebinasaan dan kehancuran12, membimbing manusia dari kesesatan, menjauhkan manusia dari perbuatan maksiat dan memotivasi manusia untuk berbuat kebaikan, mencegah manusia menyimpang dari jalan yang lurus.13 Secara normatif memang seperti itu tapi apakah norma-norma Islam yang ada saat sekarang sudah mumpuni untuk mewujudkan tujuan mulia yang disampikan diatas. Inilah pertanyaan besar yang akan dijawab dalam tulisan ini. Sedangkan undang-undang narkotika yang berlaku sekarang menetapkan hukuman minimal bagi pengedarnya. Namun, sanksi minimal tersebut ternyata belum belum efektif dan memberikan efek jera bagi pelakunya dan mampu mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Sementara bagi 12
Hal ini senada dengan tujuan pensyariatan hukum Islam (Maqasid Syari‟ah) sebagaimana dirumuskan oleh al-Syatibi bahwa tujuan pensyyariatan hukum Islam adalah untuk melindungi nyawa (Hifz al-Nafs), melindungi akal (hifz al-„Aql), melindungi agama (hifz al-Din), melindungi harta (Hifz an-mal) dan melindungi keturunan (hifz an-Nazal). Lihat al-Syatiby, alMuwafaqat (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 3. 13
Shih bin Ghanim As-Sadlan, Al-Mukhaddirat wal Aqaqir An-Nafsiyah, terj. Abu Ihsan Al-Atsari, (Jakarta: Darul Haq, 2000), cet.ke-1, h. 66.
14
penyalahguna narkoba masih terus divonis dengan hukuman penjara walaupun dalam undang-undang tersebut penyalahguna narkoba seharusnya direhabilitasi.14 Akibatnya pecandu dan penyalahguna narkoba yang digolongkan kepada orang sakit berdasarkan WHO tidak mendapatkan kesempatan pemulihan secara medis dan sosial. Selanjutnya yang terjadi adalah mereka dimasukkan kedalam lembaga pemasyarakatan disamakan dengan pelaku-pelaku kriminal yang lain dan tidak ada program didalamnya untuk memulihkan mereka dari ketergantungan narkoba. Yang ada mereka tetap menggunakana narkoba tersebut meskipun dalam lembaga pemasyarakatan karena barang haram itu pun masih dapat dimasukkan kedalam baik melalui tamu ataupun sipir penjara. Bahkan saat ini, dan terkesan semakin menjadi jadi. Untuk itulah, undang-undang narkotika dan hukum Islam khusus mengemai khamar (baca narkoba) perlu pengkajian yang mendalam sehingga keduanya dapat diterapkan dan memberikan dampak dan hasil positif sesuai dengan tujuan undang-undang dan hukum Islam itu sendiri. Begitu luasnya pembahasan disertasi ini, maka dalam disertasi ini penulis tidak membahasnya dari berbagai aspek, tetapi akan penulis batasi sekitar rumusan Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia tentang: 1. Defenisi, sejarah dan hukum penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia. 2. Bentuk sanksi hukuman yang diberikan terhadap pecandu, pengedar dan pembuat narkoba menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia.
14
lihat pasal 54, 55, 103 dan 127 UU nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika).
15
3. Konsep pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba menurut Hukum Islam dan Hukum Posotif Indonesia. 4. Mencari persamaan dan perbedaan antara dua konsep tersebut dalam ketiga hal diatas. Selanjutnya perumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana defenisi, sejarah dan hukum penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia. 2. Bagaimana bentuk sanksi dan hukuman yang diberikan kepada pecandu, pengedar dan pembuat narkoba menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia. 3. Bagaimana konsep pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba menurut Hukum Islam dan
Hukum
positif Indonesia. 4. Apa persamaan dan perbedaan ketiga konsep yang dijelaskan diatas. C. Tujuan dan Mamfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Penulisan disertasi ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: a. Menjelaskan dan memahami tentang defenisi dan sejarah narkoba menurut Hukum Islam dan Hukum Posotif Indonesia. b. Menjelaskan dan memahami tentang bentuk sanksi hukuman yang diberikan kepada pecandu, pengedar dan pembuat narkoba menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia.
16
c. Menjelaskan dan mengungkapkan tentang konsep pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. d. Menjelaskan dan menganalisis persamaan dan perbedaan kedua konsep Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia tentang ketiga masalah diatas. 2. Manfaat Penulisan Realisasi penulisan ini akan bermamfaat paling tidak: pertama, memperluas kajian Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia tentang narkoba secara konseptual. Kedua, dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi ilmiah hukum Islam tentang bentuk sanksi hukuman yang diberikan kepada pecandu, pengedar dan pembuat narkoba terhadap hukum positif Indoenesia terutama undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Ketiga, memberikan sumbangan kajian kepada para pembaca agar lebih memahami secara jelas tentang konsep pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba menurut hukum Islam dan Hukum positif Indonesia. Terakhir, kajian ini dapat memberikan arah bagi penelitian-penelitian serupa lebih intensif di belakang hari. Kesinambungan antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, selain dapat mengurrangi tumpang tindihnya (overlapping) informasi, ia juga bisa menjadi koreksi bagi penelitian terdahulu yang menawarkan pandangan baru sebagai antisipasi atas persoalan-persoalan yang dihadapi zamannya.
17
D. Tinjauan Pustaka Penelitian dan kajian tentang narkoba banyak dilakukan oleh ulama, intelektual dan akademisi. Kajian tentang narkoba telah ditulis oleh para ulama. Hal ini dapat ditemukan dalam kitab al-Muskirat baina al-Syari‟ah wa al-Qanun karya Azat Husnain, kitab Majmu‟ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, Kitab alsiyasah al-Jaza‟iyah karya Dr. Ahmad al-Hasary dan kitab al-Fiqh al-Islami wa „Adillatuhu karya Dr. Wahbah al-Suhaili. Kajian mereka pada umumnya menyoroti narkoba berdasarkan satu mazhab fiqh atau terkadang lebih dari satu mazahab fiqh, tetapi tidak dengan pendekatan perbandingan (komparatif). Mereka memberikan pemahaman dan analisis khususnya tentang kata al-khamr dikaitkan dengan narkoba yang sudah menjadi masalah serius yang dihadapi oleh negara-negara yang berpenduduk muslim. Kajian tentang narkoba juga ditulis pula oleh para intelektual dan akademisi Indonesia. Hal ini dapat ditemukan dalam buku Narkotika dan Remaja karya Drs. D. Soejono, SH,
buku Gangguan Penggunaan Zat, Narkotika,
Alkohol, dan Zat adiktif Lain karya Dr. Satya Jaewana, buku Narkotika:Masalah dan Bahayanya karya M. Ma‟ruf Ridha, buku Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat karya Sumarno Ma‟sum, buku Memahami Masalah Narkotika sebagai Masalah Nasional karya Sitanggang, BA, buku Perang Total Melawan Narkotika karya Soekarno, buku Menyelamatkan Keluarga Indonesia dari Bahaya Narkoba,
Memelih Lingkungan Bersih Narkoba, Mengenal
Penyalahgunaan Narkoba karya Zulkarnain Nasution, buku Drug Use in
18
Australia oleh Turning Point Alcohol and Drug Centre. Semua buku-buku itu membahas narkoba secara umum, mulai dari narkoba itu adalah musuh negara, jenis-jenisnya, bahaya penyalahgunaannya, faktor-faktor yang mendorong menyalahgunakan narkoba, apa peran pemerintah, masyarakat dan keluarga dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba. Disamping buku-buku yang bersifat umum tadi, ada buku-buku yang khusus mengkaji tentang metode metode pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba di masyarakat, mulai dari apa yang seharusnya dilakukan negara, masyarakat dan keluarga untuk mengantisipasi penyebaran penyalahgunaan narkoba sampai kepada pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam pemulihan pecandu narkoba di pusat-pusat rehabilitasi. Diantaranya adalah buku Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Masyarakati, buku Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Remaja, buku
P4GN
Bidang
Pemberdayaan
Masyarakat,
buku
Pencegahan
Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pelajar dan Mahasisawa yang diterbitkan oleh BNN, buku Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkoba yang diterbitkan oleh Dit Bimmas Polri, buku Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba dengan Program AJI yang ditulis oleh Tina Afiatin, buku Inabah: Jalan Kembali dari Narkoba, Stres dan Kehampaan Jiwa yang ditulis oleh Dr. Khairusudin Aqib, M.Ag., buku Terapi (Detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantren) Mutakhir (sitem terpadu) Pasien NAZA yang ditulis oleh Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari Psikiater, buku Metode Therapeutic Community yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial Republik Indonesia.
19
Ada beberapa buku yang khusus menghimpunan peraturan dan perundangundangan tentang narkoba yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Diantaranya adalah buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Narkoba yang disusun oleh Zulkarnain Nasution dkk, buku Peraturan Perundang-undangan Narkotika dan Psikotropika yang disusun oleh Eugenia Liliawati Muljono, SH, CN, buku Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia tentang Narkoba yang disusun oleh BNN. Disamping buku-buku yang berbahasa Arab yang ditulis para ulama muslim, beberapa buku yang membahas tentang narkoba dan penanggulangannya menurut kacamata Islam juga ada yang ditulis oleh cendikiawan muslim Indonesia. Diantaranya adalah buku Narkoba dalam Pandangan Agama yang diterbitkan oleh BNN, buku Konsep Agama Islam dalam Menanggulangi Narkoba dan HIV/AIDS yang ditulis oleh Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari Psikiater, buku Ihdzaru al-Mukhaddirat ditulis oleh Dr. Al-ahmady Abu An-Nur dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Fadhli Bahri, LC dengan judul Narkoba. Yang lebih menarik adalah ternyata para pakar hukum Indonesia juga sudah menaruh perhatian terhadap masalah hukum penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan bagaimana penerapannya di Indonesia baik secara teoritis dan praktis, masalah-masalah yang dihadapi dalam penegakan hukum narkoba, solusisolusi terbaik dalam menanggulangi anomali-anomali pelaksanaa hukum, kebijakan-kebijakan yang dilakukan dalam penerapan hukum narkoba, dan bagaimana hukum narkoba di Indonesia dengan hukum yang berlaku di negara
20
lain. Untuk mengetahui ini dapat dibaca buku Narkoba dan Peradilannya di Indonesia yang ditulis oleh O.C. Kaligis dan Soejono Dirdjosisworo, buku Hukum Narkoba di Indonesia ditulis oleh Gatot Supramono, SH, buku Pengawasan Narkotika dan Psikotropika diterbitkan oleh Direktorat Pencegahan dan Penyidikan Direktoral Jenderal Bea dan Cukai, buku Hukuman bagi Konsumen Miras dan Narkoba ditulis oleh Fauzan al-anshari dan Abdurrahman Madjrie, buku Kebijakan Kriminal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak ditulis oleh Kusno Adi, buku Kejahatan Narkotika dan Psikotropika ditulis oleh Andi Hamzah RM dan Surachman SH, buku Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam System Hukum Pidana Indonesia ditulis oleh Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, buku Politik Hukum dalam Undang-undang Narkotika ditulis oleh Dr. H. Siswanto, SH, MH, Mkn, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana yang ditulis oleh Drs. Hari Sasangka, SH., MH. Ada dua tesis dan sebuah disertasi yang penulis temukan yang berkaitan langsung dengan perbandingan hukum Islam dengan hukum positif Indonesia tentang narkoba. Kedua tesis tersebut adalah Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif yang ditulis oleh Acep Saefulloh dan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia yang ditulis oleh Fathurrozi. Kedua tesis tersebut menjelaskan persamaan dan perbedaan hukum Islam dan hukum positif Indonesia dalam defenisi, status hukum narkoba, sanksi hukum bagi pecandu, pengedar dan pembuat narkoba. Namun yang dipergunakan kedua penulis tesis tersebut adalah undang-undang lama tentang narkotika yaitu UU nomor 22 tahun 1997. Kemudian disertasi dengan judul Penyalahgunaan
21
Narkoba Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Nasional yang ditulis oleh Mardani tidak begitu jauh berbeda dengan kedua tesis diatas hanya saja penulis disertasi ini memfokuskan pembahasannya pada hukum pidananya, lalu melakukan analisis tentang perbedaan dan persamaan hukum pidana Islam dan pidana nasional dalam defenisi, status hukum serta sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana narkoba apakah sebagai pecandu, pengedar atau produsen narkoba. Perlu diketahui juga bahwa disertasi ini juga masih tetap menggunakan undang-undang narkotika yang lama, yaitu UU nomor 22 tahun 1997. Dalam pembahasan disertasi ini hanya melakukan satu pendekatan, yaitu qiyasi dalam menentukan status hukum narkoba itu sendiri. Karena itulah, penulis hendak meneliti narkoba dalam perspektif Hukkum Islam dan Hukum Positif Indonesia, yang secara spesifik akan melakukan kajian dan analisis terhadap beberapa hal yg belum dibahas para penulis sebelumnya. Yang pertama, dalam disertasi ini penulis menggunakan undang-undang narkotika yang baru, yaitu nomor 35 tahun 2009 yang sangat berbeda dengan undangundang nomor 22 tahun 1997. Sebagai contoh, pecandu narkoba dalam UU nomor 22 dianggap sebagai pelaku kriminal, sanksi hukuman adalah maksimum tanpa adanya pembatasan jumlah barang bukti sedangkan dalam UU nomor 35 tahun 2009 pecandu narkoba dianggap orang sakit dan sudah menggunakan hukuman minimum dan maksimum dengan pembatasan jumlah barang bukti. Selanjutnya dalam menentukan status hukum narkoba menurut hukum Islam akan dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu, bayani, qiyasi dan istislahi supaya lebih mendalam dan akurat. Kemudian yang akan penulis kaji dan analisis dalam persamaan dan
22
perbedaan termasuk metode pencegahan dan penanggulan narkoba dan yang belum pernah juga ditulis oleh orang lain. Dengan penjelasan dan kajian terhadap beberapa buku, tesis dan disertasi diatas memberikan gambaran bahwa disertasi yang akan penulis tulis ini jelas berbeda dengan
pembahasan pembahasan sebelumnya walaupun tidak dapat
dipungkiri ada sedikit persamaan apakah itu dalam judul atau pembahasannya. Lebih jelasnya akan terlihat di dalam sistimatika penulisan disertasi ini. E. Kerangka Teori Pada hakikatnya, dalam penelitian ilmiah eksistensi kajian teoritis sangat menentukan ketajaman analisis sebuah penelitian. Sebab seluruh masalah dan kasus-kasus yang diteliti harus punya landasan dan pijakan teori, baik itu terjadi kontradiktif antara teori dan praktek, maupun sebaliknya. Sehingga semakin mapan teori yang digunakan menjadikan hasil penelitian itu mendalam dan teruji. Penelitian ini memfokuskan pada kajian membandingkan hukum antara hukum Islam dan Hukum psitif tentang penyalahgunaan narkoba, maka salah satu teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori maslahat (aplikatif Teori). teori penegakan mashlahah dan konstitusi dapat dijadikan pijakan untuk terwujudnya penegakan hukum Islam. Dalam rangka menjelaskan penegakan hukum Islam tentu tidak dapat mengabaikan penggunaan teori hukum Islam yang juga digunakan oleh kalangan ulama terdahulu dan pemikir hukum Islam modern. Diantara tokoh-tokoh ulama dan pemikir muslim yang telah memperkenalkan teori mashlahah adalah Imam al-Syatibi, al-Ghazali, dan Najamuddin al-Thufi.
23
Al-Syatibi dikenal sebagai salah seorang pemikir hukum Islam yang banyak menjelaskan teori mashlahah dalam karyanya, al-muwafaqat, melalui konsep tujuan hukum syara‟ (maqashid al-syari‟ah). Perumusan tujuan syari‟at Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umum (mashlahah al-„ammah) dengan cara menjadikan aturan hukum syari‟ah yang paling utama dan sekaligus menjadi shalihah li kulli zaman wa makan (kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya) untuk sebuah kehidupan manusia yang adil, bermartabat dan bermaslahat. Berdasarkan teori ini, pelaksanaan hukum pidana Islam (jinayah) khususnya dibidang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika hendaknya dirumuskan dan diaplikasikan sesuai dengan prinsip-prinsip, asas-asas, dan tujuan hukum syara‟ sehingga hukum Islam benar-benar kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya. Imam al-Syatibi memberikan rambu-rambu untuk mencapai tujuan-tujuan syari‟at yang bersifat dharuriyyah, dan tahsiniyyah, dan berisikan lima asas hukum syara‟ yakni: (a) memelihara agama/hifzh al-din; (b) memelihara jiwa/hifzh al-nafs; (c) memelihara keturunan/hizh al-nasl; (d) memelihara akal/hifzh al-aql; dan memelihara harta/hifzh al-maal.15 Teori mashlahah yang diperkenalkan al-Syatibi dalam konsep maqashi al-syari‟ah ini tampaknya masih relevan untuk menjawab segala persoalan hukum di masa depan. al-Ghazali menjelaskan bahwa teks-teks Alqur‟an dan Sunnah Nabi sengaja dihadirkan untuk tujuan menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat
15
Al-Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), Juz. II, h. 7.
24
manusia. Kemaslahatan adalah tujuan dari aturan-aturan Islam”.16 Oleh karenanya al-Ghazali menyatakan bahwa setiap mashlahah yang bertentangan dengan Alqur‟an, sunnah atau ijma‟ adalah batal dan harus dibuang jauh-jauh. Setiap kemaslahatan yang sejalan dengan tindakan syara‟ harus diterima untuk dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam. Dengan pernyataan ini, al-Ghazali ingin menegaskan bahwa tidak satu pun hukum Islam yang kontra dengan kemaslahatan, atau dengan kata lain tidak akan ditemukan hukum Islam yang menyengsarakan dan membuat mudharat umat manusia.17 Atas pertimbangan maslahat inilah rasanya perlu untuk melakukan rekonstruksi fiqih (jinayah) demi tercapainya sebuah aturan hukum yang benar-benar mampu memeberi efek jera bagi penyalahgunaan narkoba. Najamuddin al-Thufi menjelaskan teori mashlahah sebagai salah satu obyek penting dalam khazanah pemikiran hukum Islam (ijtihad). Dalam pandangan al-Thufi, asal-usul kata mashlahah Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian dari keuntungan berdasarkan syari‟at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar‟i, baik berupa ibadah maupun adat. Sehingga, mashlahah dalam hal perdagangan adalah untuk mendapatkan keuntungan berdasarkan pada tujuan dari 16
Al-Ghazali merumuskan bahwa kemaslahatan terbagi ke dalam lima prinsip dasar (alkulliyah al-khams), yaitu hifzh al-din (memelihara keyakinan/agama), hifzh al-nafs (memeliahra jiwa), hifzh al-„aql (memelihara akal/pikiran), hifzh al-„rdh (memelihara kehormatan/keturunan atau alat-alat reproduksi), dan hifzh al-maal (memeliahra kekayaan atau properti). Menurutnya, istilah mashlahah makna asalnya merupakan menarik manfaat atau menolak mudharat. Akan tetapi yang dimaksud mashlahah dalam hukum Islam adalah setiap h yang dimaksudkan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima h tersebut disebut mashlahah.; lihat: Al-Ghazali, Al-Mustashfa min „Ilm al Ushul, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.th), vol. I, h. 281. 17 Ibid,
25
perbuatan dagang dan melaksanakan kehendak syari‟at pada waktu yang bersamaan. Mashlahah menurut al-Thufi dipandang lebih dari sekedar metode hukum, melainkan juga alat untuk mencapai tujuan hukum Islam (maqashid alsyari‟ah). Seperti halnya disebut al-Syatibi (al-muwafaqat) bahwa mashlahah merupakan fundamen teori maqashid al-syari‟ah. Al-Thufi juga menjelaskan kedudukan mashlahah selain sebagai tujuan hukum syara‟ juga merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi hukum Islam. Landasan teori yang dibangun oleh al-Thufi didasarkan pada sketsa historis perkembangan hukum Islam, mulai dari masa pertumbuhan dan pembangunannya hingga pada masa pertengahan dan modern. Salah satu teori yang memperhatikan mashlahah secara mutlak, baik terhadap masalah hukum Islam yang ada nashnya maupun masalah hukum yang tidak ada nashnya adalah dalam bidang fiqh al-mu‟amalah. Pemikiran al-Thufi tentang mashlahah fi fiqh al-mu‟amalah termasuk dalam kategori mashlahah almursalah.18 Teori mashlahah al-Thufi dalam bidang hukum mu‟amalah dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah mashlahah, sebagaimana telah kami tetapkan. Mashlahah dan dalil-dalil syari‟at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nash, ijma‟, qiyas, dan mashlahah mengenai ketetapan hukum dharuri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang dharuri tersebut, misalnya dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang-orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum khamar dihukum dera, dan orang yang menuduh orang baik 18
Mustafa Zaid, al-Mashlahah fi at-Tasyri‟I al-Islami wa Najamuddin al-Thufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi), 1954), h. 113-127-132.
26
berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, serta contoh-contoh lainnya yang serupa dengan hal dalil-dalil syari‟at yang menggunakan penyelesaian dengan mashlahah. Jika ternyata tidak sejalan dan bertentangan dengan norma-norma syari‟at, maka penyelesaian hukumnya dapat dilakukan melalui perpaduan antara Alqur‟an, Sunnah, Ijma‟, qiyas, mashlahah, dan sebagainya.19 Dengan demikian hukum akan bisa dirumuskan dan diaplikasikan sesuai dengan tununtan zaman demi tercapainya kemaslahatan bagi manusia khusunya dibidang penyalahgunaan narkotika. Maslahah dapat dikatagrikan menjadi tiga. Pertama masalahah mu‟tbarah yaitu maslahat yang diakui dan dijelaskan oleh nash. Seperti firman Allah dalam surat al-baqarah: 178:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
19
Yusdani, Al-Thufi dan Teorinya Tentang Mashlahat, Makalah disampaikan pada Acara Bedah Metodologi Kitab Kuning Seri Usul al-Fiqh Humanis yang diadakan oleh Pusat Studi Islam UII, Selasa, 7 September 2004 bertempat di Ruang Sidang I Kampus UII Jl. Cik Ditiro No. 1 Yogyakarta.
27
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.20 Kedua maslahah mulgah maslahat yang tidak diakui dan bertentang oleh nash seperti ketetapan hukum wari 1:1. Hal ini Menurut Munawir Dzasali 21
bertentangan dengan nash Alqur‟an bertentang dengan ketentuan wais bagian
laki-laki dua kali dari bagian perempuan. Ketiga maslahah Mursalah iadalah maslahat yang dibiarkan oleh nash, yaitu masalhat yang tidak disyariatkan dalam penerepannyadan tidak ada dalil yang secara eksplisit membenarkan dan menyalahkannya. Maslahat ini disebut maslahah mutlak karena tidak ada dalil yang menyatakan benar atau salah. Dikalangan fuqaha terjadi perkhilafan tentang keabsahan maslahat mursalah. Golongan yang menolak maslahat mursalah diantaranya golongan dzahiriyah, syiah, sebagian hanafi dan Syafi‟iyah. Argumen golongn ini pertama membuka peluang bagi penguasa membentuk hukum baru dengan hawa nafs dan menodai agama. Kedua Syariat memelihara maslahat lewat nash dan qiyas. Ketiga maslahat ini berada diantara dua maslahat (mu‟tabarah dan mulgah) yang merupakan hasil persangkaan semata. Golongan yang menerima diantaranya imam Malik, Imam Ahmad Bin Hanbal dan Imam Syafi‟i dalam qaul qadim.22 Argumen golongan ini pertama nash Alqur‟an dalam suarat al-Maidah ayat 4 dan 6. Kedua Syariat memelihara masalahat lewat nash dan qiyas. Ketiga maslahat mursalah berada antara dua maslahat yang merupakan bentuk persangkaan atau dzan sebagaiamna ilmu Fikih berasal dari persangkaan yang kuat. Ketiga
20
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih. 21 Munawir Dzasali, reformasi hukum Islam (Jakarta: Logos, 1999), h. 34. 22
70.
Imam Syaukani, Irsyadul al-fukhul al-Haq Min Ushul (Beirut: dar al-Fikr, t.th), h. 67-
28
masalahat mursalah memeliki persyaratan bahwa maslahat tersebut dapat dijangkau akal, bersifat umum, tidak bertentengan dengan nash dan ijma‟.23 Selain teori maslahah, penulis juga menggunakan beberepa metode sebagai pijakan menganalisis, pertama teori bayani, kedua teori qiyasi dan ketiga Istislahi. Hal ini mengacu kepada pembagian metode ijtihad yang diriumuskan oleh al-Duwalibi.24 Bayani merupakan suatu cara istinbath (penggalian dan penetapan) hukum yang bertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan atau makna lafadz.25 Metode ini membicarakan pemahaman suatu nas, baik Alqur‟an maupun as-Sunnah yang mencakup makna lafadz sesuai bentuknya, makana lafadz sesuai pemakaiannya, analisis makana sesuai kekuatannya dan analisis dalalah suatu lafadz.26 Hal ini juga sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ahmad Zuhro.27 Dengan kata lain Ijtihad bayani adalah penjelasan ulama terhadap teks Alqur‟an dan As-Sunnah. Dalam kaitan ini, ijtihad cenderung dipandang sama dengan tafsir, yaitu penjelasan terhadap maksud Allah dan Rasul-Nya. Muhammad Al-Dawabili seperti dikutip Jaih Mubarok mengatakan bahwa yang dimaksud ijtihad bayani adalah:
23
Al-Syatibi menjelaskan dalam aal-muwafaqat bahwa meskipun maslahat mursalah tidak ditentukan dengan nash akan tetapi maslahat yang sejalan dan tidak bertentangan dengan nash dapat diterima. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, h. 46. 24
Duwalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat As-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot, yaitu Ijtihad Al-Bayani, Yaitu Ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara‟ dari nash Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu Ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Alqur‟an dan As-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas. Ijtihad Al-Istislahi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Alqur‟an dan AsSunnah dengan menggunakan ra‟yu berdasrkan kaidah Istislah; lihat: Amir Syaripudin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. Ke-2, h. 223-234. 25 Hasbullah, Usul al-Tasyri‟ al-Islami , h. 173 . 26 Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1987), h 299. 27 Ahmad Zuhro, tradisi Intelektual NU (jokjakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2004), h. 112113
29
28
Artinya: Penjelasan dan penafsiran terhdap teks Alqur‟an dan As-Sunnah. Muhammad
Salam
Madkur
menjelaskan
bahwa
yang
dimaksud
dengan ijtihad Bayani adalah : 29
Artinya: Pengerahan (segenap daya) secara sungguh-sungguh untuk mencapai hukum yang dikehendaki (Allah) dari teks (nash) yang termasuk zhaniy, baik wurud maupun dilalahnya.
Kedua,
Qiyasi
merupakan
suatu
cara
istinbath
hukum
dengan
menganalogikan sesuatu yang belum ada hukumnya dengan sesuatu yang telah disebutkan hukumnya oleh nas (baik Alqur‟an maupun as-Sunnah) dalam rangka menapikan
atau
menetapkan
hukumnya
karena
ada
sifat-sifat
yang
memepersatukan keduanya („illat).30 Dalam pelaksanannya metode ini harus memenuhi empat unsure, pertama- al-Asl yaitu sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya dalam nas, kedua- al-Far‟u yaitu sesuatu yang belum ada ketetapannya dalam nas, ketiga- sifat-sifat khusus yang mendasari ketentuan hukum yang dan ke-empat Hukm al-Asl yaitu hukum yang dilekatkan pada sesuatu yang sudah ada ketetapan nasnya. Termasuk dalam kategori qiyasi ini adalah istihsan yaitu beralih dari suatu hasil qiyas kepada hasil qiyas yang lain yang lebih kuat atau mentakhsis hasil qiyas dengan qiyas yang lain yang lebih kuat.31
28
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), cet. Ke-1, h.7-8 29 Ibid, h. 11 30 Abdul Hakim Abdul Rahman, Mabahis al-„Illah fi al-Qiyas „Inda al-ushuliyyin (Beirut: Dar al-basyar al-Islamiyah, 1986), h. 36. 31 Abdul Wahab Khlaf, Masadir at-asyri‟ al-Islamiyah fi ma La Nassa Fih (ttp: Dar anNahdah al-„Arabiyah, 1971), h. 69.
30
Selanjutnya Istislahi yaitu menggali, menemukan dan merumuskan hukum syar‟i dengan cara menerapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya
tidak
terdapat
nash
baik qath‟i
maupun dzanni
dan
tidak
memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan ijma‟. Al-syatibi menjelaskan bahwa istislahi merupakan sebuah metode istinbath hukum mengenai suatu masalah yang bertumpu pada dalil-dalil umum karena tidak ada dalil khusus mengenai masalahtersebut dengan berpijak pada azas kemaslahatan sesuai dengan maqasid al-syari‟ah yang mencakup kebutuhan darury hajiyat dan tahsiniyat.32 Dasar pegangan dalam ijtihad bentuk ini hanyalah jiwa hukum syara‟ yang bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat maupun menghindarkan mudharat.33 Selanjutnya teori rehabilitasi juga digunakan dalam penelitian ini. Sitanggang
menawarkan
konsep
penanganan
pecandu
narkoba
(korban
penyalahgunaan) melalui pendekatan rehabilatasi yang disebutnya dengan terapi konprehensip terpadu dan holistic. Sitanggang menjelaskan bahwa kesembuhan melalui rehabilitasi merupakan salah satu upaya untuk memberantas atau setidaknya mengurangi pecandu narkoba.34 dengan kesembuhan permintaan narkotika dipasar gelap perdagangan narkotika akan berkurang, sehingga dengan demikian semakin banyaknya orang yang sembuh karena rehabilitasi maka semakin berkurang penyalahgunaan narkotika baik sebagai pecandu, pengedar maupun pembuat.
32
Al-Syatiby, al-Mwafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz II, h, 2-7. Ahmad Azhar Basyir, “Pokok-pokok Ijtihad Dalam Hukum Islam”, Haidar Baqir (ed.), Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), h.59 34 Sitanggang, Pendidikan Pencegahan Narkoba, h. 84. 33
31
Cynthia Glidden –Trecey melalui pendekatan barunya yang disebut dengan
pendekatan
integrative
menjelaskan
bahwa
obat-oabatan
yang
disalahgunakan akan mempengaruhi kehidupan individu, mulai dari aspek medis, psikologis, social hingga aspek spritualnya. oleh karena itu bagi Trecey, pendekatan integrative yang melakukan penggabungan pendekatan antara paradigm filosofis yang berbasis medis, paradigma psikoterapi yang berbasis psikologis merupakan suatu keniscayaan.35 Dengan ini secara tidak langsung Trecey menyatakan bahwa akhir dari puncak proses rehabilitasi adalah proses spiritual yang merupakan dimensi batin manusia.36 Christhoper D. Ringwald menyebut dimensi spiritual ini sebagai dimensi yang uncovering dalam penanggulangan narkoba.37 Ringwald menjelaskan spiritual mempunyai peran penting dalam proses penyembuhan korban penyalahgunaan narkoba. Menurut catatan Ringwald lebih dari satu juta penduduk Amerika yang mengalami proses rehabilitasi karena kecanduan obat-obatan ditanggulangi melalui pengembangan Spiritual Life.38 Pertanyaanya, apa itu spiritual? Ringwald menyebutkan bahwa spiritual adalah berkaitan dengan spirit atau soul yang menjadi inti dari alam fisik.39 Dari sudut pandang ini spiritual dimakanai sebagai pencarian tentang tuhan (deity) atau kebenaran puncak (ultimate truth) atau juga bisa dimakanai sebagai agama yang berisi ajaran kepercayaan dan ritual. Dalam konteks ini bagi Ringwald, 35
Cynthia Glidden- Trecey, Conseling anda Therafy with clients who Abuse Alchohol or Other Drugs: an Integratif Approuch (New Jersey: Lawrence Erlbaun Associates, 2005), h. 5 36 Ibid, h. 76. 37 Cristhoper D. ringwald, The Soul Recovory: Uncovering the Spritual Dimension In the Teratment Of Addiction (Oxford: Oxford University Perss, 2002), h. 38 Ibid, h. 4. 39 Ibid, h. 6.
32
pendekataan spiritual bagi penanggulangan korban narkoba adalah mencakup kedua makna spiritual ini. Pengertian spiritual kelihatannya mencakup sisi-sisi kehidupan rohaniah dalam dimensi yang cukup luas, seperti dikemukakan William Irwin Tomsonyang dikutip oleh jalaluddin bahwa spiritual bukan agama. Namun demikian ia tidak pat dilepaskan dari nilai-nilai keagamaan. Ada titik singgung anatara spiritual dan agama.40 Pandanagan Ringwald tersebut senada dengan penjelasan Murtadha Muthahhari. Muthahhari menjelaskan bahwa titik singgung antara agama dan spiritual tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, keduanya menyatu ke dalam nilainilai moral yang tergolong dalam kategori nilai utama dalam setiap agama. Dorongan untuk berpegang pada nilai-nilai moral sudah aa dalam diri manusia. Nilai-nilai moral itu dalam islam disebut dengan akhlak yang baik (akhlaq alKarimah).41 F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Mengingat subyek penelitian berupa penyalahgunaan narkoba dalam perspektif Hukum Islam bersumber pada wahyu, dan dalam perspektif hukum positif Indonesia, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah komparatif melalui normative-telogis yuridis. Sisi normatifitas-telogisnya terletak pada norma-norma hukum Islam (fiqh jinayah) yang diistinbathkan
40
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 331
41
Murtadha Muthahhari, Fitrah, terj. Arif Muhammad (Jakarta: Lentera 1998), h. 55.
33
dari wahyu baik dari Alqur‟an maupun dari Hadis Nabi. Karena pendekatan dalam penelitian ini dapat digolongkan pada penelitian kewahyuan. Sedangkan sisi nomatifitas-yuridisnya terletak pada norma-norma hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia. 2. Jenis Penelitian dan Sumber Data Penelitian ini, secara khusus, diarahkan pada penyalahgunaan narkoba dalam perspektif hukum Islam dan hukum Positif Indonesia. Mengingat dalam penelitian ini, datanya hanya bersumber pada kepustakaan, penelitian ini masuk ke dalam katagori jenis penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan baik data primer maupun data sekunder. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari karya-karya yang ditulis oleh para ulama, intelektual dan akademisi yang bersifat otoritatif. Sedangkan sumber sekunder mencakup makalah, majalah dan surat kabar mengenai penyalahgunaan narkoba. 3. Teknik Analisa Data Data yang ditemukan akan dianalisis dengan menempuh tiga metode analisis, yaitu induktif, deduktif dan komparatif. Menurut Yacob Vredenbergt, analisis induktif adalah menarik kesimpulan-kesimpulan terhadap hubungan antara gejala-gejala sosial. Kesimpulan yang ditarik bersifat umum dan didasarkan atas sejumlah kesimpulan khusus. Sedangkan analisis deduktif berhubungan dengan penarikan kesimpulan dengan cara menjabarkan
34
kesimpulan khusus dari kesimpulan umum.42 Menurut Muhammad nasir, analisis komparatif adalah metode untuk membandingkan faktor-faktor dari fenomena-fenomena sejenis untuk memperlihatka unsur-unsur perbedaan dan persamaan.43 Analisis induktif digunakan untuk menganalisis data-data yang terkait dengan perbedaan argumentasi dan pandangan para ulama dan pakar, sedangkan analisis deduktif digunakan untuk menganalisis data-data yang terkait dengan norma-norma hukum baik yang tertera dalam Alqur‟an dan Hadis Nabi maupun dalam perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang berlaku di negara Republik Indonesia, yang diperoleh dari riset kepustakaan. Dan analisis komparatif akan digunakan untuk membandingkan antara ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan penyalahgunaan narkoba, yang terdapat dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia yang berlaku di negara Republik Indonesia, sehingga dapat diketahui perbedaan dan persamaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan disertasi ini terdiri dari enam bab. Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
42
Jacob Vredenbergt, Metode dan teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT gramedia, 1984), cet. Vi h. 35-36 lihat juga Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka sinar harapan, 1988), cet. II, h. 46-48. 43 Muhammad Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghia Indonesia, 1988), cet III., h. 61.
35
Bab kedua, membahas tinjaun umum tentang narkoba yang terdiri dari tentang pengertian narkoba, sejarah perkembangan narkoba, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, jenis-jenis narkoba, dampak narkoba dalam kehidupan yang meliputi masalah kesehatan, maslah ekonomi, masalah sosial, masalah kultur dan budaya, masalah keamanan nasional dan masalah penegakan hukum. Bab ketiga, narkoba menurut hukum Islam yang terdiri dari; beberapa ketentuan umum tentang narkoba yang meliputi defenisi al-khamar, batasan mabuk, hukum penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, pandangan ulama kontemporer terhadap penyalahgunaan narkoba, narkoba untuk pengobatan serta batas-batas penggunaannya, ketetapan pidana (jinayah) yang berkaitan dengan narkoba yang meliputi sanksi hukum bagi penyalahguna, pengedar dan yang membantu pengedaran, pembuat narkoba, pendapat imam mazhab tentang sanksi hukum bagi penyalahguna, pengedar dan yang membantu pengedaran, pembuat narkoba; penerapan hukum al-khamar menurut hukum Islam yang meliputi penerapan hukuman al-khamar bagi penyalahguna, pengedar dan yang bantu pengedaran, pembuat al-khamar dan bahan perbedaan hukum had dan ta‟zir; metode pencegahan dan penanggulangan narkoba dalam pandangan Islam yang meliputi metode pencegahan narkoba dalam pandangan Islam, metode penanggulangan narkoba dalam pandangan Islam. Bab empat, ketentuan umum tentang narkoba dalam hukum positif Indonesia yang meliputi defenisi narkoba, batasan mabuk, cirri-ciri penyalahguna narkoba, ketetapan pidana yang berkaitan dengan narkoba menurut undangundang narkotika dan psikotropika yang meliputi sejarah pembentukan undang-
36
undang narkoba di Indonesia yang membahas tentang undang-undang obat bius, undang-undang obat keras, kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), Instruksi Presiden (INPRES) No. 6 tahun 1971, undang-undang No. 9 tahun 1976, undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika, undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika dan undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika; sanksi hukum bagi penyalahguna narkoba; sanksi hukum bagi pengedar dan yang membantu pengedaran dan pembuat narkoba; penerapan hukum narkoba menurut hukum positif Indonesia: pencegahan dan penanggulangan narkoba yang meliputi metode dan upaya pencegahan narkoba dan metode dan upaya penanggulangan narkoba. Bab lima, perbandingan hukum Penyalahguna narkoba antara hukum Islam dan hukum positif Indonesia yang terdiri dari analisis persamaan dan analisis perbedaan Bab enam, yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan yang menjadi jawaban-jawaban dari permasalahan-permasalahan yang dikemukakan dalam sub bab perumusan masalah, dan saran-saran sebagai rekomendasi akhir terhadap para pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian ini.